Oleh: Ja’far Subhani
Bagaimana Ali bin Abi Thalib as mempunyai Mushaf yang terpisah dan berbeda?
Kita harus perjelas dua masalah di bawah ini: pertama, apa yang dimaksud dengan Mushaf Ali bin Abi Thalib as? kedua, apa yang dimaksud dengan Kitab Ali bin Abi Thalib as?
Yang dimaksud dengan Mushaf Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as adalah pengumpulan Al-Qur’an berdasarkan “urutan turunnya” (tartib nuzul). lbnu Nadim di dalam kitab Fihrist-nya menuliskan, ‘Amirul Mukminin Ali as merasakan bahwa masyarakat pada waktu itu memandang wafatnya Nabi Muhammad Saw sebagai pertanda buruk bagi masa depan Islam dan Muslimin, maka beliau bersumpah untuk tidak meletakkan kain rida-nya ke bawah kecuali setelah berhasil mengumpulkan seluruh ayat Al-Qur’an. Dalam waktu tiga hari beliau berhasil mengumpulkan seluruh ayat Al-Qur’an dan membawanya ke masjid.’[1]
Ya’qubi menuliskan, ‘Sepeninggal Nabi Muhammad Saw, Ali bin Abi Thalib as mengumpulkan Al-Qur’an dan membaginya dalam tujuh bagian. Ketika itulah beliau mengingatkan tujuh bagian Al-Qur’an berikut surat-surat yang terkandung di dalamnya.’[2]
Ketelitian daftar yang diterangkan oleh Ya’qubi mengenai Al-Qur’an Ali bn Abi Thalib as itu membuktikan bahwa tidak ada sedikit pun perbedaan antara Al-Qur’an tersebut dan Al-Qur’an yang sekarang populer dari sisi jumlah surat, dan kalau pun ada perbedaan antara dua Al-Qur’an itu tiada lain dari sisi pola pengumpulan surat-suratnya.
Jika memang Mushaf itu betul-betul nyata, tetap saja tidak ada sedikit pun pertentangan dengan kesucian Al-Qur’an dari tahrif atau distorsi, bukan hanya Amirul Mukminin Ali as yang mengumpulkan Al-Qur’an sesuai dengan bentuk yang dia maksudkan, melainkan Mushaf Abdullah bin Abbas juga mempunyai perbedaan yang serupa dengan Al-Qur’an yang populer sekarang.
Kitab Amirul Mukminin Ali as adalah sesuatu yang ditulisnya pada masa hidup Nabi Muhammad Saw. Beliau menuliskan segala hukum halal dan haram serta hal-hal lain yang beliau simak dari Rasulullah Saw. Maka kumpulan hadis yang dia simak dari Rasulullah Saw dan dia tulis berdasarkan dikte beliau disebut dengan Kitab Ali, dan kitab ini berpindah dari tangan ke tangan di antara keluarga suci Nabi Saw, dan terkadang Imam Muhammad Baqir as serta Imam Ja’far Shadiq as menjelaskan sebagian hukum Islam dengan merujuk pada hadis-hadis yang tertera di dalamnya.
Najasyi, ulama rijal Syi’ah, di dalam biografi Muhammad bin Adzafir Shairufi meriwayatkan dari bapaknya, ‘Suatu ketika aku berada di sisi Imam Muhammad Baqir as bersama Hakam bin Utaibah, Hakam tak henti-hentinya bertanya kepada imam as dan beliau pun menjawabnya satu persatu, tapi pada suatu persoalan terjadi perbedaan pendapat di antara mereka sehingga beliau berkata kepada putranya Imam Ja’far Shadiq as, ‘Putraku! Bangunlah dan ambilkan Kitab Ali as. Imam Shadiq as pergi lalu keluar dari dalam rumah dengan membawa buku besar diikat seperti gulungan. Kemudian, Imam Baqir as menemukan poin yang dimaksudkan seraya berkata kepada Hakam bin Utaibah, ‘Ini adalah tulisan tangan Ali as hasil dikte Rasulullah Saw.’ Kemudian beliau melihat ke arahnya seraya berkata, ‘Kemana pun engkau dan temanmu Salamah bin Kuhail serta teman lainmu Abul Miqdam pergi tidak akan menemukan ilmu yang lebih kuat dari ilmu orang-orang yang didatangi oleh Malaikat Jibril.’[3]
Menurut hadis lain, Kitab Ali as ini sepanjang tujuh puluh dzira’ dan setebal pahak unta. Kitab ini berupa gulungan yang diikat.
Selain kitab itu, Amirul Mukminin Ali as juga mempunyai kitab lain bemama Shahifah yang memuat hukum-hukum tentang diyah, dan banyak sekali hadis dari kitab ini yang dinukil oleh buku-buku hadis.
Peneliti temama Almarhum Mirza Ali Miyanaji meneliti hadis-hadis Shahifah Ali as yang terdapat di dalam buku-buku hadis dan mengumpulkannya dalam satu kitab.[4] Kami juga secara terperinci telah membahas tentang Kitab Ali as dan Shahifah beliau di dalam kitab Tarikh Al-Fiqh Al-lslami wa Adwaruh.[5]
Poin akhir yang ingin kami ingatkan di sini adalah, Amirul Mukminin Ali as dan keturunan suci serta Syi’ahnya sejak hari wafat Rasulullah Saw melakukan penulisan, pembukuan dan penjagaan terhadap hadis beliau Saw dan tidak mempedulikan larangan politis pemerintah atas penulisan hadis, padahal larangan politis itu berlangsung sejak itu sampai seratus tahun setelahnya. Ini adalah sebuah realitas yang telah kami bahas pula secara terperinci pada tempatnya sendiri.
Referensi:
[1] Tarikh Al-Qur’an, hal. 76, karya Abu Abdillah Zanjani (1360 H), terbitan Kairo, dengan pengantar dari Ahmad Amin Mesri.
[2] Tarikh Ya’qubi (Ibnu Wadhih Akhbari), jld. 2, hat. 126.
[3] Rijal Najasyi, no. Biografi 967.
[4] Makatib Al-Rosul, jld. 1, hal. 66-71.
[5] Tarikh Al-Fiqh Al-lslami wa Adwaruh, hal. 118.
Post a Comment
mohon gunakan email