Pesan Rahbar

Home » » Kenapa harus berimam pada Syafi’i? Berikut Ringkasan Jawabannya

Kenapa harus berimam pada Syafi’i? Berikut Ringkasan Jawabannya

Written By Unknown on Monday 26 October 2015 | 19:12:00


Imam Ja’far Shadiq As, Guru dari para Imam Mazhab

Posisi  Imam Keenam

Nama: Ja’far
Julukan: Abu Abdillah
Gelar : Shadiq, Fadhil, Shabir, Thahir
Tanggal Lahir 17 Rabiul Awwal 83 H
Tempat Lahir Madinah
Tanggal Wafat 25 Syawal 148 H
Nama Ayah: Muhammad bin Ali al-Baqir
Nama Ibu: Ummu Farwah
Masa Hidup: 65 Tahun
Tempat Dikuburkan Baqi, Madinah
Istri (istri): Fatimah
Anak-anak: Ismail, Musa, Abdullah, Abbas, Fatimah, Ishaq, Ali, Asma, Farwah


Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husein (Bahasa Arabجعفر بن محمد بن علی بن حسین) As, lahir di Madinah 83 H, wafat Madinah 148 H), ia masyhur dengan Imam Shadiq, imam keenam Syiah, wafat pada umur 65 dan dikuburkan di samping ayahnya, Imam Baqir As dan datuknya, Imam Sajjad As, dan Imam Hasan As di pekuburan Baqi. Ibundanya adalah Ummu Farwah putri Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr.

Priode imamahnya adalah 34 tahun. [1] Julukannya Abu Abdillah dan Ja’fariyah dinisbatkan kepadanya [2] Banyak sekali kumpulan riwayat yang bersumber dari Imam Shadiq As dalam pelbagai masalah fikih dan teologi. Karena inilah mazhab Syiah dinamakan mazhab Ja’fari.

Kelonggaran politik yang muncul pada tahun-tahun permulaan imamahnya menjadikan masyarakat lebih leluasa bertemu dengan Imam Shadiq As dan menginginkan darinya penyelesaian berbagai permasalahan fikih dan lain-lainnya.. [3]

Ibnu Hajar al-Haitami, salah seorang ulama Ahlusunnah mengatakan, “Masyarakat banyak sekali menukil ilmu darinya, dimana ketenarannya sampai ke seluruh kota. Para imam besar seperti Yahya bin Said, Ibnu Jarih, Malik, Sufyan bin ‘Uyainah, Sufyan Tsauri,Abu Hanifah, Syu’bah bin Hajjaj, Ayyub Syakhtiyani meriwayatkan darinya.”

Tidak ada seorangpun dari Ahlulbait As yang memiliki jumlah murid seperti yang dimiliki Imam Shadiq As dan tidak ada riwayat dari mereka yang sepadan dengan riwayat-riwayat yang sampai darinya. Para ahli hadis menuliskan nama para perawi darinya berjumlah 4000 orang.

Kesyahidannya karena racun yang disiapkan oleh Manshur Dawaniqi[4]

Nasab, Julukan, dan Gelar

Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib As, imam keenam Syiah, dan imam kelima dari keturunan Amirul Mukminin As, julukannya adalah Abu Abdillah dan julukan masyhurnya adalah “Shādiq”. Ia juga memiliki gelar lain, di antaranya adalah, Shabir (sang penyabar), Thahir (sang suci), dan Fadhil (sang utama). Karena para fakih dan ahli hadis semasanya bukanlah orang-orang Syiah, maka mereka memujinya dengan kebenaran hadis dan kejujuran dalam penukilan riwayat, maka dengan demikian ia mendapatkan gelar “Shadiq”. [5]Nama ibundanya adalah Fatimah atau Qaribah, dan gelarnya adalah Ummu Farwah. [6] Ummu Farwah adalah putri Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. [7]

Kelahiran dan Wafat

Imam Shadiq lahir di Madinah tahun 83 H. dan meninggal di Madinah tahun 148 H, pada umur 65, dan ia dikuburkan di samping ayahnya Imam Baqir As dan datuknya, Imam Sajjad As, dan Imam Hasan As di pekuburan Baqi[8]
Ia dilahirkan pada tanggal 17 Rabiul Awwal dan kesyahidannya pada tanggal 25 Syawal, dan dinukil juga bahwa kesyahidannya pada pertengahan bulan Rajab atau Syawal.
Sebagian para sejarawan dan para hagiograf menulis hari kelahirannya pada tahun 80 H. [9] Dan Ibnu Qutaibah menulis bahwa ia wafat pada tahun 146. [10] 12 tahun dari umurnya adalah sezaman dengan datuknya, 19 tahun bersama ayahnya dan 34 tahun adalah periode keimamahannya. [11]

Syahadah

Dalam buku Fushūl al-Muhimmah dan Mishbāh Kafa’mi [12] dan juga dalam buku-buku yang lain dituturkan bahwa Imam Syahid karena disuruh meminum racun. Ibnu Syahr Asyub dalam Manāqib menuliskan bahwa Abu Ja’far Manshur telah meminumkan racun untuknya [13], karena dendam dalam hati yang ada pada Manshur kepadanya dan ketakutan atas ketertarikan masyarakat kepadanya. Mereka yang mengenal sejarah kehidupan Manshur akan mengetahui bahwa ia tidak berbelas kasih kepada orang-orang yang berupaya menyampaikannya dalam kursi khilafah, bahkan membunuh Abu Muslim Khurasani, orang yang telah berjuang dengan segenap tenaga guna mendirikan pemerintahan Abbasiyah. [14]

Istri dan Keturunan

Istri-istri

Fatimah putri Husein bin Ali bin Husein, merupakan ibu dari tiga putranya; seorang hamba sahaya yang merupakan ibu tiga anaknya yang lain dan wanita-wanita lain yang menjadi ibu-ibu untuk anak keturunannya yang lain. [15]

Keturunan

Syaikh Mufid menuturkan bahwa ia memiliki 10 orang putra yang di antara mereka adalah: [16]:
  • Ismail, Abdullah, Ummu Farwah, dimana ibunda mereka adalah Fatimah putri Husein bin Ali bn Husein.
  • Musa (Imam Kadzim as), Ishaq, Muhammad, dimana mereka adalah satu ibu.
  • Abbas, Ali, Asma’, dan Fatimah dari ibunda lainnya.
Thabarsi menuliskan bahwa, “Musa, Ishaq, Fatimah, dan Muhammad mereka dari satu ibu, bernama Hamidah Barbariah. [17]

Ismail putra terbesarnya yang sangat dicintai oleh Imam Shadiq dan sekelompok dari Syiah beranggapan bahwa dia adalah pengganti sang Imam, namun dia meninggal pada masa hidup Imam Shadiq As dan dikuburkan di Baqi.

Diriwayatkan bahwa sepeninggal putranya, Imam Shadiq As sangat berduka sekali dan bergegas mengangkat jenazah putranya dengan tanpa sepatu dan jubah dan beberapa kali memerintahkan supaya meletakkan jenazahnya di atas tanah sebelum dikuburkan dan menyingkap kain kafannya. Ia berkali-kali melihat wajahnya dan juga berbicara kepada orang-orang di sekelilingnya supaya melihatnya, sehingga mereka yang mengasumsikan kekhilafahan setelah Imam merasa yakin bahwasanya ia telah meninggal dunia. [18]

Imamah

Masa imamahnya selama 34 tahun, [19] bertepatan dengan kelanjutan pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik, kekhilafahan Walid bin Yazid bin Abdul Malik, kekhilafahan Yazid bin Walid bin Abdul Malik yang bergelar Naqish, kekhilafahan Ibrahim bin Walid, kekhilafahan Marwan Himar. Kemudian pada tahun 132 pakaian hitam-hitam dengan bendera hitam dari Khurasan bangkit bersama Abu Muslim dan Abul Abbas Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas yang bergelar Saffah memerintah selama 4 tahun 8 bulan. Selanjutnya diteruskan oleh saudaranya Abu Ja’far Abdillah yang bergelar Manshur memerintah selama 21 tahun 11 bulan.Dan Imam Shadiq As syahid 10 tahun setelah dimulainya pemerintahan Manshur. [20]

Bukti Imamah

Banyak sekali orang-orang yang menukilkan riwayat dari Imam Baqir As mengenai imamah putranya (Ja’far), di antaranya adalah Hisyam bin Salim, Abu al-Sabah Kinani, Jabir bin Yazid Ju’fi, Abd al-A’la maula Ālu Sam. [21]

Syaikh Mufid menulis, “Selain wasiat Imam Baqir As tentang imamah putranya Ja’far, ia juga memiliki keutamaan dalam aspek keunggulan dalam ilmu, zuhud, prilaku dibandingkan saudara-saudara dan paman-pamannya serta manusia lain sezamannya. Hal ini telah menunjukkan akan imamahnya.” [22]

Kebangkitan Ilmiah

Setelah wafatnya Rasulullah Saw dan masa kekhilafahan para khulafa, tatkala permasalahan fikih memberatkan khalifah atau para sahabat Rasulullah Saw, mereka merujuk kepadaImam Ali As dan imam menyelesaikan permasalahan mereka. Karena Ali As syahid, maka para musuh menyempitkan keturunan dan para Syiahnya serta memisahkan masyarakat dari mereka.

Dari sisi lain, orang-orang menjual agama mereka dengan dunia, untuk kesenangan para pemimpin waktu itu atau untuk keuntungannya juga membuat riwayat, sampai-sampai sangatlah sulit bagi para fakih untuk membedakan hadis yang sahih dari hadis yang tidak sahih.

Dapat dikatakan sejak tahun 40 H. sampai mendekati akhir abad pertama Hijriyah, hanya segelintir dari para sahabat dan Tabi’in yang tidak mendapatkan fikih yang benar, yaitu fikih keluarga Muhammad Saw. Pada masa imam Baqir As agak sedikit longgar dan pada tahun 114-148 (masa imamah Imam Shadiq As) adalah masa penyebaran fikih keluarga Muhammad Saw, atau dengan ungkapan lain adalah hari pendidikan dan pengajaran fikih Ja’fari. Pada tahun-tahun ini, Madinah juga memiliki raut yang lain. [23]

Masa Imam Shadiq bertepatan dengan merosot dan bergejolaknya pemerintahan Marwan, sebagaimana tersedianya kebebasan politik dan tersedianya pendahuluan kebangkitan religi serta klasifikasi anti pemerintahan di setiap sudut-sudut, juga menyebabkan kebebasan pembahasan ilmiah dalam pelbagai cabang. [24]

Banyak sekali kumpulan riwayat yang bersumber dari Imam Shadiq As dalam pelbagai masalah seperti fikih dan teologi. Karena inilah mazhab Syiah dinamakan mazhab Ja’fari. Kelonggaran yang muncul di awal abad kedua-ketiga Hijriyah menyebabkan masyarakat lebih leluasa bertemu dengan Imam Shadiq As dan menginginkan penyelesaian masalah fikih serta permasalahan lain darinya. [25]

Ibnu Hajar menulis tentangnya, “Banyak dari masyarakat yang menukil ilmu darinya, yang ketenarannya sampai ke seluruh kota. Para imam besar seperti Yahya bin Sa’id, Ibn Juraih, Malik, Sufyan bin ‘Uyainah, Sufyan Tsauri, Abu Hanifah, Syu’bah bin Hajjaj, Ayyub Syakhtiyani meriwayatkan hadis darinya.” [26]

Para cendekiwan tidak menukil dari salah seorang Ahlulbait Rasulullah Saw seukuran dengan apa yang diriwayatkan dari Imam Shadiq, dan tidak ada seorangpun dari mereka yang memiliki jumlah murid seperti yang ia dimiliki, dan tidak ada riwayat dari mereka yang sepadan dengan riwayat-riwayat yang sampai darinya. Para ahli hadis menuliskan nama para perawi darinya berjumlah 4000 orang. [27]

Fikih

Dzahabi menukil perkataan dari Abu Hanifah, “Saya tidak melihat orang lebih fakih dari Ja’far bin Muhammad, yakni Imam Shadiq.” [28]

Malik bin Anas, salah seorang penghulu dari empat mazhab Ahlusunnah wal jamaah mengatakan, “Tidak ada yang lebih tinggi dari sisi keutamaan, ilmu, dan ketakwaan darinya.” [29]

Zubair Bakkar menulis, “Abu Hanifah berkali-kali bertemu dengan imam dan dalam salah satu pertemuannya imam berkata kepadanya: “Takutlah kepada Allah, janganlah melakukan kias dalam agama, karena orang pertama yang melakukan kias adalah syetan. Allah Swt berfirman kepada syetan: “Bersujudlah kepada Adam. Ia berkata: Aku lebih baik darinya; Aku diciptakan dari api dan Engkau ciptakan dia dari tanah.” [30]

Kemudian imam bertanya kepada Abu Hanifah: Membunuh jiwa seseorang lebih baik ataukah berzina?
“Membunuh jiwa seseorang.”

“Kenapa membunuh jiwa seseorang harus dibuktikan dengan dua saksi, sedangkan zina dengan empat saksi? Apa yang kamu lakukan dengan kias? Puasa disisi Allah Swt lebih besar ataukah salat?”, tanya imam.
“Salat.”

“Lantas kenapa wanita ketika datang bulan harus mengqadha puasanya, dan tidak mengqadha salatnya? Wahai hamba Allah, takutlah kepada Allah Swt dan janganlah melakukan kias.” [31]

Tarbiah Para Teolog

Kulaini dengan sanadnya meriwayatkan sebuah hadis dari Yunus bin Ya’qub: Aku berada disamping Abu Abdillah (yakni Imam Shadiq As). Seorang warga Syam masuk dan berkata: “Aku adalah orang yang mengetahui ilmu teologi, fikih, dan faraidh (warisan). Aku juga datang kemari guna berdialog dengan murid-muridmu.”

“Ucapanmu dari sabda Rasulullah Saw ataukah dari dirimu?”, tanya Imam.
“Aku ambil dari sabda Rasul Saw dan juga dari diriku sendiri (gabungan dari perkataan Rasul Saw dan aku).”
“Dengan demikian engkau menjadi sekutu Rasulullah?”
“Tidak.”
“Engkau mendengar wahyu dari Allah Swt dan Dia mengabarkannya kepadamu?”
“Tidak.”
“Ketaatanmu wajib sebagaimana ketaatan Rasulullah Saw?”
“Tidak.”

Abu Abdillah menghadap ke arahku dan berkata: “Wahai Yunus! Orang ini, sebelum melakukan pembahasan teologi, maka lawanlah dia. Jika engkau mengetahui ilmu teologi dengan baik maka berdialoglah dengannya.”
Aku sangat menyesal karena tidak mengetahui ilmu teologi. Lantas aku berkata: “Aku menjadi tebusanmu. Aku mendengar engkau telah melarang pembahasan ilmu teologi dan engkau berkata: Celaka atas para teolog yang mengatakan ini diterima dan itu tidak, ini benar dan yang lainnya tidak. Kami menerima ini dengan hukum akal dan itu tidak.”

Imam berkata: “Saya katakan celaka atas mereka jika mereka meninggalkan perkataan kami (apa yang ada pada kami, Ahlulbait) dan mengatakan dengan pendapat dan pandangannya (memilih jidal). Kemudian Imam berkata: Keluarlah, lihat dan tengoklah apakah engkau melihat adakah dari para teolog di sini.”

Lantas aku pergi keluar dan aku membawa Hamran bin A’yan, Ahwal (Muhammad bin Nu’man yang dikenal dengan Mukmin al-Thaq) dan Hisyam bin Salim. Mereka adalah orang-orang yang telah mengenal ilmu teologi dengan baik. Dan juga aku membawa serta Qais bin Nashir ke hadapan Imam yang menurutku dia adalah orang yang lebih pandai dari semua yang hadir dalam bidang ilmu teologi dan ilmu teologi ini dia dapat dari Imam Ali bin Husein As.

Hisyam bin Hakam yang masih muda juga datang. Imam Shadiq As memberikan tempat kepadanya dan berkata, “Engkau adalah penolong kami, dengan hati, lisan, dan amalmu.”

Kemudian imam berkata kepada Hamran dan Mukmin al-Thaq supaya berdialog dengannya (orang Syam tersebut). Mereka menang atasnya. Kemudian imam berkata kepada Hisyam bin Salim: ? Berdialoglah dengannya! Ia pun berdialog. Kemudian sampailah giliran Hisyam bin Hakam.

Pertama-tama orang Syam tersebut bertanya mengenai imamah Imam Shadiq yang membuat Hisyam murka.
Lantas Hisyam bertanya kepadanya: “Tuhanmu yang melihat indah ciptaan-Nya ataukah hambaNya yang melihat indah ciptaan-Nya?”
“Tuhanku yang melihat lebih indah.”
“Apa yang telah diperbuat untuk mereka?”
“Memberikan hujjah dan dalil sehingga tidak tercerai berai juga memberikan mereka kabar dengan apa yang wajib dari-Nya.”
“Siapakah hujjah tersebut?”
Rasulullah.”
“Dan setelahnya?”
“Kitab dan sunnah.”
“Apakah kitab dan sunnah bermanfaat untuk menyelesaikan perselisihan kita?”
“Iya!”

“Lantas kenapa kita, aku dan engkau satu sama lain saling berselisih? Bukankah engkau datang dari Syam guna berdialog dengan kami?” Orang Syam tersebut terdiam. Di sini imam Shadiq bertanya kepada orang Syam tersebut: “Kenapa engkau tidak berkata?” Orang Syam menjawab: “Jika aku jawab, kita tidak memiliki perselisihan, maka aku telah berdusta. Jika aku katakan kitab dan sunnah akan menyelesaikan perselisihan di antara kita, maka aku telah mengatakan ucapan yang batil, dan jika aku katakan kita memiliki perselisihan maka salah satu dari kita mengklaim kebenaran, dengan begitu faidah kitab dan sunnah akan hilang. Namun saya memiliki dalil yang membantah dari perkataannya.

“Bertanyalah, engkau akan mendapatinya sebagai orang yang mampu dan mengerti,” kata imam.
Orang Syam, “Allah melihat lebih baik dalam perbuatan hamba-Nya ataukah hamba-Nya?”
“Tuhan.”
“Apakah Dia memberikan hujjah untuk mereka, sehingga menyatukan kata mereka dan memberitahukan mereka akan kebenaran dan kebatilan.”
“Di zaman Rasulullah ataukah sekarang ini?”
“Di zaman Rasulullah adalah Rasulullah sendiri, adapun sekarang?”
Hisyam berkata: “Orang ini adalah orang yang disukai dari segala penjuru dan dia akan mengabarkan atas setiap perkara yang engkau inginkan.

Pada akhirnya, orang tersebut menerima imamah Imam Shadiq As. [32]

Perbincangan-perbincangan semacam ini sering kali terjadi antara imam dan para pembangkangnya, sehingga dengan pembahasan-pembahasan ini dapat menunjukkan makam agung imamah dalam keilmuannya dan telah menampakkan kedalaman pengetahuan serta kesuksesan imam kepada para pendialog atas pembahasan-pembahasan teologi mereka.[33]

Imam dan Kebangkitan di Masanya

Di akhir-akhir kekhilafahan Hisyam bin Abdul Malik, merupakan masa yang tepat untuk bangkit menentang Bani Umayyah, dimana memiliki tendensi mazhab. Di penghujung kebangkitan ini, perlu diisyaratkan tentang kebangkitan Zaid bin bin Husein As pada tahun 122 H. dan Yahya bin Zaid pada tahun 125 H, yang memiliki hubungan langsung dengan Imam Shadiq As.

Zaid adalah pamannya dan Yahya adalah anak pamannya, sudah pasti ia peduli terhadap kebangkitan ini. Selain ini, ada juga kebangkitan Abdullah bin Muhammd Baqir As, yang dipimpin oleh saudaranya, dan Abdullah A’raj bin Husein bin Zainal Abidin As, anak pamannya. [34]

Kebangkitan Zaid bin Ali

Imam Shadiq As berkenaan dengan Zaid bin Ali bin Husein berkata, “Dia termasuk orang pintar dan alim keluarga Muhammad Saw; Dia murka karena Allah dan bertempur dengan para musuh sehingga syahid terbunuh.” [35]

Dari kandungan sebagian riwayat-riwayat yang ada, dapat ditemukan bahwasanya kebangkitan Zaid adalah kebangkitan yang disetujui oleh Imam Shadiq As, sebagaimana yang dituturkan Syaikh Shaduq dalam Uyun Akhbār Al-Ridhā: Karena Zaid bin Musa bin Ja’far As telah memberontak di Bashrah dan telah membakar rumah keturunan Abbas, Ma’mun berkata kepada Imam Ridha As: Jika saudaramu, Zaid melakukan demikian, sebelum dia Zaid bin Ali juga telah memberontak dan terbunuh. Jika bukan karena engkau, maka aku akan bunuh dia, karena dia telah melakukan perbuatan yang besar.

Imam berkata: Janganlah kau samakan saudaraku Zaid dengan Zaid bin Ali As! Dia termasuk orang alim di kalangan keturunan keluarga Muhammad. Dia murka karena Allah dan bertempur dengan para musuh sampai syahid terbunuh. Ayahku, Musa bin Ja’far mendengar dari ayahnya, Ja’far bin Muhammad (Imam Shadiq) berkata: “Semoga Allah merahmati pamanku, Zaid! Dia menyeru rakyat kepada seseorang yang diterima dan didukung oleh Ahlulbait. Apabila berhasil, dia pasti akan memenuhi janjinya. Karena, ketika ia hendak memberontak, dia berkonsultasi dulu padaku. Aku katakan padanya: Paman! Bila engkau ingin terbunuh dan digantung di atas tempat sampah Kufah, maka lakukanlah apa yang engkau pikir baik.” [36]

Dalam riwayat lain dituturkan dari Abdullah bin Siyabah: “Kami tujuh orang pergi ke Madinah dan kami menemui Imam Shadiq As. Ia bertanya kepada kami: Kalian mengetahui tentang paman kami?”
Kami berkata: “Telah memberontak atau siap memberontak.”
Imam berkata, “Jika ada kabar sampai kepada kalian, kabarilah aku.”
Beberapa hari kemudian, datanglah surat Bassam Shairafi. Di situ tertuliskan: Zaid pada hari Rabu, bulan Shafar telah memberontak dan terbunuh pada hari Jumat. Kami mendatangi Imam Shadiq As dan kami menyerahkan surat kepadanya. Surat tersebut dibaca kemuidan ia menangis. Lantas ia berkata: “Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rajiun. Aku serahkan pamanku dalam perhitungan Allah. Dia adalah seorang pemuda dunia dan akhirat kami. Demi Allah! Pamanku meninggal dunia dalam keadaan syahid, sebagaimana para syuhada bersama RasulullahAliHasan dan Husein As.” . [37]

Dalam riwayat lainnya, dalam bab pemberontakan sebelum munculnya al-Qaim dituturkan demikian: Janganlah kalian katakan Zaid memberontak (jadikanlah pemberontakannya sebagai tauladan). Zaid adalah seorang yang alim dan jujur. Dia mengajak kalian bukan untuk dirinya sendiri, namun mengajak kepada baiat seseorang yang diterima oleh keluarga Muhammad Saw. Apabila berhasil, dia pasti akan memenuhi janjinya. [38]

Kebangkitan Lainnya

Kebanyakan dari kebangkitan yang ada, tidak mendapatkan persetujuan dari imam. Ia tidak menerima permintaan masyarakat yang telah menjanjikan untuk menolongnya dan mendahulukan penyebaran fikih keluarga Muhammad Saw dan ilmu-ilmu Ahlulbait. Karena mereka yang mengajak Bani Hasyim untuk bangkit kemudian menjanjikan bantuan kepada mereka, kebanyakan mereka semua karena tidak tahan dengan pemerintahan sementara atau mereka menghendaki pemerintahan, bukan karena menghendaki penghilangan bid’ah dan menghidupkan agama Allah. [39]

Ketika ajakan Abbasiyah sudah tersebar di Timur Iran sementara masyarakat yang berada di tempat tersebut yaitu Arab Qahthani juga satu sama lain saling bersatu dan menampakkan permusuhan dengan kekhilafahan Marwaniyah serta menolak para pemimpin yang ditunjuk Marwan. Abu Muslim Nashr Saiyar mengusir pemimpin Khurasan dan mengirim Qahthabah, putra Syaib dari pihaknya untuk menumpas pasukan Marwan bin Muhammad yang sedang menuju ke Khurasan. Dalam peperangan yang terjadi di samping sungai Furat, Qahthabah terbunuh dan para pasukan berbaiat dengan putranya, Hasan. Qahthabah sebelum meninggal, mengatakan kepada pasukannya: Karena kalian telah memasuki Kufah, maka datangilah Abu Salamah Khilal dan taatilah ucapannya.

Hasan dengan pasukannya pada bulan Muharram 130 H. mendatangi Kufah. Pada hari ini Ibrahim al-Imam pengklaim Abbasiyah meninggal di penjara. Sebelum meninggal mengatakan kepada pangikutnya supaya pergi ke Kufah dan mentaati Abul Abbas Saffah.

Abul Abbas pada bulan Shafar tahun 132 pergi ke Kufah bersama keluarganya. Abu Salamah menempatkan mereka di rumah Walid bin Sa’ad yang termasuk pelindung dan pengayom Bani Hasyim, sebagaimana yang telah dituliskan. Kedatangan mereka selama 40 hari disembunyikan dari masyarakat [40]. Dan setiap mereka bertanya tentangnya: Siapakah yang menjadi imam? Berkali-kali mengatakan: Janganlah terburu-buru. Dia hendak menyerahkan kepemimpinan kepada keturunan Abu Thalib[41]

Ya’qubi menulis, Abu Salamah menyembunyikan kedatangan Abul Abbas Saffah dan orang-orangnya ke Kufah. Dalam waktu ini ia menulis surat kepada Ja’far bin Muhammad (Imam Shadiq) dan imam menjawab, apa yang mereka inginkan bukanlah aku. Demikian juga Abu Salamah menulis surat kepada Abdullah bin Hasan dan dia menjawab aku orang yang sudah lanjut usia. Anakku Muhammad lebih layak akan hal ini dan mengirimkan pesan kepada orang-orangnya supaya berbaiat dengan putranya, Muhammad. Ini adalah surat Abu Salamah yang dikirim untukku.

Ja’far bin Mumammad As berkata kepadanya: “Wahai Syaikh! Janganlah kau tumpahkan darah putramu! Saya kawatir ia terbunuh di Ahjar al-Zait (tempat di luar Madinah, yang akhirnya menjadi tempat pembunuhan Muhammad).” [42]

Mereka menuliskan, ketika menginginkan jawaban surat Abu Salamah yang dikirim untuk Imam Shadiq, imam mengambil lentera dan membakar surat tersebut seraya berkata: “Ini adalah jawaban suratmu.”
Kenapa imam Shadiq tidak menjawab undangan Abu Salamah dan membakar suratnya? Karena undangan Abu Salamah adalah undangan politik, bukan karena Imam Shadiq As adalah seorang imam yang wajib ditaati. Karena jika demikian, tidak seharusnya dia menulis surat lain untuk Abullah bin Hasan dan memintanya supaya menerima kepemimpinan pasukannya.

Peristiwa lainnya adalah, Kulaini dengan sanadnya menulis dari Sudair Shairafi; aku menemui Abu Abdillah dan aku katakan kepadanya: “Demi Allah! tidak sepantasnya engkau tidak bangkit!”
“Kenapa?”
“Karena engkau banyak sekali memiliki teman, Syiah, dan penolong. Demi Allah, jika Ali memiliki Syiah dan pecinta seukuranmu, mereka tidak akan mengambil haknya.”
Imam bertanya: “Sudair! Jumlah mereka berapa orang?”
“Seratus ribu orang!”
“Seratus ribu orang?
“Iya, dan bahkan dua ratus ribu.”
“Dua ratus ribu?”
“Iya, dan separoh dunia.”
Abu Abdillah terdiam. Kami berjalan lewat di samping tempat peternak kambing.
Dia berkata: “Wahai Sudair! Demi Allah jika saya memiliki Syiah seukuran kambing ini, ketidakbangkitanku bukanlah hal yang tidak pantas untukku.”

Kemudian kami turun dan melaksanakan salat. Setelah salat aku menghitung kambing yang jumlahnya 17 ekor. [43]

Mutiara Hadis

  • Seseorang dari imam meminta untuk mengajarkan kepadanya secara singkat supaya bisa menghantarkannya pada kebaikan dunia dan akhirat, imam berkata: “Janganlah engkau berdusta.” [44]
  • Seklompok orang bertanya kepadanya (imam); Mengapa Allah mengharamkan riba? Ia menjawab: “Supaya masing-masing warga masyarakat tidak mencegah pemberian satu dengan yang lainnya.” [45]
  • Jika seseorang butuh kepadaku, maka akan aku selesaikan hal itu dengan segera, jangan sampai dia tidak membutuhkannya lagi atau aku melakukannya akan tetapi dengan penundaan dianggap terlambat.” [46]
  • Para fakih adalah kepercayaan para nabi, karena kalian melihat para fakih mendatangi kediaman para pemilik kekuasaan, maka tuduhlah mereka (janganlah kalian anggap mereka jujur). [47]

Para Sahabat

Para ahli sejarah menulis, murid-murid imam mencapai empat ribu orang dan yang maksud adalah orang-orang yang menimba ilmu pada masa penyampaian ceramah dan tausiah imam, bukan keseluruhan dari mereka yang setiap hari hadir di hadapan imam. Penulis Kasyful Ghummah menulis, jumlah para Tabi’in yang meriwayatkan darinya antara lain adalah, Yahya bin Sa’id Anshari, Ayyub Sakhtiyani, Aban bin Taghlib, Abu Amr bin al-‘Ala dan Yazid bin Abdullah dan dari para imam yang meriwayatkan dari beliau seperti, Malik bin Anas, Syu’bah bin al-Hajjaj, Sufyan Tsauri, Ibn Jarih, Abdullah bin Amr, Ruh bin Qasim, Sufyan bin ‘Uyainah, Sulaiman bin Bilal, Ismail bin Ja’far, Hatim bin Ismail, Abdul Aziz bin Mukhtar, Wahab bin Khalid, dan Ibrahim bin Thuhman. . [48]Jabir bin Hayan Kufi juga dikategorikan sebagai salah seorang murid beliau. [49]

Ucapan Para Pemuka Ahlusunnah Tentangnya

Ibnu Hajar Asqalani mensifatinya demikian: Al-Hasyimi al-Alawi, Abu Abdillah Al-Madani al-Shadiq. . [50] Di situ juga ditulis bahwa, Ibnu Hibban mengatakan, “Dalam fikih, ilmu, dan keutamaan berasal dari keturunan Ahlulbait As.” [51]
Ibnu Hajar Haitami, salah seorang ulama Ahlusunnah mengatakan, “Kebanyakan masyarakat menukil ilmu darinya, yang mana ketenarannya sampai ke seluruh penjuru kota. Para imam besar seperti Yahya bin Sa’id, Ibnu Juraih, Malik, Sufyan bin ‘Uyainah, Sufyan Tsauri, Abu Hanifah, Syu’bah bin Hajjaj, Ayyub Syakhtiyani meriwayatkan darinya.” [52]

Catatan Kaki

  1. Al-Mufid, 1380 H, hlm. 526-527.
  2. Syahidi, 1384, hlm. 4.
  3. Ibid., hlm. 61.
  4. Manāqib, jld. 4, hlm. 280; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 85.
  5. Syahidi, 1384, hlm. 3.
  6. Ibid., hlm. 5.
  7. Al-Mufid, 1380 S, hlm. 526-527.
  8. Ibid.,
  9. Kasyful Ghummah, jld. 2, hlm. 155; dinukil dari Syahidi, 1348, hlm. 4.
  10.  Al-Ma’ārif, hlm. 215; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 4.
  11. Al-Thabarsi, 1417 Q, hlm. 514.
  12. Bihār, jld. 47, hlm. 1-2; dinukil dari Syahidi, 1348, hlm. 85.
  13. Manāqib, jld. 4, hlm. 280; dinukil dari Syahidi, 1348, hlm. 85.
  14. Syahidi, 1348, hlm. 85-86.
  15.  Al-Mufid, 1380 S, hlm. 53.
  16. Ibid., hlm. 553.
  17. Al-Thabarsi, jld. 1, 1417 H.Q, hlm. 546.
  18. Al-Mufid, 1380 S, hlm. 553-554.
  19. Ibid., hlm. 527.
  20. Al-Thabarsi, jld. 1, 1417 H.Q, hlm. 514.
  21. Rujuklah: Al-Mufid, 1380 H.S, hlm. 526-527.
  22. Al-Mufid, 1380 S, hlm. 527-528.
  23. Syahidi, 1387, hlm. 60.
  24. Ibid., hlm. 47.
  25. Ibid., hlm. 61.
  26. Ahmad bin Hajar Haitami, 1385, hlm. 201.
  27. Kasyful Ghummah, jild. 2, hlm. 166; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 61.
  28. Tazkirah Al-Khuffādz, jld. 1, hlm. 166; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 61.
  29. Syahidi, 1384, hlm. 60-61.
  30. QS. Al-A’raf: 21
  31. Al-Akhbār al-Muwaffaqiyāt, hlm. 76-77; Hilyah al-Auliyā, jld. 3, hlm. 197; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 62.
  32. Ushul Kāfi, jld. 2, hlm. 171-173; Manaqib, jild. 2, hlm. 243-244; Kasyful Ghummah, jild. 2, hlm. 173-175; I’lām al-Wara, hlm. 280-283; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 55-57.
  33. Syahidi, 1384, hlm. 57.
  34. Paketci, Ahmad, Ja’far Shādiq As, Imam, dalam Dairatu al-Ma’arif Buzurg Islami, jld. 18, hlm. 183.
  35. Uyun Akhbar al-Ridhā, hlm. 15; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 26.
  36. Uyun Akhbar al-Ridhā, jild. 1, hlm. 194-195; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 37.
  37. Uyun Akhbar al-Ridhā, jild. 1, hlm. 197; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 38.
  38. Raudhah al-Kāfi, hlm. 264; Wasāil al-Syiah, jld. 11, hlm. 36; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 38.
  39. Syahidi, 1384, hlm. 34.
  40. Al-Kāmil, jld. 5, hlm. 409; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 34-35.
  41. Syahidi, 1384, hlm. 35.
  42.  Tārῑkh Ya’qubi, jld. 3, hlm. 86; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 35.
  43.  Ushul al-Kāfi, jld. 2, hlm. 242-243; Syahidi, 1384, hlm. 34-37.
  44.  Syahῑdi, 1384, hlm. 102.
  45. Ibid., hlm. 103.
  46. Uyun Akhbār al-Ridhā, jild. 3, hlm. 175; dinukil dari Syahῑdi, 1384, hlm. 103.
  47. Hilyah al-Auliyā, jld. 3, hlm. 196; dinukil dari Syahῑdi, 1384, hlm. 106.
  48. Kasyful Ghummah, jld. 2, hlm. 186; Hilyah al-Auliyā, jld. 3, hlm. 198-199; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 65.
  49. Syahῑdi, 1384, hlm. 65.
  50. Tahdzib al-Tahdzib, Ibn Hajar Asqalani, Haidar Ābād, Matba’ah Nidzamiyah, 1325 H.Q, jild. 2, hlm. 103; dinukil dari Syahidi, 1384, hlm. 4.
  51. Tahdzib al-Tahdzib, hlm. 104; dinukil dari Syahidi, Sayid Ja’far, 1384, hlm. 4.
  52. Ahmad bin Hajar al-Haitami, 1385 H.Q, hlm. 201.

Daftar Pustaka

  • Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, jld. 2, Haidar Abad, cetakan Nidzamiyah, 1325 Q.
  • Ahmad bin Hajar al-Haitami, Al-Shawāiq al-Muhriqah, Maktabah al-Qahirah, 1385 Q.
  • Paketci, Ahmad, Ja’far Shādiq (As), Imam, di Dāirah al-Ma’ārif Buzurg Islāmi, di bawah pengawasan Kadzim Musavi Bujnurdi, jld. 18, Tehran, Markas Dāirah Buzurg Islāmi, 1389 S.
  • Syahidi, Sayid Ja’far, Zendeghāni Imām Shādiq Ja’far bin Muhammad (As), Tehran, Daftar Nasyr Farhangg Islāmi, 1384 S.
  • Shaduq, Uyun Akhbār al-Ridhā (As), ter. Ali Akbar Ghaffāri, jld. 2, Tehran, Nashr Shaduq, 1373 S.
  • Al-Shaduq, Man Lā Yahdhur al-Faqih, jld. 4, Qum, Mu’assasah al-Nasyr al-Islāmi, 1404.
  • Al-Thabarsi, Al-Fadhl bin al-Hasan, I’lām al-Wara bi A’lām al-Huda, Tahkik Muassasah Āl al-Bait li Ihyā al-Turāts, Qum, Muassasah Āl al-Bait li Ihyā al-Turāts, jld. 1, 1417 H.
  • Al-Mufid, Al-Irsyād, Terjemah dan Syarah Persia, Muhammad Baqir Sā’idi, verifikasi, Muhammad Baqir Behbudi, tanpa tempat, Intisyārāt Islāmi, 1380 S.


(Syiah-Ali/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: