Pesan Rahbar

Home » , , , , , , » Peran Imam Husain Melestarikan Ajaran Islam

Peran Imam Husain Melestarikan Ajaran Islam

Written By Unknown on Tuesday 28 October 2014 | 00:24:00


Siapapun yang mempelajari kehidupan Imam Husain bin Ali (as) akan menyadari bahwa perannya dalam Islam dimulai dari awal. Pada masa mudanya, dia berpartisipasi aktif dalam gerakan kebangkitan Islam. Perannya menonjol selama kepemimpinan ayahnya, Amirul Mukminin Imam Ali (as) dan berjuang berdampingan bersama Imam Hasan (as).

Dalam kesyahidannya, peran Imam Husain (as) memasuki fasa baru berkaitan dengan kompleksnya permasalahan diantara umat Islam, karena peran semua Imam Ahlul Bait (as) disesuaikan dengan kondisi perkembangan sosial, ideologi dan politik pada jamannya.

Sungguh, Imam Husain (as) menghadapi plot Bani Umayah yang menyimpang di tengah umat Islam dan juga kondisi sulit yang dijalani umat Islam. Dia (as) hidup dibagian paling berbahaya setelah perjanjian antara Muawiyah dan Imam Hasan (as). Berikut ini adalah tujuan-tujuan dari rencana busuk Muawiyah:

1. Menyebarkan teror dan memusnahkan seluruh kekuatan oposisi, terutama pengikut Imam Ali (as). Mereka diburu dan ditindas dengan berbagai cara dan teror digunakan untuk membungkam mereka.
Dengan kata-kata yang singkat dan jelas Imam Muhammad al-Baqir (as) menggambarkan tragedi berdarah ini. Dia berkata:
”Pengikut kita dibunuh di setiap kota. Tangan dan kaki mereka dipotong hanya karena kecurigaan kecil. Siapapun yang menunjukkan cinta (dukungan) kepada kita atau punya hubungan dengan kita akan ditawan atau disita harta-bendanya atau dirusak rumahnya. Frekwensi penindasan meningkat dan semakin kejam sampai puncaknya saat Ubaidullah bin Ziyad membunuh Imam Husain (as)”

Ibnu Athir, ahli sejarah, mencatat kejadian berdarah yang terjadi selama masa Muawiyah. Dia berkata: ”Setelah Ziyad mengangkat Sumrah, sementara waktu, sebagai gubernur Basrah, Sumrah membunuh banyak orang. Ibnu Sirrin berkata: ’Selama ketidakhadiran Ziyad, Sumrah membunuh delapan ribu orang.’ ’Apakah kau tidak khawatir telah membunuh orang yang tidak bersalah?’, Ziyad bertanya kepada Sumrah. ’Walaupun membunuh yang jumlah orangnya dua kali lipat saya tidak akan pernah merasa khawatir.’, jawab Sumrah.

Sawari Adwi berkata:”Sumrah telah membunuh, dalam satu hari, empatpuluh tujuh sahabatku. Semua adalah penghapal Quran.”

2. Menyebar uang untuk membeli kesetiaan orang-orang untuk merusak karakter Islami mereka dan membantu penyelewengan Muawiyah untuk memenuhi tujuan sesatnya. Dua tipe orang yang jadi sasaran :

A. Sejumlah pengkhotbah dan ahli hadis yang berperan untuk membantu Muawiyah. Mereka membuat hadis dan mengaku datang dari Rasulullah (saww) dalam rangka mendiskreditkan Imam Ali (as) dan keluarganya.
B. Pimpinan masyarakat yang punya kemungkinan untuk melawan dinasti Muawiyah.

Ini adalah bentuk kebijakan Muawiyah dan pemimpin dinasti Bani Umayah yang lain.

Perang kelaparan. Ini merupakan senjata yang dipergunakan Bani Umayah. Umat Islam merasa terhina dan tidak mampu mengganti pimpinannya. Perintah Muawiyah, yang dicatat sejarah, yang dikirim ke gubernurnya, menyatakan: ”Periksa setiap orang yang mencintai (mendukung) Ali dan keluarganya, dan jika terbukti, namanya harus dihapus dari daftar masyarakat yang menerima bayaran dan jatah makanan.”

Struktur ekonomi masyarakat selama periode tersebut tercatat oleh ahli sejarah. Mereka menulis tentang distribusi ekonomi yang timpang. Beberapa individu memiliki kekayaan besar. Segelintir orang memanfaatkan pengaruh Bani Umayah, dari bagian luar kekuasaan khalifah selama tahun-tahun terakhir kekuasaan khalifah yang benar, dengan menumpuk kekayaan. Sebagai contoh:
”Amru bin As gubernur Mesir dibawah Muawiyah, meninggalkan kekayaan sebanyak 325.000 dinar emas, 1000 dirham perak, kebun yang bernilai 2000.000 dinar di Mesir dan tanah milik di Mesir yang nilainya sebasar 10.000 dinar emas.”

4. Merusak ikatan persatuan umat Islam dengan mengangkat isu nasionalisme, kesukuan dan kedaerahan diantara kelompok-kelompok dan melestarikan sektarianisme antara muslim Arab dan non-Arab.

5. Pembunuhan Imam Hasan bin Ali (as), yang dianggap sebagai simbol Islam yang sebenarnya.

6. Mengangkat Yazid, seorang korup yang gemar mabuk dan berjudi, sebagai pimpinan baru menggantikan Muawiyah.

Mandat yang diberikan Yazid adalah untuk memimpin umat Islam, merencanakan dan melaksanakan program masa depan dan melaksanakan ajaran Islam. Pada kenyataannya menjadi perusak ajaran Islam.
Yazid, sebagaimana disaksikan oleh sejarah, pikiran, perbuatan dan perasaannya dipenuhi penyelewengan. Adalah mengherankan bahwa sejarah kita dipenuhi cerita-cerita tentang penyelewengan sehari-hari Yazid yang dilakukan di depan mata mayoritas umat Islam di Suriah. Dia menenggelamkan diri dalam kemaksiatan, hiburan sia-sia, bermabuk-mabukan, main perempuan dan bernyanyi. Dia begitu ceroboh dan bermoral rendah sehingga memakaikan perhiasan emas kepada anjing-anjingnya.

Ahli sejarah, Baladuri menyatakan:
”Yazid memiliki seekor monyet bernama Abi Qais... yang selalu dibawanya bersama rekan-rekannya ke tempat minum anggur. Dia menaruh bantal untuk tempat duduk monyetnya yang mana tindakan ini menjijikkan. Dia akan membawanya di atas seekor keledai betina liar yang telah jinak, dengan pelana kerajaan. Abi Qais ikut dalam kompetisi adu cepat dengan kuda pada hari-hari tertentu.”

Ahli sejarah yang lain, Ibnu Athir, berkata:
”Diriwayatkan bahwa Yazid terkenal dengan permainan alat musik bersenar, minum anggur, bernyanyi, berburu, dan berkumpul bersama anak-muda, penyanyi wanita dan anjing-anjing peliharaan. Dia suka menonton adu domba, beruang dan monyet. Tiada hari tanpa mabuk. Dia juga suka mengikat monyet di atas kuda dengan pelana dan berkeliling dengannya dan memakaikan topi emas dan semacamnya kepada monyetnya, dan juga anak-anak muda yang mengikutinya. Ketika seekor monyet mati, dia menunjukkan kedukaannya. Dikisahkan bahwa alasan kematiannya adalah karena seekor monyet muda menggigitnya.”

Jika seorang khalifah berkelakuan seperti ini, bagaimana dengan yang lainnya. Seorang ahli sejarah, Mas’udi, tentang ini menceritakan: ”Gubernurnya Yazid dan orang-orang pemerintahannya terpengaruh oleh tindakan korup Yazid. Selama pemerintahannya, hiburan nyanyian menyebar ke seluruh Madinah. Alat-alat musik dipergunakan. Orang-orang mulai minum anggur di depan umum.”

Sejak Muawiyah memutuskan mengangkat anaknya, Yazid sebagai khalifah umat Islam menggantikannya dimana ini bertentangan dengan ajaran Islam, keputusan ini membuat resah masyarakat, terutama tokoh tokoh yang dikenal masyarakat Islam. Sejarah Islam berada di persimpangan jalan. Di depan mereka ada dua pilihan:
Menolak dengan keras pola hidup yang ditawarkan, apapun resikonya, atau
Menerima kenyataan hidup dengan artian melepas ajaran-ajaran Islam, sumber kemuliannya dan simbol kehormatannya diantara bangsa-bangsa .

Perlawanan: Kenapa?

Jika kita mempelajari kehidupan Imam Husain dan peristiwa-peristiwa yang disaksikannya, dan lingkungan sekitarnya, kita akan dengan mudah mendapatkan bahwa dia tidak punya peluang sedikitpun untuk bisa mengatasi penindasan Bani Umayah.

Walaupun dia yakin akan terbunuh, dia tetap memulai perlawanannya dan bertahan sampai akhir yang tragis, yang tak dapat dihindari.

Kenapa dia bertahan ? Atau malah, kenapa dia melakukan perlawanan ?

Tanpa revolusi Imam Husain, jalan hidup Bani Umayah dengan semua penyelewengan, penindasan dan korupsi, akan menjadi lambang Islam di benak semua orang sampai saat ini.

Imam Husain, anak kedua Imam Ali (as), dan cucu nabi suci Muhammad (saww), adalah halaman jernih buku Islam, dan penerjemahan yang jelas dari tujuan dan konsep Islam. Ini yang menyababkan dia jadi orang pertama menanggapi panggilan keimanan di masa dia hidup. Untuk menghormati komitmennya kepada Syariah, dia tidak punya pilihan lain daripada perlawanan. Tanpa itu tidak akan ada reformasi perbaikan kehidupan. Surat resminya yang pertama dari perlawanannya menunjukkan kenyataan ini:
”Dan aku tidak mengangkat senjata demi kesenangan belaka atau bertindak berlebihan dengan apa yang aku miliki. Aku tidak melakukan kejahatan ataupun penindasan. Tetapi aku bersedia bertempur untuk satu alasan yaitu memperjuangkan perbaikan umat kakekku, Nabi Allah (saww). Aku ingin menyerukan kebaikan dan melarang kejahatan dan mengarahkan urusan masyarakat seperti yang telah dilakukan kakekku dan ayahku Ali bin Abi Thalib (as).”

Ini adalah dasar justifikasi yang memberikan Imam Husain (as) dan pengikutnya alasan untuk memulai perlawanan. Sebuah perlawanan yang masih menggema di benak orang saat ini. Itu adalah sebuah revolusi yang melestarikan Islam dan menginspirasi pelaku revolusi sepanjang masa, untuk mempertahankan Islam dan bertempur dengan penuh semangat kepahlawanan dalam perang jihad suci melawan penindasan yang tidak adil.

Angin Perlawanan.

Tak lama setelah kematian Muawiyah, anaknya, Yazid, mengambil alih. Dia memerintahkan gubernur-gubernurnya untuk membaiat rakyatnya mendukung kepemimpinannya. Dia terutama menaruh perhatian kepada Imam Husain (as), karena keyakinan Bani Umayah bahwa dia adalah kekuatan perlawanan yang tak tergoyahkan diantara pihak oposisi. Pihak oposisi, minus Imam Husain, dengan gampang ditundukkan. Dengan cepat dia menulis surat kepada gubernurnya di Madinah, Walid bin Utba untuk membaiat rakyatnya, khususnya Imam Husain (as). Sungguh, Imam Husain menjelaskan penolakannya untuk membaiat Yazid. Dia berkata kepada gubernur Madinah, Walid bin Utba: ”Yazid adalah seorang yang korup, yang suka menenggak anggur, membunuh jiwa yang dilarang oleh Allah dan menunjukkan kemaksiatannya di depan umum. Seorang laki-laki sepertiku tidak akan membaiat orang seperti Yazid.”

Dalam jawabannya, Imam Husain menjelaskan kualifikasi pemimpin yang harus dibaiat, dalam suratnya kepada penduduk Kufah:” Demi hidupku, apakah fungsi seorang Imam kecuali yang berhakim kepada Kitabullah; seorang yang menegakkan keadilan, seorang yang memegang agama kebenaran, dan seorang yang mendedikasikan hidupnya kepada Allah.”

Itulah titik awal perlawanannya terjadap penyelewengan dan penindasan. Imam Husain (as) memutuskan untuk mengambil tanggungjawab perlawanan terhadap penindas, karena dia merupakan Imam yang sah dan benar dengan keimanan.

Dia pergi ke makam Rasulullah (saww), kakeknya dan berdoa disampingnya. Lalu dia mengangkat tangannya dan berdoa:
”Ya Allah! Ini adalah makam RasulMu Muhammad (saww) dan aku adalah anak dari anak perempuannya. Engkau tahu apa yang sedang kuhadapi. Ya Allah! Aku mencintai kebaikan dan membenci kejahatan. Aku memohon kepadaMu, wahai Tuhan yang Maha Mulia, dan meminta demi kuburan ini dan isinya, untuk menentukan jalan hidupku aku dengan apapun yang Kau dan nabiMu ridhai.”

Imam Husain cepat-cepat mengumpulkan anggota keluarganya dan sahabatnya yang setia. Dia memberitahukan keputusannya untuk pindah ke Mekah, rumah Allah. Orang yang tidak setuju dengannya semakin banyak. Mereka memintanya untuk menyerah. Mereka tidak berdaya dan khawatir akan dibunuh.

Imam Husain juga mempertimbangkan untuk mundur.

Rombongan kafilah Imam Husain (as) berjalan menuju Mekah. Nama Allah terucap dibibirnya, dan hatinya penuh dengan cinta kepada Allah. Ketika memasuki Mekah, dia menyitir kata-kata berikut: ”Dan ketika dia memalingkan wajahnya kearah Madain, dia berkata: Mungkin Tuhan akan memberi petunjuk ke jalan yang benar.”

Dia berdiam di rumah Abbas bin Abdul Muthalib. Kelompok besar orang-orang beriman berkumpul untuk menerima kedatangannya. Berita tentang kepergian Imam dari Madinah dan penolakannya membaiat Yazid telah menyebar. Lalu, berbagai delegasi dan surat dukungan kepadanya mulai berdatangan dari berbagai pelosok. Sebagai jawaban, dia (as) mulai mengirim buku-buku dan surat-surat yang berisi panggilan untuk revolusi dan menurunkan Yazid dari kekuasaan, yang mendapatkan dukungan lewat paksaan, teror, penyuapan dan penipuan. Usaha ini membuahkan hasil dengan bangkitnya semangat revolusi di Irak. Imam Husain (as) memantau reaksi dari umat Islam terhadap Yazid yang menduduki posisi khalifah. Kufah, ibukota Irak, sedang menyaksikan gerakan revolusi dan goncangan politik yang besar. Setelah lama dalam kondidi teror dan penindasan kekuatan oposisi melihat kesempatan emas untuk melepaskan diri dari kekuasaan tirani. Mereka mengadakan pertemuan-pertemuan darurat membahas naiknya ketegangan di Kufah dan tanggungjawab mereka menghadapi perubahan pemerintahan, setelah Yazid bin Muawiyah mengambil-alih urusan umat Islam.

Setelah mencapai kesepakatan, tokoh-tokoh Kufah menulis surat yang menyatakan penolakan mereka terhadap kekuasaan Bani Umayah dan dukungan terhadap Imam Husain (as). Surat-surat berdatangan di Kufah membawa pesan kepada orang Kufah untuk bergabung kepada Imam Husain (as), menjadikannya khalifah dan pemimpin umat Islam. Gelombang dukungan kepada Imam Husain (as) begitu besar sehingga banyak suku-suku menyiapkan tentara yang jumlahnya mencapai 100.000 pasukan. Imam Husain mengirim surat-surat khusus kepada rakyat disana dan terutama kepada pimpinan-pimpinan masyarakat.

Kufah menerima kedatangan Muslim bin Aqil dengan penuh kesetiaan dan tanggungjawab. Baiat diberikan kepada Imam Husain. Muslim, sampai titik ini, yakin kecenderungan sedang mengarah kepada Ahlul Bait (as) dan pesan Allah Taala. Apa yang sedang terjadi bukanlah hal yang biasa dan tidak bisa diabaikan. Ini adalah tujuan yang benar, bisa dicapai dan telah menyebar luas. Mereka harus bertindak cepat memanfaatkan situasi sebelum sesuatu terjadi dan merusak kesempatan yang ada. Muslim (ra) kemudian untuk memberitahu Imam Husain (as) tentang kecenderungan yang nyata. Dalam suratnya dia mengundang Imam untuk datang ke Kufah. Dia menulis:
”Sudah menjadi kepastian bahwa orang yang dikirim kafilah di gurun untuk melihat kondisi di depannya tidak akan berdusta kepada orang yang mengirimnya. Semua orang di Kufah bersama engkau. Delapan-belas ribu orang dari mereka telah memberi baiat kepadaku. Cepat-cepatlah datang kepada kami setelah membaca suratku ini. Salam dan berkah Allah selalu bersamamu.”

Sementara itu, Imam Husain (as) mempertimbangkan untuk menghubungi tokoh-tokoh Basrah dan membahas keputusannya untuk melawan penyimpangan dan ketidakadilan. Dia mengirim surat kepada mereka. Yazid bin Mas’ud mengirim surat yang menyatakan kesetiaan orang-orang dari suku Tamim dan Bani Sad kepada Ahlul Bait (as). Sangat disayangkan dan menyedihkan bahwa suratnya terlambat tiba. Lalu, pasukan Nashali tiba terlambat. Mereka terkejut dengan berita kesyahidan Imam Husain. Telah hilang kesempatannya untuk membantu cucu nabi Muhammad (saww).

Berbaliknya orang-orang Kufah.
Awalnya, orang-orang Bani Umayah menjadi panik ketika melihat kesuksesan orang-orang beriman dan wakilnya, Imam Husain bin Ali (as). Pimpinan tertinggi Bani Umayah membuat pertemuan-pertemuan yang membahas langkah mereka berikutnya. Mereka memutuskan untuk memberikan Yazid kabar terakhir dan situasi nyata di kota Mekah. Mereka menulis surat kepada kepalanya di Suriah memberitahukan perkembangan terakhir di Kufah.

Yazid terkejut dengan berita tersebut. Penasihat khususnya menyarankan untuk mengangkat Ubaidullah bin Ziyad sebagai gubernur Kufah. Ibnu Ziyad adalah seorang pembunuh, kekosongan jiwanya dari rasa kemanusiaan dan kegelaman hatinya kepada keluarga Rasulullah (saww) menjadikannya calon yang tepat. Ibnu Ziyad menerima surat pengangkatan Yazid sebagai gubernur baru di Kufah. Dia mengangkat saudaranya menggantikannya di Basrah, dan secepatnya pergi ke Kufah dengan membawa 500 divisi pasukan dari tentara Bani Umayah.
Beberapa pimpinan di Basrah ikut menemaninya, mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan orang-orang Kufah.

D Kufah, Ibnu Ziyad mengumpulkan orang-orang dan memberikan mereka arahan. Dia berjanji kepada mereka yang mendukung Bani Umayah akan mendapatkan hadiah yang menggiurkan. Dia mengancam lawan Bani Umayah dengan hukuman berat, misalnya kematian. Dibawah ancaman, dia memerintahkan para kepala suku untuk menyerahkan daftar orang-orang yang melanggar aturan Bani Umayah. Jika tidak, mereka sendiri akan dibantai di depan pintu rumah-rumah mereka.

Kemudian, atmosfir kegelapan merebak di seantero kota. Pertunjukan kekuasaan dari Bani Umayah, yang diwakili oleh Yazid, terjadi.Pimpinan kaum Syiah dan pendukung gerakan Islam yang diwakili Imam Husain terkurung.

Ketakutan mengibaskan sayapnya dan keputus-asaan memenuhi hati orang-orang. Peristiwa-peristiwa keji membuat suku-suku melindungi pimpinannya melawan Bani Umayah dengan berbagai bentuk. Ibu-ibu mengunci anak-anaknya karena khawatir akan membantu Muslim bin Aqil. Mereka yang mengejar kekayaan dengan cepat datang ke istana gubernur, bergembira dengan uang yang melimpah yang ditaburkan. Secara praktis, masyarakat Kufah menjadi kacau-balau. Pendukung-pendukung panggilan Islam, yang masih bebas, melakukan kontak secara rahasia dengan Muslim. Dia yang memerintahkan hal itu, dibawah tekanan yang baru timbul.

Mata-mata Bani Umayah dengan cepat menyebar teror ke seantero kota dan Ibnu Ziyad memakai segala cara penipuan untuk keluar dari krisis. Dia menebar gosip-gosip, lewat mata-matanya dan pengikutnya, bahwa pasukan besar Bani Umayah sedang menuju Kufah. Gosip menyebar dengan cepat. Gosip merebak dan teror berkuasa. Para wanita menghalangi anak-anaknya bergabung dengan Muslim, dan mereka yang sudah, dipaksa mundur. Para ayah menahan anak-anaknya dan saudara-saudara lelakinya mengambil bagian dalam aksi militer.

Situasi terus memburuk. Banyak orang meninggalkan pasukan Muslim, dan kepanikan terjadi. Pemaksaan dan penghalangan kepada perlawanan sukses dilakukan. Muslim, pada kenyataannya, tinggal hanya dengan sedikit pendukung setia yang melakukan pertempuran-pertempuran jalanan melawan Bani Umayah. Mereka membuat basis pertahanan di daerah lingkungan Kinda. Muslim bertempur dengan lemah dan kurang semangat.

Setelah semua terbunuh atau yang lain menelantarkannya, Muslim bertempur melawan tentara Bani Umayah sendirian. Akhirnya dia terpojok dan ditawarkan perlindungan. Ketika dibawa menghadap Ibnu Ziyad dia menolak menghormati perjanjian perlindungan dan memerintahkan Muslim untuk dieksekusi. Setelah memberikan wasiat terakhirnya, Muslim dibawa ke atas istana dan dilempar ke bawah. Kemudian dia dipenggal. Kepalanya, bersama kepala Hani dikirim ke Yazid di Suriah.

Lalu, dua pilar tokoh pergerakan Islam di Kufah dibantai. Pergerakan Muslim dan Hani, dua dari pahlawan padang pertempuran di Irak. Kufah dipermalukan dengan kekalahannya dan teror meluas. Tirani menguasai kehidupan rakyat.

Jalan ke Irak

Bani Umayah khawatir dengan berita kesuksesan Imam Husain di Mekah. Dia memenangkan hampir seluruh kota. Didasari rasa takut akan penyebaran kekuatan oposisi, Yazid mengirim tentara dari Suriah. Dia mengangkat Umar bin Said sebagai panglimanya.

Imam Husain (as) menerima kabar bahwa tentara Bani Umayah sedang menuju Mekah. Mengetahui tidak adanya penghormatan dari Bani Umayah kepada Rumah Suci Allah, dia memutuskan untuk meninggalkan kota. Tidaklah mungkin baginya untuk membiarkan kesucian kota dikotori karena dirinya. Dengan sadar, dia mengetahui nasib yang tak terelakkan di Irak. Dia menyatakannya dalam khotbahnya yang disampaikan di Mekah sebelum pergi. Dia berkata:
”Segala puji bagi Allah. Apa yang Allah kehendaki akan terjadi. Tidak ada kekuatan kecuali dari Allah. Salawat Allah kepada rasul-Nya. Kematian telah ditentukan pada setiap orang, sebagaimana kalung yang melingkar pada leher seorang anak perempuan. Bagaimana besarnya keinginanku untuk melihat penerusku. Sekuat keinginan Yakub (as)
untuk melihat anaknya Yusuf (as). Adalah lebih baik bagiku menemui kematian. Sebagaimana aku melihat anggota tubuhku dirobek-robek oleh serigala gurun, diantara Nawawis dan Karbala. Mereka akan memenuhi perut kosong dan kelaparan mereka. Tidak ada pelarian dari hari yang telah ditentukan Pena Ilahi.”

Pada hari kedelapan bulan Zulhijah (hari para jemaah haji melakukan ritual haji), di tahun 60 Hijriah, kafilah Imam Husain berangkat.

Sepanjang jalan ke Irak dia bertanya kepada musafir yang ditemuinya tentang keadaan Irak terakhir. Jawaban yang didapat hanya: ”Orang disana bersama Bani Umayah, tapi hati mereka bersamanya (Imam Husain) !”
Dia telah pasti bahwa keimanan akan lestari setelah kematiannya dan tidak ada yang mempertahankan keimanan kecuali dia. Karena hal inilah dia berjalan terus untuk mencapai kemenangan bersejarah yang nyata. Hanya dengan menumpahkan darahnya dan mengorbankan jiwanya dan orang yang bersamanya dari keturunan Rasulullah, Islam akan lestari.

Di Karbala

Hari itu hari Kamis, hari kedua Muharam tahun 61 Hijriah. Imam Husain, sahabat dan keluarganya berhenti dan berkemah di gurun Karbala untuk menjadi simbol kebebasan manusia dan slogan revolusi yang abadi sepanjang masa dan generasi selanjutnya.

Di pihak lain, tentara Bani Umayah, yang diwakili Ubaidullah bin Ziyad di Kufah, mulai mengumpulkan pasukan dan memobilisasinya ke Karbala. Ibnu Ziyad mengangkat Umar bin Sad sebagai panglima baru tentara tersebut. Umar menyerah kepada keinginan Ubaidullah ketika diancam kedudukan atas kekuasaannya di Ray. Umar berjuang dengan dua pertanyaan: Penyerahan diri kepada kehidupan dunia atau menolak keinginan duniawi dan menghindari pertempuran dengan Imam Husain. Akhirnya pertanyaan pertama yang menang dan dia memutuskan untuk mengambil peranan dalam pertempuran melawannya (Imam Husain).

Dia menunjukan perjuangannya dengan dua baris kalimat:
”Bisakah aku menolak jabatan gubernur di Ray, dimana itu merupakan ketakutanku, atau haruskan aku menerima tuduhan pembunuhan atas Husain? Haruskan aku membunuhnya, ketika aku berakhir dalam api, tanpa hijab, ketika jabatan gubernur di Ray akan menyejukkan mataku.”
Umar tidak lain adalah model dari orang-orang yang memerangi Imam Husain (as), dan mempunyai niat busuk dan tujuan keji.

Lalu dia memutuskan untuk menjalankan tugasnya dan bergerak menuju Nainawa (Karbala) memimpin pasukan dengan 4000 jumlah tentara. Saat kedatangannya, Umar bin Sad mengurung perkemahan Husain. Imam Husain (as) mulai bernegoisasi dengannya, melakukan berbagai pertemuan. Hasilnya, dia menulis kepada Ubaidullah bin Ziyad menyarankannya untuk melepaskan kurungannya terhadap perkemahan Husain, dan membiarkannya kembali ke arah tempat dia datang, lalu, menghindari pertumpahan darah yang akan terjadi. Ubaidullah menerima suratnya. Bahkan awalnya dia menghargai usulannya dan menginginkan untuk langsung menjalankannya. Tapi kemudian, Shimr bin Dil-Jawshan, seorang musuh berdarah dari Ahlul Bait (as), memperingatkan akan konsekwensinya. Ubaidullah menerima saran Shimr dan memberikan suran ancaman untuk dikirimkan kepada Umar bin Sad. Sebagian isi surat:
”Jadi, lihatlah jika Husain dan pengikutnya tunduk pada kekuasaanku dan menyerah, kirim mereka padaku dalam keadaan selamat. Jika mereka menolak, lalu serang dan perangi mereka dan hukum mereka, karena mereka pantas mendapatkannya. Jika Husain terbunuh, biarkan kuda menginjak-injak mayatnya, di bagian depan dan belakang.”

Lalu, logika Ibnu Ziyad memaksanya untuk menumpahkan darah dan memotong-motong mayat para syuhada seperti yang dilakukan nenek moyangnya kaum Quraisy pada jaman jahiliyah, yang memotong-motong mayat Hamzah, paman Nabi, pada masa sebelumnya. Tidak ada pilihan lain selain perang. Husain (as) biar bagaimanapun tidak akan menyerah kepada Ibnu Ziyad:
”Seorang sepertiku tidak akan pernah membaiat Yazid.”
Dia meneruskan: ”Aku tidak menginginkan kematianku kecuali dalam keadaan syahid, karena hidup dalam ketidakadilan tidak dapat kujalani.”

Dia (as) menyitir kata-kata Rasulullah (saww), yang disampaikannya kepada tentara Bani Umayah beberapa hari sebelumnya. Dia memberitahukan mereka:
”Wahai orang-orang, Rasulullah telah berkata: ’Siapa yang menyaksikan pemimpin tidak adil yang melanggar larangan Allah yang Maha Besar, memperlakukan pelayannya dengan penuh dosa dan keji dan telah melihat semua kejahatan ini tapi tidak melawan dengan perkataan maupun perbuatan, Allah akan menghukumnya.”

Imam Husain (as) melihat bahwa dia tidak bisa bernegoisasi dengan kelompok orang lemah semangat yang mendedikasikan dirinya untuk mendapatkan harta sitaan dan kekayaan. Dia meminta saudaranya, Abbas, sekali lagi untuk berbicara dengan tentara dan meminta penundaan satu malam. Umar bin Sad dan perwiranya setuju dengan penangguhan ini. Keesokannya, sejarah membuka halaman baru dalam kehidupan Islam. Laki-laki akan saling bertempur dalam pertempuran agung di Karbala.

Malam Asyura.

Bukanlah karena strategi militer Husain meminta penangguhan. Jalan kedepan terlihat jelas di benaknya, tapi Husain meminta penangguhan untuk melakukan ibadah malam itu. Dia menginginkan pada malam terakhir untuk bisa berbicara dengan keluarga dan sahabatnya, orang-orang yang dicintainya. Dia tahu apa yang akan terjadi. Lalu dia meminta saudaranya Abbas, kedua kalinya menghadap Ibnu Sad:
”Kembali ke mereka. Jika kamu bisa menangguhkan sampai pagi dan membujuk mereka untuk menjauhi kita selama malam hari, mungkin kita bisa beribadah kepada Tuhan selama malam hari, untuk berdoa dengan intim kepadaNya, membaca ayat-ayatNya, memohon dengan berpanjang-panjang dan meminta ampunanNya.”
Gelap datang. Keluarga Nabi (saww) dan pendukungnya tidak memejamkan mata. Beberapa dari mereka beribadah, memohon kemurahan Allah dan membaca Quran. Beberapa yang lainnya menyiapkan wasiat dan kata terakhir kepada keluarganya. Suara-suara dengungan seperti lebah. Mereka menyiapkan diri mereka untuk bertemu Tuhan mereka. Pedang dan tombak dipersiapkan. Malam itu mereka menjadi tamu tanah Karbala. Sejarah menanti peristiwa yang akan terjadi keesokan paginya. Pedang dan tombak menjadi pena yang menuliskan bagian teragung dari drama yang ditulis manusia.

Selama malam itu, Husain (as) mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya dan orang-orang yang dicintainya. Dia mengunjungi Al-Sajjad, Sukaina, Layla, Rabab dan Al-Baqir-Al-Saghir (as) kemenakannya. Dia membuat wasiat terakhir, sebagaimana dia memutuskan untuk menyirami kebun Islam dengan darahnya sendiri.

Hari Asyura.
Imam Husain (as) bersama dengan sahabatnya yang soleh, melewati malam sebelum hari kesepuluh Muharah dengan ibadah, berdoa dan bersiap untuk keesokan harinya. Malam berakhir. Terasa seperti sejarah yang panjang telah lewat. Hari kesepuluh Muharam, hari berdarah, jihad dan syuhada, hari keputusan perang, telah lahir.

Umar bin Sad mengatur barisan tempurnya, dan memobilisasi tentaranya untuk memerangi anggota kelima dari keluarga suci Nabi Muhammad, yang cintanya kepada umat dinyatakan Allah lewat kalimat-kalimat jelas di dalam Quran.

Imam Husain keluar dari kemahnya bersiap penuh menghadapi musuh. Perang tak terelakkan. Jadi, dia mulai memperkuat perkemahannya dimana wanita dan anak-anak menanti kejadian berikutnya.Dia memerintahkan untuk menggali lobang di belakang perkemahan. Ini untuk menghindari serangan dari belakang. Dia membuat api di lobang tersebut. Dengan amannya daerah belakang, pertempuran akan terjadi hanya di daerah depan.

Sekali lagi, Imam Husain (as) memberikan khotbah. Dia mengingatkan orang-orang Kufah kepada surat-suratnya dan utusannya, dan janji setia mereka tapi tidak membawa hasil. Dia menghadapi telinga-telinga yang tuli.

Dia menaiki kudanya, dan melarikan kudanya ke depan musuh yang berbahaya, dengan tangannya memegang Quran. Dia membukanya, mengangkat di atas tangannya dan berkata:
”Wahai orang-orang ! Mari kita berpegang pada Kitabullah dan Sunnah kakekku, Rasulullah (saww) untuk memutuskan urusan diantara kita.”
Tidak ada yang terpengaruh dengan kata-kata Imam Husain (as).
Malahan, Umar bin Sad memerintahkan pasukannya untuk maju dan memulai pertempuran. Dia sendiri, melepaskan anakpanahnya kearah perkemahan Imam Husain sambil berteriak:
”Semua menyaksikan bahwa aku orang pertama yang menyerang.”
Imam Husain menatap tanpa goyah dan penuh tekad menghadapi pasukan besar yang penuh perlengkapan. Seperti sedang menaiki bukit, penuh kepastian dan tak tergoyahkan, Imam Husain tak menunjukan sedikitpun kegentaran. Tidak pernah terpikir untuk mempertimbangkan kembali keputusannya. Tidak ada yang dituju kecuali Allah. Dia mengangkat tangannya berdoa:
”Ya Allah ! Hanya Engkau yang kupercayai didalam kesedihan. Engkau adalah harapanku ditengah kekejaman. Engkau tempat berlindung dari semua peristiwa yang kualami. Berapa banyak kesedihan yang melemahkan semangat, meninggalkan aku sendiri untuk menghadapinya, dengan kawan-kawan yang menelantarkanku, dan musuh yang bergembira atasnya. Aku mempersembahkan kepadaMu dan mengeluhkannya kepadaMu, karena keinginanku kepadaMu, hanya Engkau. Engkau membebaskan aku dan menghapuskan daripadanya. Engkau adalah yang Maha Penyayang diantara yang penyayang, pemilik semua kebaikan dan Tujuan Utama dari semua keinginan.”

Itu adalah merupakan gambaran dari malapetaka dan tragedi yang mengorbankan keturunan kenabian dan pemimpin umat Islam, cucu dari Rasulullah (saww) yang mulia, Husain bin Ali bin Abu Thalib.

Orng-orang saling bertempur, mulanya pertempuran satu lawan satu, kemudian pertempuran penuh. Adalah alami kekuatan tentara Yazid bin Muawiyah bisa membantai kelompok kecil pejuang yang jumlahnya tidak lebih dari 72 orang.

Keseluruhan tragedi Ahlul Bait (as) dan penderitaan hebat mereka di tangan musuh mereka ditunjukkan dengan sangat jelas dalam perang Karbala.

Perang terus berlanjut di Karbala. Penumpahan darah mulia terus mengalir, berjalan menuju keabadian. Sahabat-sahabat Imam Husain (as) roboh ke tanah, satu demi satu. Para pahlawan yang hebat dari keluarga Aqil dan dari keluarga Ali bin Abu Thalib (as) sekarang menjadi mayat-mayat dengan kepala terpotong, berserakan di dataran perang seperti bintang-bintang di langit musim gugur, atau seperti bunga lotus di atas permukaan kolam.

Sekarang serangan lebih intensif. Mereka hampir terkurung oleh tentara Bani Umayah. Beberapa tentara pergi ke perkemahan mencari barang berharga. Ibnu Sad memerintahkan: ”Bakar semua kemah.” Anak-anak menangis dan wanita juga bersedih, saat melihat tenda-tenda terbakar. Imam Husain (as) berdiri diantara mereka, bergabung dengan mereka tapi tersentuh dengan tangisan anak-anak dan ratapan para wanita. Dia mencari bantuan. Dia berteriak:
”Apakan ada yang mau melindungi wanita dari keluarga Rasulullah ? Apakah ada orang yang bertauhid yang takut kepada Allah dan menolong kami ? Adakah pendukung yang mencari balasan dari Allah dan membantu kami ?

Tidak ada jawaban kecuali ratapan wanita dan tangisan anak-anak. Imam Husain (as) tidak punya pilihan lain kecuali memerangi musuh. Hatinya dipenuhi kasih-sayang kebapakan dan kekhawatiran kepada keluarganya, kesucian, kesucian para Penolong (kaum Ansar) dan anak yatim dari para syuhada.

Dengan kepastian bahwa dia (as) tidak akan kembali selamat dari medan pertempuran, dia pergi mengunjungi tenda saudara perempuannya Zainab, memintanya untuk membawa anak bayinya untuk mencium bibirnya dan melihatnya untuk saat terakhir.
Imam Husain (as) mengulangi kalimat berikut:
”Ya Allah ! Aku mengeluh kepadamu tentang apa yang telah dilakukan kepada anak laki-laki dari anak perempuan Nabi”.

Dia (as) melihat sekeliling dan menyadari bahwa tidak ada yang membantunya. Sahabatnya telah berserakan menjadi mayat disekitarnya, mereka telah memenuhi tugasnya menegakkan kalimat. Imam Husain sendirian. Dia membawa pedang Rasulullah di tangannya dan semangat dari Ali (as) di kedalaman hatinya. Di lidahnya terdapat kata-kata penuh kesalehan. Ini adalah harinya yang dijanjikan Rasulullah (saww) dan tempat yang diberitahukan yang menjadi kediaman terakhirnya. Dia menantang musuhnya bertempur satu lawan satu. Satu demi satu mereka datang dan dikirim ke dunia lain.

Imam Husain (as) masih khawatir dengan perkemahannya, yang terus terbakar. Saat pasukan Ibnu Sad memotong jalannya ke perkemahan, dia menantang pasukan Bani Umayah: ”Aku bertempur melawanmu. Wanita tidak terlibat. Aku akan melindungi wanita keluargaku dari kejahatanmu selama aku masih hidup.”

Telinga dan hati mereka yang keji adalah mereka yang tuli dari perkataan anak laki-laki dari anak perempuan Rasulullah, Shimr bin Dil Jawshan dengan sepuluh orangnya maju kearah perkemahan keluarga Imam Husain (as), dan dia berteriak kepada mereka:
”Celaka kau. Jika kamu tidak punya keimanan dan tidak takut akan hari kiamat, berbuatlah sekehendakmu (di dunia), dan menjauhlah dari kemuliaan, dan dari milikku dan keluargaku dari tiranimu dan kebodohanmu.”

Serangan berlanjut dengan kejam, ketika Imam Husain (as) berdebat dengan mereka, sampai sebuah anak panah diarahkan ke Imam Husain (as) dan menancap di tenggorokannya. Tombak dan pedang memakan tubuhnya. Dia menjadi lemah karena darah yang melimpah keluar ketika tubuhnya menjadi metafor dari sebuah buku, yang mana setiap tancapan pedang dan panah menuliskan baris-baris agung dari kisah kepahlawanan.

Ada enampuluh-tujuh luka yang dengan diam-diam menuturkan kisah perjuangan dan jihad dan abadi menyuratkan bab-bab tragis dari penindasan dan ketidakadilan.

Musuh masih belum puas. Shimr mendekati Imam Husain (as) membawa pedangnya dan menebasnya beberapa kali, kemudian dia memenggal kepalanya. Dia membawa kepala itu dengan penuh kebanggaan untuk dipersembahkan kepada Ibnu Ziyad untuk mendapatkan hadiah.

Kepala yang tidak pernah berkata ”Ya” kepada penindas, yang selalu mengulangi:
”Demi Allah ! Tidak akan pernah memberikan tanganku kepadamu seperti orang terhina, ataupu tidak akan pernah melarikan diri seperti budak.”

Ibnu Sad memerintahkan penunggang kuda untuk menginjak-injakkan kaki kuda mereka diatas mayat suci Imam Husain (as). Kepala Imam Husain (as), bersama kepala sahabatnya yang lain (bahkan kepala bayi Ali Ashgar) diberikan kepada kriminal-kriminal, sebagai hadiah, dan membawanya kepada gubernur Bani Umayah di Kufah.

Selama tiga hari, mayat mayat suci dari syuhada dibiarkan terbaring di gurun Karbala sebelum orang-orang suku Bani Asad, yang tinggal didekat medan perang tersebut menguburkannya. Para kriminal, masih belum puas dengan semua ini, menawan dan membawa wanita dan anak-anak, termasuk anak Imam Husain (as) yang sedang sakit, Imam Zainal Abidin dari Kufah ke Suriah. Dibagian depan dari rombongan prosesi kesedihan ini, kepala-kepala Imam Husain dan pengikutnya.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: