Oleh : Syaikh Muhammad Jawad Mughniyah
Jika kita gabungkan hadits, “Berpuasalah kalian karena melihat hilal,
dan berbukalah karena melihat hilal”, yang muttafaq alaih di kalangan
kaum Muslim; dan juga jika kita gabung kesepakatan mereka bahwa yang
wajib itu adalah puasa ramadhan di mana jumlah harinya berbeda dengan
dua bulan yang mengapitnya, yaitu syakban dan syawal antara 29 dan 30
hari; jika kita gabung kedua dasar ini dengan ikhtilaf kaum Muslim dan
perbedaan mereka di dalam meyakini ucapan (atau kejujuran) orang yang
mengaku telah melihat hilal, maka sebagian meyakini kesaksiannya itu dan
sebagian lain tidak; jika kita gabungkan semua itu maka akan muncullah
kesimpulan yang pasti dan tidak bisa tidak, bahwa akan terjadi
sekelompok orang berpuasa sementara sekelopok lain tidak.
Bisa jadi
orang yang berpuasa itu dari satu golongan (mazhab) dan yang tidak
berpuasa dari golongan (mazhab) lain. Akan tetapi bisa juga terjadi
bahwa keduanya dari satu golongan (satu mazhab), sesuai dengan adanya
kepercayaan atau tidak. Yang demikian ini sebagaimana terjadi pada tahun
1964, di mana seorang marja’ di Najaf dengan para pengikutnya berhari
raya pada hari Jum’at, sedangkan marja’ lain yang juga di Najaf dengan
para pengikutnya pula berhari raya pada hari sabtu—(Pada tahun ini
2013 M/ 1434 H juga terjadi perbedaan para marja’ tentang waktu idul
fitri. Sebagian marja’, seperti Sayid al-Haidari menyatakan jatuh pada
hari kamis, 8 Agustus 2013; dan sebagian lainnya, seperti Sayid Sistani
dan Sayid Khamenei menyebutkan Jum’at, 9 Agustus 2013. Di Indonesia
sendiri terdapat juga sebagian yang berlebaran di hari kamis dan
sebagian lagi di hari jum’at–peny).
Demikian pula pernah terjadi
pada tahun 1939 di mana Idul Adha di Mesir jatuh pada hari senin; di
Saudi Arabia hari selasa; dan di Bombai hari rabu. Padahal mereka semua
bermazhab ahlussunnah. Dengan demikian masalahnya bukan masalah ikhtilaf
antara golongan dan mazhab, tetapi masalahnya adalah adanya kepercayaan
atau tidak pada orang yang mengaku melihat hilal.
Kelalaian akan hakikat ini telah
meluas dan seringkali orang bertanya-tanya: Mengapa kaum Muslimin tidak
berusaha menghapus kekacauan dan ikhtilaf ini dengan merujuk ke ilmu
pengetahuan dan ucapan ahli perbintangan yang dapat menghitung kapan
munculnya hilal. Dan yang dipahami oleh orang dari kata-kata ru’yah
(melihat), khususnya pada masa risalah, ialah melihat dengan mata, bukan
melihat dengan ilmu. Akibatnya, kita pun tidak pernah memperhatikan
selain ru’yah dengan mata ini, apa pun yang telah dan akan terjadi.
Sedangkan menurutku ialah bahwa
pertanyaan tersebut tidak terarah sejak dari awalnya. Demikian pula
jawaban yang dibangun di atasnya. Karena sesuatu yang dibangun di atas
sesuatu yang tidak benar tentu juga tidak benar. Keterangannya adalah
sebagai berikut :
Seluruh kaum Muslimin sepakat bahwa
hukum-hukum Allah swt harus dilaksanakan dan ditaati berdasarkan ilmu.
Seseorang tidak boleh bersandar pada zhan (dugaan) selama masih ada
jalan kea rah ilmu (keyakinan). Sebab, zhan tidak mendatangkan kebenaran
sama sekali. Memang benar bahwa kita boleh berpegang pada zhan yang
demikian ini jika tidak ada jalan kea rah ilmu sama sekali. Jika kita
boleh bersandar kepada bayyinah yang mendatangkan zhan, maka lebih utama
jika kita beramal dengan keyakinan, bahkan demikian itulah seharusnya
jika memungkinkan.
Dengan demikian, jika ucapan para
ahli perbintangan bisa mendatangkan ilmu (pengetahuan yang meyakinkan)
maka wajib atas mereka yang mengetahui kebenaran pada hal tersebut untuk
beramal sesuai dengan ucapan mereka; dan tidak boleh sama sekali bagi
mereka berpegang pada kesaksian para saksi, atau keputusan seorang hakim
atau apa pun juga yang bertentangan dengan pengetahuannya itu.
Mungkin Anda akan berkata,
“Ucapan Rasul saw, ‘berpuasalah kalian karena melihat hilal dan
berbukalah karena melihatnya’, menunjukkan bahwa ilmu yang harus diikuti
dalam masalah kepastian hilal ini adalah khusus ilmu yang muncul dari
penglihatan mata, bukan sembarang ilmu.”
Kami menjawab, bahwa ilmu adalah
hujjah, dari jalan mana pun datangnya. Sedangkan pembawa syariat tidak
membeda-bedakan jalan-jalan datangnya ilmu itu. Sebab hujjiyah (sifat
sebagai hujjah) ilmu itu adalah zatiyah, bukan didapat dengan suatu cara
tertentu; dan tak seorangpun yang berhak mengurangi atau memalingkan
(kandungan)nya. Memang, pembawa syariat boleh menganggap ilmu itu
sebagai bagian objek hukum-hukumnya, sebagaimana telah ditetapkan dalam
ilmu ushul fikih. Akan tetapi, yang sedang kita bicarakan di sini adalah
di luar masalah tersebut. Sebab pembawa syariat menganggap bahwa ru’yah
hanyalah sebagai perantara untuk mengetahui hilal, bukan tujuan itu
sendiri; sebagaimana halnya pada setiap jalan untuk mengetahui
hukum-hukum yang belum diketahui. Dengan kata lain ialah bahwa nama
jalan akan menunjukkan kepadanya.
Tinggal satu hal lagi, yaitu :
“Dapatkah ucapan para ahli perbintangan itu menghasilkan pengetahuan
yang pasti sehingga dapat menyingkirkan segala syubhah (ketidakjelasan),
sama seperti ru’yah dengan mata, ataukah tidak?
Sesungguhnya jawaban untuk
pertanyaan di atas sudah dapat diketahui dari apa yang telah kami
sebutkan di muka, bahwa dalam masalah ini bias terjadi perbedaan sesuai
dengan perbedaan manusianya, sama seperti masalah kepercayaan kepada
orang yang mengaku melihat hilal (ada yang percaya dan ada yang tidak
percaya), juga kepada ucapan dokter jika dia mengatakan adanya penyakit
(bias dipercaya dan bisa juga tidak). Maka barangsiapa memperoleh
pengetahuan (keyakinan) dari ucapan para ahli falak, maka dia harus
mengikuti mereka dan tidak boleh berpegang pada bayyinah atau keputusan
hakim dan sebagainya jika bertentangan dengan pengetahuan dan
keyakinannya. Jika tidak, maka tidak ada jalan lain kecuali jalan-jalan
syariat lain yang telah disebutkan, seperti bayyinah dan lain-lain.
Bagaimanapun, kami dan selain
kami boleh mengatakan bahwa ucapan para ahli falak, sampai sekarang
masih berdasarkan pada perkiraan yang mendekati kebenaran, bukan seratus
persen benar. Buktinya ialah adanya ikhtilaf di kalangan mereka adanya
kesimpangsiuran hasil perhitungan mereka di dalam menentukan malam
munculnya hilal, dan saat munculnya itu, serta seberapa lama hilal itu
terlihat…
Apabila datang suatu saat di mana ilmu pengetahuan (khususnya
tentang falak) telah menghasilkan tingkat pengetahuan yang tepat dan
memadai sehingga setiap kali sepakat dalam menentukan saat hilal, dan
telah berulang-ulang ketepatan perhitungan mereka, sehingga ucapan
mereka telah mencapai derajat kepastian, seperti perhitungan mereka
tentang hari-hari dalam seminggu, maka bias jadi dengan demikian, kita
akan berpegang dan merujuk mereka dalam perkara hilal dan ketentuannya.
Dengan demikian, maka setiap orang akan mengetahui dengan yakin dari
ucapan mereka, bukan beberapa orang saja atau beberapa golongan saja.
(Sumber: Kitab Fiqh Imam Ja’far Shadiq juz 1 karya Syaikh Muhammad Jawad Mughniyah hal. 393-396)