Pesan Rahbar

Home » » Kyai NU Luruskan Kejanggalan Buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia

Kyai NU Luruskan Kejanggalan Buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia

Written By Unknown on Saturday, 22 November 2014 | 09:03:00

Kyai NU Luruskan Kejanggalan Buku MUI dan DDII


Beredarnya buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” dari MUI dan buku “Kesesatan Syiah di Indonesia” terbitan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) membuat kyai NU tak tinggal diam. Salah satunya adalah KH. Alawi Nurul Alam Al Bantani, ulama muda sekaligus penulis buku dari Tim Aswaja Center Lembaga Takmir Masjid Pimpinan Besar Nahdlatul Ulama (LTM) PBNU. Dia mencoba meluruskan isi buku yang ditulis oknum MUI dan DDII tersebut dengan menulis sebuah buku berjudul “Kyai NU Meluruskan Fatwa-fatwa Merah MUI & DDII.”

KH. Alawi menilai, buku oknum MUI dan DDII berisi pengkafiran terhadap Syiah itu tidak menggunakan referensi lengkap. Akibatnya orang-orang yang awam terhadap agama sangat terancam ikut-ikutan mengkafirkan tanpa pengetahuan jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. “Ini sangat potensial menjadi sumber perpecahan di antara umat Islam,” ungkapnya kepada ABI Press.

KH. Alawi sangat menyayangkan, orang-orang MUI yang menulis buku itu dan menyandang gelar begitu banyak; Professor, Doktor, Lc, MH, ternyata tidak paham soal ilmu fikih secara mendalam.

“Silakan cek dalam kitab-kitab fikih apapun, ketika seorang ‘tersangka’ dinyatakan oleh pengadilan bersalah, Islam memberikan kepadanya hak jawab,” ujarnya. Tapi menurut KH. Alawi, oknum-oknum MUI dan DDII itu belum pernah memberikan hak jawab dan tak pernah mengundang Ulama Syiah untuk duduk bersama dalam membahas beberapa permasalahan agama yang mereka hujat dan mereka persoalkan.

Sebab itulah KH. Alawi merasa terpanggil untuk meluruskan isi buku yang dianggapnya tidak lurus itu demi meredam dampak negatif perpecahan di tengah umat.


Buku MUI dan DDII Picu Konflik dan Pembodohan

Tak henti menyerang Syiah melalui penyebaran buku hasil tulisan oknum MUI, kini Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) menambah daftar gerakan anti Syiah melalui bukunya yang berjudul “Kesesatan Syiah di Indonesia.”

Tidak hanya memicu konflik, menurut tokoh NU, KH. Alawi Nurul Alam Al Bantani, buku-buku itu juga dapat menjadi sumber pembodohan bagi umat.

Berbagai cara dilakukan oleh kelompok anti Syiah ini untuk memberangus Syiah di Indonesia. Terakhir, tersiar kabar akan diadakannya Deklarasi Nasional Anti Syiah di Bandung Jawa Barat. Entah apa yang membuat mereka begitu benci terhadap Syiah, sehingga Syiah harus diberangus.

Apakah Syiah boleh berkembang di Indonesia?“Jelas boleh! Tidak hanya di Indonesia, di seluruh dunia pun juga boleh,” ungkap KH. Alawi.

Pernyataan KH. Alawi bukan tanpa alasan, mengingat Syiah merupakan salah satu mazhab Islam yang diakui di seluruh dunia.

Ketidaktahuan orang banyak tentang sejarah Syiah lah yang sebenarnya menjadi masalah. Akibatnya menurut KH. Alawi mereka yang minim pengetahuan itu dapat dengan mudah diadu domba oleh kelompok-kelompok yang membenci Syiah.

“Misalnya begini, kalau ada 100 orang Sunni sebelum shalat minum arak, apa yang akan anda katakan? Sunni sesat atau oknum Sunni sesat? Pasti oknum Sunni yang sesat. Nah, ketika ada saudara kita Syiah yang berbuat salah, yang jadi masalah adalah jika kita menghukumi semua Syiah juga salah. Nah, orang-orang yang tidak tahu kaidah inilah yang biasanya akan terseret menjadi korban fitnah dan pada akhirnya secara serampangan menganggap semua Syiah salah,” terang KH. Alawi memberi contoh.

Nah, buku keluaran MUI dan DDII ini pun menurut KH. Alawi juga memicu kaum Muslim masuk dalam kubangan fitnah yang sangat berbahaya. Apalagi bila ditelisik dan dipelajari lebih jauh, kedua buku itu tak lebih hanya berisi penghakiman sepihak sekelompok orang yang dialamatkan ke kelompok lain, tanpa menerapkan prinsip keadilan dalam Islam, yaitu terkait perlunya pemberian hak jawab terhadap pihak yang dituduh, dalam hal ini pihak Syiah.


Kyai NU: Konflik Sunni-Syiah Kerjaan Musuh Islam


Untuk mempererat jalinan ukhuwah, KH. Alawi Nurul Alam Albantani, tokoh NU datang bersilaturahmi ke Yayasan Syiah, Husainiyah Azzahra, Gerlong Girang, Bandung pada hari Selasa (20/5).

Dalam kunjungan singkatnya, Kyai kharismatik ini bermaksud mengikuti pembacaan Tawassul yang diadakan rutin setiap malam Rabu di tempat itu, namun akibat terjebak macet, beliau akhirnya datang terlambat. Sekitar 50-an jamaah Syiah ikut hadir menyambut kedatangannya. Tepat pukul 19.00 acara dibuka pembina Husainiyah, Ustad Husain Alkaff.

Selesai Tawassul, seperti lazimnya di setiap majelis taklim, Kyai Alawi memberikan tausiyah.

Dalam sambutannya, penulis buku Kyai NU Meluruskan Fatwa-Fatwa “Merah” MUI & DDII ini mengatakan bahwa konflik sektarian dalam tubuh umat sengaja disulut musuh-musuh dari luar Islam.

“Sampai kapanpun kaum Nasoro dan Yahudi tidak akan senang dengan kemajuan Islam. Makanya mereka masukkan antek-anteknya agar sesama Muslim selalu bertengkar. Dan yang paling mudah dijadikan pemicu adalah isu sektarian antara Sunni dengan Syiah.”

“Kalo ada Sunni yang ikut-ikutan, berarti tidak mengerti Sunni. Kalo ada Syiah yang ikutan, berarti gak mengerti Syiah,” tambahnya.

“Coba kalo Sunni dan Syiah mampu bersatu, kemudian kita pikirkan langkah-langkah untuk menghadapi takfiri, yakinlah mereka bakal takut setakut-takutnya. Bohong kalo ada yang bilang takfiri di Indonesia itu berani. Sudah 125 masjid kami ambil kembali dari tangan mereka, gak ada perlawanan,” kisahnya.

“Perbedaan tata cara ibadah adalah soal furu’ (cabang) dalam Islam. Bapak-bapak, Ibu-ibu pernah gak lihat cabang pohon yang sama persis? Tidak kan? Nah, kaum takfiri itu tidak mengerti soal ini. Kenapa? Karena otak mereka dangkal. Kedangkalan ini yang menyebabkan mereka berperilaku radikal, dan perilaku radikal inilah yang berbahaya bagi bangsa Indonesia,” lanjut Kyai Alawi.

Dia juga meragukan pengikut Syiah mencaci sahabat lantaran mengikuti titah Imamnya. “Saya gak percaya kalo orang-orang seperti Imam Ja’far Sadiq, Imam Muhammad Al Baqir, Kakeknya Imam Husain, memerintahkan penghinaan. Apalagi menjatuhkan kemuliaanya dengan mengeluarkan fatwa untuk menghina,” tegasnya.

Tanpa pakaian kebesaran khas Kyai pada umumnya, Kyai Alawi bertutur dengan gaya khas Sunda. Tausiyah diwarnai plesetan itu pun sesekali disambut gelak tawa jamaah.

“Makanya Ibu-ibu, mau gak liat anak setan? Liat tuh takfiri. Mereka mah gabakal marah, da bener-bener ngarasa,” selorohnya, yang disambut tawa jamaah.

KH. Alawi Albantani adalah anggota Tim Aswaja Center Lembaga Takmir Masjid (LTM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ia telah menulis sekitar 55 judul buku, di antaranya Allah pun Bershalawat Mengapa Kita Tidak (40 Keajaiban Shalawat), Ustad Salafi Wahabi (Persis) Bertanya Al Bantani Menjawab, dan Kyai NU Meluruskan Fatwa-Fatwa “Merah” MUI & DDII.

“Acara-acara solidaritas seperti ini harus lebih sering diadakan, agar masyarakat tahu, Sunni-Syiah teh balad geuningan (ternyata Sunni-Syiah temenan),” anjur Kyai Alawi di akhir tausiyahnya.


Resensi Buku: Syiah Menurut Syiah


Judul Buku : Syiah Menurut Syiah
Penulis : Tim Ahlulbait Indonesia (ABI)
Penerbit : Dewan Pengurus Pusat Ahlulbait Indonesia
Ukuran Buku: 23×15 cm, 411 halaman
Harga : Rp. 75.000,-
Cetakan : Cetakan 1, Agustus 2014

Buku Syiah Menurut Syiah (SMS) ini diterbitkan oleh Ahlulbait Indonesia (ABI) sebagai salah satu ormas Islam di Indonesia. Berbeda dengan ormas Islam NU dan Muhammadiyah yang berpaham Islam Ahlusunnah (Sunni), ABI merupakan ormas Islam bermazhab Syiah. Walau hakikatnya, sama-sama lahir dari tubuh utama Islam, perbedaan-perbedaan penafsiran dalam beragama di kalangan Sunni dan Syiah ini kerap dimanfaatkan sebagian orang untuk mengadu-domba keduanya.

Berbagai fitnah pun bermunculan; mulai dari media sosial yang gencar mengkafirkan dan mensesatkan Muslim Syiah, membenturkan keyakinannya dengan Muslim Sunni, bahkan buku-buku tentang kesesatan Syiah banyak beredar, dari yang dijual, hingga disebar gratis. Tak hanya individu, bahkan lembaga sekelas MUI pun dicatut namanya sebagi legitimasi atas usaha menyingkirkan Muslim Syiah dari Nusantara ini. Mulai dari fatwa sesat terhadap Muslim Syiah di Jawa Timur, hingga terbitnya buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” yang diedarkan secara luas oleh beberapa oknum intoleran dengan mengatas namakan MUI.

Di tengah maraknya aksi pengkafiran dan penyesatan yang dialamatkan kepada Muslim Syiah tersebut, ABI merumuskan dan menerbitkan buku ini, sebagai upaya mengenalkan kepada masyarakat bahwa Muslim Syiah yang telah hadir sejak Islam pertama kali masuk ke Indonesia ini, tak seperti apa yang mereka tuduhkan secara sepihak, dengan beragam informasi yang tidak berimbang. Buku ini tidak serta merta ditujukan untuk membantah buku berlogo MUI yang telah disebar ke penjuru Nusantara dengan jumlah yang tidak sedikit tentunya. Sebab, di dalam prolog buku SMS ini disebutkan beberapa hal yang menerangkan bahwa buku berlogo MUI itu terlalu lemah bobotnya untuk ditanggapi.

Upaya ABI menerbitkan buku ini disambut baik oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin. Bahkan, Lukman Hakim bersedia menyempatkan diri untuk memberikan pandangannya mengenai buku ini, yang kemudian tertuang menjadi sambutan atau pengantar dalam buku SMS tersebut. Menag menilai, perbedaan pandangan di kalangan umat Islam adalah suatu hal yang wajar dan harus disikapi secara adil, bukan saling menyalahkan namun justru saling melengkapi khazanah pengetahuan tentang Islam dan keindonesiaan yang mengusung Bhinneka Tunggal Ika, sekaligus menguatkan tali persatuan dan persaudaraan melalui perbedaan-perbedaan itu.

Buku ini menjelaskan beragam jawaban atas isu-isu yang ditujukan kepada Muslim Syiah secara lengkap, mulai dari yang bersifat pokok, hingga cabang-cabangnya. Selain menampilkan sumber-sumber dalil dari kalangan Syiah, buku ini juga menampilkan berbagai sumber dalil yang ada di kalangan Sunni.

Di bagian tertentu, pada sub judul “Budaya Syiah di Indonesia” (hal: 333), juga dijelaskan beberapa sumber fakta yang menyebutkan Syiah sebagai salah satu mazhab Islam yang pertama kali masuk ke Indonesia. Selain itu, kesamaan tradisi Islam Syiah dan NU seperti tahlilan, peringatan meninggalnya seseorang, haul, serta maulid dan sebagainya, juga dijelaskan di bab ini.

Buku ini ditulis dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, dengan berbagai analogi dan contoh, untuk memudahkan pembaca memahaminya. Di Bab Pertama (hal: 7) misalnya, sebelum masuk ke pembahasan inti, buku ini mengajak pembaca untuk menata konsep berfikir secara logis dan rasional sebelum menilai sesuatu.

Buku ini menarik dibaca, tidak hanya bagi kalangan Muslim Syiah saja, melainkan umat Islam seluruhnya. Sebab, penting memahami satu sama lain untuk dapat menemukan kesepahaman demi tercipta perdamaian. Terlebih bagi anda yang getol membenci Syiah hanya karena mendapat informasi sepihak tentang Syiah. Buku ini hadir untuk mengimbangi cara berfikir anda dalam menilai Muslim Syiah di Indonesia bahkan di dunia. Selain itu, buku ini juga menampilkan sudut pandang lain dalam memahami lebih dalam tentang Islam, yang mungkin dapat memuaskan anda yang haus akan pengetahuan.


Bedah Buku SMS di P3M


Klaim Sunni dan Syiah selalu saling bertikai ternyata tidak terbukti di Cililitan, Jakarta Timur. Hari itu, tepatnya Kamis (16/10) bertempat di Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Muslim Sunni dan Syiah duduk bersama dalam sebuah diskusi bedah buku Syiah Menurut Syiah (SMS) yang ditulis oleh Tim Ahlulbait Indonesia.

Musa Kazhim, selaku perwakilan dari tim penulis buku SMS menjelaskan bahwa tuduhan terhadap Syiah selama ini pembuktiannya tidak pernah ada sebab, selalu saja ketika tuduhan-tuduhan tanpa bukti yang ditujukan kepada Muslim Syiah dibantah, mereka kemudian akan menghakimi bahwa Muslim Syiah itu sedang bertaqiyyah.

Hal ini, menurut Musa disebabkan karena konsep taqiyyah telah disalahpahami oleh mereka yang tidak menyukai Syiah. Konsep Taqiyyah di dalam Syiah menurut Musa adalah tidak mengutarakan kebenaran demi kemaslahatan yang lebih besar. Dalam prinsip beragama pun juga diajarkan almaslaha al ammah, menjadi sendi paling utama.

“Tetapi sayangnya kemudian taqiyyah ini disalahtafsirkan oleh para penuduh sebagai cara berbohong dan berkelit,” ujar Musa.

Selain itu, dalam buku Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia ada juga tuduhan bahwa Syiah menuhankan Ali bin Abi Thalib. Terkait hal ini, Musa menegaskan bahwa tidak satu pun dari Muslim Syiah yang menyakini hal itu. Kalau ada yang mengaku Muslim Syiah dan menyatakan bahwa Syiah menuhankan Ali, maka otomatis dia menjadi kafir.

Sebab semua umat Islam tahu siapa Tuhannya, dan yang mengikat kita selama ini adalah La ila ha illallah. Tidak ada perbedaan terkait ketuhanan itu dan tidak boleh berbeda pendapat tentang hal itu. Dan itu, hal yang tidak mungkin akan dilakukan oleh Muslim Syiah.

“Lha ini kok ada orang yang mengatakan bahwa ada Syiah yang menyatakan Ali bin Abi Thalib sebagai Tuhan,” kata Musa.

Dalam acara di P3M sore itu, masih banyak tuduhan yang diklarifikasi langsung oleh Musa berdasarkan sumber primer pihak Syiah sendiri, sebagaimana yang ada dalam buku Syiah Menurut Syiah. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi mis-informasi dan kesalah pahaman di kalangan masyarakat, sebab tulisan yang ada selama ini dan berisi tuduhan miring tentang Syiah selalu saja ditulis oleh orang-orang yang berada di luar Syiah.

Sementara itu dalam kesempatan yang sama, KH. Masdar F Mas’udi, Khatib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), mencoba memberikan analisa tentang kondisi agama saat ini dengan membaginya menjadi 3 bagian besar dari agama Islam yang ada.


Pertama, adalah kelompok yang lebih mengedepankan teks yaitu kelompok Wahabi atau Khawarij. Kedua, adalah kelompok yang berpegang kepada Ahlulbait Nabi yaitu kelompok Syiah. Ketiga, adalah Sunni yang menempatkan posisi berada di tengah-tengah antara Wahabi dan Syiah untuk menjaga keseimbangan keberagamaan.

“Tentu saja masing-masing pihak boleh saja mengklaim benar. Tapi jika sekaligus pada saat yang sama mengklaim yang lain sepenuhnya salah, saya kira itulah yang akan menjadi masalah,” terang Masdar. “Namun ketika ketiganya itu bisa berkembang secara seimbang dan dewasa saya kira akan memberikan output yang hebat bagi kehidupan semua agama dan keyakinan itu,” tambahnya.

“Kita boleh mengaku benar tapi menuduh yang lain salah itu ya nanti dulu,” tegas Masdar.

Bagi Masdar, adanya dialektika ini akan menjadikan masing-masing pihak lebih dewasa apabila yang di tengah itu cukup kokoh. Kalau yang di tengah ini lembek, maka yang akan terjadi adalah konflik, bukan lagi dialog karena tidak ada yang menjadi penjaga keseimbangan itu.

“Ini soal kedewasaan, dan kedewasan ini akan lebih dipacu kalau yang di posisi tengah cukup solid,” kata Masdar terkait posisi Sunni yang dikatakannya sebagai pihak penengah atau penyeimbang.

Sebelum menutup pembicaraan, Masdar mengatakan bahwa politik dakwah itu penting, supaya tidak merusak tatanan, supaya tidak merusak keseimbangan.

“Yang paling penting dakwahnya harus mendewasakan,“ pungkas Masdar.

(Syiah-Ali/NU-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: