Mengenai hakekat yakin ? dan tingkatan nya dan bagaimana seseorang di nyatakan memiliki keyakinan
Jawaban Global:
Yakin dalam Logika dan Filsafat memiliki dua istilah: yang pertama, yakin dalam istilah umumnya yang berarti "tahu secara pasti" dan yang lain memiliki arti yang lebih khusus, yakni: "pengetahuan pasti yang sesuai dengan kenyataan" atau "pengetahuan yang pasti terhadap sesuatu dan yakin bahwa segala yang bertentangan dengan pengetahuannya adalah tidak benar." Yakin dengan artian khusus ini memiliki dua kriteria, yang mana segala pengetahuan yang memiliki dua kriteria tersebut dapat disebut "yakin". Kedua kriteria itu adalah: yakin terhadap suatu yang diketahui dan yakin bahwa yang bertengan dengan keyakinan itu adalah salah. Adapun yakin menurut para ahli Irfan, memiliki tiga tingkatan: ‘Ilm al-Yaqin, ‘Ain al-Yaqin dan Haqq al-Yaqin.
Jawaban Detil:
Yaqin dalam bahasa berarti tidak memiliki keraguan dalam suatu perkara dan terjadinya perkara tersebut secara nyata.[1]
Dalam
Logika dan Filsafat, yakin memiliki dua istilah: yang pertama, yakin
dengan artian umum, yakni yakin (tidak ragu) akan sesuatu, dan yang
kedua yakin dengan makna khusus: "pengetahuan pasti yang sesuai dengan
kenyataan"[2] atau "pengetahuan akan sesuatu dengan yakin dan yakin
bahwa yang bertentangan dengan pengetahuan itu adalah salah"[3] Di
hadapan yakin dengan artian umum itu, ada sangkaan di atas 50% dan di
bawah 50% serta keraguan, yang mana semua itu ada kemungkinan
salahnya.[4] Dalam sangkaan di atas 50% kemungkinan salah sedikit, dan
sangkaan di bawah 50% sebaliknya, banyak kemungkinan salahnya, sedangkan
dalam keraguan kemungkinan benar dan salah adalah 50-50. Yakin dengan
artian khusus memiliki dua kriteria yang mana setiap ilmu yang memiliki
dua kriteria itu bisa dikatakan dengan "yakin". Dua kriteria itu adalah:
yang pertama yakin dengan sesuatu yang diketahui itu, dan yang kedua
adalah yakin bahwa segala yang bertentangan dengan keyakinan tersebut
adalah salah. Jadi, yakin dengan artian khusus tersusun dari dua
pengetahuan: pengetahuan terhadap sesuatu dan pengetahuan akan kebenaran
pengetahuan itu (atau salahnya segala yang bertentangan dengan
pengetahuan itu).
Cara untuk mendapatkan yakin seperti itu dalam
Logika adalah menggunakan Burhan (demonstrasi dan argumen). Burhan
adalah Qiyas (silogisme) yang premis-permisnya adalah
proposisi-proposisi yang meyakinkan (yaqini), atau istilahnya Yaqiniyat.
Yaqiniyat adalah dalil dan pengetahuan-pengetahuan yang selain hal itu
meyakinkan, tidak ada juga kemungkinan salahnya sedikitpun. Mereka
adalah: Awwâliyât, Musyahadât, Mujarrabat, Mutawatirât, Hadsiyât dan
Fitriyât.[5]
Karena itu, yaqiniyat dalam istilah ilmu Logika dan
Filsafat memiliki bagian-bagian dan tingkatan yang tidak sama. Karena
Badihiyât Awwâli bagi ahli Logika memiliki tingkatan yakin (meyakinkan)
yang tertinggi; karena ilmu Logika adalah ilmu cara berfikir dengan
benar, maka ilmu tersebut berusaha untuk mengkategorikan dalil-dalil
sedemikian rupa sehingga manusia dengan merujuk padanya bisa mendapatkan
ilmu dan pengetahuan yang benar dan meyakinkan. Karena Yaqiniyât
Nazhari kembalinya adalah kepada awwâliyât dan semua awwâliyât bisa
dikata kembalinya kepada "berkumpulnya dua hal yang bertentangan"
(ijtimâ' al-naqidhain), maka para ahli Logika meletakkannya di tingkatan
paling atas.
Adapun berdasarkan menurut pendapat para ahli Irfan
tentang yakin,[6] yakin memiliki tiga tingkatan, yang mana yakin tingkat
terendah tidak mempunyai kriteria-kriteria yakin tingkat yang paling
tinggi. Tiga tingkatan tersebut adalah ‘Ilm al-Yaqin, ‘Ain al-Yaqin dan
Haqq al-Yaqin.
Untuk menjelaskan tiga tingkatan yakin ini perlu dijelaskan bahwa: Terkadang seorang manusia menyaksikan tanda-tanda atau indikasi-indikasi tertentu atau dengan menggunakan argumentasi ia menemukan suatu hakikat yang tetap; terkadang selain hanya menggunakan argumentasi, ia juga mendapatkan hakikat itu dengan ruh dan jiwanya; dan kadang tak hanya begitu saja, ia merasa fana dan menyatu dengan hakikat tersebut. Misalnya, tentang wujud Tuhan Swt, manusia awal mulanya membuktikan keberadaan Tuhan dengan argumentasi dan pemikirannya, lalu menyaksikan tanda-tanda kebesaran-Nya, yang mana dalam tahap ini dikatakan ia telah mendapatkan ‘Ilm al-Yaqin. Lalu dalam tahapan kedua, dengan pensucian jiwa ia dapat menggapai hakikat wujud-Nya dengan batin dan jiwanya. Ia bisa menyaksikan Tuhan dengan mata batinnya. Dalam tahap ini disebut ‘Ain al-Yaqin. Kemudian di tahapan yang paling tertinggi, ia mencapai hakikat Tuhannya dengan seluruh wujudnya, yang istilahnya ia telah fana dan menyatu dengan wujud Tuhan. Di tingkatan inilah ia mencapai Haqq al-Yaqin.
Dalam teks-teks agama kita sering disinggung
hal tersebut. Misalnya dalam berdoa kita berkata: "Ya Tuhan, cahayai
lahirku dengan taat-Mu, batinku dengan kecintaan-Mu, hatiku dengan
ma'rifat-Mu, ruhku dengan penyaksian terhadap-Mu dan seluruh wujudku
dengan bersatu dengan-Mu."[7] Kalimat pertama mengisyarahkan amal ibadah
dan menjalankan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah serta
menjauhi perbuatan-perbuatan yang dilarang-Nya, yang istilahnya adalah
Tajliyah; kalimat kedua mengisyarahkan tingkatan awal dalam suluk;
kalimat ketiga mengisyarahkan ‘Ilm al-Yaqin; kalimat keempat
mengisyarahkan ‘Ainul Yaqin dan kalimat terakhir mengisyarahkan Haqq
al-Yaqin, yakni fana secara total dalam wujud-Nya yang Maha Tinggi.[8]
Perlu
diketahui pula bahwa setiap dari tiga tingkatan tersebut juga memiliki
tingkatan-tingkatan tersendiri di dalamnya[9] yang mana di berbagai
tingkatan yang berbeda-beda itulah para nabi dan wali-wali Allah
melakukan sair wa suluk, yang dengan demikian setiap satu dari mereka
memiliki tingkatan dan derajat yang berbeda dengan yang lainnya.
Mengenai hal ini disebutkan dalam riwayat:
Imam Ali As berkata: "Yakin memiliki empat cabang: memandang dengan jeli dan cerdik, mencapai hikmah dan kebijakan, mengambil pelajaran dari masa yang telah lalu dan memanfaatkan cara-cara orang yang telah mendahului. Orang yang melihat dengan jeli bakal mencapai hikmah dan kebijaksanaan, lalu dapat mengambil pelajaran dari masa lalu, kemudian menjalankan tradisi umat sebelumnya dan jika demikian ia bagai hidup dengan mereka."[10]
Imam Ali As berkata: "Yakin memiliki empat cabang: memandang dengan jeli dan cerdik, mencapai hikmah dan kebijakan, mengambil pelajaran dari masa yang telah lalu dan memanfaatkan cara-cara orang yang telah mendahului. Orang yang melihat dengan jeli bakal mencapai hikmah dan kebijaksanaan, lalu dapat mengambil pelajaran dari masa lalu, kemudian menjalankan tradisi umat sebelumnya dan jika demikian ia bagai hidup dengan mereka."[10]
Imam
Shadiq As berkata: "Yakin dapat mengantar manusia ke tempat yang sangat
tinggi dan menakjubkan. Saat berbicara tentang kriteria-kriteria Nabi
Isa As, khususnya tentang kemampuannya berjalan di atas air, Rasulullah
Saw berkata: ‘Seandainya keyakinannya lebih dari itu, dia juga bisa
berjalan di atas udara.' Dengan perkataannya itu, Rasulullah Saw
memahamkan kepada kita bahwa para nabi memiliki tingkatan-tingkatan
keistimewaan yang berbeda sesuai dengan keyakinan (yaqin) yang mereka
punya, bukan dikarenakan hal lainnya."[11]
Pada suatu hari Rasulullah
saw bertemu dengan Haritsah bin Malik bin Nu'man Anshari dan berkata
kepadanya: "Bagaimana keadaanmu?" Ia berkata: "Wahai Rasulullah, aku
adalah mu'min hakiki yang telah mencapai tingkat yaqin." Rasulullah Saw
bertanya: "Segala sesuatu ada hakikatnya. Apa hakikat perkataanmu?" Ia
menjawab: "Wahai Rasulullah, aku telah kehilangan selera terhadap dunia.
Aku bangun di malam hari untuk ibadah dan aku kehausan di siang hari
karena berpuasa. Seakan-akan aku melihat lebarnya ‘Arsy Ilahi, seakan
aku menyaksikan hisab, seakan aku melihat penduduk surga yang saling
bertemu di antara taman-tamannya, seakan aku melihat penduduk neraka
tersiksa di dalamnya." Rasulullah Saw bersabda: "Haritsah adalah hamba
yang telah Allah Swt terangi hatinya." Lalu beliau berkata kepada
Haritsah: "Engkau telah mendapatkan bashirah (suatu keistimewaan dalam
pemahaman)" maka tetaplah dalam keadaan itu." Lalu ia berkata: "Wahai
Rasulullah Saw, doakan untukku agar aku bisa syahid di bawah benderamu."
Beliau menjawab: "Ya Allah, karuniakan ia kesyahidan." Tak lama
kemudian Rasulullah mengirimkan pasukan untuk berperang dan Haritsah ada
di antara pasukan-pasukan itu lalu ia mati setelah membunuh beberapa
musuh Allah dalam peperangan."[12]
Tanda orang yang yakinnya kuat
adalah ia tidak lagi mempedulikan selain kekuasaan Allah dan
kekuatan-Nya, teguh dalam menjalankan perintah-perintah-Nya dan setia
menjadi hambanya baik secara dhahir maupun batin. Ada dan tidak ada,
sedikit atau banyak, pujian atau celaan, penghormatan atau penghinaan,
semuanya adalah sama baginya. Namun orang yang yakinnya lemah, selalu
berusaha mencari solusi dari makhluk-makhluk Allah (tanpa mengingat
pencipta-Nya). Dalam dunia selalu mempedulikan komentar dan perkataan
orang lain tanpa melihat apa hakikat sejati dari hidup ini. Selalu
berusaha keras mengumpulkan harta duniawi dan menjaganya meski dengan
lidahnya berkata bahwa tiada yang memberi rizki selain Allah, dan
hamba-hamba-Nya mendapatkan rizki sesuai pengaturan-Nya serta usaha dan
jerih payah hamba tidak mempengaruhi banyak dan sedikitnya rizki; namun
secara praktek ia tidak meyakininya. Allah swt berfirman: "Mereka
menyatakan apa yang tidak mereka yakini dengan hati. Sedangkan Allah
maha tahu apa yang ada di dalam hati."[13]
Dalam sebuah riwayat
ditanyakan kepada Imam Shadiq As tentang iman dan Islam. Beliau menjawab
dengan menukil perkataan Imam Baqir As: "Sesungguhnya agama adalah
Islam dan iman satu tingkat lebih tinggi darinya, ketakwaan setingkat
lebih tinggi dari iman, yaqin juga setingkat lebih tinggi dari taqwa.
Tidak ada yang lebih sedikit dari yaqin yang dibagikan kepada
manusia."[14]
Adapun tolak ukur menentukan yakin (dalam pengertian
irfani dan riwayat) dapat dikatakan bahwa setiap tingkatan yakin
memiliki kriteria dan tanda-tandanya tersendiri. Beberaba tanda yakin
seperti tidak peduli dengan kesenangan-kesenangan dunia, tidak terikat
dengan harta benda, perhatian dengan alam akherat, berada dalam tingkat
tawakal dan pasrah kepada Allah Swt, menyerahkan segala perkara
kepada-Nya dan lain sebagainya.
Referensi:
[1]. Farahidi, Khalil bin Ahmad, Kitâb Al-‘Ain, Riset dan edit oleh Makhzumi, Mahdi, Samara'i, Ibrahim, jil. 5, hal. 220, Intesyarat Hijrat, Qum, Cetakan Kedua, 1410 H.
[2]. Silahkan lihat, Muhaqqiq, Mahdi, Toshihiko Izutsu, Manthiq wa Mabâhitsh Alfâz (kumpulan artikel dan makalah), hal. 313, Intesyarat Danesygah Teheran, 1370 S.; Shaliba, Jamil, Shanei Dare Bidi, Manucehr, Farhangg Falsafi, hal. 682, Intisyarat Hikmat, Teheran, Cetakan Pertama, 1366 S.
[3]. Thusi, Khajah Nashiruddin, Ta'dil al-Mi'yâr fi Naqd Tanzil al-Afkâr, hal. 226, Intisyarat Danesygah Teheran, Cetakan Pertama, 1358 S.
[4]. Thabathabai, Sayid Muhammad Husain, Burhân, hal. 11, Moasasah Bustan Kitab, Qum, Cetakan Kedua, 1387 S.
[5]. Silahkan lihat Ta'rif Maqbulât dar Ilm Mantiq, Pertanyaan 26405.
[6]. Pengetahuan ada dua macam: Yang pertama, ilmu yang dengan sendirinya merupakan tujuan dan maksud, yang mana itu adalah cahaya yang muncul di dalam hati; sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat: "Ilmu bukanlah apa yang didapat dari banyak belajar, namun ilmu adalah cahaya yang diletakkan Allah Swt di hati siapapun yang Ia kehendaki." (dinisbatkan kepada Imam Shadiq As, Mishbah Al-Syari'ah, hal. 16, Al-A'lami, Beirut, cetakan pertama, 1400 H.) Berkat ilmu inilah hal-hal ghaib dapat disaksikan oleh sang arif. Ilmu ini adalah ilmu yang paling mulia dan tujuan utama.
Yang kedua, ilmu yang tujuan dari mengetahuinya adalah amal atau mengamalkan sesuai dengan pengetahuan tersebut. Yakni ilmu dan pengetahuan tentang apa saja yang dapat mendekatkan diri seorang hamba kepada Tuhannya dan yang dapat menjauhkannya dari-Nya. Yang jelas ilmu ini masih ada kaitannya dengan ilmu pertama. Ilmu yang pertama disebut dengan ilmu batin dan ilmu hakikat, sedangkan yang kedua disebut dengan ilmu dhohir dan ilmu syari'at. Ketika keduanya disatukan, disebut dengan Hikmat (hikmah). Namun tak ada satupun ilmu yang hakiki kecuali ia telah mencapai derajat yakin. (Naraqi, Mulla Ahmad, Khazâin, hal. 484, Nasyr Kongre Buzurghdasyt Muhaqiqan Naraqi, Cetakan Pertama, Qum, 1380 S)
[7]. Syaikh Baha'i, Muhammad bin Husain, Busthami, Ali bin Thaifur, Minhaj Al-Najah fi Tarjumah Mafatih Al-Falah, mukadimah 2, hal. 49, Hikmat, Tehran, cetakan keenam, 1384 H.S.
[8]. Silahkan rujuk: Hasan Zade Amuli, Hasan, Nushush Al-Hikam bar Fushush Al-Hikam, hal. 158, Entesharat e Raja', Tehran, cetakan kedua, 1375 H.S.
[9]. Karena kesempurnaan itu tidak terbatas dan jumlah manzilah (tingkatan) kesempurnaan pun pasti bermacam-macam. Jadi di setiap tingkatan yakin pasti ada kriteria tersendiri yang di tingkatan lainnya tak dapat ditemukan.
[10]. Tsaqafi, Ibrahim bin Muhammad, Al-Gharât (Al-Istinfar wa Al-Gharaat), Riset dan edit oleh Husaini, Abduzzahra, jil. 1, hal. 84, Darul Kitab Al-Islami, Qum, Cetakan Pertama, 1410 H.
[11]. Mishbah Al-Syari'ah, hal. 177.
[12]. Kulaini, Muhammad bin Ya'qub, al-Kâfi, jil. 3, hal. 138-139, Dar Al-Hadith, Qom, Cetakan Pertama, 1429 H.
[13]. Mishbâh Al-Syari'ah, hal. 177-178.
[14]. Al-Kâfi, jil. 3, hal. 134-135.
[1]. Farahidi, Khalil bin Ahmad, Kitâb Al-‘Ain, Riset dan edit oleh Makhzumi, Mahdi, Samara'i, Ibrahim, jil. 5, hal. 220, Intesyarat Hijrat, Qum, Cetakan Kedua, 1410 H.
[2]. Silahkan lihat, Muhaqqiq, Mahdi, Toshihiko Izutsu, Manthiq wa Mabâhitsh Alfâz (kumpulan artikel dan makalah), hal. 313, Intesyarat Danesygah Teheran, 1370 S.; Shaliba, Jamil, Shanei Dare Bidi, Manucehr, Farhangg Falsafi, hal. 682, Intisyarat Hikmat, Teheran, Cetakan Pertama, 1366 S.
[3]. Thusi, Khajah Nashiruddin, Ta'dil al-Mi'yâr fi Naqd Tanzil al-Afkâr, hal. 226, Intisyarat Danesygah Teheran, Cetakan Pertama, 1358 S.
[4]. Thabathabai, Sayid Muhammad Husain, Burhân, hal. 11, Moasasah Bustan Kitab, Qum, Cetakan Kedua, 1387 S.
[5]. Silahkan lihat Ta'rif Maqbulât dar Ilm Mantiq, Pertanyaan 26405.
[6]. Pengetahuan ada dua macam: Yang pertama, ilmu yang dengan sendirinya merupakan tujuan dan maksud, yang mana itu adalah cahaya yang muncul di dalam hati; sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat: "Ilmu bukanlah apa yang didapat dari banyak belajar, namun ilmu adalah cahaya yang diletakkan Allah Swt di hati siapapun yang Ia kehendaki." (dinisbatkan kepada Imam Shadiq As, Mishbah Al-Syari'ah, hal. 16, Al-A'lami, Beirut, cetakan pertama, 1400 H.) Berkat ilmu inilah hal-hal ghaib dapat disaksikan oleh sang arif. Ilmu ini adalah ilmu yang paling mulia dan tujuan utama.
Yang kedua, ilmu yang tujuan dari mengetahuinya adalah amal atau mengamalkan sesuai dengan pengetahuan tersebut. Yakni ilmu dan pengetahuan tentang apa saja yang dapat mendekatkan diri seorang hamba kepada Tuhannya dan yang dapat menjauhkannya dari-Nya. Yang jelas ilmu ini masih ada kaitannya dengan ilmu pertama. Ilmu yang pertama disebut dengan ilmu batin dan ilmu hakikat, sedangkan yang kedua disebut dengan ilmu dhohir dan ilmu syari'at. Ketika keduanya disatukan, disebut dengan Hikmat (hikmah). Namun tak ada satupun ilmu yang hakiki kecuali ia telah mencapai derajat yakin. (Naraqi, Mulla Ahmad, Khazâin, hal. 484, Nasyr Kongre Buzurghdasyt Muhaqiqan Naraqi, Cetakan Pertama, Qum, 1380 S)
[7]. Syaikh Baha'i, Muhammad bin Husain, Busthami, Ali bin Thaifur, Minhaj Al-Najah fi Tarjumah Mafatih Al-Falah, mukadimah 2, hal. 49, Hikmat, Tehran, cetakan keenam, 1384 H.S.
[8]. Silahkan rujuk: Hasan Zade Amuli, Hasan, Nushush Al-Hikam bar Fushush Al-Hikam, hal. 158, Entesharat e Raja', Tehran, cetakan kedua, 1375 H.S.
[9]. Karena kesempurnaan itu tidak terbatas dan jumlah manzilah (tingkatan) kesempurnaan pun pasti bermacam-macam. Jadi di setiap tingkatan yakin pasti ada kriteria tersendiri yang di tingkatan lainnya tak dapat ditemukan.
[10]. Tsaqafi, Ibrahim bin Muhammad, Al-Gharât (Al-Istinfar wa Al-Gharaat), Riset dan edit oleh Husaini, Abduzzahra, jil. 1, hal. 84, Darul Kitab Al-Islami, Qum, Cetakan Pertama, 1410 H.
[11]. Mishbah Al-Syari'ah, hal. 177.
[12]. Kulaini, Muhammad bin Ya'qub, al-Kâfi, jil. 3, hal. 138-139, Dar Al-Hadith, Qom, Cetakan Pertama, 1429 H.
[13]. Mishbâh Al-Syari'ah, hal. 177-178.
[14]. Al-Kâfi, jil. 3, hal. 134-135.