Pesan Rahbar

Home » , , , , , , » Kata Nasibhi (WAhabi) Al-kafi dianggap shahih oleh Syiah, Adalah Kejahilan Nasibhi itu sendiri

Kata Nasibhi (WAhabi) Al-kafi dianggap shahih oleh Syiah, Adalah Kejahilan Nasibhi itu sendiri

Written By Unknown on Tuesday, 12 August 2014 | 19:22:00

Al Kaafiy Sekarang Bukan Al Kaafiy Yang Dulu? : Kejahilan Nashibi.

Tulisan ini akan membahas tuduhan nashibi terhadap kitab hadis mazhab Syiah yaitu Al Kaafiy. Intinya menyatakan bahwa Al Kaafiy yang beredar sekarang itu dibuat oleh pihak-pihak tertentu setelah era Al Kulainiy. Seandainya tuduhan tersebut valid dan tegak berdasarkan hujjah yang kuat maka tidak masalah dan akan menjadi tambahan ilmu bagi para peneliti tetapi sayang sekali tuduhan tersebut hanya bualan dan kicauan dari orang-orang yang jahil akal pikirannya. Selamat menyimak,

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَسْبَاطٍ عَنِ الْحَكَمِ بْنِ مِسْكِينٍ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) مَتَى يَعْرِفُ الْأَخِيرُ مَا عِنْدَ الْأَوَّلِ قَالَ فِي آخِرِ دَقِيقَةٍ تَبْقَى مِنْ رُوحِهِ

Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari Husain bin Sa’id dari Aliy bin Asbaath dari Al Hakam bin Miskiin dari sebagian sahabat kami yang berkata aku bertanya kepada Abu ‘Abdullah “kapan orang terakhir mengetahui apa yang ada di sisi yang pertama”. Beliau berkata “pada akhir daqiiqah yang tersisa dari ruh-nya” [Al Kaafiy Al Kulainiy 1/274].

Nashibi mengartikan lafaz “daqiiqah” yang dimaksud sebagai “menit” kemudian ia merujuk pada kitab Mu’jam Al Wasiith

الدقيقة وحدة زمنية تعادل جزءا من ستين جزءا من الساعة ووحدة لقياس خطوط الطول أو العرض تساوي جزءا من ستين جزءا من الدرجة (مج) (ج) دقائق محدثة

Menit [ad-daqiqah] adalah satuan waktu yang sama dengan 1/60 jam, dan satuan bagi busur garis vertikal dan horisontal yang disamakan dengan 1/60 derajat. Jamaknya daqaaiq; dan ia merupakan istilah baru [muhdats].[Mu’jaam Al Wasiith 1/291].

Dengan dasar ini mereka mengatakan bahwa Al Kafiy jelas dibuat setelah era Al Kulainiy karena lafaz “daqiiqah” adalah istilah baru. Hujjah ini bisa dibilang rapuh dengan alasan sebagai berikut
Di sisi Syiah, mereka tidak mengartikan lafaz “daqiiqah” tersebut sebagai menit. Dalam kitab Majma’ Al Bahrain Fakhruddin bin Muhammad Ath Thuraihiy

و فيحديث الأئمة و قد سئل ع متى يعرف الأخير ما عند الأول؟ قال في آخر دقيقة تبقى منروحه
أي آخر جزء

Dan dalam hadis Imam ketika ditanya “kapan orang terakhir mengenal apa yang ada di sisi yang pertama”. Beliau berkata “pada akhir daqiiqah yang tersisa dari ruh-nya”. Maksudnya adalah “bagian akhir” [Majma’ Al Bahrain 5/163].

Jika dikatakan istilah “daqiiqah” adalah istilah baru maka secara kritis kita dapat bertanya kalau begitu kapan tepatnya istilah itu muncul?. Kemudian apakah yang dimaksud dengan istilah baru tersebut? Apakah kata tersebut dahulunya tidak ada kemudian baru muncul atau kata tersebut sudah ada sebelumnya kemudian entah kapan baru dipakai sebagai lafaz bermakna “menit”.
.
Istilah daqiiqah sudah ada pada zaman Ibnu Hazm yang lahir pada tahun 384 H [As Siyaar Adz Dzahabiy 18/185] dan digunakan untuk menyatakan waktu tertentu. Ibnu Hazm pernah berkata dalam kitabnya Al Muhalla

فإنه لو جاز أن يحول بين النية وبين العمل دقيقة لجاز أن يحول بينهما دقيقتان وثلاث وأربع

Maka jika dibolehkan adanya jeda antara niat dan amal, daqiiqah maka diperbolehkan juga adanya jeda antara keduanya dua daqiiqah, tiga dan empat [Al Muhalla Ibnu Hazm 1/77].

Sehingga pernyataan daqiiqah sebagai “istilah baru” itu harus diteliti kembali. Istilah daqiiqah sudah lama dikenal dalam ilmu Falaq. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Al Khawarizmiy dalam Mafatih Al ‘Ulum

فلك البروج، هو الدائرة التي ترسمها الشمس بسيرها من المغرب إلى المشرق في سنة واحدة، وهو مقسوم إثني عشر قسماً، وهي البروج. وقد ذكرت أسماءها في الفصل الأول. وطول كل برج منها ثلاثون درجة، وكل درجة ستون دقيقة، وكل دقيقة ستون ثانية

Falaq Al Buruj, adalah lingkaran yang menunjukkan pergerakan matahari dari barat ke timur dalam satu tahun, itu dibagi dalam 12 bagian yang disebut Buruj dan telah disebutkan nama-namanya dalam pasal awal. Jarak setiap buruj adalah 30 derajat, setiap derajat 60 daqiiqah dan setiap daqiiqah 60 tsaniyah [Mafatih Al ‘Ulum Al Khawarizmiy 1/41].

Disebutkan dalam Mu’jam Al Mu’allifiin bahwa Al Khawarizmiy penulis Mafatih Al ‘Ulum wafat tahun 387 H [Mu’jam Al Mu’allifiin 9/29]. Istilah “daqiiqah” yang terkait ilmu Falaq juga digunakan Al Ya’qubiy dalam kitab Tarikh-nya [Tarikh Al Ya’qubiy 1/26]. Dan Al Ya’qubiy disebutkan oleh Yaqut Al Hamawiy dalam kitab Mu’jam Al ‘Udaba bahwa ia wafat tahun 284 H [Mu’jam Al ‘Udaba 1/214].

Al Kulainiy sendiri wafat pada tahun 329 H, sehingga jika dibandingkan dengan masa hidup Al Ya’qubiy, Al Khawarizmiy dan Ibnu Hazm maka dapat disimpulkan bahwa pada masa hidup Al Kulainiy sudah dikenal istilah “daqiiqah”. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa istilah ini sudah ada di zaman Imam Ja’far. Terdapat riwayat dalam Al Kafiy yang menyebutkan bahwa di masa Imam Ja’far sudah berkembang ilmu Falaq

عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ خَالِدٍ عَنِ ابْنِ فَضَّالٍ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ أَسْبَاطٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَيَابَةَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) جُعِلْتُ لَكَ الْفِدَاءَ إِنَّ النَّاسَ يَقُولُونَ إِنَّ النُّجُومَ لَا يَحِلُّ النَّظَرُ فِيهَا وَ هِيَ تُعْجِبُنِي فَإِنْ كَانَتْ تُضِرُّ بِدِينِي فَلَا حَاجَةَ لِي فِي شَيْ‏ءٍ يُضِرُّ بِدِينِي وَ إِنْ كَانَتْ لَا تُضِرُّ بِدِينِي فَوَ اللَّهِ إِنِّي لَأَشْتَهِيهَا وَ أَشْتَهِي النَّظَرَ فِيهَا فَقَالَ لَيْسَ كَمَا يَقُولُونَ لَا تُضِرُّ بِدِينِكَ ثُمَّ قَالَ إِنَّكُمْ تَنْظُرُونَ فِي شَيْ‏ءٍ مِنْهَا كَثِيرُهُ لَا يُدْرَكُ وَ قَلِيلُهُ لَا يُنْتَفَعُ بِهِ تَحْسُبُونَ عَلَى طَالِعِ الْقَمَرِ ثُمَّ قَالَ أَ تَدْرِي كَمْ بَيْنَ الْمُشْتَرِي وَ الزُّهَرَةِ مِنْ دَقِيقَةٍ قُلْتُ لَا وَ اللَّهِ

Dari sebagian sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad bin Khaalid dari Ibnu Fadhdhaal dari Al Hasan bin Asbaath dari ‘Abdurrahman bin Sayaabat yang berkata aku bertanya kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam] “aku menjadi tebusanmu, orang-orang mengatakan bahwa tidak boleh mempelajari ilmu perbintangan, dan itu membuatku heran. Maka jika itu membahayakan agamaku maka tidak ada alasan bagiku untuk membahayakan agamaku dan jika itu tidak membahayakan agamaku maka demi Allah aku menyukainya dan suka untuk mempelajarinya. Beliau berkata “Hal ini tidak seperti yang orang-orang itu katakan, hal itu tidak membahayakan agamamu”. Kemudian Beliau berkata “sesungguhnya kalian mempelajari sesuatu dimana banyak yang tidak kalian ketahui dan sedikit tidak memberikan manfaat dengannya, kalian telah menghitung pergerakan bulan. Kemudian Beliau berkata “apakah kalian mengetahui berapa daqiiqah antara musytariy dan zuharah?”. Aku berkata “tidak demi Allah”…[Al Kaafiy Al Kulainiy 8/195].

Jika kita asumsikan bahwa kedua riwayat Al Kaafiy tersebut shahih di sisi Syiah maka hal ini menjadi hujjah bahwa di masa Imam Ja’far sudah dikenal istilah “daqiiqah” yang terkait dengan ilmu falaq dan digunakan juga untuk menyatakan bagian tertentu yang singkat atau kecil [merujuk pada riwayat Al Kafiy yang pertama]. Jadi bisa saja dikatakan bahwa istilah “daqiiqah” memang tidak ada di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi sudah ada di zaman Imam Ja’far [‘alaihis salam].

Adapun tuduhan terhadap kitab Al Kaafiy bahwa ia ditulis setelah era Kulainiy karena adanya lafaz “daqiiqah” merupakan tuduhan yang tidak beralasan. Hal ini karena kata daqiqah bahkan sudah disebutkan oleh ulama lain sebelum Al Kulainiy seperti As Shaffaar yang wafat tahun 290 H.

حدثنا محمد بن الحسين عن علي بن أسباط عن الحكم بن مسكين عن عبيد بن زرارة وجماعة معه قالوا سمعنا أبا عبد الله ع يقول يعرف الإمام الذي بعده علم من كان قبله في آخر دقيقة تبقى من روحه.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Husain dari Aliy bin Asbath dari Al Hakam bin Miskiin dari Ubaid bin Zurarah dan jama’ah yang bersamanya, mereka berkata “kami mendengar Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] mengatakan imam setelahnya mengetahui apa yang ada pada sebelumnya pada akhir daqiqah yang tersisa dari ruh-nya [Basha’ir Ad Darajaat hal 520, Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar].

Makna daqiqah dalam riwayat di atas bukanlah “menit” dalam pengertian waktu di zaman sekarang ini. Lafaz “daqiqah” tersebut lebih mungkin diartikan sebagai bagian yang singkat atau kecil.
.
Yang lucunya fenomena yang sama juga terdapat dalam kitab hadis ahlus sunnah, yaitu adanya hadis yang menggunakan lafaz “sa’ah” yang pada bahasa arab modern, istilah ini bermakna jam yaitu 60 menit.

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ سَوَّادِ بْنِ الأَسْوَدِ بْنِ عَمْرٍو وَالْحَارِثُ بْنُ مِسْكِينٍ قِرَاءَةً عَلَيْهِ وَأَنَا أَسْمَعُ – وَاللَّفْظُ لَهُ – عَنِ ابْنِ وَهْبٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ عَنِ الْجُلاَحِ مَوْلَى عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَهُ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لاَ يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلاَّ آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

Telah mengabarkan kepada kami ‘Amru bin Sawwaad bin Al Aswad bin ‘Amru dan Al Haarits bin Miskiin membacakan kepadanya dan aku mendengar –lafaz darinya-dari Ibnu Wahb dari ‘Amru bin Al Haarits dari Al Julaah maula ‘Abdul ‘Aziiz bahwa Abu Salamah bin ‘Abdurrahman menceritakan kepadanya dari Jabir bin ‘Abdullah dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang bersabda “hari Jum’at ada dua belas jam, dan di dalamnya terdapat waktu yang tidaklah seorang muslim meminta kepada Allah melainkan Allah akan mengabulkannya, oleh karena itu carilah pada akhir jam setelah Ashar” [Sunan Nasa’i no 1400].

Al Iraqiy berkata “sanadnya shahih” [Tharh At Tatsriib 4/59]. Lafaz sa’ah ini berbeda dengan lafaz sa’ah yang digunakan dalam Al Qur’anul Kariim. Kalau kita memperhatikan lafaz “sa’ah” yang sering digunakan di dalam Al Qur’an maka akan kita dapati bahwa makna sa’ah tersebut adalah sesaat, tidak disematkan dengan angka tertentu

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ

Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya [QS. Al-A’raf : 34].

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ كَأَنْ لَمْ يَلْبَثُوا إِلا سَاعَةً مِنَ النَّهَارِ يَتَعَارَفُونَ بَيْنَهُمْ قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِلِقَاءِ اللَّهِ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ

Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat saja di siang hari (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk [QS. Yunus : 45].

الساعة: ج ساعات، جزء من أجزاء الوقت، ومنه: مضت ساعة من الليل
ويراد به مقدار ستين دقيقة من الزمان الوقت الحاضر

As Sa’ah : jamak Saa’aat : adalah bagian dari waktu, dan darinya “sesaat dari malam telah berlalu”. Dan dimaksudkan pula dengannya adalah ukuran 60 menit dari waktu yang ada pada zaman sekarang ini. [Mu’jam Al Lughah Al Fuqaha 1/239].

Mudah saja dikatakan bahwa lafaz sa’ah yang disematkan dengan angka dua belas tidak bisa diartikan sebagai sesaat maka itu lebih tepat bermakna dua belas jam, dan makna satu jam disini dalam bahasa arab modern adalah 60 menit dan pembagian siang hari menjadi 12 jam [12 x 60 menit] itu perkara muhdats. Tetapi para ulama justru menjadikan hadis ini sebagai bukti bahwa pembagian satu hari menjadi 24 sa’ah dimana siang 12 sa’ah dan malam 12 sa’ah sudah dikenal di kalangan arab pada masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] walaupun makna sa’ah disana bukan satu jam sebagai satuan waktu enam puluh menit tetapi hanyalah bagian dari waktu siang atau bagian dari waktu malam.

Kalau kita melihat permasalahan ini secara mendalam maka akan nampak bahwa ulama ahlus sunnah ketika menafsirkan hadis “dua belas sa’ah” di atas mereka menjadikan hadis tersebut sebagai dasar bahwa pada zaman itu sudah dikenal pembagian waktu satu hari satu malam sebagai 24 sa’ah dan sa’ah disana bukan bermakna sebagai satu jam yang dalam bahasa arab modern adalah 60 menit. Maka seharusnya dengan cara yang sama hadis Imam Ja’far dengan lafaz “daqiiqah” bisa dijadikan dasar bahwa pada zaman Imam Ja’far memang dikenal istilah daqiiqah sebagai bagian waktu tertentu yang singkat bukan diartikan sebagai menit dalam bahasa arab modern.
.
Note : Tulisan nashibi yang dimaksud dapat dibaca disini http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/10/al-kaafiy-sekarang-bukan-al-kaafiy-yang.html ( Souce )

_____________________

Ulama syi’ah dan aswaja sunni membantah tahrif Quran dalam kitab Al Kafi Kulaini.

Pertanyaan: Apakah wujud riwayat tahrif dalam kitab al-Kafi?
Jawaban: Pertamanya, tidak semua riwayat dalam kitab al-Kafi itu Sahih, kami seperti Ahlusunnah, kami tidak mengakui semua riwayat dalam kitab al-Kafi itu Sahih.
Keduanya istilah tahrif dalam Kalam kami dan daripada al-Marhum Kulaini menyebut:

يُحَرِّفُونَ الکَلِمَ عَن مَوَاضِعِهِ ( سوره مائده آيه 41)
 
Berbicara kalam tentang tempat-tempatnya
ialah sesuatu yang kembali menunjuki makna ayat, bukannya sesuatu itu mengubah al-Quran.
Pengriwayatan daripada Usul al-Kafi yang menunjukkan adanya Tahrif masih boleh dijawab jika menurut semua jalan metodologi dari arah persanadannya sudah Sahih. Misalnya firman Allah (swt):

قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ ما كانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ (فِي عَلِي وَ الْأَئِمَّةِ ) كَالَّذِينَ آذَوْا مُوسي فَبَرَّأَهُ اللَّهُ مِمَّا قالُوا
اصول الکافي ، ج1  ص414 ، بَابٌ فِيهِ نُكَتٌ وَ نُتَفٌ مِنَ التَّنْزِيلِ فِي الْوَلَايةِ
.

Usul al-Kafi, jilid 1 halaman 414.

Firman Allah:
Kamu tidak berhak menyakiti Rasulullah (terhadap Ali dan para Imam) seperti orang-orang yang menyakiti Musa maka Allah berlepas tangan dengan apa yang telah mereka katakan

Dalam Sanad berasingan ini iaitu Sanad Sahih atau tidak, kita mampu menjawab:
Bermaksud daripada firman Allah (azj) dalam riwayat, bukanlah al-Quran (kerana kebanyakan riwayat adalah hadis-hadis Qudsi, diturunkan daripada Allah kepada RasulNya namun ianya bukan al-Quran).
Riwayat ini juga menerangkan subjek-subjeknya. Iaitu ketika ayat ini turun atas Rasulullah, pengriwayatan itu membawa maksud kepada Ali dan para Imam.

Akan tetapi Ahlusunnah memaknai ayat itu sebagai Tahrif, dan menerangkannya sebagai subjek yang lain pula.
Pegangan Syiah tidak mempercayai adanya Tahrif al- Quran. Menurut pandangan Syiah tiada tempat untuk Tahrif al-Quran walaupun banyaknya ulama Ahlusunnah mengiktiraf adanya Tahrif tersebut.
Syaikh Muhammad Abu Zuhrah menyatakan:

القرآن بإجماع المسلمين هو حجة الإسلام الأولي و هو مصدر له ، و هو سجل شريعته ، و هو الذي يشتمل علي كلها و قد حفظه الله تعلي الي يوم الدين كما وعد سبحانه اذ قال : «انا نحن نزلنا الذكر و إنا له لحافظون» و إن إخواننا الامامية علي اختلاف منازعهم يرونه كما يراه كل مؤمنين .
الامام الصادق ، محمد ابوزهره ، ص296 .

Saudara-saudara kita Syiah, adanya ikhtilaf mazhab dengan kita, pandangan mereka terhadap al-Quran sama sebagaimana semua Mukmin yang lain.

Imam Shadiq, Muhammad Abu Zuhrah, halaman 296.

و مهما يكن من أمر فإن هذا المصحف هو الوحيد المتداول في العالم الاسلامي ، بما فيه فرق الشيعة ، و منذ ثلاثة عشر قرناً من الزمان
مدخل إلي القرآن الكريم ، ص40_39

Sesungguhnya Mashaf al-Quran yang tersebar di seluruh dunia Islam sekarang ini adalah al-Quran yang sama dikalangan Syiah, (Iaitu Syiah juga menerima al-Quran ini) selama tiga belas abad.
Madkhal ilal Quranul Karim, 39-40.

Syaikh Rahmatullah al-Hindi:

القرآن المجيد عند جمهور علماء الشيعة الامامية الاثني عشرية محفوظ من التغيير و التبديل، و من قال منهم بوقوع النقصان فيه، فقوله مردود غير مقبول عندهم .
اظهار الحق ، تعليق الدكتور أحمد حجازي ، ص431 .

Al-Quran Majid menurut Jumhur Ulama Syiah Imamiah Ithna ‘Asyariyah terjaga daripada perubahan dan penggantian. Orang yang mengatakan bahawa di dalam al-Quran terdapat kekurangan, perkataannya tidak bisa diterima.

Syaikh Muhammad al-Ghazali:

سمعت من هؤلاء يقول في مجلس علم : إنّ للشيعة قرآنا آخر يزيد و ينقص عن قرآننال المعروف فقلت له : أين هذا القرآن ؟ و لماذا لم يطّلع الإنس و الجن علي نسخة منه خلال هذا الدهر الطويل ؟ لماذا يساق هذا الافتراء…
دفاع عن العقيدة والشريعة ، ص 253 ، 264 طبع مصر عام 1975 الطبعة الرابعة .

Saya telah mendengar daripada mereka dalam majlis ilmu mengatakan Syiah mempunyai al-Quran yang berbeda daripada al-Quran kita dan mempunyai subjek yang berkurang dan berlebih. Lalu saya mengatakan al-Quran ini di mana? Kenapa tidak seorang pun manusia dan jin menemui walau satu naskah daripadanya selama zaman yang panjang ini? Kenapa engkau membuat tuduhan tersebut?.

Seandainya semata-mata pengriwayatan hadis tersebut boleh menjadi kafir, maka seharusnya dari awal lagi hendaklah dihukumkan kafir terhadap penulis besar Ahlusunnah kerana mereka juga membawa riwayat yang berunsur Tahrif.

Telah berkata Ibnu Abbas, Umar telah berkata:

عن ابن عباس، قال: قال عمر: إِنَّ اللَّهَ بَعَثَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ آيَةُ الرَّجْمِ فَقَرَأْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا رَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ وَاللَّهِ مَا نَجِدُ آيَةَ الرَّجْمِ فِي كِتَابِ
اللَّهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ وَالرَّجْمُ فِي كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أُحْصِنَ مِنْ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِذَا قَامَتْ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوْ الِاعْتِرَافُ ثُمَّ إِنَّا كُنَّا نَقْرَأُ فِيمَا نَقْرَأُ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ أَنْ لَا تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ فَإِنَّهُ كُفْرٌ بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ أَوْ إِنَّ كُفْرًا بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ
صحيح البخاري،  ج8، ص25و 26 و صحيح مسلم، ج5، ص116و مسند احمد، ج1،‌ ص40 و 55. و السنن الدارمي، عبدالله بن بهرام الدارمي ، ج2، ص179و سنن ترمزي، ج2، ص442 و المحلى ، ابن حزم ، ج 11 ، ص 236 .

Sesungguhnya Allah mengutuskan Muhammad (s) dengan benar, dan menurunkan kitab kepadanya, maka di dalamnya ada satu ayat tentang Rejam, lalu kami membacanya dan memahaminya dengan seluruh pemahaman, dan kami melakukan hukuman rejam selepas Rasulullah (s). Saya takut selepas masa berlalu pergi, orang berkata demi Allah kami tidak menemui ayat ini dalam al-Quran lalu dengan sebab meninggalkan kewajiban tuhan ini, mereka akan tersesat……

Al-Sya’rani daripada ulama besar Ahlusunnah juga mengatakan:

ولولا ما يسبق للقلوب الضعيفة ووضع الحكمة في غير اهلها لبينت جميع ما سقط من مصحف عثمان .
الكبريت الاحمر على هامش اليواقيت والجواهر ، ص143 .

Jikalau tiada kemusykilan bagi hati orang yang lemah, dan ilmu berada pada bukan posisinya maka tidak akan jatuh seluruh penerangan di Mushaf Uthmani.
al-ahmar ‘ala hamisy al-Yuwaqit wal jawahir, halaman 143.

Mufassir tersohor al-Alusi selepas menyebut tentang riwayat-riwayat Tahrif berkata:

والروايات في هذا الباب اكثر من ان تحصى .
روح المعاني ، ج1 ، ص24 .خ

Pengriwayatan tentang ini terlalu banyak daripada yang telah diperhitungkan.
Ruhul Ma’ani, jilid 1, halaman 24.

نقل في الكتب القديمة ان ابن مسعود كان ينكر كون سورة الفاتحة من القرآن وكان ينكر كون المعوذتين من القرآن .
مفاتيح الغيب  ، ج 1 ، ص169 .

Fakhrudin al-Razi di dalam tafsirnya mengatakan ia telah menukilkan dari kitab-kitab lama sesungguhnya Ibnu Mas’ud berkata surah Fatihah dan Falaq dan al- Nas bukan bahagian daripada al-Quran.

Jadi sebelum kami menjawab (tentunya kami telah menjawabnya) Ahlusunnah juga harus menjawabnya.
===============================================
Apakah dalam kitab pengriwayatan hadis Syiah terdapatnya hadis berkenaan perubahan al-Quran?

Jawapan:
Hadis-hadis yang tidak menjadi pegangan akidah sebenar kami ini, dalam kitab Bihar dan daripada kitab-kitab muktabar Syiah selainnya memang ada. Daripada jumlah berkenaan perubahan al-Quran … apakah ini subjek yang baik adanya? Dan jikalau begini apakah jawabnya? Namun jikalau ia adalah hadis palsu maka pengriwayatan ini tidak ada gunanya bagi kita untuk menerangkannya. Mengapa ulama seperti Helli dan…. 

(Semoga rahmat Allah atas mereka) tidak menyedari atau tidak tahu kenapa jenis subjek seperti ini dihimpunkan dalam kitab-kitab mereka?

Seperti mana yang telah kita ketahui kitab-kitab seperti Biharul Anwar dan…. kitab yang pengriwayatannya adalah dari usaha bersungguh-sungguh penulisnya sendiri sehingga ia dapat dihimpun buat sekalian orang di masa mendatang. Mereka sendiri tidak mengistiharkan seluruh pengriwayatan yang telah dinukil dalam kitab ini adalah sahih.

Meneliti riwayat-riwayat ini sahih atau tidak sahih akan disandang oleh penyelidik dan pembacanya.
Berkenaan perubahan al-Quran, banyak juga diriwayatkan dalam kitab Syiah dan ianya ditemui lebih banyak lagi dalam kitab-kitab Ahlusunnah.

Periwayatan tentang ini tidak diterima oleh aqidah mazhab kami, dalam pandangan kami ianya ditolak dan tidak dapat diterima. Dengan ini banyaknya pengriwayatan perubahan al-Quran dirujuk kepada Syiah sebenarnya ada ditemui juga dalam riwayat Ahlusunnah. Dalam pandangan sanad dan dalil-dalil, riwayat dhaif dan ditolak ini terlalu banyak masalahnya. Beberapa riwayat dari klasifikasi ini dalam kitab-kitab seperti Kafi telah dinukil, tiada dalil atas perubahan al-Quran pun berlaku; mengapa pula ketika Imam (as) mengambil contoh pandangan seperti ini untuk tujuan menerangkan tafsir ayat, musuh-musuh Syiah mengambil kesempatan atas kejahilan dan ketidak fahaman dalam masalah ini, menyerang atas perubahan al-Quran.

Al-Kafi di Mata Ulama Syiah.

Syiah tidak mengamalkan hadis-hadis yang bertentangan dengan teks al-Quran WALAUPUN HADiS TSB TERDAPAT DALAM KiTAB KiTAB SYi’AH !!

Kamis, 04 Oktober 2012 13:41 Redaksi
Oleh: Ustad Husain Ardilla*

Syi’ah tidak menganggap al-Kafi dll kitab hadis sebagai kitab suci yang tidak mungkin salah ! Jadi kutipan sunni dari kitab kitab syi’ah bukan bermakna itu semua i’tiqad syi’ah.

kenyataan yang sebenarnya adalah Al Kafi di sisi Syiah tidak sama kedudukannya dengan Shahih Bukhari di sisi Sunni. Al Kafi memang menjadi rujukan oleh ulama Syiah tetapi tidak ada ulama Syiah yang dapat membuktikan bahwa semua riwayat Al Kafi shahih.

Dalam mengambil hadis sebagai rujukan, ulama syiah akan menilai kedudukan hadisnya baru menetapkan fatwa. Hal ini jelas berbeda dengan Shahih Bukhari dimana Bukhari sendiri menyatakan bahwa semua hadisnya adalah shahih, dan sudah menjadi ijma ulama(sunni tentunya) bahwa kitab Shahih Bukhari adalah kitab yang paling shahih setelah Al Quran.

cendekiawan Syiah menolak menyamakan kitab hadits al-Kafi dengan Shahih Bukhari. Mereka tidak setuju jika ada orang menilai kedudukan Al Kafi di sisi Syiah sama dengan Shahih Bukhari di sisi Sunni. Bahkan mereka menuduh orang yang melakukan hal itu bertujuan untuk mengelabui orang  awam yang tidak tahu-menahu tentang Al Kafi.

Mereka mengakui bahwa Al Kafi, karya al-Kulaini memang menjadi rujukan Syiah tetapi tidak ada ulama Syiah yang dapat membuktikan bahwa semua riwayat Al Kafi shahih. Karena itu, dalam mengambil hadits sebagai rujukan, ulama Syiah akan menilai kedudukan haditsnya, baru menetapkan fatwa. Hal ini jelas berbeda dengan Shahih Bukhari dimana Bukhari sendiri menyatakan bahwa semua hadisnya adalah shahih, dan sudah menjadi ijma ulama Sunni bahwa kitab tersebut paling shahih setelah Al Quran.

Mereka mengatakan bahwa Al Kulaini menuliskan riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam Ahlul Bait as. Ia hanyalah mengumpulkan hadis-hadis dari Ahlul Bait. Menurut mereka tidak ada sedikitpun pernyataan Al Kulaini bahwa semua hadis yang dia kumpulkan otentik. Oleh karena Itulah ulama-ulama sesudahnya telah menseleksi hadits dalam kitab tersebut dan menentukan kedudukan setiap haditsnya. Allamah Al Hilli misalkan, yang telah mengelompokkan hadis-hadis Al Kafi menjadi shahih, muwatstsaq, hasan dan dhaif. Sayyid Ali Al Milani menyatakan bahwa 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis muwatstsaq (hadis yang diriwayatkan perawi bukan Syiah tetapi dipercayai oleh Syiah), 302 hadis Qawiy (kuat) dan 9.480 hadis dhaif.

Al-Sayyid Muhammad al-Mujahid al-Tabataba’i (1242H) juga mengemukakan hujah bahwa tidak semua riwayat al-Kafi sahih. Hal ini diungkapkan oleh Hasyim Ma’ruf Husyein dalam kitabnya,  Dirasat Hadits. (hal.135-136).

Hal yang sama juga dikatakan oleh Ayatullah Husayn `Ali al-Muntazari mengenai ketidaksahihan riwayat dalam al-Kafi dalam kitabnya Dirasah  fi Makasib al Muharomah, juz III, hal. 123. Ia mengatakan: “Kepercayaan al-Kulaini akan kesahihan riwayat (di dalam kitabnya) tidak termasuk dalam hujah syar’iah karena dia bukanlah ma’sum di sisi kami.”.


Sudah jelas siapapun orangnya apakah Sunni atau Syiah, berhujjah dengan hadis dhaif adalah keliru. Kalau ia menganggap metode dirinya benar maka Syiahpun juga benar. Jika Syiah berdusta maka apa ia akan ikut berdusta pula. Bagaimana mungkin dikatakan dibolehkan berdusta asalkan digunakan untuk membantah kedustaan Syiah?

Kami tekankan bahwa kami tidak ada masalah dengan siapapun yang mau membela Ahlus Sunnah dan membantah Syiah ataupun sebaliknya tetapi harus diingat bahwa jangan sampai kebablasan dalam membantah sehingga memakai akhlak yang buruk dan lisan yang kotor. Apalagi jika lisan kotor tersebut diimbaskan juga pada orang lain yang bukan Syiah.  Dan yang paling menjijikkan adalah menjustifikasi lisan kotor-nya dengan mengatasnamakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Semoga Allah SWT melindungi kita dari keburukan yang seperti ini.

Ketika Sunni dan Syiah mengakui tuhan yang sama, nabi yang sama, Alquran yang sama, kiblat yang sama, syahadat yang sama, mengapa perbedaan harus dibesar-besarkan? 
 
Tentu jika membahas masalah Al Kafi membuat sebagian kalangan marah karena banyak riwayat-riwayat yang terdapat di dalamnya yang bertentangan dengan pemikiran Ahlusunnah. Namun saya sdikit memberikan gambaran tentang Al Kafi agar tidak terjadi perselisihan di tengah masyarakat Muslim yang di inginkan oleh musuh Islam. 
 
Mereka yang mengkritik Syiah telah membawakan riwayat-riwayat yang ada dalam kitab rujukan Syiah yaitu Al Kafi dalam karya-karya mereka seraya mereka berkata Kitab Al Kafi di sisi Syiah sama seperti Shahih Bukhari di sisi Sunni. Tujuan mereka berkata seperti itu adalah sederhana yaitu untuk mengelabui mereka yang awam yang tidak tahu-menahu tentang Al Kafi. Atau jika memang mereka tidak bertujuan seperti itu berarti Mereka lah yang terkelabui. 
 
Dengan kata-kata seperti itu maka orang-orang yang membaca karya mereka akan percaya bahwa riwayat apa saja dalam Al Kafi adalah shahih atau benar sama seperti hadis dalam Shahih Bukhari yang semuanya didakwa shahih.  Sungguh sangat disayangkan, karena kenyataan yang sebenarnya adalah Al Kafi di sisi Syiah tidak sama kedudukannya dengan Shahih Bukhari di sisi Sunni. 
 
Al Kafi memang menjadi rujukan oleh ulama Syiah tetapi tidak ada ulama Syiah yang dapat membuktikan bahwa semua riwayat Al Kafi shahih. Dalam mengambil hadis sebagai rujukan, ulama syiah akan menilai kedudukan hadisnya baru menetapkan fatwa. Hal ini jelas berbeda dengan Shahih Bukhari dimana Bukhari sendiri menyatakan bahwa semua hadisnya adalah shahih, dan sudah menjadi ijma ulama(sunni tentunya) bahwa kitab Shahih Bukhari adalah kitab yang paling shahih setelah Al Quran. 
 
Kedudukan Al Kafi.
 
Al Kafi adalah kitab hadis Syiah yang ditulis oleh Syaikh Abu Ja’far Al Kulaini pada abad ke 4 H. Kitab ini ditulis selama 20 tahun yang memuat 16.199 hadis. Al Kulaini tidak seperti Al Bukhari yang menseleksi hadis yang ia tulis. Di Al Kafi, Al Kulaini menuliskan riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam Ahlul Bait as. Jadi Al Kulaini hanyalah sebagai pengumpul hadis-hadis dari Ahlul Bait as. Tidak ada sedikitpun pernyataan Al Kulaini bahwa semua hadis yang dia kumpulkan adalah otentik. Oleh karena Itulah ulama-ulama sesudah Beliau telah menseleksi hadis ini dan menentukan kedududkan setiap hadisnya. 
 
Di antara ulama syiah tersebut adalah Allamah Al Hilli yang telah mengelompokkan hadis-hadis Al Kafi menjadi shahih, muwatstsaq, hasan dan dhaif. Pada awalnya usaha ini ditentang oleh sekelompok orang yang disebut kaum Akhbariyah. Kelompok ini yang dipimpin oleh Mulla Amin Astarabadi menentang habis-habisan Allamah Al Hilli karena Mulla Amin beranggapan bahwa setiap hadis dalam Kutub Arba’ah termasuk Al Kafi semuanya otentik. Sayangnya usaha ini tidak memiliki dasar sama sekali. Oleh karena itu banyak ulama-ulama syiah baik sezaman atau setelah Allamah Al Hilli seperti Syaikh At Thusi, Syaikh Mufid, Syaikh Murtadha Al Anshari dan lain-lain lebih sepakat dengan Allamah Al Hilli dan mereka menentang keras pernyataan kelompok Akhbariyah tersebut. (lihat Prinsip-prinsip Ijtihad Antara Sunnah dan Syiah oleh Murtadha Muthahhari hal 23-30). 
 
Dari hadis-hadis dalam Al Kafi, Sayyid Ali Al Milani menyatakan bahwa 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis Muwatstsaq(hadis yang diriwayatkan perawi bukan syiah tetapi dipercayai oleh syiah), 302 hadis Qawiy (kuat) dan 9.480 hadis dhaif. (lihat Al Riwayat Li Al Hadits Al Tahrif oleh Sayyid Ali Al Milani dalam Majalah Turuthuna Bil 2 Ramadhan 1407 H hal 257). Jadi dari keterangan ini saja dapat dinyatakan kira-kira lebih dari 50% hadis dalam Al Kafi itu dhaif. Walaupun begitu jumlah hadis yang dapat dijadikan hujjah (yaitu selain hadis yang dhaif) jumlahnya cukup banyak, kira-kira hampir sama dengan jumlah hadis dalam Shahih Bukhari. 
 
Semua keterangan diatas sudah cukup membuktikan perbedaan besar di antara Shahih Bukhari dan Al Kafi. Suatu Hadis jika terdapat dalam Shahih Bukhari maka itu sudah cukup untuk membuktikan keshahihannya. Sedangkan suatu hadis jika terdapat dalam Al Kafi maka tidak bisa langsung dikatakan shahih, hadis itu harus diteliti sanad dan matannya berdasarkan kitab Rijal Syiah atau merujuk kepada Ulama Syiah tentang kedudukan hadis tersebut. 
 
Catatan:
Oleh karena cukup banyaknya hadis yang dhaif dalam Al-Kafi maka sepatutnya orang harus berhati-hati dalam membaca buku-buku yang menyudutkan syiah dengan menggunakan riwayat-riwayat Hadis Syiah seperti dalam Al-Kafi. Dalam hal ini bersikap skeptis adalah perlu sampai diketahui dengan pasti kedudukan hadisnya baik dengan menganalisis sendiri berdasarkan Kitab Rijal Syiah atau merujuk langsung ke Ulama Syiah. 
 
Dan Anda bisa lihat di antara buku-buku yang menyudutkan syiah dengan memuat riwayat syiah sendiri seperti dari Al Kafi tidak ada satupun penulisnya yang bersusah payah untuk menganalisis sanad riwayat tersebut atau menunjukkan bukti bahwa riwayat itu dishahihkan oleh ulama syiah. Satu-satunya yang mereka jadikan dalil adalah Fallacy bahwa Al Kafi itu di sisi Syiah sama seperti Shahih Bukhari di Sisi Sunni. Padahal sebenarnya tidak demikian, sungguh dengan fallacy seperti itu mereka telah menyatakan bahwa Syiah itu kafir dan sesat. Sungguh Sayang sekali. 
 
Peringatan ini jelas ditujukan kepada mereka yang akan membaca buku-buku tersebut agar tidak langsung percaya begitu saja. Pikirkan dan analisis riwayat tersebut dengan Kitab Rijal Syiah (Rijal An Najasy atau Rijal Al Thusi). Atau jika terlalu sulit dengarkan pendapat Ulama Syiah perihal riwayat tersebut. Karena pada dasarnya mereka Ulama Syiah lebih mengetahui hadis Syiah ketimbang para penulis buku-buku tersebut. 
 
Politik Adu Domba Zionis.
 
Sebenarnya perbedaan pemahaman dalam masalah hadis diatas merupakan hal yang sepele yang tidak menimbulkan perpecahan umat, namun selalu dalam hal ini oleh musuh-musuh islam di gunakan sebagai politik adu domba di tengah masyarakat Islam. Menurut Prof Dr Musthafa ar-Rifa’i lewat kitab bertajuk Islamuna fi at-Taufiq Baina as-Sunni wa asy-Syi’ah, perbedaan antara Sunni-Syiah yang selama ini kerap muncul di permukaan, hakikatnya bukan perbedaan yang prinsipil. 
 
Perbedaan hanya terletak pada persoalan non-prinsipil furuiyyah yang dapat ditoleransi.  Dalam konteks masa kini, ar-Rafa’i meyakini, faktor lain yang amat kuat memengaruhi dan memanaskan konflik antara Sunni dan Syiah adalah kekuatan eksternal yang datang dari imperalis Barat.
 
Terutama politik dan konspirasi devide et impera (politik memecah belah) yang diterapkan oleh protokol kaum Zionis yang hendak memecah belah umat. Perpecahan faksi dan sekte yang tumbuh berkembang di internal Muslim, digunakan sebagai momen membenturkan dan mengadu domba berbagai kelompok itu.
 

 


Sunni menuduh hadis syi’ah penuh kebohongan, lalu Mengapa perawi hadis sunni (seperti Bukhari dll) tidak merujuk kepada Imam Ahlulbait As ?

Kenapa Bukhari tidak mengumpulkan hadis dari jalur Imam Ja’far Shadiq ??

Jika wahabi menuduh bahwa YANG SESAT BUKAN 12 iMAM, tetapi PENGiKUT nya, maka tanyakan kepada wahabi : “Mengapa perawi hadis sunni (seperti Bukhari dll) tidak merujuk kepada Imam Ahlulbait As ?”

Sebelum terlalu jauh, mari kita ingat beberapa fakta ini:
1. Syiah adalah mazhab Islam terbesar kedua setelah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
2. Syiah adalah mazhab yang dianut oleh jumlah sangat signifikan penduduk negara-negara Timur Tengah (untuk tidak mengatakan mayoritas penduduk Teluk), tempat asal Islam.
3. Syiah adalah mazhab yang dianut oleh mayoritas dua bangsa pemilik tradisi keilmuan paling kuat dan paling kaya di dunia Islam: Iran (90%) dan Irak (68%).

Kedua bangsa yang kemudian menjadi Muslim Syiah ini bisa dibilang adalah pemilik dua khazanah kultural pra Islam (Persia dan Akkadia, Asyuria & Babilonia di wilayah Mesopotamia) yang berkontribusi paling besar terhadap kemajuan umat manusia. Intinya, Persia + Babilonia memiliki “tradisi ilmiah” di atas kebanyakan penduduk Muslim lain–tanpa mengurangi rasa hormat kepada bangsa lain, karena saya sendiri bukan tergolong dari kedua bangsa tersebut.

Ada baiknya kita bertanya: Mungkinkah kedua bangsa pemilik tradisi ilmiah hebat dan kaya itu telah sampai pada tafsir agama yang lebih baik dari kita?

4. Mari kita lihat kembali data populasi Syiah berikut ini: Iran (90%), Iraq (65%–menurut sensus rezim Saddam yang berat sebelah dan tak menunjukkan fakta sebenarnya), Azerbaijan (85%), Lebanon (35-40%), Kuwait (35%–menurut sensus rezim Wahabi yang menyesatkan Syiah), Turkey (25%), Saudi Arabia (10-15%–menurut sensus rezim Wahabi yang mengkafirkan Syiah), Yaman (40%), Uni Emirat Arab (15-20 % –menurut sensus rezim tribal Al-Nahiyan yang anti Iran) dan Bahrain (80%–menurut sensus rezim Wahabi yang menyesatkan Syiah).

Nah, setelah melihat beberapa fakta di atas, marilah kita kembali ke topik hadis Syiah. Berikut saya berikan beberapa tanggapan umum—tanpa merujuk pada poin-poin yang ditulis sebelumnya karena saya takkan terlibat perdebatan:
 
1. Apa yang disebut Sunnah atau Hadis oleh Syiah bukan hanya berupa ucapan, perilaku, sikap, kebiasaan Nabi, tapi juga seluruh ma’shum yang berjumlah 14. Dengan demikian, era wurud Sunnah tidak berhenti dengan wafatnya Nabi Besar Muhammad–seperti kepercayaan Ahlus Sunnah–melainkan berlanjut terus hingga masa kegaiban besar Imam Muhammad bin Hasan Al-Askari pada 941 M atau 329 H. Karena faktor itulah kita-kitab hadis Syiah ditulis dan dikodifikasikan dalam beberapa periode yang berbeda. Tapi itu tidak berarti bahwa kitab hadis Syiah baru ada di abad ke7 seperti diklaim sebagian orang. Jumlah hadis Syiah juga lebih banyak daripada hadis Sunni. Saya tak pernah hitung berapa persis jumlah surplusnya, tapi yg jelas ada defisit  hadis dalam mazhab Sunni:-)

Dilema justru muncul di kalangan mazhab Ahlus Sunnah yang mengakhiri periode Sunnah pada masa Nabi Muhammad tapi penulisannya terjadi jauh setelah beliau wafat. Ada periode kevakuman yang panjang. Banyak peneliti yg mencurigai bahwa dalam periode ini telah terjadi produksi hadis palsu besar-besaran. Kecurigaan ini didukung berbagai fakta. Tapi saya lagi2 tak tertarik untuk lari2an ke topik lain.

Kekayaan Sunnah dalam mazhab Syiah ini beberapa ratus tahun lalu memunculkan dampak negatif berupa fenomena pola pikir Akhbari. Kaum Akhbari percaya bahwa sunnah 14 Ma’shum sudah mencakupi semua sisi kehidupan manusia, sehingga tak perlu ada ijtihad dan sebagainya. Tapi itu juga isu lain lagi.

2.  Setiap mujtahid dalam Syiah tidak menyandarkan keabsahan hadis pada si pengumpul hadis, namun mereka harus melakukan verifikasi, investigasi dan riset hadis sendiri untuk menilai kredibilitas perawi dan kebasahan matan hadis yang diriwayatkannya. Untuk itulah, mujtahid dalam mazhab Syiah harus menguasai metode verifikasi hadis dengan handal. Bahkan, banyak di antara mujtahid yang juga sekaligus adalah muhaddits. Misalnya, Ayatullah Khoei yang beberapa saat sebelum meninggal dunia sempat mengarang buku rijal sebanyak 24 jilid besar. Kalo ada yang mau lihat buku itu, bisa download di sini: http://www.shiatc.com/Lib_List/t5.xml

3. Karena poin 2 di atas, kalangan Syiah tak mengenal adanya kitab shahih. Pengumpul hadis tak pernah mengklaim hadisnya shahih. Dia hanya mengumpulkan dan menyerahkan penilaian pada masing-masing pakar, terutama yang ingin berijtihad. Allamah Majlisi sampai berhasil menuliskan hadis Syiah dalam 120 jilid.
Di bawah, saya copas satu bab penuh dari karya Allamah Hasan Shadr berkenaan dengan kepeloporan Syiah dalam bidang Hadis.

Bab Kedua.
Kepeloporan Syi’ah dalam Ilmu-ilmu Hadis.
Sebelum memasuki serangkaian pasal dari bab ini, kami akan mengajak pembaca untuk mengenal alasan kepeloporan kaum Syi’ah dalam ilmu-ilmu hadis. Di sini, saya hendak menyatakan bahwa di antara para sahabat dan para tabi’in terdapat perselisihan besar tentang penulisan ilmu. Banyak dari mereka enggan melakukan penulisan dan penyusunan ilmu, meski ada sebagian dari mereka yang melakukannya, di antaranya ialah Ali ibn Abi Thalib a.s. dan putra beliau yang pertama; Hasan Al-Mujtaba a.s .

Sebagaimana yang dikatakan oleh As-Suyuthi di dalam Tadribur Rawi, bahwa Nabi saw. telah mendiktekan kepada Ali bin Abi Thalib seluruh yang terkumpul di dalam sebuah kitab besar, dan Al-Hakam ibn ‘Uyainah telah melihat kitab tersebut berada di tangan Imam Muhammad Al-Baqir, yaitu ketika di antara mereka berdua terjadi perselisihan pen-dapat tentang suatu masalah, lalu Imam Al-Baqir a.s. mengeluarkan kitab itu dan menjelaskannya lalu menga-takan kepada Al-Hakam: “Ini adalah tulisan tangan Ali ibn Abi Thalib yang didiktekan oleh Rasulullah, dan inilah kitab pertama yang menghimpun ilmu-ilmu pada masa hidup Rasulullah saw.” Maka, kaum Syi’ah mengetahui bagai-mana penyusunan ilmu itu sebegitu rapihnya. Lalu, mereka segera menapaki langkah imam pertama mereka.

Sementara itu, terdapat sekelompok dari selain Syi’ah yang justru melarang penyusunan ilmu ke dalam sebuah kitab, sehingga mereka tertinggal. Al-Jahidz As-Suyuthi di dalam Tadribur Rawi mengatakan: “Karya-karya yang mun-cul pada jaman sahabat dan kaum tabi’in belum tersusun secara rapih, mengingat hafalan mereka yang kuat, selain juga sebelum itu mereka melarang upaya penulisan ilmu-ilmu, sebagaimana yang disinyalir di dalam Shahih Muslim, lantaran kekuatiran mereka terhadap pencampuradukan hadis dengan ayat-ayat Al-Quran. Di samping itu juga karena sebagian besar dari mereka tidak mampu menulis.”
Saya katakan bahwa hal ini terjadi pada selain sahabat dan tabi’in besar Syi’ah. Adapun sahabat dan tabi’in dari Syi’ah, mereka sudah merumuskan ilmu dan menyusunnya, sebagaimana usaha ini telah dimulai oleh Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s.

Pasal Pertama.
Tentang Orang Pertama yang Mengumpulkan Hadis dan Menyusunnya ke dalam Bab-bab.
Di antara orang Syi’ah yang pertama kali melakukan proses pengumpulan dan penyusunan itu ialah Abu Rafi’e; budak Rasulullah saw. An-Najasyi di dalam Asma’ Mushannifisy Syi’ah, mengatakan: “Dan Abu Rafi’e budak Rasulullah saw. mempunyai kitab As-Sunan wal Ahkam wal-Qodhoya”. Lalu ia  menyebutkan sanad-sanadnya sampai periwayatan kitab secara bab per bab;  mulai dari bab shalat, puasa, haji, zakat dan tema-tema muamalah. Kemudian dia menyatakan bahwa Abu Rafi’e telah menjadi Muslim secara lebih dahulu di Mekkah lalu hijrah ke Madinah dan ikut serta bersama Nabi saw. dalam banyak peperangan, dan setelah wafat beliau, ia menjadi pengikut setia Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s.

Abu Rafi’e tergolong sebagai orang Syi’ah yang saleh, dan turut terjun di dalam peperangan bersama Ali ibn Abi Thalib a.s. Ia juga dipercayai sebagai pemegang kunci Baitul Mal di masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib di Kufah.

Abu Rafi’e meninggal pada tahun 35 H., sesuai dengan kesaksian Ibnu Hajar di dalam At-Taqrib, di mana ia telah membenarkan tahun wafatnya di awal kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib a.s. Atas dasar ini, menurut ijma’ para ulama, tidak ada orang yang lebih dahulu dari Abu Rafi’e dalam upaya mengumpulkan hadis dan menyusunnya secara bab perbab. Karena, nama-nama yang disebutkan mengenai penghimpun hadis, semuanya muncul di pertengahan abad kedua.

Sebagaimana yang dicatat di dalam At-Tadrib oleh As-Suyuthi dan dinukil oleh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari, bahwa orang pertama yang mengumpulkan dan menyusun hadis-hadis berdasarkan perintah Umar ibn Abdul Aziz adalah Ibnu Syahab Az-Zuhri. Segera Ibnu Syahab memulai tugasnya di awal abad kedua Hijriyah, lantaran Umar ibn Abdul Aziz menjadi khalifah pada tahun 98 H. atau 99 H., dan meninggal pada tahun 101 H. Di dalam kitab Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam, kami secara khusus memberikan catatan-catatan kritis terhadap apa yang diterangkan oleh Ibnu Hajar Asqolani.

Pasal Kedua.
Tentang Orang Pertama dari Kaum Sahabat yang Syi’ah yang Mengumpulkan Hadis dalam Satu Bab dan Satu Judul.
Mereka adalah Abu Abdillah Salman Al-Farisi dan Abu Dzar Al-Ghifari. Rasyiduddin ibn Syarhasub di dalam kitab Ma’alim Ulamau Syi’ah, telah memberikan kesaksiannya atas hal ini. Begitu pula Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi, guru besar Syi’ah, dan Syeikh Abu Abbas An-Najasyi di dalam kitab-kitab mereka, yaitu Asma Mushannifis Syi’ah, ketika mengulas ihwal Abu Abdillah Salman Al-Farisi dan Abu Dzar Al-Gifari. Mereka melacak dan mampu menemukan sanad-sanadnya sampai periwayatan kitab Salman dan kitab Abu Dzar. Kitab Salman adalah kitab hadis Al-Jatsliq dan kitab Abu Dzar adalah sebuah surat khotbah yang di dalamnya menjelaskan pelbagai perkara dan peristiwa yang terjadi setelah wafat Rasulullah saw.

Sayyid Al-Khunsari di dalam kitab Ar-Raudhah fi Ahwalil ‘Ulama’ wa As-Sadat, menerangkan sebuah kitab yang dinukil dari kitab Az-Zinah karya Abu Hatim di juz ketiga; bahwa kata ‘syi’ah’ pada masa Rasulullah saw. adalah nama untuk empat sahabat, yaitu Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Miqdad Ibnul Aswad Al-Kindi dan Ammar ibn Yasir. Demikian ini telah disebutkan juga di dalam kitab Kasyful Dzunun dan kitab Az-Zinah karya Abu Hatim Sahal ibn Muhammad As-Sajastani yang wafat pada tahun 205 H.

Pasal Ketiga.
Tentang Orang Pertama yang Menyusun Kata-kata Hikmah dari Para Tokoh Tabi’in Syi’ah.
Para tokoh tabi’in Syi’ah itu melakukan penyusunan di satu masa, hanya saja saya tidak tahu mana di antara mereka yang melakukan hal ini lebih dahulu. Di antara mereka ialah Ali ibn Abi Rafi’e; sahabat Ali ibn Abi Thalib a.s sekaligus sebagai sekretaris dan pemegang kunci Baitul Mal.

An-Najasyi di dalam Asma Mushannifisy Syi’ah, pada bab nama-nama generasi pertama Syi’ah yang mengarang  kitab, mengatakan: “Ali ibn Abu Rafi’e adalah seorang tabi’in dari Syi’ah yang soleh yang bersahabat dekat dengan Amiril Mukminin  Ali ibn Abi Thalib a.s. Ia juga sekretaris beliau dan menghafal banyak hal dan menyusun sebuah kitab yang menghimpun pelbagai bab Fiqih, seperti Wudhu, Shalat, dan bab-bab hukum lainnya. Lalu ia menyambungkan sanadnya sampai ke Ali ibn Abi Thalib a.s.

Dan saudara Ali ibn Abu Rafi’e bernama Ubaidillah ibn Abu Radfi’e adalah sekretaris Ali ibn Abi Thalib a.s. Ia mengarang kitab Kitabul Qodho Amiril Mu’minin dan kitab Tasmiyatu Man Syahida ma’a Amiril Mu’minin Al-Jamala wash Shiffin wan Nahrawan minal Shohabah (kitab yang mencatat nama-nama para sahabat yang ikut bertempur bersama Imam Ali a.s. di perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan, pent.). Sebagaimana disebutkan di dalam kitab Al-Fehrest Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi dan di At-Taqrib karya Ibnu Hajar, bahwa Ubaidillah adalah sekretaris Ali ibn Abi Thalib dan perawi yang terpercaya.

Selain dua bersaudara di atas, adalah Ashbagh ibn Nubatah Al-Majasyi’ie. Ia sahabat khusus Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. dan berumur panjang hingga masih hidup setelah wafatnya Ali ibn Abi Thalib. Ashbagh telah meriwayatkan surat Ali ibn Abi Thalib tentang pelantikan Malik Al-Asytar sebagai gubernur Mesir. An-Najasyi berkata: “Surat itu adalah surat yang amat masyhur, juga sebagai wasiat Imam Ali ibn Abi Thalib kepada putranya yang bernama Muhammad ibn Hanafiyah.” Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi menambahkan dalam Al-Fehrest, bahwa Ashbagh ibn Nubatah juga mempunyai kitab Maqtalul Husein ibn Ali, yang darinya Ad-Dauri telah meriwayatkan.

Lalu di antara mereka ialah Sulaim ibn Qois Al-Hilali Abu Shadiq, sahabat dekat Ali ibn Abi Thalib. Ia menulis kitab yang sangat bagus. Di dalamnya ia meriwayatkan hadis-hadis dari Imam Ali ibn Abi Thalib, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Miqdad, Ammar ibn Yasir, dan sekelompok dari sahabat besar Nabi saw.

Syeikh Imam Abu Abdillah An-Nu’mani, yang perihal dirinya telah diulas pada pasal tokoh-tokoh tafsir terdahulu, di dalam kitab Al-Ghaibah, tepatnya setelah menukil sebuah hadis dari kitab Sulaim ibn Qois, mengatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dan perawi kaum Syi’ah tentang bahwa kitab Sulaim ibn Qois adalah salah satu kitab induk yang banyak dinukil hadis dan riwayatnya oleh para ulama dan perawi hadis Ahlul Bait. Dan kitab itu merupakan kitab rujukan kaum Syi’ah.” Sulaim ibn Qois wafat di awal pemerintahan Hajjaj ibn Yusuf di kota Kufah.

Lalu di antara mereka ialah Maitsam ibn Yahya Abu Soleh At-Tammar. Ia adalah salah satu sahabat dekat Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. dan pemegang rahasia-rahasia beliau. Maitsam menulis kitab yang bagus mengenai hadis. Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi, Syeikh Abu Amr Al-Kisyi dan Ath-Thabari di dalam Bisyarotul Musthafa, banyak menukil hadis dari kitab Maitsam ini. Maitsam wafat di Kufah karena dibunuh oleh Ubaidillah ibn Ziyad lantaran kesyi’ahannya.

Lalu di antara mereka ialah Muhammad ibn Qois Al-Bajali. Ia mengarang sebuah kitab yang diriwayatkan dari Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. Para tokoh tabi’in Syi’ah telah menyebutkan kitab tersebut. Mereka juga banyak meriwayatkan hadis-hadis darinya. Adapun Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi di dalam Al-Fehrest dari Ubaid ibn Muhammad ibn Qois mengatakan: “Saya mengajukan kitab ini kepada Abu Ja’far Imam Muhammad Al-Baqir a.s., lalu beliau berkata: ‘Kitab ini adalah perkataan Ali ibn Abi Thalib a.s.’. Dan di awal-awal kitab itu, diriwayatkan bahwa jika seseorang hendak melakukan shalat, katakanlah di awal shalatnya… Begitu selanjutnya hingga akhir kitab.”

Ya’la ibn Murroh mempunyai satu naskah kitab itu yang diriwayat-kannya dari Ali ibn Abi Thalib a.s. An-Najasyi di dalam Al-Fehrest telah membawakan sanad kesaksian atas keberadaan naskah tersebut dari Ya’la.

Lalu di antara mereka ialah Ibnul Hurr Al-Ja’fi. Ia seorang tabi’in Kufah dan penyair Persia. Ia memiliki sebuah naskah hadis yang diriwayatkan dari Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. Al-Ja’fi wafat di masa kekuasaan Al-Mukhtar. An-Najasyi telah menempatkannya dalam jajaran  pertama dari tokoh-tokoh pengarang Syi’ah.

Lalu di antara mereka ialah Tabi’ah ibn Sami’ie. Ia menulis sebuah kitab tentang bab zakat. An-Najasyi menyebutkan nama ini di generasi pertama dari tokoh-tokoh pengarang Syi’ah. Ia termasuk dari kaum tabi’in.

Lalu Harts ibn Abdillah Al-A’war, dari kota Hamadan. Ia termasuk sahabat Ali ibn Abi Thalib a.s. Harts meri-wayatkan pelbagai permasalahan yang disampaikan oleh Imam Ali a.s. kepada seorang Yahudi, kemudian Ammar ibn Abil Miqdad meriwayatkannya dari Abi Ishaq As-Sami’ie yang ia sendiri meriwayatkannya dari Harts Al-A’war, dan yang terakhir ini meriwayatkan dari Ali ibn Abi Thalib a.s., sebagaimana yang termaktub di dalam Al-Fehrest karya Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi. Harts wafat pada masa kekuasaan Ibnu Zubeir.

Namun, Syeikh Rasyiduddin Ibn Syahrasyub di awal kitabnya, Ma’alimul ‘Ulama’, membawakan sebuah daftar kitab mengenai jawaban yang disampaikan oleh Al-Ghazzali, bahwa kitab pertama yang dikarang di dalam Islam ialah kitab Ibnu Juraij tentang hadis dan tafsir huruf-huruf dari Mujahid dan ‘Atha’ di Mekkah, lalu kitab Mu’ammar ibn Rafi’e Ash-Shan’ani di Yaman, lalu kitab Al-Muwaththa’ karya Malik ibn Anas, lalu kitab Al-Jami’e karya Sufyan Ats-Tsauri.

Kemudian Ibnu Syahrasyub mengatakan: “Namun yang benar ialah bahwa orang pertama yang mengarang kitab di bidang ini dalam Islam ialah Amiril Mukiminin Ali ibn Abi Thalib lalu Salman Al-Farisi, lalu Abu Dzar Al-Ghifari, lalu Ashbagh ibn Nubatah, lalu Ubaidillah ibn Abu Ra’fi’e, lalu Shohifah Kamilah Sajjadiyyah dari Imam Ali Zainal Abidin a.s.”

Syeikh An-Najasyi menyatakan bahwa generasi pertama adalah para pengarang, sebagaimana telah disebutkan, tanpa menerangkan siapa yang lebih dahulu, juga tidak menjelaskan urutan-urutan mereka. Begitu pula Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi menyebutkan nama-nama mereka tanpa menerangkan urutan yang tegas. Mungkin Ibnu Syahrasyub telah menemukan sesuatu yang tidak mereka temukan.

Sebuah catatan di akhir pasal ini ialah bahwa Al-Jahidz Adz-Dzahabi tatkala menyinggung riwayat hidup Aban ibn Taghlab, memberikan kesaksian bahwa mazhab Syi’ah di kalangan tabi’in dan generasi setelah tabi’in amat berkembang dan dikenal dengan ketaatan, warak dan kejujuran. Lalu mengatakan: “Jika ucapan-ucapan mereka itu ditolak, maka akan banyak hadis-hadis Nabi saw. yang tercampakkan. Ini sebuah konsekuensi yang jelas keliru dan merugikan.”

Saya katakan, renungkanlah kesaksian Al-Jahidz ini, dan ketahuilah kemuliaan pada kepeloporan nama-nama mereka yang telah kami bawakan di sini dan nama-nama yang akan kami sebutkan setelah ini, yaitu dari kaum tabi’in Syi’ah dan generasi Syi’ah setelah mereka.

Pasal Keempat.
Tentang Orang Pertama Penghimpun Hadis di Pertengahan Abad Kedua.
Dari kaum Syi’ah yang menyusun kitab-kitab, pokok-pokok akidah dan perincian hukum-hukum yang diriwayatkan dari jalur Ahlul Bait adalah mereka yang hidup di masa-masa orang yang disebutkan berkenaan dengan orang pertama yang mengumpulkan riwayat dari kalangan Ahli Sunnah. Mereka meriwayatkan hadis-hadis dari Imam Ali Zainal Abidin a.s. dan dari putranya; Imam Muhammad Al-Baqir a.s. Di antara mereka adalah Aban bin Taghlab. Ia telah meriwayatkan tiga puluh ribu hadis dari Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s.

Ada pula Jabir ibn Yazid Al-Ja’fi yang meriwayatkan tujuh puluh ribu hadis dari Imam Muhammad Al-Baqir a.s., dari ayah-ayah beliau hingga Nabi saw. Jabir mengatakan: “Aku memiliki lima puluh ribu hadis yang belum aku sampaikan. Semuanya dari Nabi saw. dari jalur Ahlul Bait a.s.”

Terdapat nama-mana lain yang melakukan penghimpunan dan periwayatan hadis sebanyak di atas tadi, seperti Abu Hamzah, Zurarah ibn A’yan, Muhammad ibn Muslim Ath-Thaifi, Abu Bashir Yahya ibn Al-Qosim Al-Asadi, Abdul Mu’min ibn Al-Qosim ibn Qois ibn Muhammad Al-Anshari, Bassam ibn Abdullah Ash-Shairafi, Abu Ubaidah Al-Hidzaie Ziyad ibn Isa Abu Raja’ Al-Kufi, Zakaria ibn Abdullah Al-Fayyad Abu Yahya, Jahdar ibn Al-Mughirah Ath-Thaie, Hajar ibn Zaidah Al-Hadhrami Abu Abdillah, Muawiyah ibn Ammar ibn Abi Muawiyah, Khabbab ibn Abdillah, Al-Mutthalib Az-Zuhri Al-Qurasyi Al-Madani, dan Ab-dullah ibn Maimun ibn Al-Aswad Al-Qoddah. Saya telah singgung kitab dan riwayat hidup mereka masing-masing di dalam Ta’sisusy Sy’ah li Fununil Islam.

Sementara itu, Tsaur ibn Abu Fakhitah Abu Jaham telah meriwayatkan hadis-hadis dari sekelompok sahabat Nabi saw. Dan ia memiliki sebuah kitab yang masih utuh dari Imam Muhammad Al-Baqir a.s.

Pasal Kelima.
Tentang Orang Pertama dari Kaum Syi’ah yang Menyusun Kitab Hadis Setelah Pertengahan Abad Kedua.
Terdapat sekelompok sahabat Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. yang meriwayatkan hadis dari beliau dan menghimpunnya ke dalam empat ratus kitab dengan judul Al-Ushul. Syeikh Imam Abu Ali Al-Fadhl ibn Al-Hasan Ath-Thabarsi dalam kitabnya, A’lamul Wara’, mengatakan: “Dinukil secara hampir mutawatir oleh banyak kalangan, bahwa orang-orang yang meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. adalah mereka yang tergolong dari tokoh-tokoh besar yang jumlah mereka mencapai empat ribu. Lalu, mereka menyusun hadis-hadis tersebut ke dalam empat ratus kitab yang dikenal di tengah kaum Syi’ah dengan nama Al-Ushul. Kemudian, kitab ini diriwayatkan oleh sabahat-sahabat Imam Ash-Shadiq a.s. dan oleh para sahabat putra beliau; Imam Al-Kadzim a.s.”

Abul Abbas Ahmad ibn ‘Uqdah telah menulis sebuah buku terpisah dengan judul Kitabu Rijali Man Rowa ‘an Abi Abdillah Ash-Shadiq. Kitab ini secara khusus menghimpun nama-nama mereka yang meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. Bahkan, Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi menyebutkan dan menghitung karangan-karangan mereka masing-masing dalam bab ‘Ashabu Abi Abdillah Ash-Shadiq’ dari kitabnya;  Ar-Rijal, yaitu kitab yang disusun menurut nama-nama sahabat setiap dua belas imam a.s.

Pasal Keenam.
Tentang Jumlah Kitab yang Dikarang oleh Orang Syi’ah tentang Hadis dari Jalur  Ahlul Bait,
Sejak Masa Imam Ali bin Abi Thalib Sampai Masa Imam Hasan Al-Askari a.s.
Ketahuilah bahwa jumlah kitab-kitab itu melampaui angka 6600, sebagaimana yang dicatat oleh Syeikh Al-Jahidz Muhammad ibn Al-Hasan Al-Hurr, penulis Al-Wasail, dan ia menyatakan jumlah tersebut secara tegas pada bab keempat dari kitabnya yang besar tentang hadis, yaitu Wasailusy Syi’ah ila Ahkamisy Syari’ah. Tentang semua ini, saya juga telah membawakan data-data yang menguatkan jumlah di atas tadi dalam kitab saya yang berjudul Nihayatud Dirayah fi Ushuli Ilmil Hadis.

Pasal Ketujuh
Tentang Generasi Berikut yang Menjadi Tokoh Ilmu Hadis dan Penyusun Kitab-kitab Induk yang Hingga Kini Merupakan Rujukan Hukum-hukum Syar’ie Kaum Syi’ah
Ketahuilah bahwa tiga Muhammad pertama adalah tokoh terdepan dalam penyusunan empat kitab induk hadis. Yang   pertama ialah Muhammad ibn Ya’qub Al-Kulaini, penyusun kitab Al-Kafi. Ia wafat pada 328 H. Di dalam kitab tersebut, Al-Kulaini telah mencatat sebanyak 16099 hadis beserta sanad-sanadnya.
Kedua ialah Muhammad ibn Ali ibn Al-Husein ibn Musa ibn Babaweih Al-Qummi yang wafat pada tahun 381 H. Ia dikenal juga dengan panggilan nasab Abu Ja’far Ash-Shaduq. Ia telah menyusun 1400 kitab tentang ilmu hadis. Yang terbesar di antara kitab-kitab Ash-Shaduq adalah kitab  Man La Yahdhuruhul Faqih yang memuat 9044 hadis menge-nai hukum-hukum syariat dan sunah-sunah.

Ketiga adalah Muhammad ibn Al-Hasan Ath-Thusi yang terkenal dengan gelar Syeikh Ath-Thoifah. Ia telah menulis kitab Tahdzibul Ahkam, dan menyusunnya ke dalam 393 bab, dan mencatat hadis sebanyak 13590. Kitab Ath-Thusi lainnya adalah Al-Istibshor yang memuat 920 bab sehingga mencakup 5511 hadis. Inilah empat kitab induk yang menjadi rujukan utama kaum Syi’ah.

Kemudian tibalah peran tiga Muhammad terakhir yang juga tergolong sebagai tokoh kitab induk hadis. Pertama ialah Imam Muhammad Al-Baqir ibn Muhammad At-Taqie. Ia terkenal dengan nama Al-Majlisi. Kitab besar yang ditulis Al-Majlisi adalah kitab Biharul Anwar; fil Ahaditsil Marwiyyah ‘anin Nabi wal Aimmah min Alihil Ath-har. Kitab ini disusun sebanyak 26 jilid tebal. Dapat dikatakan bahwa kitab ini telah menjadi pegangan kaum Syi’ah. Sebab, tidak ada kitab induk hadis yang paling lengkap selain kitab Biharul Anwar. Sehingga Tsiqotul Islam Allamah An-Nurie menulis sebuah kitab yang berjudul Al-Faidhul Qudsi fi Ahwalil Al-Majelisi dan dicetak di Iran, yakni sebuah kitab yang secara khusus mengulas ihwal kehidupan Al-Majlisi.

Kedua ialah Muhammad ibn Murtadha ibn Mahmud, seorang tokoh besar ilmu hadis dan guru utama di dua bidang ilmu aqli dan naqli. Ia lebih dikenal dengan nama Muhsin Al-Kasyani dan julukan ‘Al-Faydh’. Kitab hadis yang ditulis olehnya berjudul Al-Wafi fi Ilmil Hadis, yang ketebalannya mencapai 14 jilid, dan setiap jilidnya merupa-kan kitab tersendiri. Kitab Al-Wafi menghimpun hadis-hadis yang tercatat di dalam empat kitab induk terdahulu berke-naan dengan akidah, hukum syariat, akhlak dan sunah-sunah. Usia Muhsin Al-Kasyani mencapai 84 tahun dan wafat pada tahun 1091 H. Dalam usainya yang panjang itu, ia telah mengarang kurang lebih dua ratus kitab dari pelbagai bidang ilmu.

Ketiga ialah Muhammad ibn Al-Hasan Al-Hurr Asy-Syami Al-‘Amili Al-Masyghari, seorang ulama hadis yang mayshur di kalangan ahli hadis dengan gelar Syeikhusy Syuyukh (guru para guru). Ia menulis kitab Tafshil Wasailsy Syi’ah ila Tahshil Ahadits Asy-Syari’ah, dan penyusunannya mengacu pada kitab-kitab Fiqih.

Di antara kitab-kitab induk hadis, kitab hadis Al-‘Amili ini tergolong sebagai kitab yang paling  banyak diakses oleh ulama. Di dalamnya telah tercatat hadis-hadis yang dinukil dari 80 kitab induk hadis, 70 dari jumlah itu dinukil dengan perantara, dan dicetak berkali-kali di Iran. Bisa dikatakan bahwa kaum Syi’ah sekarang lebih berkutat pada kitab ini. Muhammad Al-‘Amili dilahirkan pada bulan Rajab 1033 dan wafat pada tahun 1204 H. di Thus-Khurasan (sebuah propinsi di bagian barat Iran).

Dan Syeikh Allamah Tsiqotul Islam Al-Husein ibn Allamah An-Nurie telah menghimpun hadis-hadis yang tidak dicatat oleh penulis Wasailusy Syi’ah, dan menyu-sunnya di dalam sebuah kitab berjilid berdasarkan susunan bab-bab kitab Wasailusy Syi’ah, dan meletakkan judul Mustadrokul Wasail wa Mustanbatul Masail padanya. Secara umum, kitab ini bentuk lain dari kitab Wasailusy Syi’ah. Dan dapat dikatakan bahwa kitab Syeikh An-Nurie ini meru-pakan kitab hadis Syi’ah yang paling besar, di mana Syeikh telah menyelesaikannya pada tahun 1319 H. Ia wafat pada 28 Jumadil Akhir 1320 H.

Dan masih banyak kitab-kitab induk hadis yang disusun oleh ulam-ulama besar hadis Syi’ah. Di antaranya ialah kitab Al-‘Awalim sebanyak 100 jilid, karya seorang ahli hadis yang tersohor bernama Syeikh Abdullah ibn Nurullah Al-Bahrani. Ia hidup semasa dengan Allamah Al-Majlisi, pengarang kitab Biharul Anwar yang telah kami singgung di atas tadi.

Selain Al-‘Awalim adalah kitab Syarhul Istabshor fi Ahaditsul Aimmatil Athhar yang disusun Syeikh Qosim ibn Muham-mad ibn Jawad ke dalam beberapa jilid besar, mirip dengan kitab Biharul Anwar. Syeikh Qosim dikenal dengan panggilan Ibnu Al-Wandi dan panggilan Faqih Al-Kadzimi. Ia hidup semasa dengan Syeikh Muhammad ibn Al-Hasan Al-Hurr; pengarang kitab Wasailusy Syi’ah sebagaimana telah dising-gung. Syeikh Qosim adalah salah seorang murid utama  datuk saya, Allamah Sayyid Nuruddin; saudara Sayyid Muhammad pengarang kitab Al-Madarik.

Selain itu adalah kitab Jami’ul Akhbar fi Idhohil Istibshor. Kitab ini tergolong kitab hadis yang besar yang disusun ke dalam banyak jilid oleh Syeikh Allamah Abdullatif ibn Ali ibn Ahmad ibn Abu Jami’ Al-Haritsi Al-Hamadani Asy-Syami Al-‘Amili. Ia menimba ilmu dari Syeikh Al-Hasan ibn Abu Mansur ibn Asy-Syahid Syeikh Zainuddin Al-‘Amili, penulis kitab Al-Ma’alim dan Al-Muntaqo, dan salah seorang ulama abad keepuluh Hijriyah.

Selain itu adalah kitab induk besar yang berjudul Asy-Syifa fi Hadis Alil Mushtafa. Kitab ini mencakup beberapa jilid tebal, disusun oleh seorang ulama peneliti hadis yang ulung, yaitu Syeikh Muhammad Ar-Ridha, putra seorang ahli fiqih; Syeikh Abdullatif At-Tabrizi. Ia telah menuntaskan penulisan kitab tersebut pada tahun 1158 H.

Selain itu adalah kitab Jami’ul Ahkam yang tercetak hingga mencapai 25 jilid besar, disusun oleh Allamah Abdullah ibn Sayyid Muhammad Ar-Ridha Asy-Syubbari Al-Kadzimi. Pada masa itu, ia dikenal sebagai guru besar kaum Syi’ah dan penulis unggul. Dapat dikatakan bahwa setelah era Allamah Al-Majlisi, tidak ada ulama yang mengarang kitab lebih banyak daripada karya-karyanya. Sayyid Muhammad Ar-Ridha wafat di Kadzimain pada tahun 1242 H.

Pasal Kedelapan.
Kepeloporan Kaum Syi’ah dalam Menggagas Ilmu Dirayah dan Membaginya ke Beberapa Cabang Utama.
Orang pertama yang memulai perintisan dan penggagasan ilmu ini ialah Abu Abdillah Al-Hakim yang lahir di Naysabur (Khurasan-Iran). Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Abdullah. Ia wafat pada 405 H. Semasa hidupnya, Al-Hakim telah mengarang sebuah kitab yang berjudul Ma’rifatu Ulumil Hadis setebal lima jilid, lalu membagi ilmu-ilmu hadis ke lima puluh cabang.

Kitab Kasyful Dzunun telah menyatakan kesaksiannya atas kepeloporannya dalam penggagasan ilmu Dirayah, dan mengatakan: “Orang pertama yang memulai penggagasan dan pembagian ilmu Hadis ialah Muhammad ibn Abdullah dari Naysabur, kemudian diikuti oleh Ibnu Ash-Shalah.”.

Sementara itu, Al-Jahidz As-Suyuthi menyebutkan dalam kitab Al-Wasail fil Awail, bahwa orang pertama yang menyu-sun macam-macam ilmu Hadis dan membaginya menjadi beberapa cabang yang masih dikenal sampai sekarang ialah Ibnu Ash-Shalah. Ia wafat pada tahun 643 H.

Data ini tidaklah bertentangan dengan apa yang baru saja kami bawakan. Sebab, Al-Jahidz hendak menyebutkan orang pertama yang mengerjakan hal itu dari kaum Ahli Sunnah, sedangkan Abu Abdillah Al-Hakim adalah seorang Syi’ah berdasarkan kesepakatan para ulama Ahli Sunnah dan Syi’ah. Syeikh As-Sam’ani di dalam Al-Ansab, Syeikh Ahmad ibn Taimiyah dan Al-Jahidz Adz-Dzahabi di dalam Tadzkirotul Huffadz telah menyatakan secara tegas kesyi’ahan Al-Hakim.

Bahkan dalam Tadzkirotul Huffadz, misalnya, Adz-Dzahabi menuturkan kesaksian Ibnu Thahir yang mengatakan: “Aku bertanya kepada Abu Ismail Al-Anshari perihal Al-Hakim. Ia berkata: ‘Ia adalah perawi yang terpercaya di bidang hadis dan seorang Syi’ah yang penyimpang’”. Lalu Adz-Dzahabi mengatakan: “Lalu Ibnu Thahir berkata: ‘Abu Abdillah Al-Hakim adalah seorang syi’ah yang fanatik dalam taqiyah-nya, namun ia menampakkan kesunniannya dalam permasalahan khilafah dan khalifah pertama setelah Nabi saw. Ia berseberangan dengan Muawiyah dan sanak keluarganya seraya menampakkan pengakuannya pada mereka; suatu hal yang tidak bisa diterima pendiriannya ini.’”

Pada hemat saya, ulama-ulama kami, Syi’ah, juga telah menyatakan kesaksian mereka atas kesyi’ahan Abu Abdillah Al-Hakim, seperti Syeikh Muhammad ibn Al-Hasan Al-Hurr di akhir-akhir kitab Wasailusy Syi’ah. Di dalam Ma’alimul Ulama di bab ‘Al-Kuna’, ia menukil dari Ibnu Syarasyub yang menilai Al-Hakim sebagai salah seorang pengarang Syi’ah, dan ia memiliki kitab tentang keutamaan-keutamaan Ahlul Bait serta sebuah kitab khusus tentang keutamaan-keutamaan Imam Ar-Ridha a.s. Mereka juga menyebutkan sebuah kitabnya khusus berkenaan dengan keutamaan-keutamaan Fatimah Az-Zahra a.s.

Bahkan, Abdullah Afandi telah menerangkan riwayat hidup Al-Hakim secara rinci dalam kitabnya; Riyadul ‘Ulama, di bagian pertama yang secara khusus membahas Syi’ah Imamiyah. Begitu juga, Afandi menyebutkan nama-nya dan memberikan kesaksian atas kesyi’ahannya di bab ‘Al-Alqob’ dan di bab ‘Al-Kuna’. Di dalam kitab itu, ia menyebutkan dua kitab Al-Hakim yang berjudul Ushul Ilmil Hadis dan Al-Makhal ila Ilmish Shohih. Afandi mengatakan: “Dan Al-Hakim telah mencatat hadis-hadis tentang Ahlul Bait yang tidak termaktub di dalam Shahih Al-Bukhari, seperti hadis ‘Ath-Thoirul Masywi’ dan hadis ‘Man Kuntu Maulahu.’”

Setelah Abu Abillah Al-Hakim, terdapat sekelompok tokoh ilmu Hadis dari kaum Syi’ah yang mengarang di bidang Dirayah. Di antara mereka ialah Sayyid Jamaluddin Ahmad ibn Thawus Abul Fadhail. Dialah peletak istilah-istilah hadis Syi’ah Imamiyah berkenaan dengan pembagian hadis kepada empat macam; shahih, hasan, muwatssaq dan dzaif. Ibnu Tawus wafat pada tahun 673 H.

Dan di antara mereka ialah Sayyid Allamah Ali ibn Abdul Hamid Al-Hasani. Ia mengarang kitab Syarh Ushul Dirayatul Hadis. Ia juga melaporkan dari Syeikh Allamah Al-Hilli ibn Al-Muthahhar dan Syeikh Zainuddin yang masyhur dengan gelar Syahid Tsani (sang syahid kedua), sebuah kitab bernama Ad-Dirayah fi Ilmid Dirayah dan syarahnya yang berjudul Ad-Dirayah.

Dan di antara mereka ialah Syeikh Al-Husein ibn Abdul Shomad Al-Haritsi Al-Hamadani; pengarang kitab Wushulul Akhyar ila Ushulil Akhbar, Syeikh Abu Mansur Al-Hasan ibn Zainudin Al-‘Amili; pengarang kitab Muqod-dimatul Muntaqo dan Ushul Ilmil Hadis, dan Syeikh Bahauddin Al-‘Amili pengarang kitab Al-Wajizah fi Ilmi Diroyahtul Hadis. Saya telah menyarahi kitab terakhir ini dalam sebuah kitab yang saya namai dengan judul Syarah Nihayatud Dirayah, dan dicetak di India sampai menjadi kurikulum di sekolah-sekolah pen-didikan agama.

Pasal Kesembilan.
Tentang Orang Pertama yang Menyusun Ilmu Rijal dan Riwayat Hidup Para Perawi.
Ketahuilah bahwa Abu Abdillah Muhammad ibn Khalid Al-Barqi Al-Qummi adalah seorang sahabat Imam Musa ibn Ja’far Al-Kadzim a.s., sebagaimana Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi mencatat hal ini di dalam kitab Ar-Rijal. Dan Abul Faraj Ibnu Nadim di dalam Al-Fehrest, di awal bagian kelima pasal keenam mengenai riwayat tokoh-tokoh fiqih Syi’ah menyebutkan karya Al-Barqi di bidang ilmu Rijal. Di sana ia mengatakan: “Dan di antara karya-karya Al-Barqi adalah Al-‘Awidh, At-Tabshiroh dan Ar-Rijal. Di dalam kitab terakhir ini, ia menyebutkan nama-nama yang meriwayatkan hadis-hadis dari Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.”
Setelah Al-Barqi ialah Abu Muhammad Abdullah ibn Jablah ibn Hayyan ibn Abhar Al-Kinani. Ia mengarang kitab Ar-Rijal. Abdullah Al-Kinani berusia panjang dan wafat pada tahun 219 H.

As-Suyuthi dalam Al-Awail mengatakan: “Orang pertama yang membahas ilmu Rijal ialah Syu’bah.” Jelas, bahwa Syu’bah datang setelah Abdullah ibn Jablah, karena yang pertama wafat pada tahun 260 H. Bahkan setelah Abdullah ibn Jablah dan sebelum Syu’bah, terdapat sahabat Imam Al-Jawad a.s. yang bernama Abu Ja’far Al-Yaqthini. Ia menulis Kitabur Rijal, sebagaimana yang dicatat oleh An-Najasyi di dalam Al-Fehrest dan Ibnu Nadim di dalam Al-Fehrest.

Saya bubuhkan di sini, bahwa Abu Abdillah Muhammad ibn Khalid Al-Barqi juga seorang sahabat imam Ahlul Bait, yaitu Imam Musa Al-Kadzim a.s. dan Imam Ali Ar-Ridha a.s. Bahkan, ia juga sempat menjumpai Imam Muhammad Al-Jawad a.s. Kitab Al-Barqi masih terjaga utuh dan tersedia sampai sekarang. Di dalamnya disebutkan nama perawi-perawi yang meriwayatkan hadis dari Ali bin Abi Thalib a.s. dan perawi-perawi setelah mereka. Kitab itu juga memuat tema penting Rijal mengenai Al-Jarah wat Ta’dil (penilaian kritis atas ihwal kehidupan para perawi), sebagaimana yang juga dibahas oleh semua kitab Rijal.
Lalu, Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad ibn Khalid Al-Barqi yang mengarang kitab Ar-Rijal dan kitab Ath-Thabaqot. Abu Ja’far wafat pada tahun 274 H.

Lalu, Syeikh Abul Hasan Muhammad ibn Ahmad ibn Dawud ibn Ali Al-Qummi yang dikenal juga dengan Ibnu Dawud; seorang ulama terkemuka Syi’ah. Ia mengarang kitab Al-Mamduhin wal Madzmumin minar Ruwat, dan wafat pada tahun 368 H.

Lalu, Syeikh Abu Ja’far Muhammad ibn Babaweih Ash-Shoduq yang mengarang kitab Ma’rifatur Rijal dan Kitabur Rijalil Mukhtarin min Ashabin Nabi saw. Ia wafat pada tahun 381 H.

Lalu, Syeikh Abu Bakar Al-Ji’ani yang dinyatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ia merupakan salah seorang ulama besar Syi’ah. Al-Ji’ani mengarang kitab Asy-Syi’ah min Ashabil Hadits wa Thabaqotuhum. Tentang kitab ini, An-Najasyi mengatakan bahwa kitab itu dikarang dalam ukuran besar.

Lalu, Syeikh Muhammad ibn Baththah yang mengarang kitab Asma’ Mushannifisy Syi’ah, dan wafat pada tahun 274 H.

Lalu, Syeikh Nashr ibn Ash-Shabah Abul Qosim Al-Balkhi; guru Syeikh Abu Amr Al-Kasyi. Ia mengarang kitab Ma’ri-fatun Naqilin min Ahlil Miah Tsalitsah. Ia wafat pada tahun pada abad ketiga Hijriyah.
Lalu, Ali ibn Al-Hasan ibn Fidhal; pengarang kitab Ar-Rijal. Ia berada di generasi sebelum Syeikh Nashr Al-Balkhi.

Lalu, Sayyid Abu Ya’la Hamzah ibn Al-Qosim ibn Ali ibn Hamzah ibn Al-Hasan ibn Ubaidilah ibn Al-Abbas ibn Ali ibn Abu Thalib a.s., yang mengarang kitab Man Rowa ‘an Ja’far ibn Muhammad minar Rijal. 

An-Najasyi mengatakan: “Kitab ini bagus, dan At-Tal’akbari meriwayatkan sertifikat pengakuan dan pengesahan darinya”. Hamzah ibn Qosim adalah ulama Syi’ah abad ketiga Hijriyah.
Lalu, Syeikh Muhammad ibn Al-Hasan ibn Ali Abu Abdillah Al-Maharibi yang menyusun kitab bagus yang berjudul Ar-Rijal min Ulama Tsalitsah.

Lalu, Al-Musta’thof Isa ibn Mehran; pengarang Kitabul Muhadditsin. Isa termasuk ulama terdahulu Syi’ah, demikian dicatat oleh Syeikh Ath-Thusi di dalam Al-Fehrest.

Berikutnya, di dalam kitab Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah mengulas karangan-karangan Syeikh Ath-Thusi, An-Najasyi, Al-Kasyi, Allamah ibn Al-Muthahhar Al-Hilli, Ibnu Dawud dan generasi-generasi yang mengarang kitab tentang ilmu Rijal. Dan hingga kini, semua karya mereka masih menjadi rujukan dalam upaya menilai kualitas pribadi para perawi (Al-jarah wa Ta’dil).

Perlu dibubuhkan di sini, bahwa Abul Faraj Al-Qannani Al-Kufi; guru An-Najasyi, mempunyai karangan di bidang ini, berjudul Kitab Mu’jam Rijalil Mufadhal, dan menyusunnya sesuai dengan urutan huruf Hijaiyah.

*Peneliti Pemikiran dan Peradaban Islam.
 


Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: