Para sahabat Nabi dan pengikut setia beliau biasa bertawassul dengan
Nabi supaya doa mereka dikabulkan. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah dan
Muhammad bin Abdul Wahhab malah menyebut tawassul sebagai perbuatan
syirik. Tawassul adalah salah satu cara supaya doa dikabulkan oleh Allah
Swt. Tawassul berarti menjadikan seseorang yang punya kedudukan mulia
di sisi Allah sebagai wasilah kepada Allah untuk dikabulkannya doa.
Dalam ajaran Islam dinyatakan bahwa manusia bisa bertawassul kepada
Allah dengan salah satu dari tiga cara. Pertama melalui amal saleh.
Artinya, seorang hamba yang mukmin bisa menjadikan amal saleh yang
dilakukannya sebagai wasilah kepada Allah supaya doanya dikabulkan.
Kedua, tawassul melalui doa hamba-hamba Allah yang saleh. Dalam arti,
seseorang meminta orang saleh untuk mendoakannya. Tawassul seperti ini
dilakukan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf. Setelah mengakui kesalahan di
masa lalu, mereka minta ayah mereka, Nabi Ya'qub as, untuk berdoa
supaya Allah mengampuni mereka. Kisah ini diabadikan dalam al-Quran di
surat Yusuf ayat 97-98. Ketiga adalah adalah dengan menjadikan kedudukan
mulia hamba-hamba Allah yang saleh di sisi Allah sebagai wasilah.
Tawassul dengan cara ini sering dilakukan oleh para sahabat Nabi dengan
menjadikan kedudukan Nabi di sisi Allah sebagai perantara bagi
terkabulnya doa mereka.
Tidak ada seorang Muslimpun
yang menolak tawassul dengan cara menjadikan amal saleh sebagai wasilah.
Hanyasaja, kaum Salafi dan Wahhabi menentang tawassul yang menjadikan
manusia sebagai perantara antara seseorang dengan Allah, misalnya dengan
mengatakan, "Ya Allah aku bertawassul dengan Nabinya kepada-Mu."
Tawassul dengan cara ini oleh kaum Wahhabi dinilai sebagai perbuatan
dosa dan syirik.
Pandangan kaum Salafi dan Wahhabi
bertolakbelakang dengan pendapat mayoritas Ahlussunnah. Imam Ahmad bin
Hanbal dalam ‘Musnad'nya meriwayatkan dari Utsman bin Hunaif bahwa suatu
hari seseorang yang buta mendatangi Rasulullah Saw dan berkata, "Ya
Rasulullah mintalah kepada Allah untuk menyembuhkanku." Nabi Saw
bersabda, "Kalau kau mau aku akan mendoakanmu tapi kalau kau mau aku
akan menundanya dan ini lebih baik bagimu." Orang buta itu menjawab,
"Doakanlah, ya Rasulullah." Beliau lalu menyuruhnya untuk berwudhu dan
melakukan shalat dua rakaat lalu berdoa demikian, "Ya Allah aku memohon
kepadaMu dengan wasilah Muhammad Saw berilah pandangan inayah kepadaku.
Wahai Muhammad, aku berwasilah denganmu kepada Allah untuk terkabulnya
hajatku. Ya Allah jadikan dia pemberi syafaat untukku." Setelah
melaksanakan apa yang diajarkan Nabi Saw, orang tersebut sembuh dari
kebutaannya. (HR Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal juz: 4 hal: 138) Hadis
riwayat Imam Ahmad ini diterima oleh seluruh pakar hadis. Bahkan hakim
Neisyaburi menukilnya dalam Mustadrak dan menyatakan bahwa hadis ini
sahih. Riwayat tadi menjelaskan sahnya bertawassul dengan Nabi dan
salihin yang punya kedudukan mulia di sisi Allah Swt.
Tawassul dengan cara yang disebutkan dalam hadis riwayat Imam Ahmad tadi
sudah dikenal oleh para sahabat dan merekapun melakukannya. Salah satu
pemikiran kaum Wahhabi dan Salafi yang menyimpang adalah vonis syirik
yang mereka jatuhkan bagi siapa saja yang bertawassul dengan nabi dan
wali. Ibnu Taimiyah mengatakan, "Siapa saja yang mendatangi kubur Nabi
dan orang yang saleh lalu memohon kesembuhan dari penyakit atau
terlunasinya utang berarti ia telah menjadi musyrik. Sebab, selain Allah
tidak ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan hal-hal itu. Karena
itu, orang tersebut harus dipaksa bertaubat dan jika tidak bersedia maka
dia harus dibunuh."
Pendiri ajaran Salafi dalam
kesempatan lain mengatakan, "Siapa saja yang berkata bahwa si fulan
lebih dekat kepada Allah daripada aku karena itu aku menjadikannya
sebagai wasilah untuk doa-doaku berarti dia telah mengatakan hal yang
berbau syirik dan orang itu musyrik." (Ziyaratul Qubur wa al-Istijar bi
al-Maqbur hal 156)
Hal serupa dikatakan Muhammad bin
Abdil Wahhab. Penerus pemikiran Ibnu Taimiyyah ini mengatakan, "Mereka
yang bertawassul dengan malaikat, nabi dan wali serta menjadikannya
sebagai pemberi syafaat untuk mendekatkan diri kepada Allah, darah dan
harta mereka halal." (Kasyf al-Syajat hal: 58) Ibnu Abdil Wahhab tanpa
dalil dan argumentasi apapun mengklaim pandangannya yang menyimpang itu
sebagai pendapat seluruh mazhab Islam dengan mengatakan, "Semua mazhab
Islam sepakat bahwa orang yang menjadikan siapa saja sebagai wasilah
antara dia dan Allah lalu menyeru orang itu berarti dia telah kafir dan
murtad, nyawanya boleh ditumbahkan dan hartanya bisa dirampas.."
Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Aal Syeikh, salah seorang mufti Wahhabi
mengenai tawassul dengan nabi mengatakan, "Setelah kematiannya, nabi
tidak bisa melakukan pekerjaan apapun bahkan tidak bisa mendoakan siapa
saja. Karena itu, bertawassul dengan beliau tidak bisa dibenarkan secara
logika dan bisa menyebabkan syirik."
Ulama Wahhabi
menyebut Syiah sebagai kelompok kafir dalam bentuk yang terburuk. Sebab,
kaum Syiah biasa bertawassul dengan Nabi dan Ahlul Bait. Dewan Fatwa
Wahhabi saat ditanya tentang pernikahan dengan orang yang menganut
mazhab Syiah menjawab demikian,"Ahlussunnah tidak diperkenankan menikah
dengan orang Syiah. Jika pernikahan sudah terlanjur terjadi maka ia
dihukumi batal dan tidak sah. Sebab orang Syiah biasa bertawassul dengan
Ahlul Bait dan ini adalah perbuatan syirik terbesar."
Satu hal yang menarik adalah fatwa yang dibuat oleh dewan ini mengenai
pernikahan dengan orang Yahudi dan Nasrani. Dewan ini menyatakan,
menikah dengan orang Ahlul Kitab baik Yahudi maupun Nasrani
diperbolehkan dengan syarat mereka bukan pezina. Orang-orang Wahhabi ini
tidak menyadari bahwa al-Quran dengan jelas menyebut kaum Yahudi dan
Nasrani sebagai kaum kafir. Surat al-Taubah ayat 30 menyebutkan, "
Orang-orang
Yahudi mengatakan, Uzair anak Allah, dan orang-orang Narsani mengatakan
Masih putra Allah. Demikianlah kata-kata mereka yang keluar dari mulut
mereka. mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu."
Fatwa kaum Wahhabi jelas menyimpang dari kebenaran. Sebab, orang-orang
Syiah tidak menyekutukan Allah dengan apapun. Mereka beriman kepada
keesaan Allah, kenabian Rasulullah, mempercayai al-Quran, hari akhir dan
banyak hal lain yang juga dipercayai oleh muslimin Ahlussunnah.
Bertawassul dengan para nabi dan shalihin tidak berarti memberi
mereka kedudukan yang sejajar dengan Allah Swt. Tawassul adalah
menjadikan orang-orang saleh dan suci yang memiliki kedudukan mulia di
sisi Allah sebagai perantara untuk membantu terkabulnya permintaan dan
doa kepada Allah. Tawassul dengan makna ini bukan hanya tak bisa
dikategorikan sebagai amalan syirik kepada Allah malah tergolong sebagai
bentuk penghambaan yang nyata kepadaNya.
Namun
demikian, kelompok Salafi yang mengikuti jejak Ibnu Taimiyyah dan
Wahhabi malah memandang tawassul sebagai perbuatan syirik. Menurut klaim
mereka tawassul tidak sejalan dengan ajaran tauhid. Dengan pandangan
ini, mereka lantas menyebut umat Islam yang meyakini tawassul sebagai
kaum musyrik. Pemikiran ini jelas merupakan kedangkalan berpikir mereka.
Sebab, siapa saja yang mengerti ajaran al-Quran dan hadis akan
menyatakan dengan tegas bahwa tawassul justeru menunjukkan penghambaan
yang tulus kepada Allah dan jalan untuk mendekatkan diri kepadaNya.
Secara bahasa tawassul berarti menggunakan sesuatu sebagai wasilah dan
perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena itu, sejak dulu,
umat Islam sudah mengenal tawassul dan menjadikan Nabi Saw dan
orang-orang yang saleh sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada
Allah atau untuk membantu terkabulnya doa. Seorang muslim pasti
meyakini Allah sebagai Zat yang Esa dan Pencipta segala sesuatu. Semua
gerakan dan fenomena yang ada di dunia hanya terjadi dengan kehendak dan
izin Allah. Surat al-Anfal ayat 17 dengan cermat menjelaskan bahwa
tidak ada senjata yang dilontarkan ke arah musuh kecuali Allahlah yang
melontarkannya.
Ayat tadi menisbatkan pelontaran panah
atau tombak yang dilakukan oleh Nabi kepada pelaku sebenarnya, yaitu
Allah. Artinya, pelemparan tombak atau penembakan panah, adalah
perbuatan yang bisa dinisbatkan kepada Nabi dan kepada Allah. Nabi dalam
hal ini tak lebih dari perantara penembakan panah sementara pelaku
sebenarnya adalah Allah Swt. Sama halnya seperti penulisan kata-kata di
atas kertas yang bisa dinisbatkan kepada pena dan bisa pula dinisbatkan
kepada manusia. Dalam contoh ini, adakah orang berakal yang menyamakan
kedudukan pena dan manusia dalam penulisan ini?
Sayangnya, sama seperti kasus syafaat, orang-orang Wahhabi juga salah
memahami konsep tawassul dengan menganggap tawassul sebagai keyakinan
akan sekutu bagi Allah. Karena itu, mereka dengan serta merta
menjatuhkan vonis syirik dan kufur bagi mereka yang bertawassul. Padahal
tawassul, seperti yang sudah dijelaskan adalah menjadikan Nabi dan
orang-orang saleh sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah
atau untuk terkabulnya doa.
Kedekatan kepada Allah Swt
adalah derajat insani yang paling mulia dan suci di jalan penghambaan.
Ayat 35 surat al-Maidah menyebutkan bahwa tanpa perantara penghambaan
kepada Allah tidak bisa diwujudkan. "
Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan kalian
kepadaNya dan berjihadlah di jalan Allah supaya kalian memperoleh
keberuntungan."
Ayat ini ditujukan kepada kaum
Mukmin dan memerintahkan mereka untuk untuk mencari keberuntungan lewat
tiga cara. Takwa kepada Allah, mencari wasilah atau perantara untuk
mendekatkan diri kepada-Nya dan jihad di jalan-Nya. Yang menjadi
pertanyaan adalah, apa yang dimaksud dengan perantara ini? Tentunya
perantara ini memiliki makna yang luas dan yang pasti harus memenuhi
syarat yaitu mampu mendekatkan diri kita kepada Allah. Keimanan, jihad,
dan ibadah bisa menjadi perantara kedekatan kepada Allah. Bertawassul
dengan Nabi dan orang-orang yang saleh juga termasuk ibadah yang bisa
mendekatkan diri insan mukmin kepada Allah Swt.
Al-Quran sendiri menyebut Rasulullah sebagai penderma yang pemurah
kepada manusia. Di surat al-Taubah ayat 59 Allah berfirman, "
Dan
jika mereka ridha dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Allah dan
Rasul-Nya lalu berkata, cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan
kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian pula Rasul-Nya.
Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah.
[Tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka]."
Al-Quran juga menyebut Rasulullah sebagai penyayang. Jika demikian
adanya, mengapa kita tidak meminta kepada beliau dan menjadikan
kedudukan tinggi beliau sebagai wasilah kepada Allah? Di surat al-Nisa'
ayat 64 Allah berfirman, "
Dan seandainya ketika menzalimi diri
sendiri mereka mendatangimu dan meminta ampunan Allah lalu Rasul
memintakan ampunan bagi mereka maka pastilah mereka akan menemukan Allah
Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang."
Untuk
menolak tawassul, orang-orang Wahhabi berdalil dengan beberapa ayat
al-Quran diantaranya ayat 14 surat Fathir yang artinya, "
Jika kalian
memanggil mereka, mereka tak akan mendengar panggilan kalian, jika
mendengar, mereka tak bisa memperkenankan permintaan kalian. Dan di hari
kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikan kalian dan tidak ada yang
bisa member keterangan kepada kalian seperti Yang Maha Mengetahui."
Ayat ini berkenaan dengan para penyembah berhala. Mereka diperingatkan
untuk tidak menyekutukan Allah. Sebab, berhala-berhala yang disembah
tidak bisa mendengar dan tidak mampu mengabulkan permintaan orang yang
memohon kepadanya atau menyelesaikan kesulitan mereka. Kaum Wahhabi yang
berpikiran kerdil justeru menggunakan ayat ini untuk memutus hubungan
antara umat Islam dengan Nabi dan orang-orang saleh dengan mengatakan
bahwa ayat ini bersifat umum dan menafikan kemampuan sesuatu selain
Allah untuk mengabulkan permintaan seorang hamba, bahkan lewat tawassul
sekalipun.
Ayat berikutnya ayat ayat 197 surat al-A'raf yang menyatakan, "
Mereka selain Allah yang kalian seru tak akan bisa menolong kalian bahkan mereka tak mampu menolong diri mereka sendiri."
Kaum Salafi berdalih bahwa tawassul dengan arwah Nabi dan para Imam
bertentangan dengan tauhid. Padahal jika dicermati ayat-ayat sebelum
ayat suci ini membicarakan tentang berhala-berhala sesembahan yang oleh
kaum kafir diyakini memiliki kekuatan seperti Allah.
Siapa yang tak tahu bahwa setelah kematian, para nabi dan wali hidup
dengan damai di alam barzakh seperti para syuhada yang secara jelas
ditegaskan dalam al-Quran. Alam barzakh adalah alam yang sangat luas
tanpa batasan materi dan mereka yang berada di dalamnya tidak diam tanpa
aktivitas. Dari sisi lain, kita meyakini bahwa bertawassul dengan arwah
insan-insan suci ini bukan berarti meyakini kekuasaan mereka di luar
kekuasaan Allah. Tawassul adalah menjadikan kedekatan dan kedudukan
mulia manusia-manusia suci di sisi Allah sebagai perantara untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Keyakinan ini juga dilandasi oleh ayat
255 surat al-Baqarah dalam masalah syafaat yang menegaskan bahwa tidak
ada yang bisa memberi syafaat di sisi Allah kecuali jika Dia
mengizinkannya. Penjelasan tentang syafaat ini juga berlaku dalam
masalah tawassul.
Dalam sebuah hadis Qudsi Allah Swt
berfirman, "Ketahuilah, siapa saja yang memiliki hajat, mengharapkan
kebaikan atau meminta teratasinya kesulitan yang menimpa hendaknya ia
memohon kepada-Ku dengan perantara Muhammad dan keluarga Muhammad supaya
Aku mengabulkan hajatnya dengan cara yang terbaik." (Bihar al-Anwar juz
94 hal: 22)
Dalam banyak riwayat dan kisah disebutkan
bahwa budaya tawassul sudah dikenal oleh para sahabat Nabi Saw. Mereka
datang ke makam Rasulullah dan menjadikan beliau sebagai perantara dalam
doa. Kisah-kisah seperti ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab
Syiah dan Ahlussunnah.
Ibnu Hajar al-Makki dalam kitab
al-Shawaiq meriwayatkan dari Imam Syafii yang dalam bait-bait syairnya
bertawassul dengan Ahlul Bait as, lalu mengatakan, "Keluarga Nabi adalah
wasilah bagiku. Merekalah jalan dan wasilahku untuk mendekat kepada
Allah. Aku berharap dengan berkat mereka kelak di hari kiamat buku
catatan amalku diberikan kepadaku dengan tangan kanan."
Kisah lainnya yang disebutkan berkenaan dengan tawassul yang dilakukan
oleh umat Islam adalah riwayat Ummul Mukminin Aisyah dalam kitab Sahih
ad-Darimi dari Abul Jauza' diriwayatkan bahwa ketika Madinah dilanda
paceklik Aisyah menyeru masyarakat untuk bertawassul dengan Rasulullah
Saw. Masyarakat melaksanakan imbauan itu dan di tahun itu, hujan turun
dengan deras.
Dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan
bahwa ketika terjadi paceklik Khalifah Umar bin Khaththab bertawassul
dengan Abbas bin Abdul Muththalib, paman Nabi Saw dan berkata, "Ya
Allah, dulu ketika Nabi masih hidup saat musim paceklik kami bertawassul
kepada beliau dan Engkau pun menurunkan hujan rahmat-Mu. Kini, kami
bertawassul dengan paman beliau dan meminta hujan kepada-Mu. Ya Allah
siramilah kami dengan hujan." Menurut riwayat Bukhari, setelah doa itu
selesai Allah Swt menurunkan hujan-Nya.
Al-Alusi,
mufassir besar Ahlussunnah dalam kitab tafsirnya menukil beberapa
riwayat dan hadis yang menjelaskan tentang tawassul. Setelah melakukan
studi telaah yang rinci, Alusi menulis demikian, "Saya tidak menemukan
alasan apapun untuk melarang tawassul kepada Allah Swt dengan perantara
Nabi Saw, baik ketika beliau masih hidup maupun setelah kematiannya."
Alusi menambahkan, "Tidak ada pula alasan untuk melarang tawassul dengan
selain Rasulullah dalam berdoa kepada Allah, dengan syarat yang
dijadikan tawassul memang memiliki derajat yang mulia di sisi Allah.". (IRIB)