Pesan Rahbar

Home » , , , , , , , , » Benarkah Imamah tidak dibahas oleh Al-Qur’an

Benarkah Imamah tidak dibahas oleh Al-Qur’an

Written By Unknown on Tuesday, 17 February 2015 | 05:21:00


Kalau saja imamah termasuk pokok agama, lalu kenapa Al-Qur’an tidak membicarakannya?
Bukan hal yang diragukan lagi bahwa kepemimpinan umat sepeninggal Rasulullah Saw membutuhkan sosok yang besar dan mulia, siapa pun orang yang netral dan bijaksana pasti mengakui hal ini, dan ternyata tidak seperti yang dibayangkan oleh si penggugat; kepemimpinan umat atau imamah telah dijelaskan oleh Al-Qur’an secara global.

Ayat-ayat yang menjelaskan imamah atau kepemimpinan umat adalah:

1. Ayat Wilayah
Allah Swt. berfirman:
Hanya sesungguhnya pemimpin kalian adalah Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan membayar zakat dalam keadaan mereka ruku’.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 55).

Banyak sekali mufasir Al-Qur’an dan ahli hadis yang meriwayatkan sya’nun nuzul ayat ini, ‘Suatu ketika, ada pengemis masuk masjid dan minta bantuan, tapi tak seorang pun yang memberinya sesuatu, sampai kemudian Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as yang sedang dalam keadaan ruku’ mengisyaratkan jari-jari bercincinnya ke arah pengemis supaya dia ambil cincinnya untuk memenuhi kebutuhannya, maka si pengemis maju dan melepas cincin beliau lantas pergi.’

Ketika itu Nabi Muhammad Saw mendapat berita akan kejadian tersebut, dan ketika itu pula beliau berdoa kepada Allah Swt, ‘Ya Allah, sebagaimana Engkau telah menentukan menteri untuk Musa dari keluarganya, tentukanlah pula menteri bagiku dari Ahli Baitku (keluargaku).’ Saat itu juga malaikat pembawa wahyu turun dan menyampaikan ayat di atas kepada beliau.’

Selain ulama Syi’ah, setidaknya 66 ahli hadis dan ahli kalam terkemuka dari kalangan Ahli Sunnah juga telah meriwayatkan sya’nun nuzul ini dalam kitab mereka dengan perbedaan yang tidak berarti. Peneliti temama Allamah Amini menyebutkan referensi periwayatan itu di dalam kitab berharganya Al-Ghodir.[1]

Sekarang, mari kita merenungkan bersama bagaimana ayat ini mengungkapkan masalah imamah atau kepemimpinan:
Kata ‘waliy’ dalam ayat ini berarti pemimpin atau orang yang memegang kendali urusan, itulah kenapa bapak dan hakim atau pemerintah juga disebut dengan ‘wali’ : Al-abu waliyu al-thifl; artinya, bapak adalah wali anaknya. Al-hakim waliyu al-qoshir; artinya, hakim atau pemerintah adalah wali orang yang tak mampu. Dan mengingat bahwa pokok pembahasan sekarang adalah ‘wali orang-orang yang beriman’, maka sudah barang tentu yang dimaksud dengan wali adalah imam, pemimpin dan pemerintah. Bahkan, indikasi-indikasi yang meliputi ayat ini, begitu pula sya’nun nuzulnya merupakan bukti nyata bahwa yang dimaksud dengan kata ‘waliy’ di sini adalah pemimpin.

Indikasi itu antara lain:
1. Jika memang yang dimaksud dengan kata ‘waliy’ dalam kalimat (ولیکم الله) bukan kepemimpinan, tapi bermakna seperti ‘pecinta’ atau ‘penolong’, maka tidak ada alasan yang benar untuk membatasi faktanya hanya pada tiga; Allah Swt, Rasulullah Saw, dan orang mukmin yang memberikan zakat atau sedekahnya dalam keadaan ruku’, karena semua orang yang beriman adalah pecinta, teman, penolong, dan pendukung satu sama yang lain, sehingga pembatasannya hanya pada tiga pihak itu sama sekali tidak bisa dibenarkan.
2. Secara literal, ayat ini menunjukkan hanya tiga yang punya hak wilayah atas umat Islam. Dengan demikian, tidak bisa tidak pihak yang berhak wilayah bukanlah pihak yang berada di bawah wilayahnya. Jika ‘waliy’ dalam ayat ini diartikan dengan pemimpin dan wilayah dengan kepemimpinan terhadap urusan umat Islam maka dua pihak itu jelas terpisah satu dari yang lain, tapi jika kata itu diartikan dengan kawan, pecinta, atau penolong maka dua pihak yang tertera dalam ayat ini tidak lebih dari satu dan tak terpisahkan satu dari yang lain, karena semua orang yang beriman adalah kawan, pecinta dan penolong satu sama yang lain.
3. Seandainya yang dimaksud dengan kata ‘waliy’ dalam ayat ini adalah kawan, pecinta atau penolong maka semestinya ayat ini cukup menyebutkan kalimat orang-orang yang Beriman” dan tidak perlu menambahkan kalimat yang mendirikan shalat dan membayar zakat dalam keadaan mereka ruku”, karena di tengah masyarakat yang beriman setiap orang merupakan kawan, pecinta dan penolong satu sama yang lain; baik mereka membayar zakat dalam keadaan ruku’ atau pun tidak.
Berdasarkan keterangan di atas, maksud yang sesungguhnya dari ayat ini adalah apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw, ‘Wahai Ali, setelahku engkau adalah wali (pemimpin) bagi setiap orang yang beriman.’[2]

Kalimat ‘setelahku’ dalam hadis nabawi ini juga membuktikan bahwa yang dimaksud dengan kata ‘wali’ adalah pemimpin dan pemerintah dalam urusan agama serta dunia, bukan pecinta atau penolong; karena, jika yang dimaksud dengan kata ‘wali’ adalah pecinta atau penolong maka itu tidak terbatas pada masa kepergian Rasulullah Saw.

2. Ayat Aulil Amri.
Ayat Wilayah bukan satu-satunya ayat Al-Qur’an yang menerangkan masalah imamah dan wilayah. Contoh lain dari ayat yang menjelaskan masalah ini adalah Ayat Ulil Amri. Allah Swt. berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Ulil Amri dari kalian.” (QS. Al-Nisa’ [4]: 59).

Ulil Amri berarti para pemimpin, dan di dalam ayat ini menunjukkan makna kepemimpinan sejumlah orang yang ketaatan pada mereka bersandingan dengan ketaatan pada Allah Swt dan Rasul Saw.
Fakhrur Razi di dalam kitab tafsimya punya penjelasan yang menarik sekali. Dia mengatakan, ‘Mengingat bahwa Ulil Amri di sini disandingkan dengan Allah Swt dan Rasul Saw, maka tidak mau tidak orang yang menduduki posisi ini adalah orang yang suci dari dosa dan kesalahan; karena, -selain karena bersandingan dengan dua pihak yang suci dari dosa dan kesalahan (Allah Swt dan Rasul Saw) maka para pemimpin itu juga harus suci dari dosa dan kesalahan- ketaatan yang diwajibkan dalam ayat ini bersifat mutlak dan tanpa syarat, maka para pemimpin yang dimaksud dalam ayat ini juga harus orang yang suci dari dosa dan kesalahan, dan jika tidak demikian maka seharusnya ketaatan itu dibatasi, tapi ternyata Al-Qur’an mewajibkan ketaatan itu tanpa batas dan catatan apa pun.[3]

Sebagaimana yang sudah jelas, dua Ayat Wilayah dan Ayat Ulil Amri menjelaskan masalah imamah atau kepemimpinan secara independen. Pada saat yang sama, ada juga ayat Al-Qur’an yang secara langsung dan terpisah tidak memaparkan masalah imamah, tapi sya’nun nuzulnya membuktikan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan masalah imamah dan kepemimpinan. Seperti Ayat Ikmal.

3. Ayat Ikmal
Allah Swt berfirman:
Pada hari ini orang-orang kafir putus asa dari agama kalian maka janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku, pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Aku lengkapi nikmat-Ku atas kalian serta telah Aku ridai Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 3).

Para mufasir dan sejumlah ahli hadis menyebutkan bahwa ayat ini turun pada waktu Haji Wada’ Nabi Muhammad Saw, dan tepatnya di Hari Ghadir Khum, yaitu hari ketika Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dilantik sebagai imam sepeninggal beliau.[4]

Berdasarkan tiga ayat di atas, kiranya itu sudah cukup untuk menjawab pertanyaan apakah masalah imamah, wilayah atau kepemimpinan telah dijelaskan dalam Al-Qur’an ataukah tidak. Terang saja Al-Qur’an tidak mungkin mengabaikan masalah yang sangat penting ini.

Referensi:
[1] Al-Ghodir, jld. 3, hal. 156-162.
[2] Mustadrok Al-Hakim, jld. 3, hal. 111; Musnad A[!mad,jld. 4, hal. 437.
[3] Mafatih Al-Ghoib (Tafsir Fakhrur Razi), jld. 10, hal. 144.
[4] Al-Dur Al-Mantsur, jld. 2, hal. 298; Fath Al-Qadir, jld. 2, hal. 57; Yanabi’ Al-Mawaddah, hal. 120; Tafsir Al-Munir, jld. 6, hal. 463; Allamah Amini di dalam kitab Al-Ghodir menyebutkan sedikitnya 16 referensi otentik yang meriwayatkan bahwa ayat ini turun di Hari Ghadir Khum. Lihat: Al-Ghodir, jld. 1, hal. 447-458.
[Ja’far Subhani]
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: