Dalam proses pemakaman Nabi saw yang hampir tidak dihadiri mayoritas sahabatnya, termasuk Abu Bakar dan Umar karena “perebutan” kekuasaan.. Hanya keluarga Rasul, termasuk Ali -yang tidak pernah meninggalkan Nabi saw ketika sakit karena menerima wasiat untuk mengurus jenazahnya- dan sebagian kecil sahabat yang mengebumikan jasad Rasulullah saw.
Mungkin
bagi netter yang suka gugling menemukan dua versi sekitar kewafatan Nabi
Muhammad saw. Versi pertama yang dianut Sunni dan versi terakhir yaang
diyakini Shi’i. Masing-masing mempunyai hadith utama yang sahih yaitu
yang berasal dari para Ummu al-Mukminin. Kaum Sunni mendukung riwayat
yang dilaporkan oleh Aisyah sedangkan Shi’i berdasarkan dari Ummu
Salamah, dan berbagai riwayat dari jalur Ali, Ibn Abbas, Jabir bin
Abdullah, bahkan dari Aisyah sendiri (lihat Ibn Asakir dalam tarikhnya
J. 3: 15).
Dalam versi Sunni Aisyah disebutkan bahwa Nabi wafat ketika berada di pangkuannya. Sedangkan versi Ummu Salamah menunjukkan bahwa sahabat terakhir yang tinggal bersama Rasulullah saw adalah Ali.
Dalam peristiwa ini tidak mungkin untuk membenarkan semuanya, pasti salah satunya bohong atau dipalsukan. Namun sebagian ulama mengkompromikan kedua hadith tersebut, misalnya di dalam kitab Fathul Bari, Ibn Hajar berkata: Kompromi (antara dua hadits tersebut) dapat dilakukan dengan menerangkan bahwa ‘Ali adalah orang yang terakhir bersama Nabi, dan ia tidak meninggalkan Nabi, sampai Nabi pingsan. Ketika Nabi pingsan, ia mengira beliau telah wafat. Karena itu, ‘Ali dari pihak laki-laki adalah orang terakhir yang menunggui Nabi. Namun kemudian Rasulullah saw sadar kembali ketika ‘A’isyah datang. Lalu ‘A’isyah menyandarkan Nabi di atas dadanya, dan Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits melalui saluran Yazid ibn Babanus: “Pada suatu hari kepala Rasulullah berada di atas pundakku tatkala beliau memiringkan kepalanya ke arah kepalaku. Aku kira beliau memerlukan kepalaku. Lalu terpercik setetes (ludah) dingin dari mulut beliau yang menimpa rongga dadaku. Aku gemetar, kukira beliau pingsan. Maka akupun menutupnya dengan baju”. (Lihat Fathul Bari, jilid 8, hal. 139).
Menurut saya pengkompromian hadith tersebut tidak sepenuhnya benar karena bagaimana bisa Ali salah dalam mengira Nabi saw wafat atau pingsan? karena hampir semua sahabat tatkala menjenguk dan melihat Nabi -yang sudah wafat-, mengetahui bahwa Rasulullah benar-benar wafat. Kecuali Umar (sebagian ulama mengatakan Umar berakting) dengan mengatakan bahwa Nabi tidak wafat tetapi Nabi pergi dan akan kembali seperti Musa meninggalkan kaumnya, yang kemudian percaya bahwa Nabi saw benar-benar wafat tatkala Abu Bakar datang, padahal sebagian sahabat telah menyakinkan akan kewafatan Nabi saw.
Untuk mengetahui riwayat mana yang tertuduh palsu, direkayasa mungkin analisa rawi serta hubungannya dengan pelaku dalam riwayat tersebut. misalnya bagaimana hubungan Aisyah dengan Ummu Salamah, dst. Secara garis besar hubungan antara Nabi saw, Ali, serta para Ummu al-Mukminin, masing-masing tidaklah begitu berseberangan, meski ada sedikit masalah antara Nabi saw dengan kecemburuan Aisyah pada Sayyidah Khadijah. Setidaknya yang patut dicurigai adalah ketidaksukaan Aisyah kepada Ali karena sikap tersebut sudah ada sejak Nabi saw masih hidup. beberapa riwayat menceritakan bagaimana sikap Aisyah terhadap Ali, misalnya:
Imam Ahmad menceritakan yang berasal dari Nu’man bin Basyir, lihat dalam musnad penduduk Kufah: ‘Abu Bakar memohon izin menemui Rasul Allah saw dan ia mendengar suara keras Aisyah yang berkata: ‘Demi Allah, aku telah tahu bahwa engkau lebih mencintai Ali dari ayahku dan diriku!’, dan ia mengulanginya dua atau tiga kali’. kemudian Abu Bakar menasehati putrinya tersebut karena berkata lantang keras melebihi suara Nabi saw.
Tatkala sakit Rasul Allah bertambah berat, beliau dibawa ke masjid, dipapah oleh dua orang, yaitu Fadhl bin Abbas bin ‘Abdul Muththalib, dan seorang lagi. Hadis ini diriwayatkan oleh Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah, dari Aisyah. Ubaidillah kemudian berkata: ‘Apa yang dikatakan oleh Aisyah kepadaku, kusampaikan kepada Abdullah bin Abbas, yang mengembalikan pertanyaan kepadaku: “Tahukah engkau siapa gerangan orang yang tidak disebutkan namanya oleh Aisyah?’ ‘Tidak’, jawabku. Dan kemudian menambahkan: ‘Sungguh, Aisyah tidak pernah merasa senang dengan segala berita baik mengenai Ali’.(Imam Ahmad bin Hanbal, dalam Musnadnya, jilid VI, hlm. 23 dan 238; Ibnu Sa’d dalam Thabaqat, jilid 2, bab 2, hlm. 29; Thabari, dalam Tarikhnya, (edisi Leiden) jilid 2, hlm. 18001801; Baladzuri, Ansab alAsyraf, jilid 1, hlm. 544545; Baihaqi, Sunan, jilid 2. hlm. 396 dll).
Imam Ahmad, dalam Musnadnya, mengatakan bahwa tatkala orang datang kepada Aisyah dengan mencaci Ali bin Abi Thalib dan ‘Ammar bin Yasir, Aisyah berkata: ‘Aku tidak akan mengatakan apa pun mengenai Ali, sedang mengenai ‘Ammar aku telah mendengar Rasul Allah saw bersabda: ‘Ia tidak akan memilih akan dua urusan kecuali ia akan memilih yang lurus’.
Dengan kebencian seperti itu tidak mustahil Aisyah memanipulasi -atau kemungkinan dijadikan sandaran- riwayat seputar kewafatan Nabi saw dengan dirinya, bukan dengan sahabat terbaik Nabi, Ali bin Abi Thalib. Wa Allah A’lam
Selanjutnya dalam proses pemakaman Nabi saw yang hampir tidak dihadiri mayoritas sahabatnya, termasuk Abu Bakar dan Umar karena “perebutan” kekuasaan. Hanya keluarga Rasul, termasuk Ali -yang tidak pernah meninggalkan Nabi saw ketika sakit karena menerima wasiat untuk mengurus jenazahnya- dan sebagian kecil sahabat yang mengebumikan jasad Rasulullah saw sebagaimana diriwayatkan berikut:
Aisyah berkata: ‘Kami tidak mengetahui penguburan Rasul sampai kami mendengar suarasuara gesekan di tengah malam Rabu’. (Ibnu Hisyam, Sirah, jilid 4, hlm. 344; Thabari, Tarikh, jilid 2, hlm. 452, 455 (terbitan Leiden, jilid 1, hlm. 1833, 1837); Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 5, hlm. 270; Ibnu Atsir, Usdu’lGhabah, jilid 1, hlm. 34, dalam membicarakan ArRasul disebut juga riwayat lain, bahwa terdengarnya suara gesekan dan bunyi keriak keriuk adalah pada malam Selasa, seperti dalam Thabaqat Ibnu Sa’d, jilid 2, Bab 2, hlm. 78 dan Tarikh Khamis, jilid 1, hlm. 191; sedang Dzahabi dalam Tarikhnya, jilid 1, hlm. 327 menguatkan bahwa penguburan dilakukan pada akhir malam Rabu juga Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 62 dan pada hlm. 242 dan 274: “Kami tidak mengetahui di mana ia dikuburkan sampai kami mendengar..”).
Yang melakukan penguburan hanyalah keluarga Rasul, yaitu orangorang yang memandikannya seperti Abbas, Ali, Fadhl dan Shalih (maula Rasul Allah) tiada orang lain.
‘Dan tiada yang mengurus (penguburan Rasul) kecuali keluarga dekatnya dan Banu Ghanm yang berada di rumah mereka telah mendengar suara keriatkeriut’.
Seorang tua kaum Anshar dari Banu Ghanm berkata: ‘Aku mendengar bunyi sesuatu yang bergesek pada akhir malam’. (Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 2, Bab 2, hlm. 78).
‘Yang masuk ke liang kubur adalah Ali, Fadhl bin Abbas dan Qutsam bin Abbas serta Syuqran, (maula Qutsam). Dan ada yang menyebutkan juga Usamah bin Zaid. Merekalah yang membalikkan jenazah Rasul Allah saw, memandikan dan mengafaninya serta mengurus segala sesuatunya. Abu Bakar dan Umar tidak menghadirinya’. (Alauddin Muttaqi alHindi, Kanzu’lUmmal, jilid 3, hlm. 14).
Dalam versi Sunni Aisyah disebutkan bahwa Nabi wafat ketika berada di pangkuannya. Sedangkan versi Ummu Salamah menunjukkan bahwa sahabat terakhir yang tinggal bersama Rasulullah saw adalah Ali.
Dalam peristiwa ini tidak mungkin untuk membenarkan semuanya, pasti salah satunya bohong atau dipalsukan. Namun sebagian ulama mengkompromikan kedua hadith tersebut, misalnya di dalam kitab Fathul Bari, Ibn Hajar berkata: Kompromi (antara dua hadits tersebut) dapat dilakukan dengan menerangkan bahwa ‘Ali adalah orang yang terakhir bersama Nabi, dan ia tidak meninggalkan Nabi, sampai Nabi pingsan. Ketika Nabi pingsan, ia mengira beliau telah wafat. Karena itu, ‘Ali dari pihak laki-laki adalah orang terakhir yang menunggui Nabi. Namun kemudian Rasulullah saw sadar kembali ketika ‘A’isyah datang. Lalu ‘A’isyah menyandarkan Nabi di atas dadanya, dan Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits melalui saluran Yazid ibn Babanus: “Pada suatu hari kepala Rasulullah berada di atas pundakku tatkala beliau memiringkan kepalanya ke arah kepalaku. Aku kira beliau memerlukan kepalaku. Lalu terpercik setetes (ludah) dingin dari mulut beliau yang menimpa rongga dadaku. Aku gemetar, kukira beliau pingsan. Maka akupun menutupnya dengan baju”. (Lihat Fathul Bari, jilid 8, hal. 139).
Menurut saya pengkompromian hadith tersebut tidak sepenuhnya benar karena bagaimana bisa Ali salah dalam mengira Nabi saw wafat atau pingsan? karena hampir semua sahabat tatkala menjenguk dan melihat Nabi -yang sudah wafat-, mengetahui bahwa Rasulullah benar-benar wafat. Kecuali Umar (sebagian ulama mengatakan Umar berakting) dengan mengatakan bahwa Nabi tidak wafat tetapi Nabi pergi dan akan kembali seperti Musa meninggalkan kaumnya, yang kemudian percaya bahwa Nabi saw benar-benar wafat tatkala Abu Bakar datang, padahal sebagian sahabat telah menyakinkan akan kewafatan Nabi saw.
Untuk mengetahui riwayat mana yang tertuduh palsu, direkayasa mungkin analisa rawi serta hubungannya dengan pelaku dalam riwayat tersebut. misalnya bagaimana hubungan Aisyah dengan Ummu Salamah, dst. Secara garis besar hubungan antara Nabi saw, Ali, serta para Ummu al-Mukminin, masing-masing tidaklah begitu berseberangan, meski ada sedikit masalah antara Nabi saw dengan kecemburuan Aisyah pada Sayyidah Khadijah. Setidaknya yang patut dicurigai adalah ketidaksukaan Aisyah kepada Ali karena sikap tersebut sudah ada sejak Nabi saw masih hidup. beberapa riwayat menceritakan bagaimana sikap Aisyah terhadap Ali, misalnya:
Imam Ahmad menceritakan yang berasal dari Nu’man bin Basyir, lihat dalam musnad penduduk Kufah: ‘Abu Bakar memohon izin menemui Rasul Allah saw dan ia mendengar suara keras Aisyah yang berkata: ‘Demi Allah, aku telah tahu bahwa engkau lebih mencintai Ali dari ayahku dan diriku!’, dan ia mengulanginya dua atau tiga kali’. kemudian Abu Bakar menasehati putrinya tersebut karena berkata lantang keras melebihi suara Nabi saw.
Tatkala sakit Rasul Allah bertambah berat, beliau dibawa ke masjid, dipapah oleh dua orang, yaitu Fadhl bin Abbas bin ‘Abdul Muththalib, dan seorang lagi. Hadis ini diriwayatkan oleh Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah, dari Aisyah. Ubaidillah kemudian berkata: ‘Apa yang dikatakan oleh Aisyah kepadaku, kusampaikan kepada Abdullah bin Abbas, yang mengembalikan pertanyaan kepadaku: “Tahukah engkau siapa gerangan orang yang tidak disebutkan namanya oleh Aisyah?’ ‘Tidak’, jawabku. Dan kemudian menambahkan: ‘Sungguh, Aisyah tidak pernah merasa senang dengan segala berita baik mengenai Ali’.(Imam Ahmad bin Hanbal, dalam Musnadnya, jilid VI, hlm. 23 dan 238; Ibnu Sa’d dalam Thabaqat, jilid 2, bab 2, hlm. 29; Thabari, dalam Tarikhnya, (edisi Leiden) jilid 2, hlm. 18001801; Baladzuri, Ansab alAsyraf, jilid 1, hlm. 544545; Baihaqi, Sunan, jilid 2. hlm. 396 dll).
Imam Ahmad, dalam Musnadnya, mengatakan bahwa tatkala orang datang kepada Aisyah dengan mencaci Ali bin Abi Thalib dan ‘Ammar bin Yasir, Aisyah berkata: ‘Aku tidak akan mengatakan apa pun mengenai Ali, sedang mengenai ‘Ammar aku telah mendengar Rasul Allah saw bersabda: ‘Ia tidak akan memilih akan dua urusan kecuali ia akan memilih yang lurus’.
Dengan kebencian seperti itu tidak mustahil Aisyah memanipulasi -atau kemungkinan dijadikan sandaran- riwayat seputar kewafatan Nabi saw dengan dirinya, bukan dengan sahabat terbaik Nabi, Ali bin Abi Thalib. Wa Allah A’lam
Selanjutnya dalam proses pemakaman Nabi saw yang hampir tidak dihadiri mayoritas sahabatnya, termasuk Abu Bakar dan Umar karena “perebutan” kekuasaan. Hanya keluarga Rasul, termasuk Ali -yang tidak pernah meninggalkan Nabi saw ketika sakit karena menerima wasiat untuk mengurus jenazahnya- dan sebagian kecil sahabat yang mengebumikan jasad Rasulullah saw sebagaimana diriwayatkan berikut:
Aisyah berkata: ‘Kami tidak mengetahui penguburan Rasul sampai kami mendengar suarasuara gesekan di tengah malam Rabu’. (Ibnu Hisyam, Sirah, jilid 4, hlm. 344; Thabari, Tarikh, jilid 2, hlm. 452, 455 (terbitan Leiden, jilid 1, hlm. 1833, 1837); Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 5, hlm. 270; Ibnu Atsir, Usdu’lGhabah, jilid 1, hlm. 34, dalam membicarakan ArRasul disebut juga riwayat lain, bahwa terdengarnya suara gesekan dan bunyi keriak keriuk adalah pada malam Selasa, seperti dalam Thabaqat Ibnu Sa’d, jilid 2, Bab 2, hlm. 78 dan Tarikh Khamis, jilid 1, hlm. 191; sedang Dzahabi dalam Tarikhnya, jilid 1, hlm. 327 menguatkan bahwa penguburan dilakukan pada akhir malam Rabu juga Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 62 dan pada hlm. 242 dan 274: “Kami tidak mengetahui di mana ia dikuburkan sampai kami mendengar..”).
Yang melakukan penguburan hanyalah keluarga Rasul, yaitu orangorang yang memandikannya seperti Abbas, Ali, Fadhl dan Shalih (maula Rasul Allah) tiada orang lain.
‘Dan tiada yang mengurus (penguburan Rasul) kecuali keluarga dekatnya dan Banu Ghanm yang berada di rumah mereka telah mendengar suara keriatkeriut’.
Seorang tua kaum Anshar dari Banu Ghanm berkata: ‘Aku mendengar bunyi sesuatu yang bergesek pada akhir malam’. (Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 2, Bab 2, hlm. 78).
‘Yang masuk ke liang kubur adalah Ali, Fadhl bin Abbas dan Qutsam bin Abbas serta Syuqran, (maula Qutsam). Dan ada yang menyebutkan juga Usamah bin Zaid. Merekalah yang membalikkan jenazah Rasul Allah saw, memandikan dan mengafaninya serta mengurus segala sesuatunya. Abu Bakar dan Umar tidak menghadirinya’. (Alauddin Muttaqi alHindi, Kanzu’lUmmal, jilid 3, hlm. 14).
Post a Comment
mohon gunakan email