Jakarta, NU Online
Selama ini terdapat keyakinan bahwa tradisi tahlilan bagi orang yang sudah meninggal yang dilakukan pada hari-hari tertentu seperti 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari sampai dengan haul yang diadakan untuk memperingati setiap tanggal kematian merupakan tradisi Hindu atau Budha yang kemudian substansinya dirubah oleh para wali songo dengan mengisi bacaan dan doa dari tradisi Islam, termasuk bacaan tahlil sehingga akhirnya disebut tahlil
Pendapat berbeda diungkapkan oleh Agus Sunyoto, penulis buku Syeikh Siti Jenar tersebut berpendapat bahwa tradisi tahlil sebenarnya merupakan tradisi Syiah yang kemudian dibawa oleh para musyafir yang menyebarkan Islam di Indonesia.
”Dalam tradisi Hindu, tidak ada peringatan 7 hari sampai dengan 1000 hari. Yang ada peringatan 12 tahun sekali,” tandasnya saat berdiskusi di kantor NU Online Selasa malam dengan sejumlah budayawan dan aktivis Lembaga Seni dan Budaya Nahdlatul Ulama (Lesbumi).
Pertanyaan tersebut muncul dalam dirinya ketika diajak salah satu temannya yang beraliran Syiah untuk tahlil diajak tahlil. ”Lho ini tradisinya kok sama dengan NU,” fikirnya dalam hati. Selanjutnya ia melakukan penelitian tentang asal usul tradisi ini.
Para musyafir yang berasal dari kerajaan Campa yang kebanyakan beragama Islam dan memiliki tradisi tasawuf beraliran Syiah lah yang mengembangkan tradisi ini. Makanya tak heran ketika Imam Khumeini meninggal, juga diadakan tahlil untuk mendoakannya.
Tradisi lain yang berasal dari Syiah adalah adanya bulan baik atau buruk untuk mengadakan suatu acara. ”Orang Jawa dha berani mengadakan hajatan pada bulan Muharram atau lebih dikenal dengan bulan Suro karena bisa membawa sial. Ini merupakan tradisi Syiah karena pada bulan tersebut Sayyidina Husein, anak Ali bin Abi Tholib meninggal dibunuh,” tuturnya.
Tentang mengapa wali yang disebut berjumlah sembilan atau lebih dikenal sebagai wali songo, padahal wali sebenarnya lebih dari itu, Agus berpendapat ini berkaitan dengan adopsi kepercayaan Hindu yang berkeyakinan adanya delapan arah mata angin dan satu dipusatnya sehingga jumlahnya menjadi sembilan.(mkf)
Source: http://www.nu.or.id/
Rabu, 14 Desember 2005 14:13
Post a Comment
mohon gunakan email