Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Imam Muhammad Al Baqir As. Show all posts
Showing posts with label Imam Muhammad Al Baqir As. Show all posts

Apakah Manusia dapat Memiliki Sifat yang Serupa dengan Sifat Tuhan?


Begitu banyak sifat Tuhan yang dari aspek makna dan arti adalah sama dengan sifat-sifat makhluk, namun hakikat yang ada di sisi Tuhan berbeda dengan sesuatu yang ada pada manusia. Dengan demikian dari aspek hakikat eksternal eksistensinya sangat jauh berbeda satu sama lain.

Salah satu doa yang terbaik di bulan Ramadan adalah doa Sahar yang dibaca oleh Imam Baqir As di waktu-waktu sahar bulan Ramadan dan mereka pun menasehatkan dan memotivasi orang lain untuk membacanya. Beliau bersabda tentang doa ini, “Jika manusia memahami kebesaran dan keagungan doa ini dan mengetahui begitu cepatnya diijabah dan dikabulkan, maka ia akan berusaha meraihnya walaupun harus berperang dengan pedang. Aku bersumpah kepada Tuhan yang nama Agung Ilahi terdapat di doa ini, karena itu berupayalah membaca doa ini dan sembunyikanlah dari orang yang tidak layak dan kaum munafik.”

Dalam hal ini kita akan berdialog dengan Hujjatul Islam Ali Syah Ali Zadeh, Pakar dan Peneliti Tafsir dan Ilmu Al-Quran, tentang penafsiran beberapa paragraf tertinggi doa ini.

Sifat Tuhan itu terbagi dua, sifat zat dan sifat perbuatan. Sifat perbuatan misalnya karena Tuhan memberikan rezeki atau memberikan penyembuhan maka kita katakan Dia Maha Pemberi Rezeki (رازق) atau Maha Menyembuhkan (شافی). Begitu pula Dia Yang Maha Menghidupkan (محیی) dan Maha Mematikan (ممیت). Namun walaupun tidak melakukan perbuatan-perbuatan ini, Dia tetap tersifat dengan sifat-sifat ini.

Sifat zat adalah suatu sifat yang terkait dengan zat Tuhan. Jika Dia tidak melakukan suatu perbuatan pun maka Dia tetap tersifat dengan sifat ini misalnya keazalian dan keabadian Tuhan.

Sebagian sifat juga sekaligus merupakan sifat zat dan perbuatan seperti Yang Mahaagung (عظیم) dan Yang Mahakuasa (قدیر). Sifat Yang Mahaagung di dalam al-Quran juga dinisbahkan kepada Tuhan dan kepada yang lain.

Para pendoa dengan menyaksikan keagungan dan kebesaran makhluk akan menyadari bahwa tingkatan tertinggi dari manifestasi Ilahi terdapat pada wujud Rasulullah saw dan Ahlulbaitnya. Mereka adalah al-quran yang berbicara (ناطق), bukanlah Allah Swt berfirman, “Dan al-Quran yang maha agung (والقران العظیم).”

Rasulullah saw dan Ahlulbaitnya adalah al-Quran yang berbicara dan predikasi al-Quran dengan sifat yang maha agung (عظیم) pada hakikatnya adalah milik yang disifatkan yakni al-Quran. Atau tentang Rasulullah saw difirmankan, “Sesungguhnya Engkau memiliki akhlak yang maha agung (انک لعلی خلق عظیم).” Hal ini menunjukkan bahwa derajat tertinggi dari keagungan Ilahi terdapat pada diri Rasulullah saw dan Ahlulbaitnya.

Dalam doa Sahar, “Ya Ilahi aku memohon kepada-Mu dari keagungan-Mu melalui yang paling agungnya keagungan (اَللّهُمَّ اِنّي اَسْئَلُكَ مِنْ عَظَمَتِكَ بِاَعْظَمِها).” Yakni, saya harus meminta bantuan dan bertawassul kepada manifestasi tertinggi dari keagungan Ilahi di antara makhluk supaya kebutuhanku dapat terpenuhi.

Kemudian dipahami bahwa seluruh perbedaan secara kuantitas dan kualitas terletak pada manifestasi keagungan Ilahi yakni terkait dengan makhluk, namun sumber eksistensi makhluk dan keagungan mereka adalah eksistensi Tuhan dan keagungan-Nya yang merupakan hakikat tunggal yang tidak memiliki tingkatan. Karena itu dalam kelanjutan doa dikatakan, “Dan segenap (manifestasi-manifestasi) keagungan-Mu (di antara makhluk-makhluk) adalah Mahaagung (وَكُلُّ عَظَمَتِكَ عَظَيمَةٌ) (karena sumber dari semuanya adalah keagungan-Mu).”

Ketika sampai pada makrifat tersebut, kita mengucapkan, “Ya Ilahi aku memohon kepada-Mu dengan (perantaraan) segenap keagungan-Mu.”

(Shabestan/ABNS)

Bagaimana mushaf Al-Qur’an yang dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib as?


Oleh: Ja’far Subhani

Bagaimana Ali bin Abi Thalib as mempunyai Mushaf yang terpisah dan berbeda?
Kita harus perjelas dua masalah di bawah ini: pertama, apa yang dimaksud dengan Mushaf Ali bin Abi Thalib as? kedua, apa yang dimaksud dengan Kitab Ali bin Abi Thalib as?

Yang dimaksud dengan Mushaf Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as adalah pengumpulan Al-Qur’an berdasarkan “urutan turunnya” (tartib nuzul). lbnu Nadim di dalam kitab Fihrist-nya menuliskan, ‘Amirul Mukminin Ali as merasakan bahwa masyarakat pada waktu itu memandang wafatnya Nabi Muhammad Saw sebagai pertanda buruk bagi masa depan Islam dan Muslimin, maka beliau bersumpah untuk tidak meletakkan kain rida-nya ke bawah kecuali setelah berhasil mengumpulkan seluruh ayat Al-Qur’an. Dalam waktu tiga hari beliau berhasil mengumpulkan seluruh ayat Al-Qur’an dan membawanya ke masjid.’[1]

Ya’qubi menuliskan, ‘Sepeninggal Nabi Muhammad Saw, Ali bin Abi Thalib as mengumpulkan Al-Qur’an dan membaginya dalam tujuh bagian. Ketika itulah beliau mengingatkan tujuh bagian Al-Qur’an berikut surat-surat yang terkandung di dalamnya.’[2]

Ketelitian daftar yang diterangkan oleh Ya’qubi mengenai Al-Qur’an Ali bn Abi Thalib as itu membuktikan bahwa tidak ada sedikit pun perbedaan antara Al-Qur’an tersebut dan Al-Qur’an yang sekarang populer dari sisi jumlah surat, dan kalau pun ada perbedaan antara dua Al-Qur’an itu tiada lain dari sisi pola pengumpulan surat-suratnya.

Jika memang Mushaf itu betul-betul nyata, tetap saja tidak ada sedikit pun pertentangan dengan kesucian Al-Qur’an dari tahrif atau distorsi, bukan hanya Amirul Mukminin Ali as yang mengumpulkan Al-Qur’an sesuai dengan bentuk yang dia maksudkan, melainkan Mushaf Abdullah bin Abbas juga mempunyai perbedaan yang serupa dengan Al-Qur’an yang populer sekarang.

Kitab Amirul Mukminin Ali as adalah sesuatu yang ditulisnya pada masa hidup Nabi Muhammad Saw. Beliau menuliskan segala hukum halal dan haram serta hal-hal lain yang beliau simak dari Rasulullah Saw. Maka kumpulan hadis yang dia simak dari Rasulullah Saw dan dia tulis berdasarkan dikte beliau disebut dengan Kitab Ali, dan kitab ini berpindah dari tangan ke tangan di antara keluarga suci Nabi Saw, dan terkadang Imam Muhammad Baqir as serta Imam Ja’far Shadiq as menjelaskan sebagian hukum Islam dengan merujuk pada hadis-hadis yang tertera di dalamnya.

Najasyi, ulama rijal Syi’ah, di dalam biografi Muhammad bin Adzafir Shairufi meriwayatkan dari bapaknya, ‘Suatu ketika aku berada di sisi Imam Muhammad Baqir as bersama Hakam bin Utaibah, Hakam tak henti-hentinya bertanya kepada imam as dan beliau pun menjawabnya satu persatu, tapi pada suatu persoalan terjadi perbedaan pendapat di antara mereka sehingga beliau berkata kepada putranya Imam Ja’far Shadiq as, ‘Putraku! Bangunlah dan ambilkan Kitab Ali as. Imam Shadiq as pergi lalu keluar dari dalam rumah dengan membawa buku besar diikat seperti gulungan. Kemudian, Imam Baqir as menemukan poin yang dimaksudkan seraya berkata kepada Hakam bin Utaibah, ‘Ini adalah tulisan tangan Ali as hasil dikte Rasulullah Saw.’ Kemudian beliau melihat ke arahnya seraya berkata, ‘Kemana pun engkau dan temanmu Salamah bin Kuhail serta teman lainmu Abul Miqdam pergi tidak akan menemukan ilmu yang lebih kuat dari ilmu orang-orang yang didatangi oleh Malaikat Jibril.’[3]

Menurut hadis lain, Kitab Ali as ini sepanjang tujuh puluh dzira’ dan setebal pahak unta. Kitab ini berupa gulungan yang diikat.

Selain kitab itu, Amirul Mukminin Ali as juga mempunyai kitab lain bemama Shahifah yang memuat hukum-hukum tentang diyah, dan banyak sekali hadis dari kitab ini yang dinukil oleh buku-buku hadis.
Peneliti temama Almarhum Mirza Ali Miyanaji meneliti hadis-hadis Shahifah Ali as yang terdapat di dalam buku-buku hadis dan mengumpulkannya dalam satu kitab.[4] Kami juga secara terperinci telah membahas tentang Kitab Ali as dan Shahifah beliau di dalam kitab Tarikh Al-Fiqh Al-lslami wa Adwaruh.[5]

Poin akhir yang ingin kami ingatkan di sini adalah, Amirul Mukminin Ali as dan keturunan suci serta Syi’ahnya sejak hari wafat Rasulullah Saw melakukan penulisan, pembukuan dan penjagaan terhadap hadis beliau Saw dan tidak mempedulikan larangan politis pemerintah atas penulisan hadis, padahal larangan politis itu berlangsung sejak itu sampai seratus tahun setelahnya. Ini adalah sebuah realitas yang telah kami bahas pula secara terperinci pada tempatnya sendiri.

Referensi:
[1] Tarikh Al-Qur’an, hal. 76, karya Abu Abdillah Zanjani (1360 H), terbitan Kairo, dengan pengantar dari Ahmad Amin Mesri.
[2] Tarikh Ya’qubi (Ibnu Wadhih Akhbari), jld. 2, hat. 126.
[3] Rijal Najasyi, no. Biografi 967.
[4] Makatib Al-Rosul, jld. 1, hal. 66-71.
[5] Tarikh Al-Fiqh Al-lslami wa Adwaruh, hal. 118.

Imam Shadiq, Ufuk Kecemerlangan


Imam Jakfar Shadiq as dilahirkan pada hari Jumat, 17 Rabiul Awal 83 H di kota Madinah, dan beliau syahid pada 25 Syawal 148 H. Ayah Imam Shadiq adalah Imam Muhammad al-Baqir as. Lembaran sejarah kehidupan beliau merupakan periode yang dipenuhi berbagai peristiwa penting dalam sejarah Islam. Perebutan kekuasaan antara Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiah memicu beragam problematika sosial dan politik di tengah masyarakat.

Di luar gejolak politik yang panas, ketika itu berbagai pemikiran merasuki masyarakat Islam. Umat Islampun menyambut berbagai gelombang pemikiran dan budaya asing yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Bersamaan dengan berkembangannya pengajaran berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti kedokteran, astronomi, fisika, matematika dan disiplin ilmu lainnya, umat Islampun menyerap berbagai ideologi pemikiran dari luar, termasuk yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam situasi dan kondisi demikian, Imam Shadiq tampil meluruskan keyakinan umat Islam yang telah menyimpang melalui berbagai kajian ilmiah seperti diskusi dan debat ilmiah. Beliau menunjukkan kelebihan Islam dibandingkan berbagai aliran pemikiran dengan argumentasi dan logika yang kokoh.

Ketidaklayakan para khalifah Bani Abbasiah dan rendahnya komitmen mereka terhadap Islam, serta ketidakpeduliannya terhadap kepentingan rakyat, menimbulkan kekacauan di kalangan masyarakat Islam. Saat itu, pemikiran ateisme tersebar luas di tengah masyarakat, sementara para mubaligh pun kebanyakan hanya menjadi juru bicara pemerintah. Khalifah Bani Abbasiah yang tidak berbeda dengan bani Umayah, hanya memanfaatkan agama untuk mencapai tujuannya. Dengan gerakan yang jelas dan terarah, Imam Shadiq as memurnikan keyakinan dan pemikiran Islam dari penyimpangan yang berkembang di masyarakat kala itu. Beliau menjawab berbagai keraguan masyarakat tentang agama dan menjelaskan pokok-pokok penting pengetahuan agama dan ilmu-ilmu al-Quran dengan metode ilmiah.

Imam Shadiq as mendidik murid-murid besar di antaranya Hisyam bin Hakam, Muhammad bin Muslim dan Jabir bin Hayan. Sejarah menyebutkan bahwa murid-murid Imam Shadiq as mencapai 4000 orang. Sebagian dari mereka memiliki berbagai karya ilmiah yang tiada tara di zamannya. Misalnya Hisyam bin Hakam menulis 31 buku. Jabir bin Hayan menulis lebih dari 200 buku dan pada abad pertengahan, karya tersebut diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa. Mufadhal juga merupakan salah satu murid terkemuka Imam Shadiq as yang menulis buku "Tauhid Mufadhal".

Imam Shadiq memainkan peran penting dalam gerakan pemikiran dan budaya al-Quran. Beliau juga mengajarkan dengan baik kedudukan Ahlul Bait Rasulullah sebagai imam umat Islam. Imam mengajak manusia untuk merenungi ayat al-Quran. Terkait hal ini, Imam Shadiq berkata, "Quran merupakan cahaya petunjuk seperti pelita di malam hari. Maka orang-orang yang berpikir harus mengkajinya dengan teliti."

Ketika al-Quran berada di tangannya, Imam Shadiq dalam sebuah munajat dan doa memohon kepada Allah swt, "Ya Allah aku bersaksi bahwa al-Quran adalah dari-Mu yang turun kepada Rasulullah. Al-Quran adalah kalam-Mu yang disampaikan Rasulullah. Ya Allah, jadikanlah memandang Quran sebagai ibadah, dan terimalah bacaanku dan tafakurku. Engkau Maha Rahman dan Rahim." (Bihar al-Anwar jilid 82 hal, 207)

Imam Shadiq menegaskan peran Ahlul Bait Rasulullah dalam pemahaman dan penafsiran al-Quran. Beliau juga menyerukan umat Islam untuk menyelami lautan penegetahuan yang terkandung dalam al-Quran. Imam menjelaskan makna dan tafsir yang jelas mengenai imamah dan mengajak manusia untuk mengenal imam zamannya.

Khalifah Abbasiah melakukan berbagai cara untuk menjatuhkan kedudukan Imam Shadiq di mata masyarakat. Dengan beragam cara liciknya mereka berusaha mendekati Imam Shadiq as. Suatu hari penguasa Abbasiah Mansur Dawaniqi dalan surat yang dilayangkan kepada Imam Shadiq menulis, "Mengapa tidak mengunjungi majlis kami seperti kebanyakan orang lain ?" Imam Shadiq menjawab, "Kami tidak mengkhawatirkan kehilangan dalam urusan duniawi sehingga kami harus takut kepadamu. Dalam urusan spiritual tidak ada yang bisa aku harapkan darimu."

Mansur dalam surat balasannya menulis, "Kemarilah, nasihatilah kami !" Imam Shadiq yang mengetahui motif busuk Mansur memjawab, "Pencinta dunia yang takut kehilangan dunianya tidak akan menasehatimu, dan orang yang mengharapkan akhirat tidak akan mendatangi orang sepertimu." (Ushul Kafi jilid 1)

Imam menggunakan lisan dan tulisan dalam perlawanan menghadapi penguasa lalim. Sejarah membuktikan, jika beliau memiliki pasukan yang kuat dan pemberani, tentu saja manusia mulia itu akan mengangkat senjata menghancurkan rezim lalim di zamannya.

Setiap kali ada kesempatan, Imam Shadiq as selalu melakukan perlawanan terhadap pemimpin zalim dengan senjata ilmu dan penanya. Imam berkata, "Barang siapa yang memuji pemimpin zalim dan tunduk di hadapannya agar mendapatkan keuntungan dari pemimpin tersebut, maka ia akan berada dalam kobaran api neraka bersama pemimpin zalim itu". Di luar itu, Imam Shadiq melihat lemahnya pemikiran dan budaya umat Islam sebagai prioritas perjuangannya. Untuk itulah beliau memfokuskan dakwahnya untuk memperkuat keyakinan keagamaan umat Islam.

Abu Hanifah, pemimpin mazhab Hanafi mengungkapkan kalimat indah tentang keagungan Imam Shadiq as. Abu Hanifah sendiri merupakan cendekiawan yang terkenal di masa itu. Suatu hari Khalifah Mansur yang begitu dengki dengan keagungan Imam Shadiq as mengusulkan kepada Abu Hanifah untuk menggelar ajang debat dengan Imam Shadiq. Khalifah meminta Abu Hanifah merancang pertanyaan yang sulit sehingga dengan cara itu pamor Imam Shadiq as diharapkan akan turun ketika tak bisa menjawabnya.

Abu Hanifah mengatakan, "Aku telah siapkan 40 pertanyaan yang sulit kemudian aku menemui Mansur. Saat itu Imam Shadiq as juga berada dalam pertemuan tersebut. Ketika melihatnya aku begitu terpesona hingga aku tidak bisa menjelaskan perasaanku di waktu itu. 40 masalah aku tanyakan kepada Jakfar bin Muhammad. Beliau menjelaskan masalah tersebut tidak hanya dari pandangannya sendiri namun ia mengungkapkan pandangan berbagai mazhab. Di sebagian masalah ada yang sepakat dengan kami dan sebagian bertentangan. Terkadang beliau menjelaskan pula pandangan yang ketiga. Ia menjawab 40 soal yang aku tanyakan dengan baik dan terlihat sangat menguasainya hingga aku sendiri terpesona oleh jawabannya. Harus kuakui, tidak pernah kulihat orang yang lebih faqih dan lebih pandai selain Jakfar bin Muhammad. Selama dua tahun aku berguru padanya. Jika dua tahun ini tidak ada, tentu aku celaka".

Khalifah Mansur pun merasakan posisinya makin terancam. Lalu, ia meracuni Imam Shadiq as hingga akhirnya beliau gugur syahid pada 25 Syawal 148 H.

Di akhir acara ini, kita mengambil berkah dari petuah mulia Imam Shadiq. Beliau berkata,"Muslim yang mengenal kami (Ahlul Bait) adalah orang yang ilmunya bertambah setiap hari, dan selalu melakukan introspeksi dirinya. Ketika melihat kebaikan, ia selalu meningkatnya. Namun ketika melihat dosa ia memohon ampunan supaya terjaga di hari kiamat."

Dunia Lisan: Memotong Pembicaraan Orang Lain


Oleh: Emi Nur Hayati

Memotong pembicaraan orang lain merupakan salah satu diantara perbuatan yang tercela dan dilarang. Karena secara praktis akan menimbulkan tidak adanya keserasian dalam mewujudkan hubungan timbal balik dan dalam memahami percakapan.

Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw bersabda:

"Man 'Aaradha Akhaahul Mu'min Fii Hadiitsihi Faka'annamaa Khadasya Fii Wajhihi...
Barangsiapa memotong pembicaraan saudaranya yang mukmin, maka seakan-akan ia telah menciderai wajahnya." (Bihar al-Anwar, jilid 75, hal 151)

Imam Baqir as dalam sebuah hadis melarang perilaku seperti ini dan berkata, "Wa Laa Taqta' ‘Alaa Ahadin Hadiitsahu... Jangan memotong pembicaraan orang lain!" (Al-Ikhtishah, Lilmufid, hal 245).

Sumber: Donya-ye Zaban; 190 Gonah Zaban, Kareem Feizi, Qom, Tahzib, 1386, cetakan ke-4.

Apa saja tingkatan yakin dan apa tolak ukurnya bagi seorang manusia

 

Mengenai hakekat yakin ? dan tingkatan nya dan bagaimana seseorang di nyatakan memiliki keyakinan

Jawaban Global:
Yakin dalam Logika dan Filsafat memiliki dua istilah: yang pertama, yakin dalam istilah umumnya yang berarti "tahu secara pasti" dan yang lain memiliki arti yang lebih khusus, yakni: "pengetahuan pasti yang sesuai dengan kenyataan" atau "pengetahuan yang pasti terhadap sesuatu dan yakin bahwa segala yang bertentangan dengan pengetahuannya adalah tidak benar." Yakin dengan artian khusus ini memiliki dua kriteria, yang mana segala pengetahuan yang memiliki dua kriteria tersebut dapat disebut "yakin". Kedua kriteria itu adalah: yakin terhadap suatu yang diketahui dan yakin bahwa yang bertengan dengan keyakinan itu adalah salah. Adapun yakin menurut para ahli Irfan, memiliki tiga tingkatan: ‘Ilm al-Yaqin, ‘Ain al-Yaqin dan Haqq al-Yaqin.

Jawaban Detil:
Yaqin dalam bahasa berarti tidak memiliki keraguan dalam suatu perkara dan terjadinya perkara tersebut secara nyata.[1]

Dalam Logika dan Filsafat, yakin memiliki dua istilah: yang pertama, yakin dengan artian umum, yakni yakin (tidak ragu) akan sesuatu, dan yang kedua yakin dengan makna khusus: "pengetahuan pasti yang sesuai dengan kenyataan"[2] atau "pengetahuan akan sesuatu dengan yakin dan yakin bahwa yang bertentangan dengan pengetahuan itu adalah salah"[3] Di hadapan yakin dengan artian umum itu, ada sangkaan di atas 50% dan di bawah 50% serta keraguan, yang mana semua itu ada kemungkinan salahnya.[4] Dalam sangkaan di atas 50% kemungkinan salah sedikit, dan sangkaan di bawah 50% sebaliknya, banyak kemungkinan salahnya, sedangkan dalam keraguan kemungkinan benar dan salah adalah 50-50. Yakin dengan artian khusus memiliki dua kriteria yang mana setiap ilmu yang memiliki dua kriteria itu bisa dikatakan dengan "yakin". Dua kriteria itu adalah: yang pertama yakin dengan sesuatu yang diketahui itu, dan yang kedua adalah yakin bahwa segala yang bertentangan dengan keyakinan tersebut adalah salah. Jadi, yakin dengan artian khusus tersusun dari dua pengetahuan: pengetahuan terhadap sesuatu dan pengetahuan akan kebenaran pengetahuan itu (atau salahnya segala yang bertentangan dengan pengetahuan itu).

Cara untuk mendapatkan yakin seperti itu dalam Logika adalah menggunakan Burhan (demonstrasi dan argumen). Burhan adalah Qiyas (silogisme) yang premis-permisnya adalah proposisi-proposisi yang meyakinkan (yaqini), atau istilahnya Yaqiniyat. Yaqiniyat adalah dalil dan pengetahuan-pengetahuan yang selain hal itu meyakinkan, tidak ada juga kemungkinan salahnya sedikitpun. Mereka adalah: Awwâliyât, Musyahadât, Mujarrabat, Mutawatirât, Hadsiyât dan Fitriyât.[5]

Karena itu, yaqiniyat dalam istilah ilmu Logika dan Filsafat memiliki bagian-bagian dan tingkatan yang tidak sama. Karena Badihiyât Awwâli bagi ahli Logika memiliki tingkatan yakin (meyakinkan) yang tertinggi; karena ilmu Logika adalah ilmu cara berfikir dengan benar, maka ilmu tersebut berusaha untuk mengkategorikan dalil-dalil sedemikian rupa sehingga manusia dengan merujuk padanya bisa mendapatkan ilmu dan pengetahuan yang benar dan meyakinkan. Karena Yaqiniyât Nazhari kembalinya adalah kepada awwâliyât dan semua awwâliyât bisa dikata kembalinya kepada "berkumpulnya dua hal yang bertentangan" (ijtimâ' al-naqidhain), maka para ahli Logika meletakkannya di tingkatan paling atas.

Adapun berdasarkan menurut pendapat para ahli Irfan tentang yakin,[6] yakin memiliki tiga tingkatan, yang mana yakin tingkat terendah tidak mempunyai kriteria-kriteria yakin tingkat yang paling tinggi. Tiga tingkatan tersebut adalah ‘Ilm al-Yaqin, ‘Ain al-Yaqin dan Haqq al-Yaqin.

Untuk menjelaskan tiga tingkatan yakin ini perlu dijelaskan bahwa: Terkadang seorang manusia menyaksikan tanda-tanda atau indikasi-indikasi tertentu atau dengan menggunakan argumentasi ia menemukan suatu hakikat yang tetap; terkadang selain hanya menggunakan argumentasi, ia juga mendapatkan hakikat itu dengan ruh dan jiwanya; dan kadang tak hanya begitu saja, ia merasa fana dan menyatu dengan hakikat tersebut. Misalnya, tentang wujud Tuhan Swt, manusia awal mulanya membuktikan keberadaan Tuhan dengan argumentasi dan pemikirannya, lalu menyaksikan tanda-tanda kebesaran-Nya, yang mana dalam tahap ini dikatakan ia telah mendapatkan ‘Ilm al-Yaqin. Lalu dalam tahapan kedua, dengan pensucian jiwa ia dapat menggapai hakikat wujud-Nya dengan batin dan jiwanya. Ia bisa menyaksikan Tuhan dengan mata batinnya. Dalam tahap ini disebut ‘Ain al-Yaqin. Kemudian di tahapan yang paling tertinggi, ia mencapai hakikat Tuhannya dengan seluruh wujudnya, yang istilahnya ia telah fana dan menyatu dengan wujud Tuhan. Di tingkatan inilah ia mencapai Haqq al-Yaqin.

Dalam teks-teks agama kita sering disinggung hal tersebut. Misalnya dalam berdoa kita berkata: "Ya Tuhan, cahayai lahirku dengan taat-Mu, batinku dengan kecintaan-Mu, hatiku dengan ma'rifat-Mu, ruhku dengan penyaksian terhadap-Mu dan seluruh wujudku dengan bersatu dengan-Mu."[7] Kalimat pertama mengisyarahkan amal ibadah dan menjalankan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah serta menjauhi perbuatan-perbuatan yang dilarang-Nya, yang istilahnya adalah Tajliyah; kalimat kedua mengisyarahkan tingkatan awal dalam suluk; kalimat ketiga mengisyarahkan ‘Ilm al-Yaqin; kalimat keempat mengisyarahkan ‘Ainul Yaqin dan kalimat terakhir mengisyarahkan Haqq al-Yaqin, yakni fana secara total dalam wujud-Nya yang Maha Tinggi.[8]

Perlu diketahui pula bahwa setiap dari tiga tingkatan tersebut juga memiliki tingkatan-tingkatan tersendiri di dalamnya[9] yang mana di berbagai tingkatan yang berbeda-beda itulah para nabi dan wali-wali Allah melakukan sair wa suluk, yang dengan demikian setiap satu dari mereka memiliki tingkatan dan derajat yang berbeda dengan yang lainnya. Mengenai hal ini disebutkan dalam riwayat:
Imam Ali As berkata: "Yakin memiliki empat cabang: memandang dengan jeli dan cerdik, mencapai hikmah dan kebijakan, mengambil pelajaran dari masa yang telah lalu dan memanfaatkan cara-cara orang yang telah mendahului. Orang yang melihat dengan jeli bakal mencapai hikmah dan kebijaksanaan, lalu dapat mengambil pelajaran dari masa lalu, kemudian menjalankan tradisi umat sebelumnya dan jika demikian ia bagai hidup dengan mereka."[10]

Imam Shadiq As berkata: "Yakin dapat mengantar manusia ke tempat yang sangat tinggi dan menakjubkan. Saat berbicara tentang kriteria-kriteria Nabi Isa As, khususnya tentang kemampuannya berjalan di atas air, Rasulullah Saw berkata: ‘Seandainya keyakinannya lebih dari itu, dia juga bisa berjalan di atas udara.' Dengan perkataannya itu, Rasulullah Saw memahamkan kepada kita bahwa para nabi memiliki tingkatan-tingkatan keistimewaan yang berbeda sesuai dengan keyakinan (yaqin) yang mereka punya, bukan dikarenakan hal lainnya."[11]

Pada suatu hari Rasulullah saw bertemu dengan Haritsah bin Malik bin Nu'man Anshari dan berkata kepadanya: "Bagaimana keadaanmu?" Ia berkata: "Wahai Rasulullah, aku adalah mu'min hakiki yang telah mencapai tingkat yaqin." Rasulullah Saw bertanya: "Segala sesuatu ada hakikatnya. Apa hakikat perkataanmu?" Ia menjawab: "Wahai Rasulullah, aku telah kehilangan selera terhadap dunia. Aku bangun di malam hari untuk ibadah dan aku kehausan di siang hari karena berpuasa. Seakan-akan aku melihat lebarnya ‘Arsy Ilahi, seakan aku menyaksikan hisab, seakan aku melihat penduduk surga yang saling bertemu di antara taman-tamannya, seakan aku melihat penduduk neraka tersiksa di dalamnya." Rasulullah Saw bersabda: "Haritsah adalah hamba yang telah Allah Swt terangi hatinya." Lalu beliau berkata kepada Haritsah: "Engkau telah mendapatkan bashirah (suatu keistimewaan dalam pemahaman)" maka tetaplah dalam keadaan itu." Lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah Saw, doakan untukku agar aku bisa syahid di bawah benderamu." Beliau menjawab: "Ya Allah, karuniakan ia kesyahidan." Tak lama kemudian Rasulullah mengirimkan pasukan untuk berperang dan Haritsah ada di antara pasukan-pasukan itu lalu ia mati setelah membunuh beberapa musuh Allah dalam peperangan."[12]

Tanda orang yang yakinnya kuat adalah ia tidak lagi mempedulikan selain kekuasaan Allah dan kekuatan-Nya, teguh dalam menjalankan perintah-perintah-Nya dan setia menjadi hambanya baik secara dhahir maupun batin. Ada dan tidak ada, sedikit atau banyak, pujian atau celaan, penghormatan atau penghinaan, semuanya adalah sama baginya. Namun orang yang yakinnya lemah, selalu berusaha mencari solusi dari makhluk-makhluk Allah (tanpa mengingat pencipta-Nya). Dalam dunia selalu mempedulikan komentar dan perkataan orang lain tanpa melihat apa hakikat sejati dari hidup ini. Selalu berusaha keras mengumpulkan harta duniawi dan menjaganya meski dengan lidahnya berkata bahwa tiada yang memberi rizki selain Allah, dan hamba-hamba-Nya mendapatkan rizki sesuai pengaturan-Nya serta usaha dan jerih payah hamba tidak mempengaruhi banyak dan sedikitnya rizki; namun secara praktek ia tidak meyakininya. Allah swt berfirman: "Mereka menyatakan apa yang tidak mereka yakini dengan hati. Sedangkan Allah maha tahu apa yang ada di dalam hati."[13]

Dalam sebuah riwayat ditanyakan kepada Imam Shadiq As tentang iman dan Islam. Beliau menjawab dengan menukil perkataan Imam Baqir As: "Sesungguhnya agama adalah Islam dan iman satu tingkat lebih tinggi darinya, ketakwaan setingkat lebih tinggi dari iman, yaqin juga setingkat lebih tinggi dari taqwa. Tidak ada yang lebih sedikit dari yaqin yang dibagikan kepada manusia."[14]

Adapun tolak ukur menentukan yakin (dalam pengertian irfani dan riwayat) dapat dikatakan bahwa setiap tingkatan yakin memiliki kriteria dan tanda-tandanya tersendiri. Beberaba tanda yakin seperti tidak peduli dengan kesenangan-kesenangan dunia, tidak terikat dengan harta benda, perhatian dengan alam akherat, berada dalam tingkat tawakal dan pasrah kepada Allah Swt, menyerahkan segala perkara kepada-Nya dan lain sebagainya.

Referensi:
[1]. Farahidi, Khalil bin Ahmad, Kitâb Al-‘Ain, Riset dan edit oleh Makhzumi, Mahdi, Samara'i, Ibrahim, jil. 5, hal. 220, Intesyarat Hijrat, Qum, Cetakan Kedua, 1410 H.
[2]. Silahkan lihat, Muhaqqiq, Mahdi, Toshihiko Izutsu, Manthiq wa Mabâhitsh Alfâz (kumpulan artikel dan makalah), hal. 313, Intesyarat Danesygah Teheran, 1370 S.; Shaliba, Jamil, Shanei Dare Bidi, Manucehr, Farhangg Falsafi, hal. 682, Intisyarat Hikmat, Teheran, Cetakan Pertama, 1366 S.
[3]. Thusi, Khajah Nashiruddin, Ta'dil al-Mi'yâr fi Naqd Tanzil al-Afkâr, hal. 226, Intisyarat Danesygah Teheran, Cetakan Pertama, 1358 S.
[4]. Thabathabai, Sayid Muhammad Husain, Burhân, hal. 11, Moasasah Bustan Kitab, Qum, Cetakan Kedua, 1387 S.
[5]. Silahkan lihat Ta'rif Maqbulât dar Ilm Mantiq, Pertanyaan 26405.
[6]. Pengetahuan ada dua macam: Yang pertama, ilmu yang dengan sendirinya merupakan tujuan dan maksud, yang mana itu adalah cahaya yang muncul di dalam hati; sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat: "Ilmu bukanlah apa yang didapat dari banyak belajar, namun ilmu adalah cahaya yang diletakkan Allah Swt di hati siapapun yang Ia kehendaki." (dinisbatkan kepada Imam Shadiq As, Mishbah Al-Syari'ah, hal. 16, Al-A'lami, Beirut, cetakan pertama, 1400 H.) Berkat ilmu inilah hal-hal ghaib dapat disaksikan oleh sang arif. Ilmu ini adalah ilmu yang paling mulia dan tujuan utama.
Yang kedua, ilmu yang tujuan dari mengetahuinya adalah amal atau mengamalkan sesuai dengan pengetahuan tersebut. Yakni ilmu dan pengetahuan tentang apa saja yang dapat mendekatkan diri seorang hamba kepada Tuhannya dan yang dapat menjauhkannya dari-Nya. Yang jelas ilmu ini masih ada kaitannya dengan ilmu pertama. Ilmu yang pertama disebut dengan ilmu batin dan ilmu hakikat, sedangkan yang kedua disebut dengan ilmu dhohir dan ilmu syari'at. Ketika keduanya disatukan, disebut dengan Hikmat (hikmah). Namun tak ada satupun ilmu yang hakiki kecuali ia telah mencapai derajat yakin. (Naraqi, Mulla Ahmad, Khazâin, hal. 484, Nasyr Kongre Buzurghdasyt Muhaqiqan Naraqi, Cetakan Pertama, Qum, 1380 S)
[7]. Syaikh Baha'i, Muhammad bin Husain, Busthami, Ali bin Thaifur, Minhaj Al-Najah fi Tarjumah Mafatih Al-Falah, mukadimah 2, hal. 49, Hikmat, Tehran, cetakan keenam, 1384 H.S.
[8]. Silahkan rujuk: Hasan Zade Amuli, Hasan, Nushush Al-Hikam bar Fushush Al-Hikam, hal. 158, Entesharat e Raja', Tehran, cetakan kedua, 1375 H.S.
[9]. Karena kesempurnaan itu tidak terbatas dan jumlah manzilah (tingkatan) kesempurnaan pun pasti bermacam-macam. Jadi di setiap tingkatan yakin pasti ada kriteria tersendiri yang di tingkatan lainnya tak dapat ditemukan.
[10]. Tsaqafi, Ibrahim bin Muhammad, Al-Gharât (Al-Istinfar wa Al-Gharaat), Riset dan edit oleh Husaini, Abduzzahra, jil. 1, hal. 84, Darul Kitab Al-Islami, Qum, Cetakan Pertama, 1410 H.
[11]. Mishbah Al-Syari'ah, hal. 177.
[12]. Kulaini, Muhammad bin Ya'qub, al-Kâfi, jil. 3, hal. 138-139, Dar Al-Hadith, Qom, Cetakan Pertama, 1429 H.
[13]. Mishbâh Al-Syari'ah, hal. 177-178.
[14]. Al-Kâfi, jil. 3, hal. 134-135.

Apa arti “Fatimah” itu? Dan mengapa Rasulullah Saw memilih nama ini untuk putri tunggalnya?


Pengetahuan saya tentang nama-nama sangat minim. Saya kira seluruh orang tahu bahwa "Fatimah" itu adalah putri Rasulullah Saw dan tentu saja nama ini memiliki makna khusus dan menyeluruh. Persisnya apa makna "Fatimah" itu dan mengapa Rasulullah Saw memilih nama ini untuk putri tunggalnya?

Jawaban Global:
Tentu saja tidak mesti setiap nama dibuat untuk melambangkan satu makna khusus dan mencerminkan pelbagai dimensi kepribadian pemilik nama, melainkan cukup bahwa nama tersebut tidak memuat nama yang mengandung arti kemusyrikan dan antinilai.

Akan tetapi, terkait dengan para wali Allah, seperti Hadhrat Fatimah Zahra Salamullah ‘alaiha, dimana nama-nama mereka diilhamkan dari alam gaib, tentu saja nama ini memiliki beberapa poin penting yang selaras dan senada dengan tipologi pemilik nama tersebut.

Nama Fatimah yang akar katanya dari kata "fa-tha-ma" bermakna terpisahnya atau tercerabutnya sesuatu; sesuai dengan lisan riwayat; terpisahnya atau tercerabutnya puan besar ini dari segala jenis keburukan dan ketercelaan dan juga bermakna bahwa beliau akan menyelamatkan para pecinta sejatinya dari api neraka.

Jawaban Detil:
Pertanyaan ini dapat dijawab dari dua sudut pandang:
1. Apakah setiap nama yang diberikan untuk setiap orang; bahkan putra-putri Nabi dan para imam; harus memiliki dalil khusus dan merupakan perlambang pelbagai dimensi eksistensial pemilik nama tersebut?
2. Apakah Rasulullah Saw ketika memilih nama Fatimah untuk putrinya memiliki dalil khusus dan apakah nama ini merupakan penjelas satu subjek tertentu?

Terkait dengan bagian pertama, harus dikatakan bahwa seperti yang dinukil dari para Imam Maksum bahwa memilihkan nama baik dan pantas untuk anak-anak adalah kebaikan pertama baginya[1] dan jelas bahwa orang tua, dengan ragam kecenderungan dan selera, memilih ragam nama untuk anak-anak mereka. Agama Islam, kendati banyak menganjurkan dalam masalah ini, namun anjuran ini tidak bersifat wajib dan mesti dilaksanakan. Dan setiap orang boleh, sepanjang nama tersebut tidak mengandung arti kemusyrikan dan anti-nilai, meletakkan nama apa pun buat anak-anaknya.[2]

Atas dasar ini, Rasulullah Saw, setelah menyampaikan agama Islam dan menyebarluaskannya, beliau tidak menerapkan kebijakan ini sehingga beliau harus mengganti seluruh nama para sahabatnya dan memilihkan nama baru buat mereka yang menunjukkan keimanan dan keislaman mereka. Adanya nama-nama seperti Ammar, Mus'ab, Miqdad dan sebagiannya di antara para sahabat Rasulullah Saw yang tidak memiliki makna religius pada nama-nama mereka, menandaskan hal ini. Akan tetapi ada sebagian riwayat bahwa Rasulullah Saw hanya mengganti nama-nama para sahabatnya yang menunjukkan kesyirikan dan penyembahan berhala atau yang bermakna tidak terpuji.[3]

Tentu saja, dengan adanya kebebasan bagi setiap orang dalam memilih nama maka sudah sepantasnya mereka memilih nama yang lebih baik dan lebih layak mengamalkan anjuran-anjuran para Imam Maksum As dalam hal ini seperti, salah satu dari riwayat tersebut, berikut ini.
Imam Baqir As bersabda, "Sebaik-baik nama adalah nama yang bermakna penghambaan dan sebaik-baik nama tersebut adalah nama-nama para nabi."[4]

Apa yang dijelaskan, merupakan sebuah analisis singkat terkait dengan pemberian nama untuk seseorang secara global. Namun sehubungan dengan pertanyaan yang Anda singgung, sebagian nama seperti nama suci "Fatimah" yang merupakan pilihan Allah Swt dan diilhamkan kepada Rasulullah Saw, namanya harus berbeda dari nama-nama lainnya dan pada tataran tertentu menampilkan dimensi-dimensi kepribadian pemilik nama tersebut. Akan tetapi, hal ini tidak memestikan bahwa nama seperti ini, hanya terkhusus secara eksklusif kepada orang tertentu dan tidak memiliki latar sejarah sebelumnya atau terlarang bagi orang lain untuk memilihnya.

Nama "Fatimah" akar katanya dari kata "fa-tha-ma" yang bermakna tercerabutnya dan terpisahnya sesuatu.[5]

Adapun terkait mengapa Rasulullah Saw menamai putra tunggalnya sebagai Fatimah, terdapat sebagian riwayat yang menyoroti masalah ini. Dan mengingat masing-masing riwayat ini menjelaskan satu sisi dari beberapa dalil, tetapi dengan menelaah seluruh riwayat ini, kita tidak jumpai adanya pertentangan di antara riwayat-riwayat ini. Bahkan masing-masing dari riwayat-riwayat tersebut merupakan pelengkap bagi yang lainnya. Atas dasar ini, kami akan menukil riwayat-riwayat tersebut di sini untuk diketahui:
A. Yunus bin Zhibyan meriwayatkan bahwa Imam Shadiq bertanya kepadaku, "Apakah engkau tahu tafsirnya Fatimah?" Aku berkata, "Tuanku! Silahkan Anda beritahukan tafsirnya?" Beliau bersabda, "Fatimah Sa terpisah dari segala jenis keburukan dan kekotoran (fatamat min al-syarr). Dan apabila Baginda Ali As tidak menikah dengannya, semenjak permulaan penciptaan, tiada seorang pun yang sepadan dan sekufu untuk menikah dengannya!"[6]
B. Imam Ridha As sesuai nukilan dari ayah-ayahnya, meriwayatkan dari Rasulullah Saw yang bersabda, "Saya memilihkan nama "Fatimah" sebagai nama untuk putriku karena Allah Swt memisahkan api neraka darinya dan dari para pecintanya."[7]
C. Imam Baqir As bersabda, "Tatkala Fatimah Sa lahir ke dunia, Allah Swt mewahyukan kepada seorang malaikat supaya nama Fatimah terlontar dari lisan Rasulullah Saw, kemudian Allah Swt berfirman kepada Fatimah Sa bahwa "Aku membinamu dengan ilmu dan pengetahuan dan memisahkanmu dari segala jenis kotoran dan...'"[8]

Akhir kata, kita harus tahu bahwa putri mulia Rasulullah Saw sesuai dengan riwayat seluruh kaum Muslimin, baik Sunni atau pun Syiah, bahwa Fatimah Sa adalah belahan jiwa Rasulullah Saw. Mengganggu dan menyakitinya sama dengan menyakiti Rasulullah.[9] Dan nama yang layak dan pantas untuk dipilihkan untuknya sehingga sepenggal dari kepribadiannya dan dimensi-dimensi spiritual puan besar ini, dengan bantuan nama ini, diperkenalkan kepada alam semesta. Atas dasar ini, kami meyakini bahwa Allah Swt memilih nama penuh keberkahan ini baginya.




Referensi:
[1]. Muhammad bin al-Hasan, Hurr ‘Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 21, hal. 388-389, riwayat 27374, Muassasah Ali al-Bait, Qum, 1409 H.
[2]. Ibid.
[3]. Ibid, hal. 390, riwayat 27379.
[4]. Ibid, hal. 391, riwayat 27381.
[5]. Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 12, hal. 454.
[6]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 43, hal. 10, bab 2, riwayat pertama, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[7]. Ibid, hal. 12, riwayat 4
[8]. Ibid, hal. 13, riwayat 9.
[9]. Shahîh Bukhâri, jil. 4, hal. 219, Dar al-Fikr, Beirut, hal. 1410 H.

Istiqamah Menurut Ahlus Sunnah Dan Syiah Dalam Islam


Apa yang dimaksud dengan istiqamah, tetap dan berterusan dalam mengerjakan ibadah?
Pertanyaan:
Assalamualaikum ya akhi. saya mau bertanya,yang dimaksud dengan amalan tetap itu seperti apa.?, yang di riwaratkan oleh Aisyah Ra yang berbunyi. Diriwayatkan dari Aisyah Ra : seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad Saw, “apakah amal (ibadah) yang paling dicintai Allah?” Nabi Muhammad Saw bersabda,” amal (ibadah) yang dilakukan secara tetap meskipun sedikit”.
Jawaban Global:
Dalam literatur Ahlusunnah, berdasarkan riwayat dari Aisyah, disebutkan, “Rasulullah Saw ditanya tentang amalan apakah yang paling dicintai di sisi Allah Swt?”  Nabi Muhammad Saw menjawab, “Amal (ibadah) yang dilakukan secara tetap meskipun sedikit.”[1]

Terdapat riwayat lainnya dengan kandungan yang sama dari Aisyah dari Rasulullah Swa, “Sebaik-baik amalan adalah amalan yang dilakukan secara berterusan.”[2]

Kandungan riwayat ini juga dikutip dengan ragam judul dalam riwayat-riwayat Syiah. Riwayat-riwayat tersebut diterima yang akan kami sebutkan beberapa contoh di antaranya sebagai berikut:
  1. Imam Sajjad As bersabda: “Saya suka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dan dalam menjalankan amalan-amalan secara istiqamah dan berterusan.”[3]
  2. Imam Baqir As bersabda, “Amalan yang paling dicintai di sisi Allah Swt adalah amalan yang saya lakukan berkelanjutan meski sedikit.”[4]
  3. Imam Shadiq As bersabda, “Ujilah Syiah kami dengan tiga hal; mengerjakan salat pada waktunya dan bagaimana mereka berterusan mengerjakan (salat di awal waktu), menjaga rahasia-rahasia kami dan bagaimana mereka menyembunyikanya dari musuh-musuh kami, menyalurkan bantuan harta kepada para saudaranya dan bagaimana mereka melaksanakannya.”[5]
Adapun yang dimaksud dengan tetap dan berterusan dalam amalan adalah bahwa apabila seseorang mengerjakan sebuah amal kebaikan seperti memulai salat awal waktu, kemudian ia berusaha secara perlahan dan berterusan menunaikan salat di awal waktu sehingga terbiasa dan lama kelamaan disebabkan oleh karena pengulangan dan latihan terus menerus maka ia akan beralih dari kondisi terbiasa menjadi tabiatnya secara inheren (malakah) dan menjadi karakter yang mendasar pada dirinya. Dan sebagai hasilnya ia tidak pernah merasa lelah melakukan hal ini, bahkan ia akan membiasakan dirinya seperti ini hingga akhir hayatnya.
Pekerjaan kecil dan berterusan keuntungannya lebih banyak ketimbang manusia mengerjakan banyak pekerjaan seperti salat awal waktu, tidak tidur di antara dua waktu terbitnya matahari (baina al-thulu’ain), salat malam, mengerjakan puasa sunnah dan seterusnya, semuanya dikerjakan pada satu waktu, namun amalan ini tidak berterusan dan berkelanjutan bahkan menjadi sebab ia jemu dan bosan bahkan terkadang menyebabkan ia putus asa dan meninggalkan amalan tersebut selamanya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ali As dalam sabdanya, “Sedikit yang langgeng lebih baik daripada banyak yang membawa kesedihan.”[6]

Ketentuan Waktu Berterusan atas Amal Kebaikan
Nah, di sini mengemuka sebuah pertanyaan sebuah amal kebaikan sampai kapan harus dikerjakan sehingga disebut sebagai amalan tetap dan berterusan?
Jawabannya adalah bahwa batas maksimal amalan disebut berterusan adalah keberlanjutan amalan tersebut hingga akhir hayat, namun secara lebih terbatas, minimal terdapat dua definisi terkait dengan berterusan pada riwayat sebagai berikut:
  1. Amalan yang telah diputuskan untuk dikerjakan minimal harus berlanjut hingga satu tahun lamanya. Imam Shadiq  As dalam hal ini bersabda, “Bilamana seseorang mengerjakan satu amalan maka ia harus melanjutkannya hingga satu tahun kemudian apabila ia ingin ia dapat berpindah kepada amalan lainnya; karena terdapat malam Qadar yang di dalamnya segala ketentuan dan kehendak Ilahi akan terrealisir yang berlangsung sekali setahun.”[7]
  2. Kemudian setelah memutuskan untuk berterusan atas sebuah amalan, jangan sampai setahun berlalu dan sekali waktu tidak dikerjakan. Dengan kata lain, di antara dua amalan jaraknya menjadi lebih dari satu tahun. Sebuah riwayat dari Imam Keenam As menyoroti masalah ini, “Jangan sampai kalian mewajibkan atas diri kalian sebuah amalan kemudian kalian tidak mengerjakannya satu tahun.”[8]

Hasil dan Kegunaan Berterusan atas Amal Kebaikan
Imam Ali As bersabda: Hasil dari berterusan dan istiqamah atas perbuatan baik bagi manusia berakal adalah:
  1. Meninggalkan pekerjaan-pekerjaan buruk
  2. Jauh dari perbuatan bodoh
  3. Terhindar dari perbuatan dosa
  4. Menghasilkan yakin
  5. Cinta keselamatan
  6. Taat kepada Allah Swt
  7. Tunduk pada dalil dan argumen
  8. Jauh dari setan
  9. Menerima keadilan
  10. Suka berkata yang benar.[9]

Hasilnya ibadah tidak boleh dari sisi kuantitas dan kualitas sedemikian bertindak ekstrem sehingga menimbulkan kejemuan dan ditinggalkan secara keseluruhan. Sebaliknya alangkah lebih baik ibadah dikerjakan secara proporsional dan berterusan meski secara kuantitatif lebih sedikit.

Mengutip Sa’di dalam bahasa puitis nan indah:
Orang yang berhasil melakukan perjalanan bukanlah sekali kencang dan sekali lelah
Orang yang berhasil adalah yang pelan dan berkelanjutan.

Referensi:
[1]. Muhammad Izzat Daruzah, al-Tafsir al-Hadits, jil. 2, hal. 400-401, Kairo, Dar Ihyat al-Kitab al-‘Arabiyah, 1383 H.
«حدیث رواه الشیخان و الترمذی عن عائشة قالت: «إن رسول اللّه ص سئل أیّ العمل أحبّ إلى اللّه؟ قال: أدومه و إن قلّ»
[2]. Ismail bin Amru, Ibnu Katsir Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim (Ibnu Katsir), Riset oleh Muhammad Husain Syamsuddin, jil. 8, hal. 265, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Mansyurat Muhammad Ali Baidhawi, Cetakan Pertama, 1419 H; Muhammad bin Ahmad Qurthubi, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, jil. 20, hal. 36-37, Tehran, Intisyarat Nashir Khusruw, Cetakan Pertama, 1364 S.  
[3]. Muhammad Yakub Kulaini, Kâfi, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari dn Muhammad Akhundi, jil. 2, hal. 82, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Keempat, 1407 H.  
[4]. Ibid, jil. 2, hal. 82.  
[5]. Syaikh Shaduq, al-Khishâl, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari, jil 1, hal. 103, Qum, Daftar Intisyarat Islami, Cetakan Pertama, 1362 S.  
[6]. Muhammad bin Husain, Syarif al-Radhi, Nahj al-Balâghah, Riset dan edit oleh Subhi Shaleh, hal. 525, Cetakan Pertama, Hijrat, Qum, 1414 H.  
[7]. Kâfi, jil. 2, hal. 82.
[8]. Kâfi, jil. 2, hal. 83.  
[9]. Hasan bin Ali, Ibnu Sya’bah Harrani, Tuhaf al-‘Uqul, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari, al-Nash, hal. 17-18, Jamiah Mudarrisin, Cetakan Kedua, Qum, 1404 H.  

Orang yang Melamar


Imam Baqir as berkata:

مَن خَطَبَ اِلَیکُم فَرَضِیتُم دِینَهُ وَ اَمَانَتَهُ کَائِنًا مَن کَانَ فَزَوِّجُوهُ وَ اِلَّا تَفعَلُوا تَکُن فِتنَهٌ فِی الاَرضِ وَ فَسَادٌ کَبِیرٌ.

“Setiap orang yang datang untuk melamar putrimu dan ingin meminangnya, lihatlah agama dan anamatnya. Jika baik agamanya, siapapun ia maka sambunglah tali hubungan dengannya. Jika engkau tidak melakukannya, akan terjadi kerusakan besar di muka bumi.”
Man Lâ Yahdhuruhu Al-Faqih, jil. 3, hal. 393.

Tidak sembarangan dalam urusan menikah bukan berarti mempersulitnya. Jika berbuat sembarangan itu dapat menimbulkan masalah, begitu pula dengan mempersulit, yang bakal membuat para pemuda putus asa dan tak memiliki harapan untuk bisa menikah.

Jika jalan untuk menikah tertutup, maka bakal banyak kerusakan yang terjadi di muka bumi. Mempersulit pernikahan bisa mengancam kehidupan sosial bagi setiap kaum.

Sejarah Imam Mazhab

Imam Jafar Ashadiq 


Ja'far ash-Shadiq (Bahasa Arab: جعفر الصادق), nama lengkapnya adalah Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib, adalah Imam ke-6 dalam tradisi Islam Syi'ah. Ia lahir di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah / 20 April 702 Masehi (M), dan meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah / 13 Desember 765 M. Ja'far yang juga dikenal dengan julukan Abu Abdillah dimakamkan di Pekuburan Baqi', Madinah. Ia merupakan ahli ilmu agama dan ahli hukum Islam (fiqih). Aturan-aturan yang dikeluarkannya menjadi dasar utama bagi mazhab Ja'fari atau Dua Belas Imam; ia pun dihormati dan menjadi guru bagi kalangan Sunni karena riwayat yang menyatakan bahwa ia menjadi guru bagi Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi) dan Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki). Perbedaan tentang siapa yang menjadi Imam setelahnya menjadikan mazhab Ismailiyah berbeda pandangan dengan mazhab Dua Belas Imam.


Ia dilahirkan di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah atau kurang lebih pada tanggal 20 April 702 Masehi. Ia merupakan anak sulung dari Muhammad al-Baqir, sedangkan ibunya bernama Fatimah (beberapa riwayat menyatakan Ummu Farwah) binti al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Melalui garis ibu, ia dua kali merupakan keturunan Abu Bakar, karena al-Qasim menikahi putri pamannya, Abdullah bin Abu Bakar. Ia dilahirkan pada masa pemerintahan Abdul-Malik bin Marwan, dari Bani Umayyah.
[sunting] Keluarga

Ia memiliki saudara satu ibu yang bernama Abdullah bin Muhammad. Sedangkan saudara lainnya yang berlainan ibu adalah Ibrahim dan Ubaydullah yang beribukan Umm Hakim binti Asid bin al-Mughirah. Ali dan Zaynab beribukan wanita hamba sahaya, dan Umm Salamah yang beribukan wanita hamba pula.
[sunting] Keturunan
[sunting] Anak laki-laki

Memiliki keturunan selanjutnya:[1]

Isma'il al-Aaraj (Imam ke-7 menurut Ismailiyah)
Musa al-Kadzim (Imam ke-7 menurut Dua Belas Imam)
Ishaq al-Mu'taman[1]
Muhammad al-Dibaj, yang mendeklarasikan dirinya sebagai Amirul Mukminin setelah Salat Jumat pada tanggal 6 Rabiul akhir 200 Hijriyah, dan kemudian berperang melawan Khalifah Abbasiyah pada saat itu, al-Ma'mun, tetapi dengan cepat ia tertangkap dan dibawa ke Khurasan.[2]
Qasim[3]
Abdullah
Yahya
Ali[4]
Ali al-Uraidhi

Tidak memiliki keturunan selanjutnya:[1]

Abdullah al-Afthah
Abbas
Yahya
Muhsin
Ja'far
Hasan
Muhammad al-Ashgar

[sunting] Anak perempuan

Fatimah binti Ja'far
Asma binti Ja'far
Ummu Farwah binti Ja'far

[sunting] Kehidupan awal

Sejak kecil hingga berusia sembilan belas tahun, ia dididik langsung oleh ayahnya. Setelah kepergian ayahnya yang syahid pada tahun 114 H, ia menggantikan posisi ayahnya sebagai Imam bagi kalangan Muslim Syi'ah.

Pada masa remajanya, Ja'far ash-Shadiq, turut menyaksikan kejahatan dinasti Bani Umayyah seperti Al-Walid I (86-89 H) dan Sulaiman (96-99 H). Kedua-dua bersaudara inilah yang terlibat dalam konspirasi untuk meracuni Ali Zainal Abidin, pada tahun 95 Hijriyah. Saat itu Ja'far ash-Shadiq baru berusia kira-kira 12 tahun. Ia juga dapat menyaksikan keadilan Umar II (99-101 H). Pada masa remajanya Ja'far ash-Shadiq menyaksikan puncak kekuasaan dan kejatuhan dari Bani Umayyah.
[sunting] Meninggalnya

Ia meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah atau kurang lebih pada tanggal 4 Desember 765 Masehi di Madinah, menurut riwayat dari kalangan Syi'ah, dengan diracun atas perintah Khalifah Mansur al-Dawaliki dari Bani Abbasiyah.

Mendengar berita meninggalnya Ja'far ash-Shadiq, Al-Mansur menulis surat kepada gubernur Madinah, memerintahkannya untuk pergi ke rumah Imam dengan dalih menyatakan belasungkawa kepada keluarganya, meminta pesan-pesan Imam dan wasiatnya serta membacanya. Siapapun yang dipilih oleh Imam sebagai pewaris dan penerus harus dipenggal kepalanya seketika. Tentunya tujuan Al-Mansur adalah untuk mengakhiri seluruh masalah keimaman dan aspirasi kaum Syi'ah. Ketika gubernur Madinah melaksanakan perintah tersebut dan membacakan pesan terakhir dan wasiatnya, ia mengetahui bahwa Imam telah memilih empat orang dan bukan satu orang untuk melaksanakan amanat dan wasiatnya yang terakhir; yaitu khalifah sendiri, gubernur Madinah, Abdullah Aftah putranya yang sulung, dan Musa al-Kadzim putranya yang bungsu. Dengan demikian rencana Al-Mansur menjadi gagal.

Ia dimakamkan di pekuburan Baqi', Madinah, berdekatan dengan Hasan bin Ali, Ali Zainal Abidin, dan ayahnya Muhammad al-Baqir.
[sunting] Masa keimaman

Situasi politik di zaman itu sangat menguntungkannya, sebab di saat itu terjadi pergolakan politik di antara dua kelompok yaitu Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah yang saling berebut kekuasaan. Dalam situasi politik yang labil inilah Ja'far ash-Shadiq mampu menyebarkan dakwah Islam dengan lebih leluasa. Dakwah yang dilakukannya meluas ke segenap penjuru, sehingga digambarkan muridnya berjumlah empat ribu orang, yang terdiri dari para ulama, para ahli hukum dan bidang lainnya seperti, Abu Musa Jabir Ibn Hayyan, di Eropa dikenal dengan nama Geber, seorang ahli matematika dan kimia, Hisyam bin al-Hakam, Mu'min Thaq seorang ulama yang disegani, serta berbagai ulama Sunni seperti Sofyan ats-Tsauri, Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi), al-Qodi As-Sukuni, Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki) dan lain-lain.

Di zaman Imam Ja'far, terjadi pergolakan politik dimana rakyat sudah jenuh berada di bawah kekuasaan Bani Umayyah dan muak melihat kekejaman dan penindasan yang mereka lakukan selama ini. Situasi yang kacau dan pemerintahan yang mulai goyah dimanfaatkan oleh Bani Abbasiyah yang juga berambisi kepada kekuasaan. Kemudian mereka berkampanye dengan berkedok sebagai "para penuntut balas dari Bani Hasyim".

Bani Umayyah akhirnya tumbang dan Bani Abbasiyah mulai membuka kedoknya serta merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Kejatuhan Bani Umayyah serta munculnya Bani Abbasiyah membawa babak baru dalam sejarah. Selang beberapa waktu, ternyata Bani Abbasiyah memusuhi Ahlul Bait dan membunuh pengikutnya. Imam Ja'far juga tidak luput dari sasaran pembunuhan. Pada 25 Syawal 148 H, Al-Mansur membuat Imam syahid dengan meracunnya.

"Imam Ja'far bin Muhammad, putra Imam kelima, lahir pada tahun 83 H/702 M. Dia wafat pada tahun 148 H/757 M, dan menurut riwayat kalangan Syi'ah diracun dan dibunuh karena intrik Al-Mansur, khalifah Bani Abbasiyah. Setelah ayahnya wafat dia menjadi Imam keenam atas titah Illahi dan fatwa para pendahulunya." [5]

[sunting] Perkembangan Mazhab Dua Belas Imam
[sunting] Perkembangan pesat Mazhab Dua Belas Imam

Selama masa keimaman Ja'far ash-Shadiq inilah, mazhab Syi'ah Dua Belas Imam atau dikenal juga Imamiah mengalami kesempatan yang lebih besar dan iklim yang menguntungkan baginya untuk mengembangkan ajaran-ajaran agama. Ini dimungkinkan akibat pergolakan di berbagai negeri Islam, terutama bangkitnya kaum Muswaddah untuk menggulingkan kekhalifahan Bani Umayyah, dan perang berdarah yang akhirnya membawa keruntuhan dan kemusnahan Bani Umayyah. Kesempatan yang lebih besar bagi ajaran Syi'ah juga merupakan hasil dari landasan yang menguntungkan, yang diciptakan Imam ke-5 selama 20 tahun masa keimamannya melalui pengembangan ajaran Islam yang benar dan pengetahuan Ahlul Bait. Sampai sekarang pun mazhab Syi'ah Imamiah juga dikenal dengan mazhab Ja'fari.
[sunting] Murid-murid Ja'far ash-Shadiq

Imam telah memanfaatkan kesempatan ini untuk mengembangkan berbagai pengetahuan keagamaan sampai saat terakhir dari keimamannya yang bersamaan dengan akhir Bani Umayyah dan awal dari kekhalifahan Bani Abbasiyah. Ia mendidik banyak sarjana dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan aqliah (intelektual) dan naqliah (agama) seperti:

Zararah,
Muhammad bin Muslim,
Mukmin Thaq,
Hisyam bin Hakam,
Aban bin Taghlib,
Hisyam bin Salim,
Huraiz,
Hisyam Kaibi Nassabah, dan
Abu Musa Jabir Ibn Hayyan, ahli kimia. (di Eropa dikenal dengan nama Geber)

Bahkan beberapa sarjana terkemuka Sunni seperti:

Sofyan ats-Tsauri,
Abu Hanifah (pendiri Madzhab Hanafi),
Qadhi Sukuni,
Qodhi Abu Bakhtari,
Malik bin Anas (pendiri Madzhab Maliki)

Mereka beroleh kehormatan menjadi murid-muridnya. Disebutkan bahwa kelas-kelas dan majelis-majelis pengajaranya menghasilkan empat ribu sarjana hadist dan ilmu pengetahuan lain. Jumlah hadist yang terkumpul dari Imam ke-5 dan ke-6, lebih banyak dari seluruh hadits yang pernah dicatat dari Imam lainnya.
[sunting] Sasaran dari khalifah yang berkuasa

Tetapi menjelang akhir hayatnya, ia menjadi sasaran pembatasan-pembatasan yang dibuat atas dirinya oleh Al-Mansur, khalifah Bani Abbasiyah, yang memerintahkan penyiksaan dan pembunuhan yang kejam terhadap keturunan Nabi, yang merupakan kaum Syi'ah, hingga tindakan-tindakannya bahkan melampaui kekejaman Bani Umayyah. Atas perintahnya mereka ditangkap dalam kelompok-kelompok, beberapa dan mereka dibuang dalam penjara yang gelap dan disiksa sampai mati, sedangkan yang lain dipancung atau dikubur hidup-hidup atau ditempatkan di bawah atau di antara dinding-dinding yang dibangun di atas mereka.
[sunting] Penangkapannya

Hisyam, khalifah Bani Umayyah, telah memerintahkan untuk menangkap Imam ke-6 dan dibawa ke Damaskus. Belakangan, Imam ditangkap oleh As-Saffah, khalifah Bani Abbasiyah dan dibawa ke Iraq. Akhirnya Al-Mansur menangkapnya lagi dan dibawa ke Samarra, Iraq untuk diawasi dan dengan segala cara mereka melakukan tindakan lalim dan kurang hormat dan berkali-kali merencanakan untuk membunuhnya. Kemudian Imam diizinkan kembali ke Madinah, di mana dia menghabiskan sisa hidupnya di Madinah, sampai dia diracun dan dibunuh melalui upaya rahasia Al-Mansur.
[sunting] Riwayat mengenai Ja'far ash-Shadiq
[sunting] Dari Malik bin Anas

Imam Malik menceritakan pribadi Imam Ja'far ash-Shadiq dalam kitab Tahdhib al-Tahdhib, Jilid 2, hlm. 104:

"Aku sering mengunjungi ash-Shadiq. Aku tidak pernah menemui beliau kecuali dalam salah satu daripada keadaan-keadaan ini:

beliau sedang salat,
beliau sedang berpuasa,
beliau sedang membaca kitab suci al-Qur'an.

Aku tidak pernah melihat beliau meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi SAW tanpa taharah. Ia seorang yang paling bertaqwa, warak, dan amat terpelajar selepas zaman Nabi Muhammad SAW. Tidak ada mata yang pernah, tidak ada telinga yang pernah mendengar dan hati ini tidak pernah terlintas akan seseorang yang lebih utama (afdhal) melebihi Ja'far bin Muhammad dalam ibadah, kewarakan dan ilmu pengetahuannya."

[sunting] Dari Abu Hanifah

Pada suatu ketika khalifah Al-Mansur dari Bani Abbasiyah ingin mengadakan perdebatan antara Abu Hanifah dengan Imam Ja'far ash-Shadiq AS. Khalifah bertujuan untuk menunjukkan kepada Abu Hanifah bahwa banyak orang sangat tertarik kepada Imam Ja'far bin Muhammad karena ilmu pengetahuannya yang luas itu. Khalifah Al-Mansur meminta Abu Hanifah menyediakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk diajukan kepada Imam Ja'afar bin Muhammad AS di dalam perdebatan itu nanti. Sebenarnya Al-Mansur telah merencanakan untuk mengalahkan Imam Ja'far bin Muhammad, dengan cara itu dan membuktikan kepada orang banyak bahwa Ja'far bin Muhammad tidaklah luas ilmunya.

Menurut Abu Hanifah,

"Al-Mansur meminta aku datang ke istananya ketika aku tidak berada di Hirah. Ketika aku masuk ke istananya, aku melihat Ja'far bin Muhammad duduk di sisi Al-Mansur. Ketika aku memandang Ja'far bin Muhammad, jantungku bergoncang kuat, rasa getar dan takut menyelubungi diriku terhadap Ja'far bin Muhammad lebih daripada Al-Mansur. Setelah memberikan salam, Al-Mansur memintaku duduk dan beliau memperkenalkanku kepada Ja'far bin Muhammad. Kemudian Al-Mansur memintaku mengemukakan pertanyaan-pertanyaan kepada Ja'far bin Muhammad. Aku pun mengemukakan pertanyaan demi pertanyaan dan beliau menjawabnya satu persatu, mengeluarkan bukan saja pendapat ahli-ahli fiqih Iraq dan Madinah tetapi juga mengemukakan pandangannya sendiri, baik beliau menerima atau menolak pendapat-pendapat orang lain itu sehingga beliau selesai menjawab semua empat puluh pertanyaan sulit yang telah aku sediakan untuknya."

Abu Hanifah berkata lagi,

"Tidakkah telah aku katakan bahwa dalam soal keilmuan, orang yang paling alim dan mengetahui adalah orang yang mengetahui pendapat-pendapat orang lain?"

Lantaran pengalaman itu, Abu Hanifah berkata,

"Aku tidak pernah melihat seorang ahli fiqih yang paling alim selain Ja'far bin Muhammad." [6]

[sunting] Imam Ja'far ash-Shadiq sering berkata

"Hadist-hadist yang aku keluarkan adalah hadits-hadits dari bapakku. Hadist-hadist dari bapakku adalah dari kakekku. Hadist-hadist dari kakekku adalah dari Ali bin Abi Thalib, Amirul Mu'minin. Hadist-hadist dari Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib adalah hadist-hadist dari Rasulullah SAW dan hadist-hadist dari Rasulullah SAW adalah wahyu Allah Azza Wa Jalla."






Imam Syafi'i R.A (Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i)

(Gaza, Palestina, 150 H/767 M-Fustat [Cairo], Mesir, 204 H/20 Januari 820).

Ulama mujtahid (ahli ijtihad) di bidang fikih dan salah seorang dari empat imam mazhab yang ter­kenal dalam Islam. la hidup di masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid, al-Amin, dan al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah. Nama lengkap nya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i.

la sering juga dipanggil dengan nama Abu Abdullah karena salah seorang putranya bernama Abdullah. Setelah menjadi ulama besar dan mempunyai banyak pengikut, ia lebih dikenal de­ngan nama Imam Syafi’i dan mazhabnya disebut Mazhab Syafi’i. Kata “Syafi’i” dinisbahkan kepada nama kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi’i bin as-Sa’ib. Ayahnya bernama Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’ bin as-Sa’ib bin Abid bin Abd Yazid bin Hasyim bin al-Muttalib bin Abd Manaf, sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Abdullah bin al-Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Talib. Dari garis keturunan ayahnya, Imam Syafi’i bersatu dengan keturunan Nabi Muhammad SAW pada Abd Manaf, kakek Nabi SAW yang ketiga, sedangkan dari pihak ibunya, ia adalah cicit dari Ali bin Abi Talib. Dengan demikian, kedua orang tuanya berasal dari bangsawan Arab Kuraisy.

Kedua orangtuanya meninggalkan Mekah menuju Gaza, suatu tempat di Palestina, ketika ia masih dalam kandungan. Tiada berapa lama setelah tiba di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan meninggal dunia. Beberapa bulan sepeninggal ayahnya ia dilahirkan dalam keadaan yatim. Syafi’i diasuh dan dibesarkan oleh ibunya sendiri dalam kehidupan yang sangat sederhana, bahkan banyak menderita kesulitan. Setelah Syafi’i berumur dua tahun, ibu­nya membawanya pulang ke kampung asalnya, Mekah. Di sinilah Syafi’i tumbuh dan dibesarkan.

Pendidikan Syafi’i dimulai dari belajar membaca Al-Quran. Sejak usia dini ia telah memperlihatkan kecerdasan dan daya hafal yang luar biasa. Dalam usia 9 tahun Syafi’i sudah menghafal seluruh isi Al-Qur’an dengan lancar. Setelah dapat menghafal Al-Quran, Syafi’i berangkat ke dusun Badui, Banu Hudail, untuk mempelajari bahasa Arab yang asli dan fasih. Di sana, selama bertahun-tahun Syafi’i mendalami bahasa, kesusastraan, dan adat istiadat Arab yang asli. Berkat ketekunan dan kesungguhannya, Syafi’i kemudian dikenal sangat ahli dalam bahasa Arab dan kesusastraannya, mahir dalam membuat syair, serta mendalami adat istiadat Arab yang asli.

Syafi’i kembali ke Mekah dan belajar ilmu fikih pada Imam Muslim bin Khalid az-Zanni, seorang ulama besar dan mufti di kota Mekah, sampai memperoleh ijazah berhak mengajar dan memberi fatwa. Selain itu, Syafi’i juga mempelajari berbagai cabang ilmu agama lainnya seperti ilmu hadis dan ilmu Al-Quran. Untuk ilmu hadis, ia berguru pada ulama hadis terkenal di zaman itu, Imam Sufyan bin Uyainah, sedangkan untuk ilmu Al-Qur’an pada ulama besar Imam Isma’il bin Qastantin.

Di samping cerdas, Syafi’i juga sangat tekun dan tidak kenal lelah dalam belajar. Pada usia 10 tahun ia sudah membaca seluruh isi kitab al-Muwatta’ karangan Imam Malik dan pada usia 15 tahun telah menduduki kursi mufti di Mekah. Selama menuntut ilmu, Syafi’i hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Diriwayatkan bahwa karena kemiskinan dan ketidakmampuannya ia terpaksa mengumpulkan kertas-kertas bekas dari kantor-kantor pemerintah atau tulang-tulang sebagai alat untuk mencatat pelajarannya.

Setelah menghafal isi kitab al-Muwatta’, Syafi’i sangat berhasrat untuk menemui pengarangnya, Imam Malik, sekaligus memperdalam ilmu fikih yang amat diminatinya. Lalu dengan meminta izin kepada gurunya di Mekah, Syafi’i berangkat ke Madinah, tempat Imam Malik. Diceritakan bahwa dalam perjalanan antara Mekah dan Madinah yang ditempuhnya selama 8 hari Syafi’i sempat mengkhatamkan (baca sampai selesai) Al-Qur’an sebanyak 16 kali. Setibanya di Madinah, ia lalu salat di Masjid Nabi, menziarahi makam Nabi SAW, baru kemudian menemui Imam Malik. Selama di Madi­nah Syafi’i tinggal di rumah gurunya, Imam Malik, la sangat dikasihi oleh gurunya itu dan kepadanya diserahi tugas untuk mendiktekan isi kitab al-Mu­watta’ kepada murid-murid Imam Malik.

Syafi’i adalah profil ulama yang tidak pernah puas dalam menuntut ilmu. Semakin banyak ia menuntut ilmu semakin dirasakannya banyak yang tidak diketahuinya. la kemudian meninggalkan Madinah menuju Irak untuk berguru pada ulama besar di sana, antara lain Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan. Keduanya adalah sahabat Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi). Dari kedua imam itu Syafi’i memperoleh pengetahuan yang lebih luas mengenai cara-cara hakim memeriksa dan memutuskan perkara, cara memberi fatwa, cara menjatuhkan hukuman, serta berbagai metode yang diterapkan oleh para mufti di sana yang tidak pernah dilihatnya di Hedzjaz.

Setelah 2 tahun di Irak, Syafi’i melanjutkan perjalanannya ke Persia, lalu ke Hirah, Palestina, dan Ramlah, suatu kota dekat Baitulmakdis, dengan satu tujuan yaitu menuntut ilmu pada ulama-ulama terkemuka dan mencari pengalaman. Dari Ramlah ia kembali ke Madinah dan tinggal di sana bersama Imam Malik kurang lebih 4 tahun sampai wafatnya Imam Malik.

Sebagai pencinta ilmu, Syafi’i mempunyai banyak guru. Begitu banyaknya guru Imam Syafi’i, sehingga Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyusun satu buku khusus yang bernama Tawali at-Ta’sis yang di dalamnya disebut nama-nama ulama yang pernah menjadi guru Syafi’i, antara lain: Imam Muslim bin Khalid, Imam Ibrahim bin Sa’id, Imam Sufyan bin Uyainah, Imam Malik bin Anas (Imam Malik), Imam Ibrahim bin Muhammad, Imam Yahya bin Hasan, Imam Waqi’, Imam Fudail bin lyad, dan Imam Muhammad bin Syafi’.

Aktivitasnya di bidang pendidikan dimulai dengan mengajar di Madinah dan menjadi asisten Imam Malik. Waktu itu usianya sekitar 29 tahun. Sebagai ulama fikih namanya mulai dikenal, muridnya pun berdatangan dari berbagai penjuru wilayah Islam. Selain sebagai ulama ahli fikih ia pun dikenal sebagai ulama ahli hadis, tafsir, bahasa dan kesusastraan Arab, ilmu falak, ilmu usul, dan tarikh. Di samping itu, Syafi’i memiliki kemampuan khusus dalam ilmu kiraah. la sangat mahir dalam melagukan ayat-ayat Al-Qur’an. Suaranya yang bagus dan bahasanya yang fasih memukau setiap orang yang mendengarkan bacaannya.

Syafi’i kemudian pindah ke Yaman atas undangan Abdullah bin Hasan, wali negeri Yaman. Di sana ia diangkat sebagai penasihat khusus dalam urusan hukum, di samping tetap melanjutkan karirnya se­bagai guru. Sama seperti di Madinah, di sini pun Syafi’i mempunyai banyak murid. Oleh wali negeri Yaman, Syafi’i dinikahkan dengan seorang putri bangsawan yang bernama Siti Hamidah binti Nafi’, cicit Usman bin Affan. Perkawinannya ini dianugerahi tiga orang anak, yaitu Abdullah, Fatimah, dan Zainab.

Pada waktu itu orang-orang Syiah di Yaman sedang melangsungkan kegiatannya dengan gencar. Syiah dianggap sebagai kelompok oposisi yang akan menjatuhkan pemerintah resmi di Baghdad. Imam Syafi’i dituduh terlibat dalam aktivitas Syiah dan atas tuduhan itu ia ditangkap dan dibawa ke Baghdad menghadap Khalifah Harun ar-Rasyid. Setelah terbukti tidak bersalah, ia dibebaskan, bahkan Khalifah merasa kagum terhadapnya. Selama di Baghdad, Syafi’i diminta mengajar dan orang-orang Baghdad pun berduyun-duyun datang belajar kepadanya.

Pada tahun 181 H/797 M Syafi’i kembali meng­ajar ke Mekah. Selama 17 tahun di Mekah Syafi’i mengajarkan berbagai macam ilmu agama, terutama kepada para jemaah haji yang datang dari ber­bagai penjuru dunia Islam. Di samping mengajar, ia pun banyak menulis terutama mengenai masalah fikih.

Selanjutnya pada tahun 198 H/813 M Syafi’i pergi ke Baghdad, yaitu pada masa pemerintahan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M). Sesampainya di sana Syafi’i disambut oleh ulama dan pemuka Baghdad yang telah lama merindukan kedatangannya. Syafi’i diberi tempat mengajar di dalam Masjid Baghdad. Mulanya, di situ ada 20 halaqah (kelom­pok belajar), tetapi setelah Imam Syafi’i datang, hanya tinggal 3 halaqah, yang lainnya menggabungkan diri ke dalam halaqah Imam Syafi’i.

Belum cukup setahun mengajar di Baghdad Syafi’i diminta oleh wali negeri Mesir, Abbas bin Musa, untuk pindah ke Mesir. Dengan rasa berat Syafi’i meninggalkan murid-muridnya di Baghdad menuju Mesir. Di Mesir Syafi’i memberi pengajaran di Masjid Amr bin As, dengan jumlah murid yang tidak kalah banyaknya dari tempat lain. la biasa mengajar mulai pagi hari sampai zuhur. Selesai salat zuhur, baru ia pulang ke rumah. Di waktu sore dan malam hari ia memberikan pelajaran di rumah. Di Mesir Syafi’i menyelesaikan beberapa buah buku. Pikiran-pikiran dan hasil ijtihadnya selama tinggal di Mesir inilah yang kemudian dikenal sebagai pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang baru (al-qaul al-jadid), sedangkan pikiran-pikiran dan hasil ijtihad sebelumnya dikenal dengan sebutan al-qaul al-qadim, pendapat Imam Syafi’i yang lama.

Syafi’i adalah figur ulama yang zahid. Pakaian dan tempat tinggalnya sederhana. la tidak suka makan banyak dan menurut pengakuannya sejak kecil ia sudah terbiasa tidak makan sampai kenyang, karena kekenyangan membuat tubuh men­jadi malas, membuat hati jadi beku, dan membuat pikiran jadi tumpul. Orang kenyang enggan beribadat kepada Allah. Walaupun dalam serba kekurangan, Imam Syafi’i memiliki sifat dermawan. Setiap kali menerima hadiah berupa uang dan harta lainnya ia tidak pernah menyimpannya di rumah, melainkan segera dibagikan kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan.

Syafi’i juga terkenal dalam ketaatannya dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Ada banyak pengakuan ulama mengenai dirinya, antara lain dari Imam ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Marawi yang mengatakan bahwa Syafi’i menggunakan sebagian besar waktunya di malam hari untuk salat dan mengkhatamkan Al-Qur’an, terutama di bulan Ramadan ia bisa mengkhatam bacaan Al-Qur’an sampai enam puluh kali. Pengakuan yang sama disampaikan oleh Imam Husain al-Karabisi. la berkata, “Saya sering bermalam di rumah Imam Syafi’i dan menyaksikannya setiap malam menghabiskan sepertiga waktunya di akhir malam untuk salat dan mengkhatam Al-Qur’an.”

Imam Syafi’i digelari Nasir as-Sunnah artinya “pembela sunah atau hadis” karena sangat menjunjung tinggi sunah Nabi SAW, sebagaimana ia sa­ngat memuliakan para ahli hadis. Ulama besar, Abdul Halim al-Jundi, menulis sebuah buku dengan judul al-Imam asy-Syafi’i, Nasir as-Sunnah wa Wadi’ al-Usul (Imam Syafi’i, Pembela Sunah dan Peletak Dasar Ilmu Usul Fikih). Di dalamnya diuraikan secara rinci bagaimana sikap dan pembelaan Syafi’i terhadap sunah. Intinya adalah bah­wa Imam Syafi’i sangat mengutamakan sunah Nabi SAW dalam melandasi pendapat-pendapat dan hasil ijtihadnya.

Karena sangat mengutamakan sunah, Syafi’i menjadi sangat berhati-hati dalam menggunakan kias. Menurutnya, kias hanya dapat digunakan da­lam keadaan terpaksa (darurat), yaitu dalam masalah mu’amalah (kemasyarakatan) yang tidak didapati teksnya (nasnya) secara pasti dan jelas di dalam Al-Qur’an atau hadis sahih, atau tidak dijumpai ijmak pada sahabat. Kias sama sekali ti­dak dibenarkan dalam urusan ibadah karena untuk segala yang menyangkut ibadah sudah tertera nas­nya di dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW. Dalam penggunaan kias, Syafi’i menegaskan bahwa harus diperhatikan nas-nas Al-Qur’an dan sunah yang telah ada.

Syafi’i berpendapat bahwa bidah ada dua ma-cam: bidah terpuji dan bidah sesat. Dikatakan terpuji jika bidah itu selaras dengan prinsip-prinsip sunah, sebaliknya jika bertentangan dengannya dikatakan bidah sesat. Mengenai taklid, Syafi’i selalu memberikan perhatian kepada murid-muridnya agar tidak menerima begitu saja pendapat-pendapat dan hasil ijtihadnya. Ia tidak senang melihat murid-mu­ridnya bertaklid buta kepada perkataan-perkataannya. Sebaliknya ia menyuruh murid-muridnya untuk bersikap kritis dan berhati-hati dalam mene­rima suatu pendapat.

Dalam meng-istinbat-kan (mengambil dan menetapkan) suatu hukum, Syafi’i dalam bukunya ar-Risalah menjelaskan bahwa ia memakai lima dasar, yaitu,

1) Al-Qur’an,

2) sunah,

3) ijmak,

4) kias, dan

5) istidlal (penalaran).

Kelima dasar inilah yang kemudian dikenal sebagai dasar-dasar mazhab Imam Syafi’i. Dasar pertama dan utama dalam menetapkan hukum adalah Al-Qur’an. Syafi’i terlebih dahulu melihat makna lafzi (perkataan) Al-Qur’an. Kalau suatu masalah tidak menghendaki makna lafzi barulah ia mengambil makna majazi (kiasan). Kalau dalam Al-Qur’an tidak ditemukan hukumnya, ia beralih kepada sunah Nabi SAW. Dalam hal sunah, ia juga memakai hadis ahad (perawinya satu orang) di samping yang mutawatir (perawinya banyak orang), selama hadis ahad itu mencukupi syarat-syaratnya. Jika di dalam sunah pun belum dijumpai nasnya, ia mengambil ijmak sahabat. Setelah mencari dalam ijmak sahabat dan tidak juga ditemukan ketentuan hukumnya barulah ia melakukan kias. Apabila ia tidak menjumpai dalil dari ijmak dan kias, ia memilih jalan istidlal, yaitu menetapkan hukum berdasarkan kaidah-kaidah umum agama Islam.

Sebagai ulama yang tempat mengajarnya berpindah-pindah, Syafi’i mempunyai ribuan murid yang berasal dari berbagai penjuru. Di antaranya yang terkenal adalah ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Ma­rawi, Abdullah bin Zubair al-Hamidi, Yusuf bin Yahya al-Buwaiti, Abu Ibrahim, Isma’il bin Yahya al-Muzani, Yunus bin Abdul A’la as-Sadafi, Ahmad bin Sibti, Yahya bin Wazir al-Misri, Harmalah bin Yahya Abdullah at-Tujaibi, Ahmad bin Hanbal, Hasan bin Ali al-Karabisi, Abu Saur Ibrahim bin Khalid Yamani al-Kalbi, dan Hasan bin Ibrahim bin Muhammad as-Sahab az-Za’farani. Mereka semua berhasil menjadi ulama besar di masanya.
Penghargaan
Syafi’i adalah profil ulama yang tekun dan berbakat dalam menulis. Karangannya yang sampai kepada kita antara lain,

(1) ar-Risalah, suatu kitab yang khusus membahas tentang usul fikih dan me-rupakan buku pertama yang ditulis ulama dalam bidang usul fikih. Di dalamnya Syafi’i menguraikan dengan jelas cara-cara mengistinbatkan hukum. Sampai sekarang buku ini tetap merupakan buku standar dalam usul fikih.

(2) Kitab al-Umm, sebuah kitab fikih yang komprehensif. Kitab al-Umm yang ada sekarang terdiri atas tujuh jilid dan mencakup isi beberapa kitab Syafi’i yang lain seperti Siyar al-Ausa’i, Jima’ al-‘Ilm, Ibtal al-Istihsan, dan ar-Radd ‘Ala Muhammad ibn Hasan.

(3) Kitab al-Musnad, berisi tentang hadis-hadis Nabi SAW yang dihimpun dari kitab al-Umm. Di sana dijelaskan keadaan sanad setiap hadis.

(4) Ikhtilaf al-Hadis, suatu kitab hadis yang menguraikan pendapat Syafi’i mengenai perbedaan-perbedaan yang ter-dapat dalam hadis. Terdapat pula buku-buku yang memuat ide-ide dan pikiran-pikiran Imam Syafi’i, tetapi ditulis oleh murid-muridnya, seperti Kitab al-fiqh, al-Muktasar al-Kabir, al-Mukhtasar as-Sagir, dan al-Fara’id. Ketiga yang baru ini dihimpun oleh Imam al-Buwaiti.

SYAFI’I, MAZHAB.

Salah satu aliran dalam fikih di kalangan Ahlusunah waljamaah. Nama ini dinisbahkan kepada Imam Syafi’i yang nama panjangnya Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i. Imam Syafi’i merupakan pendiri aliran ini yang muncul pada pertengahan abad ke-2 H.

Sebagai pendiri mazhab, Imam Syafi’i memiliki pemikiran fikih yang khas yang berbeda dengan kedua aliran sebelumnya, Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi, meskipun kedua aliran ini telah dipelajarinya secara mendalam. Ketika menetap di Mesir, ia membina para muridnya yang kemudian menjadi ulama-ulama besar sebagai penerus dan penyebar pahamnya. Di antara muridnya yang ter-kenal adalah Abu Saur Ibrahim bin Khalid bin Yamani al-Kalbi, Hasan bin Ibrahim bin Muhammad as-Sahab az-Za’farani, Isma’il bin Yahya al-Muzani, dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi. Dari para murid inilah paham-pahamnya tersebar luas dan karya tulisnya menjadi pegangan atau sumber acuan masyarakat. Pada perkembangan selanjutnya, paham-paham Syafi’i menjadi suatu mazhab fikih yang penganutnya tersebar di berbagai dunia Islam.

Sumber acuan mazhab ini adalah paham dan buah pikiran Syafi’i yang termuat dalam berbagai karya tulisnya, antara lain: Ar-Risalah (kitab usul fikih), al-Umm (kitab yang memuat masalah-masalah fikih), Ikhtilaf al-Hadis (kitab yang berkaitan dengan ilmu hadis), dan al-Musnad (kitab hadis). Kitab-kitab lainnya, yang dihimpun oleh para mu­ridnya, antara lain al-Fiqh (hasil himpunan al-Haramain bin Yahya), al-Mukhtasar al-Kabir, al-Mukhtasar as-Sagir, al-Fara’id (hasil himpunan Imam al-Buwaiti), al-Jami’ al-Kabir, dan as-Sagir (hasil himpunan al-Muzani). Para ulama Mazhab Syafi’i ada yang mengembangkan kitab-kitab tersebut dengan mensyarahkan (menguraikan atau menjelaskan) atau membuat hasyiahnya (komentar). Ada juga yang sengaja menyusun kitab-kitab sebagai karyanya sendiri dengan mengacu pada paham-paham fikih dan metode istinbat Syafi’i.

Adapun yang menjadi dasar dalam pembinaan fikihnya (masadir atau sumber/dasar dan dalil ta-syri’-nya atau hukumnya) sebagaimana yang diterapkan oleh Syafi’i, ialah Al-Qur’an, sunah, ijmak, dan kias. Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan sunah sumber kedua. Sunah yang dipakai ada­lah sunah yang nilai kuantitasnya mutawdtir (perawinya banyak orang) maupun yang ahad (perawinya satu orang); sunah yang nilai kualitasnya sahih maupun hasan, bahkan juga sunah yang daif. Adapun syarat-syarat untuk semua sunah yang daif ada­lah:

(1) tidak terlalu lemah,

(2) dibenarkan oleh kaidah umum atau dasar kulli (umum) dari nas,

(3) tidak bertentangan dengan dalil yang kuat atau sahih, dan

(4) hadis tersebut bukan untuk menetap-kan halal dan haram atau masalah keimanan, melainkan sekedar untuk anjuran keutamaan amal (fada’il al a’mal) atau untuk targib (imbauan) dan tarhib (anjuran).

Dalam pandangan Imam Syafi’i hadis mempunyai kedudukan yang begitu tinggi. Bahkan disebut-sebut sebagai salah seorang yang meletakkan hadis setingkat dengan Al-Quran dalam kedudukannya sebagai sumber hukum Islam yang harus diamalkan. Karena, menurut Imam Syafi’i, hadis itu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Al-Quran. Bahkan, menurutnya, setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah SAW pada hakikatnya me­rupakan hasil pemahaman yang beliau peroleh dari memahami Al-Quran. Dengan demikian, memang pada tempatnya jika Imam Syafi’i oleh banyak orang dijuluki sebagai pembela sunah (nasir as-sunnah). Selain berpegang pada Al-Quran dan sunah, Imam Syafi’i juga berpegang pada ijmak. Ijmak yang dimaksudkannya ialah suatu hasil kese-pakatan para sahabat secara integral mengenai hu­kum suatu masalah. Kesepakatan ini harus diper-oleh secara jelas. Soal kias, menurut Imam Syafi’i merupakan salah satu dasar hukum Islam untuk mengetahui suatu kepastian hukum yang ketentuannya tidak ditunjuk langsung oleh nas yang sarih (tegas). Jika suatu persoalan hukumnya tidak di­tunjuk secara jelas, baik oleh nas maupun oleh ijmak, maka harus dilakukan ijtihad melalui jalan kias. Kias itu sendiri artinya ilhaqu amrin qair mansusin ‘ala hukmihi bi amrin akhar mansusin ‘ala hukmihi liisytirakihi ma’ahu fl ‘illah al-hukmi (menetapkan hukum atas suatu perbuatan yang belum ada nasnya berdasarkan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya secara jelas dalam nas, karena terdapat kesamaan ilat [sebab] hukumnya). Di kalangan penganut Mazhab Syafi’i dikenal juga adanya teori/metode maslahat, yakni metode penerapan hukum yang berdasarkan kepentingan umum. Hanya saja maslahat yang digunakannya terbatas pada maslahat yang mu’tabarah (maslahat yang se­cara khusus ditunjuk oleh nas) dan maslahat yang mulaimah lijins tasarrufat asy-Syari’ (maslahat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT sebagai pembuat undang-undang).

Mazhab Syafi’i mula-mula tumbuh dan berkembang di Iraq. Di sinilah untuk pertama kalinya Imam Syafi’i menyampaikan paham-pahamnya kepada para ulama, ketika ia melawat ke daerah ini dalam rangka meluaskan wawasan ilmunya. Maz­hab ini berkembang cukup subur dan pesat di Mesir, sekalipun pada masa kekuasaan Dinasti Fatimiah mazhab ini sempat mendapat tekanan keras. Dari sini paham-paham Syafi’i terus disebarkan oleh para pengikutnya ke berbagai wilayah, seperti Baghdad, Khurasan, Pakistan, Syam (Suriah), Yaman, Persia (Iran), Hedzjaz, India, dan beberapa daerah Afrika dan Andalusia. Pada perkembangan berikutnya, sampai pada abad modern Islam, maz­hab ini telah memasuki berbagai belahan dunia, antara lain Mesir, Palestina, Suriah, Khurasan, Hedzjaz, Irak, Persia, Hadramaut, Aden, Cina, India, Pakistan, Philipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Untuk beberapa negara atau daerah, mazhab ini juga mengalami pasang surut, yakni berkaitan erat dengan kebijaksanaan pemerintah yang sedang berkuasa. Hal ini dapat dilihat di Iran maupun di Madinah bahwa Mazhab Syafi’i tidak banyak berkembang di kedua negara ini.




Imam Ahmad bin Hambal 


Di lahirkan pada bulan Rabiul awal, tahun 164 H di Baghdad. Nasab beliau adalah orang Arab, sehingga beliau adalah seorang Syaibani dalam nasab beliau kepada ayah dan ibunya. Dari ayahnya, beliau mewarisi sifat tekad yang kuat, kehormatan diri, kesabaran, dan kemampuan memikul bernagai kesulitan. Beliau adalah imam yang kokoh lagi kuat.

Ayah beliau wafat saat ia masih kecil, sehingga ibunya yang merawat dan mengharahkan beliau untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Beliau pun menghafal Al-Qur’an dan mempelajari bahasa Arab. Pada umur lima belas tahun, beliau mulai mempelajari hadis dan menghafalnya; dan pada umur dua puluh tahun, belaiu mulai mengadakan perjalanan guna menuntut ilmu. Belliau pergi ke kota kufah, Makkah, Madinah, Syam, dan Yaman, lalu kembali ke Baghdad.

Dalam perjalanan ke Baghdad selama rentang waktu tahun 195 sampai 197 H, beliau mengajar berdasarkan madzhab syafi’i. beliau termasuk murid Imam syafi’I yang paling senior di Baghdad. Ahmad juga belajar dari banyak ulama di irak, di antaranya Ibrahim bin Sa’id, Sufyan bin Uyainah, Yahya bin Sa’id, Yazid bin Harun, Abu Dawud ath-Thayalisi, Waki bin al-Jarrah, dan Abdurrahman bin Mahdi. Sesudah itu, beliau menjadi seorang mujtahid yang mempunyai madzhab sendiri dan mengugguli teman-teman seangkatnya dalam menghafal As-sunnah dan mengumpulkan bagian-bagianya yang terpisah, sehingga beliau menjadi imam para muhaddits pada masanya.

Kitabnya, Al-Mushad, yang berisi lebih dari 40.000 hadis, menjadi saksi atas hal tersebut. Allah, pun telah memberikan kepada Ahmad kekuatan hafalan yang mengagumkan. Asy-Syafi’I berkata, “ aku keluar dari Baghdad dan tidak kutinggalkan seseorang disana yang lebih faqih, lebih warna’, lebih zuhud, lebih alim, dan lebih banyak hafalannya dibandingkan ibnu Hambal.” Beliau juga seorang yang mempunyai tekad kuat, amat penyabar, berpendirian teguh, berhujjah kuat,berani berbicara di hadapan para khalifah, yang menyebabkan beliau mendapat ujian yang amat terkenal.

Ujian itu dialaminya pada masa kekhalifahan al-Ma’mun Al-Abbasi. Pada tahun 212 H, muncul pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Hal itu diungkapkan oleh golongan Mu’tazilah dan menjadikan hal itu sebagai akidah mereka. Hingga dikatakan bahwa ulama dan fuqaha mana pun yang tidak mengakui hal ini, maka diharamkan dari tugas-tugas kenegaraan, serta dihukum dengan hukuman dera dan penjara.

Ibnu Hambal berbeda pendapat dengan mereka dan tidak setuju dengan pendapat mereka. Dalam masalah ini, beliau bersikap seperti gunung yang kokoh lagi teguh; sedikit pun tidak cenderung pada pendapat yang diucapkan oleh al-Ma’mun. akibatnya, hukuman itu diberlakuhkan atas diri beliau, beliau dilarang mengajar, dan disiksa dalam penjara pada tahun 218 H oleh ishaq baiIbrohim al-Khuza’I,pengganti al-Ma’mun. Kemudian beliau digiring dalam keadaan dibelenggu dengan besi ke tempat al-Ma’mun tinggal,di luar Baghdad.

Namun al-Ma’mun telah meninggal sebelum Ahmad bin hambal sampai ketempatnya. Sepeninggalan al-Ma’mun, yang menjabat kekhalifahan adalah saudaranya, al-Mu’tashim. Dia juga mengikuti akidah al-Ma’mun dalam masalah ini. Dengan wasiat dari al-Ma’mun, Ahmad dipenjara dan diperintahkan agar dipukul dengan cambuk beberapa kali. Setiap kali dicambuk beliau pingsan, karena begitu kerasnya pukulan tersebut.

Al-Mu’taslim melanjutkan dera dan siksaan terhadap Ahmad selama kurang lebih 28 bulan. Salah seorang tukang cambuknya berkomentar sesudah dia bertobat,”saya telah memukul Imam Ahmad sebanyak 80 kali dera. Seandainnya saya memukulnya kepada seekor gajah, niscaya gajah itu akan jatuh.”

Guna menjelaskan betapa besar kesabaran dan kekuatan Imam Ahmad dalam membela kebenaran, kami sebutkan kisah ini:

Al- Mu’tashim menghadirkan para fuqaha dan hakim untuk melawan Imam Ahmad. Mereka mendebat belia dihadapan al- Ma’mun selama tiga hari. Beliau pun mendebat mereka dan menunjukkan dalil-dalil yang pasti seraya berkata, ‘’ Saya adalah seorang laki-laki yang mengetahui suatu ilmu dan saya tidak memahami perkara tersebut seperti kalian. Berikanlah suatu dalil yang bersumber dari kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya SAW hingga saya bisa berpendapat sama.’’

Setiap kali mereka mendebat beliau dan memaksanya untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, beliau berkata kepada mereka,’’ Bagaimana saya akan mengatakan sesuatu yang belum pernah diucapkan?’’ Maka al-Mu’tashim berkata,’’ kita paksa saja Ahmad.’’

Di antara orang-orang yang fanatic kepada pendapat tersebut adalah Muhammad bin Abdul Malik az-Zayyat, menteri al-Mu’tashim, Ahmad bin Du’ad al-Qadhi, dan Bisyr al-Marisi. Mereka semua adalah orang-orang Mu’tazilah yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk hidup. Ibnu Du’ad dan Bisyr berkata kepada khalifah,’’ Bunuh saja dia sehingga kita bisa merasa tenang darinya. Orang ini kafir lagi sesat.’’

Al-Mu’tashim menjawab,’’ Saya sudah berjanji kepada Allah tidak akan membunuhnya dengan pedang dan tidak akan memerintahkan pembunuhan terhadapnya dengan pedang.’’ Keduanya lalu berkata kepada al-Mu’tashim,’’ Pukullah dia dengan cambuk.’’

Maka al-Mu’tashim berkata kepada Ahmad,’’ demi hubungan kekerabatanku dengan Rasulullah SAW sungguh saya akan memukulmu dengan cambuk, atau kau sependapat dengan ku.’’ Namun ancaman ini tidak membuat beliau takut, sehingga al-Mu’tashim berkata,’’ panggil para tukang cambuk!’’ sesudah mereka dipanggil, al-Mu’tashim bertanya kepada salah seorang dari mereka,’’ Berapa kali cambuk kamu bisa membunuhnya?’’

Tukang cambuk itu menjawab,’’ sepuluh kali.’’ Al-Mu’tashim berkata,’’ kuserahkan dia kepadamu.’’ Kemudian seluruh baju Imam Ahmad di lepas dalam kedua tangannya diikat dengan rantai dari besi. Tatkala cambuknya sudah didatangkan, al-Mu’tashim memperhatikan cambuk itu lalu berkata,’’ Datangkan cambuk yang lainnya!’’ Cambuk itupun diganti sesuai dengan permintaan al-Mu’tashim.

Kemudian dia berkata kepada para tukang cambuk,’’ Majulah kalian.’’ Setelah di cambuk satu kali, Imam Ahmad mengucap,’’ Bismillah.’’ Setelah di cambuk kedua kalinya, Ahmad mengucap,’’La haula wa la quwwata illa billahi.’’ Sesudah di cambuk untuk ketiga kalinya, dia mengucap,’’ Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.

Ketika di pukul yang keempata kalinya, beliau berkata,’’ katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah di tetapkan oleh Allah bagi kami…’’ ( At-Taubah:51 )

Laki-laki tukang cambuk itu maju ke hadapan al-Imam Ahmad, lalu memukulnya dua kali. Sementara al-Mus’tashim menganjurkannya agar memukul beliau dengan sangat keras. Kemudian tukang cambuk tersebut menyingkir. Tukang cambuk yang lain pun maju dan memukul beliau dua kali.

Ketika beliau sudah di pukul Sembilan belas kali, al-Mu’tashim berdiri di hadapan beliau seraya berkata,’’ Hai Ahmad, mengapa engkau membunuh dirimu sendiri? DemiAllah, sesungguhnya saya amat kasihan kepadamu.’’

Ahmad bercerita,’’ Tiba-tiba seorang yang kurus kerempeng menodongku dengan pedang yang lurus seraya berkata,’’ Kamu ingin mengalahkan mereka semuanya?’’ Sebagian diantara mereka berkata,’’ Celaka kamu. Sang khalifah berdiri diatas kepalamu. ‘’ Sebagian lagi berkata,’’ Wahai Amirun Mukminin, darahnya adalah tanggunganku. Saya saja membunuhnya.’’

Mereka berkata,’’ Wahai Amirun Mukminin, sesungguhnya dia tengah berpuasa, sedang kamu berdiri di tengah terik matahari’’. Al-Mu’tashim berkata,’’ Celaka kamu, hai Ahmad. Apa yang akan kau katakana?’’ Maka aku menjawab,’’ Berikanlah kepadaku suatu dalil dari kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW, Sehingga aku bisa berpendapat sama seperti kalian.’’

Sang khalifah lalu kembali dan duduk, lantas berkata kepada seorang tukang cambuk,’’ Majulah !’’ lalu dia menyuruhnya untuk menyakiti beliau dengan pukulan cambuk .

Al-Iam Ahmad bercerita,”Tiba-tiba kesadaran lenyap dan saya pun siuman sesudah itu.Ternyata, belenggu-belengguitu telah dilepaskan dariku.

Kemudian mereka memberiku sawuq, lalu berkata, ’’Makan dan muntahkanlah.”saya menjawap,”saya tidak akan berbuka.”Kemudian saya dibawa kerumah Ishq bin Ibrahim. Di sana saya ikut jamaah sholat Zuhur.saat itu Ibnu Sama’ah maju untuk melakukan sholat.Selesai dari sholatnya,dia berkata padaku,”kamu mekakukan sholat padahal darah mengalir di bajumu.’Saya menjawab, Umar Telah melakukan sholat sementara lukanya mengalirkan darah.”

Tatkal pendirian Ahmad tidak bisa ubah dan beliau tidak mau meninggalkan akidah dan pendapatnya,maka dia dibebaskan secara mutlak,lalu beliau kembali mengajar. Pada tahun 228H, al-Mutashim meningal dunia dan al-watsiqBillah yang mengantikannya.Dia mengulang siksaan tersebut kepada Ahmat dan melarang beliau untuk bergaul dean masyarakat serta melarang beliau untuk mengajar selama lebih dari lima tahun ;hingga al-watsiw meningal dunia pada tahun 232H.

Sepeninggal al-watsiq, kekholifahan di jabat oleh al-mutawakkil,yang menyelisihi keyakinan yangdi pegang oleh al-Ma’mun ,al-mu’tashim,dan al-watsiq.Dia mencela mereka atas pendapat yang mereka pegang bahwa Al-Quran adalah makhluk;dan itu terjadi pada tahun 232H.Al-Mutawakkil juga melarang diskusi yang mengarah kepada bependapat,memberikan hukuman kepada orang yang melakukannya,dan menyuruh agar memelihatnya periwayatan yang jelas dari hadis yang menjadi dasar pemikirannya.

Dengan perantara Al-Mutawakkil, Allah memenangkan As-Sunnah,mematikan bid’ah menyelapkan mendung itu dari seluruh mahluk, meneranga kegelapan itu,dan membebaskan siapa saja yang di tahan karena menolak pendapat bahwa Al-Quran adalah mahkluk,menghilangkan bencana dari manusia,memuliakan Imam Ahmad dan membentangkan tangan bantuan-Nya kepada beliau, dan akhirnya Ahmad tetap berada di atas manhajnya,

Teguh pada pendirianya, hingga wafat di Baghdad.

Sepeninggal Ahmad,para muritnya mengumpulkan banyak tema permasalahan dalam fiqih dan fatwa.mereka membukukannya dan meriwayatkannya dalam satu kumpulan besar,seperti yang dilakukan oleh Ibnu Qudamah dalam dua kitabnya, yakni al-Mughni dan asy-Syarhul-kabir.

Imam Ahmad tidak mencatat dan membukukan pendapatnya dalam masalah fiqih, juga tidak mendiktekannya kepada seorang pun diantar muritnya, karna ia tidak suka bbila hal itu akan menyibukkan manusia dari membahas hadis.metode mengajar beliau tidak sejalan dengan metode Abu Halifah –para muritnya selalu membukukan dan mencatat perkataannya setiap kali beliau hadir-juga tidak sejalan dengan Imam Malik yang membukukan sendiri pendapatnya, demikian pula Imam asy-Syafi’i.

Semua Imam itu telah mewariskan masalah fiqih dengan mencatatnya dalam buku, berbeda dengan Imam Ahmad yang tidak mewariskan masalah fiqih yang tercatat dalam buku. Sepeninggal Imam Ahmad, para muritnya membukukan semua masalah fiqih yang pernah mereka dengar dari beliau. Diantara para murit tersebut adalah:Muhammad bin Isma’il al- Bukhori-penyusun kitabSahih,Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburi-juga penyusun kitab Sahih,dan Abu Dawud-penyusun kitab Sunan.

Diantara para murit beliau yang berbakti, yang membukukan berbagai fatwa dan pendapat-pendapat fiqih dari beliau, adalah kedua putra beliau sendiri, Shalih (wafat 226H).dan Abdullah (wafat 290H).[i] selain itu, diantara murit-murit beliau terhadap Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin Hani al-Baghdadi yang terkenal dengan nama al-Atsram (wafat 273 H).Dia termasuk salah seorang yang paling terkenal membukukan permasalahan fiqih menurut Imam Ahmad,dalam kitap As-Sunnah fi al- fiqih ‘alaMadzhabi Ahmad wa Syawahiduhu min al –Hadits.

Di antara murid beliau yang terkenal juga ada Abu Bakr Ahmad bin al-khallal (wafat 311 H), yang menyusun kitab al-jami dalam dua puluh buku.Semua yang dicatat oleh Bakr daaalam kitap tersebut dianggap sebagai periwayatan dari para murid Ahmad.Adapun dalam bidang hadis,Ahmad memiliki kitap Musnad yang terkenal dan popular.

Penghargaan
Al –Imam Ahmad telah mendirikan madzabnya di atas beberapa pondasi,yaitu kitabullah yang pertama;kemudian Sunnah Rasulullah sebagai yang kedua ; lalu wafat-wafat para sahabat yang di ketahui tidak ada yang menyelisihkan; selanjutnya adalah Qiyas,yang merupakan tingkatan terakhir menurut beliau.

Ahmad mengakui adanya ijma bila memang benar-benar dapat dipraktikkan.Tetapi beliau sering menganggap ijma sangat sulit terwujud dalam tataran praktis.Di samping itu, Ahmad selalu bersikap ramah dan bersahabat, melakukan berbagai kemaslahatan dengan ikhlas, dan menutup segala celsh yang dapat memicu terjadinya fitnah,sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulu umat ini.
Informasi Pribadi
Dalam perjalanan ke Baghdad selama rentang waktu tahun 195 sampai 197 H, beliau mengajar berdasarkan madzhab syafi’i. beliau termasuk murid Imam syafi’I yang paling senior di Baghdad. Ahmad juga belajar dari banyak ulama di irak, di antaranya Ibrahim bin Sa’id, Sufyan bin Uyainah, Yahya bin Sa’id, Yazid bin Harun, Abu Dawud ath-Thayalisi, Waki bin al-Jarrah, dan Abdurrahman bin Mahdi. Sesudah itu, beliau menjadi seorang mujtahid yang mempunyai madzhab sendiri dan mengugguli teman-teman seangkatnya dalam menghafal As-sunnah dan mengumpulkan bagian-bagianya yang terpisah, sehingga beliau menjadi imam para muhaddits pada masanya.

Ayah beliau wafat saat ia masih kecil, sehingga ibunya yang merawat dan mengharahkan beliau untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Beliau pun menghafal Al-Qur’an dan mempelajari bahasa Arab. Pada umur lima belas tahun, beliau mulai mempelajari hadis dan menghafalnya; dan pada umur dua puluh tahun, belaiu mulai mengadakan perjalanan guna menuntut ilmu. Belliau pergi ke kota kufah, Makkah, Madinah, Syam, dan Yaman, lalu kembali ke Baghdad.
Dalam perjalanan ke Baghdad selama rentang waktu tahun 195 sampai 197 H, beliau mengajar berdasarkan madzhab syafi’i. beliau termasuk murid Imam syafi’I yang paling senior di Baghdad. Ahmad juga belajar dari banyak ulama di irak, di antaranya Ibrahim bin Sa’id, Sufyan bin Uyainah, Yahya bin Sa’id, Yazid bin Harun, Abu Dawud ath-Thayalisi, Waki bin al-Jarrah, dan Abdurrahman bin Mahdi. Sesudah itu, beliau menjadi seorang mujtahid yang mempunyai madzhab sendiri dan mengugguli teman-teman seangkatnya dalam menghafal As-sunnah dan mengumpulkan bagian-bagianya yang terpisah, sehingga beliau menjadi imam para muhaddits pada masanya.
Kitabnya, Al-Mushad, yang berisi lebih dari 40.000 hadis, menjadi saksi atas hal tersebut. Allah, pun telah memberikan kepada Ahmad kekuatan hafalan yang mengagumkan. Asy-Syafi’I berkata, “ aku keluar dari Baghdad dan tidak kutinggalkan seseorang disana yang lebih faqih, lebih warna’, lebih zuhud, lebih alim, dan lebih banyak hafalannya dibandingkan ibnu Hambal.” Beliau juga seorang yang mempunyai tekad kuat, amat penyabar, berpendirian teguh, berhujjah kuat,berani berbicara di hadapan para khalifah, yang menyebabkan beliau mendapat ujian yang amat terkenal.
Ujian itu dialaminya pada masa kekhalifahan al-Ma’mun Al-Abbasi. Pada tahun 212 H, muncul pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Hal itu diungkapkan oleh golongan Mu’tazilah dan menjadikan hal itu sebagai akidah mereka. Hingga dikatakan bahwa ulama dan fuqaha mana pun yang tidak mengakui hal ini, maka diharamkan dari tugas-tugas kenegaraan, serta dihukum dengan hukuman dera dan penjara.
Ibnu Hambal berbeda pendapat dengan mereka dan tidak setuju dengan pendapat mereka. Dalam masalah ini, beliau bersikap seperti gunung yang kokoh lagi teguh; sedikit pun tidak cenderung pada pendapat yang diucapkan oleh al-Ma’mun. akibatnya, hukuman itu diberlakuhkan atas diri beliau, beliau dilarang mengajar, dan disiksa dalam penjara pada tahun 218 H oleh ishaq baiIbrohim al-Khuza’I,pengganti al-Ma’mun. Kemudian beliau digiring dalam keadaan dibelenggu dengan besi ke tempat al-Ma’mun tinggal,di luar Baghdad.
Namun al-Ma’mun telah meninggal sebelum Ahmad bin hambal sampai ketempatnya. Sepeninggalan al-Ma’mun, yang menjabat kekhalifahan adalah saudaranya, al-Mu’tashim. Dia juga mengikuti akidah al-Ma’mun dalam masalah ini. Dengan wasiat dari al-Ma’mun, Ahmad dipenjara dan diperintahkan agar dipukul dengan cambuk beberapa kali. Setiap kali dicambuk beliau pingsan, karena begitu kerasnya pukulan tersebut.
Al-Mu’taslim melanjutkan dera dan siksaan terhadap Ahmad selama kurang lebih 28 bulan. Salah seorang tukang cambuknya berkomentar sesudah dia bertobat,”saya telah memukul Imam Ahmad sebanyak 80 kali dera. Seandainnya saya memukulnya kepada seekor gajah, niscaya gajah itu akan jatuh.”
Guna menjelaskan betapa besar kesabaran dan kekuatan Imam Ahmad dalam membela kebenaran, kami sebutkan kisah ini:
Al- Mu’tashim menghadirkan para fuqaha dan hakim untuk melawan Imam Ahmad. Mereka mendebat belia dihadapan al- Ma’mun selama tiga hari. Beliau pun mendebat mereka dan menunjukkan dalil-dalil yang pasti seraya berkata, ‘’ Saya adalah seorang laki-laki yang mengetahui suatu ilmu dan saya tidak memahami perkara tersebut seperti kalian. Berikanlah suatu dalil yang bersumber dari kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya SAW hingga saya bisa berpendapat sama.’’
Setiap kali mereka mendebat beliau dan memaksanya untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, beliau berkata kepada mereka,’’ Bagaimana saya akan mengatakan sesuatu yang belum pernah diucapkan?’’ Maka al-Mu’tashim berkata,’’ kita paksa saja Ahmad.’’
Di antara orang-orang yang fanatic kepada pendapat tersebut adalah Muhammad bin Abdul Malik az-Zayyat, menteri al-Mu’tashim, Ahmad bin Du’ad al-Qadhi, dan Bisyr al-Marisi. Mereka semua adalah orang-orang Mu’tazilah yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk hidup. Ibnu Du’ad dan Bisyr berkata kepada khalifah,’’ Bunuh saja dia sehingga kita bisa merasa tenang darinya. Orang ini kafir lagi sesat.’’
Al-Mu’tashim menjawab,’’ Saya sudah berjanji kepada Allah tidak akan membunuhnya dengan pedang dan tidak akan memerintahkan pembunuhan terhadapnya dengan pedang.’’ Keduanya lalu berkata kepada al-Mu’tashim,’’ Pukullah dia dengan cambuk.’’
Maka al-Mu’tashim berkata kepada Ahmad,’’ demi hubungan kekerabatanku dengan Rasulullah SAW sungguh saya akan memukulmu dengan cambuk, atau kau sependapat dengan ku.’’ Namun ancaman ini tidak membuat beliau takut, sehingga al-Mu’tashim berkata,’’ panggil para tukang cambuk!’’ sesudah mereka dipanggil, al-Mu’tashim bertanya kepada salah seorang dari mereka,’’ Berapa kali cambuk kamu bisa membunuhnya?’’
Tukang cambuk itu menjawab,’’ sepuluh kali.’’ Al-Mu’tashim berkata,’’ kuserahkan dia kepadamu.’’ Kemudian seluruh baju Imam Ahmad di lepas dalam kedua tangannya diikat dengan rantai dari besi. Tatkala cambuknya sudah didatangkan, al-Mu’tashim memperhatikan cambuk itu lalu berkata,’’ Datangkan cambuk yang lainnya!’’ Cambuk itupun diganti sesuai dengan permintaan al-Mu’tashim.
Kemudian dia berkata kepada para tukang cambuk,’’ Majulah kalian.’’ Setelah di cambuk satu kali, Imam Ahmad mengucap,’’ Bismillah.’’ Setelah di cambuk kedua kalinya, Ahmad mengucap,’’La haula wa la quwwata illa billahi.’’ Sesudah di cambuk untuk ketiga kalinya, dia mengucap,’’ Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.
Ketika di pukul yang keempata kalinya, beliau berkata,’’ katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah di tetapkan oleh Allah bagi kami…’’ ( At-Taubah:51 )
Laki-laki tukang cambuk itu maju ke hadapan al-Imam Ahmad, lalu memukulnya dua kali. Sementara al-Mus’tashim menganjurkannya agar memukul beliau dengan sangat keras. Kemudian tukang cambuk tersebut menyingkir. Tukang cambuk yang lain pun maju dan memukul beliau dua kali.
Ketika beliau sudah di pukul Sembilan belas kali, al-Mu’tashim berdiri di hadapan beliau seraya berkata,’’ Hai Ahmad, mengapa engkau membunuh dirimu sendiri? DemiAllah, sesungguhnya saya amat kasihan kepadamu.’’
Ahmad bercerita,’’ Tiba-tiba seorang yang kurus kerempeng menodongku dengan pedang yang lurus seraya berkata,’’ Kamu ingin mengalahkan mereka semuanya?’’ Sebagian diantara mereka berkata,’’ Celaka kamu. Sang khalifah berdiri diatas kepalamu. ‘’ Sebagian lagi berkata,’’ Wahai Amirun Mukminin, darahnya adalah tanggunganku. Saya saja membunuhnya.’’
Mereka berkata,’’ Wahai Amirun Mukminin, sesungguhnya dia tengah berpuasa, sedang kamu berdiri di tengah terik matahari’’. Al-Mu’tashim berkata,’’ Celaka kamu, hai Ahmad. Apa yang akan kau katakana?’’ Maka aku menjawab,’’ Berikanlah kepadaku suatu dalil dari kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW, Sehingga aku bisa berpendapat sama seperti kalian.’’
Sang khalifah lalu kembali dan duduk, lantas berkata kepada seorang tukang cambuk,’’ Majulah !’’ lalu dia menyuruhnya untuk menyakiti beliau dengan pukulan cambuk .
Al-Iam Ahmad bercerita,”Tiba-tiba kesadaran lenyap dan saya pun siuman sesudah itu.Ternyata, belenggu-belengguitu telah dilepaskan dariku.
Kemudian mereka memberiku sawuq, lalu berkata, ’’Makan dan muntahkanlah.”saya menjawap,”saya tidak akan berbuka.”Kemudian saya dibawa kerumah Ishq bin Ibrahim. Di sana saya ikut jamaah sholat Zuhur.saat itu Ibnu Sama’ah maju untuk melakukan sholat.Selesai dari sholatnya,dia berkata padaku,”kamu mekakukan sholat padahal darah mengalir di bajumu.’Saya menjawab, Umar Telah melakukan sholat sementara lukanya mengalirkan darah.”
Tatkal pendirian Ahmad tidak bisa ubah dan beliau tidak mau meninggalkan akidah dan pendapatnya,maka dia dibebaskan secara mutlak,lalu beliau kembali mengajar. Pada tahun 228H, al-Mutashim meningal dunia dan al-watsiqBillah yang mengantikannya.Dia mengulang siksaan tersebut kepada Ahmat dan melarang beliau untuk bergaul dean masyarakat serta melarang beliau untuk mengajar selama lebih dari lima tahun ;hingga al-watsiw meningal dunia pada tahun 232H.
Sepeninggal al-watsiq, kekholifahan di jabat oleh al-mutawakkil,yang menyelisihi keyakinan yangdi pegang oleh al-Ma’mun ,al-mu’tashim,dan al-watsiq.Dia mencela mereka atas pendapat yang mereka pegang bahwa Al-Quran adalah makhluk;dan itu terjadi pada tahun 232H.Al-Mutawakkil juga melarang diskusi yang mengarah kepada bependapat,memberikan hukuman kepada orang yang melakukannya,dan menyuruh agar memelihatnya periwayatan yang jelas dari hadis yang menjadi dasar pemikirannya.
Dengan perantara Al-Mutawakkil, Allah memenangkan As-Sunnah,mematikan bid’ah menyelapkan mendung itu dari seluruh mahluk, meneranga kegelapan itu,dan membebaskan siapa saja yang di tahan karena menolak pendapat bahwa Al-Quran adalah mahkluk,menghilangkan bencana dari manusia,memuliakan Imam Ahmad dan membentangkan tangan bantuan-Nya kepada beliau, dan akhirnya Ahmad tetap berada di atas manhajnya,
Teguh pada pendirianya, hingga wafat di Baghdad.
Sepeninggal Ahmad,para muritnya mengumpulkan banyak tema permasalahan dalam fiqih dan fatwa.mereka membukukannya dan meriwayatkannya dalam satu kumpulan besar,seperti yang dilakukan oleh Ibnu Qudamah dalam dua kitabnya, yakni al-Mughni dan asy-Syarhul-kabir.
Imam Ahmad tidak mencatat dan membukukan pendapatnya dalam masalah fiqih, juga tidak mendiktekannya kepada seorang pun diantar muritnya, karna ia tidak suka bbila hal itu akan menyibukkan manusia dari membahas hadis.metode mengajar beliau tidak sejalan dengan metode Abu Halifah –para muritnya selalu membukukan dan mencatat perkataannya setiap kali beliau hadir-juga tidak sejalan dengan Imam Malik yang membukukan sendiri pendapatnya, demikian pula Imam asy-Syafi’i.
Semua Imam itu telah mewariskan masalah fiqih dengan mencatatnya dalam buku, berbeda dengan Imam Ahmad yang tidak mewariskan masalah fiqih yang tercatat dalam buku. Sepeninggal Imam Ahmad, para muritnya membukukan semua masalah fiqih yang pernah mereka dengar dari beliau. Diantara para murit tersebut adalah:Muhammad bin Isma’il al- Bukhori-penyusun kitabSahih,Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburi-juga penyusun kitab Sahih,dan Abu Dawud-penyusun kitab Sunan.
Diantara para murit beliau yang berbakti, yang membukukan berbagai fatwa dan pendapat-pendapat fiqih dari beliau, adalah kedua putra beliau sendiri, Shalih (wafat 226H).dan Abdullah (wafat 290H).[i] selain itu, diantara murit-murit beliau terhadap Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin Hani al-Baghdadi yang terkenal dengan nama al-Atsram (wafat 273 H).Dia termasuk salah seorang yang paling terkenal membukukan permasalahan fiqih menurut Imam Ahmad,dalam kitap As-Sunnah fi al- fiqih ‘alaMadzhabi Ahmad wa Syawahiduhu min al –Hadits.
Di antara murid beliau yang terkenal juga ada Abu Bakr Ahmad bin al-khallal (wafat 311 H), yang menyusun kitab al-jami dalam dua puluh buku.Semua yang dicatat oleh Bakr daaalam kitap tersebut dianggap sebagai periwayatan dari para murid Ahmad.Adapun dalam bidang hadis,Ahmad memiliki kitap Musnad yang terkenal dan popular.
Penghargaan
Al –Imam Ahmad telah mendirikan madzabnya di atas beberapa pondasi,yaitu kitabullah yang pertama;kemudian Sunnah Rasulullah sebagai yang kedua ; lalu wafat-wafat para sahabat yang di ketahui tidak ada yang menyelisihkan; selanjutnya adalah Qiyas,yang merupakan tingkatan terakhir menurut beliau.
Ahmad mengakui adanya ijma bila memang benar-benar dapat dipraktikkan.Tetapi beliau sering menganggap ijma sangat sulit terwujud dalam tataran praktis.Di samping itu, Ahmad selalu bersikap ramah dan bersahabat, melakukan berbagai kemaslahatan dengan ikhlas, dan menutup segala celsh yang dapat memicu terjadinya fitnah,sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulu umat ini.Informasi Pribadi
Dalam perjalanan ke Baghdad selama rentang waktu tahun 195 sampai 197 H, beliau mengajar berdasarkan madzhab syafi’i. beliau termasuk murid Imam syafi’I yang paling senior di Baghdad. Ahmad juga belajar dari banyak ulama di irak, di antaranya Ibrahim bin Sa’id, Sufyan bin Uyainah, Yahya bin Sa’id, Yazid bin Harun, Abu Dawud ath-Thayalisi, Waki bin al-Jarrah, dan Abdurrahman bin Mahdi. Sesudah itu, beliau menjadi seorang mujtahid yang mempunyai madzhab sendiri dan mengugguli teman-teman seangkatnya dalam menghafal As-sunnah dan mengumpulkan bagian-bagianya yang terpisah, sehingga beliau menjadi imam para muhaddits pada masanya.





Imam Abu Hanifah 

Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia serta menjauhi perbuatan dosa dan keji. dan mazhab fiqhinya dinamakan Mazhab Hanafi. Gelar ini merupakan berkah dari doa Ali bin Abi Thalib r.a, dimana suatu saat ayahnya (Tsabit) diajak oleh kakeknya (Zauti) untuk berziarah ke kediaman Ali r.a yang saat itu sedang menetap di Kufa akibat pertikaian politik yang mengguncang ummat islam pada saat itu, Ali r.a mendoakan agar keturunan Tsabit kelak akan menjadi orang orang yang utama di zamannya, dan doa itu pun terkabul dengan hadirnya Imam hanafi, namun tak lama kemudian ayahnya meninggal dunia.


Pada masa remajanya, dengan segala kecemerlangan otaknya Imam Hanafi telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan hukum islam, kendati beliau anak seorang saudagar kaya namun beliau sangat menjauhi hidup yang bermewah mewah, begitu pun setelah beliau menjadi seorang pedagang yang sukses, hartanya lebih banyak didermakan ketimbang untuk kepentingan sendiri.

Disamping kesungguhannya dalam menuntut ilmu fiqh, beliau juga mendalami ilmu tafsir, hadis, bahasa arab dan ilmu hikmah, yang telah mengantarkannya sebagai ahli fiqh, dan keahliannya itu diakui oleh ulama ulama di zamannya, seperti Imam hammad bin Abi Sulaiman yang mempercayakannya untuk memberi fatwa dan pelajaran fiqh kepada murid muridnya. Keahliannya tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafi’i ” Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh “. karena kepeduliannya yang sangat besar terhadap hukum islam, Imam Hanafi kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fiqh untuk bermusyawarah tentang hukum hukum islam serta menetapkan hukum hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang undangan dan beliau sendiri yang mengetuai lembaga tersebut. Jumlah hukum yang telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83 ribu, 38 ribu diantaranya berkaitan dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya mengenai urusan dunia.

Metode yang digunakan dalam menetapkan hukum (istinbat) berdasarkan pada tujuh hal pokok :
1. Al Quran sebagai sumber dari segala sumber hukum.
2. Sunnah Rasul sebagai penjelasan terhadap hal hal yang global yang ada dalam Al Quran.
3. Fatwa sahabat (Aqwal Assahabah) karena mereka semua menyaksikan turunnya ayat dan mengetahui asbab nuzulnya serta asbabul khurujnya hadis dan para perawinya. Sedangkan fatwa para tabiin tidak memiliki kedudukan sebagaimana fatwa sahabat.
4. Qiyas (Analogi) yang digunakan apabila tidak ada nash yang sharih dalam Al Quran, Hadis maupun Aqwal Asshabah.
5. Istihsan yaitu keluar atau menyimpang dari keharusan logika menuju hukum lain yang menyalahinya dikarenakan tidak tepatnya Qiyas atau Qiyas tersebut berlawanan dengan Nash.
6. Ijma’ yaitu kesepakatan para mujtahid dalam suatu kasus hukum pada suatu masa tertentu.
7. ‘Urf yaitu adat kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu yang tidak ada nashnya dalam Al Quran, Sunnah dan belum ada prakteknya pada masa sahabat.


Penghargaan
Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam hanafi yaitu Fiqh Akhbar, Al ‘Alim Walmutam dan Musnad Fiqh Akhbar.
Jenis Kelamin
Laki-laki
Informasi Pribadi
Imam Abu Hanifah pernah bercerita : Ada seorang ilmuwan besar, Atheis dari kalangan bangsa Romawi. Ulama-ulama Islam membiarkan saja, kecuali seorang, yaitu Hammad guru Abu Hanifah, oleh karena itu dia segan bila bertemu dengannya.

Pada suatu hari, manusia berkumpul di masjid, orang atheis itu naik mimbar dan mau mengadakan tukar fikiran dengan sesiapa saja, dia hendak menyerang ulama-ulama Islam. Di antara shaf-shaf masjid ada seorang laki-laki muda, bangkit. Dialah Abu Hanifah dan ketika sudah berada dekat depan mimbar, dia berkata: "Inilah saya, hendak tukar fikiran dengan tuan". Mata Abu Hanifah berusaha untuk menguasai suasana, namun dia tetap merendahkan diri karena usia mudanya. Namun dia pun angkat berkata: "Katakan pendapat tuan!".
Ilmuwan atheis itu heran akan keberanian Abu Hanifah, lalu bertanya:

Atheis : "Pada tahun berapakah Tuhanmu dilahirkan?"
Abu Hanifah : "Allah berfirman: "Dia (Allah) tidak dilahirkan dan tidak pula melahirkan"
Atheis : "Masuk akalkah bila dikatakan bahwa Allah ada pertama yang tiada apa-apa sebelum-Nya?, Pada tahun berapa Dia ada?"
Abu Hanifah : "Dia berada sebelum adanya sesuatu."
Atheis : "Kami mohon diberikan contoh yang lebih jelas dari kenyataan!"
Abu Hanifah : "Tahukah tuan tentang perhitungan?"
Atheis : "Ya".
Abu Hanifah : "Angka berapa sebelum angka satu?"
Atheis : "Tidak ada angka (nol)."
Abu Hanifah : "Kalau sebelum angka satu tidak ada angka lain yang mendahuluinya, kenapa tuan heran kalau sebelum Allah Yang Maha Esa yang hakiki tidak ada yang mendahuluiNya?"
Atheis : "Dimanakah Tuhanmu berada sekarang? Sesuatu yang ada pasti ada tempatnya."
Abu Hanifah : "Tahukah tuan bagaimana bentuk susu? Apakah di dalam susu itu keju?"
Atheis : "Ya, sudah tentu."
Abu Hanifah : "Tolong perlihatkan kepadaku di mana, di bahagian mana tempatnya keju itu sekarang?"
Atheis : "Tak ada tempat yang khusus. Keju itu menyeluruh meliputi dan bercampur dengan susu diseluruh bahagian."
Abu Hanifah : "Kalau keju makhluk itu tidak ada tempat khusus dalam susu tersebut, apakah layak tuan meminta kepadaku untuk menetapkan tempat Allah Ta'ala? Dia tidak bertempat dan tidak ditempatkan!"
Atheis : "Tunjukkan kepada kami Dzat Tuhanmu, apakah ia benda padat seperti besi, atau benda cair seperti air, atau menguap seperti gas?"
Abu Hanifah : "Pernahkan tuan mendampingi orang sakit yang akan meninggal?"
Atheis : "Ya, pernah."
Abu Hanifah : "Sebelumnya ia berbicara dengan tuan dan menggerak-gerakan anggota tubuhnya. Lalu tiba-tiba diam tak bergerak, apa yang menimbulkan perubahan itu?"
Atheis : "Karena rohnya telah meninggalkan tubuhnya."
Abu Hanifah : "Apakah waktu keluarnya roh itu tuan masih ada disana?"
Atheis : "Ya, masih ada."
Abu Hanifah : "Ceritakanlah kepadaku, apakah rohnya itu benda padat seperti besi, atau cair seperti air atau menguap seprti gas?"
Atheis : "Entahlah, kami tidak tahu."
Abu Hanifah : "Kalau tuan tidak mengetahui bagaimana zat maupun bentuk roh yang hanya sebuah makhluk, bagaimana tuan boleh memaksaku untuk mengutarakan Dzat Allah Ta'ala?"
Atheis : "Ke arah manakah Allah sekarang menghadapkan wajahNYA? Sebab segala sesuatu pasti mempunyai arah?"
Abu Hanifah : "Jika tuan menyalakan lampu di dalam gelap malam, ke arah manakah sinar lampu itu menghadap?"
Atheis : "Sinarnya menghadap ke seluruh arah dan penjuru.
Abu Hanifah : "Kalau demikian halnya dengan lampu yang cuma buatan itu, bagaimana dengan Allah Ta'ala Pencipta langit dan bumi, sebab Dia nur cahaya langit dan bumi."
Atheis : "Kalau ada orang masuk ke syurga itu ada awalnya, kenapa tidak ada akhirnya? Kenapa di syurga kekal selamanya?"
Abu Hanifah : "Perhitungan angka pun ada awalnya tetapi tidak ada akhirnya."
Atheis : "Bagaimana kita boleh makan dan minum di syurga tanpa buang air kecil dan besar?"
Abu Hanifah : "Tuan sudah mempraktekkanya ketika tuan ada di perut ibu tuan. Hidup dan makan minum selama sembilan bulan, akan tetapi tidak pernah buang air kecil dan besar disana. Baru kita melakukan dua hajat tersebut setelah keluar beberapa saat ke dunia."
Atheis : "Bagaimana kebaikan syurga akan bertambah dan tidak akan habis-habisnya jika dinafkahkan?"
Abu Hanifah : "Allah juga menciptakan sesuatu di dunia, yang bila dinafkahkan malah bertambah banyak, seperti ilmu. Semakin diberikan (disebarkan) ilmu kita semakin berkembang (bertambah) dan tidak berkurang."
"Ya! kalau segala sesuatu sudah ditakdirkan sebelum diciptakan, apa yang sedang Allah kerjakan sekarang?" tanya Atheis .

"Tuan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dari atas mimbar, sedangkan saya menjawabnya dari atas lantai. Maka untuk menjawab pertanyaan tuan, saya mohon tuan turun dari atas mimbar dan saya akan menjawabnya di tempat tuan", pinta Abu Hanifah. Ilmuwan atheis itu turun dari mimbarnya, dan Abu Hanifah naik di atas.

"Baiklah, sekarang saya akan menjawab pertanyaan tuan. Tuan bertanya apa pekerjaan Allah sekarang?". Ilmuwan atheis mengangguk. "Ada pekerjaan-Nya yang dijelaskan dan ada pula yang tidak dijelaskan. Pekerjaan-Nya sekarang ialah bahwa apabila di atas mimbar sedang berdiri seorang atheis yang tidak hak seperti tuan, Dia akan menurunkannya seperti sekarang, sedangkan apabila ada seorang mukmin di lantai yang berhak, dengan segera itu pula Dia akan mengangkatnya ke atas mimbar, demikian pekerjaan Allah setiap waktu".

Para hadirin puas dengan jawapan yang diberikan oleh Abu Hanifah dan begitu pula dengan orang atheis itu.


Imam Maliki

Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah al muwatta' (himpunan hadits) yang diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam. Namun Imam Malik memberikan nasihat kepada Khalifah Harun, ''Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia.''

Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ''Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.

Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712 M dan wafat tahun 796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal.

Berkembangnya Agama Islam tidak terlepas dari peran Tokoh-tokoh Islam pada zamannya masing-masing. Diantara tokoh Islam yang berperan dalam peradaban Islam adalah Imam-imam Mazhab yang sangat mempengaruhi peradaban umat islam khususnya dalam ilmu agama yang erat kaitannya pada masalah ilmu fiqih. Dimana ilmu fiqih sangat berperan dalam pelaksanaan Ibadah dalam Agama Islam.

Imam Maliki yang bernama lengkap Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amar bin Amru bin Ghaiman bin Hutail bin Amru bin Al-Haris, merupakan salah seorang dari empat mujtahid dalam bidang ilmu fiqih.

Imam malik berasal dari keluarga Arab yang terhormat dan berstatus sosial yang tinggi, baik sebelum datangnya islam maupun sesudahnya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu, karena beliau merasa Madinah adalah kota sumber ilmu yang berlimpah dengan ulama ulama besarnya. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabadikan dalam dunia pendidikan, tidak kurang empat Khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Harun Ar- rasyid dan Al Makmun pernah jadi muridnya, Ulama ulama besar Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu darinya.

Karya Imam malik terbesar adalah bukunya Al Muwatha’ yaitu kitab fiqh yang berdasarkan himpunan Hadits Hadits pilihan, menurut beberapa riwayat mengatakan bahwa buku Al Muwatha’ tersebut tidak akan ada bila Imam Malik tidak dipaksa oleh Khalifah Al Mansur sebagai sangsi atas penolakannya untuk datang ke Baghdad, dan sangsinya yaitu mengumpulkan Hadits Hadits dan membukukannya, Imam Malik tidak hanya meninggalkan warisan buku, tapi juga mewariskan Mazhab fiqihnya di kalangan sunni yang disebut sebagai mazhab Maliki. Mazhab ini sangat mengutamakan aspek kemaslahatan di dalam menetapkan hukum. Berkembangnya Agama Islam tidak terlepas dari peran Tokoh-tokoh Islam pada zamannya masing-masing. Diantara tokoh Islam yang berperan dalam peradaban Islam adalah Imam-imam Mazhab yang sangat mempengaruhi peradaban umat islam khususnya dalam ilmu agama yang erat kaitannya pada masalah ilmu fiqih. Dimana ilmu fiqih sangat berperan dalam pelaksanaan Ibadah dalam Agama Islam.

Sebelum dapat memahami Imam Maliki beserta Mazhabnya, kita hauslah mempelajari sejarah kehidupan ataupun biografinya dari sumber yang cukup kompeten di bidangnya. Untuk itu Insya Allah penulis akan memaparkan riwayat kehidupan Imam Maliki, dari semenjak lahir sampai beliau kembali ke Rahmat Allah SWT.

Masa Kelahiran

Imam Malik merupakan imam yang kedua dari imam-imam empat serangkai dalam islam dari segi umur. Nama lengkapnya ialah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amar Al-Ashbahi Al-Yamani. Imam Malik yang memiliki nama lengkap Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amr ibn al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr ibn al-Haris al-Asbahi al-Madani. Kunyah-nya Abu Abdullah, sedang laqab-nya al- Asbahi, al-Madani, al-Faqih, al-Imam Da>r al-Hijrah, dan al-Humairi. Namun yang lebih populer, beliau bersilsilahkan Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amar bin Amru bin Ghaiman bin Hutail bin Amru bin Al-Haris. Beliau dilahirkan tiga belas tahun setelah kelahihran Abu Hanifah, tepatnya pada tahun 93 H/12M di suatu tempat yang bernama zulmarwah di sebelah utara ‘Al-Madinatul-Munawwarah’. Kemudian beliau tinggal di ‘Al-Akik’ sementara waktu yang akhirnya beliau menetap di Madinah.

Bermacam-macam pendapat ahli sejarah tentang tarikh kelahiran Imam Maliki. Ada setengah pendapat yang mengatakan pada tahun 90, 94, 95 dan 97 hijrah perselisihan tarikh terjadi sejak masa dahulu.

Imam Maliki adalah keturunan bangsa Arab dari Desa Zu Ashbah, sebuah Desa di kota Himsyar, jajahan Negeri Yaman. Ibunya bernama Siti Al-Aliyah binti Syuraik ibn Abdul Rahman ibnu Syuraik Al-Azdiyyah. Imam Maliki bin Anas. Imam Maliki lahir ketika jaman sahabat telah berakhir sehingga Imam Maliki tidak termasuk sahabat.

Lingkungan Keluarga Ulama

Beliaulah cikal bakal madzhab Maliki. Imam Malik yang berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ‘ilmu’ yang sangat terkenal.

Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.

Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia.

Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.

Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabadikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma’mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.

Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ”Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.”

Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja’far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai’at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai’at kepada khalifah yang mereka tak sukai.

Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai’at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja’far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja’far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu, Ja’far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.

Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.

Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah al Muwatta’ yang diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam.

”Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia,” nasihat Imam Malik kepada Khalifah Harun.

Sedianya, khalifah ingin jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Malik. ”Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.” Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.

Daya Ingat Sangat Kuat

Imam Maliki mempunyai ingatannya sangat kuat dan sudah menjadi adat kebiasaan apabilanya apabila beliau mendengar hadits-hadits Nabi dari para gurunya, lalu dikumpulkan dengan bilangan hadits-hadits yang pernah beliau pelajari. Beliau mendengar tiga puluh hadits dari seorang gurunya yang bernama Ibnu Syihab. Beliau hanya dapat menghafal sebanyak dua puluh sembilan hadits lantaran itu beliau terus menemui Ibnu Syihab dan bertanya kepadanya tentang hadits yang beliau lupakan itu, namun Ibnu Syihab hanya menyuruh menyebutkan hadits yang Imam Maliki hafal dengan kemudian ibnu syihab memberitahu hadits yang belum hafal itu.

Pada mulanya Imam Maliki bercita-cita ingin menjadi penyanyi. Ibunya mengetahui bahwasanya putranya bercita-cita sedemikian, lalu memberitahukan terhadap Imam Maliki bahwa penyanyi yang mukanya tidak bagus tidak disenangi oleh orang banyak, oleh karena itu Ibunya meminta supaya Imam Maliki mempelajari ilmu fiqih saja. Malik menerima nasihat Ibunya dengan baik.

Tujuan ibunya berkata demikian ialah hendak mencegah Maliki menjadi seorang penyanyi, karena apa yang kita ketahui Imam Maliki adalah terkenal dengan seorang yang tampan wajahnya. Kakek Imam Malik Abu Amar datang ke Madinah setelah Nabi Muhammad SAW wafat, karena itu ia tidak termasuk sahabat Rasulullah SAW, tetapi termasuk golongan tabi’in. Imam Malik dilahirkan ditengah-tengah keluarga yang kurang berada tetapi tekun mempelajari agama islam. Terutama mempelajari hadits-

hadits Nabi Muhammad SAW.

Imam Maliki adalah seorang yang miskin, Abdul Qasim rekannya berkata : Aku pernah bersama Maliki semasa mencari ilmu. Pada suatu hari kayu bumbung rumahnya telah roboh lalu beliau menjual kayu tersebut untuk mendapatkan sedikit uang untuk perbelanjaan hidupnya. Tetapi pada akhirnya beliau mendapatkan kemurahan rizki sehingga beliau menjadi orang kaya.

Imam Maliki sering mendapat bantuan yang berupa derma, bahkan Harun Ar- Rasyid pernah memberikan derma padanya sebanyak tiga ribu dinar. Harta Imam Maliki diperdayakan sebagai modal bagi perniagaannya. Beliau tidak berniaga sendiri, akan tetapi beliau mengadakan Al-Mudaa-rabah. Setelah kaya, beliau memakai pakaian yang harganya mahal dan memakai wangi-wangian yang baik. Beliau memakai sebentuk cincin bertuliskan dengan perkatan

Di pintu rumahnya ada tulisan

Dengan berpadukan ayat suci Al-Quran :

Imam Maliki mempelajari bermacam-macam bidang ilmu pengetahuan, seperti ilmu hadits dan ilmu fiqih. Beliau seorang yang sangat aktif dalam mencari ilmu dan sering mengadakan pertemuan dengan para ahli hadits dan ulama

Usia Baligh Sudah Hafal Al Quran

Sejak kecil, beliau mendapat pendidikan dari ayahnya yang telaten mengurus puteranya dan suka meneliti kembali pelajarannya. Pernah Imam Malik salah menjawab pertanyaan ayahnya. Ayahnya lalu bilang bahwa ia lantaran banyak membuang waktu dengan bermain burung dara, ternyata itu merupakan pelajaran yang lekat dan berharga bagi ibn Malik, dan sejak itu beliau berkonsenttrasi pada studinya. Kecerdasannya terlihat dari kemampuannya menghafal Alquran sejak usia baligh dan pada usia tujuh belas tahun

telah menguasai ilmu-ilmu agama. Dalam belajar ilmu Hadits, beliau tidak berkelana namun berkesempatan belajar pada ulama-ulama terkemuka ketika mereka mengunjungi kota Madinah.

Dengan kesungguhan dan ketekunan Imam Malik dalam menuntut ilmu serta kontribusi para gurunya, Imam malik kemudian muncul sebagai ulama besar khususnya di bidang Hadits di Madinah. Terkait dengan pengumpulan Hadits, Imam Malik dikenal seorang yang teliti, karena beliau menolak perawi yang tidak tsiqat, dan tidak akan meriwayatkan Hadits kecuali yang sahih dan perawinya yang tsiqat. Kepribadian dan sikap Imam Malik dikenal juga seorang yang sederhana dan rendah hati. Hal ini dapat kita jelaskan hubungan beliau dengan penguasa politik yang sangat baik, meski tidak memberi sokongan apapun kecuali hanya memberi nasehat yang tulus, adalah tugas seorang terdidik untuk menemui penguasa dan memerintahkan mereka berbuat ma’tuf dan melarang berbuat munkar. Dan pada suatu saat khalifah Abu Ja’far meminta Imam Malik menulis buku yang dapat disebar luaskan sebagai hukum negara di seluruh dunia Islam, dan akan digunakan untuk mengadili dan memrintah, siapa yang menyalahinya akan dituntut.

Namun Imam Malik tak sependapat dengan mengatakan bahwa para sahabat Nabi SAW telah tersebar di seluruh dunia Islam, khususnya di masa khalifah Umar yang biasa mengirim sahabat sebagai guru, orang sudah belajar dari sahabat tersebut dan setiap generasi juga telah belajar dari generasi sebelumnya. Oleh karena itu sangat memungkinkan dalam banyak kasus terdapat lebih dari satu pilihan untuk mengamalkan ajaran Islam, akibatnya timbul berbagai pola dan kebanyakan mempunyai kedudukan yang sama. Maka jika orang mencoba mengubah dari yang sudah mereka ketahui kepada yang tidak mereka ketahui maka mereka akan menganggap itu adalah bid’ah. Dengan demikian lebih baik membiarkan tiap kota dengan pengetahuan Islamnya sebagaimana adanya. Abu Ja’far menghargai pandangan Imam Malik ini. Bahkan ketika khalifah itu menghendaki agar Imam Malik membacakan kitab itu kepada putera khalifah, Imam Malik menjawab, pengetahuan tidak mendatangi orang, tetapi oranglah yang mendatangi pengetahuan.

Sewaktu Imam Malik menuntut ilmu, beliau memiliki guru yang banyak. Da dalam kitab Tahzibul –asma wallughat menerangkan bahwa Imam Malki memiliki pernah belajar kepada sembilan ratus orang syekh. Tiga ratus darinya dari golongan Tabi’in, dan enam ratus lagi dari Tabi’it-Tabi’in. Mereka semua adalah orang yang terpilih dan cukup dengan syarat yang dapat dipercaya dalam bidang agama dan hukum fiqih.

Antara lain syekh-syekhnya ialah Rabi’ah bin Abdul Rahman Furukh. Beliau berguru kepadanya ketika masih kecil, sebagai buktinya ialah ucapan terhadap ibunya: aku pergi dan aku menulis pelajaran. Ibunya menyiapkan pakaian yang lengkap. Dengan kain sorban serta menyuruh beliau hadir kerumah Rabi’ah untuk belajar menulis. Ibunya meminta Ia belajar ilmu akhlak dari Rabi’ah sebelum mempelajari ilmu-ilmu yang lain. Maliki mematuhi perintah ibunya.

Untuk mempelajari hadits beliau berguru kepada ulama hadits yang terkenal pada masa itu, ialah Nafi’ Maula Ibnu Umar (wafat 117 H) dan Ibnu Syaibah Az-Zuhri (wafat 124 H). Syekh Imam Maliki yang lainnya ialah Imam Nafi’ Maula Abdullah bin Umar, yang dikenal sebagai perawi yang masuk dalam daftar “Silsilah Adz-Dzahadiyah” (rantai emas) yaitu riwayat hadits dari Syafi’i dari Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Umar bin Al-Khathab. Imam Maliki tidak menerima hadits yang tidak diketahui pengambilannya sekalipun pembawa hadits tersebut seorang yang baik dalam bidang agama. Imam maliki pernah berguru kepada Abdul Rahman bin Harmuz Al-‘Araj selama kurang lebih tujuh tahun. Pada masa itu beliau tidak pernah belajar kepada guru lain. Beliau pernah memberi buah kurma kepada anaknya Abdul Rahman, dengan tujuan supaya mereka memberitahukan kepada mereka yang hendak datang menemui Imam Maliki bahwa Imam Maliki sedang sibuk. Tujuan beliau ialah supaya syekh Abdul Rahman dapat mencurahkan waktu untuknya dengan itu dapatlah beliau leluasa mempelajari sebanyak yang beliau sukai. Kadang kala beliau belajar dengan syekh itu satu hari penuh.

Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al-Muqbiri,N a’imul

Majmar, Az-Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az-Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin

Dinar, dan lain-lain

Diantara gurunya lagi ialah Nafi’i ‘Auli Abdullah, Ja’far bin Muhammad Al- Baqir, Muhammad bin Muslim Az-Zuhri, Abdul Rahman bin Zakuan, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Abu Hazim Salmah bin Dinar, Muhammad bin Al-Munkadir, dan Abdullah bin Dinar, dan masih banyak lagi dari golongan Tabi’in sebagaimana yang diterangkan oleh An-Nawawi.

Tanpa putus-putusnya Imam Malik mengabdi di bidang pendidikan selama 62

tahun.

Dasar Pemikirannya

Pemikiran Imam Malik di bidang hukum Islam/ fikih sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Madinah sebagai pusat timbulnya sunah Rasulullah SAW dan sunah sahabat merupakan lingkungan kehidupan Imam Malik sejak lahir sampai wafatnya. Oleh sebab itu, pemikiran hukum Imam Malik banyak berpegang pada sunah-sunah tersebut. Kalau terjadi perbedaan satu sunah dengan yang lain, maka ia berpegang pada tradisi yang biasa berlaku di masyarakat Madinah. Menurut pendapatnya, tradisi masyarakat Madinah ketika itu berasal dari tradisi para sahabat Rasulullah SAW yang dapat dijadikan sumber hukum. Kalau ia tidak menemukan dasar hukum dalam Al-Quran dan sunah, ma- ka ia memakaiqiyas (kias) dan al-maslahah al-mursalah (maslahat/kebaikan umum).

Hukum-hukum fiqih yang diberikan oleh Imam Maliki ialah berdasarkan Al- Quran dan Hadits. Imam Malik menjadikan hadits sebagai pembantu dalam memahami Al-Quran. Imam Malik sangat berhati-hati tentang riwayat-riwayat hadits karena menjaga dari kekeliruan diantara hadits sahih dengan hadits dha’if (lemah). Beliau menganggap perbuatan atau amalan penduduk-penduduk Madinah adalah sebagai hujjah dan sumber yang terpenting dalam hukum fiqih.

Mazhab ini adalah kebalikan dari mazhan Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah banyak sekali mengandalkan nalar dan logika, karena kurang tersedianya nash-nash yang valid di Kufah, mazhab Maliki justru ‘kebanjiran’ sumber-sumber syariah. Sebab mazhab ini tumbuh dan berkembang di kota Nabi SAW sendiri, di mana penduduknya adalah anak keturunan para shahabat. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek ibadah yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah SAW bisa dijadikan dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih para umumnya.

Para Murid

Kebanyakan imam-imam yang termasyhur pada Zaman Imam Maliki adalah

murid beliau dan murid-muridnya datang dari berbagai penjuru negeri.

Telah diceritakan dari Imam Maliki bahwa murid-muridnya ialah guru-guru dari golongan tabi’in mereka itu adalah : Az-Zuhri, Ayub Asa-syakh-fiyani, Abul Aswad, Rabi’ah bin Abi Abdul Rahman, Yahya bin Said Al-Ansari, Mura bin ‘Uqbah dan Hisyam bin ‘Arwah.

Diantara murid dari golingan bukan tabi’in ialah Nafi’i bi Abi Nu’im,

Muhammad bin Ajlan, Salim bin Abi Umaiyyah, Abu An-Nadri, Maula Umar bin

Abdullah.
Diantara murid-murid Imam Maliki dari Mesir adalah:
o Abu Muhammad bin Abdullah bin Wahab bin Muslim
o Abu Abdullah bin Abdur Rahman bin Qasim
o Asyhab bin Abdul Aziz
o Abu Muhammad bin Abdullah bin Abdui Hakim
o Ashbaq bin Faraj
o Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakim
o Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad.[16]

Dari sahabatnya antara lain Sufyan Ath-Thauri Al-Liat bin Sa’d, Hama bin Salamah, Hama bin Zaid, Sufyan bin Uyainah, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Syarijh Ibnu Lahi’ah dan Ismail bin Kathir. Sedangkan diantara murid-murid yang lain adalahIbnul

Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi. Muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi

al Anshari.
Penghargaan
Karya-karyanya

Tidak hanya berceramah, Imam Maliki juga berbakat mengarang, menyusun buku dalam berbagai materi yang cukup menakjubkan. Para penulis buku biografi berkata, bahwa Imam Maliki memiliki buku dalam berbagai bidang, diantaranya; bidang perbintangan, berhitung dan ilmu falak yang bermanfaat dijadikan rujukan. Beliau juga memiliki buku dalam bidang tafsir yaitu; “At-Tafsir Li Gharib Al-Quran”.

Imam Maliki sebagai pengarang buku, diantaranya beliau mengarang booklet kecil, “Risalah kepada Ibnu Wahab” dalam bidang tauhid, buku Imam Maliki yang paling terkenal adalah “Kitab Al-Muwatta” yang artinya “Al-Muyassir” atau “ Al-Musahhil” atau yang mempermudah.

Imam Maliki mewarisi lebih dari selusin karya tulis, termasuk Muwatta yang termasyhur itu, kitab yang dianggap terpenting setelah Al-Quran. Risalahnya menelaah bidang agama, etika, dan Fiqh Islam. Menurut Syah Waliyullah, kitab imam itu merupakan himpunan hadits Nabi yang paling sahih, dipilih dengan penelitian sumber yang amat cermat. Ia menyusun kitab itu setelah mengadakan pembuktian kebenaran dan penyaringan yang saksama. Perhatian utamanya ialah rawi dan perawi yang tahan uji, dan ia sungguh-sungguh berusaha memastikan tidak memuat rawi palsu. Semula Muwatta memuat 10.000 hadits, tetapi dalam edisi pembetulannya Imam Malik mengurangi jumlah itu sampai hanya 1.720. Kitab itu telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan.

Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al- Muwatta lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyhur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah Al-Laitsi al Andalusi al Mashmudi.

Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al-Kutub As-Sittah ditambah Al-Muwatta. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini,Ibn

Hazmberkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqhdan hadits, aku belum

mnegetahui bandingannya.

Hadits-hadits yang terdapat dalam Al-Muwatta tidak semuanya Musnad, ada

yangMursal,mu’dlal danmunqathi. Sebagian‘Ulama menghitungnya berjumlah 600

hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disampin

, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.

Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada

yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya sepertiA l-

Auza’i., Ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al-Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin

Hajjaj. Adapula yang belajar darinya sepertiAsy-Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, Al-

Qaththan dan Abi Ishaq.

An-Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan

jujur, terpercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada

meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.

(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).

Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”. Malik bin Anas menyusun kompilasi hadits dan ucapan parasahabat dalam buku yang terkenal hingga kini, Al-Muwatta. Pendapat Ulama Tentang Imam Malik

Para ulama juga mengakui beliau sebagai ahli hadits yang sangat tangguh. Jika beliau memberikan hadits kepada siapa pun, beliau terlebih dulu berwudhu kemudian duduk di atas tikar untuk shalatnya dengan tenang dan tawadhu’. Beliau sangat tidak suka memberikan hadits sambil berdiri, di tengah jalan, atau, dengan cara tergesa gesa., berikut in pendaat para ulama’ terhadap Imam Malik

1. Imam Asy Syafi’i : ” Jika dibicarakan tentang hadits, maka Imam Malik adalah bintangnya, dan jika dibicarakan soal keulamaan, maka Imam Malik jugalah yang menjadi bintangnya. Tidak ada seorang pun yan

terpercaya dalam bidang ilmu Allah dibandingkan Imam Malik. Imam Malik dan Ibnu ‘Uyainah adalah dua orang sahabat yang mumpuni di bidang ilmu ilmu Allah. Seandainya mereka berdua tidak ada, niscaya hilang juga ilmu orang – orang Hijaz.”

2. Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan dan Imam Yahya bin Ma’in memberikan gelar kepada beliau sebagai Amirul Mu’minin fi Al Hadits.

3. Al Bukhari menyatakan bahwa sanad yang dikatakan ashahhul asanid adalah apabila sanad itu terdiri dari Imam Malik, Nafi’, dan ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahli ‘anhuma.

4. Masyarakat Hijaz memberikan gelar kehormatan kepada beliau dengan julukan ‘Sayyid Fuqaha ‘il Hijaz.’

Beliau juga dikenal sebagai ulama yang sangat keras dalam mempertahankan pendapatnya yang diyakini benar. Beliau pernah diadukan kepada Khalifah Ja’far bin Sulaiman oleh paman Khalifah sendiri. Beliau dituduh tidak menyetujui pembaiatan pada Khalifah. Menurut Ibnu Al jauzi, beliau disiksa dengan hukuman cambuk sebanyak tujuh puluh kali sampai ruas lengannya sebelah atas bergeser dari persendian pundaknya. Siksaan ini dilakukan karena fatwa beliau tidak sesuai dengan kehendak dan kemauan Khalifah. Penyiksaan yang dilakukan Khalifah itu bukan menurunkan popularitasnya di mata masyarakat luas, bahkan namanya menjadi harum dan berkibar serta kedudukannya menjadi lebih terhormat di kalangan para ahli ilmu.

Pengaruhnya di Pemerintahan

Imam Malik masyhur oleh ketulusan dan kesalehannya. Ia selalu bertindak sesuai dengan keyakinannya. Ancaman atau kemurahan hati tidak akan dapat membelokkan dia dari jalan yang lurus. Sebagai anggota kelompok yang gemilang pada awal masa Islam, ia tidak dapat dibeli, dan dengan semangat keberaniannya selalu membuktikan bahwa ia adalah bintang pembimbing bagi para pejuang kemerdekaan.

Ketika ia berumur 25 tahun, kekhalifahan berada di tangan khalifah Abasiyah, Mansur, seorang teman yang memandang tinggi kecendekiawannya. Tetapi, Imam Malik sendiri lebih senang bila Fatimiyyin Nafs Zakiya yang menjadi khalifah. Sumpah setia

rakyat kepada Mansur dinyatakannya tidak mengikat, karena dilakukan dengan paksaan. Ia mengutip hadits Nabi yang menyatakan ketidakabsahan perceraian paksa.

Ketika Jafar, kemenakan Mansur, diangkat menjadi gubernur baru Madinah, ia membujuk penduduk kota suci itu mengulang sumpah setia mereka kepada Mansur. Ia melarang Imam Malik menyiarkan fatwanya tentang ketidakabsahan perceraian paksa. Sebagai seorang pemegang prinsip yang teguh, dan pemberani, ia tidak mengacuhkan larangan itu. Akibatnya ia dijatuhi hukuman 70 dera yang dilibaskan ke punggungnya yang telanjang. Dengan baju berlumuan darah ia diarak di atas unta di sepanjang jalan Madinah. Namun, kebuasan gubernur itu tetap gagal menggetarkan atau melemahkan hati imam muda itu. Mendengar kejadian ini, khalifah Mansur segera menghukum gubernur Madinah itu, dan menyuruh ia memint maaf kepada Imam Malik.

Pada 174 H, Khalifah Harun ar-Rasyid tiba di Madinah dengan kedua putranya, Amin dan Ma’mun. Ia memanggil Imam menghadap ke baliurang untuk menceramahkan Muwatta. Imam datang di baliurang, tetapi menolak memberikan ceramah. Ia berkata: “Rasyid, hadits ialah pelajaran yang dihormati dan dijunjung tinggi leluhur Anda. Bila Anda tidak menghormatinya, orang lain pun demikian juga.” Alasan penolakan itu diterima khalifah, dan baginda bersama kedua putranya bersedia datang ke tempat Imam Malik untuk mengikuti kuliah Imam tersebut.

Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki Masjid Kufa. Tetpi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tmpatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepad Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya. Kaum Muslimin di Arab barat hanya menganut Madzhab Maliki.

Al Muwatta’ adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.

Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta’ tak akan lahir bila Imam Malik tidak ‘dipaksa’ Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta’. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).

Dunia Islam mengakui Al Muwatta’ sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta’, Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.

Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta’, kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.

Madinah pusat mazab maliki

Mazhab Maliki timbul dan berkembang di Madinah. kemudian tersiar di sekitar Hedzjaz. Di Mesir, Mazhab Maliki sudah mulai muncul dan berkembang selagi Imam Malik masih hidup. Di antara yang berjasa mengembangkannya adalah para murid Imam Malik sendiri: Abdul Malik bin Habib as-Sulami, Isma’il bin Ishak, Asyhab bin Abdul Aziz al-Kaisy, Abdurrahman bin Kasim, Usman bin Hakam, dan Abdur Rahim bin Khalid. Selain di Mesir, Mazhab Maliki ini juga dianut oleh umat Islam yang berada di Maroko, Tunisia, Tripoli, Sudan, Bahrain, Kuwait, dan daerah Islam lain di sebelah barat, termasuk Andalusia. Filsuf Ibnu Rusyd yang di dunia Barat dikenal sebagaiCom-

mentator dari Aristoteles termasuk pengikut Imam Malik. Sementara itu, di dunia Islam

sebelah timur Mazhab Maliki ini kurang berkembang. Perkembangan Madzab Maliki

Penyebaran mazhab ini sangat jelas dapat dilihat dalam proses pembukaan dan masuknya penduduk Afrika dalam Islam, baik di Negara Libia, Tunisia, Ai-Jazair maupun Maghrib, demikian pula dengan Negara Sudan, dan Muritania, serta Negara- negara Afrika lainnya; yang sebelummya sudah dimulai dengan pembukaan Andalusia (Sepanyol) pulau Siqilia, dan pulau lain.[24]

Demikian pula Mesir di masa Imam Maliki, Mazhab ini disebarkan oleh sebagian du’at yang diantaranya; Asy-Syafi’I dating ke Mesir, mayoritas daerah pesisir menganut Mazhab Asy-Syafi’i, adapun yang bukan daerah pesisir, masih tetap menganut Mazhab Maliki sampai sekarang.

Mazhab Maliki ini muncul di Madinah Al-Munawwarah, lalu menyebar ke Hijaz dalam kurun waktu yang cukup lama, hingga masuknya Mazhab Hambali, yang kemudian mengganti mazhab Maliki di Mekkah sampai sekarang.

Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Quran, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).

Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.

16. Imam Maliki Meninggal

Ketika Imam Maliki semakin menua mendekati 90 tahun, beliau tetap selalu datang ke Masjid Rasulullah SAW duduk diantara makam dan mimbar untuk menyampaikan pelajaran dihadapan sekian banyak muridnya, shalat berjama’ah, melayat, menjenguk orang sakit, menyelesaikan kewajiban, memenuhi undangan. Kini beliau tidak sanggup lagi duduk di masjid dan melaksanakan aktifitas kesehariannya. Masyarakat sabar akan semua itu dan menerimanya dengan ikhlas, mereka sangat mengagungkan dan menghormatinya, hingga Imam Maliki meninggal dunia. Mazhab Imam Maliki merupakan pelopor dalam bidang fiqih, para murid beliau yang terkenal pandai pada waktu itu menyebarkan mazhabnya dan mengikuti methodenya dalam menentukan hukum

Imam Maliki wafat pada tahun 800 M tepatnya tahun 179 H.[25]

Penutup

Imam Malik mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam, yang disebut sebagai Mazhab Maliki.Hukum-hukum fiqih yang diberikan oleh Imam Maliki ialah berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Imam Malik menjadikan hadits sebagai pembantu dalam memahami Al-Quran. Imam Malik sangat berhati-hati tentang riwayat-riwayat hadits karena menjaga dari kekeliruan diantara hadits sahih dengan hadits da’if (lemah). Beliau menganggap perbuatan atau amalan penduduk-penduduk Madinah adalah sebagai hujjah dan sumber yang terpenting dalam hukum fiqih,

Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Quran, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).

Terkait Berita: