Oleh : Luthfi Bashori
Beberapa tahun belakangan ini, semakin banyak kitab, buku, artikel, atau postingan di internet yang memuat kalimat : “disahihkan oleh Syaikh Al-Albani”. Padahal, di era sebelumnya, umat Islam hanya mengenal istilah seperti: diriwayatkan oleh Syaikhan (Imam Bukhari dan Imam Muslim) atau diriwayatkan oleh Imam Bukhari, sahih Bukhari, sahih Muslim dan yang semisalnya dari Imam-imam Muhaddits yang mu’tabar (kredibel).
Dengan munculnya nama al-Albani yang dianggap sebagai ahli hadits abad ini, maka muncul istilah baru yang jadi icon, yaitu jika ada sebuah hadits yang sudah dapat stempel: disahihkan oleh Al-Albani, seakan-akan sudah ‘jaminan mutu’ kebenaran hadits tersebut oleh masyarakat awwam.
Bahkan golongan Wahhabi Salafi mengganggap al-Albani itu kedudukannya se-derajad dengan Imam Bukhari pada zamannya. Sehingga semua hadits bila telah dishahihkan atau dilemahkan dan sebagainya, oleh al-Albani ini, sudah pasti kebenaran.
Padahal banyak para pakar hadits di era modern ini, sebut saja Syeikh Assayyid Hasan Ali Assegaf, yang menyebutkan dalam kitabnya, Tanaqudhat al-albani, beliau menemukan banyaknya kontradiksi dari hadits-hadits dan catatan-catatan
Di samping itu masih banyak para Ulama dewasa ini yang ikut membantah kredibilitas al-Albani, di antaranya:
1. Muhaddits dataran Syam Syekh Abdullah alHarari.
2. Muhaddits dataran Maroko Syekh Abdullah al Ghammari
3. Muhaddits dataran India Syekh Habiburrahman al A’zhami
4. Mantan Menteri Urusan Agama dan Wakaf Uni Emirat Arab Muhammad bin Ahmad al Khazraji
5. Mantan Ketua Umum MUI Prop. DKI Jakarta K.H. M. Syafi’i Hadzami.
Namun kaum Wahhabi tetap saja secara fanatik, menjulukinya sebagai Al-Imam Al-Mujaddid Al ‘Allamah Al-Muhaddits Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani. Sedang Al-Albani sendiri adalah seorang tukang jam yang dilahirkan di kota Ashkodera, negara Albania tahun 1914 M dan meninggal dunia pada tanggal 21 Jumadil Akhirah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania.
Pada masa hidupnya, sehari-hari dia berprofesi sebagai tukang reparasi jam. Dia memiliki hobi membaca kitab-kitab khususnya kitab-kitab hadits, tetapi tidak pernah berguru kepada guru hadits yang ahli dan tidak pernah mempunyai sanad yang diakui dalam Ilmu Hadits.
A-Albani tidak menyelesaikan pendidikan formal yang tinggi, kecuali hanya menyelesaikan sekolah madrasah ibtidaiyah. Kemudian meneruskan ke madarasah An-Nizhamiyah. Dia sendiri mengakui bahwa sebenarnya dia tidak hafal sepuluh hadits dengan sanad muttashil (bersambung) sampai kepadas Rasulullah SAW, meskipun begitu dia berani “Mentashih dan Mentadh’ifkan” hadits sesuai dengan kesimpulannya sendiri, namun banyak bertentangan dengan kaidah para ulama salaf ahli hadits.
Para muhaddits salaf bersepakat bahwa sesungguhnya keahlian “Mentashih dan Mentadh’ifkan” suatu hadits itu, adalah tugas para hafidz (ulama yang hapal sekurang-kurang
Setidaknya ada tiga syarat bagi “Pentashih dan Pentadh’if” hadits menurut Imam Ibnu Hajar al Asqallani:
1 – Masyhur dalam menuntut ilmu hadits dan mengambil riwayat dari lisan para ulama, bukan semata-mata membaca kitab-kitab hadits saja.
2 – Mengetahui dengan jelas Thabaqat generasi periwayat dan kedudukan mereka
3 – mengetahui Jarah dan ta`dil dari setiap periwayat, dan mengenal mana hadit yang shahih atau yang Dhaif, sehingga apa yang dia ketahui lebih banyak dari pada yang tidak diketahuinya, juga menghapal banyak matan haditsnya.
Bukan sekedar itu ketidaksesuaian
Tatkala Imam Bukhari mentakwili ayat mutasyabihat yaitu Firman Allah كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَه yang artinya: “Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya”. Berkata Imam Bukhari: ”Makna (lafadz wajah-Nya) adalah mulkuhu (kerajaan/
Ternyata al-Albani menentang keras dan berkata هذا لا يقوله مسلم مؤمن yang artinya: “Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang muslim yang beriman “. Lihatlah kitab Fatawa Al-Albani, m/s 523. Tentu saja ucapan al-Albani ini mempunyai makna pengkafiran terhadap Imam Bukhari.
Contoh lain dari kesesatan al-Albani, dalam kitabnya Sifat Shalatun Nabi, hal. 143, ia mengatakan bahwa dalam Tasyahud shalat, hendaknya membaca السلام على النبي (keselamatan atas diri nnnnNabi) sebagai ganti dari ucapan yang umum dilakukan oleh umat Islam السلام عليك أيها النبي, (semoga keselamatan atas dirimu, wahai Nabi).
Ternyata al-Albani tidak paham bahwa Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar bin Khaththab dan Sayyidina Abdullah bin Zubair telah mengajarkan ucapan Tasyahud kepada umat Islam di atas mimbar, setelah Nabi SAW wafat yaitu السلام عليك أيها النبي و رحمة الله و بركاته (semoga salam sejahtera, rahmat dan berkah Allah semoga tetap tercurahkan atas dirimu, wahai Nabi). Saat itu, tidak ada seorang pun dari para shahabat yang mengingkari ajaran beliau bertiga itu.
Namun seakan-akan al-Albani lebih paham dibanding Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar bin Khaththab dan Sayyidina Abdullah bin Zubair terhadap ajaran agama, bahkan ia berani menyalahkan para shahabat tersebut.
(Makalah ini disampaikan pada kegiatan Kajian Keislaman di Ponpes Sidogiri, Pasuruan Jawa Timur, November 2015).
Sumber: http://pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=1091#.dpuf
(Pejuang-Islam/Santri/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email