Dien Syamsudin :
Ana La Syi’i, La Sunni, Bal Islami
Oktober 23, 2014 _ 7:12 AM
Assalamu’alaikum wr wb.
Alhamdulillahi haqqa hamdih, wa syukrulillahi haqqa syukrih, wa la hawla wala quwwata illa billahil aliyil adhim, al Mukaromun yang saya muliakan para ulama, zu’ama, sesepuh dan pinisepuh serta semua tamu undangan.
Al Mukarromun ashabul fadhilah al-sufara’ min al-duwal al Islamiyah al syafiqah,
Yang Mulia para Duta Besar negara-negara sahabat, hadirin dan hadirat
khususnya “sang pengantin,” penulis buku, Prof. Dr. Umar Shihab yang
berbahagia.
Atas nama pribadi dan atas nama dewan pimpinan Majelis
Ulama Indonesia saya ingin mengungkapkan rasa syukur dan rasa bahagia
atas peluncuran buku Kapita Selekta dan Mozaik Islam karya prof Dr. Umar
Shihab, seorang dari Ketua Majelis Ulama Indonesia yang kebetulan
termasuk yang tertua yang telah mencapai usai 75 tahun, terpaut hampir
20 tahun dari saya, seorang yang kalau boleh saya katakan sebagai mozaik
dalam dirinya, karena selain sebagai seorang ulama dan juga Muslim,
guru besar, tapi juga seorang pendidik dan banyak juga pengalaman dalam
bidang politik.
Judul buku ini, Kapita Selekta yang tadi dibicarakan
terpengaruh oleh Pak Natsir yang juga menuliskan Kapita Selekta tapi
juga karena, meskipun saya belum membaca secara tuntas, buku ini
mengangkat isu-isu, persoalan-persoalan dalam rentangan disiplin ilmu
keislaman yang luas dari akidah, fikih, hukum, kalau tidak salah juga
tasawuf dan juga diskusi kontemporer termasuk isu-isu politik, maka dia
menjadi bunga rampai yang sangat kaya dan ketika dinyatakan sebagai
mozaik Islam, ini mengandung pesan bahwa Islam bisa dikatakan sebagai
sebuah entitas keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang satu
sama lain terjalin dalam tali temali yang erat sekali dan menjadikan
Islam sebagai Die Wende dan sekaligus sebagai mozaik yang indah.
Ini menegaskan bahwa ada persoalan kemajemukan, ta’addudat, termasuk di dalamnya persoalan ikhtilaf dan
juga keragaman yang sesungguhnya merupakan sunnatullah karena begitu
banyak ayat suci menegaskan bahwa Allah menciptakan semua yang ada di
bumi, langit, alam semesta ini dalam keragaman, ikhtilafu alwanikum wa alsinatikum, syu’uban wa qabaila, dan seterusnya yang di akhir ayat itu, Allah mengatakan semuanya adalah tanda-tanda lil ‘alimin bagi orang-orang yang berilmu yang mengetahui, yang menggunakan akal pikiran.
- ikhtilafu ummati rahmah dan banyak disebut tadi, perbedaan di antara umatku itu adalah rahmat, ini dalam arti secara esensial perbedaan itu sebagai rahmat tetapi juga ada pesan, ada imperatif dalam ungkapan itu bahwa perbedaan-perbedaan di antara kita perlu kita sikapi dengan rahmah dan penuh kasih sayang di antara kita.
Inilah yang menjadi pesan Islam yang kemajemukan umat dalam
pemikiran, dalam mazhab, dalam orientasi politik dan di Indonesia juga
dalam instrumen perjuangan di organisasi-organisasi kemasyarakatan,
sesungguhnya adalah sunnatullah itu sendiri. Maka oleh karena itu pesan
Islam yang ingin disampaikan oleh Prof. Dr. Umar Shihab adalah pesan
Islam agar dialog di antara kita perlu kita tingkatkan dan agar kita
tidak mudah terjebak kepada yang beliau sampaikan tadi itu, takfir dan tadhlil,
yaitu pengkafiran dan penyesatan yang memang akhir-akhir ini menjadi
salah satu fenomena di dunia Islam, di kalangan dunia Islam, takfir yaitu ada gerakan takfiri dan gerakan tadhlil,
yang walaupun di dalam Islam dibandingkan dengan agama-agama lain
relatif memiliki kriteria keyakinan kepercayaan keagamaan yang sangat
ketat sekali, best marking of Islamic faith, yang mungkin bagi
agama-agama lain yang terlalu longgar dalam hal keyakinan sehingga
memungkinkan dan memang secara empiris terdapat sekte-sekte yang berbeda
satu sama lain, tapi Islam sangat ketat sekali menyangkut al-aqidah al-Islamiyah,
namun sangat tergantung pada kita apakah kita membawanya pada kriteria
maksimal ataukah menurunkannya pada kriteria minimal. Kalau saya pribadi
ingin kriteria minimal lah yang kita pakai, yaitu syahadatain, maka semua yang bertumpu pada syahadatain, keyakinan terhadap keesaan Allah dan kerasulan Muhammad sebagai rasul terakhir, semuanya berada di dalam wilayah keislaman.
Maka tidak salah dalam hadis man qala la ilaha ilallah dakhalal jannah, didahului la ilaha ilallah saja
ini, kalau kita berangkat dari kriteria yang minimal ini, maka
perbedaan-perbedaan yang ada itu sesungguhnya berada pada wilayah
cabang-cabang, furu’iyyah bukan pada ushul, dasar
agama, dan ketika ada percabangan-percabangan, kemajemukan dan keragaman
dalam banyak hal lain yang menurut sejarah yang bisa kita baca itu
semuanya adalah perkembangan pasca Rasulullah Saw, Sunni-Syiah,
mazhab-mazhab, adalah dinamika perkembangan pasca Rasulullan Saw.
Sehingga itu adalah produk sejarah, produk budaya yang
memang mengacu kepada dasar-dasar agama dan bahkan tidak sedikit dalam
perkembangan perbedaan itu sendiri ada faktor politik yang kemudian
ditarik ke teologi seolah-olah perbedaan teologis, padahal pada
pangkalnya adalah perbedaan politik, kalau ini kita sikapi secara
jernih, tenang dan sedikit santai maka kita mungkin bisa berlapang dada,
dan inilah pesan Rasulullah Saw yang sangat senang saya kutip, yaitu
hadis yang berbunyi ahabbuddin lillah atau ilallah al-hanafiyyatu as-samhah, bahwa agama yang paling dicintai di sisi Allah, pada Allah adalah keberagaman yang bertumpu pada kehanifan, al-hanafiyyah dan
memang agama-agama samawi termasuk Islam, sangat mengacu kepada
pengikut Ibrahimi, Ibrahim as yang menyatakan dirinya dan dinyatakan
sebagai hanifan musliman.
Sebagai muslim yang hanif yang menampilkan al-hanafiyyah dan
ini pulalah sedikit kita lakukan konteks analisis terhadap doa-doa
dalam shalat betapa shalat yang merupakan tiang agama itu diawali dengan
komitmen Ibrahimi, hanifan musliman menukilkan pernyataan Ibrahim as tapi di ujung shalat dalam tahiyat kita ulang kembali kama barakta ‘ala Ibrahim,
Ibrahim kita munculkan kembali seolah-olah komitmen Ibrahimi ini
meliputi shalat yang merupakan tiang agama itu, dan itulah kehanifan, al-hanafiyyah, kalau pesan Rasul tadi itu al-hanafiyyatu as-samhah, yang berlapang dada, yang bertoleransi, yang terbuka untuk tidak mengklaim absolute truth dalam pemikiran kita yang absolute, al-haq itu dari Allah, tapi apa yang kita pahami, apa yang kita pikirkan adalah wilayah dengan kenisbian manusia.
Nah, dengan demikian maka umat Islam akan tergerak untuk melakukan komunikasi, dialog, silaturahim,silatulfikri, hubungan kasih sayang dalam hal pemikiran dan ini akan menjadi modal bagi persatuan umat Islam.
Terakhir khususnya di Indonesia, saya kira agenda mendesak
untuk kita dorong bersama-sama adanya as-samhah sesama umat Islam untuk
kita hadapi fenomena takfiri, pengkafiran, tadhlil, penyesatan, yang kurang berdasarkan al-hanafiyyatu as-samhah tadi
itu, yang hanya akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam.
Terus terang, saya ingin secara terus terang, terbuka, persoalan besar
dunia Islam sekarang, persoalan Sunni-Syiah, bagi yang belajar Islam
semua perkembangan pasca Rasulullah Saw hanyalah perbedaan tafsir
terhadap hadis yang mungkin juga terhadap Al-Quran, muncullah perbedaan
ini maka saya lebih senang mengutip ulama-ulama, mufti-mufti sebagian di
Timur Tengah sana, yang mengatakan walaupun banyak yang tidak setuju
bahwa ana la Syi’i la Sunni bal Islami, tidak Sunni-tidak Syiah tapi Islam.
Bahkan ada ulama mufti dari Suriah kalau tidak salah, dengan kata-kata ana syi’iyyun fi mahabbati aali Rasulillah, wa ana sunniyyun fi mahabbati ashhabi Rasulillah,
mungkin di situ titik temu. Nah, upaya kecenderungan kita untuk bicara
titik temu inilah, adalah sebuah perjuangan besar, sebuah jihad yang
perlu kita lakukan, maka Majelis Ulama Indonesia diharapkan dapat
menjadi tenda besar bagi seluruh kekuatan umat Islam termasuk yang
mungkin, yang kita anggap jauh dari Islam tapi mereka sendiri mengaku
Islam dan oleh karena itu perlu ada sebuah tenda besar yang semua pihak
merasa nyaman untuk bernaung di bawah tenda itu. Ini tidak mudah, ini
tantangan kita bersama tapi dengan bangkitnya kekuatan umat Islam
tengahan yang moderat, yang toleran, yang penuh dengan al-hanafiyyatu as-samhah ini,
ada keyakinan itu akan menjadi kenyataan dan kita akan terhindarkan
dari silang sengketa, perselisihan, bahkan permusuhan, apalagi jika
terjadi al-fitnatul kubra pada era modern ini, na’udzu billahi min dzalik.
Oleh karena itulah buku Prof. Dr. Umar Shihab ini, walaupun
saya sudah baca sepintas saja antara lain memesankan itu, maka oleh
karena itulah mari kita ciptakan mozaik Islam yang indah, keragaman
sebagai sebuah keindahan.
Selamat terhadap Prof. Dr. Umar Shihab atas bukunya yang
kesekian kalinya ini, dan selamat atas usia 75 tahun, semoga dapat terus
berkiprah, bagi umat, bagi bangsa dan negara, dan tetap aktif menjadi
salah satu tulang punggung Majelis Ulama Indonesia untuk menjadi tenda
besar bagi Umat Islam dan bagi Indonesia.
Wa billahit taufiq wal hidayah wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Post a Comment
mohon gunakan email