Imam Keempat adalah seorang manusia
sempurna dan terpilih. Beliau adalah seseorang yang telah mencapai
puncak kesempurnaan dari segala dimensi moral, ritual, keilmuan. Imam
Sajjad As merupakan jelmaan al-Qur’an dan Rasulullah Saw. Pada masa
kelam pemerintahan Bani Umayyah nilai-nilai kemanusiaan dan keutamaan
dilupakan. Alih-alih masyarakat menyaksikan kehidupan zuhud, hidup
sederhana, rendah-hati (tawadhu), cinta sesama, bersikap lembut, dan
mematuhi pemimpin mereka sebagai khalifah Rasulullah Saw, mereka justru
menjadi saksi atas cinta dunia, aristokrasi, hidup bermegah-megahan,
individualisme, takabbur. Imam Sajjad laksana surya terang bersinar dan
keberadaannya menjelma sebagai penghimpun seluruh keutamaan dan
nilai-nilai yang telah dilupakan itu; sedemikian sehingga kawan dan
lawan menyampaikan pujian terhadap perilakunya.[1]
Muhammad bin Thalha Syafi’i menulis, “Ia
adalah keindahan para abid, imam orang-orang zuhud, pemimpin orang-orang
bertakwa dan imam orang-orang beriman. Sirahnya menjadi saksi bahwa ia
adalah putra saleh Rasulullah Saw dan raut wajahnya melukiskan
kedudukannya di sisi Allah Swt..”[2]
Pada kesempatan ini, kami akan ilustrasikan
pelbagai manifestasi dan contoh keutamaan, sirah dan kemuliaan akhlak
Imam Sajjad yang menjelma menjadi teladan tiada tara, tanpa tanding dan
paling sempurna bagi umat manusia sebagaimana berikut:
1. Ibadah dan munajat Imam Sajjad di
hadapan Allah Swt sedemikian banyak sehingga beliau mendapat julukan dan
gelar sebagai keindahan para abid (sayid al-‘Âbidin, zain al-‘Âbidin)
dan orang yang sangat banyak melakukan sujud (sajjâd). Imam Ali bin
Husain As sedemikian meletakkan keningnya di atas tanah sehingga
anggota-anggota sujud ayahku memiliki bekas-bekas yang sangat menonjol.
Ia selalu memotongnya sebanyak dua kali dalam setahun. Pada setiap
kalinya, ia memotong sebanyak lima potong. Oleh karena itu, ia diberi
julukan Dzuts Tsafanât (Orang yang memiliki kantung-kantung).[3] Imam
Sajjad As tatkala berwudhu raut wajahnya berubah menjadi pucat. Beliau
ditanya mengapa demikian? Beliau menjawab, “Apakah engkau tahu di
hadapan siapa gerangan aku berdiri?”[4]
Sekaitan dengan mengapa ayahnya Ali Zainul
Abidin digelari al-Sajjad (Orang Yang Banyak Bersujud), Imam Baqir As
berkata, “Ali bin Husain tidak mengingat sebuah nikmat Allah „Azza
Wajalla kecuali ia melakukan sujud. Ia tidak membaca ayat kitab Allah
„Azza Wajalla yang mengandung ayat sajdah kecuali ia melakukan sujud.
Allah tidak menyelamatkannya dari kejelekan yang dikhawatirkannya
kecuali ia melakukan sujud. Ketika usai mengerjakan salat wajib, ia
melakukan sujud. Bekas-bekas sujud terdapat pada seluruh anggota
sujudnya. Oleh karena itu, ia diberi gelar al-Sajjâd.[5]
2. Gemar memaafkan. Membalas perlakuan
buruk dengan kebaikan adalah salah satu karakter utama Imam Sajjad As.
Imam Ali bin Husain Zain al-Abidin menyebutkan kebaikan sifat utama ini,
“Aku tidak mereguk air lebih menyegarkan daripada memendam amarah
kepada orang lain.” “Memendam amarah merupakan air yang paling
menyegarkan bagiku.”[6]
Suatu hari, seorang dari keturunan Bani
Hasyim berlaku kurang ajar kepada Imam Sajjad As. Imam Sajjad As tidak
berkata sepatah kata pun. Setelah orang itu pulang, Imam Sajjad As
berkata kepada orang-orang yang hadir di tempat itu, “Apakah kalian
mendengar apa yang disampaikan orang itu? Saya ingin kalian pergi
bersamaku ke orang itu dan mendengarkan jawabanku.”
Imam Sajjad As melangkah menuju tempat
orang ini dan membaca ayat ini, “(yaitu) orang-orang yang menginfakkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan.”[7]
Imam Sajjad As tiba di rumah orang itu.
Orang itu menyangka bahwa beliau datang untuk menuntut balas atas ucapan
yang ia sampaikan karena itu ia keluar rumah untuk mendengarkan jawaban
dan berkonfrontasi dengannya. Imam Sajjad As bersabda kepadanya, “Wahai
saudaraku! Beberapa menit yang lalu engkau datang kepadaku dan
menyampaikan perkataaan (yang tidak benar); Semoga Allah Swt mengampuni
sekiranya apa yang engkau sampaikan itu terdapat pada diriku. Dan
memohon ampunan bagimu sekiranya apa yang engkau sampaikan itu tidak
terdapat pada diriku.”
Mendapatkan reaksi Imam Sajjad As seperti
ini, orang itu merasa malu kepadanya dan mengecup keningnya lalu
berkata, “Apa yang aku katakan tidak terdapat pada diri Anda dan
ketahuilah aku sebenarnya yang lebih tepat atas perkataan itu.”[8]
3. Menderma kepada orang-orang yang
membutuhkan dan mengurus masalah-masalah mereka merupakan karakter utama
seluruh Imam Maksum As. Teramat banyak contoh dari karakter utama ini
pada kehidupan masing-masing setiap Imam Maksum As.
Imam Sajjad As banyak menyantuni
keluarga-keluarga miskin.[9] Setiap malam, tanpa dikenali, beliau pergi
ke rumah-rumah mereka dengan sekantung karung yang berisikan roti, korma
dan lain sebagainya. Selama masa hidupnya tiada seorang pun yang
mengetahui bahwa siapa gerangan orang yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan
mereka. Setelah kesyahidan (syahâdah) Imam Sajjad As mereka memahami
bahwa orang yang tidak dikenali itu adalah Ali bin Husain As (Imam
Sajjad As).[10]
Imam Keempat As tidak memakan makanan
kecuali ia mendermakan semisal dengannya. Beliau bersabda, “Kamu
sekali-kali tidak akan menggapai kebaikan (yang sempurna) sebelum kamu
menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
infakkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui.” (Qs. Ali Imran
[3]:92)[11]
Metode Imam Zain al-Abidin dalam memberikan
infak dan sedekah adalah sebelum menyerahkan sedekah tersebut kepada
orang-orang membutuhkan beliau mencium sedekahan tersebut. Tatkala
beliau ditanya alasanyna, Imam Sajjad As bersabda, “Aku tidak mencium
tangan peminta-minta namun aku mencium tangan Tuhanku. Sedekah sampai ke
tangan Tuhan sebelum ia sampai ke tangan orang yang membutuhkan.”[12]
Cara lainnya Imam Sajjad dalam bersedekah
adalah beliau menyerahkanyna secara diam-diam. Imam Sajjad As bersabda,
“Sedekah secara diam-diam akan memadamkan murka Tuhan.”[13]
4. Imam Keempat sebagaimana para Imam
Maksum lainnya adalah pemberani, prawira dan anti kezaliman. Sikapnya
yang keras dan tuturannya yang pedas di hadapan para penguasa zalim
seperti Ubaidillah, Yazid dan Abdul Malik merupakan sebaik-baik bukti
kekuatan mental dan keprawiraan Imam Sajjad pada peristiwa pasca tragedi
Karbala dan pada masa imamah beliau. Di hadapan Ubaidillah yang
mengancam membunuhnya, Imam Sajjad As bersabda, “Apakah engkau mengancam
untuk membunuhku?” Tidakkah engkau tahu bahwa terbunuh (di jalan Allah)
adalah kebiasaan kami dan kesyahidan adalah kemuliaan kami.”[14]
Imam Sajjad As berkata di hadapan Yazid,
“Wahai Putra Muawiyah, Hind dan Sakhr! Engkau tahu bahwa datukku Ali bin
Abi Thalib As adalah pemegang panji Islam pada hari Badar, Uhud dan
Ahzab; namun ayah dan datukmu adalah pemegang panji orang-orang
kafir.”[15]
Di hadapan Abdul Malik yang meminta Imam
Sajjad As menghadap dan berkata, “Aku bukanlah pembunuh ayahmu. Lantas
mengapa engkau tidak datang kepada kami?” Imam Sajjad berkata, “Meski
pembunuh ayahku telah mati namun ia telah merusak akhiratnya dengan
kejahatan ini; silahkan apabila engkau juga suka seperti dia!”[16]
Bersikap tegas dan berkata-kata pedas
seperti ini di hadapan para penguasa zalim dan jahat seperti ini di
istana dan wilayah kekuasaan mereka memerlukan keberanian ekstra.
Di samping khutbah membakar Imam Sajjad As
di istana Yazid yang mengungkap pelbagai kejahatan, kezaliman dan
kerusakan Dinasti Bani Umayyah dan khususnya Yazid juga menunjukkan
puncak keberanian mental dan keprawiraan Imam Sajjad As.
Kesimpulan sirah akhlak, keutamaan dan
kemuliaah Ahlulbait As adalah sirah dan keutamaan paling sempurna dan
keutamaan akhlak dan tidak terbatas pada satu masa atau tingkatan
kehidupan beliau. Keutamaan dan kesempurnaan ini senantiasa mengalir
pada detik detik kehidupan beliau. Hanya saja mental dan kesempurnaan
ini bergantung pada situasi dan kondisi ruang dan waktu dan berbeda-beda
di hadapan setiap orang dan setiap peristiwa.
Terkadang di hadapan orang-orang lemah,
susah dan miskin masyarakat beliau bersikap “walkazhimina al-ghaizh wa
al-‘afina ‘an al-nas” (orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang) dan berderma, mencintai dan memaafkan memenuhi
seluruh kehidupannya, dan terkadang di hadapan orang-orang zalim dan
penguasa jahat Imam Sajjad adalah orang yang paling berani, prawira dan
paling tegas dalam rangka menyuarakan hak orang-orang yang dianiaya dari
para penganiaya.
Referensi:
[1]. Ali Rafi’i, Târikh Islâm dar Ashr-e Imâmat Imâm Sajjâd As wa Imâm Bâqir As, hal-hal 17-21. Markaz-e Tahqiqat-e Islami, 76.
[2]. Muhammad bin Thalha Syafi’I, Mathâlib
al-Su’ûl, hal. 77. Diadaptasi dari Ali Rafi’i, Târikh Islâm dar Ashr-e
Imâmat Imâm Sajjâd As wa Imâm Bâqir As.
[3]. Syaikh Shaduq, ‘Ilal al-Syarâ’i, jil. 1, hal. 233, Software Jâmi’ al-Ahâdits.
[4]. Ibid, hal. 232, Software Jâmi’ al-Ahâdits.
[5]. Ibid, hal. 233, Software Jami’ al-Ahadits.
[6]. Ushûl al-Kâfi, jil. 2, hal. 109. Software Jami’ al-Ahadits.
ما تَجَرَّعْتُ جُرْعَةً اَحَبَّ اِلَىَّ مِنْ جُرْعَةِ غَیْظٍ لا اُکافى بِها صاحِبَها.
[7]. (Qs. Ali Imran [3]:134)
الَّذینَ یُنْفِقُونَ فِی السَّرَّاءِ وَ
الضَّرَّاءِ وَ الْکاظِمینَ الْغَیْظَ وَ الْعافینَ عَنِ النَّاسِ وَ اللهُ
یُحِبُّ الْمُحْسِنینَ
[8]. Syaikh Mufid, al-Irsyâd, jil. 2, hal. 146.
[9]. Dalam sebuah riwayat yang dinukil dari
Imam Baqir As disebutkan bahwa terdapat sejumlah besar keluarga yang
ditanggung biaya hidupnya oleh Imam Sajjad As. Silahkan lihat, Manâqib
Ibnu Syahr Asyub, jil. 4, hal. 154. Software Jâmi’ al-Ahâdits.
[10]. Syaikh Mufid, al-Irsyad, jil. 2, hal.
146. Diadaptasi dari Ali Rafi’i, Târikh Islâm dar Ashr-e Imâmat Imâm
Sajjâd As wa Imâm Bâqir As.
[11]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 46, hal. 89. Software Jâmi’ al-Ahâdits. (Qs. Ali Imran [3]:92)
لَنْ تَنالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَ ما تُنْفِقُوا مِنْ شَیْءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلیمٌ
[12]. Ibid, hal. 74. Software Jâmi’ al-Ahâdits.
[13]. Ibid, hal. 88. Software Jâmi’ al-Ahâdits.
[14]. A’yân al-Syiah, jil. 1, hal. 633.
اءبـِالْقـَتْلِ تُهَدِّدُنى؟ اَما عَلِمْتَ اَنَّ الْقَتْلَ لَنا عادَةٌ وَ کَرامَتُنا الشَّهادَةُ
[15]. Ibid.
[16]. Bihar al-Anwar, jil. 46, hal. 121. Software Jâmi’ al-Ahâdits.