Imam Jafar Ashadiq
Ja'far ash-Shadiq (Bahasa Arab: جعفر الصادق),
nama lengkapnya adalah Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali
bin Abu Thalib, adalah Imam ke-6 dalam tradisi Islam Syi'ah. Ia lahir di
Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah / 20 April 702 Masehi
(M), dan meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah / 13 Desember 765
M. Ja'far yang juga dikenal dengan julukan Abu Abdillah
dimakamkan di Pekuburan Baqi', Madinah. Ia merupakan ahli ilmu agama
dan ahli hukum Islam (fiqih). Aturan-aturan yang dikeluarkannya menjadi
dasar utama bagi mazhab Ja'fari atau Dua Belas Imam; ia pun dihormati
dan menjadi guru bagi kalangan Sunni karena riwayat yang menyatakan
bahwa ia menjadi guru bagi Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi) dan Malik
bin Anas (pendiri Mazhab Maliki). Perbedaan tentang siapa yang menjadi
Imam setelahnya menjadikan mazhab Ismailiyah berbeda pandangan dengan
mazhab Dua Belas Imam.
Ia dilahirkan di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah atau
kurang lebih pada tanggal 20 April 702 Masehi. Ia merupakan anak sulung
dari Muhammad al-Baqir, sedangkan ibunya bernama Fatimah (beberapa
riwayat menyatakan Ummu Farwah) binti al-Qasim bin Muhammad bin Abu
Bakar. Melalui garis ibu, ia dua kali merupakan keturunan Abu Bakar,
karena al-Qasim menikahi putri pamannya, Abdullah bin Abu Bakar. Ia
dilahirkan pada masa pemerintahan Abdul-Malik bin Marwan, dari Bani
Umayyah.
[sunting] Keluarga
Ia memiliki saudara satu ibu yang bernama Abdullah bin Muhammad.
Sedangkan saudara lainnya yang berlainan ibu adalah Ibrahim dan
Ubaydullah yang beribukan Umm Hakim binti Asid bin al-Mughirah. Ali dan
Zaynab beribukan wanita hamba sahaya, dan Umm Salamah yang beribukan
wanita hamba pula.
[sunting] Keturunan
[sunting] Anak laki-laki
Memiliki keturunan selanjutnya:[1]
Isma'il al-Aaraj (Imam ke-7 menurut Ismailiyah)
Musa al-Kadzim (Imam ke-7 menurut Dua Belas Imam)
Ishaq al-Mu'taman[1]
Muhammad al-Dibaj, yang mendeklarasikan dirinya sebagai Amirul Mukminin
setelah Salat Jumat pada tanggal 6 Rabiul akhir 200 Hijriyah, dan
kemudian berperang melawan Khalifah Abbasiyah pada saat itu, al-Ma'mun,
tetapi dengan cepat ia tertangkap dan dibawa ke Khurasan.[2]
Qasim[3]
Abdullah
Yahya
Ali[4]
Ali al-Uraidhi
Tidak memiliki keturunan selanjutnya:[1]
Abdullah al-Afthah
Abbas
Yahya
Muhsin
Ja'far
Hasan
Muhammad al-Ashgar
[sunting] Anak perempuan
Fatimah binti Ja'far
Asma binti Ja'far
Ummu Farwah binti Ja'far
[sunting] Kehidupan awal
Sejak kecil hingga berusia sembilan belas tahun, ia dididik langsung
oleh ayahnya. Setelah kepergian ayahnya yang syahid pada tahun 114 H, ia
menggantikan posisi ayahnya sebagai Imam bagi kalangan Muslim Syi'ah.
Pada masa remajanya, Ja'far ash-Shadiq, turut menyaksikan kejahatan
dinasti Bani Umayyah seperti Al-Walid I (86-89 H) dan Sulaiman (96-99
H). Kedua-dua bersaudara inilah yang terlibat dalam konspirasi untuk
meracuni Ali Zainal Abidin, pada tahun 95 Hijriyah. Saat itu Ja'far
ash-Shadiq baru berusia kira-kira 12 tahun. Ia juga dapat menyaksikan
keadilan Umar II (99-101 H). Pada masa remajanya Ja'far ash-Shadiq
menyaksikan puncak kekuasaan dan kejatuhan dari Bani Umayyah.
[sunting] Meninggalnya
Ia meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah atau kurang lebih pada
tanggal 4 Desember 765 Masehi di Madinah, menurut riwayat dari kalangan
Syi'ah, dengan diracun atas perintah Khalifah Mansur al-Dawaliki dari
Bani Abbasiyah.
Mendengar berita meninggalnya Ja'far ash-Shadiq, Al-Mansur menulis surat
kepada gubernur Madinah, memerintahkannya untuk pergi ke rumah Imam
dengan dalih menyatakan belasungkawa kepada keluarganya, meminta
pesan-pesan Imam dan wasiatnya serta membacanya. Siapapun yang dipilih
oleh Imam sebagai pewaris dan penerus harus dipenggal kepalanya
seketika. Tentunya tujuan Al-Mansur adalah untuk mengakhiri seluruh
masalah keimaman dan aspirasi kaum Syi'ah. Ketika gubernur Madinah
melaksanakan perintah tersebut dan membacakan pesan terakhir dan
wasiatnya, ia mengetahui bahwa Imam telah memilih empat orang dan bukan
satu orang untuk melaksanakan amanat dan wasiatnya yang terakhir; yaitu
khalifah sendiri, gubernur Madinah, Abdullah Aftah putranya yang sulung,
dan Musa al-Kadzim putranya yang bungsu. Dengan demikian rencana
Al-Mansur menjadi gagal.
Ia dimakamkan di pekuburan Baqi', Madinah, berdekatan dengan Hasan bin Ali, Ali Zainal Abidin, dan ayahnya Muhammad al-Baqir.
[sunting] Masa keimaman
Situasi politik di zaman itu sangat menguntungkannya, sebab di saat itu
terjadi pergolakan politik di antara dua kelompok yaitu Bani Umayyah dan
Bani Abbasiyah yang saling berebut kekuasaan. Dalam situasi politik
yang labil inilah Ja'far ash-Shadiq mampu menyebarkan dakwah Islam
dengan lebih leluasa. Dakwah yang dilakukannya meluas ke segenap
penjuru, sehingga digambarkan muridnya berjumlah empat ribu orang, yang
terdiri dari para ulama, para ahli hukum dan bidang lainnya seperti, Abu
Musa Jabir Ibn Hayyan, di Eropa dikenal dengan nama Geber, seorang ahli
matematika dan kimia, Hisyam bin al-Hakam, Mu'min Thaq seorang ulama
yang disegani, serta berbagai ulama Sunni seperti Sofyan ats-Tsauri, Abu
Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi), al-Qodi As-Sukuni, Malik bin Anas
(pendiri Mazhab Maliki) dan lain-lain.
Di zaman Imam Ja'far, terjadi pergolakan politik dimana rakyat sudah
jenuh berada di bawah kekuasaan Bani Umayyah dan muak melihat kekejaman
dan penindasan yang mereka lakukan selama ini. Situasi yang kacau dan
pemerintahan yang mulai goyah dimanfaatkan oleh Bani Abbasiyah yang juga
berambisi kepada kekuasaan. Kemudian mereka berkampanye dengan berkedok
sebagai "para penuntut balas dari Bani Hasyim".
Bani Umayyah akhirnya tumbang dan Bani Abbasiyah mulai membuka kedoknya
serta merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Kejatuhan Bani Umayyah serta
munculnya Bani Abbasiyah membawa babak baru dalam sejarah. Selang
beberapa waktu, ternyata Bani Abbasiyah memusuhi Ahlul Bait dan membunuh
pengikutnya. Imam Ja'far juga tidak luput dari sasaran pembunuhan. Pada
25 Syawal 148 H, Al-Mansur membuat Imam syahid dengan meracunnya.
"Imam Ja'far bin Muhammad, putra Imam kelima, lahir pada tahun 83 H/702
M. Dia wafat pada tahun 148 H/757 M, dan menurut riwayat kalangan Syi'ah
diracun dan dibunuh karena intrik Al-Mansur, khalifah Bani Abbasiyah.
Setelah ayahnya wafat dia menjadi Imam keenam atas titah Illahi dan
fatwa para pendahulunya." [5]
[sunting] Perkembangan Mazhab Dua Belas Imam
[sunting] Perkembangan pesat Mazhab Dua Belas Imam
Selama masa keimaman Ja'far ash-Shadiq inilah, mazhab Syi'ah Dua Belas
Imam atau dikenal juga Imamiah mengalami kesempatan yang lebih besar dan
iklim yang menguntungkan baginya untuk mengembangkan ajaran-ajaran
agama. Ini dimungkinkan akibat pergolakan di berbagai negeri Islam,
terutama bangkitnya kaum Muswaddah untuk menggulingkan kekhalifahan Bani
Umayyah, dan perang berdarah yang akhirnya membawa keruntuhan dan
kemusnahan Bani Umayyah. Kesempatan yang lebih besar bagi ajaran Syi'ah
juga merupakan hasil dari landasan yang menguntungkan, yang diciptakan
Imam ke-5 selama 20 tahun masa keimamannya melalui pengembangan ajaran
Islam yang benar dan pengetahuan Ahlul Bait. Sampai sekarang pun mazhab
Syi'ah Imamiah juga dikenal dengan mazhab Ja'fari.
[sunting] Murid-murid Ja'far ash-Shadiq
Imam telah memanfaatkan kesempatan ini untuk mengembangkan berbagai
pengetahuan keagamaan sampai saat terakhir dari keimamannya yang
bersamaan dengan akhir Bani Umayyah dan awal dari kekhalifahan Bani
Abbasiyah. Ia mendidik banyak sarjana dalam berbagai lapangan ilmu
pengetahuan aqliah (intelektual) dan naqliah (agama) seperti:
Zararah,
Muhammad bin Muslim,
Mukmin Thaq,
Hisyam bin Hakam,
Aban bin Taghlib,
Hisyam bin Salim,
Huraiz,
Hisyam Kaibi Nassabah, dan
Abu Musa Jabir Ibn Hayyan, ahli kimia. (di Eropa dikenal dengan nama Geber)
Bahkan beberapa sarjana terkemuka Sunni seperti:
Sofyan ats-Tsauri,
Abu Hanifah (pendiri Madzhab Hanafi),
Qadhi Sukuni,
Qodhi Abu Bakhtari,
Malik bin Anas (pendiri Madzhab Maliki)
Mereka beroleh kehormatan menjadi murid-muridnya. Disebutkan bahwa
kelas-kelas dan majelis-majelis pengajaranya menghasilkan empat ribu
sarjana hadist dan ilmu pengetahuan lain. Jumlah hadist yang terkumpul
dari Imam ke-5 dan ke-6, lebih banyak dari seluruh hadits yang pernah
dicatat dari Imam lainnya.
[sunting] Sasaran dari khalifah yang berkuasa
Tetapi menjelang akhir hayatnya, ia menjadi sasaran
pembatasan-pembatasan yang dibuat atas dirinya oleh Al-Mansur, khalifah
Bani Abbasiyah, yang memerintahkan penyiksaan dan pembunuhan yang kejam
terhadap keturunan Nabi, yang merupakan kaum Syi'ah, hingga
tindakan-tindakannya bahkan melampaui kekejaman Bani Umayyah. Atas
perintahnya mereka ditangkap dalam kelompok-kelompok, beberapa dan
mereka dibuang dalam penjara yang gelap dan disiksa sampai mati,
sedangkan yang lain dipancung atau dikubur hidup-hidup atau ditempatkan
di bawah atau di antara dinding-dinding yang dibangun di atas mereka.
[sunting] Penangkapannya
Hisyam, khalifah Bani Umayyah, telah memerintahkan untuk menangkap Imam
ke-6 dan dibawa ke Damaskus. Belakangan, Imam ditangkap oleh As-Saffah,
khalifah Bani Abbasiyah dan dibawa ke Iraq. Akhirnya Al-Mansur
menangkapnya lagi dan dibawa ke Samarra, Iraq untuk diawasi dan dengan
segala cara mereka melakukan tindakan lalim dan kurang hormat dan
berkali-kali merencanakan untuk membunuhnya. Kemudian Imam diizinkan
kembali ke Madinah, di mana dia menghabiskan sisa hidupnya di Madinah,
sampai dia diracun dan dibunuh melalui upaya rahasia Al-Mansur.
[sunting] Riwayat mengenai Ja'far ash-Shadiq
[sunting] Dari Malik bin Anas
Imam Malik menceritakan pribadi Imam Ja'far ash-Shadiq dalam kitab Tahdhib al-Tahdhib, Jilid 2, hlm. 104:
"Aku sering mengunjungi ash-Shadiq. Aku tidak pernah menemui beliau kecuali dalam salah satu daripada keadaan-keadaan ini:
beliau sedang salat,
beliau sedang berpuasa,
beliau sedang membaca kitab suci al-Qur'an.
Aku tidak pernah melihat beliau meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi SAW
tanpa taharah. Ia seorang yang paling bertaqwa, warak, dan amat
terpelajar selepas zaman Nabi Muhammad SAW. Tidak ada mata yang pernah,
tidak ada telinga yang pernah mendengar dan hati ini tidak pernah
terlintas akan seseorang yang lebih utama (afdhal) melebihi Ja'far bin
Muhammad dalam ibadah, kewarakan dan ilmu pengetahuannya."
[sunting] Dari Abu Hanifah
Pada suatu ketika khalifah Al-Mansur dari Bani Abbasiyah ingin
mengadakan perdebatan antara Abu Hanifah dengan Imam Ja'far ash-Shadiq
AS. Khalifah bertujuan untuk menunjukkan kepada Abu Hanifah bahwa banyak
orang sangat tertarik kepada Imam Ja'far bin Muhammad karena ilmu
pengetahuannya yang luas itu. Khalifah Al-Mansur meminta Abu Hanifah
menyediakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk diajukan kepada Imam
Ja'afar bin Muhammad AS di dalam perdebatan itu nanti. Sebenarnya
Al-Mansur telah merencanakan untuk mengalahkan Imam Ja'far bin Muhammad,
dengan cara itu dan membuktikan kepada orang banyak bahwa Ja'far bin
Muhammad tidaklah luas ilmunya.
Menurut Abu Hanifah,
"Al-Mansur meminta aku datang ke istananya ketika aku tidak berada di
Hirah. Ketika aku masuk ke istananya, aku melihat Ja'far bin Muhammad
duduk di sisi Al-Mansur. Ketika aku memandang Ja'far bin Muhammad,
jantungku bergoncang kuat, rasa getar dan takut menyelubungi diriku
terhadap Ja'far bin Muhammad lebih daripada Al-Mansur. Setelah
memberikan salam, Al-Mansur memintaku duduk dan beliau memperkenalkanku
kepada Ja'far bin Muhammad. Kemudian Al-Mansur memintaku mengemukakan
pertanyaan-pertanyaan kepada Ja'far bin Muhammad. Aku pun mengemukakan
pertanyaan demi pertanyaan dan beliau menjawabnya satu persatu,
mengeluarkan bukan saja pendapat ahli-ahli fiqih Iraq dan Madinah tetapi
juga mengemukakan pandangannya sendiri, baik beliau menerima atau
menolak pendapat-pendapat orang lain itu sehingga beliau selesai
menjawab semua empat puluh pertanyaan sulit yang telah aku sediakan
untuknya."
Abu Hanifah berkata lagi,
"Tidakkah telah aku katakan bahwa dalam soal keilmuan, orang yang paling
alim dan mengetahui adalah orang yang mengetahui pendapat-pendapat
orang lain?"
Lantaran pengalaman itu, Abu Hanifah berkata,
"Aku tidak pernah melihat seorang ahli fiqih yang paling alim selain Ja'far bin Muhammad." [6]
[sunting] Imam Ja'far ash-Shadiq sering berkata
"Hadist-hadist yang aku keluarkan adalah hadits-hadits dari bapakku.
Hadist-hadist dari bapakku adalah dari kakekku. Hadist-hadist dari
kakekku adalah dari Ali bin Abi Thalib, Amirul Mu'minin. Hadist-hadist
dari Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib adalah hadist-hadist dari
Rasulullah SAW dan hadist-hadist dari Rasulullah SAW adalah wahyu Allah
Azza Wa Jalla."
Imam Syafi'i R.A (Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i)
(Gaza, Palestina, 150 H/767 M-Fustat [Cairo], Mesir, 204 H/20 Januari 820).
Ulama
mujtahid (ahli ijtihad) di bidang fikih dan salah seorang dari empat
imam mazhab yang terkenal dalam Islam. la hidup di masa pemerintahan
Khalifah Harun ar-Rasyid, al-Amin, dan al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah.
Nama lengkap nya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i.
la
sering juga dipanggil dengan nama Abu Abdullah karena salah seorang
putranya bernama Abdullah. Setelah menjadi ulama besar dan mempunyai
banyak pengikut, ia lebih dikenal dengan nama Imam Syafi’i dan
mazhabnya disebut Mazhab Syafi’i. Kata “Syafi’i” dinisbahkan kepada nama
kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi’i bin as-Sa’ib. Ayahnya bernama Idris
bin Abbas bin Usman bin Syafi’ bin as-Sa’ib bin Abid bin Abd Yazid bin
Hasyim bin al-Muttalib bin Abd Manaf, sedangkan ibunya bernama Fatimah
binti Abdullah bin al-Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Talib. Dari garis
keturunan ayahnya, Imam Syafi’i bersatu dengan keturunan Nabi Muhammad
SAW pada Abd Manaf, kakek Nabi SAW yang ketiga, sedangkan dari pihak
ibunya, ia adalah cicit dari Ali bin Abi Talib. Dengan demikian, kedua
orang tuanya berasal dari bangsawan Arab Kuraisy.
Kedua
orangtuanya meninggalkan Mekah menuju Gaza, suatu tempat di Palestina,
ketika ia masih dalam kandungan. Tiada berapa lama setelah tiba di Gaza,
ayahnya jatuh sakit dan meninggal dunia. Beberapa bulan sepeninggal
ayahnya ia dilahirkan dalam keadaan yatim. Syafi’i diasuh dan dibesarkan
oleh ibunya sendiri dalam kehidupan yang sangat sederhana, bahkan
banyak menderita kesulitan. Setelah Syafi’i berumur dua tahun, ibunya
membawanya pulang ke kampung asalnya, Mekah. Di sinilah Syafi’i tumbuh
dan dibesarkan.
Pendidikan
Syafi’i dimulai dari belajar membaca Al-Quran. Sejak usia dini ia telah
memperlihatkan kecerdasan dan daya hafal yang luar biasa. Dalam usia 9
tahun Syafi’i sudah menghafal seluruh isi Al-Qur’an dengan lancar.
Setelah dapat menghafal Al-Quran, Syafi’i berangkat ke dusun Badui, Banu
Hudail, untuk mempelajari bahasa Arab yang asli dan fasih. Di sana,
selama bertahun-tahun Syafi’i mendalami bahasa, kesusastraan, dan adat
istiadat Arab yang asli. Berkat ketekunan dan kesungguhannya, Syafi’i
kemudian dikenal sangat ahli dalam bahasa Arab dan kesusastraannya,
mahir dalam membuat syair, serta mendalami adat istiadat Arab yang asli.
Syafi’i
kembali ke Mekah dan belajar ilmu fikih pada Imam Muslim bin Khalid
az-Zanni, seorang ulama besar dan mufti di kota Mekah, sampai memperoleh
ijazah berhak mengajar dan memberi fatwa. Selain itu, Syafi’i juga
mempelajari berbagai cabang ilmu agama lainnya seperti ilmu hadis dan
ilmu Al-Quran. Untuk ilmu hadis, ia berguru pada ulama hadis terkenal di
zaman itu, Imam Sufyan bin Uyainah, sedangkan untuk ilmu Al-Qur’an pada
ulama besar Imam Isma’il bin Qastantin.
Di
samping cerdas, Syafi’i juga sangat tekun dan tidak kenal lelah dalam
belajar. Pada usia 10 tahun ia sudah membaca seluruh isi kitab
al-Muwatta’ karangan Imam Malik dan pada usia 15 tahun telah menduduki
kursi mufti di Mekah. Selama menuntut ilmu, Syafi’i hidup serba
kekurangan dan penuh penderitaan. Diriwayatkan bahwa karena kemiskinan
dan ketidakmampuannya ia terpaksa mengumpulkan kertas-kertas bekas dari
kantor-kantor pemerintah atau tulang-tulang sebagai alat untuk mencatat
pelajarannya.
Setelah
menghafal isi kitab al-Muwatta’, Syafi’i sangat berhasrat untuk menemui
pengarangnya, Imam Malik, sekaligus memperdalam ilmu fikih yang amat
diminatinya. Lalu dengan meminta izin kepada gurunya di Mekah, Syafi’i
berangkat ke Madinah, tempat Imam Malik. Diceritakan bahwa dalam
perjalanan antara Mekah dan Madinah yang ditempuhnya selama 8 hari
Syafi’i sempat mengkhatamkan (baca sampai selesai) Al-Qur’an sebanyak 16
kali. Setibanya di Madinah, ia lalu salat di Masjid Nabi, menziarahi
makam Nabi SAW, baru kemudian menemui Imam Malik. Selama di Madinah
Syafi’i tinggal di rumah gurunya, Imam Malik, la sangat dikasihi oleh
gurunya itu dan kepadanya diserahi tugas untuk mendiktekan isi kitab
al-Muwatta’ kepada murid-murid Imam Malik.
Syafi’i
adalah profil ulama yang tidak pernah puas dalam menuntut ilmu. Semakin
banyak ia menuntut ilmu semakin dirasakannya banyak yang tidak
diketahuinya. la kemudian meninggalkan Madinah menuju Irak untuk berguru
pada ulama besar di sana, antara lain Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad
bin Hasan. Keduanya adalah sahabat Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi). Dari
kedua imam itu Syafi’i memperoleh pengetahuan yang lebih luas mengenai
cara-cara hakim memeriksa dan memutuskan perkara, cara memberi fatwa,
cara menjatuhkan hukuman, serta berbagai metode yang diterapkan oleh
para mufti di sana yang tidak pernah dilihatnya di Hedzjaz.
Setelah
2 tahun di Irak, Syafi’i melanjutkan perjalanannya ke Persia, lalu ke
Hirah, Palestina, dan Ramlah, suatu kota dekat Baitulmakdis, dengan satu
tujuan yaitu menuntut ilmu pada ulama-ulama terkemuka dan mencari
pengalaman. Dari Ramlah ia kembali ke Madinah dan tinggal di sana
bersama Imam Malik kurang lebih 4 tahun sampai wafatnya Imam Malik.
Sebagai
pencinta ilmu, Syafi’i mempunyai banyak guru. Begitu banyaknya guru
Imam Syafi’i, sehingga Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyusun satu buku
khusus yang bernama Tawali at-Ta’sis yang di dalamnya disebut nama-nama
ulama yang pernah menjadi guru Syafi’i, antara lain: Imam Muslim bin
Khalid, Imam Ibrahim bin Sa’id, Imam Sufyan bin Uyainah, Imam Malik bin
Anas (Imam Malik), Imam Ibrahim bin Muhammad, Imam Yahya bin Hasan, Imam
Waqi’, Imam Fudail bin lyad, dan Imam Muhammad bin Syafi’.
Aktivitasnya
di bidang pendidikan dimulai dengan mengajar di Madinah dan menjadi
asisten Imam Malik. Waktu itu usianya sekitar 29 tahun. Sebagai ulama
fikih namanya mulai dikenal, muridnya pun berdatangan dari berbagai
penjuru wilayah Islam. Selain sebagai ulama ahli fikih ia pun dikenal
sebagai ulama ahli hadis, tafsir, bahasa dan kesusastraan Arab, ilmu
falak, ilmu usul, dan tarikh. Di samping itu, Syafi’i memiliki kemampuan
khusus dalam ilmu kiraah. la sangat mahir dalam melagukan ayat-ayat
Al-Qur’an. Suaranya yang bagus dan bahasanya yang fasih memukau setiap
orang yang mendengarkan bacaannya.
Syafi’i
kemudian pindah ke Yaman atas undangan Abdullah bin Hasan, wali negeri
Yaman. Di sana ia diangkat sebagai penasihat khusus dalam urusan hukum,
di samping tetap melanjutkan karirnya sebagai guru. Sama seperti di
Madinah, di sini pun Syafi’i mempunyai banyak murid. Oleh wali negeri
Yaman, Syafi’i dinikahkan dengan seorang putri bangsawan yang bernama
Siti Hamidah binti Nafi’, cicit Usman bin Affan. Perkawinannya ini
dianugerahi tiga orang anak, yaitu Abdullah, Fatimah, dan Zainab.
Pada
waktu itu orang-orang Syiah di Yaman sedang melangsungkan kegiatannya
dengan gencar. Syiah dianggap sebagai kelompok oposisi yang akan
menjatuhkan pemerintah resmi di Baghdad. Imam Syafi’i dituduh terlibat
dalam aktivitas Syiah dan atas tuduhan itu ia ditangkap dan dibawa ke
Baghdad menghadap Khalifah Harun ar-Rasyid. Setelah terbukti tidak
bersalah, ia dibebaskan, bahkan Khalifah merasa kagum terhadapnya.
Selama di Baghdad, Syafi’i diminta mengajar dan orang-orang Baghdad pun
berduyun-duyun datang belajar kepadanya.
Pada
tahun 181 H/797 M Syafi’i kembali mengajar ke Mekah. Selama 17 tahun
di Mekah Syafi’i mengajarkan berbagai macam ilmu agama, terutama kepada
para jemaah haji yang datang dari berbagai penjuru dunia Islam. Di
samping mengajar, ia pun banyak menulis terutama mengenai masalah fikih.
Selanjutnya
pada tahun 198 H/813 M Syafi’i pergi ke Baghdad, yaitu pada masa
pemerintahan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M). Sesampainya di sana
Syafi’i disambut oleh ulama dan pemuka Baghdad yang telah lama
merindukan kedatangannya. Syafi’i diberi tempat mengajar di dalam Masjid
Baghdad. Mulanya, di situ ada 20 halaqah (kelompok belajar), tetapi
setelah Imam Syafi’i datang, hanya tinggal 3 halaqah, yang lainnya
menggabungkan diri ke dalam halaqah Imam Syafi’i.
Belum
cukup setahun mengajar di Baghdad Syafi’i diminta oleh wali negeri
Mesir, Abbas bin Musa, untuk pindah ke Mesir. Dengan rasa berat Syafi’i
meninggalkan murid-muridnya di Baghdad menuju Mesir. Di Mesir Syafi’i
memberi pengajaran di Masjid Amr bin As, dengan jumlah murid yang tidak
kalah banyaknya dari tempat lain. la biasa mengajar mulai pagi hari
sampai zuhur. Selesai salat zuhur, baru ia pulang ke rumah. Di waktu
sore dan malam hari ia memberikan pelajaran di rumah. Di Mesir Syafi’i
menyelesaikan beberapa buah buku. Pikiran-pikiran dan hasil ijtihadnya
selama tinggal di Mesir inilah yang kemudian dikenal sebagai
pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang baru (al-qaul al-jadid), sedangkan
pikiran-pikiran dan hasil ijtihad sebelumnya dikenal dengan sebutan
al-qaul al-qadim, pendapat Imam Syafi’i yang lama.
Syafi’i
adalah figur ulama yang zahid. Pakaian dan tempat tinggalnya sederhana.
la tidak suka makan banyak dan menurut pengakuannya sejak kecil ia
sudah terbiasa tidak makan sampai kenyang, karena kekenyangan membuat
tubuh menjadi malas, membuat hati jadi beku, dan membuat pikiran jadi
tumpul. Orang kenyang enggan beribadat kepada Allah. Walaupun dalam
serba kekurangan, Imam Syafi’i memiliki sifat dermawan. Setiap kali
menerima hadiah berupa uang dan harta lainnya ia tidak pernah
menyimpannya di rumah, melainkan segera dibagikan kepada fakir miskin
dan orang-orang yang membutuhkan.
Syafi’i
juga terkenal dalam ketaatannya dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Ada
banyak pengakuan ulama mengenai dirinya, antara lain dari Imam ar-Rabi’
bin Sulaiman al-Marawi yang mengatakan bahwa Syafi’i menggunakan
sebagian besar waktunya di malam hari untuk salat dan mengkhatamkan
Al-Qur’an, terutama di bulan Ramadan ia bisa mengkhatam bacaan Al-Qur’an
sampai enam puluh kali. Pengakuan yang sama disampaikan oleh Imam
Husain al-Karabisi. la berkata, “Saya sering bermalam di rumah Imam
Syafi’i dan menyaksikannya setiap malam menghabiskan sepertiga waktunya
di akhir malam untuk salat dan mengkhatam Al-Qur’an.”
Imam
Syafi’i digelari Nasir as-Sunnah artinya “pembela sunah atau hadis”
karena sangat menjunjung tinggi sunah Nabi SAW, sebagaimana ia sangat
memuliakan para ahli hadis. Ulama besar, Abdul Halim al-Jundi, menulis
sebuah buku dengan judul al-Imam asy-Syafi’i, Nasir as-Sunnah wa Wadi’
al-Usul (Imam Syafi’i, Pembela Sunah dan Peletak Dasar Ilmu Usul Fikih).
Di dalamnya diuraikan secara rinci bagaimana sikap dan pembelaan
Syafi’i terhadap sunah. Intinya adalah bahwa Imam Syafi’i sangat
mengutamakan sunah Nabi SAW dalam melandasi pendapat-pendapat dan hasil
ijtihadnya.
Karena
sangat mengutamakan sunah, Syafi’i menjadi sangat berhati-hati dalam
menggunakan kias. Menurutnya, kias hanya dapat digunakan dalam keadaan
terpaksa (darurat), yaitu dalam masalah mu’amalah (kemasyarakatan) yang
tidak didapati teksnya (nasnya) secara pasti dan jelas di dalam
Al-Qur’an atau hadis sahih, atau tidak dijumpai ijmak pada sahabat. Kias
sama sekali tidak dibenarkan dalam urusan ibadah karena untuk segala
yang menyangkut ibadah sudah tertera nasnya di dalam Al-Qur’an dan
sunah Nabi SAW. Dalam penggunaan kias, Syafi’i menegaskan bahwa harus
diperhatikan nas-nas Al-Qur’an dan sunah yang telah ada.
Syafi’i
berpendapat bahwa bidah ada dua ma-cam: bidah terpuji dan bidah sesat.
Dikatakan terpuji jika bidah itu selaras dengan prinsip-prinsip sunah,
sebaliknya jika bertentangan dengannya dikatakan bidah sesat. Mengenai
taklid, Syafi’i selalu memberikan perhatian kepada murid-muridnya agar
tidak menerima begitu saja pendapat-pendapat dan hasil ijtihadnya. Ia
tidak senang melihat murid-muridnya bertaklid buta kepada
perkataan-perkataannya. Sebaliknya ia menyuruh murid-muridnya untuk
bersikap kritis dan berhati-hati dalam menerima suatu pendapat.
Dalam
meng-istinbat-kan (mengambil dan menetapkan) suatu hukum, Syafi’i dalam
bukunya ar-Risalah menjelaskan bahwa ia memakai lima dasar, yaitu,
1) Al-Qur’an,
2) sunah,
3) ijmak,
4) kias, dan
5) istidlal (penalaran).
Kelima
dasar inilah yang kemudian dikenal sebagai dasar-dasar mazhab Imam
Syafi’i. Dasar pertama dan utama dalam menetapkan hukum adalah
Al-Qur’an. Syafi’i terlebih dahulu melihat makna lafzi (perkataan)
Al-Qur’an. Kalau suatu masalah tidak menghendaki makna lafzi barulah ia
mengambil makna majazi (kiasan). Kalau dalam Al-Qur’an tidak ditemukan
hukumnya, ia beralih kepada sunah Nabi SAW. Dalam hal sunah, ia juga
memakai hadis ahad (perawinya satu orang) di samping yang mutawatir
(perawinya banyak orang), selama hadis ahad itu mencukupi
syarat-syaratnya. Jika di dalam sunah pun belum dijumpai nasnya, ia
mengambil ijmak sahabat. Setelah mencari dalam ijmak sahabat dan tidak
juga ditemukan ketentuan hukumnya barulah ia melakukan kias. Apabila ia
tidak menjumpai dalil dari ijmak dan kias, ia memilih jalan istidlal,
yaitu menetapkan hukum berdasarkan kaidah-kaidah umum agama Islam.
Sebagai
ulama yang tempat mengajarnya berpindah-pindah, Syafi’i mempunyai
ribuan murid yang berasal dari berbagai penjuru. Di antaranya yang
terkenal adalah ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Marawi, Abdullah bin Zubair
al-Hamidi, Yusuf bin Yahya al-Buwaiti, Abu Ibrahim, Isma’il bin Yahya
al-Muzani, Yunus bin Abdul A’la as-Sadafi, Ahmad bin Sibti, Yahya bin
Wazir al-Misri, Harmalah bin Yahya Abdullah at-Tujaibi, Ahmad bin
Hanbal, Hasan bin Ali al-Karabisi, Abu Saur Ibrahim bin Khalid Yamani
al-Kalbi, dan Hasan bin Ibrahim bin Muhammad as-Sahab az-Za’farani.
Mereka semua berhasil menjadi ulama besar di masanya.
Penghargaan
Syafi’i adalah profil ulama yang tekun dan berbakat dalam menulis. Karangannya yang sampai kepada kita antara lain,
(1)
ar-Risalah, suatu kitab yang khusus membahas tentang usul fikih dan
me-rupakan buku pertama yang ditulis ulama dalam bidang usul fikih. Di
dalamnya Syafi’i menguraikan dengan jelas cara-cara mengistinbatkan
hukum. Sampai sekarang buku ini tetap merupakan buku standar dalam usul
fikih.
(2)
Kitab al-Umm, sebuah kitab fikih yang komprehensif. Kitab al-Umm yang
ada sekarang terdiri atas tujuh jilid dan mencakup isi beberapa kitab
Syafi’i yang lain seperti Siyar al-Ausa’i, Jima’ al-‘Ilm, Ibtal
al-Istihsan, dan ar-Radd ‘Ala Muhammad ibn Hasan.
(3)
Kitab al-Musnad, berisi tentang hadis-hadis Nabi SAW yang dihimpun dari
kitab al-Umm. Di sana dijelaskan keadaan sanad setiap hadis.
(4)
Ikhtilaf al-Hadis, suatu kitab hadis yang menguraikan pendapat Syafi’i
mengenai perbedaan-perbedaan yang ter-dapat dalam hadis. Terdapat pula
buku-buku yang memuat ide-ide dan pikiran-pikiran Imam Syafi’i, tetapi
ditulis oleh murid-muridnya, seperti Kitab al-fiqh, al-Muktasar
al-Kabir, al-Mukhtasar as-Sagir, dan al-Fara’id. Ketiga yang baru ini
dihimpun oleh Imam al-Buwaiti.
SYAFI’I, MAZHAB.
Salah
satu aliran dalam fikih di kalangan Ahlusunah waljamaah. Nama ini
dinisbahkan kepada Imam Syafi’i yang nama panjangnya Abu Abdullah
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i. Imam Syafi’i merupakan pendiri aliran
ini yang muncul pada pertengahan abad ke-2 H.
Sebagai
pendiri mazhab, Imam Syafi’i memiliki pemikiran fikih yang khas yang
berbeda dengan kedua aliran sebelumnya, Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi,
meskipun kedua aliran ini telah dipelajarinya secara mendalam. Ketika
menetap di Mesir, ia membina para muridnya yang kemudian menjadi
ulama-ulama besar sebagai penerus dan penyebar pahamnya. Di antara
muridnya yang ter-kenal adalah Abu Saur Ibrahim bin Khalid bin Yamani
al-Kalbi, Hasan bin Ibrahim bin Muhammad as-Sahab az-Za’farani, Isma’il
bin Yahya al-Muzani, dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi. Dari para murid
inilah paham-pahamnya tersebar luas dan karya tulisnya menjadi pegangan
atau sumber acuan masyarakat. Pada perkembangan selanjutnya,
paham-paham Syafi’i menjadi suatu mazhab fikih yang penganutnya tersebar
di berbagai dunia Islam.
Sumber
acuan mazhab ini adalah paham dan buah pikiran Syafi’i yang termuat
dalam berbagai karya tulisnya, antara lain: Ar-Risalah (kitab usul
fikih), al-Umm (kitab yang memuat masalah-masalah fikih), Ikhtilaf
al-Hadis (kitab yang berkaitan dengan ilmu hadis), dan al-Musnad (kitab
hadis). Kitab-kitab lainnya, yang dihimpun oleh para muridnya, antara
lain al-Fiqh (hasil himpunan al-Haramain bin Yahya), al-Mukhtasar
al-Kabir, al-Mukhtasar as-Sagir, al-Fara’id (hasil himpunan Imam
al-Buwaiti), al-Jami’ al-Kabir, dan as-Sagir (hasil himpunan al-Muzani).
Para ulama Mazhab Syafi’i ada yang mengembangkan kitab-kitab tersebut
dengan mensyarahkan (menguraikan atau menjelaskan) atau membuat
hasyiahnya (komentar). Ada juga yang sengaja menyusun kitab-kitab
sebagai karyanya sendiri dengan mengacu pada paham-paham fikih dan
metode istinbat Syafi’i.
Adapun
yang menjadi dasar dalam pembinaan fikihnya (masadir atau sumber/dasar
dan dalil ta-syri’-nya atau hukumnya) sebagaimana yang diterapkan oleh
Syafi’i, ialah Al-Qur’an, sunah, ijmak, dan kias. Al-Qur’an merupakan
sumber pertama dan sunah sumber kedua. Sunah yang dipakai adalah sunah
yang nilai kuantitasnya mutawdtir (perawinya banyak orang) maupun yang
ahad (perawinya satu orang); sunah yang nilai kualitasnya sahih maupun
hasan, bahkan juga sunah yang daif. Adapun syarat-syarat untuk semua
sunah yang daif adalah:
(1) tidak terlalu lemah,
(2) dibenarkan oleh kaidah umum atau dasar kulli (umum) dari nas,
(3) tidak bertentangan dengan dalil yang kuat atau sahih, dan
(4)
hadis tersebut bukan untuk menetap-kan halal dan haram atau masalah
keimanan, melainkan sekedar untuk anjuran keutamaan amal (fada’il al
a’mal) atau untuk targib (imbauan) dan tarhib (anjuran).
Dalam
pandangan Imam Syafi’i hadis mempunyai kedudukan yang begitu tinggi.
Bahkan disebut-sebut sebagai salah seorang yang meletakkan hadis
setingkat dengan Al-Quran dalam kedudukannya sebagai sumber hukum Islam
yang harus diamalkan. Karena, menurut Imam Syafi’i, hadis itu mempunyai
kaitan yang sangat erat dengan Al-Quran. Bahkan, menurutnya, setiap
hukum yang ditetapkan Rasulullah SAW pada hakikatnya merupakan hasil
pemahaman yang beliau peroleh dari memahami Al-Quran. Dengan demikian,
memang pada tempatnya jika Imam Syafi’i oleh banyak orang dijuluki
sebagai pembela sunah (nasir as-sunnah). Selain berpegang pada Al-Quran
dan sunah, Imam Syafi’i juga berpegang pada ijmak. Ijmak yang
dimaksudkannya ialah suatu hasil kese-pakatan para sahabat secara
integral mengenai hukum suatu masalah. Kesepakatan ini harus diper-oleh
secara jelas. Soal kias, menurut Imam Syafi’i merupakan salah satu
dasar hukum Islam untuk mengetahui suatu kepastian hukum yang
ketentuannya tidak ditunjuk langsung oleh nas yang sarih (tegas). Jika
suatu persoalan hukumnya tidak ditunjuk secara jelas, baik oleh nas
maupun oleh ijmak, maka harus dilakukan ijtihad melalui jalan kias. Kias
itu sendiri artinya ilhaqu amrin qair mansusin ‘ala hukmihi bi amrin
akhar mansusin ‘ala hukmihi liisytirakihi ma’ahu fl ‘illah al-hukmi
(menetapkan hukum atas suatu perbuatan yang belum ada nasnya berdasarkan
sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya secara jelas dalam nas,
karena terdapat kesamaan ilat [sebab] hukumnya). Di kalangan penganut
Mazhab Syafi’i dikenal juga adanya teori/metode maslahat, yakni metode
penerapan hukum yang berdasarkan kepentingan umum. Hanya saja maslahat
yang digunakannya terbatas pada maslahat yang mu’tabarah (maslahat yang
secara khusus ditunjuk oleh nas) dan maslahat yang mulaimah lijins
tasarrufat asy-Syari’ (maslahat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT
sebagai pembuat undang-undang).
Mazhab
Syafi’i mula-mula tumbuh dan berkembang di Iraq. Di sinilah untuk
pertama kalinya Imam Syafi’i menyampaikan paham-pahamnya kepada para
ulama, ketika ia melawat ke daerah ini dalam rangka meluaskan wawasan
ilmunya. Mazhab ini berkembang cukup subur dan pesat di Mesir,
sekalipun pada masa kekuasaan Dinasti Fatimiah mazhab ini sempat
mendapat tekanan keras. Dari sini paham-paham Syafi’i terus disebarkan
oleh para pengikutnya ke berbagai wilayah, seperti Baghdad, Khurasan,
Pakistan, Syam (Suriah), Yaman, Persia (Iran), Hedzjaz, India, dan
beberapa daerah Afrika dan Andalusia. Pada perkembangan berikutnya,
sampai pada abad modern Islam, mazhab ini telah memasuki berbagai
belahan dunia, antara lain Mesir, Palestina, Suriah, Khurasan, Hedzjaz,
Irak, Persia, Hadramaut, Aden, Cina, India, Pakistan, Philipina,
Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Untuk beberapa negara atau
daerah, mazhab ini juga mengalami pasang surut, yakni berkaitan erat
dengan kebijaksanaan pemerintah yang sedang berkuasa. Hal ini dapat
dilihat di Iran maupun di Madinah bahwa Mazhab Syafi’i tidak banyak
berkembang di kedua negara ini.
Imam Ahmad bin Hambal
Di
lahirkan pada bulan Rabiul awal, tahun 164 H di Baghdad. Nasab beliau
adalah orang Arab, sehingga beliau adalah seorang Syaibani dalam nasab
beliau kepada ayah dan ibunya. Dari ayahnya, beliau mewarisi sifat tekad
yang kuat, kehormatan diri, kesabaran, dan kemampuan memikul bernagai
kesulitan. Beliau adalah imam yang kokoh lagi kuat.
Ayah beliau wafat saat ia masih kecil, sehingga ibunya yang merawat dan
mengharahkan beliau untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Beliau pun
menghafal Al-Qur’an dan mempelajari bahasa Arab. Pada umur lima belas
tahun, beliau mulai mempelajari hadis dan menghafalnya; dan pada umur
dua puluh tahun, belaiu mulai mengadakan perjalanan guna menuntut ilmu.
Belliau pergi ke kota kufah, Makkah, Madinah, Syam, dan Yaman, lalu
kembali ke Baghdad.
Dalam perjalanan ke Baghdad selama rentang waktu tahun 195 sampai 197 H,
beliau mengajar berdasarkan madzhab syafi’i. beliau termasuk murid Imam
syafi’I yang paling senior di Baghdad. Ahmad juga belajar dari banyak
ulama di irak, di antaranya Ibrahim bin Sa’id, Sufyan bin Uyainah, Yahya
bin Sa’id, Yazid bin Harun, Abu Dawud ath-Thayalisi, Waki bin
al-Jarrah, dan Abdurrahman bin Mahdi. Sesudah itu, beliau menjadi
seorang mujtahid yang mempunyai madzhab sendiri dan mengugguli
teman-teman seangkatnya dalam menghafal As-sunnah dan mengumpulkan
bagian-bagianya yang terpisah, sehingga beliau menjadi imam para
muhaddits pada masanya.
Kitabnya, Al-Mushad, yang berisi lebih dari 40.000 hadis, menjadi saksi
atas hal tersebut. Allah, pun telah memberikan kepada Ahmad kekuatan
hafalan yang mengagumkan. Asy-Syafi’I berkata, “ aku keluar dari Baghdad
dan tidak kutinggalkan seseorang disana yang lebih faqih, lebih warna’,
lebih zuhud, lebih alim, dan lebih banyak hafalannya dibandingkan ibnu
Hambal.” Beliau juga seorang yang mempunyai tekad kuat, amat penyabar,
berpendirian teguh, berhujjah kuat,berani berbicara di hadapan para
khalifah, yang menyebabkan beliau mendapat ujian yang amat terkenal.
Ujian itu dialaminya pada masa kekhalifahan al-Ma’mun Al-Abbasi. Pada
tahun 212 H, muncul pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk. Hal itu diungkapkan oleh golongan Mu’tazilah dan menjadikan hal
itu sebagai akidah mereka. Hingga dikatakan bahwa ulama dan fuqaha mana
pun yang tidak mengakui hal ini, maka diharamkan dari tugas-tugas
kenegaraan, serta dihukum dengan hukuman dera dan penjara.
Ibnu Hambal berbeda pendapat dengan mereka dan tidak setuju dengan
pendapat mereka. Dalam masalah ini, beliau bersikap seperti gunung yang
kokoh lagi teguh; sedikit pun tidak cenderung pada pendapat yang
diucapkan oleh al-Ma’mun. akibatnya, hukuman itu diberlakuhkan atas diri
beliau, beliau dilarang mengajar, dan disiksa dalam penjara pada tahun
218 H oleh ishaq baiIbrohim al-Khuza’I,pengganti al-Ma’mun. Kemudian
beliau digiring dalam keadaan dibelenggu dengan besi ke tempat al-Ma’mun
tinggal,di luar Baghdad.
Namun al-Ma’mun telah meninggal sebelum Ahmad bin hambal sampai
ketempatnya. Sepeninggalan al-Ma’mun, yang menjabat kekhalifahan adalah
saudaranya, al-Mu’tashim. Dia juga mengikuti akidah al-Ma’mun dalam
masalah ini. Dengan wasiat dari al-Ma’mun, Ahmad dipenjara dan
diperintahkan agar dipukul dengan cambuk beberapa kali. Setiap kali
dicambuk beliau pingsan, karena begitu kerasnya pukulan tersebut.
Al-Mu’taslim melanjutkan dera dan siksaan terhadap Ahmad selama kurang
lebih 28 bulan. Salah seorang tukang cambuknya berkomentar sesudah dia
bertobat,”saya telah memukul Imam Ahmad sebanyak 80 kali dera.
Seandainnya saya memukulnya kepada seekor gajah, niscaya gajah itu akan
jatuh.”
Guna menjelaskan betapa besar kesabaran dan kekuatan Imam Ahmad dalam membela kebenaran, kami sebutkan kisah ini:
Al- Mu’tashim menghadirkan para fuqaha dan hakim untuk melawan Imam
Ahmad. Mereka mendebat belia dihadapan al- Ma’mun selama tiga hari.
Beliau pun mendebat mereka dan menunjukkan dalil-dalil yang pasti seraya
berkata, ‘’ Saya adalah seorang laki-laki yang mengetahui suatu ilmu
dan saya tidak memahami perkara tersebut seperti kalian. Berikanlah
suatu dalil yang bersumber dari kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya SAW
hingga saya bisa berpendapat sama.’’
Setiap kali mereka mendebat beliau dan memaksanya untuk menyatakan bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk, beliau berkata kepada mereka,’’ Bagaimana
saya akan mengatakan sesuatu yang belum pernah diucapkan?’’ Maka
al-Mu’tashim berkata,’’ kita paksa saja Ahmad.’’
Di antara orang-orang yang fanatic kepada pendapat tersebut adalah
Muhammad bin Abdul Malik az-Zayyat, menteri al-Mu’tashim, Ahmad bin
Du’ad al-Qadhi, dan Bisyr al-Marisi. Mereka semua adalah orang-orang
Mu’tazilah yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk hidup. Ibnu
Du’ad dan Bisyr berkata kepada khalifah,’’ Bunuh saja dia sehingga kita
bisa merasa tenang darinya. Orang ini kafir lagi sesat.’’
Al-Mu’tashim menjawab,’’ Saya sudah berjanji kepada Allah tidak akan
membunuhnya dengan pedang dan tidak akan memerintahkan pembunuhan
terhadapnya dengan pedang.’’ Keduanya lalu berkata kepada
al-Mu’tashim,’’ Pukullah dia dengan cambuk.’’
Maka al-Mu’tashim berkata kepada Ahmad,’’ demi hubungan kekerabatanku
dengan Rasulullah SAW sungguh saya akan memukulmu dengan cambuk, atau
kau sependapat dengan ku.’’ Namun ancaman ini tidak membuat beliau
takut, sehingga al-Mu’tashim berkata,’’ panggil para tukang cambuk!’’
sesudah mereka dipanggil, al-Mu’tashim bertanya kepada salah seorang
dari mereka,’’ Berapa kali cambuk kamu bisa membunuhnya?’’
Tukang cambuk itu menjawab,’’ sepuluh kali.’’ Al-Mu’tashim berkata,’’
kuserahkan dia kepadamu.’’ Kemudian seluruh baju Imam Ahmad di lepas
dalam kedua tangannya diikat dengan rantai dari besi. Tatkala cambuknya
sudah didatangkan, al-Mu’tashim memperhatikan cambuk itu lalu berkata,’’
Datangkan cambuk yang lainnya!’’ Cambuk itupun diganti sesuai dengan
permintaan al-Mu’tashim.
Kemudian dia berkata kepada para tukang cambuk,’’ Majulah kalian.’’
Setelah di cambuk satu kali, Imam Ahmad mengucap,’’ Bismillah.’’ Setelah
di cambuk kedua kalinya, Ahmad mengucap,’’La haula wa la quwwata illa
billahi.’’ Sesudah di cambuk untuk ketiga kalinya, dia mengucap,’’
Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.
Ketika di pukul yang keempata kalinya, beliau berkata,’’ katakanlah:
Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah di tetapkan
oleh Allah bagi kami…’’ ( At-Taubah:51 )
Laki-laki tukang cambuk itu maju ke hadapan al-Imam Ahmad, lalu
memukulnya dua kali. Sementara al-Mus’tashim menganjurkannya agar
memukul beliau dengan sangat keras. Kemudian tukang cambuk tersebut
menyingkir. Tukang cambuk yang lain pun maju dan memukul beliau dua
kali.
Ketika beliau sudah di pukul Sembilan belas kali, al-Mu’tashim berdiri
di hadapan beliau seraya berkata,’’ Hai Ahmad, mengapa engkau membunuh
dirimu sendiri? DemiAllah, sesungguhnya saya amat kasihan kepadamu.’’
Ahmad bercerita,’’ Tiba-tiba seorang yang kurus kerempeng menodongku
dengan pedang yang lurus seraya berkata,’’ Kamu ingin mengalahkan mereka
semuanya?’’ Sebagian diantara mereka berkata,’’ Celaka kamu. Sang
khalifah berdiri diatas kepalamu. ‘’ Sebagian lagi berkata,’’ Wahai
Amirun Mukminin, darahnya adalah tanggunganku. Saya saja membunuhnya.’’
Mereka berkata,’’ Wahai Amirun Mukminin, sesungguhnya dia tengah
berpuasa, sedang kamu berdiri di tengah terik matahari’’. Al-Mu’tashim
berkata,’’ Celaka kamu, hai Ahmad. Apa yang akan kau katakana?’’ Maka
aku menjawab,’’ Berikanlah kepadaku suatu dalil dari kitabullah dan
Sunnah Rasulullah SAW, Sehingga aku bisa berpendapat sama seperti
kalian.’’
Sang khalifah lalu kembali dan duduk, lantas berkata kepada seorang
tukang cambuk,’’ Majulah !’’ lalu dia menyuruhnya untuk menyakiti beliau
dengan pukulan cambuk .
Al-Iam Ahmad bercerita,”Tiba-tiba kesadaran lenyap dan saya pun siuman
sesudah itu.Ternyata, belenggu-belengguitu telah dilepaskan dariku.
Kemudian mereka memberiku sawuq, lalu berkata, ’’Makan dan
muntahkanlah.”saya menjawap,”saya tidak akan berbuka.”Kemudian saya
dibawa kerumah Ishq bin Ibrahim. Di sana saya ikut jamaah sholat
Zuhur.saat itu Ibnu Sama’ah maju untuk melakukan sholat.Selesai dari
sholatnya,dia berkata padaku,”kamu mekakukan sholat padahal darah
mengalir di bajumu.’Saya menjawab, Umar Telah melakukan sholat sementara
lukanya mengalirkan darah.”
Tatkal pendirian Ahmad tidak bisa ubah dan beliau tidak mau meninggalkan
akidah dan pendapatnya,maka dia dibebaskan secara mutlak,lalu beliau
kembali mengajar. Pada tahun 228H, al-Mutashim meningal dunia dan
al-watsiqBillah yang mengantikannya.Dia mengulang siksaan tersebut
kepada Ahmat dan melarang beliau untuk bergaul dean masyarakat serta
melarang beliau untuk mengajar selama lebih dari lima tahun ;hingga
al-watsiw meningal dunia pada tahun 232H.
Sepeninggal al-watsiq, kekholifahan di jabat oleh al-mutawakkil,yang
menyelisihi keyakinan yangdi pegang oleh al-Ma’mun ,al-mu’tashim,dan
al-watsiq.Dia mencela mereka atas pendapat yang mereka pegang bahwa
Al-Quran adalah makhluk;dan itu terjadi pada tahun 232H.Al-Mutawakkil
juga melarang diskusi yang mengarah kepada bependapat,memberikan hukuman
kepada orang yang melakukannya,dan menyuruh agar memelihatnya
periwayatan yang jelas dari hadis yang menjadi dasar pemikirannya.
Dengan perantara Al-Mutawakkil, Allah memenangkan As-Sunnah,mematikan
bid’ah menyelapkan mendung itu dari seluruh mahluk, meneranga kegelapan
itu,dan membebaskan siapa saja yang di tahan karena menolak pendapat
bahwa Al-Quran adalah mahkluk,menghilangkan bencana dari
manusia,memuliakan Imam Ahmad dan membentangkan tangan bantuan-Nya
kepada beliau, dan akhirnya Ahmad tetap berada di atas manhajnya,
Teguh pada pendirianya, hingga wafat di Baghdad.
Sepeninggal Ahmad,para muritnya mengumpulkan banyak tema permasalahan
dalam fiqih dan fatwa.mereka membukukannya dan meriwayatkannya dalam
satu kumpulan besar,seperti yang dilakukan oleh Ibnu Qudamah dalam dua
kitabnya, yakni al-Mughni dan asy-Syarhul-kabir.
Imam Ahmad tidak mencatat dan membukukan pendapatnya dalam masalah
fiqih, juga tidak mendiktekannya kepada seorang pun diantar muritnya,
karna ia tidak suka bbila hal itu akan menyibukkan manusia dari membahas
hadis.metode mengajar beliau tidak sejalan dengan metode Abu Halifah
–para muritnya selalu membukukan dan mencatat perkataannya setiap kali
beliau hadir-juga tidak sejalan dengan Imam Malik yang membukukan
sendiri pendapatnya, demikian pula Imam asy-Syafi’i.
Semua Imam itu telah mewariskan masalah fiqih dengan mencatatnya dalam
buku, berbeda dengan Imam Ahmad yang tidak mewariskan masalah fiqih yang
tercatat dalam buku. Sepeninggal Imam Ahmad, para muritnya membukukan
semua masalah fiqih yang pernah mereka dengar dari beliau. Diantara para
murit tersebut adalah:Muhammad bin Isma’il al- Bukhori-penyusun
kitabSahih,Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburi-juga penyusun kitab
Sahih,dan Abu Dawud-penyusun kitab Sunan.
Diantara para murit beliau yang berbakti, yang membukukan berbagai fatwa
dan pendapat-pendapat fiqih dari beliau, adalah kedua putra beliau
sendiri, Shalih (wafat 226H).dan Abdullah (wafat 290H).[i] selain itu,
diantara murit-murit beliau terhadap Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin
Hani al-Baghdadi yang terkenal dengan nama al-Atsram (wafat 273 H).Dia
termasuk salah seorang yang paling terkenal membukukan permasalahan
fiqih menurut Imam Ahmad,dalam kitap As-Sunnah fi al- fiqih ‘alaMadzhabi
Ahmad wa Syawahiduhu min al –Hadits.
Di antara murid beliau yang terkenal juga ada Abu Bakr Ahmad bin
al-khallal (wafat 311 H), yang menyusun kitab al-jami dalam dua puluh
buku.Semua yang dicatat oleh Bakr daaalam kitap tersebut dianggap
sebagai periwayatan dari para murid Ahmad.Adapun dalam bidang
hadis,Ahmad memiliki kitap Musnad yang terkenal dan popular.
Penghargaan
Al –Imam Ahmad telah mendirikan madzabnya di atas beberapa pondasi,yaitu
kitabullah yang pertama;kemudian Sunnah Rasulullah sebagai yang kedua ;
lalu wafat-wafat para sahabat yang di ketahui tidak ada yang
menyelisihkan; selanjutnya adalah Qiyas,yang merupakan tingkatan
terakhir menurut beliau.
Ahmad mengakui adanya ijma bila memang benar-benar dapat
dipraktikkan.Tetapi beliau sering menganggap ijma sangat sulit terwujud
dalam tataran praktis.Di samping itu, Ahmad selalu bersikap ramah dan
bersahabat, melakukan berbagai kemaslahatan dengan ikhlas, dan menutup
segala celsh yang dapat memicu terjadinya fitnah,sebagaimana yang
dilakukan oleh para pendahulu umat ini.
Informasi Pribadi
Dalam perjalanan ke Baghdad selama rentang waktu tahun 195 sampai 197 H,
beliau mengajar berdasarkan madzhab syafi’i. beliau termasuk murid Imam
syafi’I yang paling senior di Baghdad. Ahmad juga belajar dari banyak
ulama di irak, di antaranya Ibrahim bin Sa’id, Sufyan bin Uyainah, Yahya
bin Sa’id, Yazid bin Harun, Abu Dawud ath-Thayalisi, Waki bin
al-Jarrah, dan Abdurrahman bin Mahdi. Sesudah itu, beliau menjadi
seorang mujtahid yang mempunyai madzhab sendiri dan mengugguli
teman-teman seangkatnya dalam menghafal As-sunnah dan mengumpulkan
bagian-bagianya yang terpisah, sehingga beliau menjadi imam para
muhaddits pada masanya.
Ayah
beliau wafat saat ia masih kecil, sehingga ibunya yang merawat dan
mengharahkan beliau untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Beliau pun
menghafal Al-Qur’an dan mempelajari bahasa Arab. Pada umur lima belas
tahun, beliau mulai mempelajari hadis dan menghafalnya; dan pada umur
dua puluh tahun, belaiu mulai mengadakan perjalanan guna menuntut ilmu.
Belliau pergi ke kota kufah, Makkah, Madinah, Syam, dan Yaman, lalu
kembali ke Baghdad.
Dalam
perjalanan ke Baghdad selama rentang waktu tahun 195 sampai 197 H,
beliau mengajar berdasarkan madzhab syafi’i. beliau termasuk murid Imam
syafi’I yang paling senior di Baghdad. Ahmad juga belajar dari banyak
ulama di irak, di antaranya Ibrahim bin Sa’id, Sufyan bin Uyainah, Yahya
bin Sa’id, Yazid bin Harun, Abu Dawud ath-Thayalisi, Waki bin
al-Jarrah, dan Abdurrahman bin Mahdi. Sesudah itu, beliau menjadi
seorang mujtahid yang mempunyai madzhab sendiri dan mengugguli
teman-teman seangkatnya dalam menghafal As-sunnah dan mengumpulkan
bagian-bagianya yang terpisah, sehingga beliau menjadi imam para
muhaddits pada masanya.
Kitabnya,
Al-Mushad, yang berisi lebih dari 40.000 hadis, menjadi saksi atas hal
tersebut. Allah, pun telah memberikan kepada Ahmad kekuatan hafalan yang
mengagumkan. Asy-Syafi’I berkata, “ aku keluar dari Baghdad dan tidak
kutinggalkan seseorang disana yang lebih faqih, lebih warna’, lebih
zuhud, lebih alim, dan lebih banyak hafalannya dibandingkan ibnu
Hambal.” Beliau juga seorang yang mempunyai tekad kuat, amat penyabar,
berpendirian teguh, berhujjah kuat,berani berbicara di hadapan para
khalifah, yang menyebabkan beliau mendapat ujian yang amat terkenal.
Ujian
itu dialaminya pada masa kekhalifahan al-Ma’mun Al-Abbasi. Pada tahun
212 H, muncul pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Hal itu diungkapkan oleh golongan Mu’tazilah dan menjadikan hal itu
sebagai akidah mereka. Hingga dikatakan bahwa ulama dan fuqaha mana pun
yang tidak mengakui hal ini, maka diharamkan dari tugas-tugas
kenegaraan, serta dihukum dengan hukuman dera dan penjara.
Ibnu
Hambal berbeda pendapat dengan mereka dan tidak setuju dengan pendapat
mereka. Dalam masalah ini, beliau bersikap seperti gunung yang kokoh
lagi teguh; sedikit pun tidak cenderung pada pendapat yang diucapkan
oleh al-Ma’mun. akibatnya, hukuman itu diberlakuhkan atas diri beliau,
beliau dilarang mengajar, dan disiksa dalam penjara pada tahun 218 H
oleh ishaq baiIbrohim al-Khuza’I,pengganti al-Ma’mun. Kemudian beliau
digiring dalam keadaan dibelenggu dengan besi ke tempat al-Ma’mun
tinggal,di luar Baghdad.
Namun
al-Ma’mun telah meninggal sebelum Ahmad bin hambal sampai ketempatnya.
Sepeninggalan al-Ma’mun, yang menjabat kekhalifahan adalah saudaranya,
al-Mu’tashim. Dia juga mengikuti akidah al-Ma’mun dalam masalah ini.
Dengan wasiat dari al-Ma’mun, Ahmad dipenjara dan diperintahkan agar
dipukul dengan cambuk beberapa kali. Setiap kali dicambuk beliau
pingsan, karena begitu kerasnya pukulan tersebut.
Al-Mu’taslim
melanjutkan dera dan siksaan terhadap Ahmad selama kurang lebih 28
bulan. Salah seorang tukang cambuknya berkomentar sesudah dia
bertobat,”saya telah memukul Imam Ahmad sebanyak 80 kali dera.
Seandainnya saya memukulnya kepada seekor gajah, niscaya gajah itu akan
jatuh.”
Guna menjelaskan betapa besar kesabaran dan kekuatan Imam Ahmad dalam membela kebenaran, kami sebutkan kisah ini:
Al-
Mu’tashim menghadirkan para fuqaha dan hakim untuk melawan Imam Ahmad.
Mereka mendebat belia dihadapan al- Ma’mun selama tiga hari. Beliau pun
mendebat mereka dan menunjukkan dalil-dalil yang pasti seraya berkata,
‘’ Saya adalah seorang laki-laki yang mengetahui suatu ilmu dan saya
tidak memahami perkara tersebut seperti kalian. Berikanlah suatu dalil
yang bersumber dari kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya SAW hingga saya bisa
berpendapat sama.’’
Setiap
kali mereka mendebat beliau dan memaksanya untuk menyatakan bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk, beliau berkata kepada mereka,’’ Bagaimana saya
akan mengatakan sesuatu yang belum pernah diucapkan?’’ Maka
al-Mu’tashim berkata,’’ kita paksa saja Ahmad.’’
Di
antara orang-orang yang fanatic kepada pendapat tersebut adalah
Muhammad bin Abdul Malik az-Zayyat, menteri al-Mu’tashim, Ahmad bin
Du’ad al-Qadhi, dan Bisyr al-Marisi. Mereka semua adalah orang-orang
Mu’tazilah yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk hidup. Ibnu
Du’ad dan Bisyr berkata kepada khalifah,’’ Bunuh saja dia sehingga kita
bisa merasa tenang darinya. Orang ini kafir lagi sesat.’’
Al-Mu’tashim
menjawab,’’ Saya sudah berjanji kepada Allah tidak akan membunuhnya
dengan pedang dan tidak akan memerintahkan pembunuhan terhadapnya dengan
pedang.’’ Keduanya lalu berkata kepada al-Mu’tashim,’’ Pukullah dia
dengan cambuk.’’
Maka
al-Mu’tashim berkata kepada Ahmad,’’ demi hubungan kekerabatanku dengan
Rasulullah SAW sungguh saya akan memukulmu dengan cambuk, atau kau
sependapat dengan ku.’’ Namun ancaman ini tidak membuat beliau takut,
sehingga al-Mu’tashim berkata,’’ panggil para tukang cambuk!’’ sesudah
mereka dipanggil, al-Mu’tashim bertanya kepada salah seorang dari
mereka,’’ Berapa kali cambuk kamu bisa membunuhnya?’’
Tukang
cambuk itu menjawab,’’ sepuluh kali.’’ Al-Mu’tashim berkata,’’
kuserahkan dia kepadamu.’’ Kemudian seluruh baju Imam Ahmad di lepas
dalam kedua tangannya diikat dengan rantai dari besi. Tatkala cambuknya
sudah didatangkan, al-Mu’tashim memperhatikan cambuk itu lalu berkata,’’
Datangkan cambuk yang lainnya!’’ Cambuk itupun diganti sesuai dengan
permintaan al-Mu’tashim.
Kemudian
dia berkata kepada para tukang cambuk,’’ Majulah kalian.’’ Setelah di
cambuk satu kali, Imam Ahmad mengucap,’’ Bismillah.’’ Setelah di cambuk
kedua kalinya, Ahmad mengucap,’’La haula wa la quwwata illa billahi.’’
Sesudah di cambuk untuk ketiga kalinya, dia mengucap,’’ Al-Qur’an adalah
kalamullah, bukan makhluk.
Ketika
di pukul yang keempata kalinya, beliau berkata,’’ katakanlah:
Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah di tetapkan
oleh Allah bagi kami…’’ ( At-Taubah:51 )
Laki-laki
tukang cambuk itu maju ke hadapan al-Imam Ahmad, lalu memukulnya dua
kali. Sementara al-Mus’tashim menganjurkannya agar memukul beliau dengan
sangat keras. Kemudian tukang cambuk tersebut menyingkir. Tukang cambuk
yang lain pun maju dan memukul beliau dua kali.
Ketika
beliau sudah di pukul Sembilan belas kali, al-Mu’tashim berdiri di
hadapan beliau seraya berkata,’’ Hai Ahmad, mengapa engkau membunuh
dirimu sendiri? DemiAllah, sesungguhnya saya amat kasihan kepadamu.’’
Ahmad
bercerita,’’ Tiba-tiba seorang yang kurus kerempeng menodongku dengan
pedang yang lurus seraya berkata,’’ Kamu ingin mengalahkan mereka
semuanya?’’ Sebagian diantara mereka berkata,’’ Celaka kamu. Sang
khalifah berdiri diatas kepalamu. ‘’ Sebagian lagi berkata,’’ Wahai
Amirun Mukminin, darahnya adalah tanggunganku. Saya saja membunuhnya.’’
Mereka
berkata,’’ Wahai Amirun Mukminin, sesungguhnya dia tengah berpuasa,
sedang kamu berdiri di tengah terik matahari’’. Al-Mu’tashim berkata,’’
Celaka kamu, hai Ahmad. Apa yang akan kau katakana?’’ Maka aku
menjawab,’’ Berikanlah kepadaku suatu dalil dari kitabullah dan Sunnah
Rasulullah SAW, Sehingga aku bisa berpendapat sama seperti kalian.’’
Sang
khalifah lalu kembali dan duduk, lantas berkata kepada seorang tukang
cambuk,’’ Majulah !’’ lalu dia menyuruhnya untuk menyakiti beliau dengan
pukulan cambuk .
Al-Iam
Ahmad bercerita,”Tiba-tiba kesadaran lenyap dan saya pun siuman sesudah
itu.Ternyata, belenggu-belengguitu telah dilepaskan dariku.
Kemudian
mereka memberiku sawuq, lalu berkata, ’’Makan dan muntahkanlah.”saya
menjawap,”saya tidak akan berbuka.”Kemudian saya dibawa kerumah Ishq bin
Ibrahim. Di sana saya ikut jamaah sholat Zuhur.saat itu Ibnu Sama’ah
maju untuk melakukan sholat.Selesai dari sholatnya,dia berkata
padaku,”kamu mekakukan sholat padahal darah mengalir di bajumu.’Saya
menjawab, Umar Telah melakukan sholat sementara lukanya mengalirkan
darah.”
Tatkal
pendirian Ahmad tidak bisa ubah dan beliau tidak mau meninggalkan
akidah dan pendapatnya,maka dia dibebaskan secara mutlak,lalu beliau
kembali mengajar. Pada tahun 228H, al-Mutashim meningal dunia dan
al-watsiqBillah yang mengantikannya.Dia mengulang siksaan tersebut
kepada Ahmat dan melarang beliau untuk bergaul dean masyarakat serta
melarang beliau untuk mengajar selama lebih dari lima tahun ;hingga
al-watsiw meningal dunia pada tahun 232H.
Sepeninggal
al-watsiq, kekholifahan di jabat oleh al-mutawakkil,yang menyelisihi
keyakinan yangdi pegang oleh al-Ma’mun ,al-mu’tashim,dan al-watsiq.Dia
mencela mereka atas pendapat yang mereka pegang bahwa Al-Quran adalah
makhluk;dan itu terjadi pada tahun 232H.Al-Mutawakkil juga melarang
diskusi yang mengarah kepada bependapat,memberikan hukuman kepada orang
yang melakukannya,dan menyuruh agar memelihatnya periwayatan yang jelas
dari hadis yang menjadi dasar pemikirannya.
Dengan
perantara Al-Mutawakkil, Allah memenangkan As-Sunnah,mematikan bid’ah
menyelapkan mendung itu dari seluruh mahluk, meneranga kegelapan itu,dan
membebaskan siapa saja yang di tahan karena menolak pendapat bahwa
Al-Quran adalah mahkluk,menghilangkan bencana dari manusia,memuliakan
Imam Ahmad dan membentangkan tangan bantuan-Nya kepada beliau, dan
akhirnya Ahmad tetap berada di atas manhajnya,
Teguh pada pendirianya, hingga wafat di Baghdad.
Sepeninggal
Ahmad,para muritnya mengumpulkan banyak tema permasalahan dalam fiqih
dan fatwa.mereka membukukannya dan meriwayatkannya dalam satu kumpulan
besar,seperti yang dilakukan oleh Ibnu Qudamah dalam dua kitabnya, yakni
al-Mughni dan asy-Syarhul-kabir.
Imam
Ahmad tidak mencatat dan membukukan pendapatnya dalam masalah fiqih,
juga tidak mendiktekannya kepada seorang pun diantar muritnya, karna ia
tidak suka bbila hal itu akan menyibukkan manusia dari membahas
hadis.metode mengajar beliau tidak sejalan dengan metode Abu Halifah
–para muritnya selalu membukukan dan mencatat perkataannya setiap kali
beliau hadir-juga tidak sejalan dengan Imam Malik yang membukukan
sendiri pendapatnya, demikian pula Imam asy-Syafi’i.
Semua
Imam itu telah mewariskan masalah fiqih dengan mencatatnya dalam buku,
berbeda dengan Imam Ahmad yang tidak mewariskan masalah fiqih yang
tercatat dalam buku. Sepeninggal Imam Ahmad, para muritnya membukukan
semua masalah fiqih yang pernah mereka dengar dari beliau. Diantara para
murit tersebut adalah:Muhammad bin Isma’il al- Bukhori-penyusun
kitabSahih,Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburi-juga penyusun kitab
Sahih,dan Abu Dawud-penyusun kitab Sunan.
Diantara
para murit beliau yang berbakti, yang membukukan berbagai fatwa dan
pendapat-pendapat fiqih dari beliau, adalah kedua putra beliau sendiri,
Shalih (wafat 226H).dan Abdullah (wafat 290H).[i] selain itu, diantara
murit-murit beliau terhadap Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin Hani
al-Baghdadi yang terkenal dengan nama al-Atsram (wafat 273 H).Dia
termasuk salah seorang yang paling terkenal membukukan permasalahan
fiqih menurut Imam Ahmad,dalam kitap As-Sunnah fi al- fiqih ‘alaMadzhabi
Ahmad wa Syawahiduhu min al –Hadits.
Di
antara murid beliau yang terkenal juga ada Abu Bakr Ahmad bin
al-khallal (wafat 311 H), yang menyusun kitab al-jami dalam dua puluh
buku.Semua yang dicatat oleh Bakr daaalam kitap tersebut dianggap
sebagai periwayatan dari para murid Ahmad.Adapun dalam bidang
hadis,Ahmad memiliki kitap Musnad yang terkenal dan popular.
Penghargaan
Al
–Imam Ahmad telah mendirikan madzabnya di atas beberapa pondasi,yaitu
kitabullah yang pertama;kemudian Sunnah Rasulullah sebagai yang kedua ;
lalu wafat-wafat para sahabat yang di ketahui tidak ada yang
menyelisihkan; selanjutnya adalah Qiyas,yang merupakan tingkatan
terakhir menurut beliau.
Ahmad
mengakui adanya ijma bila memang benar-benar dapat dipraktikkan.Tetapi
beliau sering menganggap ijma sangat sulit terwujud dalam tataran
praktis.Di samping itu, Ahmad selalu bersikap ramah dan bersahabat,
melakukan berbagai kemaslahatan dengan ikhlas, dan menutup segala celsh
yang dapat memicu terjadinya fitnah,sebagaimana yang dilakukan oleh para
pendahulu umat ini.Informasi Pribadi
Dalam
perjalanan ke Baghdad selama rentang waktu tahun 195 sampai 197 H,
beliau mengajar berdasarkan madzhab syafi’i. beliau termasuk murid Imam
syafi’I yang paling senior di Baghdad. Ahmad juga belajar dari banyak
ulama di irak, di antaranya Ibrahim bin Sa’id, Sufyan bin Uyainah, Yahya
bin Sa’id, Yazid bin Harun, Abu Dawud ath-Thayalisi, Waki bin
al-Jarrah, dan Abdurrahman bin Mahdi. Sesudah itu, beliau menjadi
seorang mujtahid yang mempunyai madzhab sendiri dan mengugguli
teman-teman seangkatnya dalam menghafal As-sunnah dan mengumpulkan
bagian-bagianya yang terpisah, sehingga beliau menjadi imam para
muhaddits pada masanya.
Imam Abu Hanifah
Imam
Abu Hanifah yang dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli
Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, lahir di Irak pada tahun 80
Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin
Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena
kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia
serta menjauhi
perbuatan dosa dan keji. dan mazhab fiqhinya dinamakan Mazhab Hanafi.
Gelar ini merupakan berkah dari doa Ali bin Abi Thalib r.a, dimana suatu
saat ayahnya (Tsabit) diajak oleh kakeknya (Zauti) untuk berziarah ke
kediaman Ali r.a yang saat itu sedang menetap di Kufa akibat pertikaian
politik yang mengguncang ummat islam pada saat itu, Ali r.a mendoakan
agar keturunan Tsabit kelak akan menjadi orang orang yang utama di
zamannya, dan doa itu pun terkabul dengan hadirnya Imam hanafi, namun
tak lama kemudian ayahnya meninggal dunia.
Pada masa remajanya, dengan segala kecemerlangan otaknya Imam Hanafi
telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, terutama yang
berkaitan dengan hukum islam, kendati beliau anak seorang saudagar kaya
namun beliau sangat menjauhi hidup yang bermewah mewah, begitu pun
setelah beliau menjadi seorang pedagang yang sukses, hartanya lebih
banyak didermakan ketimbang untuk kepentingan sendiri.
Disamping kesungguhannya dalam menuntut ilmu fiqh, beliau juga mendalami
ilmu tafsir, hadis, bahasa arab dan ilmu hikmah, yang telah
mengantarkannya sebagai ahli fiqh, dan keahliannya itu diakui oleh ulama
ulama di zamannya, seperti Imam hammad bin Abi Sulaiman yang
mempercayakannya untuk memberi fatwa dan pelajaran fiqh kepada murid
muridnya. Keahliannya tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafi’i ” Abu
Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh “. karena
kepeduliannya yang sangat besar terhadap hukum islam, Imam Hanafi
kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para
ahli fiqh untuk bermusyawarah tentang hukum hukum islam serta menetapkan
hukum hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang undangan dan
beliau sendiri yang mengetuai lembaga tersebut. Jumlah hukum yang telah
disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83 ribu, 38 ribu diantaranya
berkaitan dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya mengenai urusan dunia.
Metode yang digunakan dalam menetapkan hukum (istinbat) berdasarkan pada tujuh hal pokok :
1. Al Quran sebagai sumber dari segala sumber hukum.
2. Sunnah Rasul sebagai penjelasan terhadap hal hal yang global yang ada dalam Al Quran.
3. Fatwa sahabat (Aqwal Assahabah) karena mereka semua menyaksikan
turunnya ayat dan mengetahui asbab nuzulnya serta asbabul khurujnya
hadis dan para perawinya. Sedangkan fatwa para tabiin tidak memiliki
kedudukan sebagaimana fatwa sahabat.
4. Qiyas (Analogi) yang digunakan apabila tidak ada nash yang sharih dalam Al Quran, Hadis maupun Aqwal Asshabah.
5. Istihsan yaitu keluar atau menyimpang dari keharusan logika menuju
hukum lain yang menyalahinya dikarenakan tidak tepatnya Qiyas atau Qiyas
tersebut berlawanan dengan Nash.
6. Ijma’ yaitu kesepakatan para mujtahid dalam suatu kasus hukum pada suatu masa tertentu.
7. ‘Urf yaitu adat kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu
yang tidak ada nashnya dalam Al Quran, Sunnah dan belum ada prakteknya
pada masa sahabat.
Penghargaan
Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam hanafi yaitu Fiqh Akhbar, Al ‘Alim Walmutam dan Musnad Fiqh Akhbar.
Jenis Kelamin
Laki-laki
Informasi Pribadi
Imam Abu Hanifah pernah bercerita : Ada seorang ilmuwan besar, Atheis
dari kalangan bangsa Romawi. Ulama-ulama Islam membiarkan saja, kecuali
seorang, yaitu Hammad guru Abu Hanifah, oleh karena itu dia segan bila
bertemu dengannya.
Pada suatu hari, manusia berkumpul di masjid, orang atheis itu naik
mimbar dan mau mengadakan tukar fikiran dengan sesiapa saja, dia hendak
menyerang ulama-ulama Islam. Di antara shaf-shaf masjid ada seorang
laki-laki muda, bangkit. Dialah Abu Hanifah dan ketika sudah berada
dekat depan mimbar, dia berkata: "Inilah saya, hendak tukar fikiran
dengan tuan". Mata Abu Hanifah berusaha untuk menguasai suasana, namun
dia tetap merendahkan diri karena usia mudanya. Namun dia pun angkat
berkata: "Katakan pendapat tuan!".
Ilmuwan atheis itu heran akan keberanian Abu Hanifah, lalu bertanya:
Atheis : "Pada tahun berapakah Tuhanmu dilahirkan?"
Abu Hanifah : "Allah berfirman: "Dia (Allah) tidak dilahirkan dan tidak pula melahirkan"
Atheis : "Masuk akalkah bila dikatakan bahwa Allah ada pertama yang tiada apa-apa sebelum-Nya?, Pada tahun berapa Dia ada?"
Abu Hanifah : "Dia berada sebelum adanya sesuatu."
Atheis : "Kami mohon diberikan contoh yang lebih jelas dari kenyataan!"
Abu Hanifah : "Tahukah tuan tentang perhitungan?"
Atheis : "Ya".
Abu Hanifah : "Angka berapa sebelum angka satu?"
Atheis : "Tidak ada angka (nol)."
Abu Hanifah : "Kalau sebelum angka satu tidak ada angka lain yang
mendahuluinya, kenapa tuan heran kalau sebelum Allah Yang Maha Esa yang
hakiki tidak ada yang mendahuluiNya?"
Atheis : "Dimanakah Tuhanmu berada sekarang? Sesuatu yang ada pasti ada tempatnya."
Abu Hanifah : "Tahukah tuan bagaimana bentuk susu? Apakah di dalam susu itu keju?"
Atheis : "Ya, sudah tentu."
Abu Hanifah : "Tolong perlihatkan kepadaku di mana, di bahagian mana tempatnya keju itu sekarang?"
Atheis : "Tak ada tempat yang khusus. Keju itu menyeluruh meliputi dan bercampur dengan susu diseluruh bahagian."
Abu Hanifah : "Kalau keju makhluk itu tidak ada tempat khusus dalam susu
tersebut, apakah layak tuan meminta kepadaku untuk menetapkan tempat
Allah Ta'ala? Dia tidak bertempat dan tidak ditempatkan!"
Atheis : "Tunjukkan kepada kami Dzat Tuhanmu, apakah ia benda padat
seperti besi, atau benda cair seperti air, atau menguap seperti gas?"
Abu Hanifah : "Pernahkan tuan mendampingi orang sakit yang akan meninggal?"
Atheis : "Ya, pernah."
Abu Hanifah : "Sebelumnya ia berbicara dengan tuan dan menggerak-gerakan
anggota tubuhnya. Lalu tiba-tiba diam tak bergerak, apa yang
menimbulkan perubahan itu?"
Atheis : "Karena rohnya telah meninggalkan tubuhnya."
Abu Hanifah : "Apakah waktu keluarnya roh itu tuan masih ada disana?"
Atheis : "Ya, masih ada."
Abu Hanifah : "Ceritakanlah kepadaku, apakah rohnya itu benda padat
seperti besi, atau cair seperti air atau menguap seprti gas?"
Atheis : "Entahlah, kami tidak tahu."
Abu Hanifah : "Kalau tuan tidak mengetahui bagaimana zat maupun bentuk
roh yang hanya sebuah makhluk, bagaimana tuan boleh memaksaku untuk
mengutarakan Dzat Allah Ta'ala?"
Atheis : "Ke arah manakah Allah sekarang menghadapkan wajahNYA? Sebab segala sesuatu pasti mempunyai arah?"
Abu Hanifah : "Jika tuan menyalakan lampu di dalam gelap malam, ke arah manakah sinar lampu itu menghadap?"
Atheis : "Sinarnya menghadap ke seluruh arah dan penjuru.
Abu Hanifah : "Kalau demikian halnya dengan lampu yang cuma buatan itu,
bagaimana dengan Allah Ta'ala Pencipta langit dan bumi, sebab Dia nur
cahaya langit dan bumi."
Atheis : "Kalau ada orang masuk ke syurga itu ada awalnya, kenapa tidak ada akhirnya? Kenapa di syurga kekal selamanya?"
Abu Hanifah : "Perhitungan angka pun ada awalnya tetapi tidak ada akhirnya."
Atheis : "Bagaimana kita boleh makan dan minum di syurga tanpa buang air kecil dan besar?"
Abu Hanifah : "Tuan sudah mempraktekkanya ketika tuan ada di perut ibu
tuan. Hidup dan makan minum selama sembilan bulan, akan tetapi tidak
pernah buang air kecil dan besar disana. Baru kita melakukan dua hajat
tersebut setelah keluar beberapa saat ke dunia."
Atheis : "Bagaimana kebaikan syurga akan bertambah dan tidak akan habis-habisnya jika dinafkahkan?"
Abu Hanifah : "Allah juga menciptakan sesuatu di dunia, yang bila
dinafkahkan malah bertambah banyak, seperti ilmu. Semakin diberikan
(disebarkan) ilmu kita semakin berkembang (bertambah) dan tidak
berkurang."
"Ya! kalau segala sesuatu sudah ditakdirkan sebelum diciptakan, apa yang sedang Allah kerjakan sekarang?" tanya Atheis .
"Tuan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dari atas mimbar, sedangkan
saya menjawabnya dari atas lantai. Maka untuk menjawab pertanyaan tuan,
saya mohon tuan turun dari atas mimbar dan saya akan menjawabnya di
tempat tuan", pinta Abu Hanifah. Ilmuwan atheis itu turun dari
mimbarnya, dan Abu Hanifah naik di atas.
"Baiklah, sekarang saya akan menjawab pertanyaan tuan. Tuan bertanya apa
pekerjaan Allah sekarang?". Ilmuwan atheis mengangguk. "Ada
pekerjaan-Nya yang dijelaskan dan ada pula yang tidak dijelaskan.
Pekerjaan-Nya sekarang ialah bahwa apabila di atas mimbar sedang berdiri
seorang atheis yang tidak hak seperti tuan, Dia akan menurunkannya
seperti sekarang, sedangkan apabila ada seorang mukmin di lantai yang
berhak, dengan segera itu pula Dia akan mengangkatnya ke atas mimbar,
demikian pekerjaan Allah setiap waktu".
Para hadirin puas dengan jawapan yang diberikan oleh Abu Hanifah dan begitu pula dengan orang atheis itu.
Imam Maliki
Dalam
sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al
Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah al muwatta'
(himpunan hadits) yang diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah
mengutus orang memanggil Imam. Namun Imam Malik memberikan nasihat
kepada Khalifah Harun, ''Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi pelajaran
hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak
menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang
mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia.''
Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat
ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik.
''Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan
seorang pribadi.'' Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama
dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik
bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris
al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712 M dan wafat tahun 796 M.
Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik
sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah
Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke
Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang
memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu
yang sangat terkenal.
Berkembangnya Agama Islam tidak terlepas dari peran Tokoh-tokoh Islam
pada zamannya masing-masing. Diantara tokoh Islam yang berperan dalam
peradaban Islam adalah Imam-imam Mazhab yang sangat mempengaruhi
peradaban umat islam khususnya dalam ilmu agama yang erat kaitannya pada
masalah ilmu fiqih. Dimana ilmu fiqih sangat berperan dalam pelaksanaan
Ibadah dalam Agama Islam.
Imam Maliki yang bernama lengkap Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amar
bin Amru bin Ghaiman bin Hutail bin Amru bin Al-Haris, merupakan salah
seorang dari empat mujtahid dalam bidang ilmu fiqih.
Imam malik berasal dari keluarga Arab yang terhormat dan berstatus
sosial yang tinggi, baik sebelum datangnya islam maupun sesudahnya,
sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari
ilmu, karena beliau merasa Madinah adalah kota sumber ilmu yang
berlimpah dengan ulama ulama besarnya. Kecintaannya kepada ilmu
menjadikan hampir seluruh hidupnya diabadikan dalam dunia pendidikan,
tidak kurang empat Khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Harun Ar-
rasyid dan Al Makmun pernah jadi muridnya, Ulama ulama besar Imam Abu
Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu darinya.
Karya Imam malik terbesar adalah bukunya Al Muwatha’ yaitu kitab fiqh
yang berdasarkan himpunan Hadits Hadits pilihan, menurut beberapa
riwayat mengatakan bahwa buku Al Muwatha’ tersebut tidak akan ada bila
Imam Malik tidak dipaksa oleh Khalifah Al Mansur sebagai sangsi atas
penolakannya untuk datang ke Baghdad, dan sangsinya yaitu mengumpulkan
Hadits Hadits dan membukukannya, Imam Malik tidak hanya meninggalkan
warisan buku, tapi juga mewariskan Mazhab fiqihnya di kalangan sunni
yang disebut sebagai mazhab Maliki. Mazhab ini sangat mengutamakan aspek
kemaslahatan di dalam menetapkan hukum. Berkembangnya Agama Islam tidak
terlepas dari peran Tokoh-tokoh Islam pada zamannya masing-masing.
Diantara tokoh Islam yang berperan dalam peradaban Islam adalah
Imam-imam Mazhab yang sangat mempengaruhi peradaban umat islam khususnya
dalam ilmu agama yang erat kaitannya pada masalah ilmu fiqih. Dimana
ilmu fiqih sangat berperan dalam pelaksanaan Ibadah dalam Agama Islam.
Sebelum dapat memahami Imam Maliki beserta Mazhabnya, kita hauslah
mempelajari sejarah kehidupan ataupun biografinya dari sumber yang cukup
kompeten di bidangnya. Untuk itu Insya Allah penulis akan memaparkan
riwayat kehidupan Imam Maliki, dari semenjak lahir sampai beliau kembali
ke Rahmat Allah SWT.
Masa Kelahiran
Imam Malik merupakan imam yang kedua dari imam-imam empat serangkai
dalam islam dari segi umur. Nama lengkapnya ialah Malik bin Anas bin
Malik bin Abi ‘Amar Al-Ashbahi Al-Yamani. Imam Malik yang memiliki nama
lengkap Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amr ibn
al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr ibn al-Haris al-Asbahi al-Madani.
Kunyah-nya Abu Abdullah, sedang laqab-nya al- Asbahi, al-Madani,
al-Faqih, al-Imam Da>r al-Hijrah, dan al-Humairi. Namun yang lebih
populer, beliau bersilsilahkan Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amar
bin Amru bin Ghaiman bin Hutail bin Amru bin Al-Haris. Beliau dilahirkan
tiga belas tahun setelah kelahihran Abu Hanifah, tepatnya pada tahun 93
H/12M
di suatu tempat yang bernama zulmarwah di sebelah utara
‘Al-Madinatul-Munawwarah’. Kemudian beliau tinggal di ‘Al-Akik’
sementara waktu yang akhirnya beliau menetap di Madinah.
Bermacam-macam pendapat ahli sejarah tentang tarikh kelahiran Imam
Maliki. Ada setengah pendapat yang mengatakan pada tahun 90, 94, 95 dan
97 hijrah perselisihan tarikh terjadi sejak masa dahulu.
Imam Maliki adalah keturunan bangsa Arab dari Desa Zu Ashbah, sebuah
Desa di kota Himsyar, jajahan Negeri Yaman. Ibunya bernama Siti
Al-Aliyah binti Syuraik ibn Abdul Rahman ibnu Syuraik Al-Azdiyyah. Imam
Maliki bin Anas. Imam Maliki lahir ketika jaman sahabat telah berakhir
sehingga Imam Maliki tidak termasuk sahabat.
Lingkungan Keluarga Ulama
Beliaulah cikal bakal madzhab Maliki. Imam Malik yang berasal dari
keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun
sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun
setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah.
Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama
Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ‘ilmu’ yang sangat
terkenal.
Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah.
Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk
mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang
berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.
Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa
saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang
rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak
seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil
mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang
manusia.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni
pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia
pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim,
Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al
Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman
bin Hurmuz, tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga
Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya
kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabadikan dalam dunia
pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi,
Hadi Harun, dan Al Ma’mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar,
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu dari Imam
Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat
disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat
murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak
segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip
tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits
dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ”Jangan melengking
bila sedang membahas hadits Nabi.”
Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala
dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah
Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya.
Salah satunya dengan Ja’far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur
yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh
penduduk Madinah melakukan bai’at (janji setia) kepada khalifah. Namun,
Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin
penduduk Madinah melakukan bai’at kepada khalifah yang mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai’at tanpa
keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja’far meminta Imam
Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya.
Gubernur Ja’far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya
menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran
darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu,
Ja’far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak
dapat menghalangi kehendak sang penguasa.
Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan
keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera
mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk
meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah
meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang
penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan
perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik
lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia
tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.
Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun
Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah al Muwatta’
yang diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang
memanggil Imam.
”Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat
menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak
seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu,
sementara ilmu tidak akan mencari manusia,” nasihat Imam Malik kepada
Khalifah Harun.
Sedianya, khalifah ingin jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu
diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Malik. ”Saya tidak dapat
mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.”
Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan
duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
Daya Ingat Sangat Kuat
Imam Maliki mempunyai ingatannya sangat kuat dan sudah menjadi adat
kebiasaan apabilanya apabila beliau mendengar hadits-hadits Nabi dari
para gurunya, lalu dikumpulkan dengan bilangan hadits-hadits yang pernah
beliau pelajari. Beliau mendengar tiga puluh hadits dari seorang
gurunya yang bernama Ibnu Syihab. Beliau hanya dapat menghafal sebanyak
dua puluh sembilan hadits lantaran itu beliau terus menemui Ibnu Syihab
dan bertanya kepadanya tentang hadits yang beliau lupakan itu, namun
Ibnu Syihab hanya menyuruh menyebutkan hadits yang Imam Maliki hafal
dengan kemudian ibnu syihab memberitahu hadits yang belum hafal itu.
Pada mulanya Imam Maliki bercita-cita ingin menjadi penyanyi. Ibunya
mengetahui bahwasanya putranya bercita-cita sedemikian, lalu
memberitahukan terhadap Imam Maliki bahwa penyanyi yang mukanya tidak
bagus tidak disenangi oleh orang banyak, oleh karena itu Ibunya meminta
supaya Imam Maliki mempelajari ilmu fiqih saja. Malik menerima nasihat
Ibunya dengan baik.
Tujuan ibunya berkata demikian ialah hendak mencegah Maliki menjadi
seorang penyanyi, karena apa yang kita ketahui Imam Maliki adalah
terkenal dengan seorang yang tampan wajahnya. Kakek Imam Malik Abu Amar
datang ke Madinah setelah Nabi Muhammad SAW wafat, karena itu ia tidak
termasuk sahabat Rasulullah SAW, tetapi termasuk golongan tabi’in. Imam
Malik dilahirkan ditengah-tengah keluarga yang kurang berada tetapi
tekun mempelajari agama islam. Terutama mempelajari hadits-
hadits Nabi Muhammad SAW.
Imam Maliki adalah seorang yang miskin, Abdul Qasim rekannya berkata :
Aku pernah bersama Maliki semasa mencari ilmu. Pada suatu hari kayu
bumbung rumahnya telah roboh lalu beliau menjual kayu tersebut untuk
mendapatkan sedikit uang untuk perbelanjaan hidupnya. Tetapi pada
akhirnya beliau mendapatkan kemurahan rizki sehingga beliau menjadi
orang kaya.
Imam Maliki sering mendapat bantuan yang berupa derma, bahkan Harun Ar-
Rasyid pernah memberikan derma padanya sebanyak tiga ribu dinar. Harta
Imam Maliki diperdayakan sebagai modal bagi perniagaannya. Beliau tidak
berniaga sendiri, akan tetapi beliau mengadakan Al-Mudaa-rabah. Setelah
kaya, beliau memakai pakaian yang harganya mahal dan memakai
wangi-wangian yang baik. Beliau memakai sebentuk cincin bertuliskan
dengan perkatan
Di pintu rumahnya ada tulisan
Dengan berpadukan ayat suci Al-Quran :
Imam Maliki mempelajari bermacam-macam bidang ilmu pengetahuan, seperti
ilmu hadits dan ilmu fiqih. Beliau seorang yang sangat aktif dalam
mencari ilmu dan sering mengadakan pertemuan dengan para ahli hadits dan
ulama
Usia Baligh Sudah Hafal Al Quran
Sejak kecil, beliau mendapat pendidikan dari ayahnya yang telaten
mengurus puteranya dan suka meneliti kembali pelajarannya. Pernah Imam
Malik salah menjawab pertanyaan ayahnya. Ayahnya lalu bilang bahwa ia
lantaran banyak membuang waktu dengan bermain burung dara, ternyata itu
merupakan pelajaran yang lekat dan berharga bagi ibn Malik, dan sejak
itu beliau berkonsenttrasi pada studinya. Kecerdasannya terlihat dari
kemampuannya menghafal Alquran sejak usia baligh dan pada usia tujuh
belas tahun
telah menguasai ilmu-ilmu agama. Dalam belajar ilmu Hadits, beliau tidak
berkelana namun berkesempatan belajar pada ulama-ulama terkemuka ketika
mereka mengunjungi kota Madinah.
Dengan kesungguhan dan ketekunan Imam Malik dalam menuntut ilmu serta
kontribusi para gurunya, Imam malik kemudian muncul sebagai ulama besar
khususnya di bidang Hadits di Madinah. Terkait dengan pengumpulan
Hadits, Imam Malik dikenal seorang yang teliti, karena beliau menolak
perawi yang tidak tsiqat, dan tidak akan meriwayatkan Hadits kecuali
yang sahih dan perawinya yang tsiqat. Kepribadian dan sikap Imam Malik
dikenal juga seorang yang sederhana dan rendah hati. Hal ini dapat kita
jelaskan hubungan beliau dengan penguasa politik yang sangat baik, meski
tidak memberi sokongan apapun kecuali hanya memberi nasehat yang tulus,
adalah tugas seorang terdidik untuk menemui penguasa dan memerintahkan
mereka berbuat ma’tuf dan melarang berbuat munkar. Dan pada suatu saat
khalifah Abu Ja’far meminta Imam Malik menulis buku yang dapat disebar
luaskan sebagai hukum negara di seluruh dunia Islam, dan akan digunakan
untuk mengadili dan memrintah, siapa yang menyalahinya akan dituntut.
Namun Imam Malik tak sependapat dengan mengatakan bahwa para sahabat
Nabi SAW telah tersebar di seluruh dunia Islam, khususnya di masa
khalifah Umar yang biasa mengirim sahabat sebagai guru, orang sudah
belajar dari sahabat tersebut dan setiap generasi juga telah belajar
dari generasi sebelumnya. Oleh karena itu sangat memungkinkan dalam
banyak kasus terdapat lebih dari satu pilihan untuk mengamalkan ajaran
Islam, akibatnya timbul berbagai pola dan kebanyakan mempunyai kedudukan
yang sama. Maka jika orang mencoba mengubah dari yang sudah mereka
ketahui kepada yang tidak mereka ketahui maka mereka akan menganggap itu
adalah bid’ah. Dengan demikian lebih baik membiarkan tiap kota dengan
pengetahuan Islamnya sebagaimana adanya. Abu Ja’far menghargai pandangan
Imam Malik ini. Bahkan ketika khalifah itu menghendaki agar Imam Malik
membacakan kitab itu kepada putera khalifah, Imam Malik menjawab,
pengetahuan tidak mendatangi orang, tetapi oranglah yang mendatangi
pengetahuan.
Sewaktu Imam Malik menuntut ilmu, beliau memiliki guru yang banyak. Da
dalam kitab Tahzibul –asma wallughat menerangkan bahwa Imam Malki
memiliki pernah belajar kepada sembilan ratus orang syekh. Tiga ratus
darinya dari golongan Tabi’in, dan enam ratus lagi dari Tabi’it-Tabi’in.
Mereka semua adalah orang yang terpilih dan cukup dengan syarat yang
dapat dipercaya dalam bidang agama dan hukum fiqih.
Antara lain syekh-syekhnya ialah Rabi’ah bin Abdul Rahman Furukh. Beliau
berguru kepadanya ketika masih kecil, sebagai buktinya ialah ucapan
terhadap ibunya: aku pergi dan aku menulis pelajaran. Ibunya menyiapkan
pakaian yang lengkap. Dengan kain sorban serta menyuruh beliau hadir
kerumah Rabi’ah untuk belajar menulis. Ibunya meminta Ia belajar ilmu
akhlak dari Rabi’ah sebelum mempelajari ilmu-ilmu yang lain. Maliki
mematuhi perintah ibunya.
Untuk mempelajari hadits beliau berguru kepada ulama hadits yang
terkenal pada masa itu, ialah Nafi’ Maula Ibnu Umar (wafat 117 H) dan
Ibnu Syaibah Az-Zuhri (wafat 124 H). Syekh Imam Maliki yang lainnya
ialah Imam Nafi’ Maula Abdullah bin Umar, yang dikenal sebagai perawi
yang masuk dalam daftar “Silsilah Adz-Dzahadiyah” (rantai emas) yaitu
riwayat hadits dari Syafi’i dari Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari
Umar bin Al-Khathab. Imam Maliki tidak menerima hadits yang tidak
diketahui pengambilannya sekalipun pembawa hadits tersebut seorang yang
baik dalam bidang agama. Imam maliki pernah berguru kepada Abdul Rahman
bin Harmuz Al-‘Araj selama kurang lebih tujuh tahun. Pada masa itu
beliau tidak pernah belajar kepada guru lain. Beliau pernah memberi buah
kurma kepada anaknya Abdul Rahman, dengan tujuan supaya mereka
memberitahukan kepada mereka yang hendak datang menemui Imam Maliki
bahwa Imam Maliki sedang sibuk. Tujuan beliau ialah supaya syekh Abdul
Rahman dapat mencurahkan waktu untuknya dengan itu dapatlah beliau
leluasa mempelajari sebanyak yang beliau sukai. Kadang kala beliau
belajar dengan syekh itu satu hari penuh.
Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al-Muqbiri,N a’imul
Majmar, Az-Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az-Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin
Dinar, dan lain-lain
Diantara gurunya lagi ialah Nafi’i ‘Auli Abdullah, Ja’far bin Muhammad
Al- Baqir, Muhammad bin Muslim Az-Zuhri, Abdul Rahman bin Zakuan, Yahya
bin Sa’id Al-Anshari, Abu Hazim Salmah bin Dinar, Muhammad bin
Al-Munkadir, dan Abdullah bin Dinar, dan masih banyak lagi dari golongan
Tabi’in sebagaimana yang diterangkan oleh An-Nawawi.
Tanpa putus-putusnya Imam Malik mengabdi di bidang pendidikan selama 62
tahun.
Dasar Pemikirannya
Pemikiran Imam Malik di bidang hukum Islam/ fikih sangat dipengaruhi
oleh lingkungannya. Madinah sebagai pusat timbulnya sunah Rasulullah SAW
dan sunah sahabat merupakan lingkungan kehidupan Imam Malik sejak lahir
sampai wafatnya. Oleh sebab itu, pemikiran hukum Imam Malik banyak
berpegang pada sunah-sunah tersebut. Kalau terjadi perbedaan satu sunah
dengan yang lain, maka ia berpegang pada tradisi yang biasa berlaku di
masyarakat Madinah. Menurut pendapatnya, tradisi masyarakat Madinah
ketika itu berasal dari tradisi para sahabat Rasulullah SAW yang dapat
dijadikan sumber hukum. Kalau ia tidak menemukan dasar hukum dalam
Al-Quran dan sunah, ma- ka ia memakaiqiyas (kias) dan al-maslahah
al-mursalah (maslahat/kebaikan umum).
Hukum-hukum fiqih yang diberikan oleh Imam Maliki ialah berdasarkan Al-
Quran dan Hadits. Imam Malik menjadikan hadits sebagai pembantu dalam
memahami Al-Quran. Imam Malik sangat berhati-hati tentang
riwayat-riwayat hadits karena menjaga dari kekeliruan diantara hadits
sahih dengan hadits dha’if (lemah). Beliau menganggap perbuatan atau
amalan penduduk-penduduk Madinah adalah sebagai hujjah dan sumber yang
terpenting dalam hukum fiqih.
Mazhab ini adalah kebalikan dari mazhan Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah
banyak sekali mengandalkan nalar dan logika, karena kurang tersedianya
nash-nash yang valid di Kufah, mazhab Maliki justru ‘kebanjiran’
sumber-sumber syariah. Sebab mazhab ini tumbuh dan berkembang di kota
Nabi SAW sendiri, di mana penduduknya adalah anak keturunan para
shahabat. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek ibadah yang
dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah SAW bisa dijadikan
dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih para
umumnya.
Para Murid
Kebanyakan imam-imam yang termasyhur pada Zaman Imam Maliki adalah
murid beliau dan murid-muridnya datang dari berbagai penjuru negeri.
Telah diceritakan dari Imam Maliki bahwa murid-muridnya ialah guru-guru
dari golongan tabi’in mereka itu adalah : Az-Zuhri, Ayub
Asa-syakh-fiyani, Abul Aswad, Rabi’ah bin Abi Abdul Rahman, Yahya bin
Said Al-Ansari, Mura bin ‘Uqbah dan Hisyam bin ‘Arwah.
Diantara murid dari golingan bukan tabi’in ialah Nafi’i bi Abi Nu’im,
Muhammad bin Ajlan, Salim bin Abi Umaiyyah, Abu An-Nadri, Maula Umar bin
Abdullah.
Diantara murid-murid Imam Maliki dari Mesir adalah:
o Abu Muhammad bin Abdullah bin Wahab bin Muslim
o Abu Abdullah bin Abdur Rahman bin Qasim
o Asyhab bin Abdul Aziz
o Abu Muhammad bin Abdullah bin Abdui Hakim
o Ashbaq bin Faraj
o Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakim
o Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad.[16]
Dari sahabatnya antara lain Sufyan Ath-Thauri Al-Liat bin Sa’d, Hama bin
Salamah, Hama bin Zaid, Sufyan bin Uyainah, Abu Hanifah, Abu Yusuf,
Syarijh Ibnu Lahi’ah dan Ismail bin Kathir. Sedangkan diantara
murid-murid yang lain adalahIbnul
Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi,
Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi,
Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury,
Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi.
Muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi
al Anshari.
Penghargaan
Karya-karyanya
Tidak hanya berceramah, Imam Maliki juga berbakat mengarang, menyusun
buku dalam berbagai materi yang cukup menakjubkan. Para penulis buku
biografi berkata, bahwa Imam Maliki memiliki buku dalam berbagai bidang,
diantaranya; bidang perbintangan, berhitung dan ilmu falak yang
bermanfaat dijadikan rujukan. Beliau juga memiliki buku dalam bidang
tafsir yaitu; “At-Tafsir Li Gharib Al-Quran”.
Imam Maliki sebagai pengarang buku, diantaranya beliau mengarang booklet
kecil, “Risalah kepada Ibnu Wahab” dalam bidang tauhid, buku Imam
Maliki yang paling terkenal adalah “Kitab Al-Muwatta” yang artinya
“Al-Muyassir” atau “ Al-Musahhil” atau yang mempermudah.
Imam Maliki mewarisi lebih dari selusin karya tulis, termasuk Muwatta
yang termasyhur itu, kitab yang dianggap terpenting setelah Al-Quran.
Risalahnya menelaah bidang agama, etika, dan Fiqh Islam. Menurut Syah
Waliyullah, kitab imam itu merupakan himpunan hadits Nabi yang paling
sahih, dipilih dengan penelitian sumber yang amat cermat. Ia menyusun
kitab itu setelah mengadakan pembuktian kebenaran dan penyaringan yang
saksama. Perhatian utamanya ialah rawi dan perawi yang tahan uji, dan ia
sungguh-sungguh berusaha memastikan tidak memuat rawi palsu. Semula
Muwatta memuat 10.000 hadits, tetapi dalam edisi pembetulannya Imam
Malik mengurangi jumlah itu sampai hanya 1.720. Kitab itu telah
diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan.
Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al-
Muwatta lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan
seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan
yang paling masyhur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah Al-Laitsi al
Andalusi al Mashmudi.
Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh,
yaitu Al-Kutub As-Sittah ditambah Al-Muwatta. Ada pula ulama yang
menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika
melukiskan kitab besar ini,Ibn
Hazmberkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqhdan hadits, aku belum
mnegetahui bandingannya.
Hadits-hadits yang terdapat dalam Al-Muwatta tidak semuanya Musnad, ada
yangMursal,mu’dlal danmunqathi. Sebagian‘Ulama menghitungnya berjumlah 600
hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disampin
, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”,
tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan
jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri
menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits
mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada
yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya sepertiA l-
Auza’i., Ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al-Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin
Hajjaj. Adapula yang belajar darinya sepertiAsy-Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, Al-
Qaththan dan Abi Ishaq.
An-Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan
jujur, terpercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada
meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.
(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah,
karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui,
Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau
menambah pada matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama
menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan
keutamaan ibadah”. Malik bin Anas menyusun kompilasi hadits dan ucapan
parasahabat dalam buku yang terkenal hingga kini, Al-Muwatta. Pendapat
Ulama Tentang Imam Malik
Para ulama juga mengakui beliau sebagai ahli hadits yang sangat tangguh.
Jika beliau memberikan hadits kepada siapa pun, beliau terlebih dulu
berwudhu kemudian duduk di atas tikar untuk shalatnya dengan tenang dan
tawadhu’. Beliau sangat tidak suka memberikan hadits sambil berdiri, di
tengah jalan, atau, dengan cara tergesa gesa., berikut in pendaat para
ulama’ terhadap Imam Malik
1. Imam Asy Syafi’i : ” Jika dibicarakan tentang hadits, maka Imam Malik
adalah bintangnya, dan jika dibicarakan soal keulamaan, maka Imam Malik
jugalah yang menjadi bintangnya. Tidak ada seorang pun yan
terpercaya dalam bidang ilmu Allah dibandingkan Imam Malik. Imam Malik
dan Ibnu ‘Uyainah adalah dua orang sahabat yang mumpuni di bidang ilmu
ilmu Allah. Seandainya mereka berdua tidak ada, niscaya hilang juga ilmu
orang – orang Hijaz.”
2. Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan dan Imam Yahya bin Ma’in memberikan
gelar kepada beliau sebagai Amirul Mu’minin fi Al Hadits.
3. Al Bukhari menyatakan bahwa sanad yang dikatakan ashahhul asanid
adalah apabila sanad itu terdiri dari Imam Malik, Nafi’, dan ‘Abdullah
bin ‘Umar Radhiyallahli ‘anhuma.
4. Masyarakat Hijaz memberikan gelar kehormatan kepada beliau dengan julukan ‘Sayyid Fuqaha ‘il Hijaz.’
Beliau juga dikenal sebagai ulama yang sangat keras dalam mempertahankan
pendapatnya yang diyakini benar. Beliau pernah diadukan kepada Khalifah
Ja’far bin Sulaiman oleh paman Khalifah sendiri. Beliau dituduh tidak
menyetujui pembaiatan pada Khalifah. Menurut Ibnu Al jauzi, beliau
disiksa dengan hukuman cambuk sebanyak tujuh puluh kali sampai ruas
lengannya sebelah atas bergeser dari persendian pundaknya. Siksaan ini
dilakukan karena fatwa beliau tidak sesuai dengan kehendak dan kemauan
Khalifah. Penyiksaan yang dilakukan Khalifah itu bukan menurunkan
popularitasnya di mata masyarakat luas, bahkan namanya menjadi harum dan
berkibar serta kedudukannya menjadi lebih terhormat di kalangan para
ahli ilmu.
Pengaruhnya di Pemerintahan
Imam Malik masyhur oleh ketulusan dan kesalehannya. Ia selalu bertindak
sesuai dengan keyakinannya. Ancaman atau kemurahan hati tidak akan dapat
membelokkan dia dari jalan yang lurus. Sebagai anggota kelompok yang
gemilang pada awal masa Islam, ia tidak dapat dibeli, dan dengan
semangat keberaniannya selalu membuktikan bahwa ia adalah bintang
pembimbing bagi para pejuang kemerdekaan.
Ketika ia berumur 25 tahun, kekhalifahan berada di tangan khalifah
Abasiyah, Mansur, seorang teman yang memandang tinggi kecendekiawannya.
Tetapi, Imam Malik sendiri lebih senang bila Fatimiyyin Nafs Zakiya yang
menjadi khalifah. Sumpah setia
rakyat kepada Mansur dinyatakannya tidak mengikat, karena dilakukan
dengan paksaan. Ia mengutip hadits Nabi yang menyatakan ketidakabsahan
perceraian paksa.
Ketika Jafar, kemenakan Mansur, diangkat menjadi gubernur baru Madinah,
ia membujuk penduduk kota suci itu mengulang sumpah setia mereka kepada
Mansur. Ia melarang Imam Malik menyiarkan fatwanya tentang
ketidakabsahan perceraian paksa. Sebagai seorang pemegang prinsip yang
teguh, dan pemberani, ia tidak mengacuhkan larangan itu. Akibatnya ia
dijatuhi hukuman 70 dera yang dilibaskan ke punggungnya yang telanjang.
Dengan baju berlumuan darah ia diarak di atas unta di sepanjang jalan
Madinah. Namun, kebuasan gubernur itu tetap gagal menggetarkan atau
melemahkan hati imam muda itu. Mendengar kejadian ini, khalifah Mansur
segera menghukum gubernur Madinah itu, dan menyuruh ia memint maaf
kepada Imam Malik.
Pada 174 H, Khalifah Harun ar-Rasyid tiba di Madinah dengan kedua
putranya, Amin dan Ma’mun. Ia memanggil Imam menghadap ke baliurang
untuk menceramahkan Muwatta. Imam datang di baliurang, tetapi menolak
memberikan ceramah. Ia berkata: “Rasyid, hadits ialah pelajaran yang
dihormati dan dijunjung tinggi leluhur Anda. Bila Anda tidak
menghormatinya, orang lain pun demikian juga.” Alasan penolakan itu
diterima khalifah, dan baginda bersama kedua putranya bersedia datang ke
tempat Imam Malik untuk mengikuti kuliah Imam tersebut.
Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di
seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan
Kharijis bersenjatakan pedang memasuki Masjid Kufa. Tetpi, Imam Malik
yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tmpatnya. Mencium
tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi adat
kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti
itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah
ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepad Imam Abu Hanifah yang
mengunjunginya. Kaum Muslimin di Arab barat hanya menganut Madzhab
Maliki.
Al Muwatta’ adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits
pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi
rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer.
Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia
disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih
yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta’ tak akan lahir bila
Imam Malik tidak ‘dipaksa’ Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke
Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan
membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena
dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al
Muwatta’. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa
Al Mahdi (775-785 M).
Dunia Islam mengakui Al Muwatta’ sebagai karya pilihan yang tak ada
duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits
paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya
para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat
penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini
telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang
berlainan. Selain Al Muwatta’, Imam Malik juga menyusun kitab Al
Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas
berbagai persoalan.
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan
mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab
Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta’, kitab-kitab
seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul
Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki
(karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al
Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan
Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi),
menjadi rujukan utama mazhab Maliki.
Madinah pusat mazab maliki
Mazhab Maliki timbul dan berkembang di Madinah. kemudian tersiar di
sekitar Hedzjaz. Di Mesir, Mazhab Maliki sudah mulai muncul dan
berkembang selagi Imam Malik masih hidup. Di antara yang berjasa
mengembangkannya adalah para murid Imam Malik sendiri: Abdul Malik bin
Habib as-Sulami, Isma’il bin Ishak, Asyhab bin Abdul Aziz al-Kaisy,
Abdurrahman bin Kasim, Usman bin Hakam, dan Abdur Rahim bin Khalid.
Selain di Mesir, Mazhab Maliki ini juga dianut oleh umat Islam yang
berada di Maroko, Tunisia, Tripoli, Sudan, Bahrain, Kuwait, dan daerah
Islam lain di sebelah barat, termasuk Andalusia. Filsuf Ibnu Rusyd yang
di dunia Barat dikenal sebagaiCom-
mentator dari Aristoteles termasuk pengikut Imam Malik. Sementara itu, di dunia Islam
sebelah timur Mazhab Maliki ini kurang berkembang. Perkembangan Madzab Maliki
Penyebaran mazhab ini sangat jelas dapat dilihat dalam proses pembukaan
dan masuknya penduduk Afrika dalam Islam, baik di Negara Libia, Tunisia,
Ai-Jazair maupun Maghrib, demikian pula dengan Negara Sudan, dan
Muritania, serta Negara- negara Afrika lainnya; yang sebelummya sudah
dimulai dengan pembukaan Andalusia (Sepanyol) pulau Siqilia, dan pulau
lain.[24]
Demikian pula Mesir di masa Imam Maliki, Mazhab ini disebarkan oleh
sebagian du’at yang diantaranya; Asy-Syafi’I dating ke Mesir, mayoritas
daerah pesisir menganut Mazhab Asy-Syafi’i, adapun yang bukan daerah
pesisir, masih tetap menganut Mazhab Maliki sampai sekarang.
Mazhab Maliki ini muncul di Madinah Al-Munawwarah, lalu menyebar ke
Hijaz dalam kurun waktu yang cukup lama, hingga masuknya Mazhab Hambali,
yang kemudian mengganti mazhab Maliki di Mekkah sampai sekarang.
Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga
dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum.
Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki
adalah Al-Quran, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi
masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al
maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang
oleh dalil tertentu).
Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak,
Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan.
Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab
Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini
mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab
Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara
yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.
16. Imam Maliki Meninggal
Ketika Imam Maliki semakin menua mendekati 90 tahun, beliau tetap selalu
datang ke Masjid Rasulullah SAW duduk diantara makam dan mimbar untuk
menyampaikan pelajaran dihadapan sekian banyak muridnya, shalat
berjama’ah, melayat, menjenguk orang sakit, menyelesaikan kewajiban,
memenuhi undangan. Kini beliau tidak sanggup lagi duduk di masjid dan
melaksanakan aktifitas kesehariannya. Masyarakat sabar akan semua itu
dan menerimanya dengan ikhlas, mereka sangat mengagungkan dan
menghormatinya, hingga Imam Maliki meninggal dunia. Mazhab Imam Maliki
merupakan pelopor dalam bidang fiqih, para murid beliau yang terkenal
pandai pada waktu itu menyebarkan mazhabnya dan mengikuti methodenya
dalam menentukan hukum
Imam Maliki wafat pada tahun 800 M tepatnya tahun 179 H.[25]
Penutup
Imam Malik mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam, yang disebut
sebagai Mazhab Maliki.Hukum-hukum fiqih yang diberikan oleh Imam Maliki
ialah berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Imam Malik menjadikan hadits
sebagai pembantu dalam memahami Al-Quran. Imam Malik sangat berhati-hati
tentang riwayat-riwayat hadits karena menjaga dari kekeliruan diantara
hadits sahih dengan hadits da’if (lemah). Beliau menganggap perbuatan
atau amalan penduduk-penduduk Madinah adalah sebagai hujjah dan sumber
yang terpenting dalam hukum fiqih,
Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di
seantero dunia Islam. Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits,
mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam
menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam
Mazhab Maliki adalah Al-Quran, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat,
tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan
al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang
oleh dalil tertentu).