Pesan Rahbar

Home » , , , , , , » Dalam referensi ahlusunnah sendiri banyak ayat Al Qur’an yang hilang ! Bagaimana menyikapinya? Silahkan pilih 3 cara

Dalam referensi ahlusunnah sendiri banyak ayat Al Qur’an yang hilang ! Bagaimana menyikapinya? Silahkan pilih 3 cara

Written By Unknown on Tuesday 2 September 2014 | 10:17:00


SYi’AH YANG MEYAKiNi TAHRiF  BUKANLAH  SYi”AH YANG ASLi.
ketika Ali diperangi, Ali menyuruh sahabatnya untuk membawa mushaf  Quran kepada para musuh yang membencinya (kubu Muawiyah), atas nama kitabullah, utusan Ali menyampaikan pesan dan ajakan damai dari Ali,  tapi apa yang dilakukan oleh orang-orang yang menyebut dirinya kaum muslimin tersebut, utusan yang membawa kitabullah itu diputuskan tangannya dengan pedang.

Ali tiada berputus asa, berkali-kali mengirimkan utusan untuk mengajak kepada perdamaian! Ali tidak akan menganggu mereka dengan apa yang mereka yakini, tapi meminta mereka untuk melakukan peperangan, tapi sudah tidak ada yang mereka inginkan kecuali kematian Ali. Maka setiap utusan perdamaian itupun dilukai atau dibunuh.

Sampai akhirnya Ali memutuskan untuk melakukan perlawanan dengan pengikutnya.
‘Ali bin Abu Thalib radhiyallaahu ‘anhu sendiri-pun sewaktu menjadi Khalifah sama sekali tidak mempermasalahkan Al-Quran mushaf ‘Utsmani ini. Tidak mencoba untuk mengoreksinya, tidak menambahnya, tidak menguranginya, tidak pula mencoba mengubahnya.  Sama sekali tidak, bahkan walau hanya satu surat, bahkan walau hanya satu huruf. Padahal, beliau sangat sangat-lah mampu untuk melakukannya jika memang Al-Quran itu ada yang keliru.

Hal ini benar benar menunjukkan kalau Al-Quran mushaf ‘Utsmani itu memang tidak ada masalah.Maka dengan itu, tidak ada hujjah untuk mengingkari keotentikan Al-Quran.Menghindari siksa dari Allah karena menyembunyikan ayat2 Al-Quran adalah suatu alasan yang sangat lebih dari cukup bagi ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallaahu ‘anhu untuk menyampaikan ayat2 Allah yang benar jika memang Mushaf Utsmani itu keliru.
Dan sangat tidak masuk akal sekali, kalau ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu lebih memilih untuk menyembunyikannya, padahal beliau  tahu apa ancaman Allah bagi orang  yang menyembunyikan ayat ayat Allah??

Mustahil Ali membiarkan kaum muslimin tersesat hingga akhir jaman karena mengimani al-Quran yg telah dirubah-rubah, serta mengabaikan ancaman Allah kelak di akhirat…. Jadi, apapun alasannya, tak ubahnya Ali ra. bahu membahu dalam kesesatan karena melakukan pembiaran terhadap al-Quran yg dirubah-rubah, padahal dia punya kekuatan dan kemampuan untuk memperbaikinya.

Dan justru dengan lebih memilih untuk menyembunyikan ayat2 Allah daripada menyampaikannya, maka berarti beliau radhiyallaahu ‘anhum telah melakukan satu dosa besar yang diancam dengan siksa yang berat.
Dan Allah juga berfirman tentang diri Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (Q.S Al-Maidah ayat 67).

Dan dengan lebih memilih untuk menyembunyikan ayat2 Allah daripada menyampaikannya, maka berarti beliau telah menyelisihi dari jalan yang telah ditempuh oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaiamana diperintahkan oleh Allah, yaitu untuk menyampaikan Al-Quran yang Allah turunkan.

sedangkan telah Allah mengancam :”Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila’nati Allah dan dila’nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela’nati,”(Q.S Al-Baqarah ayat 159).

Dan Allah mengancam :”Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih” (Q.S Al-Baqarah ayat 174)
Dan bagi seorang Syi’ah, satu orang ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallaahu ‘anhu yang diam dan tidak merevisi kembali Mushaf  ‘Ustmani itu saat beliau menjadi khalifah, seharusnya sudah cukup menjadi hujjah. Al Quran Ali sama dengan Al Quran Usmani.


Dalam referensi ahlusunnah sendiri banyak ayat Al Qur’an yang hilang.
Ibnu Majah meriwayatkan dari A’isyah, yang mengatakan bahwa Ayat Rajam dan Ayat Radha’ah yang ia simpan di bawah ranjang telah dimakan kambing dan tidak ada lagi dalam Al-Qur’an.
“Ta’wil Mukhtalaf Al-hadits” oleh Ibn Qutaibah, hal. 310.  Musnad Ahmad, jilid 6, hal. 269.
Aisyah mengatakan : “Pada masa Nabi, Surat Al-Ahzab dibaca sebanyak 200 ayat, tetapi ketika Utsman menulis mushaf ia tidak bisa mendapatkannya kecuali yang ada sekarang”
1. Suyuthi, dalam “Al-Itqan”, jilid 2, hal. 25.
2. Muntakhab Kanzul Ummal pada Musnad Ahmad, jilid 2, hal. 1.
3. Musnad Ahmad, jilid 5, hal. 132.

Umar bin Khattab mengatakan : “Apabila bukan karena orang-orang akan mengatakan bahwa Umar menambah-nambah ayat ke dalam Kitabullah, akan aku tulis ayat rajam dengan tanganku sendiri”
a. Shohih Bukhori bab “shahadah indal hakim fi wilayatil Qadla”.
b. “Al-itqan” oleh Suyuthi, jilid 2, hal. 25 dan 26.
c. Nailul Authar, kitab hudud ayat rajam, jilid 5, hal. 105.
d. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 260.
e. “Hayatus Shohabah” oleh Kandahlawi, jilid 2, hal. 12.

Bila anda belum tahu mengenai ayat rajam, berikut bunyinya :
“Idzaa Zanaya Syaikhu wa Syaikhotu Farjumuuhuma Al-battatan Minallaahi Wallaahu ‘Aziizun Hakiim”
lihat :
a. Suyuthi, dalam “Al-Itqan”, jilid 2, hal. 25.
b. Abdur Rozaq, dalam “Mushannif”, jilid 7, hal. 320.
c. Muntakhab Kanzul Ummal pada Musnad Ahmad, jilid 2, hal. 1.

Al-Bukhari di dalam Sahihnya, VI, hlm. 210 menyatakan (Surah al-Lail (92):3 telah ditambah perkataan “Ma Khalaqa” oleh itu ayat yang asal ialah “Wa al-Dhakari wa al-Untha” tanpa “Ma Khalaqa”. Hadith ini diriwayatkan oleh Abu al-Darda’, kemudian ianya dicatat pula oleh Muslim, Sahih,I,hlm. 565; al-Turmudhi, Sahih, V, hlm. 191.

Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 394; al-Turmudhi, Sahih, V, hlm. 191 menyatakan (Surah al-Dhariyat (51):58 telah diubah dari teks asalnya “Inni Ana r-Razzaq” kepada “Innallah Huwa r-Razzaq” yaitu teks sekarang.

Muslim, Sahih, I, hlm. 726; al-Hakim, al-Mustadrak, II, hlm. 224 meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari,”Kami membaca satu surah seperti Surah al-Bara’ah dari segi panjangnya, tetapi aku telah lupa, hanya aku mengingati sepotong dari ayatnya,”Sekiranya anak Adam (manusia) mempunyai dua wadi dari harta, niscaya dia akan mencari wadi yang ketiga dan perutnya tidak akan dipenuhi melainkan dengan tanah.”
Al-Suyuti, al-Itqan, II, hlm. 82, meriwayatkan bahwa ‘Aisyah menyatakan Surah al-Ahzab (33):56 pada masa Nabi SAWW adalah lebih panjang yaitu dibaca “Wa’ala al-Ladhina Yusaluna al-Sufuf al-Uwal” setelahnya “Innalla ha wa Mala’ikatahu Yusalluna ‘Ala al-Nabi…” Aisyah berkata,”Yaitu sebelum Uthman mengubah mushaf-mushaf.”.
 
al-Muslim, Sahih, II, hlm. 726, meriwayatkan bahwa Abu Musa al-Asy’ari membaca setelah Surah al-Saf (61):2, “Fatuktabu syahadatan fi A’naqikum…”tetapi itu tidak dimasukkan ke dalam al-Qur’an sekarang.
Al-Suyuti, al-Itqan, I, hlm. 226 menyatakan bahwa dua surah yang bernama “al-Khal” dan “al-Hafd” telah ditulis dalam mushaf Ubayy bin Ka’b dan mushaf Ibn ‘Abbas, sesungguhnya ‘Ali AS mengajar kedua-dua surah tersebut kepada Abdullah al-Ghafiqi, ‘Umar dan Abu Musa al-Asy’ari juga membacanya.

Malik, al-Muwatta’, I, hlm. 138 meriwayatkan dari ‘Umru bin Nafi’ bahwa Hafsah telah meng’imla’ “Wa Salati al-Asr” selepas Surah al-Baqarah (2): 238 dan ianya tidak ada dalam al-Qur’an sekarang. Penambahan itu telah diriwayatkan juga oleh Muslim, Ibn, Hanbal, al-Bukhari, dan lain-lain.
Al-Bukhari, Sahih, VIII, hlm. 208 mencatatkan bahwa ayat al-Raghbah adalah sebahagian daripada al-Qur’an iaitu “La Targhabu ‘an Aba’ikum” tetapi ianya tidak wujud di dalam al-Qur’an yang ada sekarang.
Al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, V, hlm. 192 mencatatkan bahwa di sana terdapat ayat yang tertinggal selepas Surah al-Ahzab (33):25 iaitu “Bi ‘Ali bin Abi Talib”. Jadi ayat yang dibaca, “Kafa Llahul Mu’minin al-Qital bi ‘Ali bin Abi Talib.”

Ibn Majah, al-Sunan, I, hlm. 625 mencatat riwayat daripada ‘Aisyah, dia berkata: ayat al-Radha’ah sebanyak 10 kali telah diturunkan oleh Allah dan ianya ditulis dalam mushaf di bawah katilku, tetapi manakala wafat Rasulullah SAWW dan kami sibuk dengan kewafatannya, maka ianya hilang.
Al-Suyuti, al-Itqan, III, hlm. 41 mencatatkan riwayat daripada ‘Abdullah bin ‘Umar, daripada bapanya ‘Umar bin al-Khattab, dia berkata,”Janganlah seorang itu berkata aku telah mengambil keseluruhan al-Qur’an, apakah dia tahu keseluruhan al-Qur’an itu? Sesungguhnya sebahagian al-Qur’an telah hilang dan katakan sahaja aku telah mengambil al-Qur’an mana yang ada.” Ini bererti sebahagian al-Qur’an telah hilang.

itu hanya segelintir riwayat.
masih jauh lebih banyak lagi riwayat-riwayat tentang “prahara” penyusunan Quran mushaf utsmani.
sesudah jelas banyak riwayat yang menjelaskan bahwa tidak semua ayat al Quran tertulis di dalam mushaf Quran utsmani, lalu mari kita amati, bagaimana kaum sunni mengingkari hal itu dan bersikukuh bahwa mushaf utsmani adalah kitab yang utuh, yang terpelihara, yang ssuai redaksi aslinya, tidak berkurang atau tidak bertambah sedikitpun dari yang seharusnya.

saya telah melihat, mereka menutup mata dari riwayat-riwayat tersebut. karena tidak sanggup menerima kenyataan.


Bagaimana menyikapinya? Silahkan pilih 3 cara…
A. Menolak isu tahrif tersebut karena bertentangan dengan ayat “ Dan sesungguhnya Kami benar – benar memeliharanya “ ( QS 15 : 9 ).
B. Menerima isu tahrif itu adalah kehendak Allah dikarenakan ayat “Al Baqarah ayat 106: “ Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya , Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Bukankah kamu mengetahui bahwa Allah swt. berkuasa atas segala sesuatu.”
C. Menerima kedua pendapat tersebut. Bahwa Allah menasakh dan membuat lupa beberapa ayat, kemudian menjaganya.

Syi’ah meyakini Al Quran Syi’ah sama dengan Al Quran Sunni karena :
Allah telah berfirman :”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” (Q.S Al-Hijr ayat 9).

Ini adalah jaminan Allah mengenai keterjagaan Al-Quran. Jika ada lembaran kertas yang berisikan catatan ayat Al-Quran yang hilang, atau rusak, atau hancur dengan sebab apapun, maka itu sama sekali tidaklah menghilangkan ayat Al-Quran-nya.

Sebab dahulu, yang menuliskan ayat2 Al-Quran, bukanlah hanya ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha saja, akan tetapi banyak sekali sahabat2 Nabi lainnnya, sehingga kalaulah ada yang rusak atau hilang atau hancur salah satu diantaranya, maka masih banyak lagi catatan2 yang lainnya.

Zaid bin Tsabit radhiyallaahu ‘anhu pernah mengatakan :

فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنْ الْعُسُبِ وَالرِّقَاعِ وَاللِّخَافِ وَصُدُورِ الرِّجَالِ

“Maka kutelusuri ayat2 Al-Quran yang terpisah-pisah dan aku kumpulkan dari pelepah kurma, kertas/kain, tembikar, dan dari dada para penghafal….”(Shahih al-Bukhari 9/47 no.7191).

Sebagai bukti bahwa ayat2 Al-Quran itu benar2 dicatat oleh banyak sekali sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada berbagai media dan sekaligus juga dihafal oleh beliau semua radhiyallaahu ‘anhum.Sehingga -sekali lagi- bahwa hilangnya atau hancurnya atau rusaknya salah satu catatan sama sekali tidak mengubah apa  apa.

Hal ini sebagaimana jika anda memiliki satu mushaf Al-Quran dan kemudian hilang, atau terbakar habis, atau dirobek oleh anak anda, atau dimakan oleh rayap, maka itu sama sekali bukan berarti kalau ayat2 Al-Quran juga ikut hilang, sebab masih banyak lagi jutaan mushaf yang lainnya yang menuliskan ayat2 yang sama di dalamnya, dan masih banyak jutaan orang penghafal Al-Quran yang menghafal apa2 yang terdapat dalam mushaf.

Maka, salah besar jika misalnya ada yang menyangka bahwa dengan hilangnya atau terbakarnya, atau robeknya atau rusaknya mushaf milik anda, itu berarti hilangnya pula ayat Al-Quran, sebagaimana salah pula orang yang membawakan riwayat ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha di atas lalu menyangka bahwa ayat Al-Quran itu ada yang hilang hanya karena salah satu lembar catatannya dimakan oleh binatang yang bilang bahwa Quran itu dijaga… ya Allah sendiri. Tapi kita juga harus toleran jika ada sekelompok kaum syiah yang meyakini bahwa penyusunan surah serta penempatan ayatnya adalah tidak sesuai dengan urutan turunnya al-Quran.
 
Sebab Al-Quran itu dikumpulkan dari semua orang yang pernah mendengar, atau menghafal, ataupun menuliskan ayat2 Al-Quran itu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Sebenarnya dari jaman Abu Bakar ra jg sudah dimulai koq pengumpulan ‘catatan’ Al-Quran, dan pada masa Umar semua yg punya cataan mushaf al-Quran di setor dan di tampung, termasuk semua catatan pihak saidina Ali ra, pada masa Utsman lah diseragamkan semua “catatan”, ingat hanya “catatan”, sementara sudah bejibun hafidz Quran dari 3masa khalifah tsb, klo ada beda ngapain aja tuh hafidz Quran, pastinya mereka duluan yg pada mengkoreksinya.

Seperti kita ketahui bahwa al-Quran yg turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun lebih itu adalah dalam bentuk serangkaian kalimat yg dibaca (lisan), dan bukan dalam bentuk tulisan (teks), sebagaimana dijelasakan dalam firman Allah swt,
“Dan Al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. “ (QS. Al- Isra’: 106).

Jadi, al-Quran diwahyukan kepada Rosulullah untuk disampaikan kepada umat dg cara disampaikan secara lisan, bukan berupa teks tertulis. Kemudian para sahabat menerimanya dg cara menghafalkannya, sebagian yg mempunyai kemampuan baca tulis, menuliskannya dlm berbagai media. Tulisan wahyu yg disimpan oleh para sahabat inilah kemudian dikenal dg “mushaf.” Maka wajar bila jumlah mushaf sahabat cukup banyak.
Pada periode Madinah, Islam berkembang sangat cepat hingga ke berbagai pelosok daerah. Demi mudahnya dakwah al-Quran, Nabi SAW memberikan ruksah (kemudahan) untuk memahami al-Quran dg bahasa & qira’at yg mereka kuasai selain bahasa Quraisy sebagai bahasa Quran. Hal inilah yg menyebabkan perbedaan diantara mushaf sahabat. Setelah Rosulullah wafat, dalam perkembangannya kemudian, Ustman menemukan adanya saling klaim ditengah2 umat bahwa bacaanya masing2 yg paling baik. Karena berpotensi perpecahan diantara umat karena saling klaim, maka Ustman mempunyai upaya mengembalikan bacaan al-Quran menjadi satu bacaan dg membentuk semacam panitia pengumpulan dan punilisan al-Quran yg dipercayakan kepada Zaid bin Tsabit, juru tulils wahyu Nabi SAW bersama para sahabat lainnya dan para hufadz berdasar pada mushaf Abu Bakar. Ustman kemudian memusnahkan mushaf-mushaf sahabat dan menyatukan bacaan mereka dalam mushaf Ustmani.

Demikian sekelumit sejarah kodifikasi al-Quran yg dilakukan pada era Khalifah Ustman.
Mengutip pendapat Muhammad Al Ghazali mengenai tuduhan perubahan al-Quran ini…. Jadi bagaimana mungkin terjadi pengubahan atas Al Qur’an sementara ada sekian banyak orang yang menghafal dan mempelajarinya di berbagai tempat yang berbeda? Artinya, pengubahan terhadap Al Qur’an hanya mungkin terjadi ketika seluruh orang yang menghafal Al Qur’an yang hidup di berbagai tempat yang berbeda itu sama-sama sepakat untuk melakukan perubahan terhadap Al Qur’an. Dan itu mustahil, karena umat islam tidak akan mungkin sepakat dalam kekufuran. Maka, jika benar Umar atau Usman telah mengubah Al Qur’an, niscaya para hufadz di ( orang yg hafal Al Quran ) kalangan sahabat yang jumlahnya sangat banyak, akan menyadari penyelewengan itu. Jika mereka semua diam atas penyelewengan itu, maka itu mustahil
Tapi jangan lupa bahwa Al Quran dan itrah ahlul bait adalah satu kesatuan !

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman yang artinya: “Tidak akan menyentuhnya kecuali orang-orang
yang disucikan
“. (Al-Waqi`ah: 79).
dan Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku hendak mensucikan kamu dari ar-rijs dengan sesuci-sucinya, hai ahlul bait.” (Q.S al Ahzab : 33).
jadi, jelas bukan, bahwa yang telah ditentukan oleh Allah yang bisa menyentuh al Quran itu adalah orang yang telah disucikan, yaitu ahlul bait nabi.
sebagaimana kata Ibn Hajar al-Haitsami, “Mazhab kami benar, tetapi mengandung kekeliruan. Mazhab selain kami keliru, tetapi mengandung kebenaran.”.


Tahrif Al-Qur’an.
Isu tahrif (distorsi) Al-Qur’an selalu dituduhkan kepada Syiah, meskipun masalah tahrif ini telah dibantah oleh para ulama Syiah di setiap masa dan generasi sejak ratusan tahun yang lalu.

Sebab, yang penting adalah keyakinan bahwa tidak ada ayat lain selain yang terdapat dalam Al-Quran di tangan kita”.[Syaikh Rasul Ja'fariyan, "Ukdzubah Tahrif al-Qur'an Baina asy-Syiah wa as-Sunnah", hal. 137]
Mengenai riwayat-riwayat lainnya, sebagian mesti dipahami sebagai tahrif maknawi (distorsi kontekstual), bukan tahrif lughawi (distorsi tekstual). Hal ini tampak pada riwayat dari Imam Muhammad al-Baqir, “Di antara ulah mereka yang suka membuang Al-Qur’an adalah membiarkan huruf-hurufnya, tetapi mengubah hukum-hukumnya.”[Al-Kulaini, Al-Kafi, jil. 8, hal. 53].

Namun demikian, bila ada riwayat yang mengindikasikan tahrif lughawi, maka hal ini telah dibantah oleh jumhur ulama Syiah. Sayid Muhsin al-Amin mengatakan tentang tahrif yang dinisbatkan pada Syiah, “Itu adalah bohong dan dusta. Para ulama Syiah dan para muhadis mereka menyatakan yang sebaliknya.” [Sayid Muhsin al-Amin, yan asy-Syi'ah, jil. 1, hal. 46 dan 51].

Bahkan hal ini ditegaskan pula oleh seorang ulama besar Ahlusunah, Rahmatullah al-Hindi, “Sesungguhnya Al-Qur’an al-Majid, di kalangan jumhur Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah, adalah terjaga dari perubahan dan pergantian. Apabila ada di antara mereka yang mengatakan adanya tahrif pada Al-Qur’an, maka yang demikian itu telah mereka tolak dan tidak mereka terima.” [Rahmatullah al-Hindi, Izh-harul Haq, jil. 2, hal. 128].

Saya senang mendengar bahwa isu tahrif di kalangan Ahlusunah, seperti riwayat Ibnu Majah tersebut, telah dibantah. Untuk itu, saya juga menunggu argumen bantahan lanjutan untuk riwayat-riwayat Ahlusunah berikut:
1. Khudzaifah berkata, “Pada masa Nabi, Saya pernah membaca Surat Al-Ahzab. Tujuh puluh ayat darinya saya sudah agak lupa bunyinya, namun saya tidak mendapatinya di dalam Al-Qur’an yang ada saat ini.”[Suyuthi, Durr al-Mantsur, jil. 5, hal. 180].
2. Ibn Mas’ud telah membuang surat Muawidzatain (an-Nas dan al-Falaq) dari mushafnya dan mengatakan bahwa keduanya tidak termasuk ayat Al-Qur’an. [Al-Haitsami, Majma az-Zawa'id, jil. 7, hal 149; Suyuthi, Al-Itqan, jil. 1, hal. 79].
3. Umar bin Khattab berkata, “Apabila bukan karena orang-orang akan mengatakan bahwa Umar menambah ayat ke dalam Kitabullah, maka akan aku tulis ayat rajam dengan tanganku sendiri.” [Shahih Bukhari, bab Syahadah Indal Hakim Fi Wilayatil Qadha; Suyuthi, Al-Itqan, jil. 2, hal. 25 dan 26; Asy-Syaukani, Nailul Authar, jil. 5, hal. 105; Tafsir Ibnu Katsir, jil. 3, hal. 260].

Laknat Bani Umayah Terhadap Ali bin Abi Thalib Sekali lagi, Bung Fahmi terlalu pede dengan hanya mengutip tulisan Shallabi. Mengenai Al-Madaini yang kata Shallabi dinilai tak bisa dipercaya oleh hampir semua pakar dan imam hadis Ahlusunah, adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lami Nubala justru berkata sebaliknya, “Ia memiliki pengetahuan yang menakjubkan tentang sejarah, peperangan, nasab, dan peristiwa-peristiwa di tanah Arab. Ia jujur (shadiq) dalam menyampaikannya. Ia seorang alim dalam isu seputar penaklukan (futuh), peperangan (maghazi), dan syair. Ia seorang yang jujur (shadiq) dalam hal itu.”.

Saya rasa Bung Fahmi tentu tahu bahwa Adz-Dzahabi adalah salah seorang imam rijal hadis Ahlusunah kenamaan. Namun demikian, saya juga ingin menambahkan riwayat tentang pelaknatan Ali tersebut dari sumber-sumber yang lain, di antaranya:
1. Suyuthi berkata, “Pada zaman Bani Umayyah terdapat lebih dari tujuh puluh ribu mimbar untuk melaknat Ali bin Abi Thalib, sebagaimana yang telah ditetapkan Muawiyah.” [Ibn Abil Hadid al-Mu'tazili, Syarh Nahjul Balaghah, jil. 1, hal. 356].
2. Ibn Abdu Rabbih berkata, “Ketika Muawiyah melaknat Ali dalam khutbahnya di Masjid Madinah, Ummu Salamah segera menyurati Muawiyah, “Sungguh engkau telah melaknat Ali bin Abi Thalib. Padahal, aku bersaksi, Allah dan Rasul-Nya mencintainya.” Namun, Muawiyah tidak peduli dengan kata-kata Ummu Salamah itu. [Ibn Abdu Rabbih, Al-Iqdu al-Farid, jil. 2, hal. 301 dan jil. 3, hal. 127].
3. Yaqut al-Hamawi berkata, “Atas perintah Muawiyah, Ali dilaknat selama masa kekuasaan Bani Umayyah dari Timur hingga Barat, di mimbar-mimbar masjid.” [Yaqut al-Hamawi, Mu'jam al-Buldan, jil. 1, hal. 191].

ingatlah kepada kisah Harits di dalam perang Jamal.
Haris kebingungan, karena dua pihak yang hendak berperang itu adalah sama-sama orang yang dicintai nabi.
Harits tampak bingung dan bersedih, ia berkata, “Wahai Amirul mukminin, saya jadi bingung, di satu sisi ada Anda, menantu Rasulullah,  Sahabat Rasulullah, sepupu Nabi saw, sedangkan di pihak lain ada Aisyah, Ummul Mukimin, Istri Nabi, Putri Abu Bakar, siapa yang benar dan siapa yang harus saya bela?”
Ali berkata, “Wahai Harits, cara berpikir mu itu terbalik! kebenaran tidaklah dapat dilihat dari siapa orangnya.”.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: