Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Imam Nawawi. Show all posts
Showing posts with label Imam Nawawi. Show all posts

Perintah Birrul Walida’in dalam Al-Qur’an


Oleh: Ismail Amin

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Qs. Al-Israa: 23).

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi penghormatan dan pemuliaan kepada kedua orangtua. Apapun bentuk pelecehan dan sikap merendahkan orangtua maka Islam lewat pesan-pesan moralnya telah melarang dan mengharamkannya. Bahkan durhaka kepada kedua orangtua termasuk diantara dosa-dosa besar yang dilarang keras. Dengan melihat ayat di atas, terutama pada frase,“wa laa taqullahumaa ‘uff’, janganlah kamu mengatakan kepada keduanya, perkataan ‘ah’…” menunjukkan untuk bentuk pelecehan dan sikap merendahkan kedua orangtua yang paling kecil sekalipun Islam tidak luput untuk memberikan penegasan atas pelarangannya.

Imam Shadiq as bersabda, “Kalau sekiranya dalam berhubungan dengan kedua orangtua ada bentuk pelecehan yang lebih rendah dari melontarkan kata ‘ah’, niscaya Allah telah melarangnya.” (Ushul Kafi, Jilid 2, hal. 349).

Birrul Walidain berasal dari dua kata, birru dan al-walidain. Imam Nawawi ketika mensyarah Shahih Muslim memberi penjelasan, bahwa kata-kata Birru mencakup makna bersikap baik, ramah dan taat yang secara umum tercakup dalam khusnul khuluq (budi pekerti yang agung). Sedangkan, walidain mencakup kedua orangtua, termasuk kakek dan nenek. Jadi, birrul walidain adalah sikap dan perbuatan baik yang ditujukan kepada kedua orangtua, dengan memberikan penghormatan, pemuliaan, ketaatan dan senantiasa bersikap baik termasuk memberikan pemeliharaan dan penjagaan dimasa tua keduanya.

Perintah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua dalam Al-Qur’an kurang lebih berulang sebanyak 13 kali. Seperti surah Al-Baqarah, ayat 83, 180 dan 215, An-Nisa ayat 36, An-Na’am: 151, Isra’: 23 dan 24, Al Ahkaf: 15, Al Ankabut: 8, Luqman: 14, Ibrahim: 41, An Naml: 10 dan surah Nuh: 28. Jika melihat dari ayat-ayat tersebut, setidaknya kita bisa mengklasifikasikan ada 6 macam bentuk perintah Allah SWT untuk berbuat baik kepada kedua orangtua.

Pertama, dalam bentuk perintah untuk berbuat baik dengan sebaik-baiknya, seperti dalam surah Al-Isra’ ayat 23 dan 24. Termasuk dalam hal ini, memberikan penjagaan dan pemeliharaan di hari tua keduanya dan mengucapkan kepada keduanya perkataan yang mulia.

Kedua, dalam bentuk wasiat. Allah SWT berfirman, “Dan Kami berwasiat kepada manusia untuk (berbuat) kebaikan kepada dua orang tuanya.” (Qs. Al-Ankabut: 8). Begitupun pada surah Al-Ahqaf ayat 15, Allah SWT berfirman, “Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula).”
Ketiga, dalam bentuk perintah untuk bersyukur. Allah SWT berfirman, “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, karena hanya kepada-Ku-lah kembalimu.” (Qs. Luqman: 14).

Keempat, perintah untuk mendo’akan kedua orangtua. Allah SWT berfirman, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhan-ku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku pada waktu kecil.” (Qs. Al-Israa: 24). Mendo’akan kedua orangtua adalah tradisi para Anbiyah as. Nabi Ibrahim as dalam do’anya mengucapkan, “Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat ).” (Qs. Ibrahim: 41). Begitu juga Nabi Nuh as, dalam lantunan do’anya, beliau berujar, “. Ya Tuhan-ku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku..” (Qs. Nuh: 28).

Kelima, perintah untuk berwasiat kepada kedua orangtua. Allah SWT berfirman, “Diwajibkan atas kamu, apabila (tanda-tanda) kematian telah menghampiri salah seorang di antara kamu dan ia meninggalkan harta, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah: 180).

Keenam, perintah untuk berinfaq kepada keduanya. Allah SWT berfirman, “… Setiap harta yang kamu infakkan hendaklah diberikan kepada kedua orang tua, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan setiap kebajikan yang kamu lakukan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (Qs. Al-Baqarah: 215).

Allah SWT dalam tujuh tempat pada Al-Qur’an setelah memerintahkan untuk hanya menyembah kepada-Nya dan tidak mempersekutukannya, perintah selanjutnya adalah berbuat baik kepada kedua orangtua. Dalam surah An-Nisa’ ayat 36 Allah SWT berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua..” Perintah Allah SWT untuk berbuat baik kepada kedua orangtua, setelah perintah untuk mentauhidkanNya lainnya terdapat pada surah Al-Baqarah: 83, Al-An’am: 151, Al-Israa: 23, An-Naml: 19, Al-Ahqaaf: 15 dan surah Al-Luqman  ayat 13 dan 14. Dari ayat-ayat ini, telah sangat jelas dan terang betapa agung dan mulianya berbuat baik kepada kedua orangtua. Perintah untuk berbuat baik kepada keduanya, ditempatkan setelah perintah untuk hanya menyembah kepada-Nya.

Berhubungan dengan ketaatan kepada kedua orangtua, Al-Qur’an hanya dalam satu hal memberikan sebuah pengecualian. Allah SWT berfirman, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti mereka, dan pergaulilah mereka di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lantas Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. Luqman: 15).

Ketaatan seorang hamba kepada Allah adalah ketaatan mutlak, tanpa pengecualian. Sementara ketaatan kepada orangtua dengan pengecualian, selama keduanya tidak meminta untuk mempersekutukan Tuhan. Kalau kita memperhatikan ayat-ayat Allah berkenaan dengan hubungan kaum muslimin dengan kaum musyrikin, maka akan kita temukan perintah Allah untuk berlepas diri dari kaum musyrikin disampaikan secara keras dan tegas. Terutama pada ayat-ayat awal surah At-Taubah. Namun berkenaan dengan kedua orangtua, Allah SWT menyampaikan perintah secara lembut, dikatakan, kalau permintaan keduanya berkaitan dengan syirik kepada Allah, janganlah menaati keduanya. Selanjutnya ditambahkan, kekafiran dan kemusyrikan kedua orangtua tidaklah menjadi penyebab secara mutlak terputusnya hubungan dengan keduanya, namun tetap diperintahkan untuk berbuat ahsan kepada keduanya di dunia.

Perintah untuk tetap berhubungan, memuliakan, menyayangi dan berbuat baik kepada kedua orangtua meskipun keduanya kafir ataupun musyrik juga masih memiliki pengecualian ataupun persyaratan. Yakni, selagi keduanya tidak menunjukkan permusuhan dan penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Qs. Al-Mujaadilah: 22). 

Perintah yang lebih tegas mengenai hal ini, disampaikan oleh Allah SWT pada awal surah Al-Mumtahanah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu.”  Dan selagi keduanya meskipun termasuk golongan orang-orang kafir ataupun musyrik tidak ada halangan untuk tetap berlaku adil terhadap keduanya, yakni tetap berbuat baik dan berkasih sayang kepada keduanya selagi keduanya tidak menunjukkan permusuhan dan kebencian kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. Al-Mumtahanah: 8).

Apabila, kedua orangtua termasuk dari golongan orang-orang kafir ataupun musyrik, perintah Allah SWT untuk tetap mempergauli, menjalin hubungan dan berbuat baik kepada keduanya hanya sebatas di dunia ini atau sebatas keduanya masih hidup. Tidak ada hak bagi setiap orang yang beriman untuk mendo’akan keselamatan bagi kedua orangtuanya di akhirat, yang meninggalnya dalam keadaan tidak berserah diri kepada Allah, tidak mengimani-Nya ataupun mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat  (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” (Qs. At-Taubah: 113).

Namun, jika kedua orangtua termasuk orang-orang yang beriman, maka berbuat baik kepada keduanya tidak hanya berlaku di dunia saja, namun hatta keduanya telah meninggal dunia, perintah untuk tetap berbuat baik kepada keduanya masih terus berlaku, dan menjadi kewajiban bagi segenap kaum mukminin untuk menunaikannya. Diantara bentuk berbuat baik kepada orangtua setelah meninggalnya adalah memohonkan ampun bagi keduanya. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, mendo’akan kedua orangtua adalah juga perintah dari Allah SWT dan termasuk diantara tradisi para Anbiyah as. Sebagaimana do’a Nabi Ibrahim as, “Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat ).” (Qs. Ibrahim: 41). Pada hakikatnya, mendo’akan keselamatan bagi kedua orangtua, bukan hanya setelah keduanya wafat, namun juga termasuk bentuk kebaikan semasa hidup keduanya, dalam keadaan dekat maupun jauh.

Satu hal yang mesti kita ingat, kebaikan hidup, keimanan ataupun kesalehan yang kita peroleh, tidak semata dari jerih upaya sendiri, kemungkinan ada kaitannya dengan do’a dan kesalehan orang-orang tua sebelum kita yang terijabah oleh Allah SWT. Sebagaimana telah diceritakan dalam Al-Qur’an mengenai do’a Nabi Ibrahim as, “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Baqarah: 128). Ataupun secara umum disampaikan oleh Allah SWT dalam surah Al-A’raaf ayat 189, “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: “Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur.”

Pada ayat lainnya, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Qs. Al-Ahqaaf: 15).

Diceritakan pula, mengenai dua anak yatim piatu yang mendapat pertolongan dari Allah SWT lewat perantaraan dua nabi-Nya, Nabi Musa as dan Nabi Khidir as, karena kesalehan kedua orangtua mereka sebelumnya, “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh,  maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (Qs. Al-Kahfi: 82). Dari penjabaran ayat-ayat ini, kita bisa mengambil sebuah falsafah hidup, bahwa jika mendoa’kan keselamatan dan kesalehan bagi anak adalah fitrah dari orangtua, maka sebuah tuntunan nurani pula jika sebagai anak, kita tidak boleh luput dalam mendo’akan keselamatan dan memohonkan ampunan bagi kedua orangtua dan orang-orang sebelumnya.

Izinkanlah saya mengakhiri tulisan ini, dengan mengutip nasehat Imam Ja’far Shadiq as mengenai betapa pentingnya perintah berbuat baik kepada kedua orangtua. Imam Shadiq as bersabda, “Apa yang menghalangi seseorang berbuat baik kepada kedua orang tuanya?, apakah keduanya masih hidup atau telah meninggal dunia, shalatlah, bersedekahlah, naik hajilah dan berpuasalah dengan menghadiahkan pahala untuk keduanya.” (Ushul Kafi, Jilid 2, hal. 159).

Pada kesempatan lain Imam Shadiq as bersabda, “Seseorang yang berbuat baik kepada kedua orangtuanya semasa keduanya masih hidup namun ketika keduanya telah meninggal dunia, hutang-hutangnya tidak dilunasi, dan tidak pernah memohonkan ampun bagi kedua orangtunya, maka Allah mencatatnya sebagai anak yang durhaka. Sementara seseorang yang berbuat durhaka kepada kedua orangtuanya semasa hidupnya, namun ketika keduanya telah wafat, melunasi hutang-hutang keduanya dan memohonkan ampun bagi kedua orang tuanya, maka Allah akan mencatatnya sebagai anak yang berbakti kepada kedua orangtuanya.” (Ushul Kafi, jilid 2, hal. 163).

Semoga, kita termasuk orang-orang yang berbakti dan berbuat kebaikan kepada kedua orangtua, ada dan tiadanya keduanya di sisi kita. Seperti begitu, insya Allah. Rabbi, irhamhumaa kamaa rabbayani shagiiraa…

Ismail Amin  
Mahasiswa Jurusan Ulumul Qur’an Mostafa International University Republik Islam Iran.

AQIDAH AHLI HADITS IMAM NAWAWI & IMAM IBNU HAJAR DI KAFIRKAN ULAMA WAHABI – SALAFY


-WAHHABI ADALAH AHLU SUNNAH WAL JAMAAH SECARA MUTLAK TAK BOLEH DI GANGGU GUGAT IMAM NAWAWI DAN IBNU HAJAR BUKAN -oleh syeikh solih al-utsaimnin-
Telahpun kita ketahui, untuk membedakan antara golongan yang selamat dengan golongan yang sesat adalah bisa di lihat dari golongan manakah orang tersebut berada, Jika ia berada di dalam golongan ahlu sunnah wal jamaah maka ia di jamin tidak sesat, dan aqidahnyapun selamat, sedang jika berada di luar dari Golongan ahlu sunnah maka kesesatan pun tak boleh lepas dari dirinya .

Seperti apakah Aqidah ahlu sunnah itu ?? Maka menurut syekh Wahhabi Sholih Al-utsaimin, Aqidah Ahlu sunnah itu adalah yang menetapkan Allah berada di atas langit duduk bertengger di atas Arasy, (Padahal aqidah seperti ini sama persis dengan aqidah yahudi yang nyata kebatilan nya- pent) sehingga dengan penetapan aqidah seperti ini maka mengeluarkan siapapun tanpa terkecuali dari golongan Ahlu sunnah wal-jamaah yang tidak berkeyakinan dan beraqidah seperti di atas. termasuk Imam Nawawi (Pensyarah sohih muslim), dan Imam ibnu hajar -Rahmatullah alaihima- adalah dua ulama yang telah di keluarkan dari golongan Ahlu sunnah wal jama’ah dengan arti kata Lain mereka berdua Telah sesat di sebabkan menyelisih dari Aqidah Wahhabi, Bila dalam aqidah telah di nyatakan sesat maka semua amal Perbuatan yang bersifat Furu’iyahpun juga ikut menjadi sesat dan tak boleh di terima walaupun itu mengandung kebenaran. itu Logikan nya. Namun anehnya syeikh Wahhabi ini ternyata mencla-mencle dan tak teguh pendirian dalam mensesatkan dua ulama besar islam ini, contoh ia mengeluarkan dua ulama imam Ummat islam ini dari golongan Ahlu sunnah di sebabkan Aqidah nya yang di anggapnya melenceng, namun di sisi Lain ia mengakui sebagai Ahlu sunnah dalam bidang fiqh. Aneh kan ?? seharusnya, Jika dua ulama besar tersebut telah keluar dari Aqidah maka dalam Bidang furu’iyah pun (Fiqh) tidak boleh di terima ilmunya, dan tidak boleh di amalkan, Sebab Ushul-nya sudah sesat maka Furu’ pun dengan sendirinya tidak Boleh di terima . begitu seharusnya.

Menghakimi Ulama pendahulunya sebagai Ulama Yang sesat maka secara tidak langsung ini mempunyai kesimpulan bahwa :
1. Syeikh Utsaimin Lebih Alim dan lebih menguasai Ilmu daripada Imam Nawawi dan imam Ibnu hajar.
2. syekh utsaimin adalah benar dan lebih benar daripada Imam nawawi dan imam Ibnu hajar (padahal Allah yang maha mengetahui)
3. syekh Utsaimin harus membuang dua Kitab besar ummat islam ” Syarah sohih muslim” karangan imam nawawi sebab pengarang nya telah sesat .
4. Kitab fiqh karangan Ibnu hajar tidak boleh di amalkan oleh kaum muslimin dengan alasan yang sama yaitu telah sesat dan berhak masuk kedalam api neraka.

Inilah pernyataan si solih Utsaimin dalam kitab nya Liqaa’ albabul Maftuuh pada halaman 42-43. menyebutkan :
كمثال نجغل النواوي وابن حجر من غير اهل السنة والجماعة؟؟

فيما يذهبان إليه في الاسماء والصفات ليس من أهل السنة والجماعة

بالاطلاق ليسوا من أهل السنة والجماعة ؟؟

لا نطلق ولهذا أنا قلت لك إن من خالف السلف في صفات الله لا يعطى الاسم المطلق بأنه من أهل السنة والجماعة , بل يقيد يقال هو من أهل السنة والجماعة في طريقته الفقهية مثلا , أما في طريقته البدعية فليس من أهل السنة والجماعة

-Si penanya- :
Misal kan Imam Nawawi dan imam Ibnu hajar apakah kami jadikan mereka di luar dari golongan ahlu sunnah wal jamaah ??
-solih utsaimin menjawab- :
“melihat dari pandangan mereka berdua terhadap Asma’ dan shifaat-shifaat Allah, Maka mereka bukan dari ahlu sunnah Wal jamaah”.

Apakah secara Mutlak mereka berdua bukan bagian dari ahlu sunnah wal jamaah ??
” Kami tidak memutlakkan nya, dari ini aku katakan kepadamu bahwa sesiapa saja yang menyelisih salaf tentang sifat-sifat Allah maka ia tidak boleh di beri nama mutlak sebagai Ahlu sunnah wal jamaah, melainkan di qoyyidkan dan dikatakan sebagai ahlu sunnah wal jamaah dalam bidang Fiqh-nya Misalkan, adapun dalam bidang Bid’ah nya maka ia bukan dari bagian ahlu sunnah wal jamaah.
Liqaa’ albabul Maftuuh pada halaman 42-43.

Nah para pemirsa.. Jika dua Ulama besar Panutan kaum muslimin Ahlu sunnah wal-jamaah sekaliber-Imam Nawawi Dan imam Ibnu hajar- Rahimahumallah- ini telah di anggap sesat dan Ahl Bid’ah tercela Oleh sekte Wahhabi , Maka kita jangan terkejut apabila di anggap dengan anggapan yang sama Oleh sekte sempalan Ini.

-Wallahu Al-musta’an-

Makam Imam Nawawi Dihancurkan Teroris Jabhat al-Nusra

Kelompok Teroris yang berafiliasi dengan Jabhat al-Nusra Rabu (7/1/2015) menghancurkan makam al-Imam al-Nawawi di kota Nawa di pinggiran pedesaan Daraa.

Sebuah sumber di provinsi Daraa mengatakan kepada SANA bahwa teroris Jabhat al-Nusra menggali makam dan meledakkan sejumlah besar bahan peledak di dalamnya, sehingga menghancurkan sebagian besar makam. Halaman situs web Jabhat al-Nusra di situs jejaring sosial mengatakan tindakan tersebut dipicu oleh fatwa yang dikeluarkan oleh para pemimpin mereka, bahwa ziarah kubur di makam ulama terkait erat dengan syirik (musyrik).


Kelompok teroris bersenjata semacam Jabhat al-Nusra mentargetkan situs sejarah keagamaan seperti makam di beberapa provinsi Suriah, termasuk menara Masjid Agung Umayyah di Aleppo, Masjid Khalid Bin Al-Walid dan Um al-Zennar Gereja di Homs, Sheikh al-Rawi Tekkiye (rumah sakit) di Deir Ezzor, Makam Sayyidatuna Zainab dan menara Masjid al-Omari di Daraa.

Kementerian Wakaf Agama (Awqaf) mengutuk keras serangan teroris, mengatakan bahwa para pelaku selalu berusaha untuk menghancurkan budaya dan sejarah Suriah dengan menargetkan tempat-tempat suci keagamaan.

Kelompok Teroris ISIS Meledakkan Rumah Sakit al-Rawi Tekkiye di Deir Ezzor

Syria 2015 – Teroris Terorisme – Kelompok ISIS – Anggota Kelompok Teroris ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) pada Selasa (6/1/2015) meledakkan diri di rumah sakit Sheikh al-Rawi Tekkiye, dikenal sebagai bangunan bersejarah, di lingkungan al-Sheikh Yasin di Deir Ezzor.

Serangan itu terjadi dalam serangkaian agresi sistematis ISIS pada situs sejarah Islam dan Kristen di wilayah Suriah.

Sumber sipil kepada SANA bahwa teroris jebakan situs Tekkiye, yang tanggal kembali ke abad ke-19, menanam sejumlah bahan peledak di sekitarnya yang menyebabkan kehancuran seluruh tempat bersejarah. (AL/Mohammad Nassr/Hazem Sabbagh/SANA).

Terkait Berita: