Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS KAJIAN. Show all posts
Showing posts with label ABNS KAJIAN. Show all posts

Tiga Tanda Haji Mabrur Menurut Hadis Rasul


Jutaan umat Islam dari seluruh dunia kini tengah berkumpul di Tanah Suci dan melaksanakan ibadah haji bersama-sama. Besar harapan mereka bisa menjadi haji yang mabrur dan melengkapi rukun Islam yang kelima. Namun apa sih sebenarnya yang dimaksud haji mabrur itu?

Simak penjelasannya berikut ini.

Haji mabrur menurut bahasa adalah haji yang baik atau yang diterima oleh Allah SWT. Sementara itu, menurut istilah syar’i, haji mabrur ialah haji yang dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, dengan memperhatikan berbagai syarat, rukun, dan wajib, serta menghindari hal-hal yang dilarang (muharramat) dengan penuh konsentrasi dan penghayatan semata-mata atas dorongan iman dan mengharap ridha Allah SWT.

Dalam hadis riwayat Bukhari, Rasulullah SAW memberikan penjelasan terkait pahala atau balasan bagi jemaah haji yang mendapatkan predikat mabrur.

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

Artinya, “Tidak ada balasan (yang pantas diberikan) bagi haji mabrur kecuali surga.” (HR Bukhari)

Predikat mabrur memang hak prerogatif Allah SWT untuk disematkan kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Tetapi seseorang yang dapat meraih haji mabrur pasti memiliki ciri-ciri tersendiri.

Rasulullah SAW juga pernah memberikan kisi-kisi tanda atau ciri-ciri bagi setiap orang yang mendapatkan predikat mabrur hajinya.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya.

قالوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا الْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ؟ قال: “إِطْعَامُ الطَّعَامِ، وَإِفْشَاءُ السَّلَامِ

Artinya, “Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa itu haji mabrur?’ Rasulullah menjawab, ‘Memberikan makanan dan menebarkan kedamaian.’”

Walaupun hadis ini divonis munkar syibhul maudhu’ oleh Abu Hatim dalam kitab Ilal ibn Hatim, tetapi ada riwayat lain yang marfu’ dan memiliki banyak syawahid.

Bahkan divonis Shahihul Isnad oleh Al-Hakim dalam kitab Mustadrak-nya, walaupun Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya.

Sebagaimana dikutip Imam Badrudin Al-Aini dalam Umdatul Qari-nya.

سئل النبي ما بر الحج قال إطعام الطعام وطيب الكلام وقال صحيح الإسناد ولم يخرجاه

Artinya, “Rasulullah SAW ditanya tentang haji mabrur. Rasulullah kemudian berkata, ‘Memberikan makanan dan santun dalam berkata.’

Al-Hakim berkata bahwa hadis ini sahih sanadnya tetapi tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.”

Dari dua hadis di atas, ada tiga tanda seseorang yang mendapatkan haji mabrur.

Pertama, santun dalam bertutur kata (thayyibul kalam). Kedua, menebarkan kedamaian (ifsya’us salam). Ketiga, memiliki kepedulian sosial yaitu mengenyangkan orang lapar (ith‘amut tha‘am).

Dari tiga ciri ini, bisa disimpulkan bahwa predikat mabrur yang diraih oleh seorang yang telah menjalankan ibadah haji sebenarnya tidak hanya memberikan dampak terhadap kehidupan orang tersebut, melainkan juga berdampak besar kepada sisi sosial di lingkungan orang yang berangkat haji tersebut. Wallahu a‘lam.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Waspada Wahabisasi Jama’ah Haji Indonesia Melalui Pembagian Buku Gratis


Sungguh suatu hal yang sangat penting yang harus diketahui oleh para jama’ah haji Indonesia atau calon jama’ah haji Indonesia adalah misi pemerintah Arab Saudi me-Wahabi-kan muslim Indonesia lewat pelaksanaan ibadah haji, yaitu dengan membagi-bagikan buku-buku sesat secara gratis kepada semua jama’ah haji, yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, inilah hal yang sangat penting yang harus diketahui oleh jama’ah haji Indonesia, bahwa buku-buku yang dibagikan tersebut adalah untuk misi Wahabisme, dan misi terselubung ini telah berlangsung sangat lama, dan terus disebarkan tiap tahunnya, bagi orang yang sudah tahu kejahatan kerajaan Arab Saudi, dan tahu kesesatan buku-buku dari Syaikh-Syaikh pendukung Saudi, tentu hal ini bukan satu hal yang heboh, namun bagi orang yang tidak mengenal Saudi dan tidak mengetahui konspirasi Wahabi, tentu saja buku-buku ini sangat berbahaya bagi Aqidah mereka yang membaca nya, apalagi bila pembaca bukan ahli dalam ilmu Tauhid, atau bahkan belum bisa membedakan mana Aqidah Ahlus Sunnah Waljama’ah dan mana yang bertentangan dengan Aqidah Ahlus Sunnah, Na’uzubillah, semoga kita dan keluarga kita tetap dalam hidayah Allah. Amin ya Robbal’alamin.

Sebagai bentuk keprihatinan kami dan rasa kepedulian kami kepada Agama dan kaum muslimin, maka sangat layak dan pantas kami perkenalkan buku-buku tersebut serta sekilas tentang kesesatan-kesesatan mereka, dan bila masih meragukan kesesatan buku-buku tersebut, maka hendaknya anda bawakan buku tersebut kepada para Ulama Ahlus Sunnah yang ada di daerah anda masing-masing, agar semuanya jelas dan tidak ada lagi alasan bagi anda untuk membaca atau menyimpan buku putih tersebut, semoga semua jama’ah haji dan calon jama’ah haji Indonesia mengetahui konspirasi Wahabisasi kerajaan Saudi Arabia, saran kami kepada jama’ah haji yang pernah menerima buku putih hadiah dari Arab Saudi, agar tidak menyimpannya lagi, membakarnya lebih baik dari menyimpannya, sekalipun anda tidak membacanya, karena dikhawatirkan dikemudian hari justru keluarga dan keturunan anda yang membaca dan terpedaya dengan kesesatan didalamnya, semoga kita dan keluarga kita senantiasa dalam  hidayah Allah subhanahu wata’ala. Amin

Inilah Sebagian Buku-Buku Sesat Yang Dibagikan Kepada Jama’ah Haji

Buku Aqidah Ahlis Sunnah Wal Jamaah, karangan Syaikh Muhammad bin Saleh al-Utsaimin

Buku Aqidah Shohihah Versus Aqidah Bathilah karangan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz

Buku Beberapa Pelajaran Penting Untuk Segenap Ummat karangan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Buku Dasar Dasar Aqidah Salaf Ahlussunnah Waljamaah karangan DR. Abdullah bin Abul Muhsin at-Turki

Buku Kitab Tauhid karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Buku Petunjuk Jamaah  Haji Dan Umrah Serta Peziarah Mesjid Rasulullah Kumpulan Ulama

Buku Sembilan Nasehat DR. Yahya bin Ibrahim

Buku Tafsir al-Usyr al-Akhir dan Hukum-Hukum Penting-Bagi Seorang Muslim

Buku Tiga Landasan Utama karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Buku Tuntunan Thaharah dan Shalat karangan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Itulah buku-buku yang kami kumpulkan dari beberapa jama’ah haji, setiap tahunnya buku berbeda-beda, tidak hanya terbatas pada buku yang telah kami tampilkan diatas saja, dan pesan kami jangan sampai anda tertipu dengan judul buku atau sampulnya, sekalipun atas nama Ahlussunnah, atau atas nama ulama salaf, atau atas nama Rasulullah sekalipun, sementara pembahasan didalamnya sangat berbeda dari judulnya. Tanyakan dahulu kepada para kyai dan para habaib tentang layak tidaknya sebuah buku Islam untuk dibaca. Tetap waspada !
Inilah Sebagian Dari Ajaran Sesat Salafi Wahabi
  • Membagikan Tauhid kepada 3 Kategori yakni Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma’ was-Sifat.
  • Sering mempertanyakan dimana Allah.
  • Meyakini Tuhan punya Tangan (anggota badan).
  • Meyakini Tuhan punya Muka (wajah asli).
  • Meyakini Tuhan punya arah dan tempat dan berada (bersemayam) di atas ‘Arasy.
  • Meyakini Tuhan punya lambung/rusuk.
  • Meyakini Tuhan turun dari ‘Arasy ke langit di malam hari.
  • Meyakini Tuhan punya betis.
  • Meyakini Tuhan punya jari-jemari.
  • Mendakwa dirinya ber-Manhaj Salaf dalam aqidah (tapi sangat bertentangan dengan aqidah Ulama Salaful ummah).
  • Memahami Nash-Nash Mutasyabihat menurut terjemahan bebas, tanpa merujuk ke kitab Ulama.
  • Mengkafirkan pengikut Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi (dua Imam Ahlus Sunnah Waljama’ah).
  • Mengkafirkan Sufi, dan menganggap Tasawwuf bukan ajaran Islam.
  • Sangat anti dengan sifat 20 pada Allah ta’ala.
  • Menuduh Imam Abu Hasan Asy’ari telah bertobat dari aqidah Asy’ariyah yang di yakini oleh kebanyakan ummat dan para Ulama terdahulu, padahal telah diakui kebenarannya oleh para ulama Ahlussunnah
  • Menolak Ta’wil dalam bab Mutasyabihat.
  • Menuduh Ayah dan Ibu Rasulullah kafir dan tidak akan selamat dari Neraka.
  • Menuduh syirik Tawassul, Tabarruk dan Istighatsah dengan para Anbiya, Aulia dan Shalihin.
  • Memakai selogan kembali ke Al-Quran dan as-Sunnah untuk membatalkan ijtihad para ulama Salaf.
  • Sangat anti dengan pendapat Imam Madzhab dan pengikut Madzhab, dan menuduh para Imam Madzhab hanya bermadzhab dengan Hadits shohih saja.
  • Mudah membid’ah-sesatkan amalan yang tidak sharih dan shahih menurut mereka.
  • Menuduh Maulid itu Tasyabbuh dan Sesat.
  • Menuduh Tahlilan, Yasinan itu Tasyabbuh dan Sesat dan bahkan ada yang menuduhnya bukan dari ajaran Islam
  • Menyamakan orang baca Al-Quran di kuburan dengan penyembah kubur.
  • Mengaku Salafi dan Ahlussunnah Waljama’ah, tapi sangat menyimpang dari ulama Salaf dan semua ulama Ahlussunnah
  • Dan masih banyak sekali [silahkan rujuk kepada para ulama untuk mengetahui lebih detail]
Sesungguhnya berita ini bukan isu semata atau kebencian atau buruk sangka, akan tetapi ini semua memang begitu adanya, seandainya bukan karena kewajiban untuk menyampaikan, sungguh kami tidak akan menyampaikannya demi menjaga persatuan ummat ini, dan semua telah kami sampaikan dengan tanpa berlebihan, dan tanpa bermaksud membuka aib atau merendahkan, dan harapan kami semoga para jama’ah haji kita tidak tergoda dan terpedaya dengan trik dan tipu daya mereka, dan semoga mendapat haji yang mabrur, insya Allah. Jangan terima buku-buku yang dibagikan gratis saat haji di Arab Saudi tetapi terima mushaf al-Qur’an saja.

Wallahu a’lam

(Suara-Aswaja/Tasbih-News/ABNS)

Hati Hati Dengan Buku Bertitel Al Bani


Oleh : Luthfi Bashori

Beberapa tahun belakangan ini, semakin banyak kitab, buku, artikel, atau postingan di internet yang memuat kalimat : “disahihkan oleh Syaikh Al-Albani”. Padahal, di era sebelumnya, umat Islam hanya mengenal istilah seperti: diriwayatkan oleh Syaikhan (Imam Bukhari dan Imam Muslim) atau diriwayatkan oleh Imam Bukhari, sahih Bukhari, sahih Muslim dan yang semisalnya dari Imam-imam Muhaddits yang mu’tabar (kredibel).

Dengan munculnya nama al-Albani yang dianggap sebagai ahli hadits abad ini, maka muncul istilah baru yang jadi icon, yaitu jika ada sebuah hadits yang sudah dapat stempel: disahihkan oleh Al-Albani, seakan-akan sudah ‘jaminan mutu’ kebenaran hadits tersebut oleh masyarakat awwam.

Bahkan golongan Wahhabi Salafi mengganggap al-Albani itu kedudukannya se-derajad dengan Imam Bukhari pada zamannya. Sehingga semua hadits bila telah dishahihkan atau dilemahkan dan sebagainya, oleh al-Albani ini, sudah pasti kebenaran.

Padahal banyak para pakar hadits di era modern ini, sebut saja Syeikh Assayyid Hasan Ali Assegaf, yang menyebutkan dalam kitabnya, Tanaqudhat al-albani, beliau menemukan banyaknya kontradiksi dari hadits-hadits dan catatan-catatan yang dikemukakan oleh al-Albani, bahkan jumlahnya lebih dari 1200 hadits.

Di samping itu masih banyak para Ulama dewasa ini yang ikut membantah kredibilitas al-Albani, di antaranya:
1. Muhaddits dataran Syam Syekh Abdullah alHarari.
2. Muhaddits dataran Maroko Syekh Abdullah al Ghammari
3. Muhaddits dataran India Syekh Habiburrahman al A’zhami
4. Mantan Menteri Urusan Agama dan Wakaf Uni Emirat Arab Muhammad bin Ahmad al Khazraji
5. Mantan Ketua Umum MUI Prop. DKI Jakarta K.H. M. Syafi’i Hadzami.

Namun kaum Wahhabi tetap saja secara fanatik, menjulukinya sebagai Al-Imam Al-Mujaddid Al ‘Allamah Al-Muhaddits Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani. Sedang Al-Albani sendiri adalah seorang tukang jam yang dilahirkan di kota Ashkodera, negara Albania tahun 1914 M dan meninggal dunia pada tanggal 21 Jumadil Akhirah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania.

Pada masa hidupnya, sehari-hari dia berprofesi sebagai tukang reparasi jam. Dia memiliki hobi membaca kitab-kitab khususnya kitab-kitab hadits, tetapi tidak pernah berguru kepada guru hadits yang ahli dan tidak pernah mempunyai sanad yang diakui dalam Ilmu Hadits.

A-Albani tidak menyelesaikan pendidikan formal yang tinggi, kecuali hanya menyelesaikan sekolah madrasah ibtidaiyah. Kemudian meneruskan ke madarasah An-Nizhamiyah. Dia sendiri mengakui bahwa sebenarnya dia tidak hafal sepuluh hadits dengan sanad muttashil (bersambung) sampai kepadas Rasulullah SAW, meskipun begitu dia berani “Mentashih dan Mentadh’ifkan” hadits sesuai dengan kesimpulannya sendiri, namun banyak bertentangan dengan kaidah para ulama salaf ahli hadits.

Para muhaddits salaf bersepakat bahwa sesungguhnya keahlian “Mentashih dan Mentadh’ifkan” suatu hadits itu, adalah tugas para hafidz (ulama yang hapal sekurang-kurangnya seratus ribu hadits).

Setidaknya ada tiga syarat bagi “Pentashih dan Pentadh’if” hadits menurut Imam Ibnu Hajar al Asqallani:
1 – Masyhur dalam menuntut ilmu hadits dan mengambil riwayat dari lisan para ulama, bukan semata-mata membaca kitab-kitab hadits saja.
2 – Mengetahui dengan jelas Thabaqat generasi periwayat dan kedudukan mereka
3 – mengetahui Jarah dan ta`dil dari setiap periwayat, dan mengenal mana hadit yang shahih atau yang Dhaif, sehingga apa yang dia ketahui lebih banyak dari pada yang tidak diketahuinya, juga menghapal banyak matan haditsnya.

Bukan sekedar itu ketidaksesuaian al-Albani dengan syarat-syarat yang telah dijadikan standar oleh para ulama salaf, bahkan al-Albani secara serampangan berani menyalahkan Imamul Muhadditsin, yaitu Imam Bukhari, hingga al-Albani berani meragukan keislaman dan keimanan Imam Bukhari.

Tatkala Imam Bukhari mentakwili ayat mutasyabihat yaitu Firman Allah كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَه yang artinya: “Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya”. Berkata Imam Bukhari: ”Makna (lafadz wajah-Nya) adalah mulkuhu (kerajaan/kekuasaan Allah)”.

Ternyata al-Albani menentang keras dan berkata هذا لا يقوله مسلم مؤمن yang artinya: “Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang muslim yang beriman “. Lihatlah kitab Fatawa Al-Albani, m/s 523. Tentu saja ucapan al-Albani ini mempunyai makna pengkafiran terhadap Imam Bukhari.

Contoh lain dari kesesatan al-Albani, dalam kitabnya Sifat Shalatun Nabi, hal. 143, ia mengatakan bahwa dalam Tasyahud shalat, hendaknya membaca السلام على النبي (keselamatan atas diri nnnnNabi) sebagai ganti dari ucapan yang umum dilakukan oleh umat Islam السلام عليك أيها النبي, (semoga keselamatan atas dirimu, wahai Nabi).

Ternyata al-Albani tidak paham bahwa Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar bin Khaththab dan Sayyidina Abdullah bin Zubair telah mengajarkan ucapan Tasyahud kepada umat Islam di atas mimbar, setelah Nabi SAW wafat yaitu السلام عليك أيها النبي و رحمة الله و بركاته (semoga salam sejahtera, rahmat dan berkah Allah semoga tetap tercurahkan atas dirimu, wahai Nabi). Saat itu, tidak ada seorang pun dari para shahabat yang mengingkari ajaran beliau bertiga itu.

Namun seakan-akan al-Albani lebih paham dibanding Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar bin Khaththab dan Sayyidina Abdullah bin Zubair terhadap ajaran agama, bahkan ia berani menyalahkan para shahabat tersebut.

(Makalah ini disampaikan pada kegiatan Kajian Keislaman di Ponpes Sidogiri, Pasuruan Jawa Timur, November 2015).

Sumber: http://pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=1091#.dpuf

(Pejuang-Islam/Santri/ABNS)

Sunni adalah partai pendukung Abu Bakar, Umar, Usman dan Mu’awiyah. Berikut Ringkasannya


Ahlusunnah memang tidak identik dengan mengikuti Muawiyah tapi mereka tidak pernah mau menyalahkannya dalam berbagai pelanggaran dan penyimpangannya. Yang setuju dengan Muawiyah tidak hanya Salafy tapi juga banyak dari ulama Ahlusunnah.

Abubakar Diangkat Dengan Cara Brutal
Salah satu hukum sosial itu adalah bahwa setiap masyarakat selalu akan mengangkat seorang pemimpin yang mengatur dan menyelenggarakan kepentingan mereka. Pemimpin itu bisa kepala suku, lurah, camat, bupati, raja, sultan, khalifah, presiden, CEO, manager, dan lain-lainnya.

Ulama Syi’ah : “Abu Bakr, dia manusia hebat, beliau sangat memikirkan umat, bahkan beliau memikirkan umat melebihi Nabi SAW”,
Ulama Sunni : “kok bisa Abu Bakr lebih memerhatikan umat daripd Nabi?”
Ulama Syi’ah : “Iya, beliau (Abu Bakr) lebih memikirkan umat, lihatlah Nabi SAW saat detik terakhir tidak menunjuk Pengganti beliau, shg Umat nyaris terpecah (Peristiwa Saqifah), tapi Abu Bakr menjelang ajal dia menunjuk seseorang pengganti (Umar bin Khattab- ditunjuk Abu Bakr utk menggantikan posisi Khalifah, silahkan buka semua rujukan baik sunni maupun Syiah, 100% mengatakan Umar ditunjuk Abu Bakr menjadi Khalifah pengganti) untuk umat, jadi Abu Bakr lebih memikirkan umat dibanding Nabi SAW kan,”

Kebenaran yang dipaksakan.
Sepeninggal Rasul, kaum Anshar dan sebagian Muhajirin melakukan rapat mendiskusikan siapa pengganti Rasul. Kaum Anshor mengadakan rapat pengangkatan khalifah dimana tidak ada satupun dari empat sahabat yang hadir disana, karena para sahabat masi terlalu sibuk utk mengurus jenazah baginda Rasul.

Mendengar rapat tiba-tiba tersebut, Umar bersikeras mengajak Abu Bakar untuk segera kesana karena ditakutkan pengangkatan khalifah akan dilakukan sepihak oleh kaum Anshor.

Khalifah yang pertama berasal dari kaum Muhajirin. Keadaan beginikah yang diinginkan Islam ? Imam Ali tidak diundang hadir dalam musyawarah ini, yang selanjutnya memutuskan Abu Bakar sebagai Khalifah Pertama.  Pada masa Abubakar, Golongan pendukung Ali sangat kecewa dan menunjukkan protes dan selanjutnya membentuk kekuatan baru di belakang layar.

Khalifah Golongan Sunni (pendukung Abu Bakar, Umar, Usman dan Mu’awiyah)
Ahlussunnah Waljamaah berkeyakinan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menunjuk seseorang sebagai penggantinya. Sunni percaya bahwa penerus Rasul harus dipilih secara musyawarah, tidak harus punya hubungan darah langsung.

Muhammad Tijani pemah menyindir seorang ulama Sunni dengan berkata bahwa Abu Bakar sesungguhnya lebih berilmu daripadu Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar mengetahui bahwa Nabi harus menunjuk, seseorang sebagai penerusnya untuk menjaga agar system dan masyarakat tetap teratur. Abu Bakar mununjuk Umar sebagai penerusnya. Akan tetapi, Nabi Muhammad tidak menyadari tugas penting ini bahwa masyarakat Islam membutuhkan seorang pemimpin berkualitas setelah ia tiada, atau Nabi Muhammad tidak menganggap penting tentang siapa yang akan menjalankan roda kepemimpinan setelahnya.

Masalahnya adalah kepemimpinan. Apakah permasalahan ini tidak begitu penting bagi Nabi Muhammad atau apakah ia tidak sungguh*-sungguh menghadapinya? Tentu saja, Nabi Muhammad menanggapinya sungguh-sungguh dan ia pasti telah menunjuk pengganti (khalifah) yang paling berkualitas sebagai pemimpin negara Islam dan penjaga syariah (hukum Allah) bahkan dalam peristiwa ghadir khum Nabi sudah menyebut siapa pengganti selepas beliau, lalu mengapa tidak ditaati ?.

Pertanyaan lain yang muncul adalah: Siapakah yang lebih cakap dalam menunjuk khalifah. Allah SWT dan Rasul-Nya atau kaum Muslimin? Apakah Islam didasarkan pada demokrasi ( (pemerintah dipilih oleh masyarakat) ataukah teokrasi ( kerajaan Allah dimuka bumi ini ?) Sejarah Islam membuktikan bahwa pemerintahan setelah Nabi Muhammad SAW tiada didasarkan pada prinsip, demokrasi ataupun teokrasi. Hanya beberapa orang saja berkumpul di Saqifah Bani Saidah dan mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah sedangkan Ali tengah sibuk mengurus jenazah Nabi Muhammad SAW di Madinah.

Dapatkah kita memilih seseorang Rasul melalui musyawarah?
Hal yang samapun berlaku dalam menunjuk pengganti Rasul, Karena Allah Maha tahu siapa yang lebih berkualitas untuk kedudukan ini. Akan nampak aneh jika seorang wakil seorang pemimpin ditunjuk oleh orang lain dan bukan oleh dirinya. Wakil Allah (atau Rasul) hanya ditunjuk oleh Allah (atau Rasul), dan hal. ini bukan urusan manusia.

Banyak contoh dalam Quran ketika Allah menyatakan bahwa Dialah yang berhak menunjuk penurus di muka bumi. Allah Yang Maha tinggi berfirman:
Hai Daud, kami telah menjadikanmu penguasa ( penerus ) di muka bumi ini ….” (QS.Shad : 26)
dan “ Kami telah menjadikanmu (Ibrahim) penguasa (pemimpin) bagi manusia” (QS. Al – Baqarah : 124 ).

Khalifah / Imam bagi umat manusia ditunjuk oleh Allah SWT. Lihat pula surah al – Baqarah ayat 30 mengenai Nabi Adam as, bahkan ketika ingin pergi ke Miqaat Nabi Musa as tidak meminta kaumnya membentuk sebuah syura untuk menunjuk seorang wakil baginya. Quran menyatakan bahwa Musa berkata:
Ya, Allah tunjuklah bagiku seorang wakil, (yaitu) Harun saudaraku…… (Allah) bersabda: “Kami perkenankan permohonanmu hai, Musa!” (QS. Tha Ha :29-36).

Allah Yang Maha tinggi berfirman: “Sesungguhnya kami telah memberi kitab kepada Musa dan menunjuk Harun sebagai wakilnya. “ (QS. al-A’raf :142).

Perhatikanlah bahwa ukhlifni dan khalifa (khalifah) berasal dari akar kata yang sama.
Dalam kaitannya dengan hal ini, mari kita perhatikan hadis Shahih al-Bukhari yang menarik berikut ini. Rasulullah SAW berkata kepada Ali:
Kedudukanmu bagiku bagaikan Harun bagi Musa, hanya saja tiada rasul , setelahku.

Nabi Muhammad SAW bermaksud menyatakan bahwa sebagaimana Nabi Musa as menunjuk Nabi Harun as untuk menjaga kaumnya saat ia pergi ke Maqat (bertemu Allah), Nabi Muhammad menunjuk Ali untuk menjaga Islam setelah ia wafat.

Ayat Quran mengenai Nabi Harun as di atas menunjukkan bahwa bahkan Nabi tidak menunjuk wakil/penerus dirinya, tetapi Allah-lah yang menunjuknya. Nabi Musa bermohon kepada Allah agar Harun menjadi wakilnya dan Allah memperkenankan permohonan Nabi Musa as.

(Syiah-Ali/ABNS)

Kenapa harus berimam pada Syafi’i? Berikut Ringkasan Jawabannya


Imam Ja’far Shadiq As, Guru dari para Imam Mazhab

Posisi  Imam Keenam

Nama: Ja’far
Julukan: Abu Abdillah
Gelar : Shadiq, Fadhil, Shabir, Thahir
Tanggal Lahir 17 Rabiul Awwal 83 H
Tempat Lahir Madinah
Tanggal Wafat 25 Syawal 148 H
Nama Ayah: Muhammad bin Ali al-Baqir
Nama Ibu: Ummu Farwah
Masa Hidup: 65 Tahun
Tempat Dikuburkan Baqi, Madinah
Istri (istri): Fatimah
Anak-anak: Ismail, Musa, Abdullah, Abbas, Fatimah, Ishaq, Ali, Asma, Farwah


Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husein (Bahasa Arabجعفر بن محمد بن علی بن حسین) As, lahir di Madinah 83 H, wafat Madinah 148 H), ia masyhur dengan Imam Shadiq, imam keenam Syiah, wafat pada umur 65 dan dikuburkan di samping ayahnya, Imam Baqir As dan datuknya, Imam Sajjad As, dan Imam Hasan As di pekuburan Baqi. Ibundanya adalah Ummu Farwah putri Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr.

Priode imamahnya adalah 34 tahun. [1] Julukannya Abu Abdillah dan Ja’fariyah dinisbatkan kepadanya [2] Banyak sekali kumpulan riwayat yang bersumber dari Imam Shadiq As dalam pelbagai masalah fikih dan teologi. Karena inilah mazhab Syiah dinamakan mazhab Ja’fari.

Kelonggaran politik yang muncul pada tahun-tahun permulaan imamahnya menjadikan masyarakat lebih leluasa bertemu dengan Imam Shadiq As dan menginginkan darinya penyelesaian berbagai permasalahan fikih dan lain-lainnya.. [3]

Ibnu Hajar al-Haitami, salah seorang ulama Ahlusunnah mengatakan, “Masyarakat banyak sekali menukil ilmu darinya, dimana ketenarannya sampai ke seluruh kota. Para imam besar seperti Yahya bin Said, Ibnu Jarih, Malik, Sufyan bin ‘Uyainah, Sufyan Tsauri,Abu Hanifah, Syu’bah bin Hajjaj, Ayyub Syakhtiyani meriwayatkan darinya.”

Tidak ada seorangpun dari Ahlulbait As yang memiliki jumlah murid seperti yang dimiliki Imam Shadiq As dan tidak ada riwayat dari mereka yang sepadan dengan riwayat-riwayat yang sampai darinya. Para ahli hadis menuliskan nama para perawi darinya berjumlah 4000 orang.

Kesyahidannya karena racun yang disiapkan oleh Manshur Dawaniqi[4]

Nasab, Julukan, dan Gelar

Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib As, imam keenam Syiah, dan imam kelima dari keturunan Amirul Mukminin As, julukannya adalah Abu Abdillah dan julukan masyhurnya adalah “Shādiq”. Ia juga memiliki gelar lain, di antaranya adalah, Shabir (sang penyabar), Thahir (sang suci), dan Fadhil (sang utama). Karena para fakih dan ahli hadis semasanya bukanlah orang-orang Syiah, maka mereka memujinya dengan kebenaran hadis dan kejujuran dalam penukilan riwayat, maka dengan demikian ia mendapatkan gelar “Shadiq”. [5]Nama ibundanya adalah Fatimah atau Qaribah, dan gelarnya adalah Ummu Farwah. [6] Ummu Farwah adalah putri Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. [7]

Kelahiran dan Wafat

Imam Shadiq lahir di Madinah tahun 83 H. dan meninggal di Madinah tahun 148 H, pada umur 65, dan ia dikuburkan di samping ayahnya Imam Baqir As dan datuknya, Imam Sajjad As, dan Imam Hasan As di pekuburan Baqi[8]
Ia dilahirkan pada tanggal 17 Rabiul Awwal dan kesyahidannya pada tanggal 25 Syawal, dan dinukil juga bahwa kesyahidannya pada pertengahan bulan Rajab atau Syawal.
Sebagian para sejarawan dan para hagiograf menulis hari kelahirannya pada tahun 80 H. [9] Dan Ibnu Qutaibah menulis bahwa ia wafat pada tahun 146. [10] 12 tahun dari umurnya adalah sezaman dengan datuknya, 19 tahun bersama ayahnya dan 34 tahun adalah periode keimamahannya. [11]

Syahadah

Dalam buku Fushūl al-Muhimmah dan Mishbāh Kafa’mi [12] dan juga dalam buku-buku yang lain dituturkan bahwa Imam Syahid karena disuruh meminum racun. Ibnu Syahr Asyub dalam Manāqib menuliskan bahwa Abu Ja’far Manshur telah meminumkan racun untuknya [13], karena dendam dalam hati yang ada pada Manshur kepadanya dan ketakutan atas ketertarikan masyarakat kepadanya. Mereka yang mengenal sejarah kehidupan Manshur akan mengetahui bahwa ia tidak berbelas kasih kepada orang-orang yang berupaya menyampaikannya dalam kursi khilafah, bahkan membunuh Abu Muslim Khurasani, orang yang telah berjuang dengan segenap tenaga guna mendirikan pemerintahan Abbasiyah. [14]

Istri dan Keturunan

Istri-istri

Fatimah putri Husein bin Ali bin Husein, merupakan ibu dari tiga putranya; seorang hamba sahaya yang merupakan ibu tiga anaknya yang lain dan wanita-wanita lain yang menjadi ibu-ibu untuk anak keturunannya yang lain. [15]

Keturunan

Syaikh Mufid menuturkan bahwa ia memiliki 10 orang putra yang di antara mereka adalah: [16]:
  • Ismail, Abdullah, Ummu Farwah, dimana ibunda mereka adalah Fatimah putri Husein bin Ali bn Husein.
  • Musa (Imam Kadzim as), Ishaq, Muhammad, dimana mereka adalah satu ibu.
  • Abbas, Ali, Asma’, dan Fatimah dari ibunda lainnya.
Thabarsi menuliskan bahwa, “Musa, Ishaq, Fatimah, dan Muhammad mereka dari satu ibu, bernama Hamidah Barbariah. [17]

Ismail putra terbesarnya yang sangat dicintai oleh Imam Shadiq dan sekelompok dari Syiah beranggapan bahwa dia adalah pengganti sang Imam, namun dia meninggal pada masa hidup Imam Shadiq As dan dikuburkan di Baqi.

Diriwayatkan bahwa sepeninggal putranya, Imam Shadiq As sangat berduka sekali dan bergegas mengangkat jenazah putranya dengan tanpa sepatu dan jubah dan beberapa kali memerintahkan supaya meletakkan jenazahnya di atas tanah sebelum dikuburkan dan menyingkap kain kafannya. Ia berkali-kali melihat wajahnya dan juga berbicara kepada orang-orang di sekelilingnya supaya melihatnya, sehingga mereka yang mengasumsikan kekhilafahan setelah Imam merasa yakin bahwasanya ia telah meninggal dunia. [18]

Imamah

Masa imamahnya selama 34 tahun, [19] bertepatan dengan kelanjutan pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik, kekhilafahan Walid bin Yazid bin Abdul Malik, kekhilafahan Yazid bin Walid bin Abdul Malik yang bergelar Naqish, kekhilafahan Ibrahim bin Walid, kekhilafahan Marwan Himar. Kemudian pada tahun 132 pakaian hitam-hitam dengan bendera hitam dari Khurasan bangkit bersama Abu Muslim dan Abul Abbas Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas yang bergelar Saffah memerintah selama 4 tahun 8 bulan. Selanjutnya diteruskan oleh saudaranya Abu Ja’far Abdillah yang bergelar Manshur memerintah selama 21 tahun 11 bulan.Dan Imam Shadiq As syahid 10 tahun setelah dimulainya pemerintahan Manshur. [20]

Bukti Imamah

Banyak sekali orang-orang yang menukilkan riwayat dari Imam Baqir As mengenai imamah putranya (Ja’far), di antaranya adalah Hisyam bin Salim, Abu al-Sabah Kinani, Jabir bin Yazid Ju’fi, Abd al-A’la maula Ālu Sam. [21]

Syaikh Mufid menulis, “Selain wasiat Imam Baqir As tentang imamah putranya Ja’far, ia juga memiliki keutamaan dalam aspek keunggulan dalam ilmu, zuhud, prilaku dibandingkan saudara-saudara dan paman-pamannya serta manusia lain sezamannya. Hal ini telah menunjukkan akan imamahnya.” [22]

Kebangkitan Ilmiah

Setelah wafatnya Rasulullah Saw dan masa kekhilafahan para khulafa, tatkala permasalahan fikih memberatkan khalifah atau para sahabat Rasulullah Saw, mereka merujuk kepadaImam Ali As dan imam menyelesaikan permasalahan mereka. Karena Ali As syahid, maka para musuh menyempitkan keturunan dan para Syiahnya serta memisahkan masyarakat dari mereka.

Dari sisi lain, orang-orang menjual agama mereka dengan dunia, untuk kesenangan para pemimpin waktu itu atau untuk keuntungannya juga membuat riwayat, sampai-sampai sangatlah sulit bagi para fakih untuk membedakan hadis yang sahih dari hadis yang tidak sahih.

Dapat dikatakan sejak tahun 40 H. sampai mendekati akhir abad pertama Hijriyah, hanya segelintir dari para sahabat dan Tabi’in yang tidak mendapatkan fikih yang benar, yaitu fikih keluarga Muhammad Saw. Pada masa imam Baqir As agak sedikit longgar dan pada tahun 114-148 (masa imamah Imam Shadiq As) adalah masa penyebaran fikih keluarga Muhammad Saw, atau dengan ungkapan lain adalah hari pendidikan dan pengajaran fikih Ja’fari. Pada tahun-tahun ini, Madinah juga memiliki raut yang lain. [23]

Masa Imam Shadiq bertepatan dengan merosot dan bergejolaknya pemerintahan Marwan, sebagaimana tersedianya kebebasan politik dan tersedianya pendahuluan kebangkitan religi serta klasifikasi anti pemerintahan di setiap sudut-sudut, juga menyebabkan kebebasan pembahasan ilmiah dalam pelbagai cabang. [24]

Banyak sekali kumpulan riwayat yang bersumber dari Imam Shadiq As dalam pelbagai masalah seperti fikih dan teologi. Karena inilah mazhab Syiah dinamakan mazhab Ja’fari. Kelonggaran yang muncul di awal abad kedua-ketiga Hijriyah menyebabkan masyarakat lebih leluasa bertemu dengan Imam Shadiq As dan menginginkan penyelesaian masalah fikih serta permasalahan lain darinya. [25]

Ibnu Hajar menulis tentangnya, “Banyak dari masyarakat yang menukil ilmu darinya, yang ketenarannya sampai ke seluruh kota. Para imam besar seperti Yahya bin Sa’id, Ibn Juraih, Malik, Sufyan bin ‘Uyainah, Sufyan Tsauri, Abu Hanifah, Syu’bah bin Hajjaj, Ayyub Syakhtiyani meriwayatkan hadis darinya.” [26]

Para cendekiwan tidak menukil dari salah seorang Ahlulbait Rasulullah Saw seukuran dengan apa yang diriwayatkan dari Imam Shadiq, dan tidak ada seorangpun dari mereka yang memiliki jumlah murid seperti yang ia dimiliki, dan tidak ada riwayat dari mereka yang sepadan dengan riwayat-riwayat yang sampai darinya. Para ahli hadis menuliskan nama para perawi darinya berjumlah 4000 orang. [27]

Fikih

Dzahabi menukil perkataan dari Abu Hanifah, “Saya tidak melihat orang lebih fakih dari Ja’far bin Muhammad, yakni Imam Shadiq.” [28]

Malik bin Anas, salah seorang penghulu dari empat mazhab Ahlusunnah wal jamaah mengatakan, “Tidak ada yang lebih tinggi dari sisi keutamaan, ilmu, dan ketakwaan darinya.” [29]

Zubair Bakkar menulis, “Abu Hanifah berkali-kali bertemu dengan imam dan dalam salah satu pertemuannya imam berkata kepadanya: “Takutlah kepada Allah, janganlah melakukan kias dalam agama, karena orang pertama yang melakukan kias adalah syetan. Allah Swt berfirman kepada syetan: “Bersujudlah kepada Adam. Ia berkata: Aku lebih baik darinya; Aku diciptakan dari api dan Engkau ciptakan dia dari tanah.” [30]

Kemudian imam bertanya kepada Abu Hanifah: Membunuh jiwa seseorang lebih baik ataukah berzina?
“Membunuh jiwa seseorang.”

“Kenapa membunuh jiwa seseorang harus dibuktikan dengan dua saksi, sedangkan zina dengan empat saksi? Apa yang kamu lakukan dengan kias? Puasa disisi Allah Swt lebih besar ataukah salat?”, tanya imam.
“Salat.”

“Lantas kenapa wanita ketika datang bulan harus mengqadha puasanya, dan tidak mengqadha salatnya? Wahai hamba Allah, takutlah kepada Allah Swt dan janganlah melakukan kias.” [31]

Tarbiah Para Teolog

Kulaini dengan sanadnya meriwayatkan sebuah hadis dari Yunus bin Ya’qub: Aku berada disamping Abu Abdillah (yakni Imam Shadiq As). Seorang warga Syam masuk dan berkata: “Aku adalah orang yang mengetahui ilmu teologi, fikih, dan faraidh (warisan). Aku juga datang kemari guna berdialog dengan murid-muridmu.”

“Ucapanmu dari sabda Rasulullah Saw ataukah dari dirimu?”, tanya Imam.
“Aku ambil dari sabda Rasul Saw dan juga dari diriku sendiri (gabungan dari perkataan Rasul Saw dan aku).”
“Dengan demikian engkau menjadi sekutu Rasulullah?”
“Tidak.”
“Engkau mendengar wahyu dari Allah Swt dan Dia mengabarkannya kepadamu?”
“Tidak.”
“Ketaatanmu wajib sebagaimana ketaatan Rasulullah Saw?”
“Tidak.”

Abu Abdillah menghadap ke arahku dan berkata: “Wahai Yunus! Orang ini, sebelum melakukan pembahasan teologi, maka lawanlah dia. Jika engkau mengetahui ilmu teologi dengan baik maka berdialoglah dengannya.”
Aku sangat menyesal karena tidak mengetahui ilmu teologi. Lantas aku berkata: “Aku menjadi tebusanmu. Aku mendengar engkau telah melarang pembahasan ilmu teologi dan engkau berkata: Celaka atas para teolog yang mengatakan ini diterima dan itu tidak, ini benar dan yang lainnya tidak. Kami menerima ini dengan hukum akal dan itu tidak.”

Imam berkata: “Saya katakan celaka atas mereka jika mereka meninggalkan perkataan kami (apa yang ada pada kami, Ahlulbait) dan mengatakan dengan pendapat dan pandangannya (memilih jidal). Kemudian Imam berkata: Keluarlah, lihat dan tengoklah apakah engkau melihat adakah dari para teolog di sini.”

Lantas aku pergi keluar dan aku membawa Hamran bin A’yan, Ahwal (Muhammad bin Nu’man yang dikenal dengan Mukmin al-Thaq) dan Hisyam bin Salim. Mereka adalah orang-orang yang telah mengenal ilmu teologi dengan baik. Dan juga aku membawa serta Qais bin Nashir ke hadapan Imam yang menurutku dia adalah orang yang lebih pandai dari semua yang hadir dalam bidang ilmu teologi dan ilmu teologi ini dia dapat dari Imam Ali bin Husein As.

Hisyam bin Hakam yang masih muda juga datang. Imam Shadiq As memberikan tempat kepadanya dan berkata, “Engkau adalah penolong kami, dengan hati, lisan, dan amalmu.”

Kemudian imam berkata kepada Hamran dan Mukmin al-Thaq supaya berdialog dengannya (orang Syam tersebut). Mereka menang atasnya. Kemudian imam berkata kepada Hisyam bin Salim: ? Berdialoglah dengannya! Ia pun berdialog. Kemudian sampailah giliran Hisyam bin Hakam.

Pertama-tama orang Syam tersebut bertanya mengenai imamah Imam Shadiq yang membuat Hisyam murka.
Lantas Hisyam bertanya kepadanya: “Tuhanmu yang melihat indah ciptaan-Nya ataukah hambaNya yang melihat indah ciptaan-Nya?”
“Tuhanku yang melihat lebih indah.”
“Apa yang telah diperbuat untuk mereka?”
“Memberikan hujjah dan dalil sehingga tidak tercerai berai juga memberikan mereka kabar dengan apa yang wajib dari-Nya.”
“Siapakah hujjah tersebut?”
Rasulullah.”
“Dan setelahnya?”
“Kitab dan sunnah.”
“Apakah kitab dan sunnah bermanfaat untuk menyelesaikan perselisihan kita?”
“Iya!”

“Lantas kenapa kita, aku dan engkau satu sama lain saling berselisih? Bukankah engkau datang dari Syam guna berdialog dengan kami?” Orang Syam tersebut terdiam. Di sini imam Shadiq bertanya kepada orang Syam tersebut: “Kenapa engkau tidak berkata?” Orang Syam menjawab: “Jika aku jawab, kita tidak memiliki perselisihan, maka aku telah berdusta. Jika aku katakan kitab dan sunnah akan menyelesaikan perselisihan di antara kita, maka aku telah mengatakan ucapan yang batil, dan jika aku katakan kita memiliki perselisihan maka salah satu dari kita mengklaim kebenaran, dengan begitu faidah kitab dan sunnah akan hilang. Namun saya memiliki dalil yang membantah dari perkataannya.

“Bertanyalah, engkau akan mendapatinya sebagai orang yang mampu dan mengerti,” kata imam.
Orang Syam, “Allah melihat lebih baik dalam perbuatan hamba-Nya ataukah hamba-Nya?”
“Tuhan.”
“Apakah Dia memberikan hujjah untuk mereka, sehingga menyatukan kata mereka dan memberitahukan mereka akan kebenaran dan kebatilan.”
“Di zaman Rasulullah ataukah sekarang ini?”
“Di zaman Rasulullah adalah Rasulullah sendiri, adapun sekarang?”
Hisyam berkata: “Orang ini adalah orang yang disukai dari segala penjuru dan dia akan mengabarkan atas setiap perkara yang engkau inginkan.

Pada akhirnya, orang tersebut menerima imamah Imam Shadiq As. [32]

Perbincangan-perbincangan semacam ini sering kali terjadi antara imam dan para pembangkangnya, sehingga dengan pembahasan-pembahasan ini dapat menunjukkan makam agung imamah dalam keilmuannya dan telah menampakkan kedalaman pengetahuan serta kesuksesan imam kepada para pendialog atas pembahasan-pembahasan teologi mereka.[33]

Imam dan Kebangkitan di Masanya

Di akhir-akhir kekhilafahan Hisyam bin Abdul Malik, merupakan masa yang tepat untuk bangkit menentang Bani Umayyah, dimana memiliki tendensi mazhab. Di penghujung kebangkitan ini, perlu diisyaratkan tentang kebangkitan Zaid bin bin Husein As pada tahun 122 H. dan Yahya bin Zaid pada tahun 125 H, yang memiliki hubungan langsung dengan Imam Shadiq As.

Zaid adalah pamannya dan Yahya adalah anak pamannya, sudah pasti ia peduli terhadap kebangkitan ini. Selain ini, ada juga kebangkitan Abdullah bin Muhammd Baqir As, yang dipimpin oleh saudaranya, dan Abdullah A’raj bin Husein bin Zainal Abidin As, anak pamannya. [34]

Kebangkitan Zaid bin Ali

Imam Shadiq As berkenaan dengan Zaid bin Ali bin Husein berkata, “Dia termasuk orang pintar dan alim keluarga Muhammad Saw; Dia murka karena Allah dan bertempur dengan para musuh sehingga syahid terbunuh.” [35]

Dari kandungan sebagian riwayat-riwayat yang ada, dapat ditemukan bahwasanya kebangkitan Zaid adalah kebangkitan yang disetujui oleh Imam Shadiq As, sebagaimana yang dituturkan Syaikh Shaduq dalam Uyun Akhbār Al-Ridhā: Karena Zaid bin Musa bin Ja’far As telah memberontak di Bashrah dan telah membakar rumah keturunan Abbas, Ma’mun berkata kepada Imam Ridha As: Jika saudaramu, Zaid melakukan demikian, sebelum dia Zaid bin Ali juga telah memberontak dan terbunuh. Jika bukan karena engkau, maka aku akan bunuh dia, karena dia telah melakukan perbuatan yang besar.

Imam berkata: Janganlah kau samakan saudaraku Zaid dengan Zaid bin Ali As! Dia termasuk orang alim di kalangan keturunan keluarga Muhammad. Dia murka karena Allah dan bertempur dengan para musuh sampai syahid terbunuh. Ayahku, Musa bin Ja’far mendengar dari ayahnya, Ja’far bin Muhammad (Imam Shadiq) berkata: “Semoga Allah merahmati pamanku, Zaid! Dia menyeru rakyat kepada seseorang yang diterima dan didukung oleh Ahlulbait. Apabila berhasil, dia pasti akan memenuhi janjinya. Karena, ketika ia hendak memberontak, dia berkonsultasi dulu padaku. Aku katakan padanya: Paman! Bila engkau ingin terbunuh dan digantung di atas tempat sampah Kufah, maka lakukanlah apa yang engkau pikir baik.” [36]

Dalam riwayat lain dituturkan dari Abdullah bin Siyabah: “Kami tujuh orang pergi ke Madinah dan kami menemui Imam Shadiq As. Ia bertanya kepada kami: Kalian mengetahui tentang paman kami?”
Kami berkata: “Telah memberontak atau siap memberontak.”
Imam berkata, “Jika ada kabar sampai kepada kalian, kabarilah aku.”
Beberapa hari kemudian, datanglah surat Bassam Shairafi. Di situ tertuliskan: Zaid pada hari Rabu, bulan Shafar telah memberontak dan terbunuh pada hari Jumat. Kami mendatangi Imam Shadiq As dan kami menyerahkan surat kepadanya. Surat tersebut dibaca kemuidan ia menangis. Lantas ia berkata: “Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rajiun. Aku serahkan pamanku dalam perhitungan Allah. Dia adalah seorang pemuda dunia dan akhirat kami. Demi Allah! Pamanku meninggal dunia dalam keadaan syahid, sebagaimana para syuhada bersama RasulullahAliHasan dan Husein As.” . [37]

Dalam riwayat lainnya, dalam bab pemberontakan sebelum munculnya al-Qaim dituturkan demikian: Janganlah kalian katakan Zaid memberontak (jadikanlah pemberontakannya sebagai tauladan). Zaid adalah seorang yang alim dan jujur. Dia mengajak kalian bukan untuk dirinya sendiri, namun mengajak kepada baiat seseorang yang diterima oleh keluarga Muhammad Saw. Apabila berhasil, dia pasti akan memenuhi janjinya. [38]

Kebangkitan Lainnya

Kebanyakan dari kebangkitan yang ada, tidak mendapatkan persetujuan dari imam. Ia tidak menerima permintaan masyarakat yang telah menjanjikan untuk menolongnya dan mendahulukan penyebaran fikih keluarga Muhammad Saw dan ilmu-ilmu Ahlulbait. Karena mereka yang mengajak Bani Hasyim untuk bangkit kemudian menjanjikan bantuan kepada mereka, kebanyakan mereka semua karena tidak tahan dengan pemerintahan sementara atau mereka menghendaki pemerintahan, bukan karena menghendaki penghilangan bid’ah dan menghidupkan agama Allah. [39]

Ketika ajakan Abbasiyah sudah tersebar di Timur Iran sementara masyarakat yang berada di tempat tersebut yaitu Arab Qahthani juga satu sama lain saling bersatu dan menampakkan permusuhan dengan kekhilafahan Marwaniyah serta menolak para pemimpin yang ditunjuk Marwan. Abu Muslim Nashr Saiyar mengusir pemimpin Khurasan dan mengirim Qahthabah, putra Syaib dari pihaknya untuk menumpas pasukan Marwan bin Muhammad yang sedang menuju ke Khurasan. Dalam peperangan yang terjadi di samping sungai Furat, Qahthabah terbunuh dan para pasukan berbaiat dengan putranya, Hasan. Qahthabah sebelum meninggal, mengatakan kepada pasukannya: Karena kalian telah memasuki Kufah, maka datangilah Abu Salamah Khilal dan taatilah ucapannya.

Hasan dengan pasukannya pada bulan Muharram 130 H. mendatangi Kufah. Pada hari ini Ibrahim al-Imam pengklaim Abbasiyah meninggal di penjara. Sebelum meninggal mengatakan kepada pangikutnya supaya pergi ke Kufah dan mentaati Abul Abbas Saffah.

Abul Abbas pada bulan Shafar tahun 132 pergi ke Kufah bersama keluarganya. Abu Salamah menempatkan mereka di rumah Walid bin Sa’ad yang termasuk pelindung dan pengayom Bani Hasyim, sebagaimana yang telah dituliskan. Kedatangan mereka selama 40 hari disembunyikan dari masyarakat [40]. Dan setiap mereka bertanya tentangnya: Siapakah yang menjadi imam? Berkali-kali mengatakan: Janganlah terburu-buru. Dia hendak menyerahkan kepemimpinan kepada keturunan Abu Thalib[41]

Ya’qubi menulis, Abu Salamah menyembunyikan kedatangan Abul Abbas Saffah dan orang-orangnya ke Kufah. Dalam waktu ini ia menulis surat kepada Ja’far bin Muhammad (Imam Shadiq) dan imam menjawab, apa yang mereka inginkan bukanlah aku. Demikian juga Abu Salamah menulis surat kepada Abdullah bin Hasan dan dia menjawab aku orang yang sudah lanjut usia. Anakku Muhammad lebih layak akan hal ini dan mengirimkan pesan kepada orang-orangnya supaya berbaiat dengan putranya, Muhammad. Ini adalah surat Abu Salamah yang dikirim untukku.

Ja’far bin Mumammad As berkata kepadanya: “Wahai Syaikh! Janganlah kau tumpahkan darah putramu! Saya kawatir ia terbunuh di Ahjar al-Zait (tempat di luar Madinah, yang akhirnya menjadi tempat pembunuhan Muhammad).” [42]

Mereka menuliskan, ketika menginginkan jawaban surat Abu Salamah yang dikirim untuk Imam Shadiq, imam mengambil lentera dan membakar surat tersebut seraya berkata: “Ini adalah jawaban suratmu.”
Kenapa imam Shadiq tidak menjawab undangan Abu Salamah dan membakar suratnya? Karena undangan Abu Salamah adalah undangan politik, bukan karena Imam Shadiq As adalah seorang imam yang wajib ditaati. Karena jika demikian, tidak seharusnya dia menulis surat lain untuk Abullah bin Hasan dan memintanya supaya menerima kepemimpinan pasukannya.

Peristiwa lainnya adalah, Kulaini dengan sanadnya menulis dari Sudair Shairafi; aku menemui Abu Abdillah dan aku katakan kepadanya: “Demi Allah! tidak sepantasnya engkau tidak bangkit!”
“Kenapa?”
“Karena engkau banyak sekali memiliki teman, Syiah, dan penolong. Demi Allah, jika Ali memiliki Syiah dan pecinta seukuranmu, mereka tidak akan mengambil haknya.”
Imam bertanya: “Sudair! Jumlah mereka berapa orang?”
“Seratus ribu orang!”
“Seratus ribu orang?
“Iya, dan bahkan dua ratus ribu.”
“Dua ratus ribu?”
“Iya, dan separoh dunia.”
Abu Abdillah terdiam. Kami berjalan lewat di samping tempat peternak kambing.
Dia berkata: “Wahai Sudair! Demi Allah jika saya memiliki Syiah seukuran kambing ini, ketidakbangkitanku bukanlah hal yang tidak pantas untukku.”

Kemudian kami turun dan melaksanakan salat. Setelah salat aku menghitung kambing yang jumlahnya 17 ekor. [43]

Mutiara Hadis

  • Seseorang dari imam meminta untuk mengajarkan kepadanya secara singkat supaya bisa menghantarkannya pada kebaikan dunia dan akhirat, imam berkata: “Janganlah engkau berdusta.” [44]
  • Seklompok orang bertanya kepadanya (imam); Mengapa Allah mengharamkan riba? Ia menjawab: “Supaya masing-masing warga masyarakat tidak mencegah pemberian satu dengan yang lainnya.” [45]
  • Jika seseorang butuh kepadaku, maka akan aku selesaikan hal itu dengan segera, jangan sampai dia tidak membutuhkannya lagi atau aku melakukannya akan tetapi dengan penundaan dianggap terlambat.” [46]
  • Para fakih adalah kepercayaan para nabi, karena kalian melihat para fakih mendatangi kediaman para pemilik kekuasaan, maka tuduhlah mereka (janganlah kalian anggap mereka jujur). [47]

Para Sahabat

Para ahli sejarah menulis, murid-murid imam mencapai empat ribu orang dan yang maksud adalah orang-orang yang menimba ilmu pada masa penyampaian ceramah dan tausiah imam, bukan keseluruhan dari mereka yang setiap hari hadir di hadapan imam. Penulis Kasyful Ghummah menulis, jumlah para Tabi’in yang meriwayatkan darinya antara lain adalah, Yahya bin Sa’id Anshari, Ayyub Sakhtiyani, Aban bin Taghlib, Abu Amr bin al-‘Ala dan Yazid bin Abdullah dan dari para imam yang meriwayatkan dari beliau seperti, Malik bin Anas, Syu’bah bin al-Hajjaj, Sufyan Tsauri, Ibn Jarih, Abdullah bin Amr, Ruh bin Qasim, Sufyan bin ‘Uyainah, Sulaiman bin Bilal, Ismail bin Ja’far, Hatim bin Ismail, Abdul Aziz bin Mukhtar, Wahab bin Khalid, dan Ibrahim bin Thuhman. . [48]Jabir bin Hayan Kufi juga dikategorikan sebagai salah seorang murid beliau. [49]

Ucapan Para Pemuka Ahlusunnah Tentangnya

Ibnu Hajar Asqalani mensifatinya demikian: Al-Hasyimi al-Alawi, Abu Abdillah Al-Madani al-Shadiq. . [50] Di situ juga ditulis bahwa, Ibnu Hibban mengatakan, “Dalam fikih, ilmu, dan keutamaan berasal dari keturunan Ahlulbait As.” [51]
Ibnu Hajar Haitami, salah seorang ulama Ahlusunnah mengatakan, “Kebanyakan masyarakat menukil ilmu darinya, yang mana ketenarannya sampai ke seluruh penjuru kota. Para imam besar seperti Yahya bin Sa’id, Ibnu Juraih, Malik, Sufyan bin ‘Uyainah, Sufyan Tsauri, Abu Hanifah, Syu’bah bin Hajjaj, Ayyub Syakhtiyani meriwayatkan darinya.” [52]

Catatan Kaki

  1. Al-Mufid, 1380 H, hlm. 526-527.
  2. Syahidi, 1384, hlm. 4.
  3. Ibid., hlm. 61.
  4. Manāqib, jld. 4, hlm. 280; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 85.
  5. Syahidi, 1384, hlm. 3.
  6. Ibid., hlm. 5.
  7. Al-Mufid, 1380 S, hlm. 526-527.
  8. Ibid.,
  9. Kasyful Ghummah, jld. 2, hlm. 155; dinukil dari Syahidi, 1348, hlm. 4.
  10.  Al-Ma’ārif, hlm. 215; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 4.
  11. Al-Thabarsi, 1417 Q, hlm. 514.
  12. Bihār, jld. 47, hlm. 1-2; dinukil dari Syahidi, 1348, hlm. 85.
  13. Manāqib, jld. 4, hlm. 280; dinukil dari Syahidi, 1348, hlm. 85.
  14. Syahidi, 1348, hlm. 85-86.
  15.  Al-Mufid, 1380 S, hlm. 53.
  16. Ibid., hlm. 553.
  17. Al-Thabarsi, jld. 1, 1417 H.Q, hlm. 546.
  18. Al-Mufid, 1380 S, hlm. 553-554.
  19. Ibid., hlm. 527.
  20. Al-Thabarsi, jld. 1, 1417 H.Q, hlm. 514.
  21. Rujuklah: Al-Mufid, 1380 H.S, hlm. 526-527.
  22. Al-Mufid, 1380 S, hlm. 527-528.
  23. Syahidi, 1387, hlm. 60.
  24. Ibid., hlm. 47.
  25. Ibid., hlm. 61.
  26. Ahmad bin Hajar Haitami, 1385, hlm. 201.
  27. Kasyful Ghummah, jild. 2, hlm. 166; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 61.
  28. Tazkirah Al-Khuffādz, jld. 1, hlm. 166; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 61.
  29. Syahidi, 1384, hlm. 60-61.
  30. QS. Al-A’raf: 21
  31. Al-Akhbār al-Muwaffaqiyāt, hlm. 76-77; Hilyah al-Auliyā, jld. 3, hlm. 197; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 62.
  32. Ushul Kāfi, jld. 2, hlm. 171-173; Manaqib, jild. 2, hlm. 243-244; Kasyful Ghummah, jild. 2, hlm. 173-175; I’lām al-Wara, hlm. 280-283; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 55-57.
  33. Syahidi, 1384, hlm. 57.
  34. Paketci, Ahmad, Ja’far Shādiq As, Imam, dalam Dairatu al-Ma’arif Buzurg Islami, jld. 18, hlm. 183.
  35. Uyun Akhbar al-Ridhā, hlm. 15; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 26.
  36. Uyun Akhbar al-Ridhā, jild. 1, hlm. 194-195; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 37.
  37. Uyun Akhbar al-Ridhā, jild. 1, hlm. 197; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 38.
  38. Raudhah al-Kāfi, hlm. 264; Wasāil al-Syiah, jld. 11, hlm. 36; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 38.
  39. Syahidi, 1384, hlm. 34.
  40. Al-Kāmil, jld. 5, hlm. 409; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 34-35.
  41. Syahidi, 1384, hlm. 35.
  42.  Tārῑkh Ya’qubi, jld. 3, hlm. 86; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 35.
  43.  Ushul al-Kāfi, jld. 2, hlm. 242-243; Syahidi, 1384, hlm. 34-37.
  44.  Syahῑdi, 1384, hlm. 102.
  45. Ibid., hlm. 103.
  46. Uyun Akhbār al-Ridhā, jild. 3, hlm. 175; dinukil dari Syahῑdi, 1384, hlm. 103.
  47. Hilyah al-Auliyā, jld. 3, hlm. 196; dinukil dari Syahῑdi, 1384, hlm. 106.
  48. Kasyful Ghummah, jld. 2, hlm. 186; Hilyah al-Auliyā, jld. 3, hlm. 198-199; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 65.
  49. Syahῑdi, 1384, hlm. 65.
  50. Tahdzib al-Tahdzib, Ibn Hajar Asqalani, Haidar Ābād, Matba’ah Nidzamiyah, 1325 H.Q, jild. 2, hlm. 103; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 4.
  51. Tahdzib al-Tahdzib, hlm. 104; dinukil dari Syahidi, Sayid Ja’far, 1384, hlm. 4.
  52. Ahmad bin Hajar al-Haitami, 1385 H.Q, hlm. 201.

Daftar Pustaka

  • Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, jld. 2, Haidar Abad, cetakan Nidzamiyah, 1325 Q.
  • Ahmad bin Hajar al-Haitami, Al-Shawāiq al-Muhriqah, Maktabah al-Qahirah, 1385 Q.
  • Paketci, Ahmad, Ja’far Shādiq (As), Imam, di Dāirah al-Ma’ārif Buzurg Islāmi, di bawah pengawasan Kadzim Musavi Bujnurdi, jld. 18, Tehran, Markas Dāirah Buzurg Islāmi, 1389 S.
  • Syahidi, Sayid Ja’far, Zendeghāni Imām Shādiq Ja’far bin Muhammad (As), Tehran, Daftar Nasyr Farhangg Islāmi, 1384 S.
  • Shaduq, Uyun Akhbār al-Ridhā (As), ter. Ali Akbar Ghaffāri, jld. 2, Tehran, Nashr Shaduq, 1373 S.
  • Al-Shaduq, Man Lā Yahdhur al-Faqih, jld. 4, Qum, Mu’assasah al-Nasyr al-Islāmi, 1404.
  • Al-Thabarsi, Al-Fadhl bin al-Hasan, I’lām al-Wara bi A’lām al-Huda, Tahkik Muassasah Āl al-Bait li Ihyā al-Turāts, Qum, Muassasah Āl al-Bait li Ihyā al-Turāts, jld. 1, 1417 H.
  • Al-Mufid, Al-Irsyād, Terjemah dan Syarah Persia, Muhammad Baqir Sā’idi, verifikasi, Muhammad Baqir Behbudi, tanpa tempat, Intisyārāt Islāmi, 1380 S.


(Syiah-Ali/ABNS)

JALAN KESELAMATAN


Oleh : Sudi Utama Tumangger

Ketaatan kepada Allah swt akan melahirkan implikasi positif bagi perkembangan peribadi manusia dan selanjutnya akan melahirkan keinginan yang kuat untuk tidak melakukan apa yang terlarang menurut kesimpulan akal dan terlarang pula dalam kacamata agama atau syarak. Sedangkan kebalikannya adalah gagalnya manusia untuk menghargai perintah agama atau diidentikkan dengan penginkaran atau penolakan padahal ia tahu bahwa apa yang diingkari itu merupakan fakta keberaran yang tidak terbantahkan. Perilaku tercela ini dalam agama diistilahkan dengan kecaman ‘pengkafiran’ terhadap ajaran Allah swt dan biasanya orang seperti ini meletakkan akal sehatnya dibelakang punggungnya. Ciri-ciri pengkafiran atau ‘penghingkaran’ lain misalnya telah diketahui menghalalkan segala cara demi mempertahankan ‘mengumpulkan’ materi sebanyak mungkin, membangun istananya di dunia, ciri lain adalah pengamalan agama sebatas simbol belaka dan jiwanya tidak menyakini akan kebenaran yang tersimpan di dalamnya. Contoh “kekafiran” yang lain adalah pemeliharaan jiwanya diserahkan sepenuhnya kepada logika hawa nafsunya yang kontras dengan logika akal. Akhirnya jika perilaku buruk dan menyesatkan kehidupan manusia ini telah bersemi maka seluruh aktifitasnya biasanya menunjukkan kecintaan yang luar biasa kepada keindahan isi dunia hingga kematian pun menghampirinya. Sekedar menginatkan pesan Imam Ali bin Abi Thalib kw, bahwa akar segala kejahatan adalah cinta kepada dunia. Ambillah isi dunia secukupnya dan selebihnya titipkan kepada Allah swt agar terpelihara dengan baik.

Ingatlah pesan dari wali Allah yang telah tercerahkan, ‘sesungguhnya takut (takwa) kepada Allah swt dalah kunci untuk mendapatkan hidayah, bekal untuk akhirat, kemerdekaan dari setiap bentuk perbudakan, dan keselamatan dari segala kehancuran. Dengan bantuan pertolonga takwa, si pencari kebenaran akan meraih kemenangan, sementara orang yang bersegera menuju keselamatan maka ia akan selamat dan mendapatkan apa yang telah diinginkan-Nya. (Imam Ali as)

Kedekatan dengan Allah swt dimaknai bukan hanya dekat secara fisik sebab Allah swt tidak memiliki fisik sebagaimana dengan mahkluk ciptaan-Nya. Yang dimaksud dengan dekat disini menurut para ahli adalah kedekatan posisi penghambaan dan penyerahan diri secara utuh dan keikhlasan dalam beramal semata-mata dilakukan hanya demi keridhaan Allah swt. Jadi beribadah disini bukan mengharapkan sanjungan atau penilaian dari manusia bahwa dirinya adalah termasuk orang yang soleh melainkan penilaian yang lebih berharga dan lebih tinggi yakni kesempurnaan penghambaan sebagaimana yang diinginkan Allah swt.

Untuk mendekatkan diri kepada Allah swt bukan persoalah mudah. Kita butuh kepada pengorbanan, butuh akan tenaga, melatih keihklasan dalam beramal dan yang paling penting dari semua itu adalah perlunya ilmu dan kesabaran. Berkorban saja tanpa perhitungan menjadi sia-sia. Memiliki tenaga tapi tidak tahu mau kemana dialokasikan tidak ada gunanya. Ikhlas tapi tidak memiliki ilmu adalah mustahil untuk mampu sampai kepada hamba yang ma’rifatnya ‘pengenalan’ kepada Allah swt mendekati kesempurnaan.

Untuk langkah awal bila ingin mencapai ma’rifat ‘mengenal’ yang sesungguhnya maka tidak ada jalan lain kecuali melaksanakan seluruh perintah Allah swt secara syariat dan diikuti dengan berbagai lahitan pembersihan diri dari perilaku-perilaku tercela.

Allah swt berfirman dalam hadis Qudsi “Tidak ada cara lain yang akan dilakukan oleh hambaku yang ingin bertakararub (mendekat) kepada-Ku yang lebih Aku sukai dibandingkan dengan melakukan amalan-amalan sunnah, sehingga Aku menyanyanginya. Jika Aku mencintainnya maka Aku akan menjadi telinga yang dengannya ia mendengar, menjadi mata yang dengannya ia melihat , menjadi mulut yang denganya ia berbicara, menjadi tangan yang dengannya ia memegang. Jika ia berdoa kepada-Ku, Aku niscaya akan mengabulkannya.

Penjelasan singkat dari hadis ini adalah sebagai berikut. Apabila kita secara pelan-pelan meneladani dan mengikuti pesan-pesan yang terkandung pada sunnah yang contoh hidupnya adalah perilaku keseharian Rasulullah swt dan orang-orang yang suci lagi setia mengikuti ajarannya. Ketakwaan kepada Allah swt akan membimbing pendengaran si hamba untuk tidak mendengar sesuatu yang tidak menguntungkan bagi dirinya.
 Pendengaran orang yang telah mencapai tarap kesempurnaan kedekataannya kepada Allah swt tidak sama dengan sebagaimana pendengaran orang awam atau dengan pendengar orang-orang yang biasa melakukan maksiat kepada Allah. Ketakwaan kepada Allah swt akan membimbing seorang hamba untuk mampu melihat keajaiban dan kesempurnanan penciptaan Allah baik di dalam dirinya maupun dialam yang luas.

Kemampuan melihat dengan menggunakan penglihatan Allah bukan dimaknai sebagaimana kita atau makhluk melihat, yang dimaksud melihat dengan penglihatan Allah adalah penglihatan mata batin yang telah bersrih dari kekurangan dan kekaburan dalam memandang kempurnaan Allah sebagai pencipta diri dan kebaikan atas ciptaan-Nya. Ketakwaan kepada Allah akan mampu merayu Allah yang Mahapemurah untuk mengabulkan apa yang diharapkan si hamba, tentunya ada beberapa hal yang perlu dipahami mengenai terkabulkannya doa-doa sipeminta. Syarat pertama permintaan hamba tidak akan dikabulkan jika yang dimohon dapat membuat dirinya menjadi jauh atau lalai kepada Allah. Allah akan menangguhkan semua permohonan sihamba sebab ada doa yang menurut pandangan akal kita seharusnya dikabulkan sementara dalam pandangan Allah harus ditunda akan tetapi bukan untuk tidak dikabulkan. Semua permohoan hamba-hamba-Nya akan dikabulkan Allah swt selama tidak bertentangan dengan syarak, sebab Allah sendiri telah menjaminya dengan firman-Nya ‘mintalah kepada-Ku pasti akan kukabulkan.’

Tanpa ketakwaan tidak ada kebahagian yang abadi. Kebahagiaan karena menguasai alam semesta memang mempesona, namun sisi dalamnya dapat membawa kehancuran. Kebahagian di dunia saja tidaklah cukup, sebab bahagia sementara waktu tidak akan mampu mengungguli kebahagiaan yang abadi. Takutlah kita kepada Allah swt yang implementasinya melakukan kebaikan dalam kehidupan sehari-hari dan mencegah semua kemungkaran dan kejelekan.

Sibukkan diri kita untuk mengumpulkan kebaikan dan cegah serta kuasailah diri Anda agar terbebas dari perangkat dan rayuan dunia yang menjauhkan diri dari Allah swt. Mari kita menyucikan hati, menyiapkan bekal untuk hari yang tidak ada lagi waktu mencari bekal. Semoga pesan sprital dari Imam Ali bin Abi Thalib ini menyadarkan diri kita semua, “Wahai makluk Allah! Takutlah kepada Allah. Camkan selalu alasan kenapa Dia menciptakan kalian, dan takutlah kepadan-Nya dengan mengikuti pentunjuk-Nya yang telah diberikan kepada kalian. Siapkan diri kalian sedemikian rupa sehingga layak mendapatkan apa yang telah dijanjikan-Nya kepada kalian, dengan menyakini kebenaran-Nya dan atas janji-janji-Nya dan dengan rasa takut akan hari putusan-Nya. Tidak ada bekal yang paling penting selain bekal ketakwaan ‘takut’ kepada-Nya, dan tidak ada kesengsaraan yang paling abadi dan mengerikan kecuali kesengsaraan akibat tidak mendapatkan hidayah dari Allah swt, semoga kebahagiaan menyertai kita semua sampai Allah memanggil kita dalam keadaan tetap takut kepada-Nya. Amin

(Abu-Thalib/ABNS)

PEREMPUAN DALAM BINGKAI WILAYAH AL-FAQIH


PENDAHULUAN

“Pada masyarakat kita, kaum wanita berubah dengan pesat. Tirani zaman kita dan pengaruh dari berbagai lembaga telah mengambilnya dari ‘dia yang sebenarnya’. Semua cirri dan nilai tradisional wanita telah diambil darinya, sehingga mereka (para tiran itu) membuatnya menjadi makhluk yang ‘mereka kehendaki’, ‘mereka bangun’, dan kita lihat bahwa mereka (kaum wanita) telah ‘terbentuk’.

“Itulah sebabnya maka pertanyaan yang paling penting dan relevan bagi wanita yang telah sadar dimasa ini ialah, ‘siapakah saya?’ Dia menyadari sepenuhnya bahwa ia tak dapat bertahan sebagaimana dirinya sekarang. Sesungguhnya ia tidak mau menerima topeng zaman modern demi menggantikan topeng tradisionalnya. Ia hendak memutuskan sendiri. Wanita-wanita sezamannya juga telah menentukan diri mereka sendiri. Dengan sadar mereka menghias kepribadian dengan kesadaran dan kemerdekaan. Mereka menghias diri mereka dengan sempurna. Mereka mewujudkan suatu desain. Mereka merefleksikan suatu sketsa, namun mereka tak tahu bagaimana. Mereka tak tahu desain yang sebenarnya—dari sisi kemanusiaan—dari kepribadian mereka, yang bukan refleksi dari warisan mereka dan bukan pula dari topeng tiruan yang dipaksakan secara artifisial kepada mereka. Lalu dengan manakah mereka mesti mengidentifikasikan diri?”

Ungkapan di atas ditulis salah seorang ideolog Revolusi Islam Iran, yaitu Ali Syariati dalam memulai bukunya Fatimah is Fatimah. Ia ingin menunjukkan bahwa wanita abad ini, khususnya wanita-wanita Iran yang terbaratkan, telah kehilangan sosok yang pantas untuk diteladani dalam merefleksikan diri menghadapi perkembangan zaman. Memang, banyak yang berjuang untuk mengangkat harkat dan martabat wanita, tetapi mereka tidak mengerti ke mana arah perjuangan itu? Bahkan boleh jadi mereka juga belum memahami dengan baik apa yang disebut harkat dan martabat wanita. Sehingga, bagi Ali Syari’ati pertanyaan awal yang mesti dijawab para wanita adalah ‘siapakah saya?’. Karenanya, ia ingin menampilkan sosok wanita lintas zaman yang patut mendapat perhatian ekstra dalam membantu wanita abad ini membentuk jati diri dan kepribadiannya, yakni Fatimah Az-Zahra binti Muhammad saaw.

WANITA IRAN DALAM SEJARAH REVOLUSI

“Wanita di Iran mengurus keluarga mereka dengan sebelah tangan sedang dengan tangan yang lainnya mereka menggerakkan masyarakat” (Fayyaz Bakhsh)

Ungkapan di atas dilontarkan oleh Fayyaz Bakhsh dalam “Kongres Wanita dan Revolusi Islam” untuk membuktikan bahwa wanita Iran bukanlah hanya berperan aktif di rumah melainkan juga dalam pergulatan sosial-kemasyarakatan baik bidang politik, ekonomi, kebudayaan, militer, dan sebagainya bahkan menjadi elemen inti dalam Revolusi Islam Iran. Hal ini diakui oleh Bapak Revolusi dan pendiri Republik Islam Iran, Imam Khumaini :

“Wanita-wanita Iran telah memberikan sumbangan lebih besar kepada revolusi ini daripada yang diberikan kaum pria. Sekarang pun mereka aktif di garis belakang front pertempuran dan mempunyai peranan yang lebih besar dari yang lain-lainnya. Mereka mendapatkan saham besar sekarang dalam revolusi bidang pendidikan dan pengajaran, baik dalam pendidikan anak-anak mereka sendiri atau di kelas-kelas sekolah dan di tempat-tempat lain…lebih dari itu, kaum wanita, sesudah kejayaan revolusi dengan pendidikan dan latihan mereka, dengan kerja keras dan pemeliharaan kehormatan serta ajaran-ajaran Islam…menjadi pelopor-pelopor dalam urusan Negara.”

Bagi Pendiri Republik Islam Iran ini, wanita memainkan partisipasi sosial-politik yang besar dalam menggulingkan pemerintahan Syah Pahlevi dan selama perang dengan Irak, mulai dari memobilisasi massa, menjadi tenaga medis, menyediakan makanan, dan yang paling mulia adalah merelakan anak-anak dan suaminya untuk berjuang dan menjadi syuhada di bawah bendera Revolusi Islam, hingga mereka juga ikut maju di garis depan menghadang para musuh revolusi. Dalam salah satu ceramahnya di hadapan para wanita setelah revolusi, Imam Khumaini mengatakan :

“Sesungguhnya merupakan suatu mukjizat ketika wanita berdiri tanpa gentar di hadapan tank dan senjata perang. Ini merupakan cahaya al-Quran dan Islam yang telah menerangi hati kalian dan hati semua anak bangsa Iran…itu adalah cahaya keimanan yang menjadikan kalian wahai para wanita tidak takut kepada ke-syahidan (syahadah).

“…saya ucapkan terima kasih kepada wanita-wanita yang mulia yang berkumpul di sini dan yang membela kebangkitan ini dengan berbagai demonstrasi. Mudah-mudahan Allah swt menjaga kalian dan mengabdikan kalian untuk Islam. Kalian akan dan selalu memainkan peranan besar dalam kebangkitan ini. Kalian bertanggung jawab terhadap manifestasi tujuan-tujuan kebangkitan ini, dan insya Allah kalian dapat mewujudkannya.”[1]

Suasana wanita di Iran pasca revolusi jelaslah lebih baik di pandang dari sudut manapun, baik dari sisi individual, sosial- politik, ekonomi dan lainnya. Sebagai salah satu bukti konkritnya, adalah penilaian atas keberhasilan pembangunan yang dilakukan PBB melalui HDI (Human Development Index). HDI sendiri memiliki beberapa komponen, di antaranya GDP (Gross Domestic Product), GDI (Gender-related Development Index) dan GEM (Gender Empowerment Measures).[2]

Indikator untuk mengukur GDI antara lain adalah angka harapan hidup, angka melek huruf, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan perempuan. Sementara itu, GEM diukur dari proporsi perempuan dalam pengambilan keputusan di parlemen, proporsi kaum perempuan profesional atau manajerial, dan rata-rata pendapatan perempuan di luar sektor pertanian. Singkatnya, sebuah negara akan memiliki kesempatan untuk meraih value HDI yang tinggi bila perempuan di negara itu memiliki value GDI dan GEM yang tinggi pula. Bukti lainnya adalah bahwa salah satu subjek penting dalam laporan-laporan HRW (Human Right Watch) adalah perempuan. Selama perempuan di suatu negara mengalami penindasan atau diskriminasi, negara itu tidak akan mendapatkan nilai bagus terkait dengan perlindungan HAM.[3]

Dari laporan penelitian yang disampaikan oleh Dina Sulaeman, perkembangan HDI value pada masa pasca Revolusi Islam terlihat sangat pesat. Bahkan, trend kenaikan HDI value Iran jauh melampaui trend di negara-negara Asia selatan. Perlu mendapat catatan, diantara tahun 1981-1989, Republik Islam Iran sedang berjuang/berperang melawan invasi Irak (serta mengalami embargo), tetapi bahkan pada saat itu pun HDI value Iran tetap menunjukkan kenaikan. Ini memperlihatkan bahwa dalam masa perang pun, RII tetap konsisten dalam membangun negara.[4]

Di bawah ini, penulis akan mengungkapkan laporan penelitian secara deskriptif yang diungkapkan oleh Dina Sulaeman dalam seminar mahasiswa Indonesia se-Timur Tengah, di Teheran pada 16 agustus 2005.

Sejak awal revolusi RII terus menunjukkan kemajuan indeks HDI-nya. Bahkan pada sejak sebelum tahun 2000 (sekitar tahun 1998) peningkatan indeks HDI RII mulai melebihi peningkatan indeks HDI negara-negara lain di dunia. Sedangkan jika dibandingkan dengan negara-negara yang berada dalam regional yang cukup dekat dari RII, yaitu Asia selatan, RII menunjukkan keunggulan. Sebaliknya, pada masa pra-revolusi (1975-1979) indeks HDI Iran cenderung stagnan. Demikian pula pada tahun 1980, dimana pada saat itu sedang terjadi masa transisi Revolusi Islam Iran.

Antara tahun 1980-1990 HDI Iran cukup tinggi, meskipun pada saat itu Iran mengalami masa perang yang berkepanjangan (sekita 8 tahun) dengan Irak yang didukung kekuatan Barat. Sedangkan dari tahun 1990 hingga tahun 1995 Iran menunjukkan laju peningkatan HDI value yang tertinggi. Pada tahun 2004, Republik Islam Iran menempati ranking ke 101 dari 177 negara (Indonesia: rangking ke 111). Semua ini menunjukkan konsistensi Republik Islam Iran dalam pembangunan negara.

Sebagaimana telah disebutkan, salah satu komponen dalam penetapan value HDI adalah GEM (Gender Empowerment Measures) dan GDI (Gender-related Development Index). Maka setelah membandingkan kondisi perempuan Iran dengan kondisi di beberapa negara muslim lain dapat diambil beberapa kesimpulan di bawah ini, yaitu :
Perkiraan tingkat pendapatan perempuan Iran, yaitu USD 2,835 PPP, terhitung kelas menengah (menempati ranking ke-80 dari 175 negara), namun masih lebih rendah bila dibandingkan dengan Saudi Arabia atau Oman. Hal ini bisa terjadi karena secara umum, pendapatan perkapita di Saudi Arabia jauh melampaui Iran, yaitu mencapai US$12.650.

Rasio pendapatan laki-laki dan perempuan di Iran masih rendah (bila dibandingkan dengan Indonesia, Mesir, Pakistan, Jordan), karena secara umum memang jumlah tenaga kerja perempuan Iran masih lebih sedikit dibanding jumlah tenaga kerja perempuan di Indonesia, Mesir, Pakistan, Jordan.

Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah – Afrika (Saudi Arabia, Mesir, Yaman ) tingkat partisipasi perempuan Iran di parlemen tergolong tinggi, ini menunjukkan besarnya kemampuan perempuan Iran, perhatian perempuan Iran terhadap masyarakatnya, juga konsistensi implementasi dari konstitusi Iran.

Jumlah administrator dan manajer perempuan di Iran lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Timur Tengah-Afrika (Bahrain, Mesir, Arab Saudi, Yaman), ini menunjukkan kemampuan perempuan Iran dan kesempatan yang diberikan oleh masyarakat (keluarga atau suami) dan oleh pemerintah Iran.

Sebagai pekerja profesional dan teknik, perempuan Iran juga lebih maju dibandingkan dengan perempuan di negara-negara lain di kawasan Timur Tengah – Afrika (Arab Saudi dan Mesir–juga Turki), ini akibat kemajuan pendidikan untuk perempuan di Iran yang terutama dinikmati perempuan Iran sejak revolusi Iran, juga berkaitan dengan kesempatan yang diberikan oleh pemerintah dan masyarakat Iran bagi perempuan Iran dalam dunia kerja.

Polling yang dilakukan di Iran juga menunjukkan fakta bahwa kebanyakan perempuan Iran merasa puas dengan menjadi ibu rumah tangga murni. Ketika ditanyakan kepada responden, apakah interes terpenting dalam hidup mereka, 36,6 % menjawab ‘anak’, 33 % menjawab ‘pekerjaan’, 13,5 % ‘isu politik’, 12 % ‘hak perempuan dalam masyarakat’, dan 5% ‘keamanan’. Ketika ditanya mengenai pandangan mereka tentang kehidupan, 67% menyatakan optimis, 24 % menyatakan ‘agak optimis’, dan 9% menyatakan kecewa.

Perlu dicatat di sini bahwa indikator GEM adalah berlandaskan pada paradigma Barat yang mengukur kemajuan perempuan dari sisi keikutsertaan mereka dalam lapangan pekerjaan. Padahal, dalam paradigma Islam yang dianut oleh Republik Islam Iran, indikator keberhasilan perempuan adalah keberhasilannya dalam membangun sebuah keluarga yang sehat. Dalam paradigma yang dianut di RII, perempuan dipersilahkan untuk mengaktualisasikan kemampuannya di lapangan pekerjaan dengan tetap mengingat bahwa tugas utamanya adalah sebagai pembangun unit terkecil (dan terpenting) dalam masyarakat, yaitu keluarga. Dengan menganut paradigma seperti ini, kebijakan pemerintah RII bukanlah membuka lapangan pekerjaan di perkantoran seluas-luasnya kepada perempuan dan menjauhkan perempuan dari keluarganya, melainkan lebih pada upaya pemberdayaan perempuan untuk membangun industri rumah tangga. [5]

Hal ini berbeda, jika dibandingkan dengan kondisi masa rezim tiranis Syah Pahlevi, di mana wanita Iran secara formal dilarang menggunakan atribut-atribut keislaman, bahkan tingkat buta huuf yang tinggi nyaris melanda seluruh wilayah Iran. Massoumeh Price menulis:

“Reza Shah diangkat sebagai raja pada tahun 1925. Pada tahun 1926, Sadigheh Dawlatabadi mengikuti The International Women’s Conference di Paris. Sekembalinya dari Paris, dia muncul di depan publik dalam pakaian Eropa. Pada tahun 1928, Parlemen meratifikasi aturan baru berpakaian. Semua laki-laki, kecuali para ulama, diharuskan berpakaian ala Eropa selama berada di dalam kantor-kantor pemerintah. Pada tahun 1930, topi perempuan dibebaskan dari pajak. Emansipasi didiskusikan secara kontinyu dan digalakkan oleh pemerintah. Pada tahun 1936, Reza Shah, istrinya, dan anak-anak perempuannya mengikuti upacara wisuda di Women’s Teacher Training College di Tehran. Semua perempuan disarankan untuk datang ke acara itu tanpa menggunakan kerudung. Pada saat itulah, ‘emansipasi’ perempuan Iran secara resmi dicanangkan. Pelepasan jilbab dijadikan sebuah kewajiban serta perempuan dilarang menggunakan chadur dan kerudung di depan umum.

Pada tahun 1968, diratifikasi UU Perlindungan Keluarga. Dalam UU itu ditetapkan bahwa perceraian harus dilakukan dalam pengadilan keluarga, aturan perceraian dibuat menguntungkan, poligami dibatasi dan diharuskan adanya izin tertulis dari istri pertama. … (Pada waktu itu pula) Mrs. Parsa diangkat sebagai menteri perempuan pertama di Iran. (Kemudian dikeluarkan aturan) perempuan harus mengikuti pendidikan militer dan harus mengikuti wajib militer… Aborsi tidak pernah dilegalisasi, tetapi sanksi yang ada telah dihilangkan sehingga membuat (aborsi) sangat mudah dilakukan.”[6]

Ahmad Heydari juga melaporkan bahwa Sebelum Revolusi, Rezim Shah di Iran telah mengibarkan bendera pembelaan hak-hak asasi dan kebebasan perempuan. Membuka hijab serta mengabaikan rasa malu, harga diri, rasa keberagamaan, merupakan langkah-langkah awal rezim ini dalam propaganda mereka untuk menunjukkan hak-hak perempuan.[7]

Begitu pula Imam Khumaini yang menjadi motivator revolusi. Baginya, kondisi wanita di masa Syah adalah kondisi paling terparah dalam sejarah Iran. Beliau dengan tegas mengatakan bahwa kezaliman terhadap wanita di Iran melebihi kezaliman pada kaum pria :

“Sesungguhnya kezaliman yang dialami wanita-wanita Iran yang terhormat selama rezaim Pahlevi yang zalim tidak pernah disaksikan dan dialami sekalipun oleh kaum pria. Wanita-wanita yang berusaha menjaga ajaran Islam dan mengenakan pakaian islami mereka berada dalam keadaan tertentu dalam masa Reza Khan dan dalam keadaan yang lain pada masa Muhammad Reza.

“Apa yang telah terjadi dan dialami oleh wanita-wanita di masa Reza Syah… dan penderitaan-penderitaan yang dirasakan oleh para wanita itu di masa Reza Khan yang jahat… pada masa Muhammad Reza bentuk penindasan dan penganiayaan berubah lagi di mana ia melakukan kejahatan yang lebih keji daripada masa ayahnya. Si ayah melakukan berbagai macam kekerasan, tekanan, kezaliman, pemenjaraan dan penodaan hijab serta usaha menyakiti para wanita. Sedangkan si anak bekerja untuk menghancurkan kesucian di masyarakat kita. Dan salah satu tujuan mereka adalah wanita-wanita Iran. Oleh karena itu, mereka bekerja melalui perangkap-perangkap mereka yang khusus untuk menggiring wanita-wanita menuju kerusakan.” [8]

Untuk itu, revolusi Islam yang dilancarkan oleh Imam Khumaini, dilakukan dengan salah satu tujuan utamanya adalah untuk ‘membebaskan’ kehidupan wanita yang ‘dibelenggu’ oleh rezim Syah. Imam Khomeini menyatakan:

“Kalian hari ini menikmati kebebasan. Semua saudara (pria) dan saudari (wanita) merdeka. Mereka dapat melakukan aktivitas mereka dan mengkritik pemerintah dengan bebas. Meeka dapat mengkritik setiap hal yang bertentangan dengan masa depan bangsa dan Islam. Mereka dapat menuntut pemerintah pemerintah berkaitan dengan problema-problema politik. Kebangkitan ini telah memberi kalian kebebasan dan menyelamatkan kalian dari belenggu-belenggu yang dipaksakan pada kalian. Dan kalian sekarang berkumpul di sini dan menyampaikan berbagai problema politik dan social yang menyangkut bangsa ini dengan bebas. Hal yang demikian ini belum pernah terjadi sebelum revolusi, adapun hari ini kalian dapat menentukan masa depan kalian sendiri; kalian dapat menuntut problema-problema politik dan menuntut pemerintah untuk mewujudkannya. Dan saya tegaskan kali ini bahwa kalian wahai para wanita bertanggung jawab untuk membimbing kebangkitan ini menuju jalan kedamaian, sebagaimana kalian telah mewujudkan ujuan-tujuannya hingga sekarang. Dan kalian bertanggung jawab untuk memilih wakil-wakil rakyat yang berpengalaman di mana terletak di pundak mereka tanggung jawab untuk menjaga dan menyusun konstitusi yang menetapkan masa depan.” [9]

Pengakuan atas hak dan martabat perempuan di Iran mulai tampak sejak penyusunan Konstitusi (UUD) Iran oleh para ulama yang tergabung dalam Majelis-e-Khubregan. Meskipun hanya satu ulama perempuan yang tergabung dalam majelis tersebut, yakni Munireh Gurji, UUD yang dihasilkan sangat berpihak kepada perempuan. Kata perempuan disebut lima kali dalam konstitusi Iran—bandingkan dengan UUD 45 atau UUD Amerika Serikat yang sama sekali tidak menyebut kata ‘perempuan’. Dalam Pembukaan UUD Iran, terdapat dua paragraf yang khusus berbicara tentang perempuan, yaitu pasal 20 dan 21.

PEREMPUAN DALAM KONSTITUSI IRAN

Tugas dan Peran Perempuan

“Wanita dalam sistem Islam memiliki hak yang juga dimiliki oleh kaum pria, termasuk di dalamnya hak pendidikan, hak pengajaran, hak pemilikan, hak memilih dan hak dipilih. Dalam berbagai bidang yang dilakukan oleh kaum pria, wanita pun dapat melakukan bidang-bidang tersebut. Namun ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan oleh kaum pria dan dianggap haram karena akan menjerumuskan mereka pada kehancuran. Begitu juga ada hal lain yang diharamkan bagi wanita untuk melakukannya karena menimbulkan kerusakan (mudharat).”[10]

Imam Khumaini menegaskan hal di atas sebagai acuan bagi pembuatan undang-undang di Iran, terkhusus masalah wanita. Sebagai Negara yang berlandaskan pada ideologi dan ajaran Islam, maka Iran mesti menyesuaikan seluruh undang-undangnya mengenai hak dan kewajiban wanita pada syariat Islam, bukan pada pandangan Barat dan perkembangan zaman yang dapat menghapus jati diri wanita Islam. Hal ini ditegaskan oleh UUD RII pasal 20:

”Semua warga negara, baik laik-laki maupun perempuan, secara setara menerima perlindungan hukum dan memiliki semua hak kemanusiaan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yang sesuai dengan kriteria Islam.” (UUD RII Pasal 20).

Dalam pasal di atas, disebutkan bahwa “laki-laki atau perempuan memiliki semua hak kemanusiaan”. Ini berarti, semua hak-hak dasar manusia yang bersifat individual maupun yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan mendapat justifikasi dan jaminan Negara, serta tidak dapat diganggu gugat, meskipun yang disebutkan hanyalah bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Karena kelima bidang tersebut telah menjadi payung besar yang menaungi hak-hak parsial lainnya. Hak hukum misalnya akan mencakup keamanan, perlindungan, kesaksian, dan kehakiman atau pengadilan. Hak politik akan meliputi hak berserikat, berperang, hak memilih dan dipilih. Hak ekonomi akan memayungi hak bekerja, nafkah dan hak kepemilikan. Begitu pula dengan hak sosial dan budaya akan berhubungan erat dengan amar ma’ruf nahi munkar, palayanan dan tugas-tugas sosial, pendidikan, dan seni. Jadi, secara konstitusional hak-hak tersebut, menjadi milik seluruh rakyat Iran tanpa memandang gendernya.

Secara khusus, UUD RII pasal 21 menyebutkan beberapa hak perempuan yang mesti dijamin oleh pemerintah, yaitu :

”Pemerintah harus menjamin hak perempuan, yang sesuai dengan kriteria Islam, dan mewujudkan tujuan-tujuan di bawah ini:
Menciptakan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan kepribadian perempuan dan pengembalian hak-hak mereka, baik material maupun intelektual;
Perlindungan terhadap para ibu, terutama pada masa kehamilan dan pengasuhan anak, dan perlindungan terhadap anak-anak yatim;
Membentuk pengadilan yang berkompeten untuk melindungi keluarga;
Menyediakan asuransi khusus untuk janda, perempuan tua, dan perempuan tanpa pelindung;
Memberikan hak pengasuhan kepada ibu angkat untuk melindungi kepentingan anak ketika tidak ada pelindung legal.” (UUD RII Pasal 21)

Undang-undang di atas cukup menjadi bukti bahwa diskriminasi perempuan tidak mendapatkan landasan legal formal dalam Republik Islam Iran. Sebaliknya, mereka memiliki peran dan hak-hak penuh untuk berpartisipasi dalam segala bidang kehidupan, baik yang menyangkut individu dan keluarga, ataupun masyarakat dan Negara. Di bawah ini akan diuraikan secara khusus hak-hak di atas dengan merujuk pada undang-undang yang diberlakukan di Iran serta pandangan para tokoh dan ulama Iran.

Tugas dan Peran Hukum Wanita

Konstitusi Iran tidak ada secara eksplisit menyebut jenis kelamin hakim, melainkan lebih bertolak pada kualifikasi yang dimiliki :

”Kondisi dan kualifikasi yang harus dipenuhi oleh seorang hakim akan ditetapkan oleh undang-undang, yang sesuai dengan kriteria agama.” (UUD RII Pasal 163)

Pada tahun 1982, disahkan sebuah aturan pelaksanaan yang berisi bahwa hakim dipilih di antara laki-laki yang memenuhi syarat. Pada tahun 1984, ditetapkan aturan tambahan yang menyatakan bahwa perempuan bisa menjadi penasehat dalam pengadilan keluarga atau kantor urusan perwalian anak. Seiring dengan berlalunya waktu, semakin dirasakan perlunya kehadiran hakim perempuan dalam pengadilan keluarga. Oleh karena itu, disahkan revisi aturan pada tahun 1995 yang memberikan izin kepada Ketua Mahkamah Agung untuk mengangkat perempuan yang memenuhi syarat sebagai hakim yang memegang jabatan-jabatan berikut ini:
Penasehat hukum pada Dewan Tinggi Peradilan Perkantoran.
Hakim pada Pengadilan Keluarga.
Hakim investigasi serta hakim dalam bidang penelaahan dan penyusunan hukum peradilan.
Hakim pada Kantor Perwalian Anak dan kantor-kantor lain yang memerlukan pos hakim.

Meskipun begitu, hakim perempuan (hingga saat ini) tidak bisa menjabat sebagai ketua pengadilan.

Tugas dan Peran Militer dan Pertahanan Negara

“Jika terjadi—mudah-mudahan Allah menjauhkan hal ini—pada suatu hari agresi melawan negeri-negeri Islam maka semua orang, baik wanita maupun pria bertanggung jawab untuk mempertahankan negaranya.” [11]

Ungkapan Imam Khumaini, pendiri Republik Islam Iran di atas merupakan jawaban tegas akan nilai pentingnya peran wanita dalam pertahanan dan kemanan Negara. Baginya, perempuan bukanlah sosok yang mesti dipenjarakan dalam rumah dan dianggap lemah, melainkan sosok yang penuh keteguhan, kokoh dan memiliki komitmen perjuangan. Para wanita, bagi penggerak revolusi ini, telah memberikan harta, jiwa raganya, bahkan putera-putera terbaik mereka untuk berdiri di depan garda perjuangan bangsa Iran dalam meruntuhkan rezim tiranis Syah Pahlevi.

Melihat pada peran signifikan wanita dalam pertahanan dan keamanan, maka RII memberikan jaminan legal terhadap partisipasi tersebut secara khusus dalam bidang kemiliteran. Akan tetapi, melihat pada kondisi-kondisi dan aturan-aturan syariat maka dibuatlah undang-undang yang memberikan kesempatan bagi wanita untuk bergabung hanya dalam pertahanan semi-militer. Pasal 32 UU Militer dan Pasal 20 Aturan Personalia Sepah-e Pasdaran-e Enqelab (Tentara Garda Revolusi), yang disahkan tahun 1991, disebutkan bahwa perempuan tidak boleh bergabung dalam ketentaraan, selain sebagai tenaga medis. Namun, terbuka peluang bagi kaum perempuan untuk aktif dalam kegiatan semi-militer, yaitu dalam angkatan Basij (tentara rakyat) serta dalam Angkatan Kepolisian.

Imam khumaini saat ditanya tentang bergabungnya wanita dalam pasukan revolusi menjawab bahwa tidak ada halangan bagi kaum wanita untuk bergabung dan menjadi pasukan pengawal revolusi selama tetap menjaga ketentuan-ketentuan syariat Islam. Bahkan beliau berharap agar para wanita yang mampu berperang untuk ikut serta dalam latihan militer demi mempertahankan Islam dan negeri Islam, dan berharap agar tetap mendapatkan dukungan dari Allah swt dalam melakukan mobilisasi umum seperti pendidikan dan latihan militer dalam setiap jenjangnya tersebut, begitu pula dalam bidang akidah, akhlak dan budaya.[12]

Latihan militer, menurut Bayat, dinilai penting bagi wanita Iran dikarenakan tiga alasan :
Pertahanan dalam masyarakat Islam adalah kewajiban, karenanya pengetahuan untuk pertahanan tersebut juga menjadi kewajiban dan perlu baik bagi pria maupun wanita. Pendidikan dan latihan militer adalah usaha kearah itu yang mendapatkan dasarnya dalam UUD RII.

Kondisi Iran yang senantiasa diancam agresi musuh, terutama di kota-kota di selatan dan perbatasan Negara, dan berlanjutnya peperangan yang dipaksakan demi penghancuran Republik Islam Iran.
Pernyataan-pernyataan tegas Imam Khumaini dan perintah langsung beliau untuk kampanye latihan kemiliteran di seluruh negeri dan agar kaum wanita dipersiapkan untuk pertahanan umum.[13]

Hal ini diperkuat oleh ulama besar Iran, Ayatullah Syeikh Jawadi Amuli. Menurutnya, salah satu bentuk pertahanan Negara adalah dengan mengadakan latihan perang. Tentunya dalam latihan ini para wanita diharuskan terpisah dari pria. Pria dan wanita dapat sama-sama turut serta terjun dalam sebuah peperangan melawan musuh, dengan tetap menjaga kesatuan barisan dan harus berada di bawah komando seorang pemimpin. Wanita dapat berjihad baik dibarisan depan maupun belakang.[14]

Jika wanita, lanjut Syeikh Amuli, telah menjadi seorang pemimpin sebuah batalyon dalam peperangan untuk mempertahankan Negara dari serangan musuh, maka hal itu tidak hanya boleh, namun terkadang juga merupakan kewajiban. Karena mempertahankan Negara tidak dikhususkan untuk pria saja, tetapi juga untuk wanita. Dalam mempertahankan Negara, wanita dapat seperti pria yakni turut serta dalam seluruh medan perang. Oleh sebab itu, wanita wajib turut serta mempelajari aktivitas kemiliteran, sehingga dia dapat selalu siap siaga kapan pun kondisi menuntutnya terlibat.[15]

Tugas dan Peran Politik Wanita

Asyraf Borujerdi, Kepala Departemen Urusan Perempuan pada Kementerian Dalam Negeri Iran, mendefenisikan partisipasi politik sebagai suatu kehendak individu untuk bertindak sedemikian rupa dalam rangka meraih, baik secara individual maupun kolektif, kekuasaan untuk memerintah. Hal ini dapat dilakukan melalui cara-cara legislative dan administrative. Mereka yang terlibat dalam partisipasi politik mampu memberikan persetujuan atau kritik terhadap kebijakan pemerintahan.[16]

Menurut Asyraf, hukum syariat tidak mengingkari peran perempuan dalam masyarakat dan mendelegasikan mereka pada posisi yang netral. Al-Quran maupun sunnah menyarakan kesetaraan gender dalam ruang sosial, perempuan memiliki hak untuk berpartisipasi dalam ruang politik. Perempuan bebas mengekspresikan pandanannya dan memberikan persetujuan atau kritiknya terhadap berbagai kebijakan pemerintah sesuai dengan firman Allah “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Taubah: 71).[17]

Dalam RII, wanita memiliki peluang besar untuk ikut dalam patisipasi politik. Hal itu di jamin dalam konstitusi Iran, misalnya :
”Semua warga negara, baik laik-laki maupun perempuan, secara setara menerima perlindungan hukum dan memiliki semua hak kemanusiaan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yang sesuai dengan kriteria Islam.” (UUD RII Pasal 20)

Adapun tentang jabatan presiden perempuan yang secara nyata belum pernah terealisasikan di Iran, bukanlah menutup kemungkinan untuk partisipasi tersebut. Sebab pada setiap pesta demokrasi, ternyata banyak tokoh-tokoh perempuan yang mencalonkan diri meskipun gagal saat dilakukan uji kelayakan. Hingga saat ini, belum ada wanita yang bisa lolos dari “screening” capres itu, yang mana, gugurnya pencalonan mereka bukanlah di dasarkan pada tendensi gender (jenis kelamin), tetapi, lebih disebabkan tidak terpenuhinya syarat-syarat penting lainnya, seperti kualifikasi di bidang administrasi dan pemerintahan.

Memang terkesan ada bias gender dalam konstitusi Iran menyangkut posisi presiden. Hal itu terlihat dari dimasukkannya kata ‘rijal’ dalam UUD RII pasal 115 sebagai calon presiden, yaitu :
“Presiden harus dipilih di antara ‘rijal’ religius dan politisi yang memiliki kualifikasi sebagai berikut: asli Iran; warga negara Iran; memiliki kapasitas administrasi dan kepemimpinan; memiliki masa lalu yang baik; jujur, bertakwa, beriman, dan berpegang teguh pada landasan Republik Islam Iran dan mazhab resmi Negara.” (UUD RII Pasal 115).

Perlu diperhatikan, dalam pasal ini, tidak disebutkan secara jelas istilah ‘laki-laki’, melainkan digunakan kata ‘rijal’. Secara semantis, rijal adalah bentuk plural dari kata rajul, yang berarti laki-laki. Akan tetapi, istilah ini juga sering merujuk kepada arti personality atau tokoh. Arti ini akan terlihat jelas, jika kita merujuk pada terjemahan Inggris[18] konstitusi tersebut, yang menyebutkan ‘distinguished religious’ sebagai terjemahan dari ‘rijal religius’. Makna distinguished, jelas lebih menekankan pada ketokohan, keutamaan, terkemuka, keistimewaan, atau kemasyhuran yang melekat pada diri seseorang, baik laki-laki maupun perempuan.

Karenanya, hingga kini, istilah rijal tersebut masih menjadi bahan perdebatan di antara para ulama. Penafsiran dan implementasi penggunaan terhadap istilah “rijal” ini diserahkan kepada Dewan Pelindung Konstitusi (Shura-ye Negahban-e Qanun-e Asasi) yang berwenang untuk melakukan verifikasi kelayakan setiap warga Iran yang mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilu.

Dicantumkannya kata “rijal” dalam konstitusi Iran tanpa penjelasan yang konkrit, menurut Ayatullah Husaini Bahesti, yang pada saat itu menjabat Wakil Ketua Majelis-e Khubregan, memanglah disengaja. Hal itu menurutnya, karena pada saat itu, tidak berhasil diambil kesepakatan di antara para ulama yang tergabung dalam Majelis-e Khubregan berkaitan dengan boleh-tidaknya perempuan menjadi presiden. Sehingga, pembahasan atas masalah ini tetap terbuka dan tidak bisa dijadikan alasan bahwa perempuan tidak berhak menjadi presiden. Jadi, istilah “rijal” ini hingga sekarang belum dihadapkan kepada “ujian konstitusi”.[19] Lebih lanjut Ayatullah Beheshti menyatakan :

“…Bagi saya sendiri, dalil-dalil yang ada dalam riwayat mengenai tidak bolehnya seorang perempuan menjadi presiden, sama sekali tidak cukup dan tidak akan pernah cukup…Namun pandangan seperti ini tidak berhasil mendapat persetujuan duapertiga dari anggota Majelis…Oleh karena itu, saya menyatakan, UUD untuk saat ini menetapkan bahwa presiden bisa dipilih di antara para tokoh politik dan perdebatan tentang boleh-tidaknya perempuan menjadi presiden untuk sementara dihentikan sampai di sini, sampai kelak situasi memungkinkan untuk dilakukan pembahasan ulang.” [20]

Pernyataan Ayatullah Bahesti di kuatkan oleh Munireh Gurji, cendekiawan perempuan yang menjadi anggota Majelis-e-Khubregan, yang menyatakan bahwa dalam sistem Wilayat al- Faqih, presiden bukanlah pemimpin tertinggi, sehingga sah-sah saja bila perempuan menjadi presiden.[21]

Dari catatan sejarah ini, jelas terlihat bahwa seiring dengan perkembangan zaman serta semakin terbuktinya kiprah dan kemampuan kaum perempuan Iran, sangat mungkin dilakukan pembahasan ulang dan bahkan amandemen terhadap UUD terkait dengan hak perempuan untuk menjadi presiden.

Tugas dan Peran Ekonomi Perempuan

“wanita harus bekerja dan berusaha untuk menentukan masa depannya” ungkap Imam Khumaini.[22] Pandangan Imam Khumaini ini diimplementasikan di dalam konstitusi Iran, yang mana perempuan Iran dijamin haknya dalam mendapatkan pekerjaan. Pasal 28 UUD RII menyebutkan :
“Setiap orang memiliki hak untuk memilih pekerjaan yang diinginkannya selama tidak bertentangan dengan interes Islam dan masyarakat, dan tidak melanggar hak-hak orang lain.
Pemerintah memiliki kewajiban, dengan menimbang kebutuhan sosial terhadap berbagai jenis pekerjaan, untuk menyediakan kesempatan kerja bagi setiap warga negara dan menciptakan kondisi yang setara dalam kesempatan kerja.” (UUD RII Pasal 28).

Dengan demikian secara konstitusional dan perempuan Iran berhak untuk memiliki pekerjaan dan secara khusus hak-hak perempuan dalam masalah ini diatur dalam “Undang-Undang Ketenagakerjaan” Republik Islam Iran, yang antara lain menyebutkan :

“untuk pelaksanaan kerja yang sama dalam kondisi yang sama, dan dalam satu tempat kerja yang sama, laki-laki dan perempuan harus memperoleh gaji yang sama.” (UU Ketenagakerjaan RII, Pasal 39).

Pasal di atas menunjukkan bukti nyata bahwa Iran memiliki komitmen pemberdayaan wanita sesuati dengan karakteristiknya. Artinya, dalam memilih pekerjaannya, perempuan harus memperhatikan penciptaan khusus secara fisikdan kejiwaan, sehingga tidaklah setiap pekerjaan baik baginya dan bagi seluruh individu masyarakat. Perempuan adalah eksistensi yang lembut dan cantik. Karena kelembutan dan kecantikannya yang menarik bagi laki-laki, maka dia harus berusaha untuk memilih pekerjaan-pekerjaan yang tidak merusak kecantikan, kelembutan, daya tarik, dan kasih sayangnya. Oleh karena itu, melakukan pekerjaan-pekerjaan berat, susah, dan melelahkan tidak baik bagi kaum perempuan, seperti pekerjaan (lembur) malam, buruh tambang, buruh pelebur besi, buruh perusahaan semen, pertanian, peternakan, dan semacamnya.[23] Inilah mengapa pasal 75 “UU Ketenagakerjaan” menyatakan: “pekerjaan yang berbahaya dan berat tidak boleh diserahkan kepada pegawai perempuan.”

Kemudian dalam “UU Perlindungan Pekerja Perempuan” yang disahkan pada tahun 1992, disebutkan, peran dan pekerjaan utama perempuan adalah dalam keluarga, namun juga ditegaskan bahwa “Kesempatan bekerja bagi perempuan dalam bidang budaya, sosial, ekonomi, dan administrasi merupakan di antara syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan keadilan sosial.” (UU Perlindungan Pekerja Perempuan RII, pasal 2).

Aturan-aturan di atas, menjadi bukti yang secara eksplisit sangat memihak perempuan agar memiliki kemandirian ekonomi di Republik Islam Iran. Hal ini juga mendapatkan legalitas dari al-Quran, “Bagi para laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Seesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisa: 33).

Untuk tetap mengimplementasikan tanggung jawab perempuan dalam rumah tangga, terutama sebagai ibu maka perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan wanita haruslah menyiapkan segala hal yang menyangkut kebutuhan wanita. Dalam “UU Perlindungan Pekerja Perempuan” pada pasal 76-78 menyebutkan perlindungan kerja wanita dalam keadaan hamil, melahirkan dan menyusui, yang diantaranya sebagai berikut :
Mendapatkan cuti hamil dan melahirkan selama 90 hari dan jika ada ketidaknormalan mendapatkan tambahan cuti 14 hari lagi. (Pasal 76)
Mendapatkan fasilitas pengasuhan anak selama jam kerja. (Pasal 76)
Dalam setiap tiga jam kerja, akan mendapatkan waktu selama setengah jam untuk menyusui anak. Dan waktu menyusui itu tetap dihitung sebagai jam kerja. (Pasal 77)
Perusahaan harus menyediakan tempat penitipan dan pengasuhan anak sesuai jenjang usia anak. (Pasal 77)
Setelah selesai masa cuti hamil dan melahirkan, maka perempuan tersebut akan kembali pada posisi kerjanya dan tidak diperbolehkan menggantikan atau memutasikan perempuan tersebut. (Pasal 78)

Selain itu, terkait dengan pekerjaan seorang istri, konsesi besar diberikan kepada istri atas penghasilan yang diperolehnya. Pasal 1118 UU Madani disebutkan, “Istri berhak secara independen dalam memanfaatkan harta yang dimilikinya sendiri sesuai dengan kehendaknya sendiri.”

Namun begitu, hak bekerja perempuan tetap disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam yang menjadi landasan konstitusional Negara. Diantaranya adalah, jika perempuan tersebut telah menikah dan memiliki suami, maka perlu ada izin suaminya bagi perempuan yang ingin bekerja. Pasal 1117 “UU Madani” menyebutkan bahwa, “Seorang suami berhak untuk melarang istrinya bekerja, bila si suami memandang bahwa pekerjaan yang dilakukan istrinya itu bertentangan dengan kemaslahatan rumahtangga atau mengganggu harga diri dirinya atau harga diri istrinya.”

Hal ini menjadi salah satu kritikan yang dilontarkan berbagai kalangan, terutama Barat, untuk mendeskriditkan Iran. Misalnya, Shirin Ebadi, pemenang Nobel Perdamaian tahun 2003, yang menganggap bahwa undang-undang seperti ini merupakan bukti nyata pendiskriminasian perempuan dalam Negara Iran.[24]

Keberatan dan kritikan yang dilancarkan oleh Barat atau ‘orang yang terbaratkan’ (westomania), atas undang-undang seperti ini didasarkan pada prinsip hak dan kebebasan absolut serta emansipasi liberal yang mereka anut. Bagi mereka, suami tidak diperbolehkan mengekang istri dalam menentukan pekerjaan dan mencari kebutuhan ekonominya. Karena, perkembangan modern, telah memberikan kemudahan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam segala bidang kerja baik itu bidang administrative, bidang pendidikan, bidang politik, bahkan pekerjaan buruh lapangan sekalipun. Mereka menuduh Iran telah melakukan diskriminasi, melalui undang-undang yang sangat bias gender, dan sama sekali tidak memihak pada perempuan.

Namun, jika kita mau jeli mencermatinya, sesungguhnya undang-undang juga memberikan hak yang sama kepada perempuan Iran atas pekerjaan suaminya. Misalnya, dalam “UU Perlindungan Keluarga” Pasal 18 menyatakan bahwa istri berhak mengajukan keberatan atas pekerjaan yang dilakukan suaminya dan pengadilan akan mengeluarkan surat larangan melakukan pekerjaan tersebut kepada suami, seandainya terbukti di pengadilan bahwa memang pekerjaan tersebut bertentangan dengan kemaslahatan keluarga atau harga diri dari kedua pihak. Bahkan, bila surat keputusan larangan dari hakim itu telah dikeluarkan dan si suami tetap berkeras melanjutkan pekerjaannya itu, “UU Pernikahan” menyebutkan bahwa perempuan berhak untuk menuntut cerai.[25]

Tugas dan Peran Sosial dan Budaya Perempuan

Program kebudayaan merupakan salah satu elemen penting dalam Republik Islam Iran. Jika masa Syah Pahlevi, kebudayaan Barat menjadi acuan resmi negara, maka berlawanan dengan hal itu, pasca revolusi, kebudayaan Islam menjadi landasan akurat bagi kebijakan negara. Ayatullah al-Uzhma Ali Khamenei, yang merupakan wali faqih dan rahbar, menegaskan bahwa saat ini telah terjadi perang kebudayaan (al-ghazwu al-Tsaqafah) di Iran, di mana kekuatan politik dan ekonomi Barat berusaha mempengaruhi dan meneror secara halus terhadap unsur-unsur dan prinsip-prinsip dasar kebudayaan Islam.[26]

Karenanya Imam Khamenei dan para ulama di Iran senantiasa mengingatkan generasi muda, terutama kaum perempuan akan bahayanya peracunan kebudayaan Barat sekuler yang hampa dari nilai-nilai agama, terkhusus agama Islam.

Ayatullah Ramazhani bersama pengurus Yayasan Islam Abu Thalib, saat berkunjung ke Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara Medan (IAIN SU Medan) menyatakan bahwa kebudayaan Islam adalah elemen penting yang harus dipertahankan kaum muslimin di dunia dan juga di Indonesia. Adapun di Iran sendiri, liberalisasi budaya tidak bisa ditolerir, sebab sebagai umat yang beragama, kita memiliki aturan-aturan baku yang harus ditegakkan untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Salah satu yang harus diperhatikan oleh Negara, menurut Ayatullah Ramazhani, adalah siaran televisi, sebab hal ini merupakan alat imperealisme budaya yang paling berpengaruh pada saat ini. Ia telah memasuki semua rumah kaum muslimin dengan siaran-siaran yang merusak generasi muda Islam. Karenanya di Iran, semua siaran televisi dijaga sedemikian ketat sehingga tidak menayangkan program-program yang merusak akhlak dan melecehkan syariat Islam.

Diantara aturan Islam yang penting untuk mengukuhkan kehidupan social dan budaya Islam adalah pakaian muslimah bagi wanita. Hal ini harus dipertahankan karena disamping aturan syariat, jilbab juga telah menjadi identitas budaya Islam yang memberikan penjagaan diri dan keamanan bagi wanita-wanita Islam, “Hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Ahzab: 59).

Karena itu, Pemerintah Iran mewajibkan penggunaan jilbab kepada seluruh wanita jika keluar dari rumahnya dan berinteraksi dengan orang-orang yang bukan mahram-nya. Kewajiban ini, selain berlandaskan pada syariat Islam, juga merupakan sarana penting untuk perbaikan kondisi sosial masyarakat. Hal itu karena, jika wanita diterjunkan ke tengah-tengah masyarakat, maka sifat belas kasih, kelembutan, perasaan dan kesucian wanita, menjadi perhatian dan pegangan, bukannya mengumbar nafsu dan sahwat yang akan memperlemah bangunan masyarakat manusia yang kokoh dan tersusun rapi. Islam, bagaimanapun senantiasa berupaya agar menjaga tidak terjadinya pengumbaran nafsu dan sahwat yang rendah, agar bagunan masyarakat tetap utuh, dan salah satu upaya resminya adalah dengan memelihara hijab, dan kasih sayang sebagai bahan perekat bangunan tersebut.[27]

Dengan aturan-aturan yang berlandaskan pada syariat dan kebudayaan Islam, maka Iran mempraktekkan masyarakat yang memberikan bagi perempuan keleluasaan dalam kancah pergaulan sosial. Para perempuan hadir secara aktif dalam berbagai aktivitas kehidupan dengan menjaga fasilitas-fasilitas public dan menerima berbagai tugas kemasyarakatan. Di sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar hingga Perguruan Tinggi, pusat-pusat penelitian, rumah sakit, klinik, laboratorium, parlemen, kementrian, dan pos-pos penting lainnya, perempuan tampak hadir tanpa risih menjaga hijab dan pakaian islami serta tidak berhias secara berlebihan. Meeka menrima batasan ini dengan lapang dada dan pengorbanan sehingga masyarakat selamat dan bersih dari factor-faktor penyimpangan dan kerusakan. Mereka melakukan ini karena menjaga kondisi para pemuda dan para lelaki asing, disamping menjaga hati dan perasaan suaminya sehingga kehidupan rumah tangga tetap utuh.[28]

Namun, ini adalah cita-cita besar dari sebuah Negara Islam, yang mana tanpa persiapan yang matang dan perjuangan yang sungguh-sungguh akan sulit melakukan revolusi kebudayaan. Kita ketahui, di masa Syah Pahlevi, Iran telah menggulirkan sekularisasi dan liberalisasi budaya yang menghasilkan larangan berjilbab dan menggunakan simbol-simbol agama di wilayah publik dan pemerintahan sehingga menggerogoti setiap sendi kehidupan rakyat Iran.

Hingga kini pun hal itu masih terlihat, di mana sebagian kecil masyarakat yang sudah terlena dengan sekularisasi dan liberalisasi budaya memperlihatkan sikap anti revolusi Islam. Karena itu, pemerintah Iran dan para ulama serta seluruh jajaran yang peduli akan cita-cita Revolusi Islam mesti berusaha keras merancang peogram yang mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan Islam dari serbuan kebudayaan asing yang merusak, demi mempersiapkan generasi muda yang unggul, berani, sehat fisik dan psikologisnya, serta memiliki komitmen kuat pada cita-cita Revolusi Islam. Dan dari seluruh unsur dan strata masyarakat, kaum perempuan mestilah mendapatkan perhatian ekstra. Akan tetapi, usaha inilah yang masih dirasakan kurang. Dalam hal ini Ayatullah Ibrahim Amini berkomentar :

“Amat disesalkan, dalam permasalahan-permasalahan budaya yang khusus bagi kaum perempuan, kita tidak mempunyai solusinya. Kita tidak mempunyai organisasi dan komunikasi yang harmonis. Ketidakharmonisan tidak akan memberikan hasil yang diinginkan bahkan kadang-kadang berdampak sebaliknya. Maksud dari keharmonisan adalah kebulatan tekad kebudayaan.

“Jika para penggiat media-media elektronik, penerbit-penerbit, para penulis, dan para mubaligh, semuanya, mampu membangun kebulatan tekad kebudayaan, maka strategi kebudayaan akan berjalan sukses. Menjalankan strategi kebudayaan memerlukan pergerakan menyeluruh dan kesatuan, yaitu paling sedikit tujuh puluh persen pejabat Negara dan struktur-struktur yang berkaitan dengan mereka bersama-sama menjalankan strategi itu.

Lebih lanjut, Ayatullah Ibrahim Amini menyatakan :
“Dengan keharmonisan di antara dakwah dan pendidikan, kita dapat menghidupkan dasar-dasar kebudayaan hijab dalam masyarakat. Perempuan harus percaya bahwa hijab akan menguntungkannya…Sungguh penerimaan hijab bagi perempuan, dalam kondisi yang mereka miliki pada zaman yang lalu, merupakan mukjizat.

“Pelaksanaan kebudayaan yang harmonis adalah sangat penting. Dalam masalah-masalah ini, realitas permasalahannya adalah bahwa para pejabat kebudayaan harus bersatu tekad. Khususnya, berkenaan dengan kaum perempuan…Jika hal tersebut dilakukan, perempuan akan menerima dengan sangat mudah dan memilih jalannya sendiri. Kita yang mestinya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang harmonis malah justru melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kacau balau dan cenderung sesuai selera masing-masing. Perbedaan selera dan ketidakharmonisan inilah yang memicu kelambanan penerapan strategi budaya.[29]

Dengan demikian jelaslah bahwa perempuan punya tugas dan peran yang besar dalam lingkup perbakan sosial dan budaya sehingga tercipta masyarakat Islam yang komitmen pada ajaran dan kebudayaan Islam. Setidaknya, usaha awal untuk menjaga kebudayaan Islam, terutama saat berhubungan dengan kebudayaan-kebudayaan dari negara-negara lainnya, Rahbar melalui Menteri Kebudayaan dan Petunjuk Islami Iran, membentuk Organisasi Islam Kebudayaan dan Hubungan Internasional (Islamic Culture and Relations Organization).

KESIMPULAN
Dengan uraian di atas terlihatlah bahwa perempuan dalam bingkai wilayah al-faqih yang berkomitmen pada ajaran Islam tidaklah menjadikan mereka terasing dari kemajuan dan perkembangan zaman. Dengan memegang prinsip ‘persamaan dalam perbedaan’, Islam menggariskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam meraih kesempurnaan dan kemuliaan di sisi Tuhan, namun dalam tugas, fungsi dan tanggungjawab duniawinya, diberikan Tuhan perbedaan sesuai karakteristiknya masing-masing.

Referensi:
[1] Imam Khumaini, Kedudukan Wanita Dalam Pandangan Imam Khumaini. (Jakarta: Lentera, 2004), h. 217.
[2] Dina sulaeman, Perempuan Iran : Observasi Antara Konstitusi dan HDI, makalah untuk seminar Mahasiswa Indonesia se-Timur Tengah, Tehran, 16 Agustus 2005, lihat dalam www. dinasulaeman.wordpress.com.
[3] Dina sulaeman, Perempuan Iran. www. dinasulaeman.wordpress.com
[4] Dina sulaeman, Perempuan Iran. www. dinasulaeman.wordpress.com
[5] Dina Sulaeman. Perempuan Iran. http://www.dinasulaeman.wordpress.com
[6] Dina sulaeman, Perempuan Iran. www. dinasulaeman.wordpress.com
[7] Dina sulaeman, Perempuan Iran. www. dinasulaeman.wordpress.com
[8] Imam Khumaini, Kedudukan, h. 266.
[9] Imam Khumaini, Kedudukan, h. 220.
[10] Imam Khumaini, Kedudukan, h. 85.
[11] Imam Khumaini, Kedudukan, h. 231.
[12] Imam Khumaini, Kedudukan, h. 237-238.
[13] Bayat. Peranan Wanita Republik Islam Iran dalam Pertahanan, dalam Majalah Yaum al-Quds No. 28 Jumadil Awal 1411 H, Seksi Pers dan Penerangan Kedutaan Republik Islam Iran, Jakarta, h. 21.
[14] Jawadi Amuli. Keindahan dan Keagungan Wanita. (Jakarta: Lentera, 2005), h. 412.
[15] Jawadi Amuli. Keindahan, h.412-413.
[16] Asyraf Borujerdi. Sekilas Tentang Peran Sosial-Politik Perempuan dalam Pemerintahan Islam, dalam Ali Hosein Hakeem. et. al. Membela Perempuan. (Jakarta: al-Huda, 2005), h. 128.
[17] Asyraf Borujerdi. Sekilas, h. 128-129.
[18] Terjemahan Inggris tersebut adalah :”The President shall be elected from among distinguished religious and political personalities having the following qualifications: He shall be of Iranian origins, have Iranian citizenship, be efficient and prudent, have a record of good reputation, honesty and piety, and be true and faithful to the essentials of the Islamic Republic of Iran and the official Faith of the country.” (Pasal 115)
[19] Dina sulaeman, Perempuan Iran. www. dinasulaeman.wordpress.com
[20] Dina sulaeman, Perempuan Iran. www. dinasulaeman.wordpress.com
[21] Dina sulaeman, Perempuan Iran. www. dinasulaeman.wordpress.com
[22] Imam Khumaini. Kedudukan, h. 80.
[23] Lihat Ibrahim Amini. Bangga Jadi Muslimah. (Jakarta: Al-Huda, 2007), h. 10-12.
[24] Dina sulaeman, Perempuan Iran. www. dinasulaeman.wordpress.com
[25] Dina sulaeman, Perempuan Iran. www. dinasulaeman.wordpress.com
[26] Imam Ali Khamenei. Perang Kebudayaan.(Jakarta: Cahaya, 2005), h. 15.
[27] Jawadi Amuli. Keindahan, h. 396.
[28] Ibrahim Amini. Bangga, h. 35-36.
[29] Ibrahim Amini. Bangga, h. 96-97.

(Abu-Thalib/ABNS)

Terkait Berita: