Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Salman Al Farisi*. Show all posts
Showing posts with label Salman Al Farisi*. Show all posts

Aisyah keluar rumah tanpa izin suaminya


Sibth bin Jauzai, salah seorang ulama besar Ahlu Sunah. Ia menulis banyak kitab terkenal. Ia selalu sibuk di masjid-masjid baghdad berceramah menyampaikan wejangan-wejangannya untuk memberi petunjuk kepada masyarakat sekitarnya. Ia wafat pada tahun 597 di Baghdad.[1]

Salah satu kriteria khas Imam Ali bin Abi Thalib as adalah, ia sering berkata kepada semua orang: “Tanyalah kepadaku sebelum kalian kehilangan aku.”
Ucapan itu adalah ucapan khas Imam Ali as dan Imam-Imam setelahnya. Siapapun selain mereka yang berkata seperti itu pasti ujungnya malu sendiri.

Ada sebuah dialog antara Sibth bin Jauzi dengan seorang perempuan pemberani. Pada suatu hari, Sibth bin Jauzi mengaku sangat pintar dan berkata “Wahai orang-orang, tanyalah apapun kepadaku sebelum kalian kehilangan aku.” Padahal saat itu banyak sekali hadirin yang duduk di sekitar mimbarnya.

Lalu seorang perempuan dari bawah mimbar berkata, “Beritahu aku, apakah hadits ini benar atau tidak; hadits yang mengatakan bahwa sekelompok Muslimin telah membunuh Utsman bin Affan lalu jenazahnya dibiarkan begitu saja sampai tiga hari dan tak satupun ada yang bersedia mengangkatnya untuk dikubur?”
Sibth bin Jauzi menjawab, “Ya, memang benar.”

Perempuan: “Apakah hadits ini juga benar; ada hadits yang mengatakan bahwa ketika Salman Al Farisi berada di Madain dan meninggal di sana, Imam Ali as dari Kufah datang ke Madain lalu menshalati jenazah Salman, mengkafani dan menguburkn jenazahnya karena ia tidak mau jenazah Salman tergeletak begitu saja?”
Sibth bin Jauzi: “Ya, benar hadits itu.”
Perempuan: “Lalu mengapa Ali bin Abi Thalib yang saat itu juga berada di Madinah tidak mau datang mengurusi jenazah Utsman bin Affan untuk dimandikan, dikafani dan dikuburkan? Padahal keduanya sahabat nabi? Kalau begitu pasti salah satu di antara mereka ada yang salah: Kalau bukan Ali yang salah karena tidak mau menguburkan orang yang beriman, berarti Utsman bukanlah orang yang beriman sehingga Ali tidak bersedia mengurus jenazahnya?[2]

Sibth bin Jauzi diam sejenak. Karena jika ia menyebut salah satu dari keduanya salah, berarti ia telah menentang keyakinannya bahwa keduanya adalah kahlifah yang benar. Oleh karena itu ia berkata:
“Wahai perempuan, jika engkau datang ke sini tanpa izin suamimu lalu engkau banyak berbicara dengan orang yang bukan muhrim seperti aku, maka semoga Tuhan melaknatmu. Namun jika engkau datang dengan izin suamimu, maka semoga Allah melaknat suamimu.”

Perempuan itu heran dan berkata: “Apakah Aisyah pergi ke luar rumah untuk berperang melawan Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal telah minta izin terlebih dahulu kepada nabi atau tidak?”
Sibth bin Jauzi juga tidak bisa menjawab pertanyaannya. Karena jika ia menjawab bahwa Aisyah tidak meminta izin untuk keluar rumah, berarti ia telah menyalahkan Aisyah. Namun jika ia menjawab bahwa nabi mengizinkannya ke luar rumah, berarti ia telah menyalahkan Ali bin Abi Thalib.
Ia tidak berkata apa-apa. Lalu tak lama kemudian turun dari mimbarnya dan pulang ke rumah.[3]


Referensi:
[1] Safinatul Bihar, jilid 1, halaman 193.
[2] Namun akhirnya tiga hari kemudian ada sebagian orang yang secara diam-diam menggotong jenazahnya dan dikuburkan di belakang Baqi’, kuburan orang-orang Yahudi. (Tarikh, Thabari, jilid 9, halaman 143.
[3] Biharul Anwar, jilid 29, halaman 647.

Ketika Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as Bercanda


Salman al-Farisi mengisahkan:
"Suatu hari Sayidah Fathimah az-Zahra as mendatangi ayahnya.

Ketika Nabi Saw melihat mata Sayidah Fathimah as, anaknya, beliau menyaksikan ada sisa air mata yang menggantung di pelupuk matanya. Akhirnya beliau menanyakan apa penyebab tangisannya.

Sayidah Fathimah az-Zahra menjawab, ‘Ayah, kemarin ada kejadian antara aku dan suamiku, Ali bin Abi Thalib as. Pada waktu itu kami tengah berbicara dan diselingi dengan candaan. Saya mengucapkan sebuah kalimat dengan niat bercanda, tapi kemudian ucapan itu membuat hati suamiku sedih.

Karena merasa suamiku sedih, saya sangat menyesali apa yang kuucapkan kepadanya. Aku telah meminta maaf kepadanya dan merelakanku.

Suamiku menerima permintaan maafku dan kembali terlihat gembira, lalu tertawa lagi denganku. Saya merasa ia telah merelakanku. Tapi saat ini saya masih khawatir, jangan sampai Allah Swt murka dan tidak merelakanku.'

Begitu mendengar kisah yang disampaikan Sayidah Fathimah as, Nabi Saw berkata, ‘Anakku, kerelaan dan kegembiraan suamimu sama seperti kerelaan dan kegembiraan Allah Swt. Kemarahan dan kesedihan suamimu menjadi sebab kemarahan dan kesedihan Allah Swt.'

Setelah itu beliau berkata, ‘Setiap perempuan yang beribadah kepada Allah Swt dan memuji-Nya seperti Sayidah Maryam, tapi suaminya tidak rela kepadanya, maka ibadah dan perbuatannya tidak akan diterima oleh Allah Swt.

Anakku! Ketahuilah bahwa perbuatan paling baik adalah menaati suami, tentu saja dalam hal-hal yang tidak dilarang Islam dan al-Quran.

Anakku! Setiap perempuan yang menanggung semua kesulitan di rumah dan mengelola segala urusan rumah demi ketenangan dan kesejahteraan anggota keluarga, maka ia akan menjadi ahli surga."

Catatan:
1. Ihqaq al-Haq, jilid 19, hal 112-113.

Sekilas tentang Salman Al-Farisi


Siapakah Salman Al-Farisi?
Sekitar 216 atau 316 tahun sebelum hijrah nabi, di sebuah desa di Isfahan, Iran, lahir seorang anak yang diberi nama Ruzbe; yang di kemudian hari Rasulullah saw merubah namanya menjadi Salman. Ayahnya adalah seorang pendeta Zoroaster yang pekerjaan sehari-harinya adalah mengumpulkan kayu untuk menjaga api kuil agar tetap berkobar. Meskipun Salman hidup di keluarga penganut agama Zoroaster, namun ia tidak pernah menyembah api dan dia meyakini keesaan Tuhan. Di masa kanak-kanaknya, Salman kehilangan sang ibu, lalu ia dibesarkan oleh bibinya.

Karena ia tidak ingin memeluk agama Zoroaster, dia terancam hukuman penjara, bahkan juga hukuman mati. Ia dan bibinya lari ke gurun, kemudian mereka bertemu dengan karavan yang bergerak menuju Suriah, lalu mereka bergabung dengan karavan tersebut. Akhirnya Salman menjadi budak seorang Yahudi, yang akhirnya suatu saat bertemu dengan Rasulullah saw dan memeluk agama Islam.[1]

Pertemuan Salman Al-Farisi dengan Rasulullah saw
Rasulullah saw membebaskan Salman dari perbudakan dan memberinya nama yang indah “Salman”.[2] Salman memiliki arti kepasrahan, ketulusan dan kebersihan hati.

Keutamaan-keutamaan Salman Al-Farisi
Salman adalah sahabat nabi yang patut dijadikan teladan bagi kita semua. Berikut ini adalah beberapa keutamannya:
  1. Kedekatannya dengan nabi
Semenjak memeluk agama Islam, Salman terus mendaki menuju martabat tertinggi dalam iman. Para maksumin juga sering memujinya. Misalnya perhatikan beberapa riwayat di bawah ini:
  1. Pada peristiwa perang Khandak, yang Muslimin menggali parit di sekitar kota untuk pertahanan mereka. Saat itu mereka berebut agar Salman bergabung dengan masing-masing kelompok Muhajirin dan Anshar. Kaum Muhajirin meminta agar Salman bergabung bersama mereka, begitu juga kaum Anshar. Namun Rasulullah saw berkata: “Salman adalah bagian dari kami, Ahlul Bait.”[3] Salman disebut nabi sebagai bagian dari Ahlul Baitnya menunjukkan betapa mulianya dia.[4]
  2. Dinukil dari Jabir dari Rasulullah saw:
“Sesungguhnya kerinduan surga terhadap Salman lebih tinggi dari kerinduan Salman terhadap surga.” [5]
  1. Rasulullah saw juga bersabda:
“Barang siapa ingin melihat seseorang yang Allah telah terangkan hatinya dengan iman, maka hendaknya melihat Salman.”[6]
  1. Beliau juga bersabda:
“Salman adalah bagian dariku. Orang yang menzaliminya berarti menzalimiku. Orang yang menyakitinya juga menyakitiku.”
  1. Imam Shadiq as berkata:
“Salman mengetahui Ism A’dham (Nama yang Paling Agung).”[7]
Riwayat ini menunjukkan bahwa Salman memiliki derajat irfani yang cukup tinggi.
  1. Ilmu Salman Al-Farisi
Rasulullah saw pernah bersabda: “Jika agama ada di Soraya (sekumpulan bintang), maka Salman akan menggapainya.”[8] Dalamnya ilmu yang dimiliki Salman tidak semua orang bisa memahaminya. Imam Shadiq as berkata: “Rasulullah saw dan Imam Ali as menyampaikan rahasia-rahasia yang tak mampu dipahami oleh orang lain kepada Salman. Menurut mereka Salman layak untuk menyimpan rahasia-rahasia itu. Oleh karena itu salah satu julukan Salman adalah Muhaddats (yang diajak berbicara).”[9]

Imam Shadiq as juga berkata tentangnya: “Dalam Islam, tidak ada yang diciptakan yang lebih faqih daripada Salman.”[10]

Rasulullah saw juga bersabda: “Salman adalah lautan ilmu yang kedalamannya tak tergapai siapapun.”[11]
Salman sendiri sampai berkata kepada orang-orang: “Jika kalian tahu apa yang kuketahui, kalian pasti sudah menyebutku orang yang gila. Atau mungkin kalian akan memuji orang yang membunuhku karena ini.”[12]
Selain itu masih banyak lagi keutamaan-keutamaan beliau yang dapat dibaca dari berbagai buku tentang para sahabat.

Referensi:
[1] Biharul Anwar, 22, 366
[2] Darajat Rafi’ah, 203
[3] Majma’ Al-Bayan, 2, 428
[4] Syarah Nahjul Balaghah, 18, 36
[5] Biharul Anwar, 22, 341
[6] Ihtijaj Thabrasi, 1, 150
[7] A’yan Syi’ah, 7, 287
[8] Syarah Nahjul Balaghah, 18, 36
[9] Biharul Anwar, 22, 331
[10] Tanqih Maqal, 2, 47
[11] Ikhtishahs Syaikh Mufid, 222
[12] Rijal Kashi, 20

SALMAN AL-FARISI DAN BANGSA PARSI DARI PERSPEKTIF PEMIKIRAN ISLAM: ANALISIS DARI ASPEK MODAL INSAN


SALMAN AL-FARISI DAN BANGSA PARSI DARI PERSPEKTIF PEMIKIRAN ISLAM: ANALISIS DARI ASPEK MODAL INSAN SALMAN AL-FARISI DAN BANGSA PARSI DARI PERSPEKTIF PEMIKIRAN ISLAM: ANALISIS DARI ASPEK MODAL INSAN

Introduksi:
Artikel ini bertujuan membincangkan persoalan dan isu bangsa Salman al-Farisi yang berpaksikan Islam dan kedudukannya dari perspektif Pemikiran Islam dengan perhatian ditumpukan kepada Salman al-Farisi yang berjaya mencapai kecemerlangan, kegemilangan dan keterbilangan dalam sejarah Islam kerana ciri-ciri keunggulan dan keunikannya yang tersendiri. Dalam dunia globalisasi dan tanpa sempadan, kelihatan bangsa Salman al-Farisi memperlihatkan dominasi pemikiran dan penghayatan keislaman yang agak luarbiasa bagi menghadapi cabaran semasa daripada kuasa-kuasa non-muslim. Kajian ini cuba melihat aspek-aspek keunikan bangsa Salman al-Farisi hingga membolehkan bangsa tersebut berada pada kedudukannya hari ini.

1
SALMAN AL-FARISI DAN BANGSA PARSI DARI PERSPEKTIF PEMIKIRAN ISLAM: ANALISIS DARI ASPEK MODAL INSAN

DAFTAR ISI
Salman al-Farisi - Latar belakang secara ringkas:

Salman al-Farisi dari segi keunikan dan keunggulannya sepanjang sejarah:

Bangsa Salman al-Farisi dari beberapa perspektif:

Bangsa Salman al-Farisi Dari Perspektif Al-Qur'an:

Bangsa Salman al-Farisi Dari Perspektif Al-Hadith:

Bangsa Salman al-Farisi dari konteks keunikan dan kedinamikan:

Bangsa Salman al-Farisi dan signifikannya kepada Dunia Islam kini:

Keislaman:

Keilmuan:

Kepimpinan:

Ketaatan:

Keberanian:

Ketamadunan:

Konklusi:

Catatan kaki:



2
SALMAN AL-FARISI DAN BANGSA PARSI DARI PERSPEKTIF PEMIKIRAN ISLAM: ANALISIS DARI ASPEK MODAL INSAN

Salman al-Farisi - Latar belakang secara ringkas:

Latar belakang Salman al-Farisi:
Salman al-Farisi yang terkenal dalam sejarah dan Pemikiran Islam, dilahirkan dengan nama Parsinya, Mahbeh (Mayeh) atau Ruzbeh, merupakan anak seorang dihqan dari sebuah perkampungan Parsi dikenali Jaiy @ Jian atau Isfahan lama. Dilahirkan dalam keluarga beranutan Majusi, dan menjadi salah seorang pengikut Majusi [Majus, dalam al-Qur'an]. Beliau bertukar daripada Majusi kepada Kristian dan menetap di kota yang kini dikenali Isfahan [Ispahan] pada sebahagian besar zaman remajanya.

Bapanya seorang yang berpengaruh dan kaya-raya. Dikatakan kerana kecintaan yang keterlaluan kepadanya telah menyebabkan beliau dikunci dalam rumah kerana kebimbangan tersebut. Beliau ditugaskan berkhidmat kepada agama Majusi dengan menjaga api yang mereka sembah daripada terpadam. Oleh kerana bapanya mempunyai tanah pertanian yang luas, dan sibuk dengan pekerjaannya, Salman ditugaskan mengambilalih tugas tersebut. Menerusi tugas ini, beliau berkenalan dengan agama Kristian dan akhirnya menganutinya.

Salman al-Farisi telah melalui proses pencarian akan hakikat kebenaran beberapa kali sebelum akhirnya bertemu dengan Islam dan beriman dengan Din Nabi Muhammad (s.a.w). Sepanjang menjadi penganut Kristian, beliau mengembara ke Syria, Mosul, Nasibin dan 'Ammuriyah mengikuti tokoh-tokoh Paderi Kristian yang berada di tempat tersebut. Tokoh paderi Kristian di `Ammuriyah memberitahunya [sewaktu beliau berusia 12 tahun] supaya mengikuti nabi akhir zaman yang dijanjikan, "yang merupakan pengikut Din Nabi Ibrahim (a.s)."

Dari Syria, beliau terus ke Wadi al-Qura untuk menemui nabi yang dijanjikan. Namun dalam perjalanannya itu, beliau telah dikhianati oleh puak Badwi Kalbi yang menjadi penunjuk arahnya dan akhirnya dijual sebagai hamba kepada seorang Yahudi, yang kerap mengunjungi kota Yathrib. Pada ketika beliau sampai ke sana, proses hijrah Nabi Muhammad (s.a.w) bermula. Salman al-Farisi dengan berdasarkan beberapa petunjuk dan tanda yang terdapat pada diri Nabi Muhammad (s.a.w) seperti diceritakan, menganuti Islam dan kemudian dibebaskan hasil usaha Nabi Muhammad (s.a.w) daripada perhambaan.

Salman al-Farisi meninggal dunia pada tahun 33 @ 35/654 @ 656 dengan usia 88 tahun dalam zaman pemerintahan Khalifah 'Uthman bin 'Affan.Beliau dikatakan meninggalkan tiga orang anak perempuan, seorang di Isbahan dan dua orang lagi di Mesir. Beliau dimaqamkan di Mada'in (dahulunya, Ctesiphon) yang terletak di 'Iraq sekarang. Maqamnya diserang pada Februari 2006.

Salman al-Farisi dan hubungannya dengan Nabi Muhammad (s.a.w):
Salman al-Farisi dikatakan cukup mengenali ciri-ciri kenabian Muhammad (s.a.w) menerusi maklumat yang diterima daripada para rahib Kristian yang diikutinya sebelum menganuti Islam. Beliau telah dibebaskan oleh Nabi Muhammad (s.a.w) daripada perhambaan menerusi penebusan diri daripada seorang Yahudi.

Beliau menjadi salah seorang sahabat besar Nabi Muhammad (s.a.w) yang paling terkemuka, zahid, mempunyai hubungan yang sangat akrab dan kedudukan yang sangat tinggi di sisi baginda (s.a.w), meriwayatkan 60 buah hadith Nabi (s.a.w), pernah disaudarakan oleh Nabi Muhammad (s.a.w) dengan Abu al-Darda' al-Ansari dan dikatakan pernah mendapat peluang melihat dan mencium tanda [khatm al-nubuwwah] pada bahagian belakang Nabi Muhammad (s.a.w).

Salman al-Farisi dan hubungannya dengan 'Ali bin Abi Talib (kw):
Salman al-Farisi mempunyai sahsiah dan peribadi yang cemerlang, gemilang dan terbilang di kalangan sahabat Rasulullah (s.a.w). Beliau berperibadi merendah diri, tegas dan adil; dikatakan tidak mempunyai rumah sendiri sebaliknya beristirehat di bawah pokok; menerusi pemerhatiannya yang tajam terhadap fenomena kehidupan manusia di sekitarnya membolehkan beliau mengeluarkan kenyataan yang mengatakan bahawa "beliau terkejut melihat orang ramai menghabiskan kehidupan mereka untuk keduniaan, tanpa mengingati kematian."

Beliau juga merupakan salah seorang daripada empat sahabat utama 'Ali bin Abi Talib (kw) yang kemudian dikenali dalam sumber-sumber Islam sebagai Syiah 'Ali selain daripada al-Miqdad bin al-Aswad al-Kindi, 'Ammar bin Yasir dan Abu Dhar al-Ghiffari. Beliau menyokong dan mendokong Ahl al-Bayt sepanjang sejarah hidupnya dari mula hingga akhir hayatnya, menyokong dan sentiasa bersama-sama Nabi (s.a.w) dan Ali bin Abi Talib (k.w) sepanjang kehidupannya sehingga beliau (r.a) meninggal pada zaman Khalifah 'Uthman bin 'Affan (r.a), menyokong, mempertahankan dan memperkasakan konsep kebenaran, keadilan dan kesaksamaan dalam masyarakat muslim dan serentak dengan itu, menentang dan memerangi sebarang bentuk penindasan, kezaliman dan kemungkaran dalam masyarakat muslim.

Sejarah memperlihatkan bahawa beliau pernah memegang beberapa jawatan pemerintahan di beberapa buah kota semasa era Khulafa' al-Rasyidin, pernah memimpin tentera seramai 30 000 orang semasa menjadi gabenor kota Parsi.

Salman al-Farisi dari segi keunikan dan keunggulannya sepanjang sejarah:
Salman al-Farisi menganuti Islam pada tahun 1/623, sewaktu Islam mulai berkembang ke luar Jazirah al-Arab, merupakan mawla Rasulullah (s.a.w) dan terkenal di kalangan sahabat Nabi Muhammad (s.a.w) sebagai Abu Abdullah. Beliau dikatakan salah seorang yang dikehendaki untuk dicintai oleh Allah (s.w.t) selain daripada 'Ali bin Abi Talib, Abu Dhar al-Ghiffari dan al-Miqdad bin al-Aswad al-Kindi, bahkan merupakan salah seorang yang diinginkan syurga selain daripada Ali, Miqdad dan Ammar. Dikatakan orang pertama menterjemahkan al-Qur'an ke dalam bahasa Parsi dan termasuk salah seorang yang dirujuk dan disebut oleh al-Qur'an sebagai "illa al-ladhina amanu..[yang beriman @ mu'min]" dengan keimanan yang sangat kuat.

Salman al-Farisi disebutkan oleh Rasulullah (s.a.w) dalam beberapa buah hadith sebagai "Salman minna Ahl al-Bayt." Ini disebabkan peristiwa berkaitan dengan Perang al-Khandaq [al-Ahzab] membabitkan Salman al-Farisi yang dianggap seorang yang kuat telah menjadi rebutan dua puak yang menginginkan beliau menjadi sebahagian daripada golongan mereka, iaitu al-Muhajirin dan al-Ansar, sehingga akhirnya memerlukan Rasulullah (s.a.w) campurtangan dan mengeluarkan hadith tersebut dan menganggapkannya sebagai salah seorang Al al-Bayt [kaum kerabat Rasulullah (s.a.w)]. Ali bin Abi Talib (k.w) sendiri turut mengatakan bahawa "huwa minna Ahl al-Bayt" [dia sebahagian daripada kami Ahl al-Bayt]. Justeru, Salman al-Farisi juga turut dikenali sebagai Salman al-Muhammadi.

Salman al-Farisi menjadi sumber kekuatan dan sumber inspirasi golongan muslim mu'min berbangsa Parsi dahulu, kini dan akan datang kerana keilmuan yang tinggi dan mendalam dan juga disebabkan beliau mempunyai kesempatan dan peluang berada bersama-sama dengan Rasulullah (s.a.w) dalam majlis baginda (s.a.w) pada sebelah malam, sehingga dirinya disebut dengan perkataan "bahr al-'ilm" [lautan ilmu] dan "makhsus bi al-'ilm al-awwal wa al-akhir" [teristimewa dengan keilmuan golongan terdahulu dan terkemudian] dan disenaraikan sebagai 'ulama' kerana beliau daripada Ahl al-Bayt. Justeru, Salman berpengaruh besar dalam konteks Pemikiran Islam:

1. Dalam konteks mencari kebenaran agama yang hakiki, pada awalnya beragama Majusi, kemudian beragama Kristian dan akhirnya beragama Islam.

2. Dari segi keilmuan, mempunyai pengetahuan mendalam tentang agama menerusi proses pengkajian, pendalaman, perbahasan dan penghujahan.

3. Dari segi sains, beliau berkepakaran dalam bidang sains dan teknologi khususnya kejuruteraan menerusi ide penggalian parit di sekeliling kota Madinah sebagai suatu strategi peperangan dalam perang al-Khandak [al-Ahzab] yang belum pernah diketahui masyarakat muslim Madinah tetapi mendapat perakuan
Rasulullah (s.a.w) yang bersifat bijaksana (al-fatanah).

4. Dari segi pemikiran dan keintelektualan, bercitra ingin mengetahui hakikat sesuatu kebenaran sehingga sampai ke suatu tahap yang tidak berbelah bahagi, sentiasa berfikiran positif dan berpandangan jauh.
5. Dari segi keberanian dan perjuangan, bersemangat tinggi dan berwawasan jauh dalam mempertahankan sesuatu keyakinan sehingga sanggup memperagakan dan mempertaruhkan jiwa, nyawa, harta, keluarga dan segala-galanya.

Bangsa Salman al-Farisi dari beberapa perspektif:
Artikel ini akan cuba membincangkan kedudukan bangsa Salman al-Farisi secara khusus selepas penguasaan dan penawanan Islam ke atas Parsi.

Parsi - Latar belakang secara ringkas:
Di kalangan pengkaji nasab (keturunan) yang membincangkan persoalan asal-usul Faris [فارس] , terdapat beberapa pendapat dikemukakan, di antaranya seperti berikut:

1. Mereka berketurunan Jyumart iaitu Adam [جيومرت]. Dalam sumber lain dikatakan Faris al-Kubra ibn Kyumart [فارس الكبرى ابن كيومرت] yang merujuk kepada Jyumart bin Amim bin Lawadh [جيومرت بن اميم بن لاوذ].

2. Mereka berketurunan Yafith bin Nuh [يافث بن نوح] atau Faris bin Jabir bin Yafith bin Nuh [فارس بن جابر بن يافث بن نوح]

3. Mereka berketurunan Lawi bin Sam bin Nuh [لاوي بن سام بن نوح] atau Lawadh bin Sam bin Nuh [لاوذ بن سام بن نوح]

4. Mereka berketurunan Faris ibn Yasur bin Sam bin Nuh [فارس بن ياسور(ناسور) بن سام بن نوح]

5. Mereka berketurunan Hadram (Ram) bin Arfakhsyd bin Sam bin Nuh [هدرام (رام) بن ارفخشد بن سام]

6. Mereka berketurunan Yusuf bin Ya'qub ibn Ishaq bin Ibrahim [يوسف بن يعقوب بن اسحاق بن ابراهيم]

Kelihatan bangsa Parsi [Farsi] berasal daripada keturunan Nabi Nuh (a.s) menerusi anaknya, Sam. Sam merupakan punca silsilah keturunan pelbagai bangsa besar di dunia seperti Arab, Parsi dan bahkan Yahudi. Penamaan bangsa Samit dan yang berkaitan dengannya [seperti Semitik dll] berhubung secara langsung dan tidak langsung dengan Sam bin Nuh. Analisis ini memperlihatkan Arab, Parsi dan Yahudi berasal daripada asal-usul dan keturunan yang sama.

Dalam konteks perbincangan mengenai keturunan Farsi @ Parsi ini, dikatakan bahawa bangsa Parsi ini merupakan suatu bangsa yang berani. Berikut adalah sejarah ringkas perkembangan bangsa ini secara ringkas:

Mereka dikatakan pada peringkat awal mengikut agama Nuh (a.s) [دين نوح] sehingga sampai kepada zaman Burdasif [برداسف المشرقي] kemudian mereka menganuti mazhab al-Hunafa' [بمذهب الحنفاء] merujuk kepada agama al-Sabi'ah [دين الصابئة] dikenali sebagai al-Sabi'un [الصابئون] pada zaman Tamhurath [طمهورث] @ Tahmuras III [طهمورس] selama hampir 1200 tahun, seterusnya mengikuti agama Majusi menerusi usaha, peranan dan kemunculan Zaradusyt [زرادشت] pada zaman Raja Parsi, Bustasif [بستاسف] yang berlangsung selama 30 tahun yang menyeru (mereka) kepada agama Majusi [دين المجوسية].

Mereka meninggalkan Din al-Sabi'ah [دين الصابئة] dan mengikut Zaradusyt yang diakui sebagai nabi yang diutuskan kepada mereka selama hampir 1000 tahun. Mereka berada dalam agama tersebut sehingga sampai ke zaman Khulafa' al-Rasyidin yang ketiga, Sayyidina 'Uthman ibn 'Affan.

3
SALMAN AL-FARISI DAN BANGSA PARSI DARI PERSPEKTIF PEMIKIRAN ISLAM: ANALISIS DARI ASPEK MODAL INSAN

Bangsa Salman al-Farisi Dari Perspektif Al-Qur'an:
Dalam al-Qur'an, persoalan bangsa Salman al-Farisi telah dikemukakan para mufassir khususnya berkaitan dengan surah al-Jumu'ah (62), ayat ke-3:

وآخرين منهم لما يلحقوا بهم وهو العزيز الحكيم

"Dan (juga) kepada kaum yang lain daripada mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

Dari segi asbab al-nuzul (sebab penurunan ayat) dan tafsirannya dikatakan bahawa ia berhubungan dengan suatu peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah (r.a) dan juga Abu Ja'far (r.a) tentang suatu pertanyaan yang dikemukakan oleh seseorang kepada Nabi Muhammad (s.a.w) mengenai "kaum yang lain" yang dimaksudkan, lalu Nabi (s.a.w) menerangkannya dalam sabda baginda (s.a.w):

و جماعة عن ابي هريره قال : كنا جلوسا عند النبي (ص)حين انزلت سورة الجمعة فتلاها فلما بلغ (وآخرين منهم لما يلحقوا بهم) قالله رجل: يا رسول الله من هؤلاء الذين لم يلحقوا بنا؟ فوضع

يده على سلمان الفارسي (رض) ، و قال: ((والذي نفسي بيده لو كان الايمان بالثريا، لناله رجال من هؤلأء)) فانه صلي الله تعالى عليه وسلم اشار بذلك الى انهم فارس.

"[Demi Tuhan dengan diriku ini di tangan-Nya] sekiranya Iman (al-Iman) berada di (bintang) Thurayya, kaum lelaki daripada golongan ini tentu dapat mencapainya, maka Nabi (SAW) memperlihatkan bahawa mereka merupakan bangsa Farsi [Faris]."

Bangsa Salman al-Farisi Dari Perspektif Al-Hadith:

1. Bangsa Salman al-Farisi dan hubungannya dengan al-Din al-Islami:
Nabi Muhammad (s.a.w) dalam beberapa buah hadith menghubungkan persoalan kelebihan bangsa Parsi [باب فضل فارس] dan Salman al-Farisi kepada al-Din al-Islami seperti berikut:

قال رسول الله (ص) ((لو كان الدين عند الثريا لذهب به رجل من فارس - او قال - من ابناء فارس حتى يتناوله ))

Rasulullah (s.a.w) bersabda: "Sekiranya al-Din berada di (bintang) Thurayya, kaum lelaki daripada golongan ini tentu dapat mencapainya, atau - daripada keturunan Faris sehingga mereka berjaya mencapainya."


2. Bangsa Salman al-Farisi dan hubungannya dengan al-Iman:

عن ابي هريره قال: كنا جلوسا عند النبي (ص) اذ فانزلت عليه سورة الجمعة وآخرين منهم لما يلحقوا بهم قال قلت : من هم يا رسول الله؟ فلم يراجعه حتى ساله ثلاثا و فينا سلمان الفارسي وضع

رسول الله (ص) يده على سلمان ثم قال ((لو كان الايمان عند الثريا، لناله رجال او رجل من هؤلأء)) ((لناله رجال من هؤلاء)).

عن ابي هريره قال: كنا جلوسا عند النبي (ص) اذ نزلت عليه سورة الجمعة فلما قرا: وآخرين منهم لما يلحقوا بهم [الجمعة] قال رجل: من هؤلاء؟ يا رسول الله ! فلم يراجعه النبي (ص) حتى ساله مرة او

مرتين او ثلاثا قال و فينا سلمان الفارسي. قال فوضع النبي (ص) يده على سلمان، ثم قال ((لو كان الايمان عند الثريا، لناله رجال من هؤلأء)).

Rasulullah (s.a.w) bersabda: "Sekiranya al-Iman berada di (bintang) Thurayya, lelaki atau beberapa orang lelaki daripada golongan mereka tentu dapat mencapainya."


3. Bangsa Salman al-Farisi dan hubungannya dengan al-'Ilm:

((والذي نفسي بيده لو كان العلم بالثريا، لناله رجال من هؤلأء))

Rasulullah (s.a.w) bersabda: "Demi diriku yang berada di tangan-Nya, sekiranya al-'Ilm [Ilmu] berada di (bintang) Thurayya, lelaki daripada golongan mereka tentu dapat mencapainya."

Bangsa Salman al-Farisi dari konteks keunikan dan kedinamikan:
Dari segi keunikan dan kedinamikan bangsa atau keturunan Parsi [ابناء فارس] berdasarkan kepada hadith Nabi Muhammad (s.a.w), penelitian dan tumpuan akan diberikan kepada beberapa aspek berikut sebagai landasan untuk memahami kejayaan dan kegemilangan bangsa Salman al-Farisi dalam dunia kini, di antaranya:
1. Keislaman:
2. Keilmuan:
3. Kepimpinan:
4. Ketaatan:
5. Keberanian:
6. Ketamadunan:

Bangsa Salman al-Farisi dan signifikannya kepada Dunia Islam kini:

1. Keislaman:
Bangsa Salman al-Farisi selepas menganuti Islam, menghayati dan mengamali Islam dalam kehidupan mereka dengan sepenuhnya. Mereka membentuk jati diri, kekuatan fizikal, mental dan spiritual berasaskan Islam. Mereka tertarik kepada Islam kerana sikap Rasulullah (s.a.w) terhadap Salman al-Farisi itu sendiri, membebaskan Salman al-Farisi daripada perhambaan, meletakkan bangsa Salman al-Farisi [yang merupakan salah satu bangsa Ajam (bukan Arab)] setaraf dengan bangsa-bangsa lain khususnya bangsa Arab yang begitu fanatik kepada bangsa mereka pada zaman itu.

Bangsa Salman al-Farisi gemar bertanya dan mempersoalkan sesuatu, yang apabila diyakini sesuatu kebenaran agama itu, mereka akan menerimanya dengan sukarela dan bukan secara paksaan walaupun mereka pada asalnya mengikut agama Zoroaster [Majusi].

Bangsa Salman al-Farisi datang ke Madinah, memeluk Islam sama ada pada zaman Nabi Muhammad (s.a.w) mahupun selepasnya dengan penuh ketaatan kepada Nabi Muhammad (s.a.w). Mereka tertarik kepada Islam juga disebabkan sikap dan sifat Ali bin Abi Talib (k.w):

1" Bangsa yang sejak dari zaman Nabi Muhammad (s.a.w) lagi telah memilih untuk mengikuti Ali bin Abi Talib dengan penuh keyakinan menerusi kebenaran Ali bin Abi Talib (k.w) berdasarkan perintah dan sikap Nabi Muhammad (s.a.w) sendiri terhadap Ali bin Abi Talib (k.w).

2" Bangsa yang mengikuti Salman al-Farisi, yang menjejaki setiap langkah Ali bin Abi Talib dan tidak pernah bertukar arah sepanjang hayatnya.

3" Bangsa yang mendokong kekuatan hujah yang mantap dan keyakinan yang tinggi bahawa Ali bin Abi Talib (k.w) merupakan tokoh yang paling layak untuk diikuti dan ditaati [selepas Nabi Muhammad (s.a.w)].

4" Bangsa yang takjub dengan layanan yang ditunjukkan Ali bin Abi Talib (k.w) kepada kedua-dua orang puteri Kerajaan Parsi semasa mereka menjadi tawanan perang, dan selepas memperolehi segala jawapannya, mereka memenuhkan hati mereka dengan kecintaan dan penghormatan terhadap Ali bin Abi Talib (k.w) dan kaum kerabatnya.

5" Sejarah memperlihatkan bahawa ketika para tawanan Mada'in (Tisfun) dibawa ke Madinah, Khalifah kedua, 'Umar ibn al-Khattab memerintahkan semua tawanan wanita [termasuk dua orang puteri Maharaja Parsi, Yazdjard] dijadikan hamba kaum muslim. Bagaimanapun, Ali bin Abi Talib (k.w) tidak membenarkannya dan meminta kedua-dua orang puteri [Maharaja Parsi] itu dikecualikan dan dimuliakan. Kedua-duanya merupakan puteri Maharaja Yazdjard Iran, dan tidak boleh dijadikan hamba. Khalifah bertanya langkah yang perlu diambil, Ali bin Abi Talib (k.w) mencadangkan setiap seorang puteri itu dibenarkan secara bebas memilih calon suami dari kalangan kaum muslim. Justeru, mereka membuat pilihan sendiri. Shahr Zanan memilih Muhammad bin Abu Bakr (r.a) sementara Shahr Banu memilih Husayn bin Ali (r.a), cucu Nabi Muhammad (s.a.w). Shahr Zanan, isteri Muhammad bin Abu Bakr (r.a) telah melahirkan anak lelaki, Qasim al-Faqih, yang merupakan bapa kepada Umm Farwah yang menjadi ibu kepada Imam Ja'far bin Muhammad al-Sadiq (r.a) [Imam ke-6 dalam madhhab Imamiyyah Ithna-Asyariah][Guru kepada empat orang tokoh pengasas mazhab fiqh terkenal, Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah iaitu Abu Hanifah al-Nu'man, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al-Syafi'i dan Ahmad ibn Hanbal]. Shahr Banu pula melahirkan Imam Ali bin al-Husayn Zayn al-Abidin.

Keilmuan:
Bangsa Salman al-Farisi mempunyai para ulama yang ramai dan penguasaan keilmuan dalam pelbagai bidang. Penglibatan dalam semua aspek keilmuan berkaitan keagamaan, termasuk bidang Falsafah, Irfan, Sains, Teknologi dan lain-lain, dengan semua cabang ilmu itu berteraskan Islam dan tidak pernah dilihat terasing daripada Islam dalam versi tersebut. Bangsa yang bersikap terbuka terhadap sains dan teknologi [Barat mahupun Timur] dengan menganggapnya sebagai universal truth yang dijadikan asas dalam pembentukan bangsa tersebut.

Kesannya, bangsa Salman al-Farisi dalam era globalisasi dan dunia tanpa sempadan mempunyai keupayaan dan kebolehan menguasai teknologi nuklear yang merupakan suatu "advantage" khususnya di kalangan negara muslim selain Pakistan terhadap ancaman dan gugatan kuasa non-muslim [Barat mahupun Timur]. Mereka telah pun membuktikan keupayaan dan kebolehan mereka menguasainya dan memperlihatkan sikap tidak bersedia membenarkan hak dan kejayaan itu dirampas oleh non-muslim [Barat mahupun Timur] yang ingin membeku, merampas dan menghapuskannya.

Kepimpinan:
Kepimpinan para ulama tradisional dalam dunia moden dari semua aspek kehidupan. Ketundukan dan kepatuhan kepada suatu sistem kepimpinan berasaskan "top - down" dan bukannya berasaskan "bottom - up."

Justeru, kelihatan dalam konteks revolusi Iran 1979, gerakan dimulakan dari atas mengarah ke bawah dan menggerakkannya sehingga mereka mencapai apa yang mereka cita-citakan hari ini. Ia sama seperti yang dicadangkan oleh salah seorang pemikir muslim terbesar pada abad mutakhir, Sayyid Jamal al-Din al-Afghani. Revolusi ini dikatakan bersifat ketuhanan dan bermatlamat membawa kebahagiaan kepada seluruh umat manusia dan secara khusus muslim seluruh dunia Islam. Dengan kata-kata lain, revolusi Iran dianggap Revolusi Islam kerana ia berasaskan pemikiran dan semangat Islam.

Tradisi kepimpinan yang kuat membolehkan mereka berpengaruh dalam kepimpinan dunia Islam dan kaum muslimin sejagat dalam OIC dan badan-badan dunia berkaitan dunia Islam.

Ketaatan:
Sistem ketaatan yang unik dalam Islam, lanjutan daripada sistem ketaatan kepada al-Imamah dan al-Khilafah dalam tradisi kepimpinan dan hierarki keilmuan mereka, diturunkan kepada konsep dan sistem ketaatan kepada konsep Marja' al-Taqlid dan Wilayah al-Faqih dan seumpamanya. Wali al-Faqih merujuk kepada autoriti perundangan tertinggi, manakala Wilayah al-Faqih berperanan sebagai institusi yang merentasi ketiga-tiga kuasa tertinggi dalam negara atau kerajaan. Ia merupakan autoriti spiritual [sebelum kemunculan Imam yang tersembunyi yang akan muncul pada akhir zaman bagi membawa keadilan kepada dunia].

Kewujudan majlis ulama tertinggi sebagai badan tertinggi untuk menangani isu-isu peringkat tertinggi melibatkan polisi negara dan survivalnya. Dalam kepimpinan di peringkat kementerian, budaya "check and balance" dilaksanakan dengan seorang alim besar ditempatkan untuk memantau dan memastikan halatuju yang betul diikuti.

Para ulama akur dan patuh kepada kepimpinan ulama tertinggi. Bangsa Salman al-Farisi merupakan warga dan rakyat yang akur, taat dan patuh kepada para ulama. Sebarang keputusan yang diputuskan diterima tanpa berbelah bahagi dan mereka komited dengan keputusan yang dibuat. Kelihatan konsep ulama seperti disebutkan dalam al-Qur'an dan al-Hadith, iaitu "انما يخشى الله من عباده العلماء" dan "العلماء ورثة الانبياء" dipraktikkan dan diimplementasikan dalam realiti.

Keberanian:
Keberanian mempertahankan kebenaran seperti Salman al-Farisi dengan penuh keyakinan dan ketaatan, mempertahankan kebenaran dengan segala keberaniannya dan sejarah membuktikan bahawa beliau tetap bersama-sama al-Qur'an dan kebenaran sepanjang hidupnya. Bangsa Salman al-Farisi hari ini memiliki sifat dan sikap tidak bertolak ansur dalam urusan membabitkan kebenaran dan kebatilan dan juga dalam isu-isu sensitif yang melibatkan kepentingan Islam. Bangsa yang berusaha untuk "liberate" rakan-rakan non-muslim mereka dalam masyarakat Barat daripada kesalahfahaman dan propaganda palsu terhadap Islam sebagai agama dan sistem kehidupan:
" Pada zaman Nabi (s.a.w), beberapa pucuk surat diutuskan kepada tokoh berikut untuk memperkenalkan dan mengajak mereka kepada Islam seperti kepada Maharaja Rom, Parsi dan Habsyah.
" Pada zaman moden pula, beberapa contoh seumpama itu diikuti dan ditunjukkan oleh bangsa Salman al-Farisi di antaranya:
" Surat Imam Khomeini kepada Presiden Russia, Mikhail Gorbachev mengajaknya mengenali Islam,
" Surat Presiden Iran, Ahmadinejad kepada Presiden Amerika Syarikat, George Bush dengan tujuan yang sama.
" Sepucuk surat oleh Shaykh Mohammad Hossein Kashef al-Gheta kepada rakannya berbangsa Amerika, Garland Evans Hopkins [Vice-President of the Friends of the Middle East] di Timur Tengah [sekitar tahun 1954].
Bangsa Salman dengan keberanian mengajak negara-negara muslim kembali kepada Islam dan memperingatkan mereka tentang musuh-musuh Islam. Contoh: Sepucuk surat kepada Mohammad Ali, Perdana Menteri Pakistan bertarikh 20 Rajab 1373 mengandungi nasihat dan peringatan kepada Pakistan sebagai sebuah bangsa yang dibentuk atas nama Islam dan berada dalam naungan Islam serta kedudukan Amerika Syarikat sebagai musuh Allah dan musuh Nabi (s.a.w)

Kashef al-Ghita menjelaskan perselisihan yang berlaku di kalangan muslim, yang dianggap olehnya sebagai kejahilan. Katanya: "Kita muslim sentiasa berangan-angan. Kita mempunyai kata-kata yang bijaksana tetapi tanpa tindakan. Kita menyelesaikan persoalan kulit tetapi bukan persoalan isi. Kita memberikan perhatian yang keterlaluan kepada perkara cabang [furu'] tetapi bukan kepada asas [usul]. Kita berlawanan dengan keturunan kita. Mereka merupakan manusia yang bertindak dan dikurniai ketekunan dan kegembiraan. Mereka lebih sensitif terhadap kebenaran dalam perbuatan mereka berbanding dalam perkataan mereka. Mereka tegas dalam memenuhi matlamat mereka tanpa bersusah payah. Menerusi penerimaan sifat baik dan murni keturunan kita itulah orang lain telah mendahului kita. Pada masa lepas, kita mendahului mereka, kini mereka mendahului kita pula."

Bangsa yang berusaha untuk berdikari dan tidak mahu bergantung kepada orang atau bangsa lain seperti kata-kata oleh Kashef al-Ghita sendiri: "Today, all moslems, even the deaf and the dumb, are aware that in every segment and in every corner of the Islamic lands exist serpents of deception with their mouths wide open in order to swallow the earth and everything on it. Is this situation itself not a good cause for muslim unity? Is it not enough to inflame their pride and courage and determine them to achieve their will? Is the intensity of their pain and hardship not enough to motivate them to unite and wipe out their vendettas?"

Berhubung dengan isu tenaga nuklear, Ayatollah Khamenei menjelaskan alasan pihak musuh khususnya musuh Islam untuk menghalanginya adalah kerana "the gist of what enemies say is that the Iranian nation should not have nuclear technology, since it will become strong, and they will no longer be able to bully and intimidate it." Seterusnya dikatakan: "If today the Iranian nation does not possess and benefit from nuclear technology, it will lag behind for several decades and in a not too far future, it will have to beg for fuel from the aliens and enemies, who will humiliate and trample on the honor and dignity of our nation if they fulfill just a small part of its requirements."

Ketamadunan:
Perbincangan mengenai tamadun dan ketamadun bangsa Salman al-Farisi akan memerlukan suatu perbincangan yang berasingan kerana mereka merupakan bangsa yang mengalami proses kebangkitan dan kejatuhan pelbagai tamadun sepanjang zaman sehingga ke hari ini. Tamadun dan ketamadun bangsa ini membolehkan mereka mempunyai pendedahan, pengalaman dan pengaruh yang cukup besar dari segi kesan dan impaknya. Perbandingan yang lebih jelas akan dapat dilihat sekiranya proses perbandingan individu dan bangsa yang bertamadun dan individu dan bangsa yang tidak bertamadun dilakukan. Bangsa yang mengalami pertembungan budaya dan intelektual mempunyai corak dan bentuk pemikiran yang jauh lebih terbuka, dinamik, progresif dan pro-aktif, manakala perkara yang sebaliknya pula berlaku kepada bangsa yang tidak atau kurang bertamadun.

Dalam hal ini, bangsa Salman al-Farisi yang mempunyai sejarah dan tamadun yang besar telah memperlihatkan kekuatan, kewibawaan dan keunggulan dalam dunia ini. Mereka berjaya mengekalkan tamadun dan ketamadunan mereka dan bahkan memperkasakannya sehingga kini membolehkan mereka dikenali sebagai salah sebuah bangsa yang dominan dan terkehadapan dalam dunia Islam, dan dunia bukan Islam sendiri.

4
SALMAN AL-FARISI DAN BANGSA PARSI DARI PERSPEKTIF PEMIKIRAN ISLAM: ANALISIS DARI ASPEK MODAL INSAN

Konklusi:
Presiden Republik Islam Iran, Mahmud Ahmadi-Nejad menyatakan bahawa bangsa Iran merupakan bangsa yang suka berdamai dan bersahabat [a nation of "peace and friendship"] yang selalu mendokong keamanan, ketenteraman dan keselamatan kepada semua bangsa di dunia. Dikatakan bahawa untuk menjadi model dan contoh bangsa dan masyarakat, bangsa Iran hendaklah mengamalkan disiplin, kesatuan, kesetiakawan, bersatu, bekerjasama dan bekerja kuat dengan penuh kebijaksanaan dan keberanian. Dengan demikian, tiada suatu kuasa akan mampu menghalang laluan ketawhidan bangsa Iran. Hal yang sama telah ditegaskan oleh pemimpin tertinggi Kerajaan Republik Islam Iran, Ayatollah Seyyed Ali Khamenei yang menyatakan bahawa "no nation will achieve progress without striving, perseverance, innovation and initiative."

CATATAN KAKI:
1. Abu Nu'aim al-Asbahani, al-Hafiz Abi Nu'aim Ahmad bin 'Abdullah (336-430/948-1039), Hilyah al-Awliya' wa Tabaqat al-Asfiya', Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, Cet. II, 1387/1967, I, h.185-208; Hasan Ibrahim Hasan, Dr., [1400/1980] Zu'ama' al-Islam, al-Qahirah: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, h.93; al-Kandahlawy, Muhammad Yusof [t.t], Hayat al-Sahabah, Halab: Dar al-Wa'y, Cet. Baru, II, h.181; Shorter Encyclopaedia of Islam, h.500.
2. http://www.binoria.org/ArticleArchives/Personality/p001.asp [4/19/2006]
3. Lihat: Isaiah 21: 13-14; Lihat sama: Ibn Ishaq, Muhammad (m.151/768), Sirah, Khidmat al-Khayriyyah Idarat al-Nasyr wa al-Tawzi'; Hasan Ibrahim Hasan, Dr., Zu'ama' al-Islam, h.94.
4. Lihat: Isaiah 42; Lihat: Ibn Hisham, 'Abd al-Malik (m.219/834) [1981], Sirah al-Nabi, I, Beirut: Dar al-Fikr, h.228-234; al-Dhahabi, Siyar A'lam al-Nubala', I, h.508.
5. Ibn al-Athir, 'Izz al-Din bin al-Athir Abi al-Hasan 'Ali bin Muhammad al-Juzari (m.630/1233) [t.t], Usd al-Ghabah Fi Ma'rifat al-Sahabah, Dar al-Sya'b, II, h.421; Hasan Ibrahim Hasan, Dr., Zu'ama' al-Islam, h.99.
6. Shorter Encyclopaedia of Islam, h.500.
7. Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah, II, h.420.
8. Hasan Ibrahim Hasan, Dr., op.cit, h.98.
9. Contoh hadith riwayat Salman al-Farisi, lihat: al-Dhahabi, Shams al-Din Muhammad bin Ahmad bin 'Uthman (m.748/1374), Siyar A'lam al-Nubala', Beirut: Mu'assasah al-Risalah, I, h.505; Husayn al-Syakiri [1412/1992], 'Ali fi al-Kitab wa al-Sunnah, Qum: Muassasah Ansariyan, I, h.302-303; 358-359; 379.
10. Ibn Hisham, Sirah, I, h.228-234; Abu Nu'aim al-Asbahani, Hilyat al-Awliya', I, h.192; al-Dhahabi, Siyar A'lam al-Nubala', I, h.524.
11. Lihat: Al-Haythami, Majma' al-Zawa'id, IX, h.131; Ibn Hajar al-Haythami, Ahmad bin Hajar al-Haythami al-Makki (m.974/1566), al-Sawa'iq al-Muhriqah fi al-Radd 'ala Ahl al-Bid' wa al-Zindiqah, Dar al-Kitab al-'Ilmiyyah, Beirut, Cet.I, 1403/1983, h.96; Abu Nu'aim al-Isbahani, Hilyat al-Awliya', I, h.190.
12. Hasan Ibrahim Hasan, Dr., Zu'ama' al-Islam, h.97.
13. Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah, II, h.417.
14. Lihat: Ibn Hanbal, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (164-241/781-856), al-Musnad, Dar al-Ma'arif, Misr, Cet.IV, 1373/1954, V, h.351; al-Tirmidhi, Abu 'Isa Muhammad bin 'Isa bin Sarwah (m.279/892), Sahih, Matba'ah Mustafa al-Bab al-Halabi, Misr, Cet.II, 1395/1975, II, h.299; al-Hakim, Abi 'Abd-Allah Muhammad bin 'Abd-Allah al-Hakim al-Naysaburi (m.321-405/933-1014), al-Mustadrak 'ala al-Sahihain fi al-Hadith, Dar al-Fikr, Beirut, 1398/1978, III, h.130; al-Fayruzabadi, Fada'il al-Khamsah min al-Sihhah al-Sittah, II, h.200-202; Abu Nu'aim al-Isfahani, Hilyah al-Awliya', I, h.172, 190; al-Haythami, Majma' al-Zawa'id, IX, h.155; Ibn Hajar, Ahmad bin 'Ali bin Muhammad bin Muhammad bin 'Ali bin Ahmad (m.852/1448), Tahdhib al-Tahdhib, Hyderabad, 1326/1908, X, h.282; Ibn 'Abd al-Barr, Yusuf bin 'Abd-Allah al-Namiri al-Qurtubi (368-463/979-1071), al-Isti'ab Fi Ma'rifah al-Ashab, Matba'ah Da'irah al-Ma'arif al-Nizamiyyah, Hyderabad, Deccan, Cet.II, 1336/1917, I, h.280; II, h.557; Ibn Hajar al-Haythami al-Makki, al-Sawa'iq al-Muhriqah, [Hadith no.5 - riwayat al-Tirmidhi dan al-Hakim, menerusi al-Buraydah daripada Nabi Muhammad (s.a.w)]
15. Ibn Hajar al-Haythami al-Makki, ibid, [Hadith no.39 - riwayat daripada al-Tirmidhi dan al-Hakim menerusi Anas bin Malik daripada Nabi Muhammad (s.a.w)]; al-Haythami, Majma' al-Zawa'id, IX, h.117; Abu Nu'aim al-Isbahani, Hilyat al-Awliya', I, h.190.
16. Lihat asbab al-Nuzul kepada Surah al-'Asr.[Lihat: Syihab al-Din Ahmad al-Syirazi al-Hasani al-Syafi'i, Tawdih al-Dala'il, h.171; al-Hilli, al-Hasan bin Yusuf al-Mutahhar (m.726/1326), Dala'il al-Sidq, II, h.267; Husayn al-Syakiri, 'Ali fi al-Kitab wa al-Sunnah, h.358-359.
17. Al-Haythami, Majma' al-Zawa'id, IX, h.117 [Riwayat al-Bazzar], h.155; al-Muttaqi al-Hindi, 'Ali bin Husam al-Din (m.975/1567), Kanz al-'Ummal Fi Sunan al-Aqwal wa al-Af'al, Matba'ah Majlis Da'irah al-Ma'arif al-'Uthmaniyyah, Hyderabad, Deccan, Cet.II, 1374/1954, VI, h.428; al-Fayruzabadi, Fada'il al-Khamsah, II, h.200-202; al-Waqidi, Muhammad ibn `Umar, (m.129/747 @ 208/823)[1966], Maghazi, Oxford University Press, II, h.446; Ibn Hisyam, Sirah, II, h.224;
18. Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah, II, h.421; al-Dhahabi, Siyar A'lam al-Nubala', I, h.539; Hasan Ibrahim Hasan, Dr., Zu'ama' al-Islam, h.97 dan 98.
19. Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah, II, h.420.
20. Lihat: 'Ali Sa'adat Tharwar (1213/1798), Sirr al-Isra' fi Syarh Hadith al-Mi'iraj, III, Qum, h.120; al-Majlisi, Muhammad Baqir (m.1111/1691), Bihar al-Anwar al-Jami'ah li Durar Akhbar al-A'immah al-Athar, Dar Ihya' al-Turath al-'Arabi, Mu'assasah al-Tarikh al- 'Arabi, Beirut, 1412/ 1992, XXII, h.347.
21. Al-Kulayni, Abi Ja'far Muhammad ibn Ya'qub bin Ishaq al-Kulayni al-Razi (m.328-9/ 940), Usul al-Kafi, Dar al-Adwa', Beirut,1413/1992, II, h.336.
22. Lihat: Al-'Aini, Badr al-Din Abi Muhammad Mahmud bin Ahmad (m.855/1451), [t.t], 'Umdat al-Qari Syarh Sahih al-Bukhari, XIX, Dar al-Fikr, h.235.
23. Al-'Aini, ibid, XIX, h.235.
24. Al-'Aini, ibid, XIX, h.235.
25. Kaum Yahudi beranggapan bahawa hanya kaum dan bangsa mereka sahaja berketurunan Sam bin Nuh, sehingga sebarang bentuk tentangan dan serangan terhadap kaum Yahudi dianggap sebagai "anti-Semitik," sedangkan dari segi realitinya, bangsa tersebut merupakan salah satu bangsa Semitik [dinisbahkan kepada Sam bin Nuh] dan bukanlah satu-satunya bangsa daripada rumpun Semitik.
26. Ibid, h.454.; Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari, VIII, h.454.
27. Al-'Aini, 'Umdat al-Qari, XIX, h.236.
28. Al-Tabarsi, Abu 'Ali al-Fadil bin al-Hasan (m.548/1128) [t.t], Majma' al-Bayan, IX, Beirut: Dar Ihya' al-Turath al-'Arabi, h.284.
29. Al-Alusi, Syihab al-Din Mahmud bin 'Abd-Allah (m.1270/1854), [t.t], Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Qur'an al-'Azim wa al-Sab' al-Masani, XXVIII, Beirut: Dar al-Fikr, h.94; al-Tabataba'i, al-Sayyid Muhammad Husayn (m.1321/1903) (t.t), al-Mizan, XIX, 1394/1974, Cet.II, h.268-269.
30. Al-Tabari, Abu Ja'far Muhammad bin Jarir (m.310/923), (t.t), Jami' al-Bayan, XXVI, h.96; al-Zamakhsyari, Jar Allah Abu al-Qasim Mahmud bin 'Umar (m.538/1144) (t.t), al-Kasysyaf, IV, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, Cet. Akhir, 1392/1972, h.102; al-Khazin, 'Ala' al-Din 'Ali bin Muhammad bin Ibrahim (m.725/1341) [t.t], Lubab al-Ta'wil, IV, Mesir: Dar al-Kutub al-'Arabiyyah al-Kubra, h.284.
31. Muslim, Abu al-Husayn Muslim bin Hajjaj (m.261/875) (t.t), Sahih, IV, [Tahqiq: 'Abd al-Baqi], 'Isa al-Babi al-Halabi wa Syurakah, h.1972.
32. Al-Bukhari, Abu 'Abd-Allah Muhammad bin Isma'il (m.256/870), Matn al-Bukhari: Bi-Hasyiyah al-Sanadi, III, Sinqapurah-Jaddah: al-Haramayn, h.201.
33. Muslim, (t.t), ibid, IV, h.1973; al-Bukhari, ibid, III, h.201-202; al-'Aini, 'Umdat al-Qari, XIX, h.235, 391; Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari, VIII, h.453-454; al-Khazin, Lubab al-Ta'wil, IV, h.284.
34. Al-Tabataba'i, (t.t), al-Mizan, XIX, 1394/1974, Cet.II, h.268-269; Lihat sama: Ibn Hanbal, al-Musnad, XV, h.96 [Hadith no.7937 - dinyatakan juga bahawa hadith seumpama ini turut dikemukakan oleh al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidhi dan al-Nasa'i]
35. Al-'Aini, 'Umdat al-Qari, XIX, h.235.
36. Ali al-Hashimi, Dr., (1987/1407), Friday Prayer Lectures on Selected Islamic Subjects, Sepehr: IPO [268], h.43.
37. Seyyed Vali Reza Nasr (1993), "Religious Modernism in the Arab World, Indian and Iran: The Perils and Prospects of Discourse," The Muslim World, V.83, h.35.
38. R.K.Ramazani (1990), "Iran's Export of the Revolution: Politics, Ends and Means," dlm. John L. Esposito (ed.), The Iranian Revolution, Its Global Impact, Miami: Florida International University Press, h.48.
39. The Islamic Consultative Assembly of the Islamic Republic of Iran, 1984/1404, Sepehr, IPO, h.14.
40. R.K.Ramazani, ibid, h.48.
41. The Islamic Consultative Assembly, h.18-19.
42. Kashef al-Gheta (1987/1407), Islamic Anti-Imperialism, Sepehr: IPO [273], h.7-37. [Bahkan banyak lagi perutusan seumpama itu telah dilakukan oleh barisan kepimpinan bangsa Salman al-Farisi.]
43. Ibid, h.38.
44. Ibid, h.40.
45. Ibid, h.41.
46. http://www.khamenei.ir/EN/News/detail.jsp?id=20060321B [23 June 2006]
47. http://www.khamenei.ir/EN/News/detail.jsp?id=20050628A. [23 Jun 2006]

5

Terkait Berita: