Pesan Rahbar

Home » , , , , , , , » Inilah Fakta website Corong fitnah, yang sering menuduh syiah

Inilah Fakta website Corong fitnah, yang sering menuduh syiah

Written By Unknown on Saturday, 22 November 2014 | 10:29:00

Ismail Amin

Terimakasih tak terhingga untuk LPPI makassar.com, arrahmah, islampos, fimadani, voa-islam, hidayatullah dll, yang sedemikian getol mewartakan hal2 negatif mengenai Iran... 
alhamdulillah, tdk semua orang mau percaya begitu saja... 
Islam menegaskan harus ada tabayyun sebelum memberi vonis... 
sekarang, Rektor UIN Alauddin Makassar Prof Dr A Qadir Gassing, Dekan Fak. Ushuluddin UIN Alauddin Prof Dr Arifuddin Ahmad dan Ketua Umum Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) Prof. Dr. Hamka Haq beserta rombongan, sedang dalam perjalanan menuju Iran...

Semoga dalam perjalanan beliau2 selamat tiba ditujuan, sehat selalu sampai kembali ke tanah air, dan semua agenda yang diprogramkan di Iran bisa berjalan lancar... sehingga ketika pulang bisa menyambungkan pesan2 perdamaian dari muslim Iran...

Indonesia yang penduduk terbesar Sunni di dunia, dan Iran yang penduduk Syiah terbesar di dunia... jika bersatu, akan menjadi sebuah kekuatan besar di dunia...
Jangan diamkan, mohon diaminkan...
________________________

Jawaban atas 17 tuduhan terhadap Syiah.




Pengantar

Pertama, apakah kita sepakat bahwa Al-Qur’an dijamin dan dijaga Allah dari segala penambahan dan pengurangan? Dan kalau ada anggapan bahwa seseorang atau sekelompok orang menyatakan bahwa Syiah memiliki Al-Qur’an lain, apakah anggapan ini tdk menentang jaminan Alllah tersebut? Bukankah Allah berkali2 dalam Al-Qur’an menantang siapa saja untuk mendatangkan yang dapat menyerupai Al-Qur’an? Dan jika kita yakin dengan jaminan Allah, dan memang kita mesti dan wajib yakin, bukankah memunculkan keragu-raguan semacam ini adalah bagian dari waswas syaithanil khannas untuk melemahkan keyakinan kita terhadap keterjagaan Al-Qur’an dari segala kemungkinan dikurangi atau ditambahi apalagi disaingi sepenuhnya?

 
Kedua, bukankah Sunnah Nabi yang Shahih adalah rujukan dan sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an?! Saya tekankan sekali lagi: yang shahih! Jika memang demikian, apakah mungkin suatu hadis, betapapun kuat matan dan sanadnya, dapat dianggap shahih bila bertentangan dengan Al-Qur’an? Jika tidak, maka semua matan dan sanad hadis yang menyatakan ada Al-Qur’an lain selain yang dipegang dan dibaca oleh 1,7 milyar penduduk Muslim dunia ini wajib dianggap tidak shahih atau palsu (maudhu’). Lantas, bila ada hadis yang dianggap shahih bertentangan dengan ayat yg sharih, apa yg mesti dilakukan? 


Ketiga, apakah ada orang yang pernah membaca atau mendengar sendiri dari seorang imam, ulama syiah atau pengikut syiah yang mengatakan bahwa seluruh hadis dalam Ushul Al-Kafi itu semuanya shahih? Apakah ada yg pernah membaca atau mendengar buku berjudul Shahih Al-Kafi? Jelas tidak. Bahkan, seluruh kaum Muslim di dunia sepakat bahwa selain nash Al-Qur’an, semua dapat dikritik dan diragukan keshahihannya. 
 
Al-Kulaini sendiri dalam pengantar Al-Kafi telah menegaskan prinsip yg telah disebutkan di poin kedua, yakni apa saja yang dianggap bertentangan dengan Kitab Allah haruslah dibuang dan dianggap maudhu’. Maka itu, aneh kalau lantas dia sendiri dianggap meyakini Al-Qur’an yg dia yakini harus dijadikan rujukan kemudian dituduh secara sewenang2 meyakini ada Al-Qur’an lain. Sayangnya, sebagian orang memang membaca Al-Kafi tanpa menghiraukan wanti-wanti Al-Kulaini di pengantar kitabnya.

Keempat, Islam adalah agama yang dimulai dengan ucapan La Ilaha IllaLLAH Muhammad RasuluLLAH. Siapa saja yang telah mengucapkannya secara lahiriah berhak dianggap Muslim dengan hak-hak yg sempurna dan tidak boleh dibunuh. (Lihat Al-JamiAl-Shahih, Imam Muslim, cetakan edisi revisi, Dar Al-Fikr, Beirut, Juz 1 hal. 66).

Tidak ada satu ayat Al-Qur’an maupun Hadis Shahih yang membolehkan atau memberi hak kepada siapa saja untuk menjadi hakim untuk menilai kekafiran Muslim yang lain. Bahkan, Islam dengan jelas menyatakan bahwa seseorang dihukumi berdasarkan lahiriahnya. Mau orang itu bertaqiyah atau menyembunyikan apapun di dalam hatinya, selama dia masih menyatakan keesaan Allah dan bahwa Nabi adalah Rasul terakhir Allah, maka dia wajib dihukumi Muslim.

Kelima, saat menyuruh kita berdakwah, Allah dengan tegas menyatakan bahwa hanya Dialah yang paling mengetahui siapa di antara makhluk yang paling mendapat petunjuk (QS An-Nahl: 125): Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah [845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Maksudnya, pendakwah yang sudah dianggap berilmu pun tidak berhak mengklaim dirinya paling benar, apalagi orang biasa yang tidak berilmu. Bahkan, dalam surat Sabaayat 24-25 Al-Quran menyebutkan adab Baginda Rasulullah dalam berdialog dengan orang musyrik: Katakanlah: “Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah”, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata ** Katakanlah: “Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat”.” 

Ayat inimenegaskan bahwa seorang Nabi yang mendapat petunjuk Allah di saat menghadapi musuh harus menunjukkan sikap menerima kemungkinan salah, karena memang itulah tanda makhluk dan hamba di hadapan kesempurnaan Allah yang tidak terbatas.

Keenam, pendapat yang harus diterima dari suatu mazhab adalah pendapat jumhur, bukan satu dua ulama, apalagi seorang pengikut awam. Oleh sebab itu, tuduhan adanya hadis2 yang dianggap sebagai tahrif dalam Al-Kafi telah dijelaskan panjang lebar oleh jumhur ulama Syiah. Kalau perlu, nanti alfaqir bisa copaskan untuk antm.

Ketujuh, tidak ada satu majlis ulama di dunia Islam atau lembaga keilmuan Islam yang diakui yang secara resmi menyatakan syiah sebagai sesat sebagaimana halnya ahmadiyyah. Orang syiah diperbolehkan haji dan negara syiah seperti Iran masuk dalam anggota Organisasi Konferensi Islam. Kalo sebagian orang di Indonesia merasa lebih hebat dan lebih menguasai kitab-kitab syiah melebihi ulama Al-Azhar, ulama Madinah, atau ulama negara-negara Islam lain dan menyatakan bahwa syiah merupakan mazhab yang sesat, maka jelas sebagian orang Indonesia itu patut dianggap keluar dari jumhur dan patut dianggap sebagai syadz. Bahkan, mereka jelas keluar dari Ahlus Sunnah wal Jamaah yang menekankan pada jamaah dan pendapat jumhur.

Kedelapan, tidak semua pendapat ulama syiah benar dan sahih. Malah sebagian pendapat ulama syiah telah disalahkan oleh ulama syiah yang lain, sebagaimana yang terjadi dalam semua mazhab Islam lainnya. Karena pendapat ulama adalah ijtihad yang bisa salah dan bisa benar.
Kesembilan, mengambil suatu pernyataan di luar konteks, apalagi dengan tujuan untuk mengaburkan pandangan utuh seseorang adalah perbuatan yang salah.

17 Alasan Ulama Islam Mengkafirkan Kaum Syiah.

SEJUMLAH tujuh belas doktrin Syi’ah yang selalu mereka sembunyikan dari kaum muslimin sebagai bagian dari pengamalan doktrin taqiyah (menyembunyikan Syi’ahnya).
—Taqiyah itu adalah suatu praktik dan sikap yang dibenarkan> rujuk Al-Quran surah Ali Imran ayat 28: Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali  dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti (tuqatan) dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” Jadi, memelihari diri dari sesuatu yang ditakutkan adalah sikap yang dibenarkan oleh Al-Quran. Apakah ada yang merasa dirinya lebih baik dan lebih mulia daripada sikap orang Mukmin yang disebutkan dalam ayat di atas?
Ketujuh belas doktrin ini terdapat dalam kitab suci Syi’ah:
—-kitab suci syiah hanyalah Al-Quran yang telah dijaga Allah selama-lamanya.
1.Dunia dengan seluruh isinya adalah milik para imam Syi’ah. Mereka akan memberikan dunia ini kepada siapa yang dikehendaki dan mencabutnya dari siapa yang dikehendaki (Ushulul Kaafi, hal.259, Al-Kulaini, cet. India).
Jelas Doktrin semacam ini bertentangan dengan firman Allah SWT QS: Al-A’raf 7: 128, “Sesungguhnya bumi adalah milik Allah, Dia dikaruniakan kepada siapa yang Dia kehendaki”. Kepercayaan Syi’ah diatas menunjukkan penyetaraan kekuasaan para imam Syi’ah dengan Allah dan doktrin ini merupakan aqidah syirik.
—-Tolong berikan nomor hadis dan teksnya supaya kita bisa mengerti konteksnya bersama-sama. Namun, jika kita memahami surat Al-Araf ayat 128 itu, maka di situ ditegaskan bahwa Allah berhak memberikan seluruh bumi ini kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Artinya, apabila Allah berkehendak demikian, maka terjadilah apa yang Dia kehendaki.
2.Ali bin Abi Thalib yang diklaim sebagai imam Syi’ah yang pertama dinyatakan sebagai dzat yang pertama dan terakhir, yang dhahir dan yang bathin sebagaimana termaktub dalam surat Al-Hadid, 57: 3 (Rijalul Kashi hal. 138).
Doktrin semacam ini jelas merupakan kekafiran Syi’ah yang berdusta atas nama Khalifah Ali bin Abi Thalib. Dengan doktrin semacam ini Syi’ah menempatkan Ali sebagai Tuhan. Dan hal ini sudah pasti merupakan tipu daya Syi’ah terhadap kaum muslimin dan kesucian aqidahnya.
——–Tolong sekali lagi berikan nomor hadis dan teksnya supaya kita bisa mengerti konteksnya bersama-sama. Kalau ada teks arabnya mungkin bisa dicari di internet. Namun demikian, wajib ditegaskan bahwa apapun yang bertentangan dengan Al-Quran jelas keluar dari kebenaran. Apabila hadis itu tetap dianggap shahih oleh ahli2 hadis, maka maknanya harus ditakwilkan sehingga tidak bertentangan dengan Al-Quran. Al-Quran menyebutkan istilah takwil dalam beberapa ayat, misalnya, Ali Imran ayat 7 dan An-Nisa ayat 59. Metode takwil bukan saja diakui oleh ulama syiah, tapi juga oleh ulama Sunni seperti Syaikh Ibn Taymiyah sebagaimana yang ditulis dalam At-Tafsir Al-Kabir, juz 2, hal. 88-114 cetakan Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, tahun 1988.
3.Para imam Syi’ah merupakan wajah Allah, mata Allah dan tangan-tangan Allah yang membawa rahmat bagi para hamba Allah (Ushulul Kaafi, hal. 83).
—-Selama Allah tetap diesakan dan dianggap sebagai satu-satunya Dzat Pencipta yang mewujudkan segala sesuatu dan memiliki dan menguasai segala sesuatu dan meyakini bahwa apapun yang Allah kehendaki bisa terjadi, maka itu tetap dapat dianggap sebagai beriman kepada Allah. Jadi, kalau memang hadis ini shahih, hadis ini harus ditakwilkan agar sesuai dengan prinsip tauhid di atas. Takwilnya sama saja dengan takwil terhadap istilah Baytullah (Rumah Allah). Maksud Rumah Allah itu jelas beda dengan rumah makhluk, karena Allah tidak dibatasi oleh ruang. Kalau semua Muslimin bersepakat bahwa Kabah adalah Rumah Allah, apakah mereka semua menjadi kafir?! Kemudian, dalam Al-Quran disebutkan soal tangan Allah. Apakah maknanya sama dengan tangan manusia? Dalam hadis Imam Bukhari ada ungkapan bahwa “yaduLLAH maal jamaah (tangan Allah) bersama jamaah”. Apakah makna tangan ini sama dengan tangan manusia? Atau pertolongan? Jadi, semua kata yang dipakai di sini harus diartikan sebagai kinayah. Makna “wajah”, “tangan”, “mata” Allah dalam hadis2 tersebut sama mirip dengan yang dijelas Ibn Al-Atsir dalam bukunya yang berjudul Al-Nihayah fi Gharib Al-Hadits.  
4.Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib oleh Syi’ah dikatakan menjadi wakil Allah dalam menentukan surga dan neraka, memperoleh sesuatu yang tidak diperoleh oleh manusia sebelumnya, mengetahui yang baik dan yang buruk, mengetahui segala sesuatu secara rinci yang pernah terjadi dahulu maupun yang ghaib (Ushulul Kaafi, hal. 84).
—-Soal membagi surga dan neraka itu sebenarnya bisa merujuk pada hadis shahih Muslim yang menyatakan bahwa tidak mencintai Ali kecuali mukmin (masuk surga) dan tidak membencinya kecuali munafik (masuk neraka). Lihat: Al-JamiAl-Shahih, Imam Muslim, cetakan edisi revisi, Dar Al-Fikr, Beirut, Juz 1 hal. 61.
5.Keinginan para imam Syi’ah adalah keinginan Allah juga (Ushulul Kaafi, hal. 278).
—-Hadis ini sebenarnya semakna dengan ayat dalam surah Ghafir (40) ayat 60: Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku [1327] akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. Bukankah ayat ini menyatakan keniscayaan diterimanya doa dan permintaan kita oleh Allah, sehingga berarti keinginan kita menjadi keinginan Allah?!
6.Para imam Syi’ah mengetahui kapan datang ajalnya dan mereka sendiri yang menentukan saat kematiannya karena bila imam tidak mengetahui hal-hal semacam itu maka ia tidak berhak menjadi imam (Ushulul Kaafi, hal. 158).
—Jika Allah menghendaki demikian, maka pasti hal ini bisa terjadi.
7.Para imam Syi’ah mengetahui apapun yang tersembunyi dan dapat mengetahui dan menjawab apa saja bila kita bertanya kepada mereka karena mereka mengetahui hal ghaib sebagaimana yang Allah ketahui (Ushulul Kaafi, hal. 193).
—Jika Allah menghendaki demikian, maka pasti hal ini bisa terjadi.
8. Allah itu bersifat bada’ yaitu baru mengetahui sesuatu bila sudah terjadi. Akan tetapi para imam Syi’ah telah mengetahui lebih dahulu hal yang belum terjadi (Ushulul Kaafi, hal. 40).
Menurut Al-Kulaini (ulama besar ahli hadits Syi’ah), Bahwa Allah tidak mengetahui bahwa Husein bin Ali akan mati terbunuh. Menurut mereka Tuhan pada mulanya tidak tahu karena itu Tuhan membuat ketetapan baru sesuai dengan kondisi yang ada. Akan tetapi imam Syi’ah telah mengetahui apa yang akan terjadi. Oleh sebab itu menurut doktrin Syi’ah Allah bersifat bada’ (Ushulul Kaafi, hal. 232).

—-Mohon menyebutkan hadisnya secara lengkap. Karena dalam hadis itu dijelaskan bahwa beliau mengetahuinya dari kitab Allah. Kemudian, maksud badabukan sebagaimana tuduhan di atas, melainkan bahwa sebagaimana bunyi ayat 39 surat Ar-Raad: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).
9.Para imam Syi’ah merupakan gudang ilmu Allah dan juga penerjemah ilmu Allah. Para imam Syi’ah bersifat Ma’sum (Bersih dari kesalahan dan tidak pernah lupa apalagi berbuat Dosa). Allah menyuruh manusia untuk mentaati imam Syi’ah, tidak boleh mengingkarinya dan mereka menjadi hujjah (Argumentasi Kebenaran) Allah atas langit dan bumi (Ushulul Kaafi, hal. 165).
—Jika Allah menghendaki, maka pasti semua itu dapat terjadi.
10. Para imam Syi’ah sama dengan Rasulullah Saw (Ibid).
—Mohon lengkapkan hadisnya supaya tidak kehilangan konteks yang dimaksudnya. Kalau yang dimaksud bahwa ada kesamaan di antara Nabi dan para imam dalam soal-soal tertentu, maka itu benar, karena Allah juga sudah meminta para nabi mengatakan demikian dalam ayat terakhir surat Al-Kahfi. Tapi kalau yang dimaksud sama-sama menerima wahyu, maka jelas itu keliru dan tuduhan yang salah.
11. Yang dimaksud para imam Syi’ah adalah Ali bin Abi Thalib, Husein bin Ali, Ali bin Husein, Hassan bin Ali dan Muhammad bin Ali (Ushulul Kaafi, hal. 109)
—-Ini sesuai dengan hadis Kisa yang juga diterima oleh ulama Ahlus Sunnah.
12. Al-Qur’an yang ada sekarang telah berubah, dikurangi dan ditambah (Ushulul Kaafi, hal. 670). Salah satu contoh ayat Al-Qur’an yang dikurangi dari aslinya yaitu ayat Al-Qur’an An-Nisa’: 47, menurut versi Syi’ah berbunyi: “Ya ayyuhalladziina uutul kitaaba aaminuu bimaa nazzalnaa fie ‘Aliyyin nuuran mubiinan”. (Fashlul Khitab, hal. 180).
—-Ini tuduhan keliru dan menunjukkan si penuduh meragukan janji Allah dalam surat Al-Hijr ayat 9: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
13. Menurut Syi’ah, Al-Qur’an yang dibawa Jibril kepada Nabi Muhammad ada 17 ribu ayat, namun yang tersisa sekarang hanya 6660 ayat (Ushulul Kaafi, hal. 671).
—-Ini tuduhan keliru dan menunjukkan si penuduh meragukan janji Allah dalam surat Al-Hijr ayat 9: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Lagipula, dalam kitab-kitab ulama syiah telah dijelaskan tuntas bahwa seluruh hadis yang menunjukkan makna-makna sebagaimana di atas harus ditakwilkan dengan cara yang tidak bertentangan dengan akidah tentang kemustahilan Al-Qur’an dapat ditambah atau dikurangi.
14. Menyatakan bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman bin Affan, Muawiyah, Aisyah, Hafshah, Hindun, dan Ummul Hakam adalah makhluk yang paling jelek di muka bumi, mereka ini adalah musuh-musuh Allah. Siapa yang tidak memusuhi mereka, maka tidaklah sempurna imannya kepada Allah, Rasul-Nya dan imam-imam Syi’ah (Haqqul Yaqin, hal. 519 oleh Muhammad Baqir Al-Majlisi).
—-Ini jelas tidak benar dan bukan pandangan umumnya ulama syiah.
15. Menghalalkan nikah Mut’ah, bahkan menurut doktrin Syi’ah orang yang melakukan kawin mut’ah 4 kali derajatnya lebih tinggi dari Nabi Muhammad Saw. (Tafsir Minhajush Shadiqin, hal. 356, oleh Mullah Fathullah Kassani).
—-Ini jelas tuduhan yang tidak benar. Kalau benar Al-Kasyani menyatakan demikian, mohon disebutkan teks arabnya secara lengkap dan kita sesatkan bersama-sama.
16. Menghalalkan saling tukar-menukar budak perempuan untuk disetubuhi kepada sesama temannya. Kata mereka, imam Ja’far berkata kepada temannya: “Wahai Muhammad, kumpulilah budakku ini sesuka hatimu. Jika engkau sudah tidak suka kembalikan lagi kepadaku.” (Al-Istibshar III, hal. 136, oleh Abu Ja’far Muhammad Hasan At-Thusi).
—Harus selalu diingat bahwa semua yang bertentangan dengan ayat yang jelas wajib dibuang. Dari manapun datangnya. Tapi, untuk diskusi lebih lanjut, mohon tunjukkan hadisnya secara lengkap, supaya tidak semata-mata menjadi bahan fitnah. Karena kalau hadis dipotong-potong, maka jelas pemahaman akan rusak.
17. Rasulullah dan para sahabat akan dibangkitkan sebelum hari kiamat. Imam Mahdi sebelum hari kiamat akan datang dan dia membongkar kuburan Abu Bakar dan Umar yang ada didekat kuburan Rasulullah. Setelah dihidupkan maka kedua orang ini akan disalib (Haqqul Yaqin, hal. 360, oleh Mullah Muhammad Baqir al-Majlisi).
—Sekali lagi mohon hadis lengkapnya. Kalau pun ada pandangan seperti ini, maka ini bukan pandangan jumhur ulama syiah. Apalagi sekarang jelas ada fatwa yang mengharamkan seluruh pengikut syiah untuk menodai semua simbol yang diagungkan oleh Muslimin.
Ketujuhbelas doktrin Syi’ah di atas, apakah bisa dianggap sebagai aqidah Islam sebagaimana dibawa oleh Rasulullah Saw. dan dipegang teguh oleh para Sahabat serta kaum Muslimin yang hidup sejak zaman Tabi’in hingga sekarang? Adakah orang masih percaya bahwa Syi’ah itu bagian dari umat Islam? Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, barangsiapa yang tidak MENGKAFIRKAN aqidah Syi’ah ini, maka dia termasuk Kafir.
Semua kitab tersebut diatas adalah kitab-kitab induk atau rujukan pokok kaum Syi’ah yang posisinya seperti halnya kitab-kitab hadits Imam Bukhari, Muslim, Ahmad bin Hambal, Nasa’i, Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah bagi kaum Muslimin. Oleh karena itu, upaya-upaya Syi’ah untuk menanamkan kesan bahwa Syi’ah adalah bagian dari kaum Muslimin, hanya berbeda dalam beberapa hal yang tidak prinsip, adalah dusta dan harus ditolak tegas !!!.
—-Jelas bahasa tuduhan seperti di atas tidaklah tepat. Tidak perlu orang memaksa orang lain untuk menyatakan bahwa keyakinannya adalah seperti yang dituduhkan si penuduh di atas, padahal dia tidak meyakini hal-hal sebagaimana yang dimaksudkan si penuduh. Orang tidak boleh menghukumi apa yang dalam batin dan hati orang lain. Yang dapat dihukumi adalah apa yang dinyatakannya denga lisannya secara tegas. Alfaqir kembali meminta ayat atau hadis yang membolehkan orang mengkafirkan orang lain, dengan menunjuk individu tersebut dan menyatakan: Engkau kafir. Malah sebaliknya ada hadis2 yang melarang perkataan2 seperti itu karena hanya akan menimbulkan permusuhan. Dan yang suka menimbulkan permusuhan adalah setan sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Anam (91):
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Apalagi, Allah telah mengingatkan kita untuk tidak menghina mereka yang jelas-jelas menyembah selain Allah (QS. Al-Anam: 108, apalagi bagi mereka justru jelas menyembah Allah dan mengagungkan namaNYA di tiap tempat.

 Saudi Arabia tempat pendidikan teroris.


Benarkah mayoritas umat Islam Indonesia Ahlussunnah Wal Jamaah ? Mayoritas Muslim Indonesia tidak menyadari dan tidak memiliki identitas kemazhaban. Mayoritas hanya menyadari dirinya sebagai Muslim, dan terikat dengan identitas keislamannya. Labelisasi Sunni sebagai label sekterian diberikan oleh ulama berkedok agama untuk menggebuk musuh dan meraih keuntungan-keuntungan sesaat. Yang mereka kerjakan tidak lebih hanya mengumbar slogan-slogan hampa makna, retorika-retorika menyihir, dan waham atau ilusi belaka. Tak jarang ada partai politik melakukan kegiatan politik, tapi memanfaatkan agama sebagai tameng dan syariat sebagai topeng
.
Namun, dalam kenyataannya, label-label (klaim-klaim) itu tidak dipahami dan diakui oleh individu-individu umat. Misalnya : Coba buat survei, tanyakan siapa Asy’ari, Maturidi apa mereka tau ? Tak jarang, untuk sampai ke pucuk kekuasaan maka di pakailah retorika dan slogan agama. Apakah slogan, retorika, dan ungkapan-ungkapan manis yang nyaring terdengar itu tulus merupakan upaya untuk keluar dari keterpurukan, atau cuma “pepesan kosong”, karena sifatnya yang emosional-sloganistik ? Slogan-slogan yang secara lahir manis bagai madu, sifatnya emosional, tak rasional, dan tidak realistik
.
Nahdhatul Ulama (NU) bermazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah dan berakidah sesuai dengan ajaran-ajaran Abul Hasan Al-Asy’ari ? Sebagian besar tradisi NU seperti ziarah kubur, tahlil, peringatan 4-7-40 dan haul, penghormatan terhadap ulama, tawasul, tabaruk, dan sebagainya merupakan tradisi-tradisi khas Syiah yang tidak terdapat dalam referensi-referensi kitab klasik Ahlus Sunnah wal Jamaah melainkan semata-mata ada dalam kitab-kitab klasik Syiah seperti Mafatih Al-Jinan karya Abbas Al-Qummi, Al-Iqbal karya Al-Kaf’ami, Al-Balad Al-Amin karya Sayyid Ibn Thawus dan sebagainya.
.
Ada beberapa aliran yang jelas bukan bagian dari Ahlussunah di antaranya Syiah, Wahabi Khawarij, dan Mu’tazilah. Pengikut Syi’ah menggunakan ijtihad terbaru dari Marja’i Taqlid yang masih hidup, Syi’ah mengikuti perkembangan zaman yang berubah, yang menuntut ijtihad baru atau reinterpretasi atas ajaran-ajaran Islam.


Syi’ah mengkritik para sahabat yang kemudia menyebut pihaknya sebagai Syi’ah Ali dan Ahlul Bait.Bahkan, secara historis, para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah seperti Abu Hanifa dan Imam Malik belajar kepada Imam Ja’far Ash-Shodiq, imam keenam Syiah, dalam soal-soal agama. Interaksi ilmiah terus berlangsung secara damai sampai ada ambisi politik yang menyeret isu mazhab dalam pertarungan profan tersebut.
Syiah adalah mazhab Islam yang terpengaruh dengan tradisi Persia dan Zoroastrianisme ?  Iran baru memeluk mazhab Syiah pada abad 15 Masehi di zaman Safawi. Sebelumnya, Iran adalah pusat perkembangan mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dapat dilihat dari fakta sebagian besar kitab rujukan milik Ahlus Sunnah saat ini merupakan karya-karya ulama Sunni berdarah Persia, seperti Shahih Bukhori dan sebagainya. Bahkan, Syiah semula merupakan mazhab resmi Mesir di era Daulah Fathimiyyah yang berhasil membangun pusat kota Kairo dan Universitas Al-Azhar. 
Mazhab Syiah yang dijadikan sebagai mazhab resmi Dinasti Safawi merupakan reaksi dendam atas penaklukan Muslim Arab atas Persia ? Dinasti Safawi sebenarnya bukan didirikan oleh elit berdarah Persia melainkan oleh sekelompok keluarga yang memiliki darah Turki Azeri. Oleh karena itu, pusat kerajaan Safawi dimulai dari Ardabil yang memiliki banyak perampuran etnik Turki-Azeri dan Kurdi. 
Sebaliknya, penganut Syiah paling awal adalah kelompok Arab Irak yang bertempat di Kufah, Irak dan sebagian lain berada di wilayah Bahrain (hingga kini mayoritas penduduknya bermazhab Syiah), Yaman (hingga kini mayoritas penduduk Yaman Utara bermazhab Syiah Zaidiyyah), Mesir (cikal-bakal dinasti Fathimiyah), dan sebagainya. Yang jelas, Syiah dianut oleh bangsa dan suku-suku Arab jauh sebelum bangsa Iran memeluknya.


Salafi-Wahabi adalah sama dengan Ahlu Sunnah wal Jamaah ? Salafi Wahabi adalah ajaran asing dalam sejarah Islam, yang memiliki banyak kemiripan dengan ajaran Khawarij. Mereka sama sekali berbeda dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang kerap mengedepankan jalan tengah dan moderasi dalam berbagai prinsipnya. Pertentangan ajaran Wahabi-Salafi yang membajak Sunni terutama sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran Imam Syafii yang dianut oleh mayoritas Ahlus Sunnah wal Jamaah di Indonesia.

Rezim-rezim Arab seperti Arab Saudi, Bahrain dan Qatar bermazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah ? Sebagian  pemimpin rezim-rezim petrodolar ini beraliran sekuler ekstrem yang sama sekali tidak terikat dengan syariah Islam dari mazhab mana pun. Mereka menjalin hubungan bilateral secara terang-terangan dan terbuka dengan Amerika Serikat dan secara sembunyi-sembunyi dengan anak kesayangan AS, Israel, yang setiap hari membunuhi mayoritas Muslim Sunni di Palestina, Afghanistan, Yaman, Somalia, Sudan, dan sebagainya.

Arab Saudi adalah kerajaan yang menjunjung tinggi Islam ? Dalam masa kekuasaan rezim Kerajaan Arab Saudi di Jazirah Arab selama 100 tahun terakhir Arab Saudi, dua kota utama umat Muslim, Mekkah dan Madinah, telah mengalami perusakan yang massif. Jika trend ini dibiarkan dalam puluhan tahun mendatang maka sejarah Islam tidak akan lagi meninggalkan jejak-jejak historis dan arkeologis yang berarti.

Segalanya akan berganti wajah menjadi dua kota kosmopilitan yang kehilangan sakralitas. Dekonstruksi atas situs-situs historis umat Islam yang dilakukan oleh rezim Arab Saudi ini mirip dengan kelakuan rezim zionis Israel terhadap situs-situs historis keagamaan milik Kristen dan Muslim di tanah suci Palestina. Motif kedua rezim itupun sama: menghilangkan jejak-jejak sakralitas dan historisitas kota-kota suci demi membangun sebuah pemahamaan keagamaan yang seutuhnya didistorsi.


Jumat, 15 Januari 2010.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai bahwa saat ini tidak banyak kajian-kajian keislaman yang dihasilkan oleh para pemuka agama Islam, para ulama maupun para da’i di negeri ini. Ini ditegaskan Ketua MUI KH Cholil Ridwan dalam perbincangan dengan Republika di sela-sela peluncuran Buku Indeks Hadits dan Syarah oleh Buya H. Muhammad Alfis Chaniago di Gedung MUI Jakarta, Kamis (14/1).

”Sebenarnya kajian-kajian keislaman di negeri ini sudah berlangsung sejak lama, namun belakangan tidak banyak lagi kajian-kajian keislaman yang dihasilkan.Sayangnya, kajian keislaman ini belakangan justru banyak dikuasai oleh kalangan liberal. Sehingga yang banyak berkembang di kalangan umat belakangan ini adalah paham-paham liberal,” tegas kiai Cholil Ridwan.

Karena banyak dikuasai oleh kalangan liberal, menurut kiai Ridwan maka praktis masalah-masalah seperti sekularisasi agama dan hal-hal yang berkait dengan paham liberal dan yang bertentangan dengan MUI, justru menjadi marak di negeri ini.Menurut kiai Ridwan, ini karena metode dakwah para ulama dan da’i di Indonesia belakangan ini cenderung tetap mempertahankan cara-cara konvensional.”Jadi para da’i dan ulama terjebak pada kegiatan-kegiatan rutin dakwah yang sifatnya normatif dan konvensional,” papar kiai Ridwan.
 Walaupun diakui kiai Ridwan bahwa MUI maupun ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU telah memiliki pusat kajian keislaman. Namun itu tetap dirasa kurang. Karena itu pihaknya berharap agar para ulama, da’i dan pemuka agama Islam juga banyak melakukan kajian-kajian keislaman yang berhubungan langsung dengan persoalan-persoalan keseharian yang dihadapi umat.

Belum Menjawab Persoalan Umat.

Sementara itu, Buya H. Muhammad Alfis Chaniago, mengungkapakan bahwa kajian-kajian keislaman yang dilakukan oleh para ulama, pemuka agama Islam, dan para da’i dirasa sudah cukup banyak. Sayangnya, kajian-kajian keislaman tersebut belum bisa menjawab sepenuhnya persoalan-persoalan yang tengah dihadapi umat dalam kehidupan keseharian.

”Memang sudah banyak kajian-kajian keislaman dilakukan, namun sayangnya belum bisa menjawab sepenuhnya persoalan-persoalan yang dihadapi umat,” kata Alfis. ”Jadi sebenarnya umat sekarang ini masih banyak mengharapkan para ulama, da’i, dan pemuka agama untuk melakukan kajian-kajian keislaman yang bisa menjawab tantangan ke depan,” tambahnya.

Dalam upaya menjawab tantangan tersebut, Alfis meluncurkan buku Indeks Hadits yang terdiri dari dua jilid itu. Buku tersebut ditulis Alfis selama dua tahun dengan menyisihkan waktunya tiga jam setiap hari. Buku Indeks Hadits dan Syarah ini berisi 1.646 Hadits pilihan dari enam kitab Hadits Shaheh.


wahabi penuh dengan tuduhan yang tidak berdalil dan tidak masuk akal terhadap Syiah yang tentunya pesanan AS.


Tanya: Bada’ termasuk kepercayan dan akidah Syiah, padahal di sisi lain mereka meyakini para Imam mengetahui ilmu ghaib. Apakah para Imam lebih tinggi dari Tuhan?

Jawab: Pertanyaan di atas diutarakan berdasarkan sebuah kitab yang ditulis oleh Syaikh Nashir Qafari, yang termasuk sekongkol Salafi.

Kitab tulisan Syaikh Qafari penuh dengan tuduhan yang tidak berdalil terhadap Syiah, yang tentunya ia belajar dari gurunya, Ibnu Taimiyah. Pantas di dalam penuh dengan tuduhan yang tidak masuk akal. Sebagai contoh saya jelaskan beberapa di antaranya; Ia menulis, “Di Iran Imam Khumaini menambahkan namanya sebelum dua syahadat dalam adzan.”[1]

Saya heran mengapa penanya hanya membaca buku orang seperti ini.
Penanya bertanya tentang bada’, lalu berkata bahwa Syiah meyakini bada’; kemudian secara mengherankan ia menyimpulkan bahwa Syiah menganggap para Imamnya lebih tinggi dari Tuhan. Nalar apakah yang telah digunakannya hingga berlogika seperti ini?

Saya akan menjelaskan kedua masalah di atas:
Pertama, bada’ yakni seorang manusia merubah nasib baiknya karena telah melakukan perbuatan buruk. Begitu juga, manusia dapat merubah nasib buruknya dengan melakukan amal perbuatan baik. Allah swt berfirman:
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).” (Ar-Ra’d: 39)
Seorang ahli hadits besar dari kalangan Ahlu Sunah, Jalaluddin Suyuthi dalam kitabnya Ad Durr Al-Mantsur, dalam menafsirkan ayat tersebut membawakan beberapa riwayat dari Nabi yang intinya manusia dapat merubah sebagian dari nasib yang telah ditakdirkan Tuhan dengan melakukan amal perbuatan baik, misalnya berbuat baik kepada orang tua, atau bersedekah, dan lain sebagainya. Misalnya salah satu hadits yang ia bawakan seperti “Sedekah dapat menolak bala’.”[2]

Bada’ dengan pengertian seperti ini dapat diterima oleh semua Muslimin. Bada’ bukan berarti Tuhan tidak tahu akan takdir hambanya. Sebagai contoh, kaum Nabi Yunus telah ditakdirkan untuk menerima adzab karena pertentangannya. Nabi mereka telah memberitahukan mereka bahwa Tuhan hendak mengadzab mereka, beliau pun pergi meninggalkan kawasan yang mereka tinggali itu dan menjauhinya. Namun ternyata mereka menyesal, mereka mendengar perkataan seseorang lalu mereka bersama-sama pergi ke gurun dan meratapi dosa mereka sampai maningisinya. Allah swt menerima taubat mereka dan akhirnya Ia tidak jadi menurunkan siksaan-Nya. Kisah ini disebutkan dalam ayat yang berbunyi:
“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.” (Yunus: 98).


Mengenai peristiwa tersebut dapat dikatakan bahwa Tuhan pada mulanya hendak menurunkan adzab kepada umatnya. Namun terjadi bada’ dan Tuhan tidak jadi menurunkan siksaan. Ungkapan ini hanya berlaku bagi manusia sendiri, bukan bagi Tuhan; yakni, dari sudut pandang manusia Tuhan tidak jadi menurunkan siksaan-Nya karena umatnya telah bertaubat; namun dari sudut pandang Tuhan, Ia sejak awal sudah tahu bahwa mereka akan bertaubat. Lalu mengapa kita menggunakan istilah bada’? Alasannya karena Nabi dulu pernah menggunakan istilah tersebut, dan Bukhari pernah menukilnya dalam Shahih nya.[3]
Ada satu hal menarik, Wahabi sendiri dalam membahas “bertawasul kepada amal saleh” mereka menukilkan hadits bada’. Rasulullah saw bersabda:
“Ada tiga orang yang lari ke goa karena menghindar dari hujan. Tiba-tiba jatuh reruntuhan batu yang akhirnya menutup pintu goa. Mereka berbicara satu sama lain dan berkata, “Sungguh demi Tuhan, tidak akan ada yang bisa menyelamatkan kalian selain kejujuran. Siapapun di antara kalian yang pernah melakukan amal kebaikan, maka mintalah kepada tuhan untuk menyelamatkan kita dari kematian atas kehormatan amal tersebut.”…”

Bada’ tidak dapat diartikan sebagai kebodohan Tuhan. Karena Tuhan Maha Suci dari sifat yang sedemikian. Kita sebagai manusia yang memiliki sudut pandang terbatas melihat seolah fenomena yang sudah ditakdirkan Tuhan berubah-ubah. Saat dikatakan “terjadi bada’ bagi Tuhan”, itu hanyalah ungkapan emosional (yang diperuntukkan bagi manusia) saja, tidak bisa dikaitkan secara hakiki dengan ilmu yang Tuhan miliki. Karena Tuhan sejak semulanya mengetahui segala sesuatu dengan perubahan-perubahan yang akan terjadi; hanya kita saja yang tidak tahu.

Oleh karena itu, bada’ tidak bertentangan dengan ke-Maha-Tau-an Tuhan.
Jadi, jika kami meyakini bahwa Imam-Imam maksum memiliki ilmu ghaib, itu bukan berarti mereka lebih tinggi dari Tuhan; ilmu mereka adalah ilmu yang diberikan Tuhan, itupun terbatas; sedangkan ilmu sebenarnya yang dimiliki Tuhan tidaklah terbatas. Ilmu para Imam adalah karunia, sedang ilmu Tuhan adalah ilmu dari dzat-Nya sendiri.

[1] Ushul Madzah Asy Syiah, jld. 3, hlm. 154.
[2] Ad Durr Al-Mantsur, jld. 6, hlm. 661.
[3] Shahih Bukhari, jld. 4, hlm. 172, Kitab Ahadits Al-Anbiya’, hadits nomor 3465, dan Kitab Al-Buyu’, hadits nomor 2215.


Tanya: Jika Ali dan dua anaknya, Hasan dan Husain, memiliki kekuatan yang luar biasa dalam menghadapi kesulitan-kesulitan, lalu mengapa Hasan bin Ali memilih untuk berdamai dengan Mu’awiyah? Mengapa Husain bin Ali bernasib begitu malang hingga terbunuh di Karbala dan tidak mencapai tujuannya?

Jawab: Dalam Al-Qur’an memang dijelaskan bahwa Rasulullah saw memiliki kekuatan luar biasa. Beliau telah melakukan Isra’ Mi’raj, membelah bulan, dan mukjizat-mukjizat serta karamah lainnya. Semua itu telah ditukil dalam kitab-kitab hadits secara mutawatir. Namun meski ia memiliki kekuatan luar biasa seperti itu, beliau pernah mengalami patah gigi di perang Uhud, wajahnya berdarah, 70 orang dari sahabatnya gugur, dan seterusnya. Beliau meletakkan batu besar di atas perutnya untuk menahan lapar pada peristiwa perang Khandaq. Pada perjanjian Hudaibiah ia terpaksa untuk berdamai dengan kaum musyrik Makkah. Beliau gagal untuk memenangkan Thaif. Sepeninggal beliau banyak pemberontakan-pemberontakan di kabilah-kabilah Jaziratul Arab. Lalu menurut anda mengapa Nabi begitu sengsara seperti ini padahal ia memiliki kekuatan luar biasa?

Jawabannya singkat, para Nabi selalu berusaha hidup selayaknya manusia biasa; dan dalam keadaan biasa mereka selalu berdakwah mengajak manusia kepada jalan yang benar dan memusuhi orang-orang kafir yang memerangi mereka. Hanya saja terkadang mereka menggunakan kekuatan luar biasa yang telah dianugerahkan Tuhan kepada mereka untuk membuktikan kebenaran dakwah, yakni mukjizat.
Begitu pula Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dan anak-anaknya as.

Anda secara tidak langsung telah menghina Husain as dengan mengatakan bahwa ia tidak mencapai tujuannya. Kami berkeyakinan beliau telah mencapai tujuannya. Jelas tujuannya adalah kebangkitan dan kesadaran umat Islam dalam berjihad dan ber-amar makruf nahi munkar. Beliau berhasil mengajarkan umat Islam untuk tidak diam di bawah penindasan pemerintah-pemerintah zalim Bani Umayah. Keberhasilan Al-Husain as telah menuai keberhasilan kebangkitan-kebangkitan setelahnya.

Penanya mengira Imam Husain as sama seperti para khalifah lainnya yang bekerja keras untuk mendapatkan kekuasaan. Oleh karena itu, saat melihat Imam Husain as gugur di medan perang, ia berkata bahwa Husain as gagal meraih tujuan.

Justru dengan gugurnya Imam Husain as hidup umat islam yang sebenarnya dimulai. Kehidupan yang penuh dengan kesadaran dan kebangkitan. Gugurnya Imam Husain as bukanlah kematiannya, namun kehidupan hakiki. Allah swt berfirman:
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (Ali-Imran:169).


Tanya: Apakah ada kitab selain Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw? Apakah hanya Ali saja yang mengetahuinya? Apakah kitab-kitab seperti Al-Jami’ah, Shahifah Namus, Shahifah ‘Abithah, Shahifah Du’abatus Saif, Shahifah Ali, Jafr, Mushaf Fathimah, Taurat, Injil dan Zabur juga dimiliki dan disimpan oleh para Imam Syiah?

Jawab: Sepeninggal Rasulullah saw, umat Islam menjadikan Al-Qur’an dan Sunah Nabi sebagai pegangan mereka. Keduanya adalah rukun dasar yang mana berdirinya Islam bergantung pada dua rukun itu. Bagi kami, hadits-hadits para Imam maksum adalah cerminan sunah Nabi; karena kami yakin apa yang mereka katakan pasti dari Nabi.

Untuk menjaga sunah, terkadang Nabi memerintahkan untuk dituliskannya sunah tersebut. Misalnya:
1. Dalam Fathul Makkah, Rasulullah saw berkhutbah lalu setelah itu seseorang dari Yaman mendatangi Nabi lalu meminta agar dituliskan khutbah tersebut untuknya. Rasulullah saw memerintahkan para sahabatnya untuk menuliskan khutbah tersebut.[1]

2. Di akhir hayatnya Rasulullah saw bersabda, “Berilah aku sebuah pena dan kertas agar aku dapat menuliskan wasiat untuk kalian agar kelak kalian tidak akan tersesat.” Namun sayang sekali Umar menghalangi beliau dari penulisan wasiat seraya berkata, “Begitu parah sakit Nabi hingga beliau sampai mengigau. Cukup bagi kami kitab Allah.”[2]

3. Seseorang dari kaum Anshar duduk di dekat Nabi sambil mendengarkan ucapan-ucapannya. Namun ia sering lupa karena ingatannya yang lemah. Lalu ia mengadukan lemahnya ingatan itu kepada Rasulullah saw. Beliau berkata padanya, “Mintalah pertolongan pada menulis.” Yakni ia diperintahkan untuk mencatat daripada hanya mendengarkannya.[3]

Umar bin Syu’aib menukilkan dari kakeknya bahwa ia bertanya kepada Rasulullah saw, “Apakah aku perlu menulis apa yang telah aku dengar darimu?” Beliau menjawab, “Ya, tulislah.”[4]

Al-Qur’an pun memerintahkan jika seandainya kita berhutang kepada seseorang maka kita harus mencatatnya.[5]

Oleh karena alasan begitu pentingnya sunah Nabi, Ali as dan anak-anaknya selalu menulis dan mencatat segala apa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah saw.
Ali bin Abi Thalib as pernah berkata, “Setiap kali aku bertanya pada Nabi, beliau selalu menjawabku. Dan jika aku diam, ia yang selalu memulai memberitahu aku.”[6]

Oleh karena itu, segala kitab dan catatan yang dimiliki oleh Ali as semuanya hadits Nabi yang ia tulis dari apa yang ia dengar dari lisan beliau. Kitab-kitab yang ia tulis memiliki nama yang bermacam-macam dan diwariskan lalu disimpan oleh anak-anak dan keturunan beliau. Dalam riwayat kami sering disebutkan bahwa terkadang Imam Baqir as dan Imam Ja’far Shadiq as memberikan hukum berdasarkan kitab-kitab tersebut.[7]

Bahkan perlu anda ketahui bahwa Ali as tidak hanya selalu mencatat hadits saja, ia merupakan orang pertama yang mencatat Al-Qur’an. Beliau mencatatnya terus menerus selama dua puluh tiga tahun; selama dua puluh tiga tahun, begitu ayat Al-Qur’an diturunkan beliau mencatatnya. Ali as sendiri pernah berkata, “Demi Tuhan, tidak ada satu pun ayat dalam Al-Qur’an kecuali aku tahu untuk apa ayat itu turun dan di mana diturunkannya dan mengenai siapa. Tuhan telah mengkaruniai aku wadah ilmu yang luas dan lidah yang lancar dalam menjelaskannya.”[8]

Oleh karena itu, kitab-kitab yang telah anda sebutkan kebanyakan adalah kitab hadits Nabi. Misalnya seperti Mushaf Fathimah, kita telah jelaskan pula sebelumnya.
Nama-nama kitab yang telah disebutkan dalam pertanyaan tersebut juga disebutkan oleh Bukhari dalam Shahihnya.[9]

Anehnya si penanya menganggap keberadaan kitab-kitab tersebut sebagai titik lemah Syiah. Padahal bagi kami itu kebalikannya. Keberadaan kitab-kitab tersebut justru menunjukkan betapa Ahlul Bait mementingkan terjaganya sunah Nabi.
Di lain sisi, terasa aneh saat kita melihat sejarah Ahlu Sunah bahwa khalifah Umar pernah melarang Muslimin untuk tidak menuliskan hadits.
‘Aisyah pernah berkata, “Suatu malam aku melihat ayahku susah tidur. Aku bertanya apa sebabnya. Namun di pagi hari, dia berkata kepadaku, “Bawakan catatan-catatan hadits yang pernah kau simpan.” Seluruhnya ada sekitar 500 hadits Nabi dalam catatan-catatan itu. Ia mengumpulkannya menjadi satu lalu membakarnya.”[10]

Saat Umar bin Khattab menjadi khalifah, ia menulis surat pengumuman lalu disebarkan; yang isinya: “Barang siapa meulis selain Al-Qur’an dari Nabi, maka hendaknya tulisan itu dilenyapkan.”[11]
Semenjak itulah penulisan hadits dilarang sehingga penulisan hadits mendapatkan kesan buruk bagi masyarakat.

Namun pada pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, ia sebagai khalifah merasa bahwa ditinggalkannya penulisan hadits akan mengancam keutuhan sunah nabawi. Kemudian ia menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm (seorang alim di Madinah) untuk menulis kembali hadits-hadits Nabi.[12]

Kondisi yang mencengangkan. Lambat laun muncullah para pedagang hadits yang menjual hadits-hadits palsu buatan mereka sendiri.
Salah jika kita perfikiran bahwa hanya Al-Qur’an saja kitab yang diperlukan umat Islam. Kita perlu kitab-kitab lain yang menjelaskan dan menafsirkan maksud Al-Qur’an.

Adapun para Imam juga menyimpan kitab-kitab langit lainnya seperti Taurat, Injil dan Zabur, itu memang benar dan tidak ada yang perlu dipermasalahkan mengenainya. Saat umat Islam menguasai kandungan kitab-kitab langit lainnya, hal itu dapat menjadi senjata yang ampuh bagi Muslimin untuk meraih kemenangannya saat berdakwah Islam kepada pemeluk agama lain. Sebagai contoh, Imam Ali Ridha as pernah berdebat dengan Ahlul Kitab dengan menggunakan kitab mereka sendiri karena ia menguasai kitab-kitab mereka; kitab yang mana di dalamnya disebutkan tanda-tanda dan ciri-ciri Nabi terakhir, Muhammad saw.

[1] Shahih Bukhari, bab Kitabul Ilm, hadits 112.
[2] Ibid, hadits 114.
[3] Sunan Tirmidzi, jld. 5, hlm. 39.
[4] Ibid, hlm. 125.
[5] Al-Baqarah: 282.
[6] Thabaqat Al-Kubra, Ibnu Sa’ad, jld. 2, hlm. 283; Sunan Tirmidzi, jld. 5, hlm. 638, hadits 2722, dan hlm. 40, hadits 3729; Tarikh Al-Khulafa, Suyuthi, hlm. 170.
[7] Wasailus Syiah, jld. 4.
[8] Thabaqat Al-Kubra, jld. 2, hlm. 338; Kanzul Ummal, jld. 15, hlm. 135.
[9] Shahih Bukhari, bab Kitabatul Ilm, hadits 1.
[10] Tadzkiratul Huffadz, Dzahabi, jld. 1, hlm. 5.
[11] Musnad Ahmad bin Hanbal, jld. 3, hlm. 12 dan 14.
[12] Shahih Bukhari, bab Kaifa Yafidhu Al-Ilm, hadits 4.


Tanya: Alasan bertaqiyah adalah karena takut akan siksaan atau kematian. Padahal para Imam maksum tidak takut akan kedua hal tersebut, lalu mengapa mereka bertaqiyah?

Jawab: Taqiyah bukanlah karena para Imam takut akan kematian ataupun siksan, namun ada alasan-alasan lain yang sebagian darinya dapat saya sebutkan di sini:

1. Pemerintahan Umawiah dan Abbasiah tidak menginginkan adanya perkumpulan di rumah Imam-Imam Syiah. Mereka benar-benar bertentangan dengan kegiatan tersebut. Pada era pemerintahan Mu’awiyah, perkumpulan-perkumpulan tersebut telah dibasmi; dan orang-orang seperti Hajar bin Uday dan Maitsam At Tammar digantung di depan umum. Oleh karena itu, supaya keberadaan para Syiah terjaga, para Imam memutuskan untuk ber-taqiyah.

2. Jika misalnya para Imam tidak ber-taqiyah, mereka tidak dapat melakukan tugas-tugas mereka yang lain. Dengan cara bertaqiyah para Imam dapat sedikit berinteraksi dengan kelompok penentangnya dan dengan cara ini pula para Imam dapat mengarahkan pengikut-pengikutnya. Jika tidak ber-taqiyah, hal itu musthail dilakukan.

3. Amar Makruf Nahi Munkar terkadang dapat dilakukan dengan cara menentang secara terang-terangan, dan terkadang tidak; karena mungkin hanya akan menimbulkan banyak kerugian.
Oleh karena itu para Imam tidak bertaqiyah untuk menyelamatkan nyawa mereka, namun tujuannya adalah menyalamatkan para Syiah.

Salamah bin Muhriz berkata: Aku berkata kepada Imam Shadiq as: “Seseorang telah menjadikanku washinya dan ia tidak memiliki anak selain seorang putri. Lalu bagaimana aku membagikan warisannya?” Imam berkata: “Berikanlah separuh hartanya kepada anak perempuan itu dan separuh lainnya kepada keluarga dari ayahnya.” Aku kembali ke Kufah dan menceritakan perbincangan kami dengan Imam kepada Zurarah. Zurarah berkata, “Imam menyatakan hukum ini atas dasar taqiyah. Hukum sebenarnya yang Imam benarkan adalah semua harta tersebut harus diberikan kepada anak perempuan tersebut.”

Tahun berikutnya aku datang ke Madinah untuk melaksanakan ibadah Haji. Aku menceritakan hal ini kepada Imam Shadiq dan aku berkata, “Sepertinya engkau telah ber-taqiyah saat itu.” Ia berkata, “Ya, benar, aku khawatir jika engkau memberikan semua harta sang ayah kepada anaknya maka keluarga ayah tersebut akan menuntutmu dan menagih separuh harta ayah darimu untuk mereka.”

Lalu beliau bertanya kepadaku, “Sebenarnya apa yang telah kamu lakukan terhadap separuh harta yang lain?” Aku menjawab, “Aku tidak memberikannya.” Ia membalas, “Apakah ada seorang pun yang tahu hal ini?” Aku jawab, “Tidak.” Lalu beliau menambahkan, “Maka berikanlah semuanya kepada anak perempuan itu.”[1]


[1] Wasail Asy Syiah, jld. 17, bab 14, hadits 3 dan bab 5, hadits 4.


Syiah dan Tuduhan Tahrif al-Quran: Tanggapan atas Artikel Era Muslim “Distorsi Itikad Baik Merukunkan Umat”.


Tanya: Kami membaca dalam Al-Kafi bahwa Syiah memiliki suatu kitab yang disebut Mushaf Fathimah. Yang kami fahami dari Al-Kafi, Mushaf Fathimah adalah Al-Qur’an-nya orang Syiah. Benarkah itu?
Jawab: Tidak, tidak demikian. Bukan seperti itu maksud dari apa yang disebutkan dalam Al-Kafi.
Hadits dalam Al-Kafi tersebut hanya sekedar menjelaskan suatu kitab yang bernama Mushaf Fathimah. Mushaf tidak selalu berarti Al-Qur’an. Mushaf berasal dari kata Shahifah yang berarti lembaran. Oleh karena itu Mushaf adalah kumpulan lembaran-lembaran; tidak harus berarti Al-Qur’an.
Dalam Al-Qur’an disebutkan:
“Saat itu lembaran-lembaran amal perbuatan telah disebarkan.” (At Takwir:10)
“(hal) ini telah disebutkan dalam lembaran-lembaran terdahulu, dalam kitab Ibrahim dan Musa.” (Al-A’la: 18-19)
Dalam sejarah dapat kita baca bahwa yang disebut mushaf adalah segala lembaran-lembaran yang dikumpulkan menjad satu. Sepeninggal Nabi pun Al-Qur’an bahkan tidak pernah disebut dengan sebutan mushaf.
Ibnu Abi Dawud Sajistani mengenai disusunnya Al-Qur’an dalam satu mushaf (satu kumpulan) berkata, “Ketika Nabi meninggal dunia, Ali bersumpah untuk tidak mengenakan rida’ (semacam pakaian) kecuali untuk shalat Jum’at hingga selesai Al-Qur’an dikumpulkan menjadi satu mushaf.”
Abu Al-’Aliyah menukilkan, “Mereka melihat Al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf pada masa kekhilafahan Abu Bakar.”
Ia juga menukil, “Umar bin Khatab mengeluarkan perintah pengumpulan (pengkoleksian) Al-Qur’an sedang ia adalah orang pertama yang telah mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf.”[1]
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa pada waktu itu yang disebut mushaf adalah suatu kumpulan lembaran-lembaran yang telah menjadi satu agar tidak tersebar berceceran. Lalu lama kelamaan Al-Qur’an pun disebut dengan mushaf.
Demikian pula riwayat-riwayat dari kalangan kami, misalnya:
Imam Ja’far Shadiq berkata: “Barang siapa membaca Al-Qur’an yang telah menjadi Mushaf (lembaran-lembaran yang telah dijilid), ia akan mendapatkan banyak manfaat untuk matanya.”[2]
Ia juga pernah berkata, “Membaca Al-Qur’an dalam bentuk mushaf akan meringankan adzab kubur ayah dan ibu kalian.”[3]
Para ahli sejarah mengenai Khalid bin Ma’dan menulis:
“Khalid bin Ma’dan menulis ilmunya dalam mushaf yang memiliki kancing (pengunci) dan pegangan.”[4]
Khalid bin Ma’dan adalah salah seorang yang termasuk Tabi’in dan mengalami 70 sahabat dalam hidupnya.[5]
Sampai akhir abad ke-1 Hijriah, kata mushaf memiliki arti umum, yaitu kumpulan lembaran berjilid yang mana kebanyakan orang menjadikannya sarana nenulis dan menuangkan isi pikiran.
Kalau begitu mengapa kita heran kalau putri Rasulullah saw memiliki mushaf? Yang mana ia telah menuang segala yang ada di pikirannya (ilmu-ilmu yang pernah diajarkan oleh ayahnya) ke dalam mushaf tersebut lalu mewariskannya kepada anak-anak sebagai sebaik-baiknya warisan.
Para Imam kami pun juga telah menjelaskan bahwa mushaf tersebut hanyalah kumpulan tulisan Fathimah Az-Zahra yang berisi pengetahuan-pengetahuan yang didapat dari ayahnya. Lagi pula ia dijuluki dengan sebutan Muhaddatsah, yakni orang yang diajak bicara dengan malaikat. Pasti segala yang ia dapat dari pembicaraan itu telah dituliskan ke dalam mushafnya.
Imam Ja’far Shadiq berkata, “Dalam Mushaf Fathimah terdapat penjelasan mengenai halal dan haram yang padahal masih belum ada wujudnya di tengah-tengah masyarakat kita saat ini. Itu bukanlah Qur’an, namun dikte Rasulullah Saw yang dituliskan oleh Ali. Semua itu ada di tangan kami.”[6]
Ia juga pernah berkata, “Di dalamnya banyak sekali hal-hal yang tidak ada di dalam Al-Qur’an kalian.” Lalu perawi bertanya, “Apakah di dalamnya ada suatu pengetahuan (ilmu)?” Dijawabnya, “Ya, namun bukan sembarang pengetahuan.”[7]
Jadi Mushaf Fathimah bukanlah sesuatu yang kita sebut Al-Qur’an dan kita yakini sebagai Qur’an Syiah. Namun seringkali masalah tersebut dijadikan alat oleh pembenci kami untuk memojokkan Syiah dengan berbagai tuduhan.

[1] Kitab Al-Masahif, Hafidz Abu Bakar Abdullah bin Abi Dawud Sajistani, hlm. 9-10.
[2] Ushul Al-Kafi, jld. 2, hlm. 613.
[3] Ibid.
[4] Kitab Al-Masahif, Hafidz Abu Bakar Abdullah bin Abi Dawud Sajistani, hlm. 134-135.
[5] Al-Lubab fi Tadzhib Al-Ansab, Ibnu Atsir, jld. 3, hlm. 62 dan 63.
[6] Bashair Ad Darajat, hlm. 157.
[7] Al-Kafi, jld. 2, hlm. 613, hadits 1.


Kata “mushaf” kini sering difahami sebagai Al Qur’an; padahal dari segi bahasa artinya “sekumpulan lembaran di antara dua sampul” yang kini kita sebut buku. Oleh karena itu, Mushaf Fathimah adalah buku yang beliau miliki, yang mana riwayat-riwayat Ahlu Sunah pun sering menjelaskannya pula. Misalnya, para perawi seperti Ubay bin Ka’ab meriwayatkan bahwa ada sebuah buku yang dimiliki oleh Fathimah Azzahra. Jadi tuduhan bahwa Syiah memiliki Qur’an lain yang disebut Mushaf Fathimah, adalah tuduhan buta. Karena sama sekali tidak terbukti bahwa buku itu adalah Al Qur’an, apa lagi Qur’an yang dianut Syiah.
Mengenai buku apakah itu, dalam riwayat-riwayat Syiah juga banyak keterangan yang didapat. Misalnya tentang kandungan, volume, bagaimana dan kapan buku itu ditulis, dsb. Berdasarkan hadits-hadits tersebut, dapat dinyatakan bahwa buku itu mengandung hal-hal seperti wasiat Fathimah Azzahra, berita tentang musibah-musibah yang akan menimpa anak cucunya kelak, berita tentang peristiwa-peristiwa yang kelak akan terjadi, dan juga kabar mengenai raja-raja dan para penguasa yang akan memimpin di muka bumi. Disebutkan pula buku itu menjelaskan seluruh halal dan haram yang ada di dunia ini.
Bagaimana dan kapan buku itu ditulis? Ada riwayat yang menjelaskan: “Rasulullah saw menjelaskan hal-hal tertentu dan Imam Ali menulisnya.” Lalu jika demikian, mengapa disebut Mushaf Fathimah? Jawabannya karena buku itu disimpan oleh beliau. Ada juga yang mengatakan karena sebagian informasi yang tertulis dalam buku itu sampai ke telinga Imam Ali melalui perantara Fathimah.
Riwayat lainnya menjelaskan bahwa sepeninggal Rasulullah, Fathimah Azzahra terpuruk dalam kesedihannya. Allah mengutus malaikat untuk menemaninya, berbicara dengannya dan memberi berbagai macam berita seperti kedudukan ayahnya di alam sana, dan juga masalah-masalah lainnya; yang akhirnya semua itu disampaikan oleh beliau kepada Imam Ali dan Imam menuliskannya.[1]
Hanya saja timbul pertanyaan mengenai yang terakhir ini, karena kita meyakini bahwa dengan diutusnya Rasulullah, setelahnya tidak ada lagi wahyu yang diturunkan kepada manusia. Jawabannya, apa yang terjadi pada Fathimah Azzahra bukanlah diturunkannya wahyu, namun pembicaraannya dengan malaikat yang diutus Allah. Sebagaimana kita membaca dalam Al Qur’an bahwa seringkali manusia memiliki hubungan dengan malaikat, seperti yang kita dengar tentang Maryam [2]; Tuhan juga pernah berkomunikasi dengan ibu nabi Musa [3]. Oleh karena itu, tidak mustahil jika seandainya terjadi komunikasi antara Fathimah Azzahra dengan malaikat yang diutus Allah. Yakni, seusai kenabian Rasulullah saw, terputuslah hubungan antara Tuhan dengan manusia sebagai nabi, bukan terputusnya hubungan Tuhan dengan makhluk-Nya sama sekali.
Di manakah Mushaf Fathimah saat ini? Berdasarkan riwayat-riwayat yang sampai ke tangan kita, Mushaf Fathimah diwariskan turun temurun oleh Ahlul Bait dan berdasarkan kitab itu para Imam menjelaskan hukum-hukum syar’iy dan memberitakan peristiwa-peristiwa yang akan datang.
Saya mengingatkan, akhir-akhir ini ada buku yang bernama Shahifah Fathimah Azzahra. Perlu diketahui bahwa buku itu bukanlah Mushaf Fathimah, melainkan hanya buku yang mencakup doa-doa Fathimah Azzahra.
1. Biharul Anwar, jilid 26; Tadwn As Sunnah Asy Syarifah, halaman 77.
2. Ali Imran: 42-45
3. Al Qashash: 7


Tahrif Al-Qur’an.
Selama ini isu tentang tahrif (perubahan dalam arti penambahan atau pembuangan ayat) pada Al-qur’an selalu dituduhkan kepada syi’ah, dan hal ini telah dibantah oleh ulama syi’ah sekarang. Padahal banyak riwayat pada ahlusunnah yang menyiratkan adanya tahrif Al-qur’an, seperti berikut :
1. Ibnu Majah meriwayatkan dari A’isyah, yang mengatakan bahwa Ayat Rajam dan Ayat Radha’ah yang ia simpan di bawah ranjang telah dimakan kambing dan tidak ada lagi dalam Al-Qur’an.
Lihat :
a. “Ta’wil Mukhtalaf Al-hadits” oleh Ibn Qutaibah, hal. 310.
b. Musnad Ahmad, jilid 6, hal. 269.
dll.

2.
Aisyah mengatakan : “Pada masa Nabi, Surat Al-Ahzab dibaca sebanyak 200 ayat, tetapi ketika Utsman menulis mushaf ia tidak bisa mendapatkannya kecuali yang ada sekarang”
Ref. ahlusunnah :
1. Suyuthi, dalam “Al-Itqan”, jilid 2, hal. 25.
2. Muntakhab Kanzul Ummal pada Musnad Ahmad, jilid 2, hal. 1.
3. Musnad Ahmad, jilid 5, hal. 132.
dll.
Seperti kita ketahui bahwa surat Al-Ahzab yang ada di mushaf sekarang ini adalah 73 ayat. Berarti menurut riwayat tersebut ada 127 ayat yang hilang.
3. Umar bin Khottob mengatakan : “Apabila bukan karena orang-orang akan mengatakan bahwa Umar menambah-nambah ayat ke dalam Kitabullah, akan aku tulis ayat rajam dengan tanganku sendiri”
lihat :
a. Shohih Bukhori bab “shahadah indal hakim fi wilayatil Qadla”.
b. “Al-itqan” oleh Suyuthi, jilid 2, hal. 25 dan 26.
c. Nailul Authar, kitab hudud ayat rajam, jilid 5, hal. 105.
d. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 260.
e. “Hayatus Shohabah” oleh Kandahlawi, jilid 2, hal. 12.
dll.
Bila anda belum tahu mengenai ayat rajam, berikut bunyinya :
“Idzaa Zanaya Syaikhu wa Syaikhotu Farjumuuhuma Al-battatan Minallaahi Wallaahu ‘Aziizun Hakiim”
lihat :
a. Suyuthi, dalam “Al-Itqan”, jilid 2, hal. 25.
b. Abdur Rozaq, dalam “Mushannif”, jilid 7, hal. 320.
c. Muntakhab Kanzul Ummal pada Musnad Ahmad, jilid 2, hal. 1.
Dan ayat rajam ini tidak ada pada mushaf Al-qur’an yang kita pegang sekarang ini.
Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat ahlusunnah yang menunjukkan adanya tahrif pada Al-qur’an.
Namun seperti yang saya katakan, semua riwayat tentang adanya tahrif pada Al-Qur’an, telah dibantah oleh ulama syiah yang bernama Syekh Rasul Ja’farian, dalam bukunya “Ukdzubah Tahrif Al-Qur’an Baina Syi’ah Wa Sunnah”, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Menolak Isu Perubahan Al-Qur’an”, penerbit Pustaka Hidayah, Jakarta. Saya sarankan anda membaca buku ini.
Tulisan ulama syi’ah tersebut membantah semua riwayat, baik yang bersumber dari ahlusunnah maupun yang bersumber dari ulama syi’ah terdahulu. Sehingga kesimpulannya, ulama syi’ah sekarang seperti Syekh Rasul Ja’farian, Ayatullah Borujerdi, Imam Khomeini, dan lain-lain, berdasarkan penelitian mereka, menolak adanya tahrif pada Al-qur’an.
Salah satu yang menjadi dasar penolakan ulama syi’ah sekarang tentang tahrif, adalah adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang mendasari penolakan terhadap tahrif pada Al-Qur’an, yaitu :
1. [Q.S. 15:9], berbunyi :
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya”.
2. [Q.S. 41:41-42], berbunyi :
“….Dan sesungguhnya Alqur’an itu adalah kitab yang mulia, yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya. Yang ia diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.
Berikut saya kutipkan pernyataan beberapa ulama syi’ah sekarang (selain Syekh Rasul Ja’farian) tentang penolakan terhadap riwayat tahrif pada Al-Qur’an :
1. Allamah Syahsyahani mengatakan tentang hadits tahrif, yaitu :
“..Hadits-hadits ini bertentangan dengan hadits-hadits mutawattir yang lebih kuat dan sesuai dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, akal sehat dan kesepakatan”.
2. Imam Khomeini mengatakan tentang hadits tahrif, yaitu :
“Lemah, tidak pantas berdalil dengannya”.
dan masih banyak lagi yang lain.
Berikut saya nukilkan juga ucapan seorang ulama besar ahlusunnah, yang bernama Al-Hindi : “Sesungguhnya Al-Qur’an Al-Majid, di kalangan jumhur Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyyah, adalah terjaga dari perubahan dan pergantian. Dan apabila ada juga diantara mereka yang mengatakan adanya pengurangan pada Al-Qur’an, maka yang demikian itu mereka tolak dan tidak mereka terima. “
lihat :
Al-Hindi, dalam “Idhharul Haq Haulasy Syi’ah Wal Qur’an”, jilid 2, hal. 128.
Tetapi berbeda dengan ulama ahlusunnah, yang tidak pernah membantah terhadap riwayat-riwayat tentang tahrif yang ada pada kitab-kitab ahlusunnah sendiri sebagaimana yang telah saya nukilkan di atas.
Dan pada pernyataan Sayyid Al-Khu’i (yang anda kutip) tidak berbicara tentang tahrif, melainkan beliau berbicara tentang adanya ayat yang letaknya salah, maksudnya adalah bahwa harusnya ayat tersebut berada pada tempat yang lain. Sebagai contoh pada [Q.S. Al-Maidah 3], pada awal ayat membahas maudhu’ (subyek) tentang makanan yang halal-haram, tetapi tiba-tiba maudhu’ ayat berubah menjadi “Pada hari ini orang-orang kafir
berputus asa…….ku ridloi Islam menjadi agamamu”, kemudian dilanjutkan lagi dengan maudhu’ tentang makanan yang halal-haram. Di sini jelas terlihat adanya maudhu’ yang tidak sesuai pada rangkaian ayat tersebut. Kesalahan penempatan atau penertiban ayat adalah bukan tahrif, karena tidak terjadi penambahan atau pembuangan ayat. Ini yang mesti anda fahami.
Sayyid Al-Khu’i TIDAK PERNAH menyetujui pendapat adanya tahrif pada Al-Qur’an. Lihat kitab beliau yang berjudul “Al-Bayan Fi Tafsiril Qur’an”.
Dalam sejarah pengumpulan Al-Qur’an, maka ada banyak sekali mushaf, seperti seperti mushaf Ubay bin Ka’ab, mushaf Utsman, mushaf Ibnu Zubair, mushaf A’isyah, mushaf Ali, dll.
Ref. ahlusunnah :
1. Abu Dawud, dalam “Mashohif”, hal. 51-93.
2. Ibn Abil Hadid, dalam “Syarh Nahjul Balaghah”, jilid 1, hal. 27.
3. Ibn Sa’ad, dalam “Thabaqat Al-Kubra”, jilid 2, hal. 338.
dll.
Dan yang sampai pada kita sekarang ini adalah mushaf Utsman. Karena Utsman tidak ma’sum, maka bisa saja terjadi kesalahan peletakan atau penertiban ayat pada Al-Qur’an. Namun, sekali lagi, hal itu BUKAN tahrif.
Syekh Abdurrahim Tabrizi TIDAK PERNAH mendukung pendapat tentang adanya tahrif Al-Qur’an. Lihat kitab beliau yang berjudul “Alaur Rahim”. Sehingga, pasti telah terjadi pemotongan kalimat beliau pada saat anda mengutipnya. Atau anda mungkin hanya mengutip dari kitab-kitab yang anti syi’ah, yang penuh dengan kebohongan dan kepalsuan.
1. Syiah menyelewengkan al-Qur’an ?
Ulama Syiah dari dulu hingga sekarang menolak pendapat tentang berlaku penyelewengan dalam bentuk seperti berlaku perubahan/tahrif, lebih atau kurangnya ayat-ayat Qur’an sama ada dari kitab-kitab Syiah atau Ahlul Sunnah.
Mereka berpendapat jika hujah berlakunya perubahan ayat-ayat Qur an diterima maka Hadith sohih Nabi Muhammad SAW yang bermaksud, ” Aku tinggalkan kamu dua perkara supaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya iaitu al-Qur an dan Sunnah/Ahl Bayt,” tidak boleh dipakai lagi kerana al-Qur an yang diwasiatkan oleh Nabi SAW untuk umat Islam sudah berubah dari yang asal sedangkan Syiah sangat memberatkan dua wasiat penting itu dalam ajaran mereka.Lagi pun Hadith-hadith yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Syiah berkaitan dengan tahrif keatas al-Qur an yang berjumlah kira-kira 300 itu adalah Hadith-hadith dhaif.
Begitu juga dalam kitab-kitab Sunnah seperti Sahih Bukhari turut menyebut tentang beberapa Hadith tentang perubahan ayat-ayat Qur an misalnya tentang ayat rejam yang dinyatakan oleh Umar al-Khattab, perbedaan ayat dalam Surah al-Lail dan sebagainya. Bukahkah Allah SWT telah berfirman dalam al-Qur’an (Surah 15:9),: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Zikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami memeliharanya.” Sekiranya seseorang itu menerima pendapat bahawa al-Qur’an telah diselewengkan oleh sesuatu golongan maka di sisi lain orang ini sebenarnya telah menyangkal kebenaran ayat di atas. Oleh itu semua pendapat tentang kemungkinan berlakunya tahrif dalam ayat-ayat Qur an sama ada dari Syiah atau Sunnah wajib ditolak sama sekali.
Imam Ja’far al-Sadiq AS meriwayatkan sebuah Hadith dari datuknya Rasulullah SAW: “Setiap Hadith yang kamu terima dan bersesuaian dengan Kitab Allah tidak diragukan datangnya dari aku dan Hadith-hadith yang kamu terima yang bertentangan dengan Kitab Allah, sesungguhnya bukan datang dariku.” [Al-Kulaini, al-Kafi, Jilid I, Hadith 205-5]

Mushaf Fatimah ???
Sesungguhnya banyak orang yang tidak benar benar mengenal Syiah kecuali mereka hanya membebek ulama mereka..
Sementara banyak juga yang sangat bangga dengan doktrin Mushaf Fatimah adalah Quran orang Syiah.
Satu satunya sebab mengapa mereka akhirnya terjerumus lebih dalam kepelosok kebodohan adalah karena mereka dengan berani mengikuti ulama ulama puritan yang ‘sangat berani’ mengubah ubah Hadith Hadith Rasulullah Saww.
Sehingga besar kemungkinan mereka bukanlah pemerhati atau pun mewakili Kaum Syiah kecuali hanya menjadi perpanjangan tangan kaum takhfiri saja.
Inilah Hadith yang menjadi ‘alat’ kaum takhfiri dalam memfitnah Syiah, dengan memotong di kalimat belakang (un bold)
Abu Basyir berkata: “Aku berada di sisi Imam Shadiq as dan aku berkata: “Apa Mushaf Fathimah itu?”. Beliau menjawab: “Mushaf yang tebalnya tiga kali al-Quran yang ada di tanganmu. Namun, demi Allah, tidak satu kata pun dari al-Quran ada di dalamnya.
Mushaf Fatimah di susun oleh Imam Ali As disaat beliau dalam kesendirian pasca Kebanyakan penduduk madinah meninggalkan beliau.
Sebagian muslimin menuduh bahwa Mushaf Fathimah Az-Zahra as adalah Quran orang-orang Syiah yang ada di tangan Imam Mahdi af yang akan disodorkan ketika dia muncul. Dan sebagian memberatkan wujudnya Mushaf itu.
Pertanyaannya adalah mengapa sebagian muslimin begitu benci dan menaruh dendam terhadap Syiah dan menuduh bahwa orang-orang Syiah memiliki al-Quran tersendiri selain yang ada di tangan orang non Syiah? Bahkan sampai saat ini senantiasa ada orang-orang dengki yang mengkritik secara tidak obyektif hanya ingin menjatuhkan dan mencari kelemahan saja tanpa ada niat ingin mencari kebenaran? Jawabannya adalah:
  1. Selain mereka tidak merujuk ke sumber-sumber hadis Syiah, mereka hanya termakan oleh hasutan musuh-musuh Syiah.
  2. Mereka tidak mau menerima bahwa orang-orang Syiah meyakini bahwa Fathimah as; putri Nabi Muhammad saw memiliki sebuah Mushaf.
  3. Kebencian dan kekerasan hati mereka terhadap ajaran Syiah yang disampaikan oleh para Imam Maksum as dan tidak mau orang lain memiliki keyakinan seperti apalagi dirinya.
  4. Mereka berpikir bahwa Mushaf adalah kumpulan al-Quran sebagaimana istilah yang diterapkan pada zaman Rasulullah saw bahwa Mushaf adalah kumpulan-kumpulan tulisan al-Quran, padahal pada zaman itu Mushaf secara bahasa adalah kumpulan-kumpulan lembaran yang sudah dijilid dalam bentuk sebuah buku. Jadi Mushaf bukan hanya kumpulan tulisan al-Quran saja, tetapi mencakup juga kumpulan-kumpulan tulisan selain al-Quran. Oleh karena itu Mushaf Fathimah adalah kumpulan-kumpulan tulisan  Sayyidah Fathimah sepeninggal Ayahnya saw. Walaupun sampai saat ini al-Quran itu sendiri juga dikenal dengan istilah “Mushaf Syarif”.
Abu Basyir berkata: “Aku berada di sisi Imam Shadiq as dan aku berkata: “Apa Mushaf Fathimah itu?”. Beliau menjawab: “Mushaf yang tebalnya tiga kali al-Quran yang ada di tanganmu. Namun, demi Allah, tidak satu kata pun dari al-Quran ada di dalamnya.
Hadis ini menjelaskan bahwa Mushaf Fathimah tebalnya tiga kali al-Quran , adapun kalimat :  “”Namun, demi Allah, tidak satu kata pun dari al-Quran ada di dalamnya””  bermakna  metafora atau kiasan yang  bermakna  “”kumpulan tulisan   Sayyidah Fathimah, sepeninggalnya  secara langsung diserahkan  kepada Imam Ali as dan sepeninggal Imam Ali ada di tangan Imam Hasan as kemudian sepeninggal beliau ada di tangan Imam Husein kemudian silih berganti di antara Imam maksum keturunan Imam Husein sehingga diserahkan kepada Imam Mahdi.. Adapun  Al Quran Syi’ah  sama persis dengan Al Quran  Sunni””
Boleh jadi orang-orang yang dengki akan menyanggah bahwa banyak hadis-hadis tentang “al-Quran mencakup semua hukum, dan kejadian-kejadian sekarang dan yang akan datang”, lalu apa Mushaf Fathimah itu dan bagaimana memahami hadis berikut ini?:
Allamah Majlisi menjelaskan: “Iya memang al-Quran demikian, tetapi Mushaf adalah makna dan bacaan yang tidak kita pahami dari al-Quran, bukan tulisan lahiriahnya yang kita pahami dari al-Quran. Oleh karena itu apa yang anda maksud adalah lafadh dhahrinya al-Quran, dan itu tidak ada dalam Mushaf Fathimah.
Untuk mengetahui lebih dalam, apa sebenarnya Mushaf Fathimah? Sejak kapan ia ada? Ia mencakup pembahasan apa saja? Sekarang ada di mana dan di tangan siapa? Mari kita ikuti penjelasan berikut ini. Mungkin bisa membuka wawasan sebagian kita yang belum banyak mengetahuinya.
Sayyidah Fathimah As bergelar Al Muhaddatsah.
Imam Shadiq mengenai sebab penamaan Fathimah Az-Zahra As dengan nama Muhaddatsah berkata: “Fathimah as disebut Muhaddatsah karena malaikat Jibril senantiasa turun dan menyampaikan kabar kepadanya sebagaimana menyampaikan kabar kepada Maryam as; putri Imran”.
Malaikat Jibril berkata kepada Fathimah as sebagaimana berkata kepada Maryam; dalam ayat 42 dan 43 surat Maryam. Berhubung lawan bicaranya Sayyidah Fathimah, maka Jibril berkata demikian: “Hai Fathimah! Sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia. Hai Fathimah! Taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk”.
Suatu malam, Sayyidah Fathimah berbincang-bincang dengan para malaikat dan berkata:“Bukankah Maryam (juga bergelar Sayyidatunissa lil alamin – dizamannya); putri Imran, wanita yang paling utama di antara wanita-wanita di alam?
Para malaikat menjawab: “Maryam adalah wanita yang paling utama di zamannya, tetapi Allah menetapkanmu sebagai wanita yang paling utama di zamanmu dan zamannya Maryam dan kamu adalah penghulu semua wanita yang pertama sampai yang terakhir”
Para malaikat biasanya hanya berbicara dengan para nabi saja. Namun ada empat wanita mulia yang hidup di zaman para nabi, dan kendati mereka bukan nabi, tetapi para malaikat berbicara dengan mereka. Antara lain:
1. Maryam; ibu Nabi Isa as.
2. Istri Imran; ibu Nabi Musa
3. Sarah; ibu Nabi Ishaq as.
4. Sayyidah Fathimah as.
Ketika Rasulullah Saww sakit di atas tempat tidur. Ada orang laki-laki asing mengetuk pintu. Sayyidah Fathimah as bertanya: “Siapa?”. Ia menjawab: “Aku orang asing, punya pertanyaan kepada Rasulullah, anda mengizinkan saya untuk masuk?”.
Sayyidah Fathimah As menjawab: “Kembalilah, semoga Allah merahmatimu. Rasulullah tidak enak badan”. Ia pergi kemudian kembali lagi dan mengetuk pintu dan berkata: “Ada orang asing yang minta izin kepada Rasulullah, bolehkah dia masuk?”. Pada saat itu Rasulullah Saww bangun dan berkata kepada putrinya: “Wahai Fathimah! Tahukah kamu siapa dia?”. Tidak ya Rasulullah!. Beliau bersabda: “Ia adalah orang yang membubarkan perkumpulan, menghapus kelezatan duniawi, ia adalah malaikat maut! Demi Allah sebelum aku ia tidak pernah meminta izin dari seorang pun dan sepeninggalku ia tidak akan meminta izin dari seorang pun, karena kehormatan dan kemuliaan yang aku miliki di sisi Allah, ia meminta izin dariku, maka izinkanlah dia masuk!”
Sayyidah Fathimah berkata: “Masuklah, semoga Allah merahmatimu!”. Masuklah malaikat maut bagaikan angin semilir seraya berkata: “Assalamu ala Ahli Baiti Rasulillah!”.
Munculnya Mushaf Fathimah
Imam Shadiq as bersabda: “Sepeninggal Rasulullah saw Sayyidah Fathimah hanya hidup selama tujuh puluh lima hari. Di masa-masa kesedihan beliau itu malaikat Jibril selalu turun menemuinya memberitakan keadaan ayahnya di sisi Allah dan memberitakan tentang kejadian yang akan datang mengenai anak-anaknya (kejadian yang akan menimpa kesahidan anak-anaknya di tangan manusia-manusia zalim), dan Imam Ali menulisnya dalam sebuah Mushaf sehingga disebut sebagai Mushaf Fathimah”.
Poin-poin yang ada dalam Mushaf Fathimah as
Abu Bashir bertanya kepada Imam Muhammad Baqir as mengenai poin-poin yang ada dalam Mushaf Fathimah.
Imam menjelaskan kandungannya:
  1. Tentang kabar-kabar sekarang dan kabar yang akan datang sampai hari kiamat.
  2. Tentang kabar langit dan nama-nama malaikat langit.
  3. Jumlah dan nama orang-orang yang diciptakan Allah swt.
  4. Nama-nama utusan Allah dan nama-nama orang yang mendustakan Allah.
  5. Nama-nama seluruh orang mukmin dan orang kafir dari awal sampai akhir penciptaan.
  6. Nama-nama kota dari barat sampai timur dunia.
  7. Jumlah orang-orang mukmin dan kafir setiap kota.
  8. Ciri-ciri orang-orang pendusta.
  9. Ciri-ciri umat terdahulu dan sejarah kehidupan mereka.
  10. Jumlah orang-orang zalim yang berkuasa dan masa kekuasaannya.
  11. Nama-nama pemimpin dan sifat-sifat mereka, satu persatu yang berkuasa di bumi, dan keterangan pembesar-pembesar mereka, serta siapa saja yang akan muncul di masa yang akan datang.
  12. Ciri-ciri penghuni surga dan jumlah orang yang akan masuk surga.
  13. Ciri-ciri penghuni neraka dan nama-nama mereka.
  14. Pengetahuan al-Quran, Taurat, Injil, Zabur sebagaimana yang diturunkan dan jumlah pohon-pohon di seluruh daerah.
Mushaf Fathimah ada di tangan Imam Maksum as dan silih berganti sampai sekarang ada di tangan Imam Mahdi af.
Abu Bashir bertanya kepada Imam Muhammad Baqir as tentang siapakah yang memegang mushaf tersebut sepeninggal Sayyidah Fathimah. Imam Baqir menjawab: “Sayyidah Fathimah secara langsung menyerahkannya kepada Imam Ali as dan sepeninggal Imam Ali ada di tangan Imam Hasan as kemudian sepeninggal beliau ada di tangan Imam Husein kemudian silih berganti di antara Imam maksum keturunan Imam Husein sehingga diserahkan kepada Imam Zaman af.
[ Disadur dari Judul Asli Mengenal Mushaf Sayyidah Fathimah Az-Zahra as ]
[ Emi Nur Hayati Ma’sum Said - Al Shia ]
Maraji :
* Makalah ini disarikan secara bebas dari makalah Mushaf Fathimah Menurut Pandangan Para Imam Maksum as, Muhammad Hasan Amani.
  • Lisan Arab, jilid 10 kata Shahafa. Mufradat Raghib.
  • Ringkasan hadis, Usul Kafi, jilid 1, hal 239. Bashair ad-Darajat, hal 151. Bihar al-Anwar, jilid 26, hal 28.
  • Bihar Al-Anwar, jilid 26, hal 40.
  • Awalim Al-ulum wa al-Ma’arif wa al-Ahwal, Allamah Bahani, hal 36
  • Ibid.
  • Manaqib Ibnu Shahr Ashub, jilid 3, hal 336. penerbit Intisyarat Allamah.
  • Lihat: Usul Kafi, jilid 1, hal 240. Bashair ad-Darajat, hal 157. Musnad Fathimah Az-Zahra, hal 282. Bihar al-Anwar, jilid 43, hal 80. jilid 26, hal 44-46 dan 48. jilid 47, hal 271.
  • Musnad Fathimah, rangkuman hal 290-291.
  • Ibid, hal 292.

Tanya: Apa pendapat anda mengenai keterlindungan Al-Qur’an dari perubahan dan tahrif ?
jawaban ustad husain ardilla dan AHLUL BAIT NABI SAW:
Banyak sekali riwayat dan hadis yang sampai ke tangan kita baik dari jalan yang umum atau khusus yang telah menjelaskan permasalahan tahrif Al-Qur’an  telah dirubah dan di-tahrif oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, kita tidak dapat mempercayai adanya perubahan dan tahrif Al-Qur’an.
Bahkan dari sejak sebelum masa Syaikh Shaduq, Fadhl bin Syadzan (260 H.) menegaskan bahwa keyakinan terhadap terubahnya (di-tahrif-nya) Al-Qur’an adalah keyakinan para penentang Syiah. Ia menekankan bahwa Al-Qur’an benar-benar terjaga dari segala perubahan, pengurangan atau penambahan.
Penanya hanya dengan membaca sebuah riwayat lalu dengan mudahnya berkata bahwa Syiah meyakini tahrif Al-Qur’an. Padahal setiap apa yang ada dalam riwayat kami bukan berarti itu juga akidah kami. Anda harus membaca akidah kami dari kitab-kitab akidah yang bertumpu pada tafsiran-tafsiran Al-Qur’an yang benar, hadits-hadits mutawatir, dan juga akal. Sungguh sama sekali tidak ada keyakinan sedemikian rupa dalam kitab-kitab akidah Syiah.
Pasti riwayat yang anda baca itu salah anda fahami. Riwayat tersebut tidak menjelaskan kurang atau bertambahnya ayat Al-Qur’an, namun penafsiran dan penjelasan Al-Qur’an, semacam asbab nuzul. Seperti inilah jika anda tidak memahami riwayat Ahlul Bait; anda mengira penjelasan-penjelasan tersebut bagian dari Al-Qur’an, padahal tidak.
Inilah riwayat yang dijadikan andalan oleh si penanya:
1. Dalam Ushul Al-Kafi dalam tafsir ayat Dzarr disebutkan:
“…dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?… ” (Al-A’raf: 172)
Lalu setelah itu ada kata-kata yang ditambahkan (sekali lagi, sebagai penjelasan) “Bahwa Muhammad adalah utusan-Ku dan Ali adalah pemerintah orang-orang yang beriman?…”
Jawabannya, anggap saja riwayat ini memang benar dan sahih. Namun itu tidak berarti kalimat tambahan tersebut merupakan bagian dari ayat Al-Qur’an. Kalimat tersebut hanya ingin menafsirkan bahwa di alam Dzarr tersebut umat manusia juga telah diperintahkan untuk mengimani Rasulullah saw dan Imam Ali as.
2. Dalam sebuah hadits yang lain yang berkenaan dengan sebuah ayat tentang Nabi disebutkan:
“…maka orang-orang yang beriman kepadanya,” lalu ada kata-kata: “yakni kepada Imam,” kemudian ayat dilanjutkan: “memuliakannya, menolongnya…” (Al-A’raf: 157)
Jawabannya, jika anda mengkaji riwayat tersebut dari awal sampai akhir, anda akan menyadari bahwa saat itu Rasulullah saw memang ingin menjelaskan kedudukan Imam Ali as yang akan menjadi pengganti sepeninggal beliau nanti. Lalu beliau kembali mengingatkan, “Orang-orang yang beriman adalah orang yang mengimani Nabinya lalu membantunya (memberinya dukungan).”
Iman kepada Nabi adalah iman kepada apapun yang diturunkan kepadanya; dan jelas salah satu hal yang diturunkan kepada beliau adalah perkara Imamah Imam Ali as dan keturunannya.
Jadi penggalan kata itu adalah penekanan terhadap suatu keyakinan agama sebagai penjelas ayat Al-Qur’an, bukan sebagai ayat Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu salah jika dikira Syiah menambah ayat Al-Qur’an.
3. Dalam sebuah hadits, dalam menafsirkan ayat yang berbunyi “bagai kegelapan-kegelapan”, Imam menjelaskan bahwa kegelapan-kegelapan tersebut adalah fulan, fulan dan fulan. Telah ditukil riwayat tersebut dari tafsir Ali bin Ibrahim, yang mana sanadnya sangat bermasalah. Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa itu bukanlah tulisan Ali bin Ibrahim, namun seseorang yang bernama Abbas bin Muhammad; ia adalah seorang yang tak dikenal. Ia pun menukilnya dari dua orang yang bernama Ali bin Ibrahim dan Ziyad bin Mundzir, yang dikenal dengan Abil Jarud.
Apa yang ditukil dari Ali bin Ibrahim semua berkenaan dengan surah Al-Fathihah, Al-Baqarah dan sebagian dari surah Ali Imran. Adapun surah Ali Imran ayat 45 hingga akhir ditukil dari Ziyad bin Mundzir yang dikenal dengan Abil Jarud, dan kebetulan ayat tersebut yang mana berada dalam surah An Nur, berkaitan dengan bagian riwayat yang mana perawinya adalah Ziyad bin Mundzir.
Dengan demikian, hadits tersebut tercantum pada kitab yang tidak dikenal penulisnya, dan sanadnya pun sangat bermasalah, yakni sanadnya tersambung pada Zaid Ja’fi yang mana Najashi (seorang alim ilmu Rijal) menyebutnya sebagai orang yang sering mencapur aduk antara riwayat yang sahih dan dhaif.Adz Dzari’ah ila Tashanif As Syiah, jld. 4, bagian Tafsir Ali bin IbrahimKulliyyat fi Ilmi Ar Rijal, hlm. 228.]
Apakah dapat dibenarkan anda menuduh Syiah dengan sebuah tuduhan yang berasal dari riwayat seperti ini?
Penanya juga dalam kelanjutan pertanyaannya berkata: Imam di akhir ayat menjelaskan tentang “Orang-orang yang beruntung” dengan penjelasan seperti ini: “Mereka adalah orang-orang yang menjauhi pemerintah zalim dan tidak menyembah mereka. Mereka adalah fulan, fulan dan fulan.”
Sebenarnya apa masalah riwayat ini? Imam hanya menjelaskan siapakah “pemerintah zalim” (taghut) itu yang beberapa di antara mereka adalah tiga orang yang disebutnya. Apakah ini termasuk tahrif dan perubahan Al-Qur’an?
Tahrif adalah menambahkan dan mengurangi ayat Al-Qur’an, bukan menafsirkan ayat-ayatnya.
Kalau hanya karena ada penggalan kata-kata penafsiran di tengah-tengah Al-Qur’an anda menyebutnya sebagai tahrif, lalu bagaimana dengan riwayat ini: Dalam Shahih Muslim Aisyah menukilkan ayat yang berbunyi: “Jagalah shalat-shalat dan shalat wustha…” lalu ditambahinya, “shalat Ashar”.[Shahih Muslim, bab Dalil orang yang berkata bahwa Shalat Wustha adalah shalat Ashar, jld. 1, hlm. 37-448.]

Syiah Menjawab Syubhat:
 Aqidah Syi’ah Tentang al-Qur’an; Menolak Isu Tahrif al-Qur’an
Syarif al-Murtadha (w. 436H) menyatakan al-Qur’an telah dijaga dengan rapi karena ia adalah mu’jizat dan sumber ilmu-ilmu Syarak, bagaimana ia boleh diubah dan dikurangkan? Selanjutnya beliau meyatakan orang yang mengatakan al-Qur’an itu kurang atau lebih tidak boleh dipegang pendapat mereka (al-Tabrasi, Majma’ al-Bayan, I, hlm. 15).
Sesungguhnya Syi’ah mempercayai bahwa al-Qur’an yang ada sekarang adalah benar dan mereka beramal dengannya. Tetapi tidak dinafikan bahwa terdapat kitab-kitab karangan ulama Syi’ah seperti al-Kulaini dan lain-lain yang telah mencatat tentang kurang atau lebihnya ayat-ayat al-Qur’an yang ada sekarang, tetapi ketahuilah anda bahwa bukanlah semua riwayat itu sahih malah ada yang sahih dan ada yang dha’if. Contohnya al-Kulaini telah meriwayatkan di dalam al-Kafi bahwa Rasulullah Saww telah dilahirkan pada 12 Rabi’ul Awwal tetapi riwayat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama Syi’ah karena setelah melalui penelitian yang lebih serius mereka berpendapat bahwa Nabi Saww telah dilahirkan pada 17 Rabi’ul Awwal.
Begitu juga mereka menolak kitab al-Hassan bin al-’Abbas bin al-Harisy yang dicatat oleh al-Kulaini di dalam al-Kafi, malah mereka mencela kitab tersebut. Begitu juga mereka menolak riwayat al-Kulaini bahwa orang yang disembelihkan itu adalah Nabi Ishaq bukan Nabi Isma’il AS (al-Kafi, IV, hlm. 205). Justeru itu riwayat al-Kulaini umpamanya tentang kekurangan dan penambahan ayat-ayat al-Qur’an adalah riwayat yang lemah (Majallah Turuthuna, Bil. XI, hlm. 104).
Karena ulama Syi’ah sendiri telah menjelaskan kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalam al-Kafi, malah mereka menolak sebahagian besar riwayat al-Kulaini. Begitu juga dengan kitab al-Istibsar fi al-Din, Tahdhib al-Ahkam karangan al-Tusi dan Man La Yahdhuruhu al-Faqih karangan Ibn Babuwaih, sekalipun 4 buku tersebut dikira muktabar di dalam mazhab Syi’ah, umpamanya al-Kafi yang mempunyai 16,199 hadith telah dibagikan menjadi 5 bagian (di antaranya):
1. Sahih, mengandungi 5,072 hadith.
2. Hasan, 144 hadith.
3. al-Muwaththaq, 1128 hadith (iaitu hadith-hadith yang diriwayatkan oleh orang yang bukan Syi’h tetapi mereka dipercayai oleh Syi’ah).
4.  al-Qawiyy, 302 hadith.
5. Dhaif, 9,480 hadith. (Lihat Sayyid Ali al-Milani, al-Riwayat Li Ahadith al-Tahrif di dalam Turuthuna, Bil. 2, Ramadhan 1407 Hijrah, hlm. 257).
Oleh itu riwayat-riwayat tentang penambahan dan kekurangan al-Qur’an telah ditolak oleh ulama Syi’ah Imamiyah mazhab Ja’fari dahulu dan sekarang. Syaikh al-Saduq (w. 381H) menyatakan “i’tiqad kami bahwa al-Qur’an yang telah diturunkan oleh Allah ke atas Nabi Muhammad SAWW dan keluarganya adalah di antara dua kulit (buku) yaitu al-Qur’an yang ada pada orang banyak dan tidak lebih dari itu. Setiap orang yang mengatakan al-Qur’an lebih dari itu adalah suatu kedustaan.” (I’tiqad Syaikh al-Saduq, hlm. 93). Syaikh al-Mufid (w. 413H) menegaskan bahwa al-Qur’an tidak kurang sekalipun satu kalimat, satu ayat ataupun satu surah (Awa’il al-Maqalat, hlm. 55). Syarif al-Murtadha (w. 436H) menyatakan al-Qur’an telah dijaga dengan rapi karena ia adalah mu’jizat dan sumber ilmu-ilmu Syarak, bagaimana ia boleh diubah dan dikurangkan? Selanjutnya beliau meyatakan orang yang mengatakan al-Qur’an itu kurang atau lebih tidak boleh dipegang pendapat mereka (al-Tabrasi, Majma’ al-Bayan, I, hlm. 15). Syaikh al-Tusi (w. 460H) menegaskan bahwa pendapat mengenai kurang atau lebihnya al-Qur’an adalah tidak layak dengan mazhab kita (al-Tibyan fi Tafsir al-Qur’an, I, hlm.3). Begitu juga pendapat al-Allamah Tabataba’i dalam Tafsir al-Mizan, Jilid 7, hlm. 90 dan al-Khu’i dalam Tafsir al-Qur’an al-’Azim, I, hlm. 100, mereka menegaskan bahwa al-Qur’an yang ada sekarang itulah yang betul dan tidak ada penyelewengan.
Demikianlah sebahagian daripada pendapat-pendapat ulama Syi’ah dahulu dan sekarang yang mengakui kesahihan al-Qur’an yang ada pada hari ini. Imam Ja’far al-Sadiq AS berkata,”Apabila datang kepada kamu dua hadith yang bertentangan maka hendaklah kamu membentangkan kedua-duanya kepada Kitab Allah dan jika tidak bertentangan dengan Kitab Allah, maka ambillah dan jika ia bertentangan Kitab Allah, maka tinggalkanlah ia” (Syaikh, al-Ansari, al-Rasa’il, hlm. 446).
Kata-kata Imam Ja’far al-Sadiq itu menunjukkan al-Qur’an yang wujud sekarang ini adalah al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah ke atas Nabi Saww tanpa tambah dan kurang jika tidak, tidak menjadi rujukan kepada Muslimin untuk membentangkan hadith-hadith Nabi Saww yang sampai kepada mereka. Oleh itu mazhab Syi’ah Ja’fari samalah dengan mazhab Ahlus Sunnah dari segi keyakinan mengenai penjagaan al-Qur’an dari penyelewengan, dan mengenai riwayat-riwayat tahrif al Qur’an ternyata juga banyak terdapat di dalam kitab-kitab  Sahih Ahlus Sunnah sendiri yang mencatatkan bahwa al-Qur’an telah ditambah, dikurang dan ditukarkan, di antaranya seperti berikut:
1. Al-Bukhari di dalam Sahihnya, VI, hlm. 210 menyatakan (Surah al-Lail (92):3 telah ditambah perkataan “Ma Khalaqa” oleh itu ayat yang asal ialah “Wa al-Dhakari wa al-Untha” tanpa “Ma Khalaqa”. Hadith ini diriwayatkan oleh Abu al-Darda’, kemudian ianya dicatat pula oleh Muslim, Sahih,I,hlm. 565; al-Turmudhi, Sahih, V, hlm. 191.
2. Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 394; al-Turmudhi, Sahih, V, hlm. 191 menyatakan (Surah al-Dhariyat (51):58 telah diubah dari teks asalnya “Inni Ana r-Razzaq” kepada “Innallah Huwa r-Razzaq” yaitu teks sekarang.
3. Muslim, Sahih, I, hlm. 726; al-Hakim, al-Mustadrak, II, hlm. 224 meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari,”Kami membaca satu surah seperti Surah al-Bara’ah dari segi panjangnya, tetapi aku telah lupa, hanya aku mengingati sepotong dari ayatnya,”Sekiranya anak Adam (manusia) mempunyai dua wadi dari harta, niscaya dia akan mencari wadi yang ketiga dan perutnya tidak akan dipenuhi melainkan dengan tanah.”
4. Al-Suyuti, al-Itqan, II, hlm. 82, meriwayatkan bahwa ‘Aisyah menyatakan Surah al-Ahzab (33):56 pada masa Nabi SAWW adalah lebih panjang yaitu dibaca “Wa’ala al-Ladhina Yusaluna al-Sufuf al-Uwal” setelahnya “Innalla ha wa Mala’ikatahu Yusalluna ‘Ala al-Nabi…” Aisyah berkata,”Yaitu sebelum Uthman mengubah mushaf-mushaf.”
5. al-Muslim, Sahih, II, hlm. 726, meriwayatkan bahwa Abu Musa al-Asy’ari membaca setelah Surah al-Saf (61):2, “Fatuktabu syahadatan fi A’naqikum…”tetapi itu tidak dimasukkan ke dalam al-Qur’an sekarang.
6. Al-Suyuti, al-Itqan, I, hlm. 226 menyatakan bahwa dua surah yang bernama “al-Khal” dan “al-Hafd” telah ditulis dalam mushaf Ubayy bin Ka’b dan mushaf Ibn ‘Abbas, sesungguhnya ‘Ali AS mengajar kedua-dua surah tersebut kepada Abdullah al-Ghafiqi, ‘Umar dan Abu Musa al-Asy’ari juga membacanya.
7. Malik, al-Muwatta’, I, hlm. 138 meriwayatkan dari ‘Umru bin Nafi’ bahwa Hafsah telah meng’imla’ “Wa Salati al-Asr” selepas Surah al-Baqarah (2): 238 dan ianya tidak ada dalam al-Qur’an sekarang. Penambahan itu telah diriwayatkan juga oleh Muslim, Ibn, Hanbal, al-Bukhari, dan lain-lain.
8. Al-Bukhari, Sahih, VIII, hlm. 208 mencatatkan bahwa ayat al-Raghbah adalah sebahagian daripada al-Qur’an iaitu “La Targhabu ‘an Aba’ikum” tetapi ianya tidak wujud di dalam al-Qur’an yang ada sekarang.
9. Al-Suyuti, al-Itqan, III, hlm. 82; al-Durr al-Manthur, V, hlm. 180 meriwayatkan daripada ‘Aisyah bahwa dia berkata,”Surah al-Ahzab dibaca pada zaman Rasulullah SAWW sebanyak 200 ayat, tetapi pada masa ‘Uthman menulis mushaf ianya tinggal 173 ayat sahaja.”
10. Al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, V, hlm. 192 mencatatkan bahwa di sana terdapat ayat yang tertinggal selepas Surah al-Ahzab (33):25 iaitu “Bi ‘Ali bin Abi Talib”. Jadi ayat yang dibaca, “Kafa Llahul Mu’minin al-Qital bi ‘Ali bin Abi Talib.”
11. Ibn Majah, al-Sunan, I, hlm. 625 mencatat riwayat daripada ‘Aisyah RD dia berkata: ayat al-Radha’ah sebanyak 10 kali telah diturunkan oleh Allah dan ianya ditulis dalam mushaf di bawah katilku, tetapi manakala wafat Rasulullah SAWW dan kami sibuk dengan kewafatannya, maka ianya hilang.
12. Al-Suyuti, al-Itqan, III, hlm. 41 mencatatkan riwayat daripada ‘Abdullah bin ‘Umar, daripada bapanya ‘Umar bin al-Khattab, dia berkata,”Janganlah seorang itu berkata aku telah mengambil keseluruhan al-Qur’an, apakah dia tahu keseluruhan al-Qur’an itu? Sesungguhnya sebahagian al-Qur’an telah hilang dan katakan sahaja aku telah mengambil al-Qur’an mana yang ada.” Ini bererti sebahagian al-Qur’an telah hilang.
Demikianlah di antara catatan para ulama Ahlus Sunnah mengenai al-Qur’an sama ada lebih atau kurang di dalam buku-buku Sahih dan muktabar mereka. Bagi orang yang mempercayai bahwa semua yang tercatat di dalam sahih-sahih tersebut adalah betul dan wajib dipercayai, akan menghadapi dilema, karena kepercayaan sedemikian akan membawa mereka kepada mempercayai bahwa al-Qur’an yang ada sekarang tidak sempurna, sama ada berkurangan atau berlebihan. Jika mereka mempercayai al-Qur’an yang ada sekarang adalah sempurna – dan memang sempurna – ini bererti sahih-sahih mereka tidak sempurna dan tidak sahih lagi. Bagi Syi’ah mereka tidak menghadapi dilema ini karena mereka berpendapat bahwa bukan semua riwayat di dalam buku-buku mereka seperti al-Kafi, al-Istibsar fi al-Din dan lain-lain adalah sahih, malah terdapat juga riwayat-riwayat yang lemah.
Oleh itu untuk mempercayai bahwa al-Qur’an yang ada sekarang ini sempurna sebagaimana yang dipercayai oleh Syi’ah mazhab Ja’fari, maka Ahlus Sunnah terpaksa menolak riwayat-riwayat tersebut demi mempertahankan kesempurnaan al-Qur’an. Dan mereka juga harus menolak riwayat-riwayat yang bertentangan dengan al-Qur’an dan akal seperti hadith yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim daripada Abu Hurairah,”Sesungguhnya Neraka Jahanam tidak akan penuh sehingga Allah meletakkan kakiNya, maka Neraka Jahanam berkata: Cukup, cukup.”(Al-Bukhari, Sahih, III, hlm. 127; Muslim, Sahih, II, hlm. 482).
Hadith ini adalah bertentangan dengan ayat al-Qur’an Surah al-Sajdah (32):13 yang bermaksud,….”Sesungguhnya Aku akan penuhi Neraka Jahanam dengan jin dan manusia.” Juga bertentangan dengan Surah al-Syura (42):11 yang menafikan tajsim “Tidak ada suatu yang perkarapun yang menyerupaiNya.”
Lantaran itu tidaklah mengherankan jika al-Suyuti di dalam Tadrib al-Rawi, hlm. 36 menyatakan bahwa al-Bukhari telah mengambil lebih 480 periwayat yang tidak disebut atau diambil oleh Muslim dan ia mengambil dari para perawi yang lemah, sama ada disebabkan oleh pembohongan dan sebagainya, sementara Muslim pula mengambil 620 periwayat yang tidak disebut atau diambil oleh al-Bukhari dan terdapat di dalamnya 160 periwayat yang lemah. Murtadha al-Askari pula menulis buku berjudul 150 sahabat fiktif, Beirut, 1968. Hanya nama-nama mereka saja disebutkan oleh al-Bukhari dan Muslim tetapi mereka sebenarnya tidak pernah ada sebelumnya hanya tokoh yang diada-adakan. Oleh itu ‘sahih” adalah nama buku yang diberikan oleh orang tertentu, misalnya al-Bukhari menamakannya ‘Sahih” yaitu sahih menurut pandangannya, begitu juga Muslim menamakan bukunya ‘Sahih” yaitu sahih menurut pandangannya namun belum tentu shahih bagi ulama hadits lainnya.
Justru itu kitab-kitab ‘sahih’ tersebut hendaklah dinilai dengan al-Qur’an, karena Sahih yang sebenar adalah sahih di sisi Allah SWT. Dan kita bersaksi bahwa al-Qur’an yang ada di hadapan kita ini adalah sahih dan tidak boleh diperselisihkan lagi.
Dengan itu anda tidak lagi menganggap Syi’ah mempunyai al-Qur’an ‘lebih atau kurang’ isi kandungannnya karena mereka sendiri menolaknya. Dan telah dicatat di dalam kitab-kitab Sahih dan muktabar Ahlus Sunnah tetapi mereka juga menolaknya. Dengan demikian Syi’ah dan Sunnah adalah bersaudara di dalam Islam dan mereka wajib mempertahankan al-Qur’an dan beramal dengan hukumnya tanpa menjadikan ‘ijtihad’ sebagai alasan untuk menolak (hukum)nya pula.

Senin, 04 Juli 2011 10:53 Redaksi
Menjawab Artikel  “Bukti Kekufuran Syi’ah terhadap Al-Qur’an ”  tulisan http://www.syiahindonesia.com

Pandangan Islam Terhadap Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kitab suci kaum muslimin dan rujukan pertama dalam memahami Islam. Keimanan kepada al-Qur’an merupakan salah satu rukun dari rukun iman yang enam. Syi’ah imamiyah  meyakini seyakin-yakinnya bahwa Al-Qur’an Al-Karim adalah Kalamullah yang terpelihara dari perubahan, penambahan atau pengurangan. Karena, Allah telah berfirman:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Qs. Al-Hijr 9).
Ayat ini adalah jaminan dari Allah sendiri, bahwa kitab suci-Nya tidak akan mengalami pengurangan atau penambahan atau pun perubahan. Sebab, Allah  sendiri-lah yang akan langsung menjaganya. Allah  juga berfirman:
“Dan Sesungguhnya Al Quran itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang padanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji” (Qs. Fushshilat 41-42).
Allah telah menegaskan bahwa kitab suci-Nya Al-Qur’an ini diturunkan dengan persaksian dan keilmuan Allah.

Mushaf Fatimah Quran Syi’ah ???

Sesungguhnya banyak orang yang tidak benar benar mengenal Syiah kecuali mereka hanya membebek ulama mereka. Sementara banyak juga yang sangat bangga dengan doktrin Mushaf Fatimah adalah Quran orang Syiah.Satu satunya sebab mengapa mereka akhirnya terjerumus lebih dalam kepelosok kebodohan adalah karena mereka dengan berani mengikuti ulama ulama puritan yang ‘sangat berani’ mengubah ubah Hadith Hadith Rasulullah Saww.Sehingga besar kemungkinan mereka bukanlah pemerhati atau pun mewakili Kaum Syiah kecuali hanya menjadi perpanjangan tangan kaum takhfiri saja.Inilah Hadith yang menjadi ‘alat’ kaum takhfiri dalam memfitnah Syiah, dengan memotong di kalimat belakang (un bold)Abu Basyir berkata: “Aku berada di sisi Imam Shadiq as dan aku berkata: “Apa Mushaf Fathimah itu?”. Beliau menjawab: “Mushaf yang tebalnya tiga kali al-Quran yang ada di tanganmu. Namun, demi Allah, tidak satu kata pun dari al-Quran ada di dalamnya.Mushaf Fatimah di susun oleh Imam Ali As disaat beliau dalam kesendirian pasca Kebanyakan penduduk madinah meninggalkan beliau.Sebagian muslimin menuduh bahwa Mushaf Fathimah Az-Zahra as adalah Quran orang-orang Syiah yang ada di tangan Imam Mahdi af yang akan disodorkan ketika dia muncul. Dan sebagian memberatkan wujudnya Mushaf itu. Pertanyaannya adalah mengapa sebagian muslimin begitu benci dan menaruh dendam terhadap Syiah dan menuduh bahwa orang-orang Syiah memiliki al-Quran tersendiri selain yang ada di tangan orang non Syiah? Bahkan sampai saat ini senantiasa ada orang-orang dengki yang mengkritik secara tidak obyektif hanya ingin menjatuhkan dan mencari kelemahan saja tanpa ada niat ingin mencari kebenaran? Jawabannya adalah:
1. Selain mereka tidak merujuk ke sumber-sumber hadis Syiah, mereka hanya termakan oleh hasutan musuh-musuh Syiah.
2. Mereka tidak mau menerima bahwa orang-orang Syiah meyakini bahwa Fathimah as; putri Nabi Muhammad saw memiliki sebuah Mushaf.
3. Kebencian dan kekerasan hati mereka terhadap ajaran Syiah yang disampaikan oleh para Imam Maksum as dan tidak mau orang lain memiliki keyakinan seperti apalagi dirinya.
4. Mereka berpikir bahwa Mushaf adalah kumpulan al-Quran sebagaimana istilah yang diterapkan pada zaman Rasulullah saw bahwa Mushaf adalah kumpulan-kumpulan tulisan al-Quran, padahal pada zaman itu Mushaf secara bahasa adalah kumpulan-kumpulan lembaran yang sudah dijilid dalam bentuk sebuah buku. Jadi Mushaf bukan hanya kumpulan tulisan al-Quran saja, tetapi mencakup juga kumpulan-kumpulan tulisan selain al-Quran. Oleh karena itu Mushaf Fathimah adalah kumpulan-kumpulan tulisan yang isinya adalah pembicaraan malaikat Jibril kepada Sayyidah Fathimah sepeninggal Ayahnya saw. Walaupun sampai saat ini al-Quran itu sendiri juga dikenal dengan istilah “Mushaf Syarif”.
Abu Basyir berkata: “Aku berada di sisi Imam Shadiq as dan aku berkata: “Apa Mushaf Fathimah itu?”. Beliau menjawab: “Mushaf yang tebalnya tiga kali al-Quran yang ada di tanganmu. Namun, demi Allah, tidak satu kata pun dari al-Quran ada di dalamnya.
Hadis ini menjelaskan bahwa Mushaf Fathimah tebalnya tiga kali al-Quran dan tidak satu kata pun, namun dari sisi kandungan dan topik, kendati satu kata pun dari dhahirnya al-Quran tidak tampak di sana.
Boleh jadi orang-orang yang dengki akan menyanggah bahwa banyak hadis-hadis tentang “al-Quran mencakup semua hukum, dan kejadian-kejadian sekarang dan yang akan datang”, lalu apa Mushaf Fathimah itu dan bagaimana memahami hadis berikut ini?:
Allamah Majlisi menjelaskan: “Iya memang al-Quran demikian, tetapi Mushaf adalah makna dan bacaan yang tidak kita pahami dari al-Quran, bukan tulisan lahiriahnya yang kita pahami dari al-Quran. Oleh karena itu apa yang anda maksud adalah lafadh dhahrinya al-Quran, dan itu tidak ada dalam Mushaf Fathimah.
Untuk mengetahui lebih dalam, apa sebenarnya Mushaf Fathimah? Sejak kapan ia ada? Ia mencakup pembahasan apa saja? Sekarang ada di mana dan di tangan siapa? Mari kita ikuti penjelasan berikut ini. Mungkin bisa membuka wawasan sebagian kita yang belum banyak mengetahuinya.
Sayyidah Fathimah As bergelar Al Muhaddatsah.
Imam Shadiq mengenai sebab penamaan Fathimah Az-Zahra As dengan nama Muhaddatsah berkata:
“Fathimah as disebut Muhaddatsah karena malaikat Jibril senantiasa turun dan menyampaikan kabar kepadanya sebagaimana menyampaikan kabar kepada Maryam as; putri Imran”.
Malaikat Jibril berkata kepada Fathimah as sebagaimana berkata kepada Maryam; dalam ayat 42 dan 43 surat Maryam. Berhubung lawan bicaranya Sayyidah Fathimah, maka Jibril berkata demikian: “Hai Fathimah! Sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia. Hai Fathimah! Taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk”.
Suatu malam, Sayyidah Fathimah berbincang-bincang dengan para malaikat dan berkata:
“Bukankah Maryam (juga bergelar Sayyidatunissa lil alamin – dizamannya); putri Imran, wanita yang paling utama di antara wanita-wanita di alam?
Para malaikat menjawab: “Maryam adalah wanita yang paling utama di zamannya, tetapi Allah menetapkanmu sebagai wanita yang paling utama di zamanmu dan zamannya Maryam dan kamu adalah penghulu semua wanita yang pertama sampai yang terakhir”
Para malaikat biasanya hanya berbicara dengan para nabi saja. Namun ada empat wanita mulia yang hidup di zaman para nabi, dan kendati mereka bukan nabi, tetapi para malaikat berbicara dengan mereka. Antara lain:
1. Maryam; ibu Nabi Isa as.
2. Istri Imran; ibu Nabi Musa
3. Sarah; ibu Nabi Ishaq as.
4. Sayyidah Fathimah as.
Ketika Rasulullah Saww sakit di atas tempat tidur. Ada orang laki-laki asing mengetuk pintu. Sayyidah Fathimah as bertanya: “Siapa?”. Ia menjawab: “Aku orang asing, punya pertanyaan kepada Rasulullah, anda mengizinkan saya untuk masuk?”.
Sayyidah Fathimah As menjawab: “Kembalilah, semoga Allah merahmatimu. Rasulullah tidak enak badan”. Ia pergi kemudian kembali lagi dan mengetuk pintu dan berkata: “Ada orang asing yang minta izin kepada Rasulullah, bolehkah dia masuk?”. Pada saat itu Rasulullah Saww bangun dan berkata kepada putrinya: “Wahai Fathimah! Tahukah kamu siapa dia?”. Tidak ya Rasulullah!. Beliau bersabda: “Ia adalah orang yang membubarkan perkumpulan, menghapus kelezatan duniawi, ia adalah malaikat maut! Demi Allah sebelum aku ia tidak pernah meminta izin dari seorang pun dan sepeninggalku ia tidak akan meminta izin dari seorang pun, karena kehormatan dan kemuliaan yang aku miliki di sisi Allah, ia meminta izin dariku, maka izinkanlah dia masuk!”
Sayyidah Fathimah berkata: “Masuklah, semoga Allah merahmatimu!”. Masuklah malaikat maut bagaikan angin semilir seraya berkata: “Assalamu ala Ahli Baiti Rasulillah!”.
Munculnya Mushaf Fathimah
Imam Shadiq as bersabda: “Sepeninggal Rasulullah saw Sayyidah Fathimah hanya hidup selama tujuh puluh lima hari. Di masa-masa kesedihan beliau itu malaikat Jibril selalu turun menemuinya memberitakan keadaan ayahnya di sisi Allah dan memberitakan tentang kejadian yang akan datang mengenai anak-anaknya (kejadian yang akan menimpa kesahidan anak-anaknya di tangan manusia-manusia zalim), dan Imam Ali menulisnya dalam sebuah Mushaf sehingga disebut sebagai Mushaf Fathimah”.
Poin-poin yang ada dalam Mushaf Fathimah as
Abu Bashir bertanya kepada Imam Muhammad Baqir as mengenai poin-poin yang ada dalam Mushaf Fathimah.
Imam menjelaskan kandungannya:
1. Tentang kabar-kabar sekarang dan kabar yang akan datang sampai hari kiamat.
2. Tentang kabar langit dan nama-nama malaikat langit.
3. Jumlah dan nama orang-orang yang diciptakan Allah swt.
4. Nama-nama utusan Allah dan nama-nama orang yang mendustakan Allah.
5. Nama-nama seluruh orang mukmin dan orang kafir dari awal sampai akhir penciptaan.
6. Nama-nama kota dari barat sampai timur dunia.
7. Jumlah orang-orang mukmin dan kafir setiap kota.
8. Ciri-ciri orang-orang pendusta.
9. Ciri-ciri umat terdahulu dan sejarah kehidupan mereka.
10. Jumlah orang-orang zalim yang berkuasa dan masa kekuasaannya.
11. Nama-nama pemimpin dan sifat-sifat mereka, satu persatu yang berkuasa di bumi, dan keterangan pembesar-pembesar mereka, serta siapa saja yang akan muncul di masa yang akan datang.
12. Ciri-ciri penghuni surga dan jumlah orang yang akan masuk surga.
13. Ciri-ciri penghuni neraka dan nama-nama mereka.
14. Pengetahuan al-Quran, Taurat, Injil, Zabur sebagaimana yang diturunkan dan jumlah pohon-pohon di seluruh daerah.
Mushaf Fathimah ada di tangan Imam Maksum as dan silih berganti sampai sekarang ada di tangan Imam Mahdi af.
Abu Bashir bertanya kepada Imam Muhammad Baqir as tentang siapakah yang memegang mushaf tersebut sepeninggal Sayyidah Fathimah. Imam Baqir menjawab: “Sayyidah Fathimah secara langsung menyerahkannya kepada Imam Ali as dan sepeninggal Imam Ali ada di tangan Imam Hasan as kemudian sepeninggal beliau ada di tangan Imam Husein kemudian silih berganti di antara Imam maksum keturunan Imam Husein sehingga diserahkan kepada Imam Zaman af.
[ Disadur dari Judul Asli Mengenal Mushaf Sayyidah Fathimah Az-Zahra as ]
[ Emi Nur Hayati Ma’sum Said - Al Shia ]
Maraji :
* Makalah ini disarikan secara bebas dari makalah Mushaf Fathimah Menurut Pandangan Para Imam Maksum as, Muhammad Hasan Amani.
* Lisan Arab, jilid 10 kata Shahafa. Mufradat Raghib.
* Ringkasan hadis, Usul Kafi, jilid 1, hal 239. Bashair ad-Darajat, hal 151. Bihar al-Anwar, jilid 26, hal 28.
* Bihar Al-Anwar, jilid 26, hal 40.
* Awalim Al-ulum wa al-Ma’arif wa al-Ahwal, Allamah Bahani, hal 36
* Ibid.
* Manaqib Ibnu Shahr Ashub, jilid 3, hal 336. penerbit Intisyarat Allamah.
* Lihat: Usul Kafi, jilid 1, hal 240. Bashair ad-Darajat, hal 157. Musnad Fathimah Az-Zahra, hal 282. Bihar al-Anwar, jilid 43, hal 80. jilid 26, hal 44-46 dan 48. jilid 47, hal 271.
* Musnad Fathimah, rangkuman hal 290-291.
* Ibid, hal 292.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: