Tulisan ini seperti biasa terkesan
membela Syi’ah tetapi hakikat sebenarnya hanya ingin menunjukkan
kedunguan para nashibiy. Sebagian orang yang memiliki kenifaqan di
hatinya memasukkan perkara ini dalam kumpulan sampah yang disebutnya “Ketawa Merinding Ala Syi’ah” tanpa mereka sadari bahwa perkara yang sama juga ada dalam kitab pegangan mereka.
باب قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ بَعْدَ الْحَدَثِ وَغَيْرِهِ
FiqihSyi’ah.
Dalam Fiqih Syi’ah
terdapat riwayat shahih di sisi mazhab mereka bahwa tidak mengapa
membaca Al Qur’an di kamar mandi. Berikut riwayat yang dimaksud:
عنه، عن إسماعيل بن مهران، عن محمد بن أبي حمزة، عن علي بن يقطين قالقلت لأبي الحسن عليه السلام: أقرء القرآن في الحمام وأنكح؟ قال: لا بأس
Darinya dari Isma’iil bin Mihraan
dari Muhammad bin Abi Hamzah dari Aliy bin Yaqthiin yang berkata aku
bertanya kepada Abul Hasan [‘alaihis salaam] “bolehkah aku membaca Al
Qur’an di kamar mandi dan nikah [di dalamnya]?”. Ia berkata “tidak
apa-apa” [Al Kafiy 6/316 no 31]
Kemudian kebolehan membaca Al Qur’an di kamar mandi ini telah dikhususkan oleh riwayat setelahnya yaitu sebagai berikut:
علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن حماد بن عيسى، عن ربعي بن عبد الله، عن محمد بن مسلم قال: سألت أبا جعفر عليه السلام أكان أمير المؤمنين عليه السلام ينهى عن قراءة القرآن في الحمام؟قال: لا إنما نهى أن يقرء الرجل وهو عريان فأما إذا كان عليه إزار فلا بأس
Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari
Hammad bin Iisa dari Rib’iy bin ‘Abdullah dari Muhammad bin Muslim yang
berkata aku bertanya kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam] “apakah amirul
mukminin ‘alaihis salaam telah melarang membaca Al Qur’an di kamar
mandi?”. Maka Beliau menjawab “tidak, sesungguhnya yang dilarang
hanyalah orang yang membaca sedang ia dalam keadaan telanjang, adapun
jika ia memakai kain maka tidak apa-apa” [Al Kafiy 6/316 no 32].
Al Majlisiy berkata bahwa riwayat pertama
sanadnya shahih dan riwayat kedua sanadnya hasan [Mir’at Al ‘Uquul
22/405]. Sebagian nashibiy menjadikan adanya riwayat ini sebagai bahan
celaan dan tertawaan terhadap mazhab Syi’ah. Anehnya mereka tidak
menyadari bahwa sebagian ulama ahlus sunnah juga ada yang berpendapat
demikian. Apakah lantas mereka akan dicela dan ditertawakan juga?
.
Fiqih Ahlus Sunnah.
Bukhariy menyebutkan dalam kitab Shahih-nya sebuah bab dengan judul sebagai berikut:
باب قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ بَعْدَ الْحَدَثِ وَغَيْرِهِ
وَقَالَ مَنْصُورٌ عَنْ إِبْرَاهِيمَ لاَ بَأْسَ بِالْقِرَاءَةِ فِى
الْحَمَّامِ ، وَبِكَتْبِ الرِّسَالَةِ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ . وَقَالَ
حَمَّادٌ عَنْ إِبْرَاهِيمَ إِنْ كَانَ عَلَيْهِمْ إِزَارٌ فَسَلِّمْ ،
وَإِلاَّ فَلاَ تُسَلِّمْ
Bab bacaan Al Qur’an dan lainnya setelah hadats.
Dan berkata Manshuur dari Ibrahiim “tidak apa-apa membaca Al Qur’an di kamar mandi dan menulis risalah tanpa berwudhu’. Dan berkata Hammad dari Ibrahiim “jika mereka memakai kain maka jawab salamnya tetapi jika tidak memakai kain maka jangan dijawab salamnya” [Shahih Bukhariy 1/79 Kitab Wudhu’ bab 36 ].
Dan berkata Manshuur dari Ibrahiim “tidak apa-apa membaca Al Qur’an di kamar mandi dan menulis risalah tanpa berwudhu’. Dan berkata Hammad dari Ibrahiim “jika mereka memakai kain maka jawab salamnya tetapi jika tidak memakai kain maka jangan dijawab salamnya” [Shahih Bukhariy 1/79 Kitab Wudhu’ bab 36 ].
Ibnu Hajar dalam Kitab Fath Al Bariy
Syarh Shahih Bukhariy memberikan penjelasan bahwa terjadi perselisihan
di kalangan ulama mengenai membaca Al Qur’an di kamar mandi, berikut apa
yang dijelaskan Ibnu Hajar,
قوله وقال منصور أي بن المعتمر عن إبراهيم أي النخعي وأثره هذا وصله سعيد بن منصور عن أبي عوانة عن منصور مثله وروى عبد الرزاق عن الثوري عن منصور قال سألت إبراهيم عن القراءة في الحمام فقال لم يبن للقراءة فيه قلت وهذا لا يخالف رواية أبي عوانة فإنها تتعلق بمطلق الجواز وقد روى سعيد بن منصور أيضا عن محمد بن أبان عن حماد بن أبي سليمان قال سألت إبراهيم عن القراءة في الحمام فقال يكره ذلك انتهى والإسناد الأول أصح
Perkataannya “dan berkata Manshuur
yaitu bin Mu’tamar dari Ibrahim yaitu An Nakha’iy “Atsar ini telah
disambungkan oleh Sa’id bin Manshuur dari Abi ‘Awaanah dari Manshuur
seperti ini. Abdurrazaq meriwayatkan dari Ats Tsauri dari Manshur ia
berkata “aku bertanya kepada Ibrahim tentang membaca Al Qur’an di kamar
mandi?” maka ia menjawab “tidak ada keterangan tentang membaca Al Qur’an
di dalamnya”. Aku [Ibnu Hajar] berkata “riwayat ini tidak menyelisihi
riwayat Abi ‘Awaanah, karena dikaitkan dengan kemutlakan pembolehannya”
Dan diriwayatkan juga oleh Sa’id bin Manshuur dari Muhammad bin Abaan
dari Hammaad bin Abi Sulaiman ia berkata “aku bertanya kepada Ibrahim
tentang membaca Al Qur’an di kamar mandi?”maka ia berkata “dimakruhkan
hal tersebut”. [Ibnu Hajar berkata] Sanad yang pertama [yaitu riwayat
Manshuur] lebih shahih. [Fath Al Bariy Syarh Shahih Bukhariy 1/344]
وروى بن المنذر عن على قال بئس البيت الحمام ينزع فيه الحياء ولا يقرأ فيه آية من كتاب الله وهذا لا يدل على كراهة القراءة وإنما هو أخبار بما هو الواقع بان شأن من يكون في الحمام أن يلتهي عن القراءة
Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari
Aliy [radhiallahu ‘anhu] yang berkata “sejelek-jeleknya bagian rumah
adalah kamar mandi, di dalamnya dilepaskan rasa malu dan tidak dibacakan
di dalamnya ayat dari Kitabullah”. [Ibnu Hajar berkata] Perkataan ini
tidak menjadi dalil makruhnya membaca Al Qur’an di dalam kamar mandi
karena riwayat itu hanyalah merupakan kabar kenyataan yang terjadi,
bahwa kamar mandi pada umumnya memang tempat yang tidak dibaca Al Qur’an
di dalamnya. [Fath Al Bariy Syarh Shahih Bukhariy 1/344]
وحكيت الكراهة عن أبي حنيفة وخالفه صاحبه محمد بن الحسن ومالك فقالا لا تكره لأنه ليس فيه دليل خاص وبه صرح صاحبا العدة والبيان من الشافعية وقال النووي في التبيان عن الأصحاب لا تكره فاطلق لكن في شرح الكفايه للصيمري لا ينبغي أن يقرأ وسوى الحليمي بينه وبين القراءة حال قضاء الحاجة ورجح السبكي الكبير عدم الكراهة واحتج بان القراءة مطلوبه والاستكثار منها مطلوب والحدث يكثر فلو كرهت لفات خير كثير ثم قال حكم القراءة في الحمام أن كان القارئ في مكان نظيف وليس فيه كشف عورة لم يكره وإلا كره
Dinukil pendapat makruh dari Abu
Hanifah, namun diselisihi oleh sahabatnya Muhammad bin Hasan dan Malik
keduanya berkata “tidak makruh karena tidak ada dalil khusus yang
melarangnya” demikian juga ditegaskan penulis kitab Al ‘Uddah dan Al
Bayaan keduanya dari kalangan ulama Syafi’iyyah. An Nawawi berkata dalam
At Tibyaan dari para sahabatnya yang mengatakan tidak makruh, lalu
memutlakkan kebolehannya. Namun dalam Syarah Al Kifaayah Lis Shaimariy,
ia berkata ”tidak selayaknya membaca Al Qur’an di kamar mandi”. Al
Hulaimiy menyamakan antara membaca Al Qur’an di kamar mandi dengan
membaca Al Qur’an pada saat buang hajat. As Subkiy Al Kabiir merajihkan
tidak dimakruhkannya hal tersebut dan berhujjah bahwa membaca Al Qur’an
telah diperintahkan, begitu juga memperbanyak membacanya juga sesuatu
yang diperintahkan, sedangkan hadas itu sering terjadi, seandainya hal
itu dimakruhkankan maka akan terluput kebaikan yang sangat banyak.
Kemudian ia berkata “hukum membaca Al Qur’an di kamar mandi, jika
membaca di tempat yang bersih dan tidak terbuka auratnya, maka tidak
dimakruhkan, kalau tidak seperti itu, maka dimakruhkan. [Fath Al Bariy
Syarh Shahih Bukhariy 1/344].
Berdasarkan penjelasan Ibnu Hajar di atas
maka ternukil pendapat yang memakruhkan membaca Al Qur’an di kamar
mandi dan ternukil pula pendapat yang membolehkan membaca Al Qur’an di
kamar mandi yaitu Ibrahim An Nakha’iy, Malik, Muhammad bin Hasan, An
Nawawiy, As Subkiy dan ulama mazhab Syafi’iy lainnya.
Penutup:
Dalam tulisan ini saya tidak merajihkan
pendapat yang mana. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa ada sebagian
ulama ahlus sunnah yang mengatakan hal yang sama dengan yang dikatakan
Imam ahlul bait mazhab Syi’ah. Tentu saja perkataan imam ahlul bait
menjadi hujjah di sisi mazhab Syi’ah dan tidak menjadi hujjah di sisi
ahlus sunnah begitu pula perkataan sebagian ulama ahlus sunnah tersebut
menjadi hujjah bagi sebagian pengikut ahlus sunnah dan tidak menjadi
hujjah bagi Syi’ah.
Perbedaannya, dalam mazhab Syi’ah perkara
ini telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih oleh Imam ahlul bait,
oleh karena itu saya tidak perlu repot-repot menukil pendapat para ulama
Syi’ah. Sedangkan dalam mazhab Sunni, perkara ini tidak ditemukan
adanya dalil yang membolehkan dan melarangnya dari Rasulullah
[shallallahu ‘alaihiwasallam] oleh karena itu para ulama ahlus sunnah
berselisih pendapat sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Kesimpulannya adalah mencela,
mentertawakan atau merendahkan mazhab Syi’ah karena perkara ini sama
saja seperti mencela, mentertawakan atau merendahkan sebagian ulama
ahlus sunnah.
Post a Comment
mohon gunakan email