Syi’ah tidak menganggap al-Kafi dll kitab hadis sebagai kitab suci
yang tidak mungkin salah ! Jadi kutipan sunni dari kitab kitab syi’ah
bukan bermakna itu semua i’tiqad syi’ah.
kenyataan yang sebenarnya adalah Al Kafi di sisi Syiah tidak sama kedudukannya dengan Shahih Bukhari di sisi Sunni. Al Kafi memang menjadi rujukan oleh ulama Syiah tetapi tidak ada ulama Syiah yang dapat membuktikan bahwa semua riwayat Al Kafi shahih.
Dalam mengambil hadis sebagai rujukan, ulama syiah akan menilai kedudukan hadisnya baru menetapkan fatwa. Hal ini jelas berbeda dengan Shahih Bukhari dimana Bukhari sendiri menyatakan bahwa semua hadisnya adalah shahih, dan sudah menjadi ijma ulama(sunni tentunya) bahwa kitab Shahih Bukhari adalah kitab yang paling shahih setelah Al Quran.
cendekiawan Syiah menolak menyamakan kitab hadits al-Kafi dengan Shahih Bukhari. Mereka tidak setuju jika ada orang menilai kedudukan Al Kafi di sisi Syiah sama dengan Shahih Bukhari di sisi Sunni. Bahkan mereka menuduh orang yang melakukan hal itu bertujuan untuk mengelabui orang awam yang tidak tahu-menahu tentang Al Kafi.
Mereka mengakui bahwa Al Kafi, karya al-Kulaini memang menjadi rujukan Syiah tetapi tidak ada ulama Syiah yang dapat membuktikan bahwa semua riwayat Al Kafi shahih. Karena itu, dalam mengambil hadits sebagai rujukan, ulama Syiah akan menilai kedudukan haditsnya, baru menetapkan fatwa. Hal ini jelas berbeda dengan Shahih Bukhari dimana Bukhari sendiri menyatakan bahwa semua hadisnya adalah shahih, dan sudah menjadi ijma ulama Sunni bahwa kitab tersebut paling shahih setelah Al Quran.
Mereka mengatakan bahwa Al Kulaini menuliskan riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam Ahlul Bait as. Ia hanyalah mengumpulkan hadis-hadis dari Ahlul Bait. Menurut mereka tidak ada sedikitpun pernyataan Al Kulaini bahwa semua hadis yang dia kumpulkan otentik. Oleh karena Itulah ulama-ulama sesudahnya telah menseleksi hadits dalam kitab tersebut dan menentukan kedudukan setiap haditsnya. Allamah Al Hilli misalkan, yang telah mengelompokkan hadis-hadis Al Kafi menjadi shahih, muwatstsaq, hasan dan dhaif. Sayyid Ali Al Milani menyatakan bahwa 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis muwatstsaq (hadis yang diriwayatkan perawi bukan Syiah tetapi dipercayai oleh Syiah), 302 hadis Qawiy (kuat) dan 9.480 hadis dhaif.
Al-Sayyid Muhammad al-Mujahid al-Tabataba’i (1242H) juga mengemukakan hujah bahwa tidak semua riwayat al-Kafi sahih. Hal ini diungkapkan oleh Hasyim Ma’ruf Husyein dalam kitabnya, Dirasat Hadits. (hal.135-136).
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ayatullah Husayn `Ali al-Muntazari mengenai ketidaksahihan riwayat dalam al-Kafi dalam kitabnya Dirasah fi Makasib al Muharomah, juz III, hal. 123. Ia mengatakan: “Kepercayaan al-Kulaini akan kesahihan riwayat (di dalam kitabnya) tidak termasuk dalam hujah syar’iah karena dia bukanlah ma’sum di sisi kami.”.
kenyataan yang sebenarnya adalah Al Kafi di sisi Syiah tidak sama kedudukannya dengan Shahih Bukhari di sisi Sunni. Al Kafi memang menjadi rujukan oleh ulama Syiah tetapi tidak ada ulama Syiah yang dapat membuktikan bahwa semua riwayat Al Kafi shahih.
Dalam mengambil hadis sebagai rujukan, ulama syiah akan menilai kedudukan hadisnya baru menetapkan fatwa. Hal ini jelas berbeda dengan Shahih Bukhari dimana Bukhari sendiri menyatakan bahwa semua hadisnya adalah shahih, dan sudah menjadi ijma ulama(sunni tentunya) bahwa kitab Shahih Bukhari adalah kitab yang paling shahih setelah Al Quran.
cendekiawan Syiah menolak menyamakan kitab hadits al-Kafi dengan Shahih Bukhari. Mereka tidak setuju jika ada orang menilai kedudukan Al Kafi di sisi Syiah sama dengan Shahih Bukhari di sisi Sunni. Bahkan mereka menuduh orang yang melakukan hal itu bertujuan untuk mengelabui orang awam yang tidak tahu-menahu tentang Al Kafi.
Mereka mengakui bahwa Al Kafi, karya al-Kulaini memang menjadi rujukan Syiah tetapi tidak ada ulama Syiah yang dapat membuktikan bahwa semua riwayat Al Kafi shahih. Karena itu, dalam mengambil hadits sebagai rujukan, ulama Syiah akan menilai kedudukan haditsnya, baru menetapkan fatwa. Hal ini jelas berbeda dengan Shahih Bukhari dimana Bukhari sendiri menyatakan bahwa semua hadisnya adalah shahih, dan sudah menjadi ijma ulama Sunni bahwa kitab tersebut paling shahih setelah Al Quran.
Mereka mengatakan bahwa Al Kulaini menuliskan riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam Ahlul Bait as. Ia hanyalah mengumpulkan hadis-hadis dari Ahlul Bait. Menurut mereka tidak ada sedikitpun pernyataan Al Kulaini bahwa semua hadis yang dia kumpulkan otentik. Oleh karena Itulah ulama-ulama sesudahnya telah menseleksi hadits dalam kitab tersebut dan menentukan kedudukan setiap haditsnya. Allamah Al Hilli misalkan, yang telah mengelompokkan hadis-hadis Al Kafi menjadi shahih, muwatstsaq, hasan dan dhaif. Sayyid Ali Al Milani menyatakan bahwa 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis muwatstsaq (hadis yang diriwayatkan perawi bukan Syiah tetapi dipercayai oleh Syiah), 302 hadis Qawiy (kuat) dan 9.480 hadis dhaif.
Al-Sayyid Muhammad al-Mujahid al-Tabataba’i (1242H) juga mengemukakan hujah bahwa tidak semua riwayat al-Kafi sahih. Hal ini diungkapkan oleh Hasyim Ma’ruf Husyein dalam kitabnya, Dirasat Hadits. (hal.135-136).
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ayatullah Husayn `Ali al-Muntazari mengenai ketidaksahihan riwayat dalam al-Kafi dalam kitabnya Dirasah fi Makasib al Muharomah, juz III, hal. 123. Ia mengatakan: “Kepercayaan al-Kulaini akan kesahihan riwayat (di dalam kitabnya) tidak termasuk dalam hujah syar’iah karena dia bukanlah ma’sum di sisi kami.”.
Sudah jelas siapapun orangnya apakah Sunni atau Syiah, berhujjah
dengan hadis dhaif adalah keliru. Kalau ia menganggap metode dirinya
benar maka Syiahpun juga benar. Jika Syiah berdusta maka apa ia akan
ikut berdusta pula. Bagaimana mungkin dikatakan dibolehkan berdusta
asalkan digunakan untuk membantah kedustaan Syiah?
Kami tekankan bahwa kami tidak ada masalah dengan siapapun yang mau membela Ahlus Sunnah dan membantah Syiah ataupun sebaliknya tetapi harus diingat bahwa jangan sampai kebablasan dalam membantah sehingga memakai akhlak yang buruk dan lisan yang kotor. Apalagi jika lisan kotor tersebut diimbaskan juga pada orang lain yang bukan Syiah. Dan yang paling menjijikkan adalah menjustifikasi lisan kotor-nya dengan mengatasnamakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Semoga Allah SWT melindungi kita dari keburukan yang seperti ini.
Kami tekankan bahwa kami tidak ada masalah dengan siapapun yang mau membela Ahlus Sunnah dan membantah Syiah ataupun sebaliknya tetapi harus diingat bahwa jangan sampai kebablasan dalam membantah sehingga memakai akhlak yang buruk dan lisan yang kotor. Apalagi jika lisan kotor tersebut diimbaskan juga pada orang lain yang bukan Syiah. Dan yang paling menjijikkan adalah menjustifikasi lisan kotor-nya dengan mengatasnamakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Semoga Allah SWT melindungi kita dari keburukan yang seperti ini.
Ketika Sunni dan Syiah mengakui tuhan yang sama, nabi
yang sama, Alquran yang sama, kiblat yang sama, syahadat yang sama,
mengapa perbedaan harus dibesar-besarkan?
Tentu jika membahas masalah Al Kafi membuat sebagian kalangan marah
karena banyak riwayat-riwayat yang terdapat di dalamnya yang
bertentangan dengan pemikiran Ahlusunnah. Namun saya sdikit memberikan
gambaran tentang Al Kafi agar tidak terjadi perselisihan di tengah
masyarakat Muslim yang di inginkan oleh musuh Islam.
Mereka yang mengkritik Syiah telah membawakan riwayat-riwayat yang
ada dalam kitab rujukan Syiah yaitu Al Kafi dalam karya-karya mereka
seraya mereka berkata Kitab Al Kafi di sisi Syiah sama seperti Shahih
Bukhari di sisi Sunni. Tujuan mereka berkata seperti itu adalah
sederhana yaitu untuk mengelabui mereka yang awam yang tidak tahu-menahu
tentang Al Kafi. Atau jika memang mereka tidak bertujuan seperti itu
berarti Mereka lah yang terkelabui.
Dengan kata-kata seperti itu maka orang-orang yang membaca karya
mereka akan percaya bahwa riwayat apa saja dalam Al Kafi adalah shahih
atau benar sama seperti hadis dalam Shahih Bukhari yang semuanya didakwa
shahih. Sungguh sangat disayangkan, karena kenyataan yang sebenarnya
adalah Al Kafi di sisi Syiah tidak sama kedudukannya dengan Shahih
Bukhari di sisi Sunni.
Al Kafi memang menjadi rujukan oleh ulama Syiah tetapi tidak ada
ulama Syiah yang dapat membuktikan bahwa semua riwayat Al Kafi shahih.
Dalam mengambil hadis sebagai rujukan, ulama syiah akan menilai
kedudukan hadisnya baru menetapkan fatwa. Hal ini jelas berbeda dengan
Shahih Bukhari dimana Bukhari sendiri menyatakan bahwa semua hadisnya
adalah shahih, dan sudah menjadi ijma ulama(sunni tentunya) bahwa kitab
Shahih Bukhari adalah kitab yang paling shahih setelah Al Quran.
Kedudukan Al Kafi.
Al Kafi adalah kitab hadis Syiah yang ditulis oleh Syaikh Abu
Ja’far Al Kulaini pada abad ke 4 H. Kitab ini ditulis selama 20 tahun
yang memuat 16.199 hadis. Al Kulaini tidak seperti Al Bukhari yang
menseleksi hadis yang ia tulis. Di Al Kafi, Al Kulaini menuliskan
riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti
para Imam Ahlul Bait as. Jadi Al Kulaini hanyalah sebagai pengumpul
hadis-hadis dari Ahlul Bait as. Tidak ada sedikitpun pernyataan Al
Kulaini bahwa semua hadis yang dia kumpulkan adalah otentik. Oleh karena
Itulah ulama-ulama sesudah Beliau telah menseleksi hadis ini dan
menentukan kedududkan setiap hadisnya.
Di antara ulama syiah tersebut adalah Allamah Al Hilli yang telah
mengelompokkan hadis-hadis Al Kafi menjadi shahih, muwatstsaq, hasan dan
dhaif. Pada awalnya usaha ini ditentang oleh sekelompok orang yang
disebut kaum Akhbariyah. Kelompok ini yang dipimpin oleh Mulla Amin
Astarabadi menentang habis-habisan Allamah Al Hilli karena Mulla Amin
beranggapan bahwa setiap hadis dalam Kutub Arba’ah termasuk Al Kafi
semuanya otentik. Sayangnya usaha ini tidak memiliki dasar sama sekali.
Oleh karena itu banyak ulama-ulama syiah baik sezaman atau setelah
Allamah Al Hilli seperti Syaikh At Thusi, Syaikh Mufid, Syaikh Murtadha
Al Anshari dan lain-lain lebih sepakat dengan Allamah Al Hilli dan
mereka menentang keras pernyataan kelompok Akhbariyah tersebut. (lihat
Prinsip-prinsip Ijtihad Antara Sunnah dan Syiah oleh Murtadha Muthahhari
hal 23-30).
Dari hadis-hadis dalam Al Kafi, Sayyid Ali Al Milani menyatakan
bahwa 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis Muwatstsaq(hadis yang
diriwayatkan perawi bukan syiah tetapi dipercayai oleh syiah), 302 hadis
Qawiy (kuat) dan 9.480 hadis dhaif. (lihat Al Riwayat Li Al Hadits Al
Tahrif oleh Sayyid Ali Al Milani dalam Majalah Turuthuna Bil 2 Ramadhan
1407 H hal 257). Jadi dari keterangan ini saja dapat dinyatakan
kira-kira lebih dari 50% hadis dalam Al Kafi itu dhaif. Walaupun begitu
jumlah hadis yang dapat dijadikan hujjah (yaitu selain hadis yang dhaif)
jumlahnya cukup banyak, kira-kira hampir sama dengan jumlah hadis dalam
Shahih Bukhari.
Semua keterangan diatas sudah cukup membuktikan perbedaan besar di
antara Shahih Bukhari dan Al Kafi. Suatu Hadis jika terdapat dalam
Shahih Bukhari maka itu sudah cukup untuk membuktikan keshahihannya.
Sedangkan suatu hadis jika terdapat dalam Al Kafi maka tidak bisa
langsung dikatakan shahih, hadis itu harus diteliti sanad dan matannya
berdasarkan kitab Rijal Syiah atau merujuk kepada Ulama Syiah tentang
kedudukan hadis tersebut.
Catatan:
Oleh karena cukup banyaknya hadis yang dhaif dalam Al-Kafi maka
sepatutnya orang harus berhati-hati dalam membaca buku-buku yang
menyudutkan syiah dengan menggunakan riwayat-riwayat Hadis Syiah seperti
dalam Al-Kafi. Dalam hal ini bersikap skeptis adalah perlu sampai
diketahui dengan pasti kedudukan hadisnya baik dengan menganalisis
sendiri berdasarkan Kitab Rijal Syiah atau merujuk langsung ke Ulama
Syiah.
Dan Anda bisa lihat di antara buku-buku yang menyudutkan syiah
dengan memuat riwayat syiah sendiri seperti dari Al Kafi tidak ada
satupun penulisnya yang bersusah payah untuk menganalisis sanad riwayat
tersebut atau menunjukkan bukti bahwa riwayat itu dishahihkan oleh ulama
syiah. Satu-satunya yang mereka jadikan dalil adalah Fallacy bahwa Al
Kafi itu di sisi Syiah sama seperti Shahih Bukhari di Sisi Sunni.
Padahal sebenarnya tidak demikian, sungguh dengan fallacy seperti itu
mereka telah menyatakan bahwa Syiah itu kafir dan sesat. Sungguh Sayang
sekali.
Peringatan ini jelas ditujukan kepada mereka yang akan membaca
buku-buku tersebut agar tidak langsung percaya begitu saja. Pikirkan dan
analisis riwayat tersebut dengan Kitab Rijal Syiah (Rijal An Najasy
atau Rijal Al Thusi). Atau jika terlalu sulit dengarkan pendapat Ulama
Syiah perihal riwayat tersebut. Karena pada dasarnya mereka Ulama Syiah
lebih mengetahui hadis Syiah ketimbang para penulis buku-buku tersebut.
Politik Adu Domba Zionis.
Sebenarnya perbedaan pemahaman dalam masalah hadis diatas merupakan
hal yang sepele yang tidak menimbulkan perpecahan umat, namun selalu
dalam hal ini oleh musuh-musuh islam di gunakan sebagai politik adu
domba di tengah masyarakat Islam. Menurut Prof Dr Musthafa ar-Rifa’i
lewat kitab bertajuk Islamuna fi at-Taufiq Baina as-Sunni wa asy-Syi’ah,
perbedaan antara Sunni-Syiah yang selama ini kerap muncul di permukaan,
hakikatnya bukan perbedaan yang prinsipil.
Perbedaan hanya terletak pada persoalan non-prinsipil furuiyyah
yang dapat ditoleransi. Dalam konteks masa kini, ar-Rafa’i meyakini,
faktor lain yang amat kuat memengaruhi dan memanaskan konflik antara
Sunni dan Syiah adalah kekuatan eksternal yang datang dari imperalis
Barat.
Terutama politik dan konspirasi devide et impera (politik memecah
belah) yang diterapkan oleh protokol kaum Zionis yang hendak memecah
belah umat. Perpecahan faksi dan sekte yang tumbuh berkembang di
internal Muslim, digunakan sebagai momen membenturkan dan mengadu domba
berbagai kelompok itu.
Sunni menuduh hadis syi’ah penuh kebohongan, lalu Mengapa perawi
hadis sunni (seperti Bukhari dll) tidak merujuk kepada Imam Ahlulbait As
?
Kenapa Bukhari tidak mengumpulkan hadis dari jalur Imam Ja’far Shadiq ??
Jika wahabi menuduh bahwa YANG SESAT BUKAN 12 iMAM, tetapi PENGiKUT nya, maka tanyakan kepada wahabi : “Mengapa perawi hadis sunni (seperti Bukhari dll) tidak merujuk kepada Imam Ahlulbait As ?”
Sebelum terlalu jauh, mari kita ingat beberapa fakta ini:
1. Syiah adalah mazhab Islam terbesar kedua setelah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
2. Syiah adalah mazhab yang dianut oleh jumlah sangat signifikan penduduk negara-negara Timur Tengah (untuk tidak mengatakan mayoritas penduduk Teluk), tempat asal Islam.
3. Syiah adalah mazhab yang dianut oleh mayoritas dua bangsa pemilik tradisi keilmuan paling kuat dan paling kaya di dunia Islam: Iran (90%) dan Irak (68%).
Kedua bangsa yang kemudian menjadi Muslim Syiah ini bisa dibilang adalah pemilik dua khazanah kultural pra Islam (Persia dan Akkadia, Asyuria & Babilonia di wilayah Mesopotamia) yang berkontribusi paling besar terhadap kemajuan umat manusia. Intinya, Persia + Babilonia memiliki “tradisi ilmiah” di atas kebanyakan penduduk Muslim lain–tanpa mengurangi rasa hormat kepada bangsa lain, karena saya sendiri bukan tergolong dari kedua bangsa tersebut.
Ada baiknya kita bertanya: Mungkinkah kedua bangsa pemilik tradisi ilmiah hebat dan kaya itu telah sampai pada tafsir agama yang lebih baik dari kita?
4. Mari kita lihat kembali data populasi Syiah berikut ini: Iran (90%), Iraq (65%–menurut sensus rezim Saddam yang berat sebelah dan tak menunjukkan fakta sebenarnya), Azerbaijan (85%), Lebanon (35-40%), Kuwait (35%–menurut sensus rezim Wahabi yang menyesatkan Syiah), Turkey (25%), Saudi Arabia (10-15%–menurut sensus rezim Wahabi yang mengkafirkan Syiah), Yaman (40%), Uni Emirat Arab (15-20 % –menurut sensus rezim tribal Al-Nahiyan yang anti Iran) dan Bahrain (80%–menurut sensus rezim Wahabi yang menyesatkan Syiah).
Nah, setelah melihat beberapa fakta di atas, marilah kita kembali ke topik hadis Syiah. Berikut saya berikan beberapa tanggapan umum—tanpa merujuk pada poin-poin yang ditulis sebelumnya karena saya takkan terlibat perdebatan:
1. Apa yang disebut Sunnah atau Hadis oleh Syiah bukan hanya berupa ucapan, perilaku, sikap, kebiasaan Nabi, tapi juga seluruh ma’shum yang berjumlah 14. Dengan demikian, era wurud Sunnah tidak berhenti dengan wafatnya Nabi Besar Muhammad–seperti kepercayaan Ahlus Sunnah–melainkan berlanjut terus hingga masa kegaiban besar Imam Muhammad bin Hasan Al-Askari pada 941 M atau 329 H. Karena faktor itulah kita-kitab hadis Syiah ditulis dan dikodifikasikan dalam beberapa periode yang berbeda. Tapi itu tidak berarti bahwa kitab hadis Syiah baru ada di abad ke7 seperti diklaim sebagian orang. Jumlah hadis Syiah juga lebih banyak daripada hadis Sunni. Saya tak pernah hitung berapa persis jumlah surplusnya, tapi yg jelas ada defisit hadis dalam mazhab Sunni
Dilema justru muncul di kalangan mazhab Ahlus Sunnah yang mengakhiri periode Sunnah pada masa Nabi Muhammad tapi penulisannya terjadi jauh setelah beliau wafat. Ada periode kevakuman yang panjang. Banyak peneliti yg mencurigai bahwa dalam periode ini telah terjadi produksi hadis palsu besar-besaran. Kecurigaan ini didukung berbagai fakta. Tapi saya lagi2 tak tertarik untuk lari2an ke topik lain.
Kekayaan Sunnah dalam mazhab Syiah ini beberapa ratus tahun lalu memunculkan dampak negatif berupa fenomena pola pikir Akhbari. Kaum Akhbari percaya bahwa sunnah 14 Ma’shum sudah mencakupi semua sisi kehidupan manusia, sehingga tak perlu ada ijtihad dan sebagainya. Tapi itu juga isu lain lagi.
2. Setiap mujtahid dalam Syiah tidak menyandarkan keabsahan hadis pada si pengumpul hadis, namun mereka harus melakukan verifikasi, investigasi dan riset hadis sendiri untuk menilai kredibilitas perawi dan kebasahan matan hadis yang diriwayatkannya. Untuk itulah, mujtahid dalam mazhab Syiah harus menguasai metode verifikasi hadis dengan handal. Bahkan, banyak di antara mujtahid yang juga sekaligus adalah muhaddits. Misalnya, Ayatullah Khoei yang beberapa saat sebelum meninggal dunia sempat mengarang buku rijal sebanyak 24 jilid besar. Kalo ada yang mau lihat buku itu, bisa download di sini: http://www.shiatc.com/Lib_List/t5.xml
3. Karena poin 2 di atas, kalangan Syiah tak mengenal adanya kitab shahih. Pengumpul hadis tak pernah mengklaim hadisnya shahih. Dia hanya mengumpulkan dan menyerahkan penilaian pada masing-masing pakar, terutama yang ingin berijtihad. Allamah Majlisi sampai berhasil menuliskan hadis Syiah dalam 120 jilid.
“Jika dengan mencintai keluarga Nabi Saw aku disebut Rafidhi (Syiah),
maka saksikanlah sesungguhnya aku seorang Rafidhi (Syiah) dan cukuplah
shalatku menjadi tidak sah dengan tidak menyertakan shalawat kepada
mereka.” (Imam Syafi’i ra).
Sebagaimana pernyataan Imam Syafi’i ra di atas, akan timbul berbagai pertanyaan dalam benak kaum muslimin yang mau berpikir tentang kebenaran sebuah keyakinan, siapakah yang dimaksud keluarga Nabi (Ahlul bait) yang hendak disucikan oleh Allah swt? adakah kewajiban untuk mencintai mereka sebagaimana kewajiban mencintai Nabi?
mengapa dalam redaksi shalawat kepada Nabi kita harus menyertakan pula shalawat kepada keluarganya?
Keistimewaan seperti apa yang dimiliki keluarga Nabi sampai dalam setiap shalat kita harus menyertakan shalawat kepada mereka?
Kalau mereka memiliki kedudukan yang agung dan mulia dalam agama ini, namun mengapa kajian tentang keluarga nabi tidak banyak kita dapatkan dalam kehidupan religius kita sehari-hari?
Tidaklah berlebihan, dalam ruang yang sempit ini saya mencoba menyelipkan sedikit tulisan mengenai mereka. Semoga dengan itu kita mau mengenal, mengikuti dan mencintai keluarga nabi atau yang sering kita dengar dengan ungkapan: Ahlul Bait.
Keistimewaan Keluarga Para Nabi.
Telah menjadi sunatullah, Nabi-nabi memiliki keluarga yang dimuliakan, diagungkan dan anak keturunan mereka dipilih oleh Allah sebagai washi, pelanjut risalah kenabian. Berikut ini beberapa ayat Al-Qur’an menjelaskan masalah ini :
“Dan Kami menganugerahkan kepada Ishak dan Yaqub. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian keturunannya (Nuh) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik; dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas, semuanya termasuk orang-orang yang saleh; dan Ismail, Alyasa’, Yunus dan Luth, masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya); dan Kami lebihkan (pula) derajat sebagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Inilah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Al-An’am : 84).
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan al-kitab, maka diantara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak diantara mereka yang fasiq” (Qs. Al-Hadid : 26).
“Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Yaqub dan Kami jadikan kenabian dan al-Kitab kepada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya balasan di dunia; dan sesungguhnya di akhirat mereka benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh” ( Qs. Al-Ankabut : 27).
Dan beberapa ayat lainnya yang tersebar dalam Al-Qur’an satu-satunya kitab Samawi yang tetap steril dari berbagai upaya penyelewengan dan perubahan.
Ayat-ayat di atas berbicara tentang sunatullah di muka bumi, dalam hal pemilihan washi para Nabi yang berasal dari keturunan mereka yang saleh dan suci, bukan yang fasiq dan bahwa pewarisan ilmu al-Kitab, hukum dan kenabian di antara putra-putra mereka yang suci telah ditetapkan sejak diturunkannya Adam as ke muka bumi. Silsilah yang suci ini memberikan gambaran yang jelas bahwa risalah Ilahiah ini tidak pernah keluar dari lingkaran keluarga-keluarga Nabi yang disucikan, dan tidak diwarisi oleh hati yang pernah dikotori oleh kesyirikan, kekejian dan kezaliman.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”. (Qs. Al-Baqarah: 124).
Jika ajaran Nabi terdahulu saja yang hanya berlaku untuk masa dan kaum tertentu memerlukan silsilah yang suci dan jiwa yang bersih, maka bagaimana mungkin ajaran Islam tidak memerlukan silsilah yang suci yang akan saling mewarisi ajaran Muhammad Saw yang luhur dan kekal hingga hari kiamat?. Jika Nabi terdahulu saja memerlukan orang yang menggantikannya di dalam urusan tabligh dari kalangan keluarga dan keturunannya yang saleh, maka bagaimana mungkin Rasulullah Saw tidak membutuhkan orang-orang yang meneruskan ajaran ini dari keluarga dan keturunannya yang suci?
Jika ayat-ayat tentang nabi dan keturunannya menekankan bahwa pemilihan washi para nabi telah berlaku bagi keluarga nabi yang saleh dengan tujuan untuk menjaga kesucian risalah, maka bagaimana mungkin ajaran Muhammad Saw yang kekal tidak membutuhkan pribadi-pribadi suci dari keturunannya yang akan menjaga nilai-nilai ajaran Ilahi dari usaha penyimpangan?
Melalui pengkajian ayat-ayat Al-Qur’an, tampak jelas bahwa masalah pemilihan atau seleksi pelanjut kepemimpinan Ilahiah adalah semata-mata wewenang Dzat yang Maha Mengetahui, tanpa adanya campur tangan siapapun.
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami.” (Qs. Fathir : 32).
Dalam ayat lain, dikisahkan tentang Nabi Musa as, “Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Mengetahui (keadaan) kami.” Allah berfirman : “Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa.” (Qs. Thaha : 29-36).
Kita menyaksikan dalam ayat ini betapa Nabi Musa memohon kepada Allah SWT dengan penuh pengharapan dan kerendahan hati untuk memilih saudaranya, Harun, sebagai pembantunya dalam urusan Tabligh. Jika nabi Musa as saja, dengan segala ketinggian kedudukan dan kedekatannya kepada Allah SWT tidak memperkenankan dirinya untuk memilih langsung orang yang akan menggantikan dia sepeninggalnya dan yang membantunya dalam tugas-tugasnya, maka bagaimana mungkin umat Islam berhak memilih orang-orang yang menggantikan Rasulullah Saw sebagai khalifah sepeninggalnya? sebuah keberanian ‘ijtihad’ yang telah menimbulkan perselisihan, perpecahan bahkan sampai pertumpahan darah dikalangan sahabat.
Imamah dan Ahlul Bait.
Sekarang, seberapa banyakkah yang kita tahu tentang ayat muhkamah di dalam Al-Qur’an yang turun berkaitan dengan keagungan keluarga Rasulullah yang mulia? Atau seberapa banyakkah kisah yang kita ketahui tentang Rasulullah yang selalu mengingatkan ummatnya akan pengutamaan Allah atas keluarganya.
Imam Muslim meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya, (juz 4 hal 123, cetakan Beirut Lebanon), Zaid bin Arqam berkata, “Pada suatu hari Rasulullah Saw berdiri di tengah-tengah kami dan menyampaikan khutbah di telaga yang bernama “Khum”, yang terletak antara Makah dan Madinah. Setelah mengucapkan hamdalah dan puji-pujian kepada-Nya serta memberi nasihat dan peringatan Rasulullah Saw berkata, “Adapun selanjutnya, wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia yang hampir didatangi oleh utusan Tuhanku, maka akupun menghadap-Nya. Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara yang amat berharga, yang pertama adalah kitab Allah, yang merupakan tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya maka dia berada di atas petunjuk, dan barang siapa yang meninggalnya maka ia berada di atas kesesatan.”
Kemudian Rasulullah Saw melanjutkan sabdanya, Adapun yang kedua adalah Ahlul Baitku. Demi Allah aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku.” Al-Hakim juga meriwayatkannya dalam al-Mustadraknya dari Zaid bin Arqam bahwa nabi bersabda pada Haji Wada’, “Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga) yang salah satu dari keduanya lebih besar daripada yang lain, Kitabullah (Al-Qur’an) dan keturunanku. Oleh karena itu perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Sebab sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh.” Setelah menyebutkan hadits ini Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat (yang ditetapkan Bukhari-Muslim).”
Sebagaimana diketahui bahwa kaum muslimin sepakat untuk mensahihkan seluruh hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, maka saya mencukupkan dengan hanya mengutip kedua hadits ini sebab dalam banyak kitab hadits ini pun dinukil. Di antaranya juga terdapat dalam Sunan Ad-Darimi, Shahih Turmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad dan beberapa kitab lainnya. Ibnu Hajar dalam kitabnya ash-Shawai’iq telah menyampaikan silsilah hadits ini hingga kepada dua puluh lebih sahabat, lalu beliau (rahimahullah) menyatakan dengan tegas, ” Ketahuilah, sesunggguhnya hadits berpegang teguh kepada Kitab Allah dan ahlul bait mempunyai jalur yang banyak, dan diriwayatkan lebih dari 20 orang sahabat.”
Dalam riwayat tersebut, Rasul menyebut keduanya (Al-Qur’an dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya sebagaimana hadits Rasulullah tidak akan pernah terpisah dan saling melengkapi. Keduanya tidak dapat dipisahkan, apalagi oleh sekedar perkataan Umar bin Khattab pada saat Rasulullah mengalami masa-masa akhir dalam kehidupannya, bahwa Al-Qur’an sudah cukup bagi kita (baca tragedi ini dalam Al-Bukhari pada bab “Al-Ilmu” (Jilid I, hal 22). Muslim meriwayatkannya dalam Shahihnya pada akhir bab al-Washiyah dan juga tertulis dalam Musnad Ahmad jilid I hal. 355). Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini.
Tentu saja sabda Rasul tentang Ahlul Baitnya yang tidak akan terpisah dengan Al-Qur’an bukan berdasarkan hawa nafsu pribadinya, sebab Allah SWT telah menjamin dalam Al-Quran bahwa apapun yang disampaikan Rasul adalah semata-mata wahyu dari-Nya. Pertanyaanya, mengapa Al-Quran saja tidak cukup menjadi petunjuk bagi kaum muslimin sepeninggal Rasulullah?.
Di antara jawabannya, semua kitab suci adalah kitab-kitab petunjuk yang mengandung prinsip-prinsip dasar petunjuk dan tidak menjelaskan prinsip-prinsip tersebut secara mendetail dan terperinci. Dan para Rasul diutus untuk menjelaskan kitab yang diwahyukan yang menjadi bukti kerasulannya, “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. ” (Qs. Ibrahim: 4).
Apakah semasa hidupnya Rasulullah telah menjelaskan kepada ummat Islam seluruh aturan-aturan dalam Al-Qur’an secara mendetail? Niscaya kita akan menjawab tidak seluruhnya, sebab selama sepuluh tahun Rasulullah Saw memerintah di Madinah, telah terjadi sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan peperangan (ghazwah) dan tiga puluh lima hingga sembilan puluh sariyah.
Ghazwah adalah sebuah peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw, sedangkan sariyah adalah sebuah peperangan yang tidak langsung dipimpin olehnya. Akan tetapi, ia mengutus sebuah pasukan yang dipimpin oleh salah seorang sahabat yang telah ditunjuk olehnya. Tentu saja dengan berbagai kesibukan mengatur pertahanan dan peperangan menghadapi kaum kafir pada awal-awal revolusi Islam membuat Rasululllah tidak sempat untuk menjelaskan semua maksud ayat-ayat Al-Qur’an secara terperinci.
Sementara Allah SWT berfirman, ” Alif Lam Ra. (Inilah) kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci , (yang diturunkan) dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana dan Maha Teliti”. (Qs. Hud : 1). Dan di ayat lain, “Tidaklah Kami lalaikan sesuatu pun dalam Kitab ini.” (Qs. Al-An’am : 38).
Berkembangnya paham-paham yang saling bertolak belakang misalnya antara paham Jabariyah dan Qadariyah yang masing-masing menjadikan Al-Qur’an menjadikan landasan pemikirannya, menjadi bukti bahwa kaum muslimin di awal perkembangan Islam mengalami kehilangan pegangan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Bahwa sesungguhnya Rasul belum menjelaskan seluruhnya, walaupun agama ini telah sempurna, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu.” (Qs. Al-Maidah : 3 ).
Sebab, “Kewajiban Rasul tidak lain hanya menyampaikan (risalah Allah).” (Qs. Al-Maidah : 99).
Bukan berarti Rasulullah sama sekali tidak menjelaskan, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ” (Qs. An-Nahl : 64), masalah ini berkaitan dengan Al-Qur’an sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al-Qur’an, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas.
Al-Qur’an adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. “Sungguh, Kami telah mendatangkan kitab (Al-Qur’an) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-A’raf : 52). Dan menurut hadits Rasulullah Ahlul Baitlah yang meneruskan tugas Rasulullah untuk menjelaskan secara terperinci ayat-ayat Al-Qur’an.
Penerus nabi adalah orang-orang tahu interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam, sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Imam Ali as dalam salah satu khutbahnya yang dihimpun dalam Nahj Balaqah, khutbah ke-4, “Melalui kami kalian akan dibimbing dalam kegelapan dan akan mampu menapakkan kaki di jalan yang benar. Dengan bantuan kami kalian dapat melihat cahaya fajar setelah sebelumnya berada dalam kegelapan malam. Tulilah telinga yang tidak mendengarkan seruan (nasihat) sang pemandu”.
Tentang Imam Ali as Rasulullah bersabda, “Aku adalah kota ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang menghendaki ilmu, hendaklah ia mendatangi pintunya” Hadits ini disepakati keshahihannya oleh kaum muslimin sebab banyak terdapat dalam kitab-kitab hadits, diantaranya At-Thabari, Hakim, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir dan lainnya. Umar bin Khattab pun mengakui keilmuan Imam Ali as sebagaimana yang diriwayatkan Ath-Thabari, Al-Kanji Asy-Syati’i dan As-Shuyuti dalam kitabnya masing-masing, “Dari sanad Abu Hurairah, Umar bin Khattab berkata, “Ali adalah orang yang paling mengetahui di antara kami tentang masalah hukum. Aku mengetahui hal itu dari Rasululah maka sekali-kali aku tidak akan pernah meninggalkannya”.
Dalil yang menyatakan bahwa tidak hanya Rasulullah yang mengetahui makna Ilahiah Al-Qur’an, maksud sebagaimana yang diinginkan Allah SWT terdapat dalam ayat, “Sebenarnya (Al-Qur’an) itu adalah ayat-ayat yang jelas dalam dada orang-orang berilmu.” (Qs. Al-Ankabut : 49). Dan Ahlul Baitlah yang dimaksud dengan orang-orang berilmu tersebut.
Dan dengan firman Allah SWT, “Aku hendak jadikan seorang khalifah (wakil) di muka bumi.” (Qs. Al-Baqarah : 30), berarti di muka bumi akan senantiasa ada yang menjadi pemimpin otoritatif yang diangkat Allah SWT untuk menjadi khalifahnya. Akan tetap ada di muka bumi orang-orang yang menerima pengetahuan dari sumber Ilahiah. Imam Ali as berkata, “Pengetahuan masuk ke mereka, sehingga mereka mempunyai pengetahuan mendalam tentang kebenaran.” Mereka memiliki pengetahuan bukan hasil belajar dan terlepas dari kekeliruan. Mereka pun memiliki ‘Roh Tuhan’ yang menghubungkan mereka dengan dunia gaib.
Betapa pentingnya keberadaan Imam dan seorang Khalifah di muka bumi, “Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. ” (Qs. Al-Baqarah : 251). Sebagian manusia yang menjadi pelindung atas manusia yang lainnya adalah Ahlul Bait sebagaimana hadits Rasulullah Saw, “Perumpamaan Ahlul Baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya niscaya ia akan selamat; dan barangsiapa tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam dan binasa.”.
Seluruh ulama Islam sepakat akan keshahihan hadits ini yang dikenal sebagai hadits Safinah, diantaranya Al-Hakim, Ibnu Hajar dan Ath-Thabrani. Dan kitapun tahu dari informasi Rasulullah bahwa di akhir zaman akan muncul juru penyelamat yang akan menyelamatkan manusia dari berbagai kedzaliman dan menyebarkan keadilan di muka bumi, dialah yang dinanti-nantikan, Imam Mahdi as. Rasulullah Saw bersabda, “Kiamat tidak akan tiba kecuali kalau dunia ini sudah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. Kemudian keluar setelah itu seorang laki-laki dari Ahlul Baitku memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan.” Hadits-hadits Rasulullah Saw tentang Imam Mahdi sangat banyak jumlahnya.
Hanya saja, sejauh mana kita mencoba mengenali siapa yang termasuk Ahlul Bait nabi, siapakah mereka Imam 12 yang disebut Rasul berasal dari Bani Qurays, dan siapakah Imam Mahdi yang akan muncul di akhir zaman?. Sebagai muslim adalah kewajiban untuk mengetahui dan taat kepada mereka, sebagaimana wajibnya kaum muslimin taat kepada titah Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur’an. Dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dan tidak mengetahui imam zamannya, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah.” Dan dalam Al-qur’an Allah SWT berfirman, “(Ingatlah), pada hari ketika Kami panggil setiap umat dengan imamnya.” (Qs. Al-Isra’: 71).
Jadi kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi Saw bukan sekedar cinta biasa, bukan sekedar efek dari kecintaan kepada Nabi Saw bukan pula sekedar upah terhadap dakwah Rasulullah Saw, bukan pilihan, melainkan kewajiban yang telah menjadi bagian dari syariat agama karena Ahlul Bait dan Itrah Nabilah yang menjadi pelanjut tugas kenabian untuk menjaga kemurnian risalah Ilahi. Kecintaan kita kepada Ahlul Bait adalah juga kecintaan kepada Rasulullah Saw, kecintaan kepada Allah SWT, kecintaan kepada Islam dan agama ini. Imam Syafii pernah mengatakan, “Tidak sah shalat seseorang yang tidak menyertakan dalam shalatnya, shalawat kepada Nabi dan Ahlul Baitnya.”.
Ulama Harus Menjelaskan Makna Hakiki Kecintaan Terhadap Ahlul Bait as.
Ayatullah Naser Makarem Shirazi, salah satu marji’ besar Syiah di kota Qom, Iran, menyatakan, “Para mubaligh harus benar-benar perhatian dalam menjelaskan makna dan kandungan dari kecintaan kepada Ahlul Bait sehingga jangan sampai sebagian orang beranggapan bahwa dengan melakukan perbuatan menyimpang, mereka dapat tetap masuk surga dengan hanya menyimpan kecintaan terhadap Sayidah Zahra sa.
Ayatullah Makarem Shirazi menjelaskan tingkatan para pecinta Ahlul Bait as dan menegaskan, “Para pecinta Ahlul Bait as terbagi menjadi tiga bagian. Pertama kelompok yang hanya mencintai Ahlul Bait as demi riya, dan kelompok itu termasuk dalam golongan para pendusta. Kedua kelompok yang mencintai Ahlul Bait as secara awam atau yang hanya menyatakan cinta akan tetapi tidak pernah memperhatikan ucapan dan perilaku manusia-manusia suci itu.”.
Adapun dalam menjelaskan para pecinta sejati Ahlul Bait as, Ayatullah Makarem Shirazi mengatakan, “Kelompok ketiga adalah para pecinta sejati, mereka yang sepanjang hidupnya mematuhi perintah Allah Swt dengah sepenuh hati. Mereka adalah kelompok yang merasa mudah untuk mematuhi perintah-Nya akan tetapi merasa sangat berat untuk berbuat maksiat.”.
Oleh: Ustadz Husain Ardilla
Dewasa ini kebid’ahan telah merebak di dalam tubuh kaum muslimin sedemikian hebatnya sehingga banyak kaum muslimin yang tidak mengerti bahaya kebid’ahan padahal kebid’ahan tersebut dapat merusak mereka dan merusak keutuhan dan persatuan kaum muslimin bahkan banyak negara Islam yang hancur lantarannya seperti daulah bani Umayah yang jatuh disebabkan kebid’ahan.
“Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai Ahlul Bait, dan
mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (Qs. Al-Ahzab : 33).
“Jika dengan mencintai keluarga Nabi Saw aku disebut Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah sesungguhnya aku seorang Rafidhi (Syiah) dan cukuplah shalatku menjadi tidak sah dengan tidak menyertakan shalawat kepada mereka.” (Imam Syafi’i ra).
Sebagaimana pernyataan Imam Syafi’i ra di atas, akan timbul berbagai pertanyaan dalam benak kaum muslimin yang mau berpikir tentang kebenaran sebuah keyakinan, siapakah yang dimaksud keluarga Nabi (Ahlul bait) yang hendak disucikan oleh Allah swt? adakah kewajiban untuk mencintai mereka sebagaimana kewajiban mencintai Nabi?
mengapa dalam redaksi shalawat kepada Nabi kita harus menyertakan pula shalawat kepada keluarganya?
Keistimewaan seperti apa yang dimiliki keluarga Nabi sampai dalam setiap shalat kita harus menyertakan shalawat kepada mereka? Kalau mereka memiliki kedudukan yang agung dan mulia dalam agama ini, namun mengapa kajian tentang keluarga nabi tidak banyak kita dapatkan dalam kehidupan religius kita sehari-hari?
Tidaklah berlebihan, dalam ruang yang sempit ini saya mencoba menyelipkan sedikit tulisan mengenai mereka. Semoga dengan itu kita mau mengenal, mengikuti dan mencintai keluarga nabi atau yang sering kita dengar dengan ungkapan: Ahlul Bait.
Keistimewaan Keluarga Para Nabi.
Telah menjadi sunatullah, Nabi-nabi memiliki keluarga yang dimuliakan, diagungkan dan anak keturunan mereka dipilih oleh Allah sebagai washi, pelanjut risalah kenabian. Berikut ini beberapa ayat Al-Qur’an menjelaskan masalah ini :
“Dan Kami menganugerahkan kepada Ishak dan Yaqub. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian keturunannya (Nuh) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik; dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas, semuanya termasuk orang-orang yang saleh; dan Ismail, Alyasa’, Yunus dan Luth, masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya); dan Kami lebihkan (pula) derajat sebagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Inilah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Al-An’am : 84).
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan al-kitab, maka diantara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak diantara mereka yang fasiq” (Qs. Al-Hadid : 26).
“Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Yaqub dan Kami jadikan kenabian dan al-Kitab kepada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya balasan di dunia; dan sesungguhnya di akhirat mereka benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh” ( Qs. Al-Ankabut : 27).
Dan beberapa ayat lainnya yang tersebar dalam Al-Qur’an satu-satunya kitab Samawi yang tetap steril dari berbagai upaya penyelewengan dan perubahan.
Ayat-ayat di atas berbicara tentang sunatullah di muka bumi, dalam hal pemilihan washi para Nabi yang berasal dari keturunan mereka yang saleh dan suci, bukan yang fasiq dan bahwa pewarisan ilmu al-Kitab, hukum dan kenabian di antara putra-putra mereka yang suci telah ditetapkan sejak diturunkannya Adam as ke muka bumi. Silsilah yang suci ini memberikan gambaran yang jelas bahwa risalah Ilahiah ini tidak pernah keluar dari lingkaran keluarga-keluarga Nabi yang disucikan, dan tidak diwarisi oleh hati yang pernah dikotori oleh kesyirikan, kekejian dan kezaliman.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”. (Qs. Al-Baqarah: 124).
Jika ajaran Nabi terdahulu saja yang hanya berlaku untuk masa dan kaum tertentu memerlukan silsilah yang suci dan jiwa yang bersih, maka bagaimana mungkin ajaran Islam tidak memerlukan silsilah yang suci yang akan saling mewarisi ajaran Muhammad Saw yang luhur dan kekal hingga hari kiamat?. Jika Nabi terdahulu saja memerlukan orang yang menggantikannya di dalam urusan tabligh dari kalangan keluarga dan keturunannya yang saleh, maka bagaimana mungkin Rasulullah Saw tidak membutuhkan orang-orang yang meneruskan ajaran ini dari keluarga dan keturunannya yang suci?
Jika ayat-ayat tentang nabi dan keturunannya menekankan bahwa pemilihan washi para nabi telah berlaku bagi keluarga nabi yang saleh dengan tujuan untuk menjaga kesucian risalah, maka bagaimana mungkin ajaran Muhammad Saw yang kekal tidak membutuhkan pribadi-pribadi suci dari keturunannya yang akan menjaga nilai-nilai ajaran Ilahi dari usaha penyimpangan?
Melalui pengkajian ayat-ayat Al-Qur’an, tampak jelas bahwa masalah pemilihan atau seleksi pelanjut kepemimpinan Ilahiah adalah semata-mata wewenang Dzat yang Maha Mengetahui, tanpa adanya campur tangan siapapun.
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami.” (Qs. Fathir : 32).
Dalam ayat lain, dikisahkan tentang Nabi Musa as, “Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Mengetahui (keadaan) kami.” Allah berfirman : “Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa.” (Qs. Thaha : 29-36).
Kita menyaksikan dalam ayat ini betapa Nabi Musa memohon kepada Allah SWT dengan penuh pengharapan dan kerendahan hati untuk memilih saudaranya, Harun, sebagai pembantunya dalam urusan Tabligh. Jika nabi Musa as saja, dengan segala ketinggian kedudukan dan kedekatannya kepada Allah SWT tidak memperkenankan dirinya untuk memilih langsung orang yang akan menggantikan dia sepeninggalnya dan yang membantunya dalam tugas-tugasnya, maka bagaimana mungkin umat Islam berhak memilih orang-orang yang menggantikan Rasulullah Saw sebagai khalifah sepeninggalnya? sebuah keberanian ‘ijtihad’ yang telah menimbulkan perselisihan, perpecahan bahkan sampai pertumpahan darah dikalangan sahabat.
Imamah dan Ahlul Bait.
Sekarang, seberapa banyakkah yang kita tahu tentang ayat muhkamah di dalam Al-Qur’an yang turun berkaitan dengan keagungan keluarga Rasulullah yang mulia? Atau seberapa banyakkah kisah yang kita ketahui tentang Rasulullah yang selalu mengingatkan ummatnya akan pengutamaan Allah atas keluarganya.
Imam Muslim meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya, (juz 4 hal 123, cetakan Beirut Lebanon), Zaid bin Arqam berkata, “Pada suatu hari Rasulullah Saw berdiri di tengah-tengah kami dan menyampaikan khutbah di telaga yang bernama “Khum”, yang terletak antara Makah dan Madinah. Setelah mengucapkan hamdalah dan puji-pujian kepada-Nya serta memberi nasihat dan peringatan Rasulullah Saw berkata, “Adapun selanjutnya, wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia yang hampir didatangi oleh utusan Tuhanku, maka akupun menghadap-Nya. Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara yang amat berharga, yang pertama adalah kitab Allah, yang merupakan tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya maka dia berada di atas petunjuk, dan barang siapa yang meninggalnya maka ia berada di atas kesesatan.”.
Kemudian Rasulullah Saw melanjutkan sabdanya, Adapun yang kedua adalah Ahlul Baitku. Demi Allah aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku.” Al-Hakim juga meriwayatkannya dalam al-Mustadraknya dari Zaid bin Arqam bahwa nabi bersabda pada Haji Wada’, “Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga) yang salah satu dari keduanya lebih besar daripada yang lain, Kitabullah (Al-Qur’an) dan keturunanku. Oleh karena itu perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Sebab sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh.” Setelah menyebutkan hadits ini Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat (yang ditetapkan Bukhari-Muslim).”.
Sebagaimana diketahui bahwa kaum muslimin sepakat untuk mensahihkan seluruh hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, maka saya mencukupkan dengan hanya mengutip kedua hadits ini sebab dalam banyak kitab hadits ini pun dinukil. Di antaranya juga terdapat dalam Sunan Ad-Darimi, Shahih Turmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad dan beberapa kitab lainnya. Ibnu Hajar dalam kitabnya ash-Shawai’iq telah menyampaikan silsilah hadits ini hingga kepada dua puluh lebih sahabat, lalu beliau (rahimahullah) menyatakan dengan tegas, ” Ketahuilah, sesunggguhnya hadits berpegang teguh kepada Kitab Allah dan ahlul bait mempunyai jalur yang banyak, dan diriwayatkan lebih dari 20 orang sahabat.”
Dalam riwayat tersebut, Rasul menyebut keduanya (Al-Qur’an dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya sebagaimana hadits Rasulullah tidak akan pernah terpisah dan saling melengkapi. Keduanya tidak dapat dipisahkan, apalagi oleh sekedar perkataan Umar bin Khattab pada saat Rasulullah mengalami masa-masa akhir dalam kehidupannya, bahwa Al-Qur’an sudah cukup bagi kita (baca tragedi ini dalam Al-Bukhari pada bab “Al-Ilmu” (Jilid I, hal 22). Muslim meriwayatkannya dalam Shahihnya pada akhir bab al-Washiyah dan juga tertulis dalam Musnad Ahmad jilid I hal. 355). Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini.
Tentu saja sabda Rasul tentang Ahlul Baitnya yang tidak akan terpisah dengan Al-Qur’an bukan berdasarkan hawa nafsu pribadinya, sebab Allah SWT telah menjamin dalam Al-Quran bahwa apapun yang disampaikan Rasul adalah semata-mata wahyu dari-Nya. Pertanyaanya, mengapa Al-Quran saja tidak cukup menjadi petunjuk bagi kaum muslimin sepeninggal Rasulullah?
Di antara jawabannya, semua kitab suci adalah kitab-kitab petunjuk yang mengandung prinsip-prinsip dasar petunjuk dan tidak menjelaskan prinsip-prinsip tersebut secara mendetail dan terperinci. Dan para Rasul diutus untuk menjelaskan kitab yang diwahyukan yang menjadi bukti kerasulannya, “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. ” (Qs. Ibrahim: 4).
Apakah semasa hidupnya Rasulullah telah menjelaskan kepada ummat Islam seluruh aturan-aturan dalam Al-Qur’an secara mendetail? Niscaya kita akan menjawab tidak seluruhnya, sebab selama sepuluh tahun Rasulullah Saw memerintah di Madinah, telah terjadi sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan peperangan (ghazwah) dan tiga puluh lima hingga sembilan puluh sariyah. Ghazwah adalah sebuah peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw, sedangkan sariyah adalah sebuah peperangan yang tidak langsung dipimpin olehnya. Akan tetapi, ia mengutus sebuah pasukan yang dipimpin oleh salah seorang sahabat yang telah ditunjuk olehnya. Tentu saja dengan berbagai kesibukan mengatur pertahanan dan peperangan menghadapi kaum kafir pada awal-awal revolusi Islam membuat Rasululllah tidak sempat untuk menjelaskan semua maksud ayat-ayat Al-Qur’an secara terperinci.
Sementara Allah SWT berfirman, ” Alif Lam Ra. (Inilah) kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci , (yang diturunkan) dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana dan Maha Teliti”. (Qs. Hud : 1). Dan di ayat lain, “Tidaklah Kami lalaikan sesuatu pun dalam Kitab ini.” (Qs. Al-An’am : 38).
Berkembangnya paham-paham yang saling bertolak belakang misalnya antara paham Jabariyah dan Qadariyah yang masing-masing menjadikan Al-Qur’an menjadikan landasan pemikirannya, menjadi bukti bahwa kaum muslimin di awal perkembangan Islam mengalami kehilangan pegangan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Bahwa sesungguhnya Rasul belum menjelaskan seluruhnya, walaupun agama ini telah sempurna, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu.” (Qs. Al-Maidah : 3 ). Sebab, “Kewajiban Rasul tidak lain hanya menyampaikan (risalah Allah).” (Qs. Al-Maidah : 99). Bukan berarti Rasulullah sama sekali tidak menjelaskan, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ” (Qs. An-Nahl : 64), masalah ini berkaitan dengan Al-Qur’an sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al-Qur’an, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas.
Al-Qur’an adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. “Sungguh, Kami telah mendatangkan kitab (Al-Qur’an) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-A’raf : 52). Dan menurut hadits Rasulullah Ahlul Baitlah yang meneruskan tugas Rasulullah untuk menjelaskan secara terperinci ayat-ayat Al-Qur’an.
Penerus nabi adalah orang-orang tahu interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam, sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Imam Ali as dalam salah satu khutbahnya yang dihimpun dalam Nahj Balaqah, khutbah ke-4, “Melalui kami kalian akan dibimbing dalam kegelapan dan akan mampu menapakkan kaki di jalan yang benar. Dengan bantuan kami kalian dapat melihat cahaya fajar setelah sebelumnya berada dalam kegelapan malam. Tulilah telinga yang tidak mendengarkan seruan (nasihat) sang pemandu”.
Tentang Imam Ali as Rasulullah bersabda, “Aku adalah kota ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang menghendaki ilmu, hendaklah ia mendatangi pintunya” Hadits ini disepakati keshahihannya oleh kaum muslimin sebab banyak terdapat dalam kitab-kitab hadits, diantaranya At-Thabari, Hakim, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir dan lainnya. Umar bin Khattab pun mengakui keilmuan Imam Ali as sebagaimana yang diriwayatkan Ath-Thabari, Al-Kanji Asy-Syati’i dan As-Shuyuti dalam kitabnya masing-masing, “Dari sanad Abu Hurairah, Umar bin Khattab berkata, “Ali adalah orang yang paling mengetahui di antara kami tentang masalah hukum. Aku mengetahui hal itu dari Rasululah maka sekali-kali aku tidak akan pernah meninggalkannya” Dalil yang menyatakan bahwa tidak hanya Rasulullah yang mengetahui makna Ilahiah Al-Qur’an, maksud sebagaimana yang diinginkan Allah SWT terdapat dalam ayat, “Sebenarnya (Al-Qur’an) itu adalah ayat-ayat yang jelas dalam dada orang-orang berilmu.” (Qs. Al-Ankabut : 49). Dan Ahlul Baitlah yang dimaksud dengan orang-orang berilmu tersebut.
Dan dengan firman Allah SWT, “Aku hendak jadikan seorang khalifah (wakil) di muka bumi.” (Qs. Al-Baqarah : 30), berarti di muka bumi akan senantiasa ada yang menjadi pemimpin otoritatif yang diangkat Allah SWT untuk menjadi khalifahnya. Akan tetap ada di muka bumi orang-orang yang menerima pengetahuan dari sumber Ilahiah. Imam Ali as berkata, “Pengetahuan masuk ke mereka, sehingga mereka mempunyai pengetahuan mendalam tentang kebenaran.” Mereka memiliki pengetahuan bukan hasil belajar dan terlepas dari kekeliruan. Mereka pun memiliki ‘Roh Tuhan’ yang menghubungkan mereka dengan dunia gaib.
Betapa pentingnya keberadaan Imam dan seorang Khalifah di muka bumi, “Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. ” (Qs. Al-Baqarah : 251). Sebagian manusia yang menjadi pelindung atas manusia yang lainnya adalah Ahlul Bait sebagaimana hadits Rasulullah Saw, “Perumpamaan Ahlul Baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya niscaya ia akan selamat; dan barangsiapa tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam dan binasa.”.
Seluruh ulama Islam sepakat akan keshahihan hadits ini yang dikenal sebagai hadits Safinah, diantaranya Al-Hakim, Ibnu Hajar dan Ath-Thabrani. Dan kitapun tahu dari informasi Rasulullah bahwa di akhir zaman akan muncul juru penyelamat yang akan menyelamatkan manusia dari berbagai kedzaliman dan menyebarkan keadilan di muka bumi, dialah yang dinanti-nantikan, Imam Mahdi as. Rasulullah Saw bersabda, “Kiamat tidak akan tiba kecuali kalau dunia ini sudah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. Kemudian keluar setelah itu seorang laki-laki dari Ahlul Baitku memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan.” Hadits-hadits Rasulullah Saw tentang Imam Mahdi sangat banyak jumlahnya.
Hanya saja, sejauh mana kita mencoba mengenali siapa yang termasuk Ahlul Bait nabi, siapakah mereka Imam 12 yang disebut Rasul berasal dari Bani Qurays, dan siapakah Imam Mahdi yang akan muncul di akhir zaman?. Sebagai muslim adalah kewajiban untuk mengetahui dan taat kepada mereka, sebagaimana wajibnya kaum muslimin taat kepada titah Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur’an. Dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dan tidak mengetahui imam zamannya, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah.” Dan dalam Al-qur’an Allah SWT berfirman, “(Ingatlah), pada hari ketika Kami panggil setiap umat dengan imamnya.” (Qs. Al-Isra’: 71).
Jadi kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi Saw bukan sekedar cinta biasa, bukan sekedar efek dari kecintaan kepada Nabi Saw bukan pula sekedar upah terhadap dakwah Rasulullah Saw, bukan pilihan, melainkan kewajiban yang telah menjadi bagian dari syariat agama karena Ahlul Bait dan Itrah Nabilah yang menjadi pelanjut tugas kenabian untuk menjaga kemurnian risalah Ilahi. Kecintaan kita kepada Ahlul Bait adalah juga kecintaan kepada Rasulullah Saw, kecintaan kepada Allah SWT, kecintaan kepada Islam dan agama ini. Imam Syafii pernah mengatakan, “Tidak sah shalat seseorang yang tidak menyertakan dalam shalatnya, shalawat kepada Nabi dan Ahlul Baitnya.”
Model pendidikan di Indonesia dianggap belum mampu menjadikan para
siswa lebih spritualis. Hal ini mengakibatkan siswa lebih bermental
materialis dan berorientasi kepada duniawi saja.
Pernyataan tersebut di ungkapkan oleh Umar Shahab Ketua Dewan Syuro Ahlulbait Indonesia, saat dihubungi redaksi. Ia mengungkapkan keprihatinannya bahwa orientasi pendidikan di Indonesia ini masih menunjukkan pola pembangunan siswa yang sangat materialistis.
“Saya prihatin akan fakta yang menunjukkan arah orientasi pendidikan nasional kita yang lebih diarahkan kepada aspek materialistis dan sering meninggalkan aspek spiritualitas,” katanya.
Ia menambahkan, karena dengan meninggalkan aspek spiritualitas, maka para siswa akan kehilangan dimensi kemanusiaannya. Hanya dengan terus meningkatkan spiritualistas dalam aspek pendidikan di Indonesia ini maka bangsa Indonesia ini akan menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan berbudaya tinggi.
“Spiritualitas sangat penting untuk menjaga martabat dan budaya bangsa kita, untuk itu mesti ditingkatkan lagi aspek spiritualitas pada seluruh sendi pendidikan nasional,” sambunya.
Salah satu tujuan pendidikan adalah untuk memberikan kehidupan yang lebih baik selain untuk mendapatkan materi
Umar Shahab sebagai ketua dewan syuro mewakili seluruh masyarakat Ahlulbait Indonesia
Kenapa Bukhari tidak mengumpulkan hadis dari jalur Imam Ja’far Shadiq ??
Jika wahabi menuduh bahwa YANG SESAT BUKAN 12 iMAM, tetapi PENGiKUT nya, maka tanyakan kepada wahabi : “Mengapa perawi hadis sunni (seperti Bukhari dll) tidak merujuk kepada Imam Ahlulbait As ?”
Sebelum terlalu jauh, mari kita ingat beberapa fakta ini:
1. Syiah adalah mazhab Islam terbesar kedua setelah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
2. Syiah adalah mazhab yang dianut oleh jumlah sangat signifikan penduduk negara-negara Timur Tengah (untuk tidak mengatakan mayoritas penduduk Teluk), tempat asal Islam.
3. Syiah adalah mazhab yang dianut oleh mayoritas dua bangsa pemilik tradisi keilmuan paling kuat dan paling kaya di dunia Islam: Iran (90%) dan Irak (68%).
Kedua bangsa yang kemudian menjadi Muslim Syiah ini bisa dibilang adalah pemilik dua khazanah kultural pra Islam (Persia dan Akkadia, Asyuria & Babilonia di wilayah Mesopotamia) yang berkontribusi paling besar terhadap kemajuan umat manusia. Intinya, Persia + Babilonia memiliki “tradisi ilmiah” di atas kebanyakan penduduk Muslim lain–tanpa mengurangi rasa hormat kepada bangsa lain, karena saya sendiri bukan tergolong dari kedua bangsa tersebut.
Ada baiknya kita bertanya: Mungkinkah kedua bangsa pemilik tradisi ilmiah hebat dan kaya itu telah sampai pada tafsir agama yang lebih baik dari kita?
4. Mari kita lihat kembali data populasi Syiah berikut ini: Iran (90%), Iraq (65%–menurut sensus rezim Saddam yang berat sebelah dan tak menunjukkan fakta sebenarnya), Azerbaijan (85%), Lebanon (35-40%), Kuwait (35%–menurut sensus rezim Wahabi yang menyesatkan Syiah), Turkey (25%), Saudi Arabia (10-15%–menurut sensus rezim Wahabi yang mengkafirkan Syiah), Yaman (40%), Uni Emirat Arab (15-20 % –menurut sensus rezim tribal Al-Nahiyan yang anti Iran) dan Bahrain (80%–menurut sensus rezim Wahabi yang menyesatkan Syiah).
Nah, setelah melihat beberapa fakta di atas, marilah kita kembali ke topik hadis Syiah. Berikut saya berikan beberapa tanggapan umum—tanpa merujuk pada poin-poin yang ditulis sebelumnya karena saya takkan terlibat perdebatan:
1. Apa yang disebut Sunnah atau Hadis oleh Syiah bukan hanya berupa ucapan, perilaku, sikap, kebiasaan Nabi, tapi juga seluruh ma’shum yang berjumlah 14. Dengan demikian, era wurud Sunnah tidak berhenti dengan wafatnya Nabi Besar Muhammad–seperti kepercayaan Ahlus Sunnah–melainkan berlanjut terus hingga masa kegaiban besar Imam Muhammad bin Hasan Al-Askari pada 941 M atau 329 H. Karena faktor itulah kita-kitab hadis Syiah ditulis dan dikodifikasikan dalam beberapa periode yang berbeda. Tapi itu tidak berarti bahwa kitab hadis Syiah baru ada di abad ke7 seperti diklaim sebagian orang. Jumlah hadis Syiah juga lebih banyak daripada hadis Sunni. Saya tak pernah hitung berapa persis jumlah surplusnya, tapi yg jelas ada defisit hadis dalam mazhab Sunni
Dilema justru muncul di kalangan mazhab Ahlus Sunnah yang mengakhiri periode Sunnah pada masa Nabi Muhammad tapi penulisannya terjadi jauh setelah beliau wafat. Ada periode kevakuman yang panjang. Banyak peneliti yg mencurigai bahwa dalam periode ini telah terjadi produksi hadis palsu besar-besaran. Kecurigaan ini didukung berbagai fakta. Tapi saya lagi2 tak tertarik untuk lari2an ke topik lain.
Kekayaan Sunnah dalam mazhab Syiah ini beberapa ratus tahun lalu memunculkan dampak negatif berupa fenomena pola pikir Akhbari. Kaum Akhbari percaya bahwa sunnah 14 Ma’shum sudah mencakupi semua sisi kehidupan manusia, sehingga tak perlu ada ijtihad dan sebagainya. Tapi itu juga isu lain lagi.
2. Setiap mujtahid dalam Syiah tidak menyandarkan keabsahan hadis pada si pengumpul hadis, namun mereka harus melakukan verifikasi, investigasi dan riset hadis sendiri untuk menilai kredibilitas perawi dan kebasahan matan hadis yang diriwayatkannya. Untuk itulah, mujtahid dalam mazhab Syiah harus menguasai metode verifikasi hadis dengan handal. Bahkan, banyak di antara mujtahid yang juga sekaligus adalah muhaddits. Misalnya, Ayatullah Khoei yang beberapa saat sebelum meninggal dunia sempat mengarang buku rijal sebanyak 24 jilid besar. Kalo ada yang mau lihat buku itu, bisa download di sini: http://www.shiatc.com/Lib_List/t5.xml
3. Karena poin 2 di atas, kalangan Syiah tak mengenal adanya kitab shahih. Pengumpul hadis tak pernah mengklaim hadisnya shahih. Dia hanya mengumpulkan dan menyerahkan penilaian pada masing-masing pakar, terutama yang ingin berijtihad. Allamah Majlisi sampai berhasil menuliskan hadis Syiah dalam 120 jilid.
Sunni tidak kenal Imam 12 yang disebut Rasul berasal dari Bani Qurays, berarti Sunni tidak cinta Ahlul Bait.
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai
Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (Qs. Al-Ahzab : 33).
Sebagaimana pernyataan Imam Syafi’i ra di atas, akan timbul berbagai pertanyaan dalam benak kaum muslimin yang mau berpikir tentang kebenaran sebuah keyakinan, siapakah yang dimaksud keluarga Nabi (Ahlul bait) yang hendak disucikan oleh Allah swt? adakah kewajiban untuk mencintai mereka sebagaimana kewajiban mencintai Nabi?
mengapa dalam redaksi shalawat kepada Nabi kita harus menyertakan pula shalawat kepada keluarganya?
Keistimewaan seperti apa yang dimiliki keluarga Nabi sampai dalam setiap shalat kita harus menyertakan shalawat kepada mereka?
Kalau mereka memiliki kedudukan yang agung dan mulia dalam agama ini, namun mengapa kajian tentang keluarga nabi tidak banyak kita dapatkan dalam kehidupan religius kita sehari-hari?
Tidaklah berlebihan, dalam ruang yang sempit ini saya mencoba menyelipkan sedikit tulisan mengenai mereka. Semoga dengan itu kita mau mengenal, mengikuti dan mencintai keluarga nabi atau yang sering kita dengar dengan ungkapan: Ahlul Bait.
Keistimewaan Keluarga Para Nabi.
Telah menjadi sunatullah, Nabi-nabi memiliki keluarga yang dimuliakan, diagungkan dan anak keturunan mereka dipilih oleh Allah sebagai washi, pelanjut risalah kenabian. Berikut ini beberapa ayat Al-Qur’an menjelaskan masalah ini :
“Dan Kami menganugerahkan kepada Ishak dan Yaqub. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian keturunannya (Nuh) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik; dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas, semuanya termasuk orang-orang yang saleh; dan Ismail, Alyasa’, Yunus dan Luth, masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya); dan Kami lebihkan (pula) derajat sebagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Inilah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Al-An’am : 84).
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan al-kitab, maka diantara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak diantara mereka yang fasiq” (Qs. Al-Hadid : 26).
“Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Yaqub dan Kami jadikan kenabian dan al-Kitab kepada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya balasan di dunia; dan sesungguhnya di akhirat mereka benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh” ( Qs. Al-Ankabut : 27).
Dan beberapa ayat lainnya yang tersebar dalam Al-Qur’an satu-satunya kitab Samawi yang tetap steril dari berbagai upaya penyelewengan dan perubahan.
Ayat-ayat di atas berbicara tentang sunatullah di muka bumi, dalam hal pemilihan washi para Nabi yang berasal dari keturunan mereka yang saleh dan suci, bukan yang fasiq dan bahwa pewarisan ilmu al-Kitab, hukum dan kenabian di antara putra-putra mereka yang suci telah ditetapkan sejak diturunkannya Adam as ke muka bumi. Silsilah yang suci ini memberikan gambaran yang jelas bahwa risalah Ilahiah ini tidak pernah keluar dari lingkaran keluarga-keluarga Nabi yang disucikan, dan tidak diwarisi oleh hati yang pernah dikotori oleh kesyirikan, kekejian dan kezaliman.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”. (Qs. Al-Baqarah: 124).
Jika ajaran Nabi terdahulu saja yang hanya berlaku untuk masa dan kaum tertentu memerlukan silsilah yang suci dan jiwa yang bersih, maka bagaimana mungkin ajaran Islam tidak memerlukan silsilah yang suci yang akan saling mewarisi ajaran Muhammad Saw yang luhur dan kekal hingga hari kiamat?. Jika Nabi terdahulu saja memerlukan orang yang menggantikannya di dalam urusan tabligh dari kalangan keluarga dan keturunannya yang saleh, maka bagaimana mungkin Rasulullah Saw tidak membutuhkan orang-orang yang meneruskan ajaran ini dari keluarga dan keturunannya yang suci?
Jika ayat-ayat tentang nabi dan keturunannya menekankan bahwa pemilihan washi para nabi telah berlaku bagi keluarga nabi yang saleh dengan tujuan untuk menjaga kesucian risalah, maka bagaimana mungkin ajaran Muhammad Saw yang kekal tidak membutuhkan pribadi-pribadi suci dari keturunannya yang akan menjaga nilai-nilai ajaran Ilahi dari usaha penyimpangan?
Melalui pengkajian ayat-ayat Al-Qur’an, tampak jelas bahwa masalah pemilihan atau seleksi pelanjut kepemimpinan Ilahiah adalah semata-mata wewenang Dzat yang Maha Mengetahui, tanpa adanya campur tangan siapapun.
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami.” (Qs. Fathir : 32).
Dalam ayat lain, dikisahkan tentang Nabi Musa as, “Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Mengetahui (keadaan) kami.” Allah berfirman : “Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa.” (Qs. Thaha : 29-36).
Kita menyaksikan dalam ayat ini betapa Nabi Musa memohon kepada Allah SWT dengan penuh pengharapan dan kerendahan hati untuk memilih saudaranya, Harun, sebagai pembantunya dalam urusan Tabligh. Jika nabi Musa as saja, dengan segala ketinggian kedudukan dan kedekatannya kepada Allah SWT tidak memperkenankan dirinya untuk memilih langsung orang yang akan menggantikan dia sepeninggalnya dan yang membantunya dalam tugas-tugasnya, maka bagaimana mungkin umat Islam berhak memilih orang-orang yang menggantikan Rasulullah Saw sebagai khalifah sepeninggalnya? sebuah keberanian ‘ijtihad’ yang telah menimbulkan perselisihan, perpecahan bahkan sampai pertumpahan darah dikalangan sahabat.
Imamah dan Ahlul Bait.
Sekarang, seberapa banyakkah yang kita tahu tentang ayat muhkamah di dalam Al-Qur’an yang turun berkaitan dengan keagungan keluarga Rasulullah yang mulia? Atau seberapa banyakkah kisah yang kita ketahui tentang Rasulullah yang selalu mengingatkan ummatnya akan pengutamaan Allah atas keluarganya.
Imam Muslim meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya, (juz 4 hal 123, cetakan Beirut Lebanon), Zaid bin Arqam berkata, “Pada suatu hari Rasulullah Saw berdiri di tengah-tengah kami dan menyampaikan khutbah di telaga yang bernama “Khum”, yang terletak antara Makah dan Madinah. Setelah mengucapkan hamdalah dan puji-pujian kepada-Nya serta memberi nasihat dan peringatan Rasulullah Saw berkata, “Adapun selanjutnya, wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia yang hampir didatangi oleh utusan Tuhanku, maka akupun menghadap-Nya. Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara yang amat berharga, yang pertama adalah kitab Allah, yang merupakan tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya maka dia berada di atas petunjuk, dan barang siapa yang meninggalnya maka ia berada di atas kesesatan.”
Kemudian Rasulullah Saw melanjutkan sabdanya, Adapun yang kedua adalah Ahlul Baitku. Demi Allah aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku.” Al-Hakim juga meriwayatkannya dalam al-Mustadraknya dari Zaid bin Arqam bahwa nabi bersabda pada Haji Wada’, “Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga) yang salah satu dari keduanya lebih besar daripada yang lain, Kitabullah (Al-Qur’an) dan keturunanku. Oleh karena itu perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Sebab sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh.” Setelah menyebutkan hadits ini Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat (yang ditetapkan Bukhari-Muslim).”
Sebagaimana diketahui bahwa kaum muslimin sepakat untuk mensahihkan seluruh hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, maka saya mencukupkan dengan hanya mengutip kedua hadits ini sebab dalam banyak kitab hadits ini pun dinukil. Di antaranya juga terdapat dalam Sunan Ad-Darimi, Shahih Turmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad dan beberapa kitab lainnya. Ibnu Hajar dalam kitabnya ash-Shawai’iq telah menyampaikan silsilah hadits ini hingga kepada dua puluh lebih sahabat, lalu beliau (rahimahullah) menyatakan dengan tegas, ” Ketahuilah, sesunggguhnya hadits berpegang teguh kepada Kitab Allah dan ahlul bait mempunyai jalur yang banyak, dan diriwayatkan lebih dari 20 orang sahabat.”
Dalam riwayat tersebut, Rasul menyebut keduanya (Al-Qur’an dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya sebagaimana hadits Rasulullah tidak akan pernah terpisah dan saling melengkapi. Keduanya tidak dapat dipisahkan, apalagi oleh sekedar perkataan Umar bin Khattab pada saat Rasulullah mengalami masa-masa akhir dalam kehidupannya, bahwa Al-Qur’an sudah cukup bagi kita (baca tragedi ini dalam Al-Bukhari pada bab “Al-Ilmu” (Jilid I, hal 22). Muslim meriwayatkannya dalam Shahihnya pada akhir bab al-Washiyah dan juga tertulis dalam Musnad Ahmad jilid I hal. 355). Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini.
Tentu saja sabda Rasul tentang Ahlul Baitnya yang tidak akan terpisah dengan Al-Qur’an bukan berdasarkan hawa nafsu pribadinya, sebab Allah SWT telah menjamin dalam Al-Quran bahwa apapun yang disampaikan Rasul adalah semata-mata wahyu dari-Nya. Pertanyaanya, mengapa Al-Quran saja tidak cukup menjadi petunjuk bagi kaum muslimin sepeninggal Rasulullah?.
Di antara jawabannya, semua kitab suci adalah kitab-kitab petunjuk yang mengandung prinsip-prinsip dasar petunjuk dan tidak menjelaskan prinsip-prinsip tersebut secara mendetail dan terperinci. Dan para Rasul diutus untuk menjelaskan kitab yang diwahyukan yang menjadi bukti kerasulannya, “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. ” (Qs. Ibrahim: 4).
Apakah semasa hidupnya Rasulullah telah menjelaskan kepada ummat Islam seluruh aturan-aturan dalam Al-Qur’an secara mendetail? Niscaya kita akan menjawab tidak seluruhnya, sebab selama sepuluh tahun Rasulullah Saw memerintah di Madinah, telah terjadi sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan peperangan (ghazwah) dan tiga puluh lima hingga sembilan puluh sariyah.
Ghazwah adalah sebuah peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw, sedangkan sariyah adalah sebuah peperangan yang tidak langsung dipimpin olehnya. Akan tetapi, ia mengutus sebuah pasukan yang dipimpin oleh salah seorang sahabat yang telah ditunjuk olehnya. Tentu saja dengan berbagai kesibukan mengatur pertahanan dan peperangan menghadapi kaum kafir pada awal-awal revolusi Islam membuat Rasululllah tidak sempat untuk menjelaskan semua maksud ayat-ayat Al-Qur’an secara terperinci.
Sementara Allah SWT berfirman, ” Alif Lam Ra. (Inilah) kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci , (yang diturunkan) dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana dan Maha Teliti”. (Qs. Hud : 1). Dan di ayat lain, “Tidaklah Kami lalaikan sesuatu pun dalam Kitab ini.” (Qs. Al-An’am : 38).
Berkembangnya paham-paham yang saling bertolak belakang misalnya antara paham Jabariyah dan Qadariyah yang masing-masing menjadikan Al-Qur’an menjadikan landasan pemikirannya, menjadi bukti bahwa kaum muslimin di awal perkembangan Islam mengalami kehilangan pegangan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Bahwa sesungguhnya Rasul belum menjelaskan seluruhnya, walaupun agama ini telah sempurna, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu.” (Qs. Al-Maidah : 3 ).
Sebab, “Kewajiban Rasul tidak lain hanya menyampaikan (risalah Allah).” (Qs. Al-Maidah : 99).
Bukan berarti Rasulullah sama sekali tidak menjelaskan, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ” (Qs. An-Nahl : 64), masalah ini berkaitan dengan Al-Qur’an sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al-Qur’an, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas.
Al-Qur’an adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. “Sungguh, Kami telah mendatangkan kitab (Al-Qur’an) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-A’raf : 52). Dan menurut hadits Rasulullah Ahlul Baitlah yang meneruskan tugas Rasulullah untuk menjelaskan secara terperinci ayat-ayat Al-Qur’an.
Penerus nabi adalah orang-orang tahu interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam, sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Imam Ali as dalam salah satu khutbahnya yang dihimpun dalam Nahj Balaqah, khutbah ke-4, “Melalui kami kalian akan dibimbing dalam kegelapan dan akan mampu menapakkan kaki di jalan yang benar. Dengan bantuan kami kalian dapat melihat cahaya fajar setelah sebelumnya berada dalam kegelapan malam. Tulilah telinga yang tidak mendengarkan seruan (nasihat) sang pemandu”.
Tentang Imam Ali as Rasulullah bersabda, “Aku adalah kota ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang menghendaki ilmu, hendaklah ia mendatangi pintunya” Hadits ini disepakati keshahihannya oleh kaum muslimin sebab banyak terdapat dalam kitab-kitab hadits, diantaranya At-Thabari, Hakim, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir dan lainnya. Umar bin Khattab pun mengakui keilmuan Imam Ali as sebagaimana yang diriwayatkan Ath-Thabari, Al-Kanji Asy-Syati’i dan As-Shuyuti dalam kitabnya masing-masing, “Dari sanad Abu Hurairah, Umar bin Khattab berkata, “Ali adalah orang yang paling mengetahui di antara kami tentang masalah hukum. Aku mengetahui hal itu dari Rasululah maka sekali-kali aku tidak akan pernah meninggalkannya”.
Dalil yang menyatakan bahwa tidak hanya Rasulullah yang mengetahui makna Ilahiah Al-Qur’an, maksud sebagaimana yang diinginkan Allah SWT terdapat dalam ayat, “Sebenarnya (Al-Qur’an) itu adalah ayat-ayat yang jelas dalam dada orang-orang berilmu.” (Qs. Al-Ankabut : 49). Dan Ahlul Baitlah yang dimaksud dengan orang-orang berilmu tersebut.
Dan dengan firman Allah SWT, “Aku hendak jadikan seorang khalifah (wakil) di muka bumi.” (Qs. Al-Baqarah : 30), berarti di muka bumi akan senantiasa ada yang menjadi pemimpin otoritatif yang diangkat Allah SWT untuk menjadi khalifahnya. Akan tetap ada di muka bumi orang-orang yang menerima pengetahuan dari sumber Ilahiah. Imam Ali as berkata, “Pengetahuan masuk ke mereka, sehingga mereka mempunyai pengetahuan mendalam tentang kebenaran.” Mereka memiliki pengetahuan bukan hasil belajar dan terlepas dari kekeliruan. Mereka pun memiliki ‘Roh Tuhan’ yang menghubungkan mereka dengan dunia gaib.
Betapa pentingnya keberadaan Imam dan seorang Khalifah di muka bumi, “Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. ” (Qs. Al-Baqarah : 251). Sebagian manusia yang menjadi pelindung atas manusia yang lainnya adalah Ahlul Bait sebagaimana hadits Rasulullah Saw, “Perumpamaan Ahlul Baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya niscaya ia akan selamat; dan barangsiapa tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam dan binasa.”.
Seluruh ulama Islam sepakat akan keshahihan hadits ini yang dikenal sebagai hadits Safinah, diantaranya Al-Hakim, Ibnu Hajar dan Ath-Thabrani. Dan kitapun tahu dari informasi Rasulullah bahwa di akhir zaman akan muncul juru penyelamat yang akan menyelamatkan manusia dari berbagai kedzaliman dan menyebarkan keadilan di muka bumi, dialah yang dinanti-nantikan, Imam Mahdi as. Rasulullah Saw bersabda, “Kiamat tidak akan tiba kecuali kalau dunia ini sudah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. Kemudian keluar setelah itu seorang laki-laki dari Ahlul Baitku memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan.” Hadits-hadits Rasulullah Saw tentang Imam Mahdi sangat banyak jumlahnya.
Hanya saja, sejauh mana kita mencoba mengenali siapa yang termasuk Ahlul Bait nabi, siapakah mereka Imam 12 yang disebut Rasul berasal dari Bani Qurays, dan siapakah Imam Mahdi yang akan muncul di akhir zaman?. Sebagai muslim adalah kewajiban untuk mengetahui dan taat kepada mereka, sebagaimana wajibnya kaum muslimin taat kepada titah Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur’an. Dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dan tidak mengetahui imam zamannya, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah.” Dan dalam Al-qur’an Allah SWT berfirman, “(Ingatlah), pada hari ketika Kami panggil setiap umat dengan imamnya.” (Qs. Al-Isra’: 71).
Jadi kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi Saw bukan sekedar cinta biasa, bukan sekedar efek dari kecintaan kepada Nabi Saw bukan pula sekedar upah terhadap dakwah Rasulullah Saw, bukan pilihan, melainkan kewajiban yang telah menjadi bagian dari syariat agama karena Ahlul Bait dan Itrah Nabilah yang menjadi pelanjut tugas kenabian untuk menjaga kemurnian risalah Ilahi. Kecintaan kita kepada Ahlul Bait adalah juga kecintaan kepada Rasulullah Saw, kecintaan kepada Allah SWT, kecintaan kepada Islam dan agama ini. Imam Syafii pernah mengatakan, “Tidak sah shalat seseorang yang tidak menyertakan dalam shalatnya, shalawat kepada Nabi dan Ahlul Baitnya.”.
Ulama Harus Menjelaskan Makna Hakiki Kecintaan Terhadap Ahlul Bait as.
Ayatullah Naser Makarem Shirazi, salah satu marji’ besar Syiah di kota Qom, Iran, menyatakan, “Para mubaligh harus benar-benar perhatian dalam menjelaskan makna dan kandungan dari kecintaan kepada Ahlul Bait sehingga jangan sampai sebagian orang beranggapan bahwa dengan melakukan perbuatan menyimpang, mereka dapat tetap masuk surga dengan hanya menyimpan kecintaan terhadap Sayidah Zahra sa.
Ayatullah Makarem Shirazi menjelaskan tingkatan para pecinta Ahlul Bait as dan menegaskan, “Para pecinta Ahlul Bait as terbagi menjadi tiga bagian. Pertama kelompok yang hanya mencintai Ahlul Bait as demi riya, dan kelompok itu termasuk dalam golongan para pendusta. Kedua kelompok yang mencintai Ahlul Bait as secara awam atau yang hanya menyatakan cinta akan tetapi tidak pernah memperhatikan ucapan dan perilaku manusia-manusia suci itu.”.
Adapun dalam menjelaskan para pecinta sejati Ahlul Bait as, Ayatullah Makarem Shirazi mengatakan, “Kelompok ketiga adalah para pecinta sejati, mereka yang sepanjang hidupnya mematuhi perintah Allah Swt dengah sepenuh hati. Mereka adalah kelompok yang merasa mudah untuk mematuhi perintah-Nya akan tetapi merasa sangat berat untuk berbuat maksiat.”.
Bahaya Wahabi Sebuah Realita.
Dewasa ini kebid’ahan telah merebak di dalam tubuh kaum muslimin sedemikian hebatnya sehingga banyak kaum muslimin yang tidak mengerti bahaya kebid’ahan padahal kebid’ahan tersebut dapat merusak mereka dan merusak keutuhan dan persatuan kaum muslimin bahkan banyak negara Islam yang hancur lantarannya seperti daulah bani Umayah yang jatuh disebabkan kebid’ahan.
Mengapa Kita Harus Mencintai Ahlul Bait Nabi?
“Jika dengan mencintai keluarga Nabi Saw aku disebut Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah sesungguhnya aku seorang Rafidhi (Syiah) dan cukuplah shalatku menjadi tidak sah dengan tidak menyertakan shalawat kepada mereka.” (Imam Syafi’i ra).
Sebagaimana pernyataan Imam Syafi’i ra di atas, akan timbul berbagai pertanyaan dalam benak kaum muslimin yang mau berpikir tentang kebenaran sebuah keyakinan, siapakah yang dimaksud keluarga Nabi (Ahlul bait) yang hendak disucikan oleh Allah swt? adakah kewajiban untuk mencintai mereka sebagaimana kewajiban mencintai Nabi?
mengapa dalam redaksi shalawat kepada Nabi kita harus menyertakan pula shalawat kepada keluarganya?
Keistimewaan seperti apa yang dimiliki keluarga Nabi sampai dalam setiap shalat kita harus menyertakan shalawat kepada mereka? Kalau mereka memiliki kedudukan yang agung dan mulia dalam agama ini, namun mengapa kajian tentang keluarga nabi tidak banyak kita dapatkan dalam kehidupan religius kita sehari-hari?
Tidaklah berlebihan, dalam ruang yang sempit ini saya mencoba menyelipkan sedikit tulisan mengenai mereka. Semoga dengan itu kita mau mengenal, mengikuti dan mencintai keluarga nabi atau yang sering kita dengar dengan ungkapan: Ahlul Bait.
Keistimewaan Keluarga Para Nabi.
Telah menjadi sunatullah, Nabi-nabi memiliki keluarga yang dimuliakan, diagungkan dan anak keturunan mereka dipilih oleh Allah sebagai washi, pelanjut risalah kenabian. Berikut ini beberapa ayat Al-Qur’an menjelaskan masalah ini :
“Dan Kami menganugerahkan kepada Ishak dan Yaqub. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian keturunannya (Nuh) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik; dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas, semuanya termasuk orang-orang yang saleh; dan Ismail, Alyasa’, Yunus dan Luth, masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya); dan Kami lebihkan (pula) derajat sebagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Inilah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Al-An’am : 84).
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan al-kitab, maka diantara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak diantara mereka yang fasiq” (Qs. Al-Hadid : 26).
“Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Yaqub dan Kami jadikan kenabian dan al-Kitab kepada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya balasan di dunia; dan sesungguhnya di akhirat mereka benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh” ( Qs. Al-Ankabut : 27).
Dan beberapa ayat lainnya yang tersebar dalam Al-Qur’an satu-satunya kitab Samawi yang tetap steril dari berbagai upaya penyelewengan dan perubahan.
Ayat-ayat di atas berbicara tentang sunatullah di muka bumi, dalam hal pemilihan washi para Nabi yang berasal dari keturunan mereka yang saleh dan suci, bukan yang fasiq dan bahwa pewarisan ilmu al-Kitab, hukum dan kenabian di antara putra-putra mereka yang suci telah ditetapkan sejak diturunkannya Adam as ke muka bumi. Silsilah yang suci ini memberikan gambaran yang jelas bahwa risalah Ilahiah ini tidak pernah keluar dari lingkaran keluarga-keluarga Nabi yang disucikan, dan tidak diwarisi oleh hati yang pernah dikotori oleh kesyirikan, kekejian dan kezaliman.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”. (Qs. Al-Baqarah: 124).
Jika ajaran Nabi terdahulu saja yang hanya berlaku untuk masa dan kaum tertentu memerlukan silsilah yang suci dan jiwa yang bersih, maka bagaimana mungkin ajaran Islam tidak memerlukan silsilah yang suci yang akan saling mewarisi ajaran Muhammad Saw yang luhur dan kekal hingga hari kiamat?. Jika Nabi terdahulu saja memerlukan orang yang menggantikannya di dalam urusan tabligh dari kalangan keluarga dan keturunannya yang saleh, maka bagaimana mungkin Rasulullah Saw tidak membutuhkan orang-orang yang meneruskan ajaran ini dari keluarga dan keturunannya yang suci?
Jika ayat-ayat tentang nabi dan keturunannya menekankan bahwa pemilihan washi para nabi telah berlaku bagi keluarga nabi yang saleh dengan tujuan untuk menjaga kesucian risalah, maka bagaimana mungkin ajaran Muhammad Saw yang kekal tidak membutuhkan pribadi-pribadi suci dari keturunannya yang akan menjaga nilai-nilai ajaran Ilahi dari usaha penyimpangan?
Melalui pengkajian ayat-ayat Al-Qur’an, tampak jelas bahwa masalah pemilihan atau seleksi pelanjut kepemimpinan Ilahiah adalah semata-mata wewenang Dzat yang Maha Mengetahui, tanpa adanya campur tangan siapapun.
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami.” (Qs. Fathir : 32).
Dalam ayat lain, dikisahkan tentang Nabi Musa as, “Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Mengetahui (keadaan) kami.” Allah berfirman : “Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa.” (Qs. Thaha : 29-36).
Kita menyaksikan dalam ayat ini betapa Nabi Musa memohon kepada Allah SWT dengan penuh pengharapan dan kerendahan hati untuk memilih saudaranya, Harun, sebagai pembantunya dalam urusan Tabligh. Jika nabi Musa as saja, dengan segala ketinggian kedudukan dan kedekatannya kepada Allah SWT tidak memperkenankan dirinya untuk memilih langsung orang yang akan menggantikan dia sepeninggalnya dan yang membantunya dalam tugas-tugasnya, maka bagaimana mungkin umat Islam berhak memilih orang-orang yang menggantikan Rasulullah Saw sebagai khalifah sepeninggalnya? sebuah keberanian ‘ijtihad’ yang telah menimbulkan perselisihan, perpecahan bahkan sampai pertumpahan darah dikalangan sahabat.
Imamah dan Ahlul Bait.
Sekarang, seberapa banyakkah yang kita tahu tentang ayat muhkamah di dalam Al-Qur’an yang turun berkaitan dengan keagungan keluarga Rasulullah yang mulia? Atau seberapa banyakkah kisah yang kita ketahui tentang Rasulullah yang selalu mengingatkan ummatnya akan pengutamaan Allah atas keluarganya.
Imam Muslim meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya, (juz 4 hal 123, cetakan Beirut Lebanon), Zaid bin Arqam berkata, “Pada suatu hari Rasulullah Saw berdiri di tengah-tengah kami dan menyampaikan khutbah di telaga yang bernama “Khum”, yang terletak antara Makah dan Madinah. Setelah mengucapkan hamdalah dan puji-pujian kepada-Nya serta memberi nasihat dan peringatan Rasulullah Saw berkata, “Adapun selanjutnya, wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia yang hampir didatangi oleh utusan Tuhanku, maka akupun menghadap-Nya. Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara yang amat berharga, yang pertama adalah kitab Allah, yang merupakan tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya maka dia berada di atas petunjuk, dan barang siapa yang meninggalnya maka ia berada di atas kesesatan.”.
Kemudian Rasulullah Saw melanjutkan sabdanya, Adapun yang kedua adalah Ahlul Baitku. Demi Allah aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku.” Al-Hakim juga meriwayatkannya dalam al-Mustadraknya dari Zaid bin Arqam bahwa nabi bersabda pada Haji Wada’, “Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga) yang salah satu dari keduanya lebih besar daripada yang lain, Kitabullah (Al-Qur’an) dan keturunanku. Oleh karena itu perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Sebab sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh.” Setelah menyebutkan hadits ini Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat (yang ditetapkan Bukhari-Muslim).”.
Sebagaimana diketahui bahwa kaum muslimin sepakat untuk mensahihkan seluruh hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, maka saya mencukupkan dengan hanya mengutip kedua hadits ini sebab dalam banyak kitab hadits ini pun dinukil. Di antaranya juga terdapat dalam Sunan Ad-Darimi, Shahih Turmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad dan beberapa kitab lainnya. Ibnu Hajar dalam kitabnya ash-Shawai’iq telah menyampaikan silsilah hadits ini hingga kepada dua puluh lebih sahabat, lalu beliau (rahimahullah) menyatakan dengan tegas, ” Ketahuilah, sesunggguhnya hadits berpegang teguh kepada Kitab Allah dan ahlul bait mempunyai jalur yang banyak, dan diriwayatkan lebih dari 20 orang sahabat.”
Dalam riwayat tersebut, Rasul menyebut keduanya (Al-Qur’an dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya sebagaimana hadits Rasulullah tidak akan pernah terpisah dan saling melengkapi. Keduanya tidak dapat dipisahkan, apalagi oleh sekedar perkataan Umar bin Khattab pada saat Rasulullah mengalami masa-masa akhir dalam kehidupannya, bahwa Al-Qur’an sudah cukup bagi kita (baca tragedi ini dalam Al-Bukhari pada bab “Al-Ilmu” (Jilid I, hal 22). Muslim meriwayatkannya dalam Shahihnya pada akhir bab al-Washiyah dan juga tertulis dalam Musnad Ahmad jilid I hal. 355). Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini.
Tentu saja sabda Rasul tentang Ahlul Baitnya yang tidak akan terpisah dengan Al-Qur’an bukan berdasarkan hawa nafsu pribadinya, sebab Allah SWT telah menjamin dalam Al-Quran bahwa apapun yang disampaikan Rasul adalah semata-mata wahyu dari-Nya. Pertanyaanya, mengapa Al-Quran saja tidak cukup menjadi petunjuk bagi kaum muslimin sepeninggal Rasulullah?
Di antara jawabannya, semua kitab suci adalah kitab-kitab petunjuk yang mengandung prinsip-prinsip dasar petunjuk dan tidak menjelaskan prinsip-prinsip tersebut secara mendetail dan terperinci. Dan para Rasul diutus untuk menjelaskan kitab yang diwahyukan yang menjadi bukti kerasulannya, “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. ” (Qs. Ibrahim: 4).
Apakah semasa hidupnya Rasulullah telah menjelaskan kepada ummat Islam seluruh aturan-aturan dalam Al-Qur’an secara mendetail? Niscaya kita akan menjawab tidak seluruhnya, sebab selama sepuluh tahun Rasulullah Saw memerintah di Madinah, telah terjadi sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan peperangan (ghazwah) dan tiga puluh lima hingga sembilan puluh sariyah. Ghazwah adalah sebuah peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw, sedangkan sariyah adalah sebuah peperangan yang tidak langsung dipimpin olehnya. Akan tetapi, ia mengutus sebuah pasukan yang dipimpin oleh salah seorang sahabat yang telah ditunjuk olehnya. Tentu saja dengan berbagai kesibukan mengatur pertahanan dan peperangan menghadapi kaum kafir pada awal-awal revolusi Islam membuat Rasululllah tidak sempat untuk menjelaskan semua maksud ayat-ayat Al-Qur’an secara terperinci.
Sementara Allah SWT berfirman, ” Alif Lam Ra. (Inilah) kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci , (yang diturunkan) dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana dan Maha Teliti”. (Qs. Hud : 1). Dan di ayat lain, “Tidaklah Kami lalaikan sesuatu pun dalam Kitab ini.” (Qs. Al-An’am : 38).
Berkembangnya paham-paham yang saling bertolak belakang misalnya antara paham Jabariyah dan Qadariyah yang masing-masing menjadikan Al-Qur’an menjadikan landasan pemikirannya, menjadi bukti bahwa kaum muslimin di awal perkembangan Islam mengalami kehilangan pegangan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Bahwa sesungguhnya Rasul belum menjelaskan seluruhnya, walaupun agama ini telah sempurna, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu.” (Qs. Al-Maidah : 3 ). Sebab, “Kewajiban Rasul tidak lain hanya menyampaikan (risalah Allah).” (Qs. Al-Maidah : 99). Bukan berarti Rasulullah sama sekali tidak menjelaskan, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ” (Qs. An-Nahl : 64), masalah ini berkaitan dengan Al-Qur’an sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al-Qur’an, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas.
Al-Qur’an adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. “Sungguh, Kami telah mendatangkan kitab (Al-Qur’an) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-A’raf : 52). Dan menurut hadits Rasulullah Ahlul Baitlah yang meneruskan tugas Rasulullah untuk menjelaskan secara terperinci ayat-ayat Al-Qur’an.
Penerus nabi adalah orang-orang tahu interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam, sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Imam Ali as dalam salah satu khutbahnya yang dihimpun dalam Nahj Balaqah, khutbah ke-4, “Melalui kami kalian akan dibimbing dalam kegelapan dan akan mampu menapakkan kaki di jalan yang benar. Dengan bantuan kami kalian dapat melihat cahaya fajar setelah sebelumnya berada dalam kegelapan malam. Tulilah telinga yang tidak mendengarkan seruan (nasihat) sang pemandu”.
Tentang Imam Ali as Rasulullah bersabda, “Aku adalah kota ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang menghendaki ilmu, hendaklah ia mendatangi pintunya” Hadits ini disepakati keshahihannya oleh kaum muslimin sebab banyak terdapat dalam kitab-kitab hadits, diantaranya At-Thabari, Hakim, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir dan lainnya. Umar bin Khattab pun mengakui keilmuan Imam Ali as sebagaimana yang diriwayatkan Ath-Thabari, Al-Kanji Asy-Syati’i dan As-Shuyuti dalam kitabnya masing-masing, “Dari sanad Abu Hurairah, Umar bin Khattab berkata, “Ali adalah orang yang paling mengetahui di antara kami tentang masalah hukum. Aku mengetahui hal itu dari Rasululah maka sekali-kali aku tidak akan pernah meninggalkannya” Dalil yang menyatakan bahwa tidak hanya Rasulullah yang mengetahui makna Ilahiah Al-Qur’an, maksud sebagaimana yang diinginkan Allah SWT terdapat dalam ayat, “Sebenarnya (Al-Qur’an) itu adalah ayat-ayat yang jelas dalam dada orang-orang berilmu.” (Qs. Al-Ankabut : 49). Dan Ahlul Baitlah yang dimaksud dengan orang-orang berilmu tersebut.
Dan dengan firman Allah SWT, “Aku hendak jadikan seorang khalifah (wakil) di muka bumi.” (Qs. Al-Baqarah : 30), berarti di muka bumi akan senantiasa ada yang menjadi pemimpin otoritatif yang diangkat Allah SWT untuk menjadi khalifahnya. Akan tetap ada di muka bumi orang-orang yang menerima pengetahuan dari sumber Ilahiah. Imam Ali as berkata, “Pengetahuan masuk ke mereka, sehingga mereka mempunyai pengetahuan mendalam tentang kebenaran.” Mereka memiliki pengetahuan bukan hasil belajar dan terlepas dari kekeliruan. Mereka pun memiliki ‘Roh Tuhan’ yang menghubungkan mereka dengan dunia gaib.
Betapa pentingnya keberadaan Imam dan seorang Khalifah di muka bumi, “Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. ” (Qs. Al-Baqarah : 251). Sebagian manusia yang menjadi pelindung atas manusia yang lainnya adalah Ahlul Bait sebagaimana hadits Rasulullah Saw, “Perumpamaan Ahlul Baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya niscaya ia akan selamat; dan barangsiapa tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam dan binasa.”.
Seluruh ulama Islam sepakat akan keshahihan hadits ini yang dikenal sebagai hadits Safinah, diantaranya Al-Hakim, Ibnu Hajar dan Ath-Thabrani. Dan kitapun tahu dari informasi Rasulullah bahwa di akhir zaman akan muncul juru penyelamat yang akan menyelamatkan manusia dari berbagai kedzaliman dan menyebarkan keadilan di muka bumi, dialah yang dinanti-nantikan, Imam Mahdi as. Rasulullah Saw bersabda, “Kiamat tidak akan tiba kecuali kalau dunia ini sudah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. Kemudian keluar setelah itu seorang laki-laki dari Ahlul Baitku memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan.” Hadits-hadits Rasulullah Saw tentang Imam Mahdi sangat banyak jumlahnya.
Hanya saja, sejauh mana kita mencoba mengenali siapa yang termasuk Ahlul Bait nabi, siapakah mereka Imam 12 yang disebut Rasul berasal dari Bani Qurays, dan siapakah Imam Mahdi yang akan muncul di akhir zaman?. Sebagai muslim adalah kewajiban untuk mengetahui dan taat kepada mereka, sebagaimana wajibnya kaum muslimin taat kepada titah Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur’an. Dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dan tidak mengetahui imam zamannya, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah.” Dan dalam Al-qur’an Allah SWT berfirman, “(Ingatlah), pada hari ketika Kami panggil setiap umat dengan imamnya.” (Qs. Al-Isra’: 71).
Jadi kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi Saw bukan sekedar cinta biasa, bukan sekedar efek dari kecintaan kepada Nabi Saw bukan pula sekedar upah terhadap dakwah Rasulullah Saw, bukan pilihan, melainkan kewajiban yang telah menjadi bagian dari syariat agama karena Ahlul Bait dan Itrah Nabilah yang menjadi pelanjut tugas kenabian untuk menjaga kemurnian risalah Ilahi. Kecintaan kita kepada Ahlul Bait adalah juga kecintaan kepada Rasulullah Saw, kecintaan kepada Allah SWT, kecintaan kepada Islam dan agama ini. Imam Syafii pernah mengatakan, “Tidak sah shalat seseorang yang tidak menyertakan dalam shalatnya, shalawat kepada Nabi dan Ahlul Baitnya.”
Pendidikan Sunni Indonesia gagal total, apa yang harus kami contoh ??
Pernyataan tersebut di ungkapkan oleh Umar Shahab Ketua Dewan Syuro Ahlulbait Indonesia, saat dihubungi redaksi. Ia mengungkapkan keprihatinannya bahwa orientasi pendidikan di Indonesia ini masih menunjukkan pola pembangunan siswa yang sangat materialistis.
“Saya prihatin akan fakta yang menunjukkan arah orientasi pendidikan nasional kita yang lebih diarahkan kepada aspek materialistis dan sering meninggalkan aspek spiritualitas,” katanya.
Ia menambahkan, karena dengan meninggalkan aspek spiritualitas, maka para siswa akan kehilangan dimensi kemanusiaannya. Hanya dengan terus meningkatkan spiritualistas dalam aspek pendidikan di Indonesia ini maka bangsa Indonesia ini akan menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan berbudaya tinggi.
“Spiritualitas sangat penting untuk menjaga martabat dan budaya bangsa kita, untuk itu mesti ditingkatkan lagi aspek spiritualitas pada seluruh sendi pendidikan nasional,” sambunya.
Salah satu tujuan pendidikan adalah untuk memberikan kehidupan yang lebih baik selain untuk mendapatkan materi
Umar Shahab sebagai ketua dewan syuro mewakili seluruh masyarakat Ahlulbait Indonesia
Pendidikan Sunni Indonesia gagal total, apa yang harus kami contoh ??
“Jika dengan mencintai keluarga Nabi Saw aku disebut Rafidhi (Syiah),
maka saksikanlah sesungguhnya aku seorang Rafidhi (Syiah) dan cukuplah
shalatku menjadi tidak sah dengan tidak menyertakan shalawat kepada
mereka.” (Imam Syafi’i ra).
Sebagaimana pernyataan Imam Syafi’i ra di atas, akan timbul berbagai pertanyaan dalam benak kaum muslimin yang mau berpikir tentang kebenaran sebuah keyakinan, siapakah yang dimaksud keluarga Nabi (Ahlul bait) yang hendak disucikan oleh Allah swt? adakah kewajiban untuk mencintai mereka sebagaimana kewajiban mencintai Nabi? mengapa dalam redaksi shalawat kepada Nabi kita harus menyertakan pula shalawat kepada keluarganya? Keistimewaan seperti apa yang dimiliki keluarga Nabi sampai dalam setiap shalat kita harus menyertakan shalawat kepada mereka? Kalau mereka memiliki kedudukan yang agung dan mulia dalam agama ini, namun mengapa kajian tentang keluarga nabi tidak banyak kita dapatkan dalam kehidupan religius kita sehari-hari?
Tidaklah berlebihan, dalam ruang yang sempit ini saya mencoba menyelipkan sedikit tulisan mengenai mereka. Semoga dengan itu kita mau mengenal, mengikuti dan mencintai keluarga nabi atau yang sering kita dengar dengan ungkapan: Ahlul Bait.
Keistimewaan Keluarga Para Nabi.
Telah menjadi sunatullah, Nabi-nabi memiliki keluarga yang dimuliakan, diagungkan dan anak keturunan mereka dipilih oleh Allah sebagai washi, pelanjut risalah kenabian. Berikut ini beberapa ayat Al-Qur’an menjelaskan masalah ini :
“Dan Kami menganugerahkan kepada Ishak dan Yaqub. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian keturunannya (Nuh) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik; dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas, semuanya termasuk orang-orang yang saleh; dan Ismail, Alyasa’, Yunus dan Luth, masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya); dan Kami lebihkan (pula) derajat sebagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Inilah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Al-An’am : 84).
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan al-kitab, maka diantara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak diantara mereka yang fasiq” (Qs. Al-Hadid : 26).
“Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Yaqub dan Kami jadikan kenabian dan al-Kitab kepada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya balasan di dunia; dan sesungguhnya di akhirat mereka benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh” ( Qs. Al-Ankabut : 27).
Dan beberapa ayat lainnya yang tersebar dalam Al-Qur’an satu-satunya kitab Samawi yang tetap steril dari berbagai upaya penyelewengan dan perubahan.
Ayat-ayat di atas berbicara tentang sunatullah di muka bumi, dalam hal pemilihan washi para Nabi yang berasal dari keturunan mereka yang saleh dan suci, bukan yang fasiq dan bahwa pewarisan ilmu al-Kitab, hukum dan kenabian di antara putra-putra mereka yang suci telah ditetapkan sejak diturunkannya Adam as ke muka bumi. Silsilah yang suci ini memberikan gambaran yang jelas bahwa risalah Ilahiah ini tidak pernah keluar dari lingkaran keluarga-keluarga Nabi yang disucikan, dan tidak diwarisi oleh hati yang pernah dikotori oleh kesyirikan, kekejian dan kezaliman.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”. (Qs. Al-Baqarah: 124).
Jika ajaran Nabi terdahulu saja yang hanya berlaku untuk masa dan kaum tertentu memerlukan silsilah yang suci dan jiwa yang bersih, maka bagaimana mungkin ajaran Islam tidak memerlukan silsilah yang suci yang akan saling mewarisi ajaran Muhammad Saw yang luhur dan kekal hingga hari kiamat?. Jika Nabi terdahulu saja memerlukan orang yang menggantikannya di dalam urusan tabligh dari kalangan keluarga dan keturunannya yang saleh, maka bagaimana mungkin Rasulullah Saw tidak membutuhkan orang-orang yang meneruskan ajaran ini dari keluarga dan keturunannya yang suci?
Jika ayat-ayat tentang nabi dan keturunannya menekankan bahwa pemilihan washi para nabi telah berlaku bagi keluarga nabi yang saleh dengan tujuan untuk menjaga kesucian risalah, maka bagaimana mungkin ajaran Muhammad Saw yang kekal tidak membutuhkan pribadi-pribadi suci dari keturunannya yang akan menjaga nilai-nilai ajaran Ilahi dari usaha penyimpangan?
Melalui pengkajian ayat-ayat Al-Qur’an, tampak jelas bahwa masalah pemilihan atau seleksi pelanjut kepemimpinan Ilahiah adalah semata-mata wewenang Dzat yang Maha Mengetahui, tanpa adanya campur tangan siapapun.
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami.” (Qs. Fathir : 32).
Dalam ayat lain, dikisahkan tentang Nabi Musa as, “Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Mengetahui (keadaan) kami.” Allah berfirman : “Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa.” (Qs. Thaha : 29-36).
Kita menyaksikan dalam ayat ini betapa Nabi Musa memohon kepada Allah SWT dengan penuh pengharapan dan kerendahan hati untuk memilih saudaranya, Harun, sebagai pembantunya dalam urusan Tabligh. Jika nabi Musa as saja, dengan segala ketinggian kedudukan dan kedekatannya kepada Allah SWT tidak memperkenankan dirinya untuk memilih langsung orang yang akan menggantikan dia sepeninggalnya dan yang membantunya dalam tugas-tugasnya, maka bagaimana mungkin umat Islam berhak memilih orang-orang yang menggantikan Rasulullah Saw sebagai khalifah sepeninggalnya? sebuah keberanian ‘ijtihad’ yang telah menimbulkan perselisihan, perpecahan bahkan sampai pertumpahan darah dikalangan sahabat.
Imamah dan Ahlul Bait.
Sekarang, seberapa banyakkah yang kita tahu tentang ayat muhkamah di dalam Al-Qur’an yang turun berkaitan dengan keagungan keluarga Rasulullah yang mulia? Atau seberapa banyakkah kisah yang kita ketahui tentang Rasulullah yang selalu mengingatkan ummatnya akan pengutamaan Allah atas keluarganya.
Imam Muslim meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya, (juz 4 hal 123, cetakan Beirut Lebanon), Zaid bin Arqam berkata, “Pada suatu hari Rasulullah Saw berdiri di tengah-tengah kami dan menyampaikan khutbah di telaga yang bernama “Khum”, yang terletak antara Makah dan Madinah. Setelah mengucapkan hamdalah dan puji-pujian kepada-Nya serta memberi nasihat dan peringatan Rasulullah Saw berkata, “Adapun selanjutnya, wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia yang hampir didatangi oleh utusan Tuhanku, maka akupun menghadap-Nya. Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara yang amat berharga, yang pertama adalah kitab Allah, yang merupakan tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya maka dia berada di atas petunjuk, dan barang siapa yang meninggalnya maka ia berada di atas kesesatan.”.
Kemudian Rasulullah Saw melanjutkan sabdanya, Adapun yang kedua adalah Ahlul Baitku. Demi Allah aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku.” Al-Hakim juga meriwayatkannya dalam al-Mustadraknya dari Zaid bin Arqam bahwa nabi bersabda pada Haji Wada’, “Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga) yang salah satu dari keduanya lebih besar daripada yang lain, Kitabullah (Al-Qur’an) dan keturunanku. Oleh karena itu perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Sebab sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh.” Setelah menyebutkan hadits ini Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat (yang ditetapkan Bukhari-Muslim).”.
Sebagaimana diketahui bahwa kaum muslimin sepakat untuk mensahihkan seluruh hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, maka saya mencukupkan dengan hanya mengutip kedua hadits ini sebab dalam banyak kitab hadits ini pun dinukil. Di antaranya juga terdapat dalam Sunan Ad-Darimi, Shahih Turmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad dan beberapa kitab lainnya. Ibnu Hajar dalam kitabnya ash-Shawai’iq telah menyampaikan silsilah hadits ini hingga kepada dua puluh lebih sahabat, lalu beliau (rahimahullah) menyatakan dengan tegas, ” Ketahuilah, sesunggguhnya hadits berpegang teguh kepada Kitab Allah dan ahlul bait mempunyai jalur yang banyak, dan diriwayatkan lebih dari 20 orang sahabat.”
Dalam riwayat tersebut, Rasul menyebut keduanya (Al-Qur’an dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya sebagaimana hadits Rasulullah tidak akan pernah terpisah dan saling melengkapi. Keduanya tidak dapat dipisahkan, apalagi oleh sekedar perkataan Umar bin Khattab pada saat Rasulullah mengalami masa-masa akhir dalam kehidupannya, bahwa Al-Qur’an sudah cukup bagi kita (baca tragedi ini dalam Al-Bukhari pada bab “Al-Ilmu” (Jilid I, hal 22). Muslim meriwayatkannya dalam Shahihnya pada akhir bab al-Washiyah dan juga tertulis dalam Musnad Ahmad jilid I hal. 355). Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini.
Tentu saja sabda Rasul tentang Ahlul Baitnya yang tidak akan terpisah dengan Al-Qur’an bukan berdasarkan hawa nafsu pribadinya, sebab Allah SWT telah menjamin dalam Al-Quran bahwa apapun yang disampaikan Rasul adalah semata-mata wahyu dari-Nya. Pertanyaanya, mengapa Al-Quran saja tidak cukup menjadi petunjuk bagi kaum muslimin sepeninggal Rasulullah?
Di antara jawabannya, semua kitab suci adalah kitab-kitab petunjuk yang mengandung prinsip-prinsip dasar petunjuk dan tidak menjelaskan prinsip-prinsip tersebut secara mendetail dan terperinci. Dan para Rasul diutus untuk menjelaskan kitab yang diwahyukan yang menjadi bukti kerasulannya, “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. ” (Qs. Ibrahim: 4).
Apakah semasa hidupnya Rasulullah telah menjelaskan kepada ummat Islam seluruh aturan-aturan dalam Al-Qur’an secara mendetail? Niscaya kita akan menjawab tidak seluruhnya, sebab selama sepuluh tahun Rasulullah Saw memerintah di Madinah, telah terjadi sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan peperangan (ghazwah) dan tiga puluh lima hingga sembilan puluh sariyah. Ghazwah adalah sebuah peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw, sedangkan sariyah adalah sebuah peperangan yang tidak langsung dipimpin olehnya. Akan tetapi, ia mengutus sebuah pasukan yang dipimpin oleh salah seorang sahabat yang telah ditunjuk olehnya. Tentu saja dengan berbagai kesibukan mengatur pertahanan dan peperangan menghadapi kaum kafir pada awal-awal revolusi Islam membuat Rasululllah tidak sempat untuk menjelaskan semua maksud ayat-ayat Al-Qur’an secara terperinci.
Sementara Allah SWT berfirman, ” Alif Lam Ra. (Inilah) kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci , (yang diturunkan) dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana dan Maha Teliti”. (Qs. Hud : 1). Dan di ayat lain, “Tidaklah Kami lalaikan sesuatu pun dalam Kitab ini.” (Qs. Al-An’am : 38).
Berkembangnya paham-paham yang saling bertolak belakang misalnya antara paham Jabariyah dan Qadariyah yang masing-masing menjadikan Al-Qur’an menjadikan landasan pemikirannya, menjadi bukti bahwa kaum muslimin di awal perkembangan Islam mengalami kehilangan pegangan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Bahwa sesungguhnya Rasul belum menjelaskan seluruhnya, walaupun agama ini telah sempurna, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu.” (Qs. Al-Maidah : 3 ). Sebab, “Kewajiban Rasul tidak lain hanya menyampaikan (risalah Allah).” (Qs. Al-Maidah : 99). Bukan berarti Rasulullah sama sekali tidak menjelaskan, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ” (Qs. An-Nahl : 64), masalah ini berkaitan dengan Al-Qur’an sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al-Qur’an, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas.
Al-Qur’an adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. “Sungguh, Kami telah mendatangkan kitab (Al-Qur’an) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-A’raf : 52). Dan menurut hadits Rasulullah Ahlul Baitlah yang meneruskan tugas Rasulullah untuk menjelaskan secara terperinci ayat-ayat Al-Qur’an.
Penerus nabi adalah orang-orang tahu interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam, sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Imam Ali as dalam salah satu khutbahnya yang dihimpun dalam Nahj Balaqah, khutbah ke-4, “Melalui kami kalian akan dibimbing dalam kegelapan dan akan mampu menapakkan kaki di jalan yang benar. Dengan bantuan kami kalian dapat melihat cahaya fajar setelah sebelumnya berada dalam kegelapan malam. Tulilah telinga yang tidak mendengarkan seruan (nasihat) sang pemandu”.
Tentang Imam Ali as Rasulullah bersabda, “Aku adalah kota ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang menghendaki ilmu, hendaklah ia mendatangi pintunya” Hadits ini disepakati keshahihannya oleh kaum muslimin sebab banyak terdapat dalam kitab-kitab hadits, diantaranya At-Thabari, Hakim, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir dan lainnya. Umar bin Khattab pun mengakui keilmuan Imam Ali as sebagaimana yang diriwayatkan Ath-Thabari, Al-Kanji Asy-Syati’i dan As-Shuyuti dalam kitabnya masing-masing, “Dari sanad Abu Hurairah, Umar bin Khattab berkata, “Ali adalah orang yang paling mengetahui di antara kami tentang masalah hukum. Aku mengetahui hal itu dari Rasululah maka sekali-kali aku tidak akan pernah meninggalkannya” Dalil yang menyatakan bahwa tidak hanya Rasulullah yang mengetahui makna Ilahiah Al-Qur’an, maksud sebagaimana yang diinginkan Allah SWT terdapat dalam ayat, “Sebenarnya (Al-Qur’an) itu adalah ayat-ayat yang jelas dalam dada orang-orang berilmu.” (Qs. Al-Ankabut : 49). Dan Ahlul Baitlah yang dimaksud dengan orang-orang berilmu tersebut.
Dan dengan firman Allah SWT, “Aku hendak jadikan seorang khalifah (wakil) di muka bumi.” (Qs. Al-Baqarah : 30), berarti di muka bumi akan senantiasa ada yang menjadi pemimpin otoritatif yang diangkat Allah SWT untuk menjadi khalifahnya. Akan tetap ada di muka bumi orang-orang yang menerima pengetahuan dari sumber Ilahiah. Imam Ali as berkata, “Pengetahuan masuk ke mereka, sehingga mereka mempunyai pengetahuan mendalam tentang kebenaran.” Mereka memiliki pengetahuan bukan hasil belajar dan terlepas dari kekeliruan. Mereka pun memiliki ‘Roh Tuhan’ yang menghubungkan mereka dengan dunia gaib.
Betapa pentingnya keberadaan Imam dan seorang Khalifah di muka bumi, “Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. ” (Qs. Al-Baqarah : 251). Sebagian manusia yang menjadi pelindung atas manusia yang lainnya adalah Ahlul Bait sebagaimana hadits Rasulullah Saw, “Perumpamaan Ahlul Baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya niscaya ia akan selamat; dan barangsiapa tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam dan binasa.”.
Seluruh ulama Islam sepakat akan keshahihan hadits ini yang dikenal sebagai hadits Safinah, diantaranya Al-Hakim, Ibnu Hajar dan Ath-Thabrani. Dan kitapun tahu dari informasi Rasulullah bahwa di akhir zaman akan muncul juru penyelamat yang akan menyelamatkan manusia dari berbagai kedzaliman dan menyebarkan keadilan di muka bumi, dialah yang dinanti-nantikan, Imam Mahdi as. Rasulullah Saw bersabda, “Kiamat tidak akan tiba kecuali kalau dunia ini sudah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. Kemudian keluar setelah itu seorang laki-laki dari Ahlul Baitku memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan.” Hadits-hadits Rasulullah Saw tentang Imam Mahdi sangat banyak jumlahnya.
Hanya saja, sejauh mana kita mencoba mengenali siapa yang termasuk Ahlul Bait nabi, siapakah mereka Imam 12 yang disebut Rasul berasal dari Bani Qurays, dan siapakah Imam Mahdi yang akan muncul di akhir zaman?. Sebagai muslim adalah kewajiban untuk mengetahui dan taat kepada mereka, sebagaimana wajibnya kaum muslimin taat kepada titah Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur’an. Dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dan tidak mengetahui imam zamannya, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah.” Dan dalam Al-qur’an Allah SWT berfirman, “(Ingatlah), pada hari ketika Kami panggil setiap umat dengan imamnya.” (Qs. Al-Isra’: 71).
Jadi kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi Saw bukan sekedar cinta biasa, bukan sekedar efek dari kecintaan kepada Nabi Saw bukan pula sekedar upah terhadap dakwah Rasulullah Saw, bukan pilihan, melainkan kewajiban yang telah menjadi bagian dari syariat agama karena Ahlul Bait dan Itrah Nabilah yang menjadi pelanjut tugas kenabian untuk menjaga kemurnian risalah Ilahi. Kecintaan kita kepada Ahlul Bait adalah juga kecintaan kepada Rasulullah Saw, kecintaan kepada Allah SWT, kecintaan kepada Islam dan agama ini. Imam Syafii pernah mengatakan, “Tidak sah shalat seseorang yang tidak menyertakan dalam shalatnya, shalawat kepada Nabi dan Ahlul Baitnya.”.
Wallahu ‘alam bishshawwab.
(Syiahali/ABNS)
- Ayatullah Mujtaba Baesti gencarkan penyebaran syi’ah di kalimantan timur ! Syiah tak terbendung
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu
hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (Qs. Al-Ahzab : 33).
Sebagaimana pernyataan Imam Syafi’i ra di atas, akan timbul berbagai pertanyaan dalam benak kaum muslimin yang mau berpikir tentang kebenaran sebuah keyakinan, siapakah yang dimaksud keluarga Nabi (Ahlul bait) yang hendak disucikan oleh Allah swt? adakah kewajiban untuk mencintai mereka sebagaimana kewajiban mencintai Nabi? mengapa dalam redaksi shalawat kepada Nabi kita harus menyertakan pula shalawat kepada keluarganya? Keistimewaan seperti apa yang dimiliki keluarga Nabi sampai dalam setiap shalat kita harus menyertakan shalawat kepada mereka? Kalau mereka memiliki kedudukan yang agung dan mulia dalam agama ini, namun mengapa kajian tentang keluarga nabi tidak banyak kita dapatkan dalam kehidupan religius kita sehari-hari?
Tidaklah berlebihan, dalam ruang yang sempit ini saya mencoba menyelipkan sedikit tulisan mengenai mereka. Semoga dengan itu kita mau mengenal, mengikuti dan mencintai keluarga nabi atau yang sering kita dengar dengan ungkapan: Ahlul Bait.
Keistimewaan Keluarga Para Nabi.
Telah menjadi sunatullah, Nabi-nabi memiliki keluarga yang dimuliakan, diagungkan dan anak keturunan mereka dipilih oleh Allah sebagai washi, pelanjut risalah kenabian. Berikut ini beberapa ayat Al-Qur’an menjelaskan masalah ini :
“Dan Kami menganugerahkan kepada Ishak dan Yaqub. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian keturunannya (Nuh) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik; dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas, semuanya termasuk orang-orang yang saleh; dan Ismail, Alyasa’, Yunus dan Luth, masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya); dan Kami lebihkan (pula) derajat sebagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Inilah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Al-An’am : 84).
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan al-kitab, maka diantara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak diantara mereka yang fasiq” (Qs. Al-Hadid : 26).
“Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Yaqub dan Kami jadikan kenabian dan al-Kitab kepada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya balasan di dunia; dan sesungguhnya di akhirat mereka benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh” ( Qs. Al-Ankabut : 27).
Dan beberapa ayat lainnya yang tersebar dalam Al-Qur’an satu-satunya kitab Samawi yang tetap steril dari berbagai upaya penyelewengan dan perubahan.
Ayat-ayat di atas berbicara tentang sunatullah di muka bumi, dalam hal pemilihan washi para Nabi yang berasal dari keturunan mereka yang saleh dan suci, bukan yang fasiq dan bahwa pewarisan ilmu al-Kitab, hukum dan kenabian di antara putra-putra mereka yang suci telah ditetapkan sejak diturunkannya Adam as ke muka bumi. Silsilah yang suci ini memberikan gambaran yang jelas bahwa risalah Ilahiah ini tidak pernah keluar dari lingkaran keluarga-keluarga Nabi yang disucikan, dan tidak diwarisi oleh hati yang pernah dikotori oleh kesyirikan, kekejian dan kezaliman.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”. (Qs. Al-Baqarah: 124).
Jika ajaran Nabi terdahulu saja yang hanya berlaku untuk masa dan kaum tertentu memerlukan silsilah yang suci dan jiwa yang bersih, maka bagaimana mungkin ajaran Islam tidak memerlukan silsilah yang suci yang akan saling mewarisi ajaran Muhammad Saw yang luhur dan kekal hingga hari kiamat?. Jika Nabi terdahulu saja memerlukan orang yang menggantikannya di dalam urusan tabligh dari kalangan keluarga dan keturunannya yang saleh, maka bagaimana mungkin Rasulullah Saw tidak membutuhkan orang-orang yang meneruskan ajaran ini dari keluarga dan keturunannya yang suci?
Jika ayat-ayat tentang nabi dan keturunannya menekankan bahwa pemilihan washi para nabi telah berlaku bagi keluarga nabi yang saleh dengan tujuan untuk menjaga kesucian risalah, maka bagaimana mungkin ajaran Muhammad Saw yang kekal tidak membutuhkan pribadi-pribadi suci dari keturunannya yang akan menjaga nilai-nilai ajaran Ilahi dari usaha penyimpangan?
Melalui pengkajian ayat-ayat Al-Qur’an, tampak jelas bahwa masalah pemilihan atau seleksi pelanjut kepemimpinan Ilahiah adalah semata-mata wewenang Dzat yang Maha Mengetahui, tanpa adanya campur tangan siapapun.
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami.” (Qs. Fathir : 32).
Dalam ayat lain, dikisahkan tentang Nabi Musa as, “Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Mengetahui (keadaan) kami.” Allah berfirman : “Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa.” (Qs. Thaha : 29-36).
Kita menyaksikan dalam ayat ini betapa Nabi Musa memohon kepada Allah SWT dengan penuh pengharapan dan kerendahan hati untuk memilih saudaranya, Harun, sebagai pembantunya dalam urusan Tabligh. Jika nabi Musa as saja, dengan segala ketinggian kedudukan dan kedekatannya kepada Allah SWT tidak memperkenankan dirinya untuk memilih langsung orang yang akan menggantikan dia sepeninggalnya dan yang membantunya dalam tugas-tugasnya, maka bagaimana mungkin umat Islam berhak memilih orang-orang yang menggantikan Rasulullah Saw sebagai khalifah sepeninggalnya? sebuah keberanian ‘ijtihad’ yang telah menimbulkan perselisihan, perpecahan bahkan sampai pertumpahan darah dikalangan sahabat.
Imamah dan Ahlul Bait.
Sekarang, seberapa banyakkah yang kita tahu tentang ayat muhkamah di dalam Al-Qur’an yang turun berkaitan dengan keagungan keluarga Rasulullah yang mulia? Atau seberapa banyakkah kisah yang kita ketahui tentang Rasulullah yang selalu mengingatkan ummatnya akan pengutamaan Allah atas keluarganya.
Imam Muslim meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya, (juz 4 hal 123, cetakan Beirut Lebanon), Zaid bin Arqam berkata, “Pada suatu hari Rasulullah Saw berdiri di tengah-tengah kami dan menyampaikan khutbah di telaga yang bernama “Khum”, yang terletak antara Makah dan Madinah. Setelah mengucapkan hamdalah dan puji-pujian kepada-Nya serta memberi nasihat dan peringatan Rasulullah Saw berkata, “Adapun selanjutnya, wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia yang hampir didatangi oleh utusan Tuhanku, maka akupun menghadap-Nya. Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara yang amat berharga, yang pertama adalah kitab Allah, yang merupakan tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya maka dia berada di atas petunjuk, dan barang siapa yang meninggalnya maka ia berada di atas kesesatan.”.
Kemudian Rasulullah Saw melanjutkan sabdanya, Adapun yang kedua adalah Ahlul Baitku. Demi Allah aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku.” Al-Hakim juga meriwayatkannya dalam al-Mustadraknya dari Zaid bin Arqam bahwa nabi bersabda pada Haji Wada’, “Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga) yang salah satu dari keduanya lebih besar daripada yang lain, Kitabullah (Al-Qur’an) dan keturunanku. Oleh karena itu perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Sebab sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh.” Setelah menyebutkan hadits ini Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat (yang ditetapkan Bukhari-Muslim).”.
Sebagaimana diketahui bahwa kaum muslimin sepakat untuk mensahihkan seluruh hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, maka saya mencukupkan dengan hanya mengutip kedua hadits ini sebab dalam banyak kitab hadits ini pun dinukil. Di antaranya juga terdapat dalam Sunan Ad-Darimi, Shahih Turmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad dan beberapa kitab lainnya. Ibnu Hajar dalam kitabnya ash-Shawai’iq telah menyampaikan silsilah hadits ini hingga kepada dua puluh lebih sahabat, lalu beliau (rahimahullah) menyatakan dengan tegas, ” Ketahuilah, sesunggguhnya hadits berpegang teguh kepada Kitab Allah dan ahlul bait mempunyai jalur yang banyak, dan diriwayatkan lebih dari 20 orang sahabat.”
Dalam riwayat tersebut, Rasul menyebut keduanya (Al-Qur’an dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya sebagaimana hadits Rasulullah tidak akan pernah terpisah dan saling melengkapi. Keduanya tidak dapat dipisahkan, apalagi oleh sekedar perkataan Umar bin Khattab pada saat Rasulullah mengalami masa-masa akhir dalam kehidupannya, bahwa Al-Qur’an sudah cukup bagi kita (baca tragedi ini dalam Al-Bukhari pada bab “Al-Ilmu” (Jilid I, hal 22). Muslim meriwayatkannya dalam Shahihnya pada akhir bab al-Washiyah dan juga tertulis dalam Musnad Ahmad jilid I hal. 355). Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini.
Tentu saja sabda Rasul tentang Ahlul Baitnya yang tidak akan terpisah dengan Al-Qur’an bukan berdasarkan hawa nafsu pribadinya, sebab Allah SWT telah menjamin dalam Al-Quran bahwa apapun yang disampaikan Rasul adalah semata-mata wahyu dari-Nya. Pertanyaanya, mengapa Al-Quran saja tidak cukup menjadi petunjuk bagi kaum muslimin sepeninggal Rasulullah?
Di antara jawabannya, semua kitab suci adalah kitab-kitab petunjuk yang mengandung prinsip-prinsip dasar petunjuk dan tidak menjelaskan prinsip-prinsip tersebut secara mendetail dan terperinci. Dan para Rasul diutus untuk menjelaskan kitab yang diwahyukan yang menjadi bukti kerasulannya, “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. ” (Qs. Ibrahim: 4).
Apakah semasa hidupnya Rasulullah telah menjelaskan kepada ummat Islam seluruh aturan-aturan dalam Al-Qur’an secara mendetail? Niscaya kita akan menjawab tidak seluruhnya, sebab selama sepuluh tahun Rasulullah Saw memerintah di Madinah, telah terjadi sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan peperangan (ghazwah) dan tiga puluh lima hingga sembilan puluh sariyah. Ghazwah adalah sebuah peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw, sedangkan sariyah adalah sebuah peperangan yang tidak langsung dipimpin olehnya. Akan tetapi, ia mengutus sebuah pasukan yang dipimpin oleh salah seorang sahabat yang telah ditunjuk olehnya. Tentu saja dengan berbagai kesibukan mengatur pertahanan dan peperangan menghadapi kaum kafir pada awal-awal revolusi Islam membuat Rasululllah tidak sempat untuk menjelaskan semua maksud ayat-ayat Al-Qur’an secara terperinci.
Sementara Allah SWT berfirman, ” Alif Lam Ra. (Inilah) kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci , (yang diturunkan) dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana dan Maha Teliti”. (Qs. Hud : 1). Dan di ayat lain, “Tidaklah Kami lalaikan sesuatu pun dalam Kitab ini.” (Qs. Al-An’am : 38).
Berkembangnya paham-paham yang saling bertolak belakang misalnya antara paham Jabariyah dan Qadariyah yang masing-masing menjadikan Al-Qur’an menjadikan landasan pemikirannya, menjadi bukti bahwa kaum muslimin di awal perkembangan Islam mengalami kehilangan pegangan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Bahwa sesungguhnya Rasul belum menjelaskan seluruhnya, walaupun agama ini telah sempurna, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu.” (Qs. Al-Maidah : 3 ). Sebab, “Kewajiban Rasul tidak lain hanya menyampaikan (risalah Allah).” (Qs. Al-Maidah : 99). Bukan berarti Rasulullah sama sekali tidak menjelaskan, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ” (Qs. An-Nahl : 64), masalah ini berkaitan dengan Al-Qur’an sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al-Qur’an, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas.
Al-Qur’an adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. “Sungguh, Kami telah mendatangkan kitab (Al-Qur’an) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-A’raf : 52). Dan menurut hadits Rasulullah Ahlul Baitlah yang meneruskan tugas Rasulullah untuk menjelaskan secara terperinci ayat-ayat Al-Qur’an.
Penerus nabi adalah orang-orang tahu interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam, sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Imam Ali as dalam salah satu khutbahnya yang dihimpun dalam Nahj Balaqah, khutbah ke-4, “Melalui kami kalian akan dibimbing dalam kegelapan dan akan mampu menapakkan kaki di jalan yang benar. Dengan bantuan kami kalian dapat melihat cahaya fajar setelah sebelumnya berada dalam kegelapan malam. Tulilah telinga yang tidak mendengarkan seruan (nasihat) sang pemandu”.
Tentang Imam Ali as Rasulullah bersabda, “Aku adalah kota ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang menghendaki ilmu, hendaklah ia mendatangi pintunya” Hadits ini disepakati keshahihannya oleh kaum muslimin sebab banyak terdapat dalam kitab-kitab hadits, diantaranya At-Thabari, Hakim, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir dan lainnya. Umar bin Khattab pun mengakui keilmuan Imam Ali as sebagaimana yang diriwayatkan Ath-Thabari, Al-Kanji Asy-Syati’i dan As-Shuyuti dalam kitabnya masing-masing, “Dari sanad Abu Hurairah, Umar bin Khattab berkata, “Ali adalah orang yang paling mengetahui di antara kami tentang masalah hukum. Aku mengetahui hal itu dari Rasululah maka sekali-kali aku tidak akan pernah meninggalkannya” Dalil yang menyatakan bahwa tidak hanya Rasulullah yang mengetahui makna Ilahiah Al-Qur’an, maksud sebagaimana yang diinginkan Allah SWT terdapat dalam ayat, “Sebenarnya (Al-Qur’an) itu adalah ayat-ayat yang jelas dalam dada orang-orang berilmu.” (Qs. Al-Ankabut : 49). Dan Ahlul Baitlah yang dimaksud dengan orang-orang berilmu tersebut.
Dan dengan firman Allah SWT, “Aku hendak jadikan seorang khalifah (wakil) di muka bumi.” (Qs. Al-Baqarah : 30), berarti di muka bumi akan senantiasa ada yang menjadi pemimpin otoritatif yang diangkat Allah SWT untuk menjadi khalifahnya. Akan tetap ada di muka bumi orang-orang yang menerima pengetahuan dari sumber Ilahiah. Imam Ali as berkata, “Pengetahuan masuk ke mereka, sehingga mereka mempunyai pengetahuan mendalam tentang kebenaran.” Mereka memiliki pengetahuan bukan hasil belajar dan terlepas dari kekeliruan. Mereka pun memiliki ‘Roh Tuhan’ yang menghubungkan mereka dengan dunia gaib.
Betapa pentingnya keberadaan Imam dan seorang Khalifah di muka bumi, “Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. ” (Qs. Al-Baqarah : 251). Sebagian manusia yang menjadi pelindung atas manusia yang lainnya adalah Ahlul Bait sebagaimana hadits Rasulullah Saw, “Perumpamaan Ahlul Baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya niscaya ia akan selamat; dan barangsiapa tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam dan binasa.”.
Seluruh ulama Islam sepakat akan keshahihan hadits ini yang dikenal sebagai hadits Safinah, diantaranya Al-Hakim, Ibnu Hajar dan Ath-Thabrani. Dan kitapun tahu dari informasi Rasulullah bahwa di akhir zaman akan muncul juru penyelamat yang akan menyelamatkan manusia dari berbagai kedzaliman dan menyebarkan keadilan di muka bumi, dialah yang dinanti-nantikan, Imam Mahdi as. Rasulullah Saw bersabda, “Kiamat tidak akan tiba kecuali kalau dunia ini sudah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. Kemudian keluar setelah itu seorang laki-laki dari Ahlul Baitku memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan.” Hadits-hadits Rasulullah Saw tentang Imam Mahdi sangat banyak jumlahnya.
Hanya saja, sejauh mana kita mencoba mengenali siapa yang termasuk Ahlul Bait nabi, siapakah mereka Imam 12 yang disebut Rasul berasal dari Bani Qurays, dan siapakah Imam Mahdi yang akan muncul di akhir zaman?. Sebagai muslim adalah kewajiban untuk mengetahui dan taat kepada mereka, sebagaimana wajibnya kaum muslimin taat kepada titah Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur’an. Dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dan tidak mengetahui imam zamannya, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah.” Dan dalam Al-qur’an Allah SWT berfirman, “(Ingatlah), pada hari ketika Kami panggil setiap umat dengan imamnya.” (Qs. Al-Isra’: 71).
Jadi kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi Saw bukan sekedar cinta biasa, bukan sekedar efek dari kecintaan kepada Nabi Saw bukan pula sekedar upah terhadap dakwah Rasulullah Saw, bukan pilihan, melainkan kewajiban yang telah menjadi bagian dari syariat agama karena Ahlul Bait dan Itrah Nabilah yang menjadi pelanjut tugas kenabian untuk menjaga kemurnian risalah Ilahi. Kecintaan kita kepada Ahlul Bait adalah juga kecintaan kepada Rasulullah Saw, kecintaan kepada Allah SWT, kecintaan kepada Islam dan agama ini. Imam Syafii pernah mengatakan, “Tidak sah shalat seseorang yang tidak menyertakan dalam shalatnya, shalawat kepada Nabi dan Ahlul Baitnya.”.
Wallahu ‘alam bishshawwab.
(Syiahali/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email