PENDAHULUAN
“Pada masyarakat kita, kaum wanita berubah dengan pesat. Tirani zaman kita dan pengaruh dari berbagai lembaga telah mengambilnya dari ‘dia yang sebenarnya’. Semua cirri dan nilai tradisional wanita telah diambil darinya, sehingga mereka (para tiran itu) membuatnya menjadi makhluk yang ‘mereka kehendaki’, ‘mereka bangun’, dan kita lihat bahwa mereka (kaum wanita) telah ‘terbentuk’.
“Itulah sebabnya maka pertanyaan yang paling penting dan relevan bagi wanita yang telah sadar dimasa ini ialah, ‘siapakah saya?’ Dia menyadari sepenuhnya bahwa ia tak dapat bertahan sebagaimana dirinya sekarang. Sesungguhnya ia tidak mau menerima topeng zaman modern demi menggantikan topeng tradisionalnya. Ia hendak memutuskan sendiri. Wanita-wanita sezamannya juga telah menentukan diri mereka sendiri. Dengan sadar mereka menghias kepribadian dengan kesadaran dan kemerdekaan. Mereka menghias diri mereka dengan sempurna. Mereka mewujudkan suatu desain. Mereka merefleksikan suatu sketsa, namun mereka tak tahu bagaimana. Mereka tak tahu desain yang sebenarnya—dari sisi kemanusiaan—dari kepribadian mereka, yang bukan refleksi dari warisan mereka dan bukan pula dari topeng tiruan yang dipaksakan secara artifisial kepada mereka. Lalu dengan manakah mereka mesti mengidentifikasikan diri?”
Ungkapan di atas ditulis salah seorang ideolog Revolusi Islam Iran, yaitu Ali Syariati dalam memulai bukunya Fatimah is Fatimah. Ia ingin menunjukkan bahwa wanita abad ini, khususnya wanita-wanita Iran yang terbaratkan, telah kehilangan sosok yang pantas untuk diteladani dalam merefleksikan diri menghadapi perkembangan zaman. Memang, banyak yang berjuang untuk mengangkat harkat dan martabat wanita, tetapi mereka tidak mengerti ke mana arah perjuangan itu? Bahkan boleh jadi mereka juga belum memahami dengan baik apa yang disebut harkat dan martabat wanita. Sehingga, bagi Ali Syari’ati pertanyaan awal yang mesti dijawab para wanita adalah ‘siapakah saya?’. Karenanya, ia ingin menampilkan sosok wanita lintas zaman yang patut mendapat perhatian ekstra dalam membantu wanita abad ini membentuk jati diri dan kepribadiannya, yakni Fatimah Az-Zahra binti Muhammad saaw.
WANITA IRAN DALAM SEJARAH REVOLUSI
“Wanita di Iran mengurus keluarga mereka dengan sebelah tangan sedang dengan tangan yang lainnya mereka menggerakkan masyarakat” (Fayyaz Bakhsh)
Ungkapan di atas dilontarkan oleh Fayyaz Bakhsh dalam “Kongres Wanita dan Revolusi Islam” untuk membuktikan bahwa wanita Iran bukanlah hanya berperan aktif di rumah melainkan juga dalam pergulatan sosial-kemasyarakatan baik bidang politik, ekonomi, kebudayaan, militer, dan sebagainya bahkan menjadi elemen inti dalam Revolusi Islam Iran. Hal ini diakui oleh Bapak Revolusi dan pendiri Republik Islam Iran, Imam Khumaini :
“Wanita-wanita Iran telah memberikan sumbangan lebih besar kepada revolusi ini daripada yang diberikan kaum pria. Sekarang pun mereka aktif di garis belakang front pertempuran dan mempunyai peranan yang lebih besar dari yang lain-lainnya. Mereka mendapatkan saham besar sekarang dalam revolusi bidang pendidikan dan pengajaran, baik dalam pendidikan anak-anak mereka sendiri atau di kelas-kelas sekolah dan di tempat-tempat lain…lebih dari itu, kaum wanita, sesudah kejayaan revolusi dengan pendidikan dan latihan mereka, dengan kerja keras dan pemeliharaan kehormatan serta ajaran-ajaran Islam…menjadi pelopor-pelopor dalam urusan Negara.”
Bagi Pendiri Republik Islam Iran ini, wanita memainkan partisipasi sosial-politik yang besar dalam menggulingkan pemerintahan Syah Pahlevi dan selama perang dengan Irak, mulai dari memobilisasi massa, menjadi tenaga medis, menyediakan makanan, dan yang paling mulia adalah merelakan anak-anak dan suaminya untuk berjuang dan menjadi syuhada di bawah bendera Revolusi Islam, hingga mereka juga ikut maju di garis depan menghadang para musuh revolusi. Dalam salah satu ceramahnya di hadapan para wanita setelah revolusi, Imam Khumaini mengatakan :
“Sesungguhnya merupakan suatu mukjizat ketika wanita berdiri tanpa gentar di hadapan tank dan senjata perang. Ini merupakan cahaya al-Quran dan Islam yang telah menerangi hati kalian dan hati semua anak bangsa Iran…itu adalah cahaya keimanan yang menjadikan kalian wahai para wanita tidak takut kepada ke-syahidan (syahadah).
“…saya ucapkan terima kasih kepada wanita-wanita yang mulia yang berkumpul di sini dan yang membela kebangkitan ini dengan berbagai demonstrasi. Mudah-mudahan Allah swt menjaga kalian dan mengabdikan kalian untuk Islam. Kalian akan dan selalu memainkan peranan besar dalam kebangkitan ini. Kalian bertanggung jawab terhadap manifestasi tujuan-tujuan kebangkitan ini, dan insya Allah kalian dapat mewujudkannya.”[1]
Suasana wanita di Iran pasca revolusi jelaslah lebih baik di pandang dari sudut manapun, baik dari sisi individual, sosial- politik, ekonomi dan lainnya. Sebagai salah satu bukti konkritnya, adalah penilaian atas keberhasilan pembangunan yang dilakukan PBB melalui HDI (Human Development Index). HDI sendiri memiliki beberapa komponen, di antaranya GDP (Gross Domestic Product), GDI (Gender-related Development Index) dan GEM (Gender Empowerment Measures).[2]
Indikator untuk mengukur GDI antara lain adalah angka harapan hidup, angka melek huruf, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan perempuan. Sementara itu, GEM diukur dari proporsi perempuan dalam pengambilan keputusan di parlemen, proporsi kaum perempuan profesional atau manajerial, dan rata-rata pendapatan perempuan di luar sektor pertanian. Singkatnya, sebuah negara akan memiliki kesempatan untuk meraih value HDI yang tinggi bila perempuan di negara itu memiliki value GDI dan GEM yang tinggi pula. Bukti lainnya adalah bahwa salah satu subjek penting dalam laporan-laporan HRW (Human Right Watch) adalah perempuan. Selama perempuan di suatu negara mengalami penindasan atau diskriminasi, negara itu tidak akan mendapatkan nilai bagus terkait dengan perlindungan HAM.[3]
Dari laporan penelitian yang disampaikan oleh Dina Sulaeman, perkembangan HDI value pada masa pasca Revolusi Islam terlihat sangat pesat. Bahkan, trend kenaikan HDI value Iran jauh melampaui trend di negara-negara Asia selatan. Perlu mendapat catatan, diantara tahun 1981-1989, Republik Islam Iran sedang berjuang/berperang melawan invasi Irak (serta mengalami embargo), tetapi bahkan pada saat itu pun HDI value Iran tetap menunjukkan kenaikan. Ini memperlihatkan bahwa dalam masa perang pun, RII tetap konsisten dalam membangun negara.[4]
Di bawah ini, penulis akan mengungkapkan laporan penelitian secara deskriptif yang diungkapkan oleh Dina Sulaeman dalam seminar mahasiswa Indonesia se-Timur Tengah, di Teheran pada 16 agustus 2005.
Sejak awal revolusi RII terus menunjukkan kemajuan indeks HDI-nya. Bahkan pada sejak sebelum tahun 2000 (sekitar tahun 1998) peningkatan indeks HDI RII mulai melebihi peningkatan indeks HDI negara-negara lain di dunia. Sedangkan jika dibandingkan dengan negara-negara yang berada dalam regional yang cukup dekat dari RII, yaitu Asia selatan, RII menunjukkan keunggulan. Sebaliknya, pada masa pra-revolusi (1975-1979) indeks HDI Iran cenderung stagnan. Demikian pula pada tahun 1980, dimana pada saat itu sedang terjadi masa transisi Revolusi Islam Iran.
Antara tahun 1980-1990 HDI Iran cukup tinggi, meskipun pada saat itu Iran mengalami masa perang yang berkepanjangan (sekita 8 tahun) dengan Irak yang didukung kekuatan Barat. Sedangkan dari tahun 1990 hingga tahun 1995 Iran menunjukkan laju peningkatan HDI value yang tertinggi. Pada tahun 2004, Republik Islam Iran menempati ranking ke 101 dari 177 negara (Indonesia: rangking ke 111). Semua ini menunjukkan konsistensi Republik Islam Iran dalam pembangunan negara.
Sebagaimana telah disebutkan, salah satu komponen dalam penetapan value HDI adalah GEM (Gender Empowerment Measures) dan GDI (Gender-related Development Index). Maka setelah membandingkan kondisi perempuan Iran dengan kondisi di beberapa negara muslim lain dapat diambil beberapa kesimpulan di bawah ini, yaitu :
Perkiraan tingkat pendapatan perempuan Iran, yaitu USD 2,835 PPP, terhitung kelas menengah (menempati ranking ke-80 dari 175 negara), namun masih lebih rendah bila dibandingkan dengan Saudi Arabia atau Oman. Hal ini bisa terjadi karena secara umum, pendapatan perkapita di Saudi Arabia jauh melampaui Iran, yaitu mencapai US$12.650.
Rasio pendapatan laki-laki dan perempuan di Iran masih rendah (bila dibandingkan dengan Indonesia, Mesir, Pakistan, Jordan), karena secara umum memang jumlah tenaga kerja perempuan Iran masih lebih sedikit dibanding jumlah tenaga kerja perempuan di Indonesia, Mesir, Pakistan, Jordan.
Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah – Afrika (Saudi Arabia, Mesir, Yaman ) tingkat partisipasi perempuan Iran di parlemen tergolong tinggi, ini menunjukkan besarnya kemampuan perempuan Iran, perhatian perempuan Iran terhadap masyarakatnya, juga konsistensi implementasi dari konstitusi Iran.
Jumlah administrator dan manajer perempuan di Iran lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Timur Tengah-Afrika (Bahrain, Mesir, Arab Saudi, Yaman), ini menunjukkan kemampuan perempuan Iran dan kesempatan yang diberikan oleh masyarakat (keluarga atau suami) dan oleh pemerintah Iran.
Sebagai pekerja profesional dan teknik, perempuan Iran juga lebih maju dibandingkan dengan perempuan di negara-negara lain di kawasan Timur Tengah – Afrika (Arab Saudi dan Mesir–juga Turki), ini akibat kemajuan pendidikan untuk perempuan di Iran yang terutama dinikmati perempuan Iran sejak revolusi Iran, juga berkaitan dengan kesempatan yang diberikan oleh pemerintah dan masyarakat Iran bagi perempuan Iran dalam dunia kerja.
Polling yang dilakukan di Iran juga menunjukkan fakta bahwa kebanyakan perempuan Iran merasa puas dengan menjadi ibu rumah tangga murni. Ketika ditanyakan kepada responden, apakah interes terpenting dalam hidup mereka, 36,6 % menjawab ‘anak’, 33 % menjawab ‘pekerjaan’, 13,5 % ‘isu politik’, 12 % ‘hak perempuan dalam masyarakat’, dan 5% ‘keamanan’. Ketika ditanya mengenai pandangan mereka tentang kehidupan, 67% menyatakan optimis, 24 % menyatakan ‘agak optimis’, dan 9% menyatakan kecewa.
Perlu dicatat di sini bahwa indikator GEM adalah berlandaskan pada paradigma Barat yang mengukur kemajuan perempuan dari sisi keikutsertaan mereka dalam lapangan pekerjaan. Padahal, dalam paradigma Islam yang dianut oleh Republik Islam Iran, indikator keberhasilan perempuan adalah keberhasilannya dalam membangun sebuah keluarga yang sehat. Dalam paradigma yang dianut di RII, perempuan dipersilahkan untuk mengaktualisasikan kemampuannya di lapangan pekerjaan dengan tetap mengingat bahwa tugas utamanya adalah sebagai pembangun unit terkecil (dan terpenting) dalam masyarakat, yaitu keluarga. Dengan menganut paradigma seperti ini, kebijakan pemerintah RII bukanlah membuka lapangan pekerjaan di perkantoran seluas-luasnya kepada perempuan dan menjauhkan perempuan dari keluarganya, melainkan lebih pada upaya pemberdayaan perempuan untuk membangun industri rumah tangga. [5]
Hal ini berbeda, jika dibandingkan dengan kondisi masa rezim tiranis Syah Pahlevi, di mana wanita Iran secara formal dilarang menggunakan atribut-atribut keislaman, bahkan tingkat buta huuf yang tinggi nyaris melanda seluruh wilayah Iran. Massoumeh Price menulis:
“Reza Shah diangkat sebagai raja pada tahun 1925. Pada tahun 1926, Sadigheh Dawlatabadi mengikuti The International Women’s Conference di Paris. Sekembalinya dari Paris, dia muncul di depan publik dalam pakaian Eropa. Pada tahun 1928, Parlemen meratifikasi aturan baru berpakaian. Semua laki-laki, kecuali para ulama, diharuskan berpakaian ala Eropa selama berada di dalam kantor-kantor pemerintah. Pada tahun 1930, topi perempuan dibebaskan dari pajak. Emansipasi didiskusikan secara kontinyu dan digalakkan oleh pemerintah. Pada tahun 1936, Reza Shah, istrinya, dan anak-anak perempuannya mengikuti upacara wisuda di Women’s Teacher Training College di Tehran. Semua perempuan disarankan untuk datang ke acara itu tanpa menggunakan kerudung. Pada saat itulah, ‘emansipasi’ perempuan Iran secara resmi dicanangkan. Pelepasan jilbab dijadikan sebuah kewajiban serta perempuan dilarang menggunakan chadur dan kerudung di depan umum.
Pada tahun 1968, diratifikasi UU Perlindungan Keluarga. Dalam UU itu ditetapkan bahwa perceraian harus dilakukan dalam pengadilan keluarga, aturan perceraian dibuat menguntungkan, poligami dibatasi dan diharuskan adanya izin tertulis dari istri pertama. … (Pada waktu itu pula) Mrs. Parsa diangkat sebagai menteri perempuan pertama di Iran. (Kemudian dikeluarkan aturan) perempuan harus mengikuti pendidikan militer dan harus mengikuti wajib militer… Aborsi tidak pernah dilegalisasi, tetapi sanksi yang ada telah dihilangkan sehingga membuat (aborsi) sangat mudah dilakukan.”[6]
Ahmad Heydari juga melaporkan bahwa Sebelum Revolusi, Rezim Shah di Iran telah mengibarkan bendera pembelaan hak-hak asasi dan kebebasan perempuan. Membuka hijab serta mengabaikan rasa malu, harga diri, rasa keberagamaan, merupakan langkah-langkah awal rezim ini dalam propaganda mereka untuk menunjukkan hak-hak perempuan.[7]
Begitu pula Imam Khumaini yang menjadi motivator revolusi. Baginya, kondisi wanita di masa Syah adalah kondisi paling terparah dalam sejarah Iran. Beliau dengan tegas mengatakan bahwa kezaliman terhadap wanita di Iran melebihi kezaliman pada kaum pria :
“Sesungguhnya kezaliman yang dialami wanita-wanita Iran yang terhormat selama rezaim Pahlevi yang zalim tidak pernah disaksikan dan dialami sekalipun oleh kaum pria. Wanita-wanita yang berusaha menjaga ajaran Islam dan mengenakan pakaian islami mereka berada dalam keadaan tertentu dalam masa Reza Khan dan dalam keadaan yang lain pada masa Muhammad Reza.
“Apa yang telah terjadi dan dialami oleh wanita-wanita di masa Reza Syah… dan penderitaan-penderitaan yang dirasakan oleh para wanita itu di masa Reza Khan yang jahat… pada masa Muhammad Reza bentuk penindasan dan penganiayaan berubah lagi di mana ia melakukan kejahatan yang lebih keji daripada masa ayahnya. Si ayah melakukan berbagai macam kekerasan, tekanan, kezaliman, pemenjaraan dan penodaan hijab serta usaha menyakiti para wanita. Sedangkan si anak bekerja untuk menghancurkan kesucian di masyarakat kita. Dan salah satu tujuan mereka adalah wanita-wanita Iran. Oleh karena itu, mereka bekerja melalui perangkap-perangkap mereka yang khusus untuk menggiring wanita-wanita menuju kerusakan.” [8]
Untuk itu, revolusi Islam yang dilancarkan oleh Imam Khumaini, dilakukan dengan salah satu tujuan utamanya adalah untuk ‘membebaskan’ kehidupan wanita yang ‘dibelenggu’ oleh rezim Syah. Imam Khomeini menyatakan:
“Kalian hari ini menikmati kebebasan. Semua saudara (pria) dan saudari (wanita) merdeka. Mereka dapat melakukan aktivitas mereka dan mengkritik pemerintah dengan bebas. Meeka dapat mengkritik setiap hal yang bertentangan dengan masa depan bangsa dan Islam. Mereka dapat menuntut pemerintah pemerintah berkaitan dengan problema-problema politik. Kebangkitan ini telah memberi kalian kebebasan dan menyelamatkan kalian dari belenggu-belenggu yang dipaksakan pada kalian. Dan kalian sekarang berkumpul di sini dan menyampaikan berbagai problema politik dan social yang menyangkut bangsa ini dengan bebas. Hal yang demikian ini belum pernah terjadi sebelum revolusi, adapun hari ini kalian dapat menentukan masa depan kalian sendiri; kalian dapat menuntut problema-problema politik dan menuntut pemerintah untuk mewujudkannya. Dan saya tegaskan kali ini bahwa kalian wahai para wanita bertanggung jawab untuk membimbing kebangkitan ini menuju jalan kedamaian, sebagaimana kalian telah mewujudkan ujuan-tujuannya hingga sekarang. Dan kalian bertanggung jawab untuk memilih wakil-wakil rakyat yang berpengalaman di mana terletak di pundak mereka tanggung jawab untuk menjaga dan menyusun konstitusi yang menetapkan masa depan.” [9]
Pengakuan atas hak dan martabat perempuan di Iran mulai tampak sejak penyusunan Konstitusi (UUD) Iran oleh para ulama yang tergabung dalam Majelis-e-Khubregan. Meskipun hanya satu ulama perempuan yang tergabung dalam majelis tersebut, yakni Munireh Gurji, UUD yang dihasilkan sangat berpihak kepada perempuan. Kata perempuan disebut lima kali dalam konstitusi Iran—bandingkan dengan UUD 45 atau UUD Amerika Serikat yang sama sekali tidak menyebut kata ‘perempuan’. Dalam Pembukaan UUD Iran, terdapat dua paragraf yang khusus berbicara tentang perempuan, yaitu pasal 20 dan 21.
PEREMPUAN DALAM KONSTITUSI IRAN
Tugas dan Peran Perempuan
“Wanita dalam sistem Islam memiliki hak yang juga dimiliki oleh kaum pria, termasuk di dalamnya hak pendidikan, hak pengajaran, hak pemilikan, hak memilih dan hak dipilih. Dalam berbagai bidang yang dilakukan oleh kaum pria, wanita pun dapat melakukan bidang-bidang tersebut. Namun ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan oleh kaum pria dan dianggap haram karena akan menjerumuskan mereka pada kehancuran. Begitu juga ada hal lain yang diharamkan bagi wanita untuk melakukannya karena menimbulkan kerusakan (mudharat).”[10]
Imam Khumaini menegaskan hal di atas sebagai acuan bagi pembuatan undang-undang di Iran, terkhusus masalah wanita. Sebagai Negara yang berlandaskan pada ideologi dan ajaran Islam, maka Iran mesti menyesuaikan seluruh undang-undangnya mengenai hak dan kewajiban wanita pada syariat Islam, bukan pada pandangan Barat dan perkembangan zaman yang dapat menghapus jati diri wanita Islam. Hal ini ditegaskan oleh UUD RII pasal 20:
”Semua warga negara, baik laik-laki maupun perempuan, secara setara menerima perlindungan hukum dan memiliki semua hak kemanusiaan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yang sesuai dengan kriteria Islam.” (UUD RII Pasal 20).
Dalam pasal di atas, disebutkan bahwa “laki-laki atau perempuan memiliki semua hak kemanusiaan”. Ini berarti, semua hak-hak dasar manusia yang bersifat individual maupun yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan mendapat justifikasi dan jaminan Negara, serta tidak dapat diganggu gugat, meskipun yang disebutkan hanyalah bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Karena kelima bidang tersebut telah menjadi payung besar yang menaungi hak-hak parsial lainnya. Hak hukum misalnya akan mencakup keamanan, perlindungan, kesaksian, dan kehakiman atau pengadilan. Hak politik akan meliputi hak berserikat, berperang, hak memilih dan dipilih. Hak ekonomi akan memayungi hak bekerja, nafkah dan hak kepemilikan. Begitu pula dengan hak sosial dan budaya akan berhubungan erat dengan amar ma’ruf nahi munkar, palayanan dan tugas-tugas sosial, pendidikan, dan seni. Jadi, secara konstitusional hak-hak tersebut, menjadi milik seluruh rakyat Iran tanpa memandang gendernya.
Secara khusus, UUD RII pasal 21 menyebutkan beberapa hak perempuan yang mesti dijamin oleh pemerintah, yaitu :
”Pemerintah harus menjamin hak perempuan, yang sesuai dengan kriteria Islam, dan mewujudkan tujuan-tujuan di bawah ini:
Menciptakan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan kepribadian perempuan dan pengembalian hak-hak mereka, baik material maupun intelektual;
Perlindungan terhadap para ibu, terutama pada masa kehamilan dan pengasuhan anak, dan perlindungan terhadap anak-anak yatim;
Membentuk pengadilan yang berkompeten untuk melindungi keluarga;
Menyediakan asuransi khusus untuk janda, perempuan tua, dan perempuan tanpa pelindung;
Memberikan hak pengasuhan kepada ibu angkat untuk melindungi kepentingan anak ketika tidak ada pelindung legal.” (UUD RII Pasal 21)
Undang-undang di atas cukup menjadi bukti bahwa diskriminasi perempuan tidak mendapatkan landasan legal formal dalam Republik Islam Iran. Sebaliknya, mereka memiliki peran dan hak-hak penuh untuk berpartisipasi dalam segala bidang kehidupan, baik yang menyangkut individu dan keluarga, ataupun masyarakat dan Negara. Di bawah ini akan diuraikan secara khusus hak-hak di atas dengan merujuk pada undang-undang yang diberlakukan di Iran serta pandangan para tokoh dan ulama Iran.
Tugas dan Peran Hukum Wanita
Konstitusi Iran tidak ada secara eksplisit menyebut jenis kelamin hakim, melainkan lebih bertolak pada kualifikasi yang dimiliki :
”Kondisi dan kualifikasi yang harus dipenuhi oleh seorang hakim akan ditetapkan oleh undang-undang, yang sesuai dengan kriteria agama.” (UUD RII Pasal 163)
Pada tahun 1982, disahkan sebuah aturan pelaksanaan yang berisi bahwa hakim dipilih di antara laki-laki yang memenuhi syarat. Pada tahun 1984, ditetapkan aturan tambahan yang menyatakan bahwa perempuan bisa menjadi penasehat dalam pengadilan keluarga atau kantor urusan perwalian anak. Seiring dengan berlalunya waktu, semakin dirasakan perlunya kehadiran hakim perempuan dalam pengadilan keluarga. Oleh karena itu, disahkan revisi aturan pada tahun 1995 yang memberikan izin kepada Ketua Mahkamah Agung untuk mengangkat perempuan yang memenuhi syarat sebagai hakim yang memegang jabatan-jabatan berikut ini:
Penasehat hukum pada Dewan Tinggi Peradilan Perkantoran.
Hakim pada Pengadilan Keluarga.
Hakim investigasi serta hakim dalam bidang penelaahan dan penyusunan hukum peradilan.
Hakim pada Kantor Perwalian Anak dan kantor-kantor lain yang memerlukan pos hakim.
Meskipun begitu, hakim perempuan (hingga saat ini) tidak bisa menjabat sebagai ketua pengadilan.
Tugas dan Peran Militer dan Pertahanan Negara
“Jika terjadi—mudah-mudahan Allah menjauhkan hal ini—pada suatu hari agresi melawan negeri-negeri Islam maka semua orang, baik wanita maupun pria bertanggung jawab untuk mempertahankan negaranya.” [11]
Ungkapan Imam Khumaini, pendiri Republik Islam Iran di atas merupakan jawaban tegas akan nilai pentingnya peran wanita dalam pertahanan dan kemanan Negara. Baginya, perempuan bukanlah sosok yang mesti dipenjarakan dalam rumah dan dianggap lemah, melainkan sosok yang penuh keteguhan, kokoh dan memiliki komitmen perjuangan. Para wanita, bagi penggerak revolusi ini, telah memberikan harta, jiwa raganya, bahkan putera-putera terbaik mereka untuk berdiri di depan garda perjuangan bangsa Iran dalam meruntuhkan rezim tiranis Syah Pahlevi.
Melihat pada peran signifikan wanita dalam pertahanan dan keamanan, maka RII memberikan jaminan legal terhadap partisipasi tersebut secara khusus dalam bidang kemiliteran. Akan tetapi, melihat pada kondisi-kondisi dan aturan-aturan syariat maka dibuatlah undang-undang yang memberikan kesempatan bagi wanita untuk bergabung hanya dalam pertahanan semi-militer. Pasal 32 UU Militer dan Pasal 20 Aturan Personalia Sepah-e Pasdaran-e Enqelab (Tentara Garda Revolusi), yang disahkan tahun 1991, disebutkan bahwa perempuan tidak boleh bergabung dalam ketentaraan, selain sebagai tenaga medis. Namun, terbuka peluang bagi kaum perempuan untuk aktif dalam kegiatan semi-militer, yaitu dalam angkatan Basij (tentara rakyat) serta dalam Angkatan Kepolisian.
Imam khumaini saat ditanya tentang bergabungnya wanita dalam pasukan revolusi menjawab bahwa tidak ada halangan bagi kaum wanita untuk bergabung dan menjadi pasukan pengawal revolusi selama tetap menjaga ketentuan-ketentuan syariat Islam. Bahkan beliau berharap agar para wanita yang mampu berperang untuk ikut serta dalam latihan militer demi mempertahankan Islam dan negeri Islam, dan berharap agar tetap mendapatkan dukungan dari Allah swt dalam melakukan mobilisasi umum seperti pendidikan dan latihan militer dalam setiap jenjangnya tersebut, begitu pula dalam bidang akidah, akhlak dan budaya.[12]
Latihan militer, menurut Bayat, dinilai penting bagi wanita Iran dikarenakan tiga alasan :
Pertahanan dalam masyarakat Islam adalah kewajiban, karenanya pengetahuan untuk pertahanan tersebut juga menjadi kewajiban dan perlu baik bagi pria maupun wanita. Pendidikan dan latihan militer adalah usaha kearah itu yang mendapatkan dasarnya dalam UUD RII.
Kondisi Iran yang senantiasa diancam agresi musuh, terutama di kota-kota di selatan dan perbatasan Negara, dan berlanjutnya peperangan yang dipaksakan demi penghancuran Republik Islam Iran.
Pernyataan-pernyataan tegas Imam Khumaini dan perintah langsung beliau untuk kampanye latihan kemiliteran di seluruh negeri dan agar kaum wanita dipersiapkan untuk pertahanan umum.[13]
Hal ini diperkuat oleh ulama besar Iran, Ayatullah Syeikh Jawadi Amuli. Menurutnya, salah satu bentuk pertahanan Negara adalah dengan mengadakan latihan perang. Tentunya dalam latihan ini para wanita diharuskan terpisah dari pria. Pria dan wanita dapat sama-sama turut serta terjun dalam sebuah peperangan melawan musuh, dengan tetap menjaga kesatuan barisan dan harus berada di bawah komando seorang pemimpin. Wanita dapat berjihad baik dibarisan depan maupun belakang.[14]
Jika wanita, lanjut Syeikh Amuli, telah menjadi seorang pemimpin sebuah batalyon dalam peperangan untuk mempertahankan Negara dari serangan musuh, maka hal itu tidak hanya boleh, namun terkadang juga merupakan kewajiban. Karena mempertahankan Negara tidak dikhususkan untuk pria saja, tetapi juga untuk wanita. Dalam mempertahankan Negara, wanita dapat seperti pria yakni turut serta dalam seluruh medan perang. Oleh sebab itu, wanita wajib turut serta mempelajari aktivitas kemiliteran, sehingga dia dapat selalu siap siaga kapan pun kondisi menuntutnya terlibat.[15]
Tugas dan Peran Politik Wanita
Asyraf Borujerdi, Kepala Departemen Urusan Perempuan pada Kementerian Dalam Negeri Iran, mendefenisikan partisipasi politik sebagai suatu kehendak individu untuk bertindak sedemikian rupa dalam rangka meraih, baik secara individual maupun kolektif, kekuasaan untuk memerintah. Hal ini dapat dilakukan melalui cara-cara legislative dan administrative. Mereka yang terlibat dalam partisipasi politik mampu memberikan persetujuan atau kritik terhadap kebijakan pemerintahan.[16]
Menurut Asyraf, hukum syariat tidak mengingkari peran perempuan dalam masyarakat dan mendelegasikan mereka pada posisi yang netral. Al-Quran maupun sunnah menyarakan kesetaraan gender dalam ruang sosial, perempuan memiliki hak untuk berpartisipasi dalam ruang politik. Perempuan bebas mengekspresikan pandanannya dan memberikan persetujuan atau kritiknya terhadap berbagai kebijakan pemerintah sesuai dengan firman Allah “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Taubah: 71).[17]
Dalam RII, wanita memiliki peluang besar untuk ikut dalam patisipasi politik. Hal itu di jamin dalam konstitusi Iran, misalnya :
”Semua warga negara, baik laik-laki maupun perempuan, secara setara menerima perlindungan hukum dan memiliki semua hak kemanusiaan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yang sesuai dengan kriteria Islam.” (UUD RII Pasal 20)
Adapun tentang jabatan presiden perempuan yang secara nyata belum pernah terealisasikan di Iran, bukanlah menutup kemungkinan untuk partisipasi tersebut. Sebab pada setiap pesta demokrasi, ternyata banyak tokoh-tokoh perempuan yang mencalonkan diri meskipun gagal saat dilakukan uji kelayakan. Hingga saat ini, belum ada wanita yang bisa lolos dari “screening” capres itu, yang mana, gugurnya pencalonan mereka bukanlah di dasarkan pada tendensi gender (jenis kelamin), tetapi, lebih disebabkan tidak terpenuhinya syarat-syarat penting lainnya, seperti kualifikasi di bidang administrasi dan pemerintahan.
Memang terkesan ada bias gender dalam konstitusi Iran menyangkut posisi presiden. Hal itu terlihat dari dimasukkannya kata ‘rijal’ dalam UUD RII pasal 115 sebagai calon presiden, yaitu :
“Presiden harus dipilih di antara ‘rijal’ religius dan politisi yang memiliki kualifikasi sebagai berikut: asli Iran; warga negara Iran; memiliki kapasitas administrasi dan kepemimpinan; memiliki masa lalu yang baik; jujur, bertakwa, beriman, dan berpegang teguh pada landasan Republik Islam Iran dan mazhab resmi Negara.” (UUD RII Pasal 115).
Perlu diperhatikan, dalam pasal ini, tidak disebutkan secara jelas istilah ‘laki-laki’, melainkan digunakan kata ‘rijal’. Secara semantis, rijal adalah bentuk plural dari kata rajul, yang berarti laki-laki. Akan tetapi, istilah ini juga sering merujuk kepada arti personality atau tokoh. Arti ini akan terlihat jelas, jika kita merujuk pada terjemahan Inggris[18] konstitusi tersebut, yang menyebutkan ‘distinguished religious’ sebagai terjemahan dari ‘rijal religius’. Makna distinguished, jelas lebih menekankan pada ketokohan, keutamaan, terkemuka, keistimewaan, atau kemasyhuran yang melekat pada diri seseorang, baik laki-laki maupun perempuan.
Karenanya, hingga kini, istilah rijal tersebut masih menjadi bahan perdebatan di antara para ulama. Penafsiran dan implementasi penggunaan terhadap istilah “rijal” ini diserahkan kepada Dewan Pelindung Konstitusi (Shura-ye Negahban-e Qanun-e Asasi) yang berwenang untuk melakukan verifikasi kelayakan setiap warga Iran yang mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilu.
Dicantumkannya kata “rijal” dalam konstitusi Iran tanpa penjelasan yang konkrit, menurut Ayatullah Husaini Bahesti, yang pada saat itu menjabat Wakil Ketua Majelis-e Khubregan, memanglah disengaja. Hal itu menurutnya, karena pada saat itu, tidak berhasil diambil kesepakatan di antara para ulama yang tergabung dalam Majelis-e Khubregan berkaitan dengan boleh-tidaknya perempuan menjadi presiden. Sehingga, pembahasan atas masalah ini tetap terbuka dan tidak bisa dijadikan alasan bahwa perempuan tidak berhak menjadi presiden. Jadi, istilah “rijal” ini hingga sekarang belum dihadapkan kepada “ujian konstitusi”.[19] Lebih lanjut Ayatullah Beheshti menyatakan :
“…Bagi saya sendiri, dalil-dalil yang ada dalam riwayat mengenai tidak bolehnya seorang perempuan menjadi presiden, sama sekali tidak cukup dan tidak akan pernah cukup…Namun pandangan seperti ini tidak berhasil mendapat persetujuan duapertiga dari anggota Majelis…Oleh karena itu, saya menyatakan, UUD untuk saat ini menetapkan bahwa presiden bisa dipilih di antara para tokoh politik dan perdebatan tentang boleh-tidaknya perempuan menjadi presiden untuk sementara dihentikan sampai di sini, sampai kelak situasi memungkinkan untuk dilakukan pembahasan ulang.” [20]
Pernyataan Ayatullah Bahesti di kuatkan oleh Munireh Gurji, cendekiawan perempuan yang menjadi anggota Majelis-e-Khubregan, yang menyatakan bahwa dalam sistem Wilayat al- Faqih, presiden bukanlah pemimpin tertinggi, sehingga sah-sah saja bila perempuan menjadi presiden.[21]
Dari catatan sejarah ini, jelas terlihat bahwa seiring dengan perkembangan zaman serta semakin terbuktinya kiprah dan kemampuan kaum perempuan Iran, sangat mungkin dilakukan pembahasan ulang dan bahkan amandemen terhadap UUD terkait dengan hak perempuan untuk menjadi presiden.
Tugas dan Peran Ekonomi Perempuan
“wanita harus bekerja dan berusaha untuk menentukan masa depannya” ungkap Imam Khumaini.[22] Pandangan Imam Khumaini ini diimplementasikan di dalam konstitusi Iran, yang mana perempuan Iran dijamin haknya dalam mendapatkan pekerjaan. Pasal 28 UUD RII menyebutkan :
“Setiap orang memiliki hak untuk memilih pekerjaan yang diinginkannya selama tidak bertentangan dengan interes Islam dan masyarakat, dan tidak melanggar hak-hak orang lain.
Pemerintah memiliki kewajiban, dengan menimbang kebutuhan sosial terhadap berbagai jenis pekerjaan, untuk menyediakan kesempatan kerja bagi setiap warga negara dan menciptakan kondisi yang setara dalam kesempatan kerja.” (UUD RII Pasal 28).
Dengan demikian secara konstitusional dan perempuan Iran berhak untuk memiliki pekerjaan dan secara khusus hak-hak perempuan dalam masalah ini diatur dalam “Undang-Undang Ketenagakerjaan” Republik Islam Iran, yang antara lain menyebutkan :
“untuk pelaksanaan kerja yang sama dalam kondisi yang sama, dan dalam satu tempat kerja yang sama, laki-laki dan perempuan harus memperoleh gaji yang sama.” (UU Ketenagakerjaan RII, Pasal 39).
Pasal di atas menunjukkan bukti nyata bahwa Iran memiliki komitmen pemberdayaan wanita sesuati dengan karakteristiknya. Artinya, dalam memilih pekerjaannya, perempuan harus memperhatikan penciptaan khusus secara fisikdan kejiwaan, sehingga tidaklah setiap pekerjaan baik baginya dan bagi seluruh individu masyarakat. Perempuan adalah eksistensi yang lembut dan cantik. Karena kelembutan dan kecantikannya yang menarik bagi laki-laki, maka dia harus berusaha untuk memilih pekerjaan-pekerjaan yang tidak merusak kecantikan, kelembutan, daya tarik, dan kasih sayangnya. Oleh karena itu, melakukan pekerjaan-pekerjaan berat, susah, dan melelahkan tidak baik bagi kaum perempuan, seperti pekerjaan (lembur) malam, buruh tambang, buruh pelebur besi, buruh perusahaan semen, pertanian, peternakan, dan semacamnya.[23] Inilah mengapa pasal 75 “UU Ketenagakerjaan” menyatakan: “pekerjaan yang berbahaya dan berat tidak boleh diserahkan kepada pegawai perempuan.”
Kemudian dalam “UU Perlindungan Pekerja Perempuan” yang disahkan pada tahun 1992, disebutkan, peran dan pekerjaan utama perempuan adalah dalam keluarga, namun juga ditegaskan bahwa “Kesempatan bekerja bagi perempuan dalam bidang budaya, sosial, ekonomi, dan administrasi merupakan di antara syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan keadilan sosial.” (UU Perlindungan Pekerja Perempuan RII, pasal 2).
Aturan-aturan di atas, menjadi bukti yang secara eksplisit sangat memihak perempuan agar memiliki kemandirian ekonomi di Republik Islam Iran. Hal ini juga mendapatkan legalitas dari al-Quran, “Bagi para laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Seesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisa: 33).
Untuk tetap mengimplementasikan tanggung jawab perempuan dalam rumah tangga, terutama sebagai ibu maka perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan wanita haruslah menyiapkan segala hal yang menyangkut kebutuhan wanita. Dalam “UU Perlindungan Pekerja Perempuan” pada pasal 76-78 menyebutkan perlindungan kerja wanita dalam keadaan hamil, melahirkan dan menyusui, yang diantaranya sebagai berikut :
Mendapatkan cuti hamil dan melahirkan selama 90 hari dan jika ada ketidaknormalan mendapatkan tambahan cuti 14 hari lagi. (Pasal 76)
Mendapatkan fasilitas pengasuhan anak selama jam kerja. (Pasal 76)
Dalam setiap tiga jam kerja, akan mendapatkan waktu selama setengah jam untuk menyusui anak. Dan waktu menyusui itu tetap dihitung sebagai jam kerja. (Pasal 77)
Perusahaan harus menyediakan tempat penitipan dan pengasuhan anak sesuai jenjang usia anak. (Pasal 77)
Setelah selesai masa cuti hamil dan melahirkan, maka perempuan tersebut akan kembali pada posisi kerjanya dan tidak diperbolehkan menggantikan atau memutasikan perempuan tersebut. (Pasal 78)
Selain itu, terkait dengan pekerjaan seorang istri, konsesi besar diberikan kepada istri atas penghasilan yang diperolehnya. Pasal 1118 UU Madani disebutkan, “Istri berhak secara independen dalam memanfaatkan harta yang dimilikinya sendiri sesuai dengan kehendaknya sendiri.”
Namun begitu, hak bekerja perempuan tetap disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam yang menjadi landasan konstitusional Negara. Diantaranya adalah, jika perempuan tersebut telah menikah dan memiliki suami, maka perlu ada izin suaminya bagi perempuan yang ingin bekerja. Pasal 1117 “UU Madani” menyebutkan bahwa, “Seorang suami berhak untuk melarang istrinya bekerja, bila si suami memandang bahwa pekerjaan yang dilakukan istrinya itu bertentangan dengan kemaslahatan rumahtangga atau mengganggu harga diri dirinya atau harga diri istrinya.”
Hal ini menjadi salah satu kritikan yang dilontarkan berbagai kalangan, terutama Barat, untuk mendeskriditkan Iran. Misalnya, Shirin Ebadi, pemenang Nobel Perdamaian tahun 2003, yang menganggap bahwa undang-undang seperti ini merupakan bukti nyata pendiskriminasian perempuan dalam Negara Iran.[24]
Keberatan dan kritikan yang dilancarkan oleh Barat atau ‘orang yang terbaratkan’ (westomania), atas undang-undang seperti ini didasarkan pada prinsip hak dan kebebasan absolut serta emansipasi liberal yang mereka anut. Bagi mereka, suami tidak diperbolehkan mengekang istri dalam menentukan pekerjaan dan mencari kebutuhan ekonominya. Karena, perkembangan modern, telah memberikan kemudahan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam segala bidang kerja baik itu bidang administrative, bidang pendidikan, bidang politik, bahkan pekerjaan buruh lapangan sekalipun. Mereka menuduh Iran telah melakukan diskriminasi, melalui undang-undang yang sangat bias gender, dan sama sekali tidak memihak pada perempuan.
Namun, jika kita mau jeli mencermatinya, sesungguhnya undang-undang juga memberikan hak yang sama kepada perempuan Iran atas pekerjaan suaminya. Misalnya, dalam “UU Perlindungan Keluarga” Pasal 18 menyatakan bahwa istri berhak mengajukan keberatan atas pekerjaan yang dilakukan suaminya dan pengadilan akan mengeluarkan surat larangan melakukan pekerjaan tersebut kepada suami, seandainya terbukti di pengadilan bahwa memang pekerjaan tersebut bertentangan dengan kemaslahatan keluarga atau harga diri dari kedua pihak. Bahkan, bila surat keputusan larangan dari hakim itu telah dikeluarkan dan si suami tetap berkeras melanjutkan pekerjaannya itu, “UU Pernikahan” menyebutkan bahwa perempuan berhak untuk menuntut cerai.[25]
Tugas dan Peran Sosial dan Budaya Perempuan
Program kebudayaan merupakan salah satu elemen penting dalam Republik Islam Iran. Jika masa Syah Pahlevi, kebudayaan Barat menjadi acuan resmi negara, maka berlawanan dengan hal itu, pasca revolusi, kebudayaan Islam menjadi landasan akurat bagi kebijakan negara. Ayatullah al-Uzhma Ali Khamenei, yang merupakan wali faqih dan rahbar, menegaskan bahwa saat ini telah terjadi perang kebudayaan (al-ghazwu al-Tsaqafah) di Iran, di mana kekuatan politik dan ekonomi Barat berusaha mempengaruhi dan meneror secara halus terhadap unsur-unsur dan prinsip-prinsip dasar kebudayaan Islam.[26]
Karenanya Imam Khamenei dan para ulama di Iran senantiasa mengingatkan generasi muda, terutama kaum perempuan akan bahayanya peracunan kebudayaan Barat sekuler yang hampa dari nilai-nilai agama, terkhusus agama Islam.
Ayatullah Ramazhani bersama pengurus Yayasan Islam Abu Thalib, saat berkunjung ke Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara Medan (IAIN SU Medan) menyatakan bahwa kebudayaan Islam adalah elemen penting yang harus dipertahankan kaum muslimin di dunia dan juga di Indonesia. Adapun di Iran sendiri, liberalisasi budaya tidak bisa ditolerir, sebab sebagai umat yang beragama, kita memiliki aturan-aturan baku yang harus ditegakkan untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Salah satu yang harus diperhatikan oleh Negara, menurut Ayatullah Ramazhani, adalah siaran televisi, sebab hal ini merupakan alat imperealisme budaya yang paling berpengaruh pada saat ini. Ia telah memasuki semua rumah kaum muslimin dengan siaran-siaran yang merusak generasi muda Islam. Karenanya di Iran, semua siaran televisi dijaga sedemikian ketat sehingga tidak menayangkan program-program yang merusak akhlak dan melecehkan syariat Islam.
Diantara aturan Islam yang penting untuk mengukuhkan kehidupan social dan budaya Islam adalah pakaian muslimah bagi wanita. Hal ini harus dipertahankan karena disamping aturan syariat, jilbab juga telah menjadi identitas budaya Islam yang memberikan penjagaan diri dan keamanan bagi wanita-wanita Islam, “Hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Ahzab: 59).
Karena itu, Pemerintah Iran mewajibkan penggunaan jilbab kepada seluruh wanita jika keluar dari rumahnya dan berinteraksi dengan orang-orang yang bukan mahram-nya. Kewajiban ini, selain berlandaskan pada syariat Islam, juga merupakan sarana penting untuk perbaikan kondisi sosial masyarakat. Hal itu karena, jika wanita diterjunkan ke tengah-tengah masyarakat, maka sifat belas kasih, kelembutan, perasaan dan kesucian wanita, menjadi perhatian dan pegangan, bukannya mengumbar nafsu dan sahwat yang akan memperlemah bangunan masyarakat manusia yang kokoh dan tersusun rapi. Islam, bagaimanapun senantiasa berupaya agar menjaga tidak terjadinya pengumbaran nafsu dan sahwat yang rendah, agar bagunan masyarakat tetap utuh, dan salah satu upaya resminya adalah dengan memelihara hijab, dan kasih sayang sebagai bahan perekat bangunan tersebut.[27]
Dengan aturan-aturan yang berlandaskan pada syariat dan kebudayaan Islam, maka Iran mempraktekkan masyarakat yang memberikan bagi perempuan keleluasaan dalam kancah pergaulan sosial. Para perempuan hadir secara aktif dalam berbagai aktivitas kehidupan dengan menjaga fasilitas-fasilitas public dan menerima berbagai tugas kemasyarakatan. Di sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar hingga Perguruan Tinggi, pusat-pusat penelitian, rumah sakit, klinik, laboratorium, parlemen, kementrian, dan pos-pos penting lainnya, perempuan tampak hadir tanpa risih menjaga hijab dan pakaian islami serta tidak berhias secara berlebihan. Meeka menrima batasan ini dengan lapang dada dan pengorbanan sehingga masyarakat selamat dan bersih dari factor-faktor penyimpangan dan kerusakan. Mereka melakukan ini karena menjaga kondisi para pemuda dan para lelaki asing, disamping menjaga hati dan perasaan suaminya sehingga kehidupan rumah tangga tetap utuh.[28]
Namun, ini adalah cita-cita besar dari sebuah Negara Islam, yang mana tanpa persiapan yang matang dan perjuangan yang sungguh-sungguh akan sulit melakukan revolusi kebudayaan. Kita ketahui, di masa Syah Pahlevi, Iran telah menggulirkan sekularisasi dan liberalisasi budaya yang menghasilkan larangan berjilbab dan menggunakan simbol-simbol agama di wilayah publik dan pemerintahan sehingga menggerogoti setiap sendi kehidupan rakyat Iran.
Hingga kini pun hal itu masih terlihat, di mana sebagian kecil masyarakat yang sudah terlena dengan sekularisasi dan liberalisasi budaya memperlihatkan sikap anti revolusi Islam. Karena itu, pemerintah Iran dan para ulama serta seluruh jajaran yang peduli akan cita-cita Revolusi Islam mesti berusaha keras merancang peogram yang mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan Islam dari serbuan kebudayaan asing yang merusak, demi mempersiapkan generasi muda yang unggul, berani, sehat fisik dan psikologisnya, serta memiliki komitmen kuat pada cita-cita Revolusi Islam. Dan dari seluruh unsur dan strata masyarakat, kaum perempuan mestilah mendapatkan perhatian ekstra. Akan tetapi, usaha inilah yang masih dirasakan kurang. Dalam hal ini Ayatullah Ibrahim Amini berkomentar :
“Amat disesalkan, dalam permasalahan-permasalahan budaya yang khusus bagi kaum perempuan, kita tidak mempunyai solusinya. Kita tidak mempunyai organisasi dan komunikasi yang harmonis. Ketidakharmonisan tidak akan memberikan hasil yang diinginkan bahkan kadang-kadang berdampak sebaliknya. Maksud dari keharmonisan adalah kebulatan tekad kebudayaan.
“Jika para penggiat media-media elektronik, penerbit-penerbit, para penulis, dan para mubaligh, semuanya, mampu membangun kebulatan tekad kebudayaan, maka strategi kebudayaan akan berjalan sukses. Menjalankan strategi kebudayaan memerlukan pergerakan menyeluruh dan kesatuan, yaitu paling sedikit tujuh puluh persen pejabat Negara dan struktur-struktur yang berkaitan dengan mereka bersama-sama menjalankan strategi itu.
Lebih lanjut, Ayatullah Ibrahim Amini menyatakan :
“Dengan keharmonisan di antara dakwah dan pendidikan, kita dapat menghidupkan dasar-dasar kebudayaan hijab dalam masyarakat. Perempuan harus percaya bahwa hijab akan menguntungkannya…Sungguh penerimaan hijab bagi perempuan, dalam kondisi yang mereka miliki pada zaman yang lalu, merupakan mukjizat.
“Pelaksanaan kebudayaan yang harmonis adalah sangat penting. Dalam masalah-masalah ini, realitas permasalahannya adalah bahwa para pejabat kebudayaan harus bersatu tekad. Khususnya, berkenaan dengan kaum perempuan…Jika hal tersebut dilakukan, perempuan akan menerima dengan sangat mudah dan memilih jalannya sendiri. Kita yang mestinya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang harmonis malah justru melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kacau balau dan cenderung sesuai selera masing-masing. Perbedaan selera dan ketidakharmonisan inilah yang memicu kelambanan penerapan strategi budaya.[29]
Dengan demikian jelaslah bahwa perempuan punya tugas dan peran yang besar dalam lingkup perbakan sosial dan budaya sehingga tercipta masyarakat Islam yang komitmen pada ajaran dan kebudayaan Islam. Setidaknya, usaha awal untuk menjaga kebudayaan Islam, terutama saat berhubungan dengan kebudayaan-kebudayaan dari negara-negara lainnya, Rahbar melalui Menteri Kebudayaan dan Petunjuk Islami Iran, membentuk Organisasi Islam Kebudayaan dan Hubungan Internasional (Islamic Culture and Relations Organization).
KESIMPULAN
Dengan uraian di atas terlihatlah bahwa perempuan dalam bingkai wilayah al-faqih yang berkomitmen pada ajaran Islam tidaklah menjadikan mereka terasing dari kemajuan dan perkembangan zaman. Dengan memegang prinsip ‘persamaan dalam perbedaan’, Islam menggariskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam meraih kesempurnaan dan kemuliaan di sisi Tuhan, namun dalam tugas, fungsi dan tanggungjawab duniawinya, diberikan Tuhan perbedaan sesuai karakteristiknya masing-masing.
Referensi:
[1] Imam Khumaini, Kedudukan Wanita Dalam Pandangan Imam Khumaini. (Jakarta: Lentera, 2004), h. 217.
[2] Dina sulaeman, Perempuan Iran : Observasi Antara Konstitusi dan HDI, makalah untuk seminar Mahasiswa Indonesia se-Timur Tengah, Tehran, 16 Agustus 2005, lihat dalam www. dinasulaeman.wordpress.com.
[3] Dina sulaeman, Perempuan Iran. www. dinasulaeman.wordpress.com
[4] Dina sulaeman, Perempuan Iran. www. dinasulaeman.wordpress.com
[5] Dina Sulaeman. Perempuan Iran. http://www.dinasulaeman.wordpress.com
[6] Dina sulaeman, Perempuan Iran. www. dinasulaeman.wordpress.com
[7] Dina sulaeman, Perempuan Iran. www. dinasulaeman.wordpress.com
[8] Imam Khumaini, Kedudukan, h. 266.
[9] Imam Khumaini, Kedudukan, h. 220.
[10] Imam Khumaini, Kedudukan, h. 85.
[11] Imam Khumaini, Kedudukan, h. 231.
[12] Imam Khumaini, Kedudukan, h. 237-238.
[13] Bayat. Peranan Wanita Republik Islam Iran dalam Pertahanan, dalam Majalah Yaum al-Quds No. 28 Jumadil Awal 1411 H, Seksi Pers dan Penerangan Kedutaan Republik Islam Iran, Jakarta, h. 21.
[14] Jawadi Amuli. Keindahan dan Keagungan Wanita. (Jakarta: Lentera, 2005), h. 412.
[15] Jawadi Amuli. Keindahan, h.412-413.
[16] Asyraf Borujerdi. Sekilas Tentang Peran Sosial-Politik Perempuan dalam Pemerintahan Islam, dalam Ali Hosein Hakeem. et. al. Membela Perempuan. (Jakarta: al-Huda, 2005), h. 128.
[17] Asyraf Borujerdi. Sekilas, h. 128-129.
[18] Terjemahan Inggris tersebut adalah :”The President shall be elected from among distinguished religious and political personalities having the following qualifications: He shall be of Iranian origins, have Iranian citizenship, be efficient and prudent, have a record of good reputation, honesty and piety, and be true and faithful to the essentials of the Islamic Republic of Iran and the official Faith of the country.” (Pasal 115)
[19] Dina sulaeman, Perempuan Iran. www. dinasulaeman.wordpress.com
[20] Dina sulaeman, Perempuan Iran. www. dinasulaeman.wordpress.com
[21] Dina sulaeman, Perempuan Iran. www. dinasulaeman.wordpress.com
[22] Imam Khumaini. Kedudukan, h. 80.
[23] Lihat Ibrahim Amini. Bangga Jadi Muslimah. (Jakarta: Al-Huda, 2007), h. 10-12.
[24] Dina sulaeman, Perempuan Iran. www. dinasulaeman.wordpress.com
[25] Dina sulaeman, Perempuan Iran. www. dinasulaeman.wordpress.com
[26] Imam Ali Khamenei. Perang Kebudayaan.(Jakarta: Cahaya, 2005), h. 15.
[27] Jawadi Amuli. Keindahan, h. 396.
[28] Ibrahim Amini. Bangga, h. 35-36.
[29] Ibrahim Amini. Bangga, h. 96-97.
(Abu-Thalib/ABNS)