Puasa dalam perspektif Irfan memiliki lingkaran yang lebih luas yang di samping terkait dengan badan juga mencakup jiwa dan pesuluk harus menjauhi apa-apa yang dilarang untuk didengar, dibicarakan, dan diperbuat.
Hujjatul Islam Bahram Delir, Ketua Bidang Irfan Lembaga Penelitian
Budaya dan Pemikiran Islam, dalam wawancara dengan Shabestan yang di
samping menegaskan tentang puasa-khusus, mengatakan bahwa puasa memiliki
definisi fikih yakni menahan dari makan, minum, dan hal-hal lain dari
azan subuh hingga azan magrib. Pada hakikatnya, ‘menahan’ ini terkait
dengan badan jasmani.
Ia melanjutkan, “Sementara puasa dalam pandangan Irfan memiliki domain
yang sangat luas yang di samping berhubungan dengan badan juga meliputi
jiwa. Pesuluk harus meninggalkan apa-apa yang dilarang untuk didengar,
dikatakan, dan dilakukan, namun hal ini tidak bermakna bahwa bohong,
ghibah, dan ucapan yang tidak layak menurut fikih adalah bisa dikerjakan
ketika berpuasa. Memang hal-hal tersebut tidak membatalkan puasa,
tetapi hal ini sangat berbeda jika dipandang dari sudut puasa jiwa dan
batin.”
Tentang puasa-khusus atau puasa batin para arif, ia mengungkapkan,
“Menahan ini bagi pesuluk tidak hanya dalam bulan Ramadan ini, melainkan
penahanan ini secara perlahan-lahan dan bertahap akan berlaku pada
bulan-bulan yang lain dan apa-apa yang berkaitan dengan pemikiran, hati,
tafakkur, dan… akan menjadi focus perhatian. Di dalam puasa-khusus arif
ini, puasa mencakup jasmani dan ruhani, mungkin saja puasa jasmaninya
hanya di dalam bulan Ramadan saja, namun puasa ruhaninya terus berjalan
sepanjang tahun.”
Untuk menjalani puasa-khusus ini terdapat dua jalan, ia mengatakan,
“Jalan ini adalah jalan teoritis dan praktis. Irfan praktis mendukung
Irfan teoritis dan ketika salik mencapai suatu pengetahuan bahwa doa dan
kesalahan baginya seperti meminum racun maka mustahil ia melakukannya,
karena itu ia tidak akan mendengar apa yang terlarang untuk didengar dan
tidak melangkahkan kakinya di jalan yang terlarang, begitu pula tidak
akan berpikir tentang apa-apa yang dilarang untuk dipikirkan. Semua ini
adalah sifat-sifat yang mengakar bagi sang salik.”
“Jika Irfan teoritis tidak tercapai maka mustahil Irfan praktis bisa
berjalan. Di jalan ini seribu tingkatanyang harus dilalui secara
bertahap sedemikian sehingga mengakar di hati, jiwa, dan pikiran sang
pesuluk. Dan jika Rasulullah saw berkata kepada seorang yang sedang
berpuasa dalam kondisi mengghibah saudara seimannya bahwa engkau tidak
berpuasa dan sedang memakan potongan-potongan daging mayat, maka itu
adalah bentuk batin dari perbuatannya.”
“Begitu banyak persoalan lahiriah yang karena kita tidak mengetahui
batinnya maka kita tidak berusaha untuk melaksanakan dan menghindarinya.
Tidak seorang pun yang berakal akan rela memakan daging mayat, dalam
kondisi demikian, apakah dia berani mengghibah atau berbohong yang
merupakan kunci dari segala keburukan. Apakah orang yang berakal sehat
akan mencari keburukan, bagaimana dengan para pesuluk?” tegasnya.
“Para pesuluk senantiasa berupaya melakukan apa-apa yang dicintai dan
diridhai oleh kekasihnya (Tuhan) dan meninggalkan apa-apa yang tidak
disenangi-Nya,” tandasnya.
(Shabestan/ABNS)
(Shabestan/ABNS)