Pesan Rahbar

Home » , , , , , , , , , , , » Syi’ah Di fatwa sesat oleh Produk Sejarah... Sejarah Khilafah Sunni tak lepas dari cerita kelam dan kejam ..!!

Syi’ah Di fatwa sesat oleh Produk Sejarah... Sejarah Khilafah Sunni tak lepas dari cerita kelam dan kejam ..!!

Written By Unknown on Saturday, 22 November 2014 | 09:34:00

Sejarah Khilafah Sunni tak lepas dari cerita kelam dan kejam ..!!

Islam Sunni Sebagai Bagian dari Produk Sejarah dan Sasaran Penelitian.
Ada ungkapan Ulama Klasik bahwa Islam itu cocok untuk segala tempat dan zaman (Al-Islâmu shâlihun li kulli makân wa zamân).. Ternyata Syi’ah yang dulu dituduh sesat, kini berbalik banyak orang mengesahkan nya !

keterpautan antara bahasa, pemikiran dan sejarah, sekaligus dalam hubungannya dengan nilai-nilai etis yang hendak diraih, maka akan dimungkinkan pengembangan pemikiran Islam.
hubungan antara pemikiran (keislaman), budaya dan sejarah, yang melatarbelakanginya (sejarah penetapan hukum-hukum agama, sejarah terbentuknya pranata sosial  Islam, bahkan sejarah sosial-politik dan perkembangan kontemporer pemikiran Islam dan sebagainya). Pemikiran tidak terlepas dari historisitasnya.


Perlu ditegaskan, ternyata ada bagian dari islam Sunni yang merupakan produk sejarah, teologi Sunni adalah bagian dari wajah islam produk sejarah. Konsep Khulafa al-Rasyidin adalah produk sejarah, karena istilah ini muncul belakangan. Sejumlah  bangunan islam klasik , tengah dan modern YANG  MENUDUH  SYIAH  SESAT  adalah produk sejarah.

Andaikata khalifah Al-Mansur tidak meminta Imam Malik menulis Al-Mawatta’, kitab hadis semacam ini mungkin tidak ada, karena itu al-muwatta, sebagai kumpulan hadist juga merupakan produk sejarah.

Jadi ada faktor kekuasaan yang melingkupi  perjalanan aliran Sunni.


Kita mengetahui dalam sejarah adanya upaya untuk pemalsuan hadis. Imam Bukhari, Imam Muslim atau Imam Malik mengumpulkan dan melakukan mencatat hadis dengan upaya hati-hati. Imam Muslim, dalam pengantarnya mengatakan bahwa tadinya hadis yang dikumpulkan ada 300.000 (tiga ratus ribu) buah, tetapi setelah selesai menjadi 6.000 buah hadis.

Pertanyaannya, dari mana Hadis sebanyak itu dan sudah meresap kemana saja sisanya itu, sehingga tinggal 6.000 ?
Ketika Raja Dinasti  Abbasiyah berkuasa yaitu Al Ma’mun (198 – 218 H / 813 – 833 M)lalu Al Mu’tashim (218 – 228 H / 833 – 842 M) lalu Al Watsiq ( 228 – 233 H / 842 – 847 M) paham kerajaan Abbasiyah adalah Mu’tazilah ! Terjadilah  pertarungan antara Mu’tazilah  melawan  Ahlulhadis :
Tatkala Raja al-Mutawakil (847-864 M) berkuasa, ia melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara, setelah peristiwa mihnah terjadi mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan Ibn Hanbal. Oleh karenanya al-Mutawakil membatalkan paham Mu’tazilah sebagai paham negara dan menggantinya dengan paham Sunni.

Sunni mulai merumuskan ajaran-ajarannya. Salah seorang tokohnya, Syafi’i menyusun ‘Ushul al-Fiqh. Dalam bidang Hadis muncul tokoh Bukhari dan Muslim. Dalam bidang Tafsir, muncul al-Tabbari. Pada masa inilah kaum Sunni menegaskan sikapnya terhadap posisi terhadap 4 khalifah dengan mengatakan bahwa yang terbaik setelah Nabi adalah Abu Bakar, Umar, Uthman dan ‘Ali untuk memperoleh pengakuan dari penguasa, pemikiran politik  ulama Sunni menekankan pada ketaatan absolut terhadap khalifah yang sedang berkuasa, mereka  berhasil mempengaruhi Khalifah Al Mutawakil (847-861 M), sekaligus merubah haluan aliran resmi pemerintahan menjadi sunni.

Ini menjadi contoh betapa label selamat dan sesat dengan mudah dialihkan, tergantung ‘selera’ rezim yang berkuasa. Apa yang dikenal dengan ‘tragedi mihnah’ ini menjadi contoh tak terbantahkan bahwa antara keselamatan dan kesesatan yang semata dipagari dengan apa yang disebut kekuasaan. Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah (Aswaja) selama ini difahami sebagai sebagai suatu sekte keagamaan terbesar dalam Islam…Pada masa Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Wasiq, kelompok yang dianggap sesat adalah ahlul hadis dengan ikon intelektualnya Ahmad ibn Hanbal. Sebaliknya pada masa Al Mutawakkil, kelompok yang dianggap sesat adalah ahlu ar-ra’yi atau lebih populer disebut mu’tazilah.

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila’nati Allah dan dila’nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela’nati” (Al-Baqarah: 159)
Menurut kita As-Sirah Nabawiyyah, Syilbi bag I hal.13-17 dikabarkan bahwa:
Zuhri Sejarahwan pertama yang menulis sejarah Islam pada masa pemerintahan Bani Umayah yakni Raja Abdul Malik 65 H..Zuhri adalah bekas budak Zubair yang sangat dekat dengan keluarga bangsawan Abdul Malik.

Zuhri ditugaskan dengan biaya Abdul Malik untuk menyusun Sejarah Islam dan menyusun Hadis  hadis  seluruh sejarah Kitab kitab suni ditulis setelahnya oleh orang  orang  yang berpengaruh dalam karya ini…
Dan Bukhari  banyak  hadis dalam shahihnya berasal dari hasi kumpulan Zuhri..Jadi tidak heran hadis hadis   sekarang ini banyak REKAYASA.. Cerita seperti cerita Bukhari, bahwa Nabi Musa MENAMPAR Malikul Maut sampai matanya pecah kemudian mengadu pada Allah.


Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.


Bagaimana “rekaman” sejarah soal ini? Ini daftar tahun berkuasanya khilafah yang sempat saya catat:
1. Ummayyah (661-750)
2. Abbasiyah (750-1258)
3. Umayyah II (780-1031)
4. Buyids (945-1055)
5. Fatimiyah (909-1171)
6. Saljuk (1055-1194)
7. Ayyubid (1169-1260)
8. Mamluks (1250-1517)
9. Ottoman (1280-1922)
10. Safavid (1501-1722)
11. Mughal (1526-1857)


Pendekatan Sejarah dalam Kajian Islam.
Salah satu sudut pandang yang dapat dikembangkankan bagi pengkajian Islam itu adalah pendekatan sejarah.Berdasarkan sudut pandang tersebut, Islam dapat dipahami dalam berbagai dimensinya.Betapa banyak persoalan umat Islam hingga dalam perkembangannya sekarang, bisa dipelajari dengan berkaca kepada peristiwa-peristiwa masa lampau, sehingga segala kearifan masa lalu itu memungkinkan untuk dijadikan alternatif rujukan di dalam menjawab persoalan-persoalan masa kini. Di sinilah arti pentingnya sejarah bagi umat Islam pada khususnya, apakah sejarah sebagai pengetahuan ataukah ia dijadikan pendekatan didalam mempelajari agama.


Ketika Bani Abbasiyah merebut khilafah, darah tertumpah di mana-mana. Ini “rekaman”. kejadiannya: Pasukan tentara Bani Abbas menaklukkan kota Damsyik, ibukota Bani Umayyah, dan mereka “memainkan” pedangnya di kalangan penduduk, sehingga membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang. Masjid Jami’ milik Bani Umayyah, mereka jadikan kandang kuda-kuda mereka selama tujuh puluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu’awiyah serta Bani Umayyah lainnya. Dan ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya.

Mereka juga membunuh setiap anak dari kalangan Bani Umayyah, kemudian menghamparkan permadani di atas jasad-jasad mereka yang sebagiannya masih menggeliat dan gemetaran, lalu mereka duduk di atasnya sambil makan. Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang ada di kota Basrah dan menggantungkan jasad-jasad mereka dengan lidah-lidah mereka, kemudian membuang mereka di jalan-jalan kota itu untuk makanan anjing-anjing.
Demikian pula yang mereka lakukan terhadap Bani Umayyah di Makkah dan Madinah.

Kemudian timbul pemberontakan di kota Musil melawan as-Saffah yang segera mengutus saudaranya, Yahya, untuk menumpas dan memadamkannya. Yahya kemudian mengumumkan di kalangan rakyat: “Barangsiapa memasuki masjid Jami’, maka ia dijamin keamanannya.” .
Beribu-ribu orang secara berduyun-duyun memasuki masjid, kemudian Yahya menugaskan pengawal-pengawalnya menutup pintu-pintu Masjid dan menghabisi nyawa orang-orang yang berlindung mencari keselamatan itu. Sebanyak sebelas ribu orang meninggal pada peristiwa itu. Dan di malam harinya, Yahya mendengar tangis dan ratapan kaum wanita yang suami-suaminya terbunuh di hari itu, lalu ia pun memerintahkan pembunuhan atas kaum wanita dan anak-anak, sehingga selama tiga hari di kota Musil digenangi oleh darah-darah penduduknya dan berlangsunglah selama itu penangkapan dan penyembelihan yang tidak sedikit pun memiliki belas kasihan terhadap anak kecil, orang tua atau membiarkan seorang laki-laki atau melalaikan seorang wanita.

Seorang ahli fiqh terkenal di Khurasn bernama Ibrahim bin Maimum percaya kepada kaum Abbasiyin yang telah berjanji “akan menegakkan hukum-hukum Allah sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah”. Atas dasar itu ia menunjukkan semangat yang berkobar-kobar dalam mendukung mereka, dan selama pemberontakan itu berlangsung, ia adalah tangan kanan Abu Muslim al-Khurasani. Namun ketika ia, setelah berhasilnya gerakan kaum Abbasiyin itu, menuntut kepada Abu Muslim agar menegakkan hukum-hukum Allah dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, segera ia dihukum mati oleh Abu Muslim.

Cerita di atas bukan karangan orientalis tapi bisa dibaca di Ibn Atsir, jilid 4, h. 333-340, al-Bidayah, jilid 10, h. 345; Ibn Khaldun, jilid 3, h. 132-133; al-Bidayah, jilid 10, h. 68; al-Thabari, jilid 6, h. 107-109. Buku-buku ini yang menjadi rujukan Abul A’la al-Maududi ketika menceritakan ulang kisah di atas dalam al-Khilafah wa al-Mulk.


Semua aspek kehidupan tidak lepas dari faktor sejarah, sejarah merupakan bukti yang nyata untuk melangkah lebih maju, karena dengan sejarah, manusia bisa belajar kesalahan-kesalahan yang telah lalu dan mengetahui data-data yang bisa di pertanggung jawabkan. Dalam metologi islam, diperlukan sejarah untuk mengetahui kebenaran yang valid yang tidak dicampuri oleh orang-orang terdahulu, untuk itu sangatlah urgan dalam penelitian sejarah.

Sementara itu, agama atau keagamaan sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui berbagai sudut pandang.Islam khususnya, sebagai agama yang telah berkembang selama empatbelas abad lebih menyimpan banyak banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran kegamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya.


Sayyidina Al Husain ibn ‘Ali RA. adalah cucu sang Nabi yang amat dikasihi. Abu Hurairah meriwayatkan: “Aku pernah melihat Rasulullah saw. sedang menggendong Husain, seraya berkata, ‘Ya Allah, sungguh aku mencintainya, maka cintailah dia.’.
Ya’lâ bin Murrah meriwayatkan: “Kami pergi bersama Rasulullah untuk menghadiri undangan makan. Di suatu gang, kami melihat Husain sedang bermain-main. Ia mendekatinya seraya membentangkan kedua tangannya. Husain berlari kesana kemari hingga membuatnya tertawa, sampainya berhasil menangkapnya. Kemudian Rasulullah meletakkan satu tangannya di bawah dagu Husain dan tangan yang lain di atas kepalanya. Rasulullah mencium-ciumnya. Ia bersabda, ‘Husain dariku dan aku darinya. Allah mencintai orang yang mencintai Husain. Husain adalah salah satu cucuku.”.
Yazîd bin Abi Ziyâd meriwayatkan: “Rasulullah saw. keluar dari rumah ‘Aisyah dan melewati rumah Fathimah. Ketika itu Rasulullah saw. mendengar tangisan Husain. Rasulullah merasa gusar. Lalu berkata kepada Fathimah, ‘Tidakkah kau tahu bahwa tangisannya itu menyayat hatiku?”


Rasulullah mencintai al-Husain, sang cucu yang penuh kelembutan, meskipun fajar ‘Asyura di tahun 61 H menjadi akhir dari perjalanan hidup al-Husain, terbantai oleh penguasa-penguasa zhalim yang juga mengaku umat sang nabi.
Peristiwa Karbala adalah tragedi kemanusiaan yang menyayat hati siapa pun yang masih memiliki hati, bukan milik segelintir orang apalagi kelompok-kelompok tertentu. Karbala adalah medan syahid ahlu baitil musthofa.
Sayyidina Al-Husain adalah keturunan langsung sang nabi, putra dari Khalifah ke-4 Amirul Mu’minin Ali ibn Abi Thalib. Beliau tidak segera menerima paksaan untuk membai’at Yazid ibn Mu’awiyah; sang raja baru pada era Dinasti Umayyah.
Sayyidina Al-Husein memegang amanat agung, tapi kelembutannya tak membuatnya gila kekuasaan. Hari ini tanggal 9 Muharram beliau sudah berada di Karbala menerima pengkhianatan dalam sejarah Islam. Dan esok, tanggal 10 Muharram, padang Karbala menjadi saksi kesyahidan sang imam yang dibunuh oleh pasukan yang dipimpin Ubaidillah bin Ziyad atas perintah Yazid ibn Mu’awiyah.
Karbala banjir darah. Kekasih sang Nabi dari darah dagingnya sendiri berkalang tanah, kepalanya disembelih dan dicucuk di atas tombak, al-Husain berpulang bersama tiga putranya dan puluhan sahabat.
Ahlussunnah belakangan berhadapan dengan Syi’ah.. Label Aswaja kini  menjadi identitas yang diperebutkan (contested identity).. Buku yang ditulis Muhammad At-Tijani As-Samawi, doktor filsafat Universitas Sorbone, yang berjudul Asy-Syi’ah Hum Ahlu as-Sunnah [1993] menjadi contoh dari perebutan ini. Buku itu hendak menegaskan bahwa Syi’ah adalah Ahlussunnah, bahkan dinilai lebih Ahlussunnah ketimbang kelompok yang selama ini mendakwa dirinya Ahlussunnah
.
Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya aku telah meninggalkan buat kalian dua hal yang berharga; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya juga tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di telaga Kautsar kelak di Hari Kiamat.” (H.R. Sahih Muslim : jilid 7, hal 122. Sunan Ad-Darimi, jilid 2, hal 432. Musnad Ahad, jilid 3, hal 14, 17, 26 dan jilid 4, hal 371 serta jilid 5, hal 182 dan 189. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal 109, 147 dan 533.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: