[1] Wasail Asy Syiah, jld. 17, bab 14, hadits 3 dan bab 5, hadits 4.
Tanya: Kami membaca dalam Al-Kafi bahwa Syiah
memiliki suatu kitab yang disebut Mushaf Fathimah. Yang kami fahami dari
Al-Kafi, Mushaf Fathimah adalah Al-Qur’an-nya orang Syiah. Benarkah
itu?
Jawab: Tidak, tidak demikian. Bukan seperti itu maksud dari apa yang disebutkan dalam
Al-Kafi.
Hadits dalam
Al-Kafi tersebut hanya sekedar menjelaskan
suatu kitab yang bernama Mushaf Fathimah. Mushaf tidak selalu berarti
Al-Qur’an. Mushaf berasal
dari kata
Shahifah yang berarti lembaran. Oleh karena itu Mushaf adalah kumpulan lembaran-lembaran; tidak harus berarti Al-Qur’an.
Dalam Al-Qur’an disebutkan:
“Saat itu lembaran-lembaran amal
perbuatan telah disebarkan.” (At Takwir:10)
“(hal) ini telah disebutkan dalam lembaran-lembaran terdahulu, dalam kitab Ibrahim dan Musa.” (Al-A’la: 18-19)
Dalam sejarah dapat kita baca bahwa yang disebut mushaf adalah segala
lembaran-lembaran yang dikumpulkan menjad satu. Sepeninggal Nabi pun
Al-Qur’an bahkan tidak pernah disebut dengan sebutan mushaf.
Ibnu Abi Dawud Sajistani mengenai disusunnya Al-Qur’an dalam satu mushaf (satu kumpulan) berkata, “Ketika Nabi meninggal
dunia, Ali bersumpah untuk tidak mengenakan
rida’ (semacam pakaian) kecuali untuk shalat Jum’at hingga selesai Al-Qur’an dikumpulkan menjadi satu mushaf.”
Abu Al-’Aliyah menukilkan, “Mereka melihat Al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf pada masa kekhilafahan Abu Bakar.”
Ia juga menukil, “Umar bin Khatab mengeluarkan perintah pengumpulan
(pengkoleksian) Al-Qur’an sedang ia adalah orang pertama yang telah
mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf.”
[1]
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa pada waktu itu yang disebut
mushaf adalah suatu kumpulan lembaran-lembaran yang telah menjadi satu
agar tidak tersebar berceceran. Lalu lama kelamaan Al-Qur’an pun disebut
dengan mushaf.
Demikian pula riwayat-riwayat dari kalangan kami, misalnya:
Imam Ja’far Shadiq berkata: “Barang siapa membaca Al-Qur’an yang
telah menjadi Mushaf (lembaran-lembaran yang telah dijilid), ia akan
mendapatkan banyak manfaat untuk matanya.”
[2]
Ia juga pernah berkata, “Membaca Al-Qur’an dalam bentuk mushaf akan meringankan adzab kubur ayah dan ibu kalian.”
[3]
Para ahli sejarah mengenai Khalid bin Ma’dan menulis:
“Khalid bin Ma’dan menulis ilmunya dalam mushaf yang memiliki kancing (pengunci) dan pegangan.”
[4]
Khalid bin Ma’dan adalah salah seorang yang termasuk Tabi’in dan mengalami 70 sahabat dalam hidupnya.
[5]
Sampai akhir abad ke-1 Hijriah, kata mushaf memiliki arti umum, yaitu
kumpulan lembaran berjilid yang mana kebanyakan orang menjadikannya
sarana nenulis dan menuangkan isi pikiran.
Kalau begitu mengapa kita heran kalau putri Rasulullah saw memiliki
mushaf? Yang mana ia telah menuang segala yang ada di pikirannya
(ilmu-ilmu yang pernah diajarkan oleh ayahnya) ke dalam mushaf tersebut
lalu mewariskannya kepada anak-anak sebagai sebaik-baiknya warisan.
Para Imam kami pun juga telah menjelaskan bahwa mushaf tersebut
hanyalah kumpulan tulisan Fathimah Az-Zahra yang berisi
pengetahuan-pengetahuan yang didapat dari ayahnya. Lagi pula ia dijuluki
dengan sebutan
Muhaddatsah, yakni orang yang diajak bicara
dengan malaikat. Pasti segala yang ia dapat dari pembicaraan itu telah
dituliskan ke dalam mushafnya.
Imam Ja’far Shadiq berkata, “Dalam Mushaf Fathimah terdapat
penjelasan mengenai halal dan haram yang padahal masih belum ada
wujudnya di tengah-tengah masyarakat kita saat ini. Itu bukanlah Qur’an,
namun dikte Rasulullah Saw yang dituliskan oleh Ali. Semua itu ada di
tangan kami.”
[6]
Ia juga pernah berkata, “Di dalamnya banyak sekali hal-hal yang tidak
ada di dalam Al-Qur’an kalian.” Lalu perawi bertanya, “Apakah di
dalamnya ada suatu pengetahuan (ilmu)?” Dijawabnya, “Ya, namun bukan
sembarang pengetahuan.”
[7]
Jadi Mushaf Fathimah bukanlah sesuatu yang kita sebut Al-Qur’an dan
kita yakini sebagai Qur’an Syiah. Namun seringkali masalah tersebut
dijadikan alat oleh pembenci kami untuk memojokkan Syiah dengan berbagai
tuduhan.
[1] Kitab Al-Masahif, Hafidz Abu Bakar Abdullah bin Abi Dawud Sajistani, hlm. 9-10.
[2] Ushul Al-Kafi, jld. 2, hlm. 613.
[4] Kitab Al-Masahif, Hafidz Abu Bakar Abdullah bin Abi Dawud Sajistani, hlm. 134-135.
[5] Al-Lubab fi Tadzhib Al-Ansab, Ibnu Atsir, jld. 3, hlm. 62 dan 63.
[6] Bashair Ad Darajat, hlm. 157.
[7] Al-Kafi, jld. 2, hlm. 613, hadits 1.
Kata “mushaf” kini sering difahami sebagai Al Qur’an; padahal dari
segi bahasa artinya “sekumpulan lembaran di antara dua sampul” yang kini
kita sebut buku. Oleh karena itu, Mushaf Fathimah adalah buku yang
beliau miliki, yang mana riwayat-riwayat Ahlu Sunah pun sering
menjelaskannya pula. Misalnya, para perawi seperti Ubay bin Ka’ab
meriwayatkan bahwa ada sebuah buku yang dimiliki oleh Fathimah Azzahra.
Jadi tuduhan bahwa Syiah memiliki Qur’an lain yang disebut Mushaf
Fathimah, adalah tuduhan buta. Karena sama sekali tidak terbukti bahwa
buku itu adalah Al Qur’an, apa lagi Qur’an yang dianut Syiah.
Mengenai buku apakah itu, dalam riwayat-riwayat Syiah juga banyak
keterangan yang didapat. Misalnya tentang kandungan, volume, bagaimana
dan kapan buku itu ditulis, dsb. Berdasarkan hadits-hadits tersebut,
dapat dinyatakan bahwa buku itu mengandung hal-hal seperti wasiat
Fathimah Azzahra, berita tentang musibah-musibah yang akan menimpa anak
cucunya kelak, berita tentang peristiwa-peristiwa yang kelak akan
terjadi, dan juga kabar mengenai raja-raja dan para penguasa yang akan
memimpin di muka bumi. Disebutkan pula buku itu menjelaskan seluruh
halal dan haram yang ada di dunia ini.
Bagaimana dan kapan buku itu ditulis? Ada riwayat yang menjelaskan:
“Rasulullah saw menjelaskan hal-hal tertentu dan Imam Ali menulisnya.”
Lalu jika demikian, mengapa disebut Mushaf Fathimah? Jawabannya karena
buku itu disimpan oleh beliau. Ada juga yang mengatakan karena sebagian
informasi yang tertulis dalam buku itu sampai ke telinga Imam Ali
melalui perantara Fathimah.
Riwayat lainnya menjelaskan bahwa sepeninggal Rasulullah, Fathimah
Azzahra terpuruk dalam kesedihannya. Allah mengutus malaikat untuk
menemaninya, berbicara dengannya dan memberi berbagai macam berita
seperti kedudukan ayahnya di alam sana, dan juga masalah-masalah
lainnya; yang akhirnya semua itu disampaikan oleh beliau kepada Imam Ali
dan Imam menuliskannya.[1]
Hanya saja timbul pertanyaan mengenai yang terakhir ini, karena kita
meyakini bahwa dengan diutusnya Rasulullah, setelahnya tidak ada lagi
wahyu yang diturunkan kepada manusia. Jawabannya, apa yang terjadi pada
Fathimah Azzahra bukanlah diturunkannya wahyu, namun pembicaraannya
dengan malaikat yang diutus Allah. Sebagaimana kita membaca dalam Al
Qur’an bahwa seringkali manusia memiliki hubungan dengan malaikat,
seperti yang kita dengar tentang Maryam [2]; Tuhan juga pernah
berkomunikasi dengan ibu nabi Musa [3]. Oleh karena itu, tidak mustahil
jika seandainya terjadi komunikasi antara Fathimah Azzahra dengan
malaikat yang diutus Allah. Yakni, seusai kenabian Rasulullah saw,
terputuslah hubungan antara Tuhan dengan manusia sebagai nabi, bukan
terputusnya hubungan Tuhan dengan makhluk-Nya sama sekali.
Di manakah Mushaf Fathimah saat ini? Berdasarkan riwayat-riwayat yang
sampai ke tangan kita, Mushaf Fathimah diwariskan turun temurun oleh
Ahlul Bait dan berdasarkan kitab itu para Imam menjelaskan hukum-hukum
syar’iy dan memberitakan peristiwa-peristiwa yang akan datang.
Saya mengingatkan, akhir-akhir ini ada buku yang bernama Shahifah
Fathimah Azzahra. Perlu diketahui bahwa buku itu bukanlah Mushaf
Fathimah, melainkan hanya buku yang mencakup doa-doa Fathimah Azzahra.
1.
Biharul Anwar, jilid 26;
Tadwn As Sunnah Asy Syarifah, halaman 77.
2. Ali Imran: 42-45
3. Al Qashash: 7
Tahrif Al-Qur’an.
Selama ini isu tentang tahrif (perubahan dalam arti
penambahan atau pembuangan ayat) pada Al-qur’an selalu dituduhkan kepada
syi’ah, dan hal ini telah dibantah oleh ulama syi’ah sekarang. Padahal
banyak riwayat pada ahlusunnah yang menyiratkan adanya tahrif Al-qur’an,
seperti berikut :
1. Ibnu Majah meriwayatkan dari A’isyah, yang mengatakan
bahwa Ayat Rajam dan Ayat Radha’ah yang ia simpan di bawah ranjang telah
dimakan kambing dan tidak ada lagi dalam Al-Qur’an.
Lihat :
a. “Ta’wil Mukhtalaf Al-hadits” oleh Ibn Qutaibah, hal. 310.
b. Musnad Ahmad, jilid 6, hal. 269.
dll.
2.
Aisyah mengatakan : “Pada masa Nabi, Surat Al-Ahzab dibaca sebanyak
200 ayat, tetapi ketika Utsman menulis mushaf ia tidak bisa
mendapatkannya kecuali yang ada sekarang”
Ref. ahlusunnah :
1. Suyuthi, dalam “Al-Itqan”, jilid 2, hal. 25.
2. Muntakhab Kanzul Ummal pada Musnad Ahmad, jilid 2, hal. 1.
3. Musnad Ahmad, jilid 5, hal. 132.
dll.
Seperti kita ketahui bahwa surat Al-Ahzab yang ada di mushaf
sekarang ini adalah 73 ayat. Berarti menurut riwayat tersebut ada 127
ayat yang hilang.
3. Umar bin Khottob mengatakan : “Apabila bukan karena orang-orang
akan mengatakan bahwa Umar menambah-nambah ayat ke dalam Kitabullah,
akan aku tulis ayat rajam dengan tanganku sendiri”
lihat :
a. Shohih Bukhori bab “shahadah indal hakim fi wilayatil Qadla”.
b. “Al-itqan” oleh Suyuthi, jilid 2, hal. 25 dan 26.
c. Nailul Authar, kitab hudud ayat rajam, jilid 5, hal. 105.
d. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 260.
e. “Hayatus Shohabah” oleh Kandahlawi, jilid 2, hal. 12.
dll.
Bila anda belum tahu mengenai ayat rajam, berikut bunyinya :
“Idzaa Zanaya Syaikhu wa Syaikhotu Farjumuuhuma Al-battatan Minallaahi Wallaahu ‘Aziizun Hakiim”
lihat :
a. Suyuthi, dalam “Al-Itqan”, jilid 2, hal. 25.
b. Abdur Rozaq, dalam “Mushannif”, jilid 7, hal. 320.
c. Muntakhab Kanzul Ummal pada Musnad Ahmad, jilid 2, hal. 1.
Dan ayat rajam ini tidak ada pada mushaf Al-qur’an yang kita pegang sekarang ini.
Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat ahlusunnah yang menunjukkan adanya tahrif pada Al-qur’an.
Namun seperti yang saya katakan, semua riwayat tentang adanya tahrif
pada Al-Qur’an, telah dibantah oleh ulama syiah yang bernama Syekh Rasul
Ja’farian, dalam bukunya “Ukdzubah Tahrif Al-Qur’an Baina Syi’ah Wa
Sunnah”, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Menolak Isu
Perubahan Al-Qur’an”, penerbit Pustaka Hidayah, Jakarta. Saya sarankan
anda membaca buku ini.
Tulisan ulama syi’ah tersebut membantah semua riwayat, baik yang
bersumber dari ahlusunnah maupun yang bersumber dari ulama syi’ah
terdahulu. Sehingga kesimpulannya, ulama syi’ah sekarang seperti Syekh
Rasul Ja’farian, Ayatullah Borujerdi, Imam Khomeini, dan lain-lain,
berdasarkan penelitian mereka, menolak adanya tahrif pada Al-qur’an.
Salah satu yang menjadi dasar penolakan ulama syi’ah sekarang
tentang tahrif, adalah adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang mendasari
penolakan terhadap tahrif pada Al-Qur’an, yaitu :
1. [Q.S. 15:9], berbunyi :
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya”.
2. [Q.S. 41:41-42], berbunyi :
“….Dan sesungguhnya Alqur’an itu adalah kitab yang mulia, yang tidak
datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya. Yang
ia diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.
Berikut saya kutipkan pernyataan beberapa ulama syi’ah sekarang
(selain Syekh Rasul Ja’farian) tentang penolakan terhadap riwayat tahrif
pada Al-Qur’an :
1. Allamah Syahsyahani mengatakan tentang hadits tahrif, yaitu :
“..Hadits-hadits ini bertentangan dengan hadits-hadits mutawattir yang
lebih kuat dan sesuai dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, akal sehat dan
kesepakatan”.
2. Imam Khomeini mengatakan tentang hadits tahrif, yaitu :
“Lemah, tidak pantas berdalil dengannya”.
dan masih banyak lagi yang lain.
Berikut saya nukilkan juga ucapan seorang ulama besar ahlusunnah,
yang bernama Al-Hindi : “Sesungguhnya Al-Qur’an Al-Majid, di kalangan
jumhur Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyyah, adalah terjaga dari perubahan
dan pergantian. Dan apabila ada juga diantara mereka yang mengatakan
adanya pengurangan pada Al-Qur’an, maka yang demikian itu mereka tolak
dan tidak mereka terima. “
lihat :
Al-Hindi, dalam “Idhharul Haq Haulasy Syi’ah Wal Qur’an”, jilid 2, hal. 128.
Tetapi berbeda dengan ulama ahlusunnah, yang tidak pernah membantah
terhadap riwayat-riwayat tentang tahrif yang ada pada kitab-kitab
ahlusunnah sendiri sebagaimana yang telah saya nukilkan di atas.
Dan pada pernyataan Sayyid Al-Khu’i (yang anda kutip) tidak berbicara
tentang tahrif, melainkan beliau berbicara tentang adanya ayat yang
letaknya salah, maksudnya adalah bahwa harusnya ayat tersebut berada
pada tempat yang lain. Sebagai contoh pada [Q.S. Al-Maidah 3], pada awal
ayat membahas maudhu’ (subyek) tentang makanan yang halal-haram, tetapi
tiba-tiba maudhu’ ayat berubah menjadi “Pada hari ini orang-orang kafir
berputus asa…….ku ridloi Islam menjadi agamamu”, kemudian dilanjutkan
lagi dengan maudhu’ tentang makanan yang halal-haram. Di sini jelas
terlihat adanya maudhu’ yang tidak sesuai pada rangkaian ayat tersebut.
Kesalahan penempatan atau penertiban ayat adalah bukan tahrif, karena
tidak terjadi penambahan atau pembuangan ayat. Ini yang mesti anda
fahami.
Sayyid Al-Khu’i TIDAK PERNAH menyetujui pendapat adanya tahrif pada
Al-Qur’an. Lihat kitab beliau yang berjudul “Al-Bayan Fi Tafsiril
Qur’an”.
Dalam sejarah pengumpulan Al-Qur’an, maka ada banyak sekali mushaf,
seperti seperti mushaf Ubay bin Ka’ab, mushaf Utsman, mushaf Ibnu
Zubair, mushaf A’isyah, mushaf Ali, dll.
Ref. ahlusunnah :
1. Abu Dawud, dalam “Mashohif”, hal. 51-93.
2. Ibn Abil Hadid, dalam “Syarh Nahjul Balaghah”, jilid 1, hal. 27.
3. Ibn Sa’ad, dalam “Thabaqat Al-Kubra”, jilid 2, hal. 338.
dll.
Dan yang sampai pada kita sekarang ini adalah mushaf Utsman. Karena
Utsman tidak ma’sum, maka bisa saja terjadi kesalahan peletakan atau
penertiban ayat pada Al-Qur’an. Namun, sekali lagi, hal itu BUKAN
tahrif.
Syekh Abdurrahim Tabrizi TIDAK PERNAH mendukung pendapat tentang
adanya tahrif Al-Qur’an. Lihat kitab beliau yang berjudul “Alaur Rahim”.
Sehingga, pasti telah terjadi pemotongan kalimat beliau pada saat anda
mengutipnya. Atau anda mungkin hanya mengutip dari kitab-kitab yang anti
syi’ah, yang penuh dengan kebohongan dan kepalsuan.
1. Syiah menyelewengkan al-Qur’an ?
Ulama Syiah dari dulu hingga sekarang menolak pendapat tentang
berlaku penyelewengan dalam bentuk seperti berlaku perubahan/tahrif,
lebih atau kurangnya ayat-ayat Qur’an sama ada dari kitab-kitab Syiah
atau Ahlul Sunnah.
Mereka berpendapat jika hujah berlakunya perubahan ayat-ayat Qur an
diterima maka Hadith sohih Nabi Muhammad SAW yang bermaksud, ” Aku
tinggalkan kamu dua perkara supaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya
iaitu al-Qur an dan Sunnah/Ahl Bayt,” tidak boleh dipakai lagi kerana
al-Qur an yang diwasiatkan oleh Nabi SAW untuk umat Islam sudah berubah
dari yang asal sedangkan Syiah sangat memberatkan dua wasiat penting itu
dalam ajaran mereka.Lagi pun Hadith-hadith yang diriwayatkan dalam
kitab-kitab Syiah berkaitan dengan tahrif keatas al-Qur an yang
berjumlah kira-kira 300 itu adalah Hadith-hadith dhaif.
Begitu juga dalam kitab-kitab Sunnah seperti Sahih Bukhari turut
menyebut tentang beberapa Hadith tentang perubahan ayat-ayat Qur an
misalnya tentang ayat rejam yang dinyatakan oleh Umar al-Khattab,
perbedaan ayat dalam Surah al-Lail dan sebagainya. Bukahkah Allah SWT
telah berfirman dalam al-Qur’an (Surah 15:9),: “Sesungguhnya Kami telah
menurunkan al-Zikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami memeliharanya.”
Sekiranya seseorang itu menerima pendapat bahawa al-Qur’an telah
diselewengkan oleh sesuatu golongan maka di sisi lain orang ini
sebenarnya telah menyangkal kebenaran ayat di atas. Oleh itu semua
pendapat tentang kemungkinan berlakunya tahrif dalam ayat-ayat Qur an
sama ada dari Syiah atau Sunnah wajib ditolak sama sekali.
Imam Ja’far al-Sadiq AS meriwayatkan sebuah Hadith dari datuknya
Rasulullah SAW: “Setiap Hadith yang kamu terima dan bersesuaian dengan
Kitab Allah tidak diragukan datangnya dari aku dan Hadith-hadith yang
kamu terima yang bertentangan dengan Kitab Allah, sesungguhnya bukan
datang dariku.” [Al-Kulaini, al-Kafi, Jilid I, Hadith 205-5]
Mushaf Fatimah ???
Sesungguhnya banyak orang yang tidak benar benar mengenal Syiah kecuali mereka hanya membebek ulama mereka..
Sementara banyak juga yang sangat bangga dengan doktrin Mushaf Fatimah adalah Quran orang Syiah.
Satu satunya sebab mengapa mereka akhirnya terjerumus lebih dalam
kepelosok kebodohan adalah karena mereka dengan berani mengikuti ulama
ulama puritan yang ‘sangat berani’ mengubah ubah Hadith Hadith
Rasulullah Saww.
Sehingga besar kemungkinan mereka bukanlah pemerhati atau pun
mewakili Kaum Syiah kecuali hanya menjadi perpanjangan tangan kaum
takhfiri saja.
Inilah Hadith yang menjadi ‘alat’ kaum takhfiri dalam memfitnah Syiah, dengan memotong di kalimat belakang (un bold)
Abu Basyir berkata: “Aku berada di sisi Imam Shadiq as dan aku
berkata: “Apa Mushaf Fathimah itu?”. Beliau menjawab: “Mushaf yang
tebalnya tiga kali al-Quran yang ada di tanganmu. Namun, demi Allah,
tidak satu kata pun dari al-Quran ada di dalamnya.
Mushaf Fatimah di susun oleh Imam Ali As disaat beliau dalam kesendirian pasca Kebanyakan penduduk madinah meninggalkan beliau.
Sebagian muslimin menuduh bahwa Mushaf Fathimah Az-Zahra as adalah
Quran orang-orang Syiah yang ada di tangan Imam Mahdi af yang akan
disodorkan ketika dia muncul. Dan sebagian memberatkan wujudnya Mushaf
itu.
Pertanyaannya adalah mengapa sebagian muslimin begitu benci dan
menaruh dendam terhadap Syiah dan menuduh bahwa orang-orang Syiah
memiliki al-Quran tersendiri selain yang ada di tangan orang non Syiah?
Bahkan sampai saat ini senantiasa ada orang-orang dengki yang mengkritik
secara tidak obyektif hanya ingin menjatuhkan dan mencari kelemahan
saja tanpa ada niat ingin mencari kebenaran? Jawabannya adalah:
- Selain mereka tidak merujuk ke sumber-sumber hadis Syiah, mereka hanya termakan oleh hasutan musuh-musuh Syiah.
- Mereka tidak mau menerima bahwa orang-orang Syiah meyakini bahwa Fathimah as; putri Nabi Muhammad saw memiliki sebuah Mushaf.
- Kebencian dan kekerasan hati mereka terhadap ajaran Syiah yang
disampaikan oleh para Imam Maksum as dan tidak mau orang lain memiliki
keyakinan seperti apalagi dirinya.
- Mereka berpikir bahwa Mushaf adalah kumpulan al-Quran sebagaimana
istilah yang diterapkan pada zaman Rasulullah saw bahwa Mushaf adalah
kumpulan-kumpulan tulisan al-Quran, padahal pada zaman itu Mushaf secara
bahasa adalah kumpulan-kumpulan lembaran yang sudah dijilid dalam
bentuk sebuah buku. Jadi Mushaf bukan hanya kumpulan tulisan al-Quran
saja, tetapi mencakup juga kumpulan-kumpulan tulisan selain al-Quran.
Oleh karena itu Mushaf Fathimah adalah kumpulan-kumpulan tulisan
Sayyidah Fathimah sepeninggal Ayahnya saw. Walaupun sampai saat ini
al-Quran itu sendiri juga dikenal dengan istilah “Mushaf Syarif”.
Abu Basyir berkata: “Aku berada di sisi Imam Shadiq as dan aku
berkata: “Apa Mushaf Fathimah itu?”. Beliau menjawab: “Mushaf yang
tebalnya tiga kali al-Quran yang ada di tanganmu. Namun, demi Allah,
tidak satu kata pun dari al-Quran ada di dalamnya.
Hadis ini menjelaskan bahwa Mushaf Fathimah tebalnya tiga kali
al-Quran , adapun kalimat : “”Namun, demi Allah, tidak satu kata pun
dari al-Quran ada di dalamnya”” bermakna metafora atau kiasan yang
bermakna “”kumpulan tulisan Sayyidah Fathimah, sepeninggalnya secara
langsung diserahkan kepada Imam Ali as dan sepeninggal Imam Ali ada di
tangan Imam Hasan as kemudian sepeninggal beliau ada di tangan Imam
Husein kemudian silih berganti di antara Imam maksum keturunan Imam
Husein sehingga diserahkan kepada Imam Mahdi.. Adapun Al Quran Syi’ah
sama persis dengan Al Quran Sunni””
Boleh jadi orang-orang yang dengki akan menyanggah bahwa banyak
hadis-hadis tentang “al-Quran mencakup semua hukum, dan
kejadian-kejadian sekarang dan yang akan datang”, lalu apa Mushaf
Fathimah itu dan bagaimana memahami hadis berikut ini?:
Allamah Majlisi menjelaskan: “Iya memang al-Quran demikian, tetapi
Mushaf adalah makna dan bacaan yang tidak kita pahami dari al-Quran,
bukan tulisan lahiriahnya yang kita pahami dari al-Quran. Oleh karena
itu apa yang anda maksud adalah lafadh dhahrinya al-Quran, dan itu tidak
ada dalam Mushaf Fathimah.
Untuk mengetahui lebih dalam, apa sebenarnya Mushaf Fathimah? Sejak
kapan ia ada? Ia mencakup pembahasan apa saja? Sekarang ada di mana dan
di tangan siapa? Mari kita ikuti penjelasan berikut ini. Mungkin bisa
membuka wawasan sebagian kita yang belum banyak mengetahuinya.
Sayyidah Fathimah As bergelar Al Muhaddatsah.
Imam Shadiq mengenai sebab penamaan Fathimah Az-Zahra As dengan nama
Muhaddatsah berkata: “Fathimah as disebut Muhaddatsah karena malaikat
Jibril senantiasa turun dan menyampaikan kabar kepadanya sebagaimana
menyampaikan kabar kepada Maryam as; putri Imran”.
Malaikat Jibril berkata kepada Fathimah as sebagaimana berkata kepada
Maryam; dalam ayat 42 dan 43 surat Maryam. Berhubung lawan bicaranya
Sayyidah Fathimah, maka Jibril berkata demikian: “Hai Fathimah!
Sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan
kamu atas segala wanita di dunia. Hai Fathimah! Taatlah kepada Tuhanmu,
sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk”.
Suatu malam, Sayyidah Fathimah berbincang-bincang dengan para
malaikat dan berkata:“Bukankah Maryam (juga bergelar Sayyidatunissa lil
alamin – dizamannya); putri Imran, wanita yang paling utama di antara
wanita-wanita di alam?
Para malaikat menjawab: “Maryam adalah wanita yang paling utama di
zamannya, tetapi Allah menetapkanmu sebagai wanita yang paling utama di
zamanmu dan zamannya Maryam dan kamu adalah penghulu semua wanita yang
pertama sampai yang terakhir”
Para malaikat biasanya hanya berbicara dengan para nabi saja. Namun
ada empat wanita mulia yang hidup di zaman para nabi, dan kendati mereka
bukan nabi, tetapi para malaikat berbicara dengan mereka. Antara lain:
1. Maryam; ibu Nabi Isa as.
2. Istri Imran; ibu Nabi Musa
3. Sarah; ibu Nabi Ishaq as.
4. Sayyidah Fathimah as.
Ketika Rasulullah Saww sakit di atas tempat tidur. Ada orang
laki-laki asing mengetuk pintu. Sayyidah Fathimah as bertanya: “Siapa?”.
Ia menjawab: “Aku orang asing, punya pertanyaan kepada Rasulullah, anda
mengizinkan saya untuk masuk?”.
Sayyidah Fathimah As menjawab: “Kembalilah, semoga Allah merahmatimu.
Rasulullah tidak enak badan”. Ia pergi kemudian kembali lagi dan
mengetuk pintu dan berkata: “Ada orang asing yang minta izin kepada
Rasulullah, bolehkah dia masuk?”. Pada saat itu Rasulullah Saww bangun
dan berkata kepada putrinya: “Wahai Fathimah! Tahukah kamu siapa dia?”.
Tidak ya Rasulullah!. Beliau bersabda: “Ia adalah orang yang membubarkan
perkumpulan, menghapus kelezatan duniawi, ia adalah malaikat maut! Demi
Allah sebelum aku ia tidak pernah meminta izin dari seorang pun dan
sepeninggalku ia tidak akan meminta izin dari seorang pun, karena
kehormatan dan kemuliaan yang aku miliki di sisi Allah, ia meminta izin
dariku, maka izinkanlah dia masuk!”
Sayyidah Fathimah berkata: “Masuklah, semoga Allah merahmatimu!”.
Masuklah malaikat maut bagaikan angin semilir seraya berkata: “Assalamu
ala Ahli Baiti Rasulillah!”.
Munculnya Mushaf Fathimah
Imam Shadiq as bersabda: “Sepeninggal Rasulullah saw Sayyidah
Fathimah hanya hidup selama tujuh puluh lima hari. Di masa-masa
kesedihan beliau itu malaikat Jibril selalu turun menemuinya
memberitakan keadaan ayahnya di sisi Allah dan memberitakan tentang
kejadian yang akan datang mengenai anak-anaknya (kejadian yang akan
menimpa kesahidan anak-anaknya di tangan manusia-manusia zalim), dan
Imam Ali menulisnya dalam sebuah Mushaf sehingga disebut sebagai Mushaf
Fathimah”.
Poin-poin yang ada dalam Mushaf Fathimah as
Abu Bashir bertanya kepada Imam Muhammad Baqir as mengenai poin-poin yang ada dalam Mushaf Fathimah.
Imam menjelaskan kandungannya:
- Tentang kabar-kabar sekarang dan kabar yang akan datang sampai hari kiamat.
- Tentang kabar langit dan nama-nama malaikat langit.
- Jumlah dan nama orang-orang yang diciptakan Allah swt.
- Nama-nama utusan Allah dan nama-nama orang yang mendustakan Allah.
- Nama-nama seluruh orang mukmin dan orang kafir dari awal sampai akhir penciptaan.
- Nama-nama kota dari barat sampai timur dunia.
- Jumlah orang-orang mukmin dan kafir setiap kota.
- Ciri-ciri orang-orang pendusta.
- Ciri-ciri umat terdahulu dan sejarah kehidupan mereka.
- Jumlah orang-orang zalim yang berkuasa dan masa kekuasaannya.
- Nama-nama pemimpin dan sifat-sifat mereka, satu persatu yang
berkuasa di bumi, dan keterangan pembesar-pembesar mereka, serta siapa
saja yang akan muncul di masa yang akan datang.
- Ciri-ciri penghuni surga dan jumlah orang yang akan masuk surga.
- Ciri-ciri penghuni neraka dan nama-nama mereka.
- Pengetahuan al-Quran, Taurat, Injil, Zabur sebagaimana yang diturunkan dan jumlah pohon-pohon di seluruh daerah.
Mushaf Fathimah ada di tangan Imam Maksum as dan silih berganti sampai sekarang ada di tangan Imam Mahdi af.
Abu Bashir bertanya kepada Imam Muhammad Baqir as tentang siapakah
yang memegang mushaf tersebut sepeninggal Sayyidah Fathimah. Imam Baqir
menjawab: “Sayyidah Fathimah secara langsung menyerahkannya kepada Imam
Ali as dan sepeninggal Imam Ali ada di tangan Imam Hasan as kemudian
sepeninggal beliau ada di tangan Imam Husein kemudian silih berganti di
antara Imam maksum keturunan Imam Husein sehingga diserahkan kepada Imam
Zaman af.
[ Disadur dari Judul Asli Mengenal Mushaf Sayyidah Fathimah Az-Zahra as ]
[ Emi Nur Hayati Ma’sum Said - Al Shia ]
Maraji :
* Makalah ini disarikan secara bebas dari makalah Mushaf Fathimah Menurut Pandangan Para Imam Maksum as, Muhammad Hasan Amani.
- Lisan Arab, jilid 10 kata Shahafa. Mufradat Raghib.
- Ringkasan hadis, Usul Kafi, jilid 1, hal 239. Bashair ad-Darajat, hal 151. Bihar al-Anwar, jilid 26, hal 28.
- Bihar Al-Anwar, jilid 26, hal 40.
- Awalim Al-ulum wa al-Ma’arif wa al-Ahwal, Allamah Bahani, hal 36
- Ibid.
- Manaqib Ibnu Shahr Ashub, jilid 3, hal 336. penerbit Intisyarat Allamah.
- Lihat: Usul Kafi, jilid 1, hal 240. Bashair ad-Darajat, hal 157.
Musnad Fathimah Az-Zahra, hal 282. Bihar al-Anwar, jilid 43, hal 80.
jilid 26, hal 44-46 dan 48. jilid 47, hal 271.
- Musnad Fathimah, rangkuman hal 290-291.
- Ibid, hal 292.
Tanya: Apa pendapat anda mengenai keterlindungan Al-Qur’an dari perubahan dan
tahrif ?
jawaban ustad husain ardilla dan AHLUL BAIT NABI SAW:
Banyak sekali riwayat dan hadis yang sampai ke tangan kita baik dari
jalan yang umum atau khusus yang telah menjelaskan permasalahan
tahrif Al-Qur’an telah dirubah dan di-
tahrif oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, kita tidak dapat mempercayai adanya perubahan dan
tahrif Al-Qur’an.
Bahkan dari sejak sebelum masa Syaikh Shaduq, Fadhl bin Syadzan (260 H.) menegaskan bahwa keyakinan terhadap terubahnya (di-
tahrif-nya)
Al-Qur’an adalah keyakinan para penentang Syiah. Ia menekankan bahwa
Al-Qur’an benar-benar terjaga dari segala perubahan, pengurangan atau
penambahan.
Penanya hanya dengan membaca sebuah riwayat lalu dengan mudahnya berkata bahwa Syiah meyakini
tahrif Al-Qur’an.
Padahal setiap apa yang ada dalam riwayat kami bukan berarti itu juga
akidah kami. Anda harus membaca akidah kami dari kitab-kitab akidah yang
bertumpu pada tafsiran-tafsiran Al-Qur’an yang benar, hadits-hadits
mutawatir, dan juga akal. Sungguh sama sekali tidak ada keyakinan sedemikian rupa dalam kitab-kitab akidah Syiah.
Pasti riwayat yang anda baca itu salah anda fahami. Riwayat tersebut
tidak menjelaskan kurang atau bertambahnya ayat Al-Qur’an, namun
penafsiran dan penjelasan Al-Qur’an, semacam asbab nuzul. Seperti inilah
jika anda tidak memahami riwayat Ahlul Bait; anda mengira
penjelasan-penjelasan tersebut bagian dari Al-Qur’an, padahal tidak.
Inilah riwayat yang dijadikan andalan oleh si penanya:
1. Dalam
Ushul Al-Kafi dalam tafsir ayat
Dzarr disebutkan:
“…dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?… ” (
Al-A’raf: 172)
Lalu setelah itu ada kata-kata yang ditambahkan (sekali lagi, sebagai penjelasan)
“Bahwa Muhammad adalah utusan-Ku dan Ali adalah pemerintah orang-orang yang beriman?…”
Jawabannya, anggap saja riwayat ini memang benar dan sahih. Namun itu
tidak berarti kalimat tambahan tersebut merupakan bagian dari ayat
Al-Qur’an. Kalimat tersebut hanya ingin menafsirkan bahwa di alam
Dzarr tersebut umat manusia juga telah diperintahkan untuk mengimani Rasulullah saw dan Imam Ali as.
2. Dalam sebuah hadits yang lain yang berkenaan dengan sebuah ayat tentang Nabi disebutkan:
“…maka orang-orang yang beriman kepadanya,” lalu ada kata-kata:
“yakni kepada Imam,” kemudian ayat dilanjutkan:
“memuliakannya, menolongnya…” (
Al-A’raf: 157
)
Jawabannya, jika anda mengkaji riwayat tersebut dari awal sampai
akhir, anda akan menyadari bahwa saat itu Rasulullah saw memang ingin
menjelaskan kedudukan Imam Ali as yang akan menjadi pengganti
sepeninggal beliau nanti. Lalu beliau kembali mengingatkan, “Orang-orang
yang beriman adalah orang yang mengimani Nabinya lalu membantunya
(memberinya dukungan).”
Iman kepada Nabi adalah iman kepada apapun yang diturunkan kepadanya;
dan jelas salah satu hal yang diturunkan kepada beliau adalah perkara
Imamah Imam Ali as dan keturunannya.
Jadi penggalan kata itu adalah penekanan terhadap suatu keyakinan
agama sebagai penjelas ayat Al-Qur’an, bukan sebagai ayat Qur’an itu
sendiri. Oleh karena itu salah jika dikira Syiah menambah ayat
Al-Qur’an.
3. Dalam sebuah hadits, dalam menafsirkan ayat yang berbunyi
“bagai kegelapan-kegelapan”,
Imam menjelaskan bahwa kegelapan-kegelapan tersebut adalah fulan, fulan
dan fulan. Telah ditukil riwayat tersebut dari tafsir Ali bin Ibrahim,
yang mana sanadnya sangat bermasalah. Pada dasarnya dapat dikatakan
bahwa itu bukanlah tulisan Ali bin Ibrahim, namun seseorang yang bernama
Abbas bin Muhammad; ia adalah seorang yang tak dikenal. Ia pun
menukilnya dari dua orang yang bernama Ali bin Ibrahim dan Ziyad bin
Mundzir, yang dikenal dengan Abil Jarud.
Apa yang ditukil dari Ali bin Ibrahim semua berkenaan dengan surah Al-Fathihah, Al
-Baqarah
dan sebagian dari surah Ali Imran. Adapun surah Ali Imran ayat 45
hingga akhir ditukil dari Ziyad bin Mundzir yang dikenal dengan Abil
Jarud, dan kebetulan ayat tersebut yang mana berada dalam surah An Nur,
berkaitan dengan bagian riwayat yang mana perawinya adalah Ziyad bin
Mundzir.
Dengan demikian, hadits tersebut tercantum pada kitab yang tidak
dikenal penulisnya, dan sanadnya pun sangat bermasalah, yakni sanadnya
tersambung pada Zaid Ja’fi yang mana Najashi (seorang alim ilmu Rijal)
menyebutnya sebagai orang yang sering mencapur aduk antara riwayat yang
sahih dan dhaif.
[ Adz Dzari’ah ila Tashanif As Syiah, jld. 4, bagian Tafsir Ali bin Ibrahim; Kulliyyat fi Ilmi Ar Rijal, hlm. 228.]
Apakah dapat dibenarkan anda menuduh Syiah dengan sebuah tuduhan yang berasal dari riwayat seperti ini?
Penanya juga dalam kelanjutan pertanyaannya berkata: Imam di akhir
ayat menjelaskan tentang “Orang-orang yang beruntung” dengan penjelasan
seperti ini: “Mereka adalah orang-orang yang menjauhi pemerintah zalim
dan tidak menyembah mereka. Mereka adalah fulan, fulan dan fulan.”
Sebenarnya apa masalah riwayat ini? Imam hanya menjelaskan siapakah “pemerintah zalim” (
taghut) itu yang beberapa di antara mereka adalah tiga orang yang disebutnya. Apakah ini termasuk
tahrif dan perubahan Al-Qur’an?
Tahrif adalah menambahkan dan mengurangi ayat Al-Qur’an, bukan menafsirkan ayat-ayatnya.
Kalau hanya karena ada penggalan kata-kata penafsiran di tengah-tengah Al-Qur’an anda menyebutnya sebagai
tahrif, lalu bagaimana dengan riwayat ini: Dalam Shahih Muslim Aisyah menukilkan ayat yang berbunyi:
“Jagalah shalat-shalat dan shalat wustha…” lalu ditambahinya,
“shalat Ashar”.[
Shahih Muslim, bab Dalil orang yang berkata bahwa
Shalat Wustha adalah shalat Ashar, jld. 1, hlm. 37-448.]
Syiah Menjawab Syubhat:
Aqidah Syi’ah Tentang al-Qur’an; Menolak Isu Tahrif al-Qur’an
Syarif al-Murtadha (w. 436H) menyatakan al-Qur’an telah dijaga
dengan rapi karena ia adalah mu’jizat dan sumber ilmu-ilmu Syarak,
bagaimana ia boleh diubah dan dikurangkan? Selanjutnya beliau meyatakan
orang yang mengatakan al-Qur’an itu kurang atau lebih tidak boleh
dipegang pendapat mereka (al-Tabrasi, Majma’ al-Bayan, I, hlm. 15).
|
|
Sesungguhnya Syi’ah mempercayai bahwa al-Qur’an yang ada
sekarang adalah benar dan mereka beramal dengannya. Tetapi tidak
dinafikan bahwa terdapat kitab-kitab karangan ulama Syi’ah seperti
al-Kulaini dan lain-lain yang telah mencatat tentang kurang atau
lebihnya ayat-ayat al-Qur’an yang ada sekarang, tetapi ketahuilah anda
bahwa bukanlah semua riwayat itu sahih malah ada yang sahih dan ada yang
dha’if. Contohnya al-Kulaini telah meriwayatkan di dalam al-Kafi bahwa
Rasulullah Saww telah dilahirkan pada 12 Rabi’ul Awwal tetapi riwayat
tersebut ditolak oleh mayoritas ulama Syi’ah karena setelah melalui
penelitian yang lebih serius mereka berpendapat bahwa Nabi Saww telah
dilahirkan pada 17 Rabi’ul Awwal.
Begitu juga mereka menolak kitab al-Hassan bin al-’Abbas
bin al-Harisy yang dicatat oleh al-Kulaini di dalam al-Kafi, malah
mereka mencela kitab tersebut. Begitu juga mereka menolak riwayat
al-Kulaini bahwa orang yang disembelihkan itu adalah Nabi Ishaq bukan
Nabi Isma’il AS (al-Kafi, IV, hlm. 205). Justeru itu riwayat al-Kulaini
umpamanya tentang kekurangan dan penambahan ayat-ayat al-Qur’an adalah
riwayat yang lemah (Majallah Turuthuna, Bil. XI, hlm. 104).
Karena ulama Syi’ah sendiri telah menjelaskan
kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalam al-Kafi, malah mereka menolak
sebahagian besar riwayat al-Kulaini. Begitu juga dengan kitab
al-Istibsar fi al-Din, Tahdhib al-Ahkam karangan al-Tusi dan Man La
Yahdhuruhu al-Faqih karangan Ibn Babuwaih, sekalipun 4 buku tersebut
dikira muktabar di dalam mazhab Syi’ah, umpamanya al-Kafi yang mempunyai
16,199 hadith telah dibagikan menjadi 5 bagian (di antaranya):
1. Sahih, mengandungi 5,072 hadith.
2. Hasan, 144 hadith.
3. al-Muwaththaq, 1128 hadith (iaitu hadith-hadith yang
diriwayatkan oleh orang yang bukan Syi’h tetapi mereka dipercayai oleh
Syi’ah).
4. al-Qawiyy, 302 hadith.
5. Dhaif, 9,480 hadith. (Lihat Sayyid Ali al-Milani,
al-Riwayat Li Ahadith al-Tahrif di dalam Turuthuna, Bil. 2, Ramadhan
1407 Hijrah, hlm. 257).
Oleh itu riwayat-riwayat tentang penambahan dan kekurangan
al-Qur’an telah ditolak oleh ulama Syi’ah Imamiyah mazhab Ja’fari dahulu
dan sekarang. Syaikh al-Saduq (w. 381H) menyatakan “i’tiqad kami bahwa
al-Qur’an yang telah diturunkan oleh Allah ke atas Nabi Muhammad SAWW
dan keluarganya adalah di antara dua kulit (buku) yaitu al-Qur’an yang
ada pada orang banyak dan tidak lebih dari itu. Setiap orang yang
mengatakan al-Qur’an lebih dari itu adalah suatu kedustaan.” (I’tiqad
Syaikh al-Saduq, hlm. 93). Syaikh al-Mufid (w. 413H) menegaskan bahwa
al-Qur’an tidak kurang sekalipun satu kalimat, satu ayat ataupun satu
surah (Awa’il al-Maqalat, hlm. 55). Syarif al-Murtadha (w. 436H)
menyatakan al-Qur’an telah dijaga dengan rapi karena ia adalah mu’jizat
dan sumber ilmu-ilmu Syarak, bagaimana ia boleh diubah dan dikurangkan?
Selanjutnya beliau meyatakan orang yang mengatakan al-Qur’an itu kurang
atau lebih tidak boleh dipegang pendapat mereka (al-Tabrasi, Majma’
al-Bayan, I, hlm. 15). Syaikh al-Tusi (w. 460H) menegaskan bahwa
pendapat mengenai kurang atau lebihnya al-Qur’an adalah tidak layak
dengan mazhab kita (al-Tibyan fi Tafsir al-Qur’an, I, hlm.3). Begitu
juga pendapat al-Allamah Tabataba’i dalam Tafsir al-Mizan, Jilid 7, hlm.
90 dan al-Khu’i dalam Tafsir al-Qur’an al-’Azim, I, hlm. 100, mereka
menegaskan bahwa al-Qur’an yang ada sekarang itulah yang betul dan tidak
ada penyelewengan.
Demikianlah sebahagian daripada pendapat-pendapat ulama
Syi’ah dahulu dan sekarang yang mengakui kesahihan al-Qur’an yang ada
pada hari ini. Imam Ja’far al-Sadiq AS berkata,”Apabila datang kepada
kamu dua hadith yang bertentangan maka hendaklah kamu membentangkan
kedua-duanya kepada Kitab Allah dan jika tidak bertentangan dengan Kitab
Allah, maka ambillah dan jika ia bertentangan Kitab Allah, maka
tinggalkanlah ia” (Syaikh, al-Ansari, al-Rasa’il, hlm. 446).
Kata-kata Imam Ja’far al-Sadiq itu menunjukkan al-Qur’an
yang wujud sekarang ini adalah al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah ke
atas Nabi Saww tanpa tambah dan kurang jika tidak, tidak menjadi rujukan
kepada Muslimin untuk membentangkan hadith-hadith Nabi Saww yang sampai
kepada mereka. Oleh itu mazhab Syi’ah Ja’fari samalah dengan mazhab
Ahlus Sunnah dari segi keyakinan mengenai penjagaan al-Qur’an dari
penyelewengan, dan mengenai riwayat-riwayat tahrif al Qur’an ternyata
juga banyak terdapat di dalam kitab-kitab Sahih Ahlus Sunnah sendiri
yang mencatatkan bahwa al-Qur’an telah ditambah, dikurang dan
ditukarkan, di antaranya seperti berikut:
1. Al-Bukhari di dalam Sahihnya, VI, hlm. 210 menyatakan
(Surah al-Lail (92):3 telah ditambah perkataan “Ma Khalaqa” oleh itu
ayat yang asal ialah “Wa al-Dhakari wa al-Untha” tanpa “Ma Khalaqa”.
Hadith ini diriwayatkan oleh Abu al-Darda’, kemudian ianya dicatat pula
oleh Muslim, Sahih,I,hlm. 565; al-Turmudhi, Sahih, V, hlm. 191.
2. Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 394; al-Turmudhi,
Sahih, V, hlm. 191 menyatakan (Surah al-Dhariyat (51):58 telah diubah
dari teks asalnya “Inni Ana r-Razzaq” kepada “Innallah Huwa r-Razzaq”
yaitu teks sekarang.
3. Muslim, Sahih, I, hlm. 726; al-Hakim, al-Mustadrak, II,
hlm. 224 meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari,”Kami membaca satu surah
seperti Surah al-Bara’ah dari segi panjangnya, tetapi aku telah lupa,
hanya aku mengingati sepotong dari ayatnya,”Sekiranya anak Adam
(manusia) mempunyai dua wadi dari harta, niscaya dia akan mencari wadi
yang ketiga dan perutnya tidak akan dipenuhi melainkan dengan tanah.”
4. Al-Suyuti, al-Itqan, II, hlm. 82, meriwayatkan bahwa
‘Aisyah menyatakan Surah al-Ahzab (33):56 pada masa Nabi SAWW adalah
lebih panjang yaitu dibaca “Wa’ala al-Ladhina Yusaluna al-Sufuf al-Uwal”
setelahnya “Innalla ha wa Mala’ikatahu Yusalluna ‘Ala al-Nabi…” Aisyah
berkata,”Yaitu sebelum Uthman mengubah mushaf-mushaf.”
5. al-Muslim, Sahih, II, hlm. 726, meriwayatkan bahwa Abu
Musa al-Asy’ari membaca setelah Surah al-Saf (61):2, “Fatuktabu
syahadatan fi A’naqikum…”tetapi itu tidak dimasukkan ke dalam al-Qur’an
sekarang.
6. Al-Suyuti, al-Itqan, I, hlm. 226 menyatakan bahwa dua
surah yang bernama “al-Khal” dan “al-Hafd” telah ditulis dalam mushaf
Ubayy bin Ka’b dan mushaf Ibn ‘Abbas, sesungguhnya ‘Ali AS mengajar
kedua-dua surah tersebut kepada Abdullah al-Ghafiqi, ‘Umar dan Abu Musa
al-Asy’ari juga membacanya.
7. Malik, al-Muwatta’, I, hlm. 138 meriwayatkan dari ‘Umru bin Nafi’
bahwa Hafsah telah meng’imla’ “Wa Salati al-Asr” selepas Surah
al-Baqarah (2): 238 dan ianya tidak ada dalam al-Qur’an sekarang.
Penambahan itu telah diriwayatkan juga oleh Muslim, Ibn, Hanbal,
al-Bukhari, dan lain-lain.
8. Al-Bukhari, Sahih, VIII, hlm. 208 mencatatkan bahwa ayat
al-Raghbah adalah sebahagian daripada al-Qur’an iaitu “La Targhabu ‘an
Aba’ikum” tetapi ianya tidak wujud di dalam al-Qur’an yang ada sekarang.
9. Al-Suyuti, al-Itqan, III, hlm. 82; al-Durr al-Manthur,
V, hlm. 180 meriwayatkan daripada ‘Aisyah bahwa dia berkata,”Surah
al-Ahzab dibaca pada zaman Rasulullah SAWW sebanyak 200 ayat, tetapi
pada masa ‘Uthman menulis mushaf ianya tinggal 173 ayat sahaja.”
10. Al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, V, hlm. 192 mencatatkan
bahwa di sana terdapat ayat yang tertinggal selepas Surah al-Ahzab
(33):25 iaitu “Bi ‘Ali bin Abi Talib”. Jadi ayat yang dibaca, “Kafa
Llahul Mu’minin al-Qital bi ‘Ali bin Abi Talib.”
11. Ibn Majah, al-Sunan, I, hlm. 625 mencatat riwayat
daripada ‘Aisyah RD dia berkata: ayat al-Radha’ah sebanyak 10 kali telah
diturunkan oleh Allah dan ianya ditulis dalam mushaf di bawah katilku,
tetapi manakala wafat Rasulullah SAWW dan kami sibuk dengan
kewafatannya, maka ianya hilang.
12. Al-Suyuti, al-Itqan, III, hlm. 41 mencatatkan riwayat
daripada ‘Abdullah bin ‘Umar, daripada bapanya ‘Umar bin al-Khattab, dia
berkata,”Janganlah seorang itu berkata aku telah mengambil keseluruhan
al-Qur’an, apakah dia tahu keseluruhan al-Qur’an itu? Sesungguhnya
sebahagian al-Qur’an telah hilang dan katakan sahaja aku telah mengambil
al-Qur’an mana yang ada.” Ini bererti sebahagian al-Qur’an telah
hilang.
Demikianlah di antara catatan para ulama Ahlus Sunnah
mengenai al-Qur’an sama ada lebih atau kurang di dalam buku-buku Sahih
dan muktabar mereka. Bagi orang yang mempercayai bahwa semua yang
tercatat di dalam sahih-sahih tersebut adalah betul dan wajib
dipercayai, akan menghadapi dilema, karena kepercayaan sedemikian akan
membawa mereka kepada mempercayai bahwa al-Qur’an yang ada sekarang
tidak sempurna, sama ada berkurangan atau berlebihan. Jika mereka
mempercayai al-Qur’an yang ada sekarang adalah sempurna – dan memang
sempurna – ini bererti sahih-sahih mereka tidak sempurna dan tidak sahih
lagi. Bagi Syi’ah mereka tidak menghadapi dilema ini karena mereka
berpendapat bahwa bukan semua riwayat di dalam buku-buku mereka seperti
al-Kafi, al-Istibsar fi al-Din dan lain-lain adalah sahih, malah
terdapat juga riwayat-riwayat yang lemah.
Oleh itu untuk mempercayai bahwa al-Qur’an yang ada
sekarang ini sempurna sebagaimana yang dipercayai oleh Syi’ah mazhab
Ja’fari, maka Ahlus Sunnah terpaksa menolak riwayat-riwayat tersebut
demi mempertahankan kesempurnaan al-Qur’an. Dan mereka juga harus
menolak riwayat-riwayat yang bertentangan dengan al-Qur’an dan akal
seperti hadith yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim daripada Abu
Hurairah,”Sesungguhnya Neraka Jahanam tidak akan penuh sehingga Allah
meletakkan kakiNya, maka Neraka Jahanam berkata: Cukup,
cukup.”(Al-Bukhari, Sahih, III, hlm. 127; Muslim, Sahih, II, hlm. 482).
Hadith ini adalah bertentangan dengan ayat al-Qur’an Surah al-Sajdah
(32):13 yang bermaksud,….”Sesungguhnya Aku akan penuhi Neraka Jahanam
dengan jin dan manusia.” Juga bertentangan dengan Surah al-Syura (42):11
yang menafikan tajsim “Tidak ada suatu yang perkarapun yang
menyerupaiNya.”
Lantaran itu tidaklah mengherankan jika al-Suyuti di dalam
Tadrib al-Rawi, hlm. 36 menyatakan bahwa al-Bukhari telah mengambil
lebih 480 periwayat yang tidak disebut atau diambil oleh Muslim dan ia
mengambil dari para perawi yang lemah, sama ada disebabkan oleh
pembohongan dan sebagainya, sementara Muslim pula mengambil 620
periwayat yang tidak disebut atau diambil oleh al-Bukhari dan terdapat
di dalamnya 160 periwayat yang lemah. Murtadha al-Askari pula menulis
buku berjudul 150 sahabat fiktif, Beirut, 1968. Hanya nama-nama mereka
saja disebutkan oleh al-Bukhari dan Muslim tetapi mereka sebenarnya
tidak pernah ada sebelumnya hanya tokoh yang diada-adakan. Oleh itu
‘sahih” adalah nama buku yang diberikan oleh orang tertentu, misalnya
al-Bukhari menamakannya ‘Sahih” yaitu sahih menurut pandangannya, begitu
juga Muslim menamakan bukunya ‘Sahih” yaitu sahih menurut pandangannya
namun belum tentu shahih bagi ulama hadits lainnya.
Justru itu kitab-kitab ‘sahih’ tersebut hendaklah dinilai
dengan al-Qur’an, karena Sahih yang sebenar adalah sahih di sisi Allah
SWT. Dan kita bersaksi bahwa al-Qur’an yang ada di hadapan kita ini
adalah sahih dan tidak boleh diperselisihkan lagi.
Dengan itu anda tidak lagi menganggap Syi’ah mempunyai
al-Qur’an ‘lebih atau kurang’ isi kandungannnya karena mereka sendiri
menolaknya. Dan telah dicatat di dalam kitab-kitab Sahih dan muktabar
Ahlus Sunnah tetapi mereka juga menolaknya. Dengan demikian Syi’ah dan
Sunnah adalah bersaudara di dalam Islam dan mereka wajib mempertahankan
al-Qur’an dan beramal dengan hukumnya tanpa menjadikan ‘ijtihad’ sebagai
alasan untuk menolak (hukum)nya pula.
Senin, 04 Juli 2011 10:53 Redaksi
Pandangan Islam Terhadap Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kitab suci kaum muslimin dan rujukan pertama dalam
memahami Islam. Keimanan kepada al-Qur’an merupakan salah satu rukun
dari rukun iman yang enam. Syi’ah imamiyah meyakini seyakin-yakinnya
bahwa Al-Qur’an Al-Karim adalah
Kalamullah yang terpelihara dari perubahan, penambahan atau pengurangan. Karena, Allah telah berfirman:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Qs. Al-Hijr 9).
Ayat ini adalah jaminan dari Allah sendiri, bahwa kitab suci-Nya
tidak akan mengalami pengurangan atau penambahan atau pun perubahan.
Sebab, Allah sendiri-lah yang akan langsung menjaganya. Allah juga
berfirman:
“Dan Sesungguhnya Al Quran itu adalah kitab yang mulia. Yang
tidak datang padanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya,
yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji” (Qs. Fushshilat 41-42).
Allah telah menegaskan bahwa kitab suci-Nya Al-Qur’an ini diturunkan dengan persaksian dan keilmuan Allah.
Sesungguhnya
banyak orang yang tidak benar benar mengenal Syiah kecuali mereka hanya
membebek ulama mereka. Sementara banyak juga yang sangat bangga dengan
doktrin Mushaf Fatimah adalah Quran orang Syiah.Satu satunya sebab
mengapa mereka akhirnya terjerumus lebih dalam kepelosok kebodohan
adalah karena mereka dengan berani mengikuti ulama ulama puritan yang
‘sangat berani’ mengubah ubah Hadith Hadith Rasulullah Saww.Sehingga
besar kemungkinan mereka bukanlah pemerhati atau pun mewakili Kaum Syiah
kecuali hanya menjadi perpanjangan tangan kaum takhfiri saja.Inilah
Hadith yang menjadi ‘alat’ kaum takhfiri dalam memfitnah Syiah, dengan
memotong di kalimat belakang (un bold)Abu Basyir berkata: “Aku berada di
sisi Imam Shadiq as dan aku berkata: “Apa Mushaf Fathimah itu?”. Beliau
menjawab: “Mushaf yang tebalnya tiga kali al-Quran yang ada di
tanganmu. Namun, demi Allah, tidak satu kata pun dari al-Quran ada di
dalamnya.Mushaf Fatimah di susun oleh Imam Ali As disaat beliau dalam
kesendirian pasca Kebanyakan penduduk madinah meninggalkan
beliau.Sebagian muslimin menuduh bahwa Mushaf Fathimah Az-Zahra as
adalah Quran orang-orang Syiah yang ada di tangan Imam Mahdi af yang
akan disodorkan ketika dia muncul. Dan sebagian memberatkan wujudnya
Mushaf itu.
Pertanyaannya adalah mengapa sebagian muslimin begitu benci dan
menaruh dendam terhadap Syiah dan menuduh bahwa orang-orang Syiah
memiliki al-Quran tersendiri selain yang ada di tangan orang non Syiah?
Bahkan sampai saat ini senantiasa ada orang-orang dengki yang mengkritik
secara tidak obyektif hanya ingin menjatuhkan dan mencari kelemahan
saja tanpa ada niat ingin mencari kebenaran? Jawabannya adalah:
1. Selain mereka tidak merujuk ke sumber-sumber hadis Syiah, mereka hanya termakan oleh hasutan musuh-musuh Syiah.
2. Mereka tidak mau menerima bahwa orang-orang Syiah meyakini bahwa Fathimah as; putri Nabi Muhammad saw memiliki sebuah Mushaf.
3. Kebencian dan kekerasan hati mereka terhadap ajaran Syiah yang
disampaikan oleh para Imam Maksum as dan tidak mau orang lain memiliki
keyakinan seperti apalagi dirinya.
4. Mereka berpikir bahwa Mushaf adalah kumpulan al-Quran sebagaimana
istilah yang diterapkan pada zaman Rasulullah saw bahwa Mushaf adalah
kumpulan-kumpulan tulisan al-Quran, padahal pada zaman itu Mushaf secara
bahasa adalah kumpulan-kumpulan lembaran yang sudah dijilid dalam
bentuk sebuah buku. Jadi Mushaf bukan hanya kumpulan tulisan al-Quran
saja, tetapi mencakup juga kumpulan-kumpulan tulisan selain al-Quran.
Oleh karena itu Mushaf Fathimah adalah kumpulan-kumpulan tulisan yang
isinya adalah pembicaraan malaikat Jibril kepada Sayyidah Fathimah
sepeninggal Ayahnya saw. Walaupun sampai saat ini al-Quran itu sendiri
juga dikenal dengan istilah “Mushaf Syarif”.
Abu Basyir berkata: “Aku berada di sisi Imam Shadiq as dan aku
berkata: “Apa Mushaf Fathimah itu?”. Beliau menjawab: “Mushaf yang
tebalnya tiga kali al-Quran yang ada di tanganmu. Namun, demi Allah,
tidak satu kata pun dari al-Quran ada di dalamnya.
Hadis ini menjelaskan bahwa Mushaf Fathimah tebalnya tiga kali
al-Quran dan tidak satu kata pun, namun dari sisi kandungan dan topik,
kendati satu kata pun dari dhahirnya al-Quran tidak tampak di sana.
Boleh jadi orang-orang yang dengki akan menyanggah bahwa banyak
hadis-hadis tentang “al-Quran mencakup semua hukum, dan
kejadian-kejadian sekarang dan yang akan datang”, lalu apa Mushaf
Fathimah itu dan bagaimana memahami hadis berikut ini?:
Allamah Majlisi menjelaskan: “Iya memang al-Quran demikian, tetapi
Mushaf adalah makna dan bacaan yang tidak kita pahami dari al-Quran,
bukan tulisan lahiriahnya yang kita pahami dari al-Quran. Oleh karena
itu apa yang anda maksud adalah lafadh dhahrinya al-Quran, dan itu tidak
ada dalam Mushaf Fathimah.
Untuk mengetahui lebih dalam, apa sebenarnya Mushaf Fathimah? Sejak
kapan ia ada? Ia mencakup pembahasan apa saja? Sekarang ada di mana dan
di tangan siapa? Mari kita ikuti penjelasan berikut ini. Mungkin bisa
membuka wawasan sebagian kita yang belum banyak mengetahuinya.
Sayyidah Fathimah As bergelar Al Muhaddatsah.
Imam Shadiq mengenai sebab penamaan Fathimah Az-Zahra As dengan nama Muhaddatsah berkata:
“Fathimah as disebut Muhaddatsah karena malaikat Jibril senantiasa
turun dan menyampaikan kabar kepadanya sebagaimana menyampaikan kabar
kepada Maryam as; putri Imran”.
Malaikat Jibril berkata kepada Fathimah as sebagaimana berkata kepada
Maryam; dalam ayat 42 dan 43 surat Maryam. Berhubung lawan bicaranya
Sayyidah Fathimah, maka Jibril berkata demikian: “Hai Fathimah!
Sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan
kamu atas segala wanita di dunia. Hai Fathimah! Taatlah kepada Tuhanmu,
sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk”.
Suatu malam, Sayyidah Fathimah berbincang-bincang dengan para malaikat dan berkata:
“Bukankah Maryam (juga bergelar Sayyidatunissa lil alamin –
dizamannya); putri Imran, wanita yang paling utama di antara
wanita-wanita di alam?
Para malaikat menjawab: “Maryam adalah wanita yang paling utama di
zamannya, tetapi Allah menetapkanmu sebagai wanita yang paling utama di
zamanmu dan zamannya Maryam dan kamu adalah penghulu semua wanita yang
pertama sampai yang terakhir”
Para malaikat biasanya hanya berbicara dengan para nabi saja. Namun
ada empat wanita mulia yang hidup di zaman para nabi, dan kendati mereka
bukan nabi, tetapi para malaikat berbicara dengan mereka. Antara lain:
1. Maryam; ibu Nabi Isa as.
2. Istri Imran; ibu Nabi Musa
3. Sarah; ibu Nabi Ishaq as.
4. Sayyidah Fathimah as.
Ketika Rasulullah Saww sakit di atas tempat tidur. Ada orang
laki-laki asing mengetuk pintu. Sayyidah Fathimah as bertanya: “Siapa?”.
Ia menjawab: “Aku orang asing, punya pertanyaan kepada Rasulullah, anda
mengizinkan saya untuk masuk?”.
Sayyidah Fathimah As menjawab: “Kembalilah, semoga Allah merahmatimu.
Rasulullah tidak enak badan”. Ia pergi kemudian kembali lagi dan
mengetuk pintu dan berkata: “Ada orang asing yang minta izin kepada
Rasulullah, bolehkah dia masuk?”. Pada saat itu Rasulullah Saww bangun
dan berkata kepada putrinya: “Wahai Fathimah! Tahukah kamu siapa dia?”.
Tidak ya Rasulullah!. Beliau bersabda: “Ia adalah orang yang membubarkan
perkumpulan, menghapus kelezatan duniawi, ia adalah malaikat maut! Demi
Allah sebelum aku ia tidak pernah meminta izin dari seorang pun dan
sepeninggalku ia tidak akan meminta izin dari seorang pun, karena
kehormatan dan kemuliaan yang aku miliki di sisi Allah, ia meminta izin
dariku, maka izinkanlah dia masuk!”
Sayyidah Fathimah berkata: “Masuklah, semoga Allah merahmatimu!”.
Masuklah malaikat maut bagaikan angin semilir seraya berkata: “Assalamu
ala Ahli Baiti Rasulillah!”.
Munculnya Mushaf Fathimah
Imam Shadiq as bersabda: “Sepeninggal Rasulullah saw Sayyidah
Fathimah hanya hidup selama tujuh puluh lima hari. Di masa-masa
kesedihan beliau itu malaikat Jibril selalu turun menemuinya
memberitakan keadaan ayahnya di sisi Allah dan memberitakan tentang
kejadian yang akan datang mengenai anak-anaknya (kejadian yang akan
menimpa kesahidan anak-anaknya di tangan manusia-manusia zalim), dan
Imam Ali menulisnya dalam sebuah Mushaf sehingga disebut sebagai Mushaf
Fathimah”.
Poin-poin yang ada dalam Mushaf Fathimah as
Abu Bashir bertanya kepada Imam Muhammad Baqir as mengenai poin-poin yang ada dalam Mushaf Fathimah.
Imam menjelaskan kandungannya:
1. Tentang kabar-kabar sekarang dan kabar yang akan datang sampai hari kiamat.
2. Tentang kabar langit dan nama-nama malaikat langit.
3. Jumlah dan nama orang-orang yang diciptakan Allah swt.
4. Nama-nama utusan Allah dan nama-nama orang yang mendustakan Allah.
5. Nama-nama seluruh orang mukmin dan orang kafir dari awal sampai akhir penciptaan.
6. Nama-nama kota dari barat sampai timur dunia.
7. Jumlah orang-orang mukmin dan kafir setiap kota.
8. Ciri-ciri orang-orang pendusta.
9. Ciri-ciri umat terdahulu dan sejarah kehidupan mereka.
10. Jumlah orang-orang zalim yang berkuasa dan masa kekuasaannya.
11. Nama-nama pemimpin dan sifat-sifat mereka, satu persatu yang
berkuasa di bumi, dan keterangan pembesar-pembesar mereka, serta siapa
saja yang akan muncul di masa yang akan datang.
12. Ciri-ciri penghuni surga dan jumlah orang yang akan masuk surga.
13. Ciri-ciri penghuni neraka dan nama-nama mereka.
14. Pengetahuan al-Quran, Taurat, Injil, Zabur sebagaimana yang diturunkan dan jumlah pohon-pohon di seluruh daerah.
Mushaf Fathimah ada di tangan Imam Maksum as dan silih berganti sampai sekarang ada di tangan Imam Mahdi af.
Abu Bashir bertanya kepada Imam Muhammad Baqir as tentang siapakah
yang memegang mushaf tersebut sepeninggal Sayyidah Fathimah. Imam Baqir
menjawab: “Sayyidah Fathimah secara langsung menyerahkannya kepada Imam
Ali as dan sepeninggal Imam Ali ada di tangan Imam Hasan as kemudian
sepeninggal beliau ada di tangan Imam Husein kemudian silih berganti di
antara Imam maksum keturunan Imam Husein sehingga diserahkan kepada Imam
Zaman af.
[ Disadur dari Judul Asli Mengenal Mushaf Sayyidah Fathimah Az-Zahra as ]
[ Emi Nur Hayati Ma’sum Said - Al Shia ]
Maraji :
* Makalah ini disarikan secara bebas dari makalah Mushaf Fathimah Menurut Pandangan Para Imam Maksum as, Muhammad Hasan Amani.
* Lisan Arab, jilid 10 kata Shahafa. Mufradat Raghib.
* Ringkasan hadis, Usul Kafi, jilid 1, hal 239. Bashair ad-Darajat, hal 151. Bihar al-Anwar, jilid 26, hal 28.
* Bihar Al-Anwar, jilid 26, hal 40.
* Awalim Al-ulum wa al-Ma’arif wa al-Ahwal, Allamah Bahani, hal 36
* Ibid.
* Manaqib Ibnu Shahr Ashub, jilid 3, hal 336. penerbit Intisyarat Allamah.
* Lihat: Usul Kafi, jilid 1, hal 240. Bashair ad-Darajat, hal 157.
Musnad Fathimah Az-Zahra, hal 282. Bihar al-Anwar, jilid 43, hal 80.
jilid 26, hal 44-46 dan 48. jilid 47, hal 271.
* Musnad Fathimah, rangkuman hal 290-291.
* Ibid, hal 292.