Pesan Rahbar

Home » , , » Tawassul Dalam Pandangan Salafi Wahhabi

Tawassul Dalam Pandangan Salafi Wahhabi

Written By Unknown on Saturday 4 April 2015 | 06:15:00


Para sahabat Nabi dan pengikut setia beliau biasa bertawassul dengan Nabi supaya doa mereka dikabulkan. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab malah menyebut tawassul sebagai perbuatan syirik. Tawassul adalah salah satu cara supaya doa dikabulkan oleh Allah Swt. Tawassul berarti menjadikan seseorang yang punya kedudukan mulia di sisi Allah sebagai wasilah kepada Allah untuk dikabulkannya doa.

Dalam ajaran Islam dinyatakan bahwa manusia bisa bertawassul kepada Allah dengan salah satu dari tiga cara. Pertama melalui amal saleh. Artinya, seorang hamba yang mukmin bisa menjadikan amal saleh yang dilakukannya sebagai wasilah kepada Allah supaya doanya dikabulkan. Kedua, tawassul melalui doa hamba-hamba Allah yang saleh. Dalam arti, seseorang meminta orang saleh untuk mendoakannya. Tawassul seperti ini dilakukan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf. Setelah mengakui kesalahan di masa lalu, mereka minta ayah mereka, Nabi Ya'qub as, untuk berdoa supaya Allah mengampuni mereka. Kisah ini diabadikan dalam al-Quran di surat Yusuf ayat 97-98. Ketiga adalah adalah dengan menjadikan kedudukan mulia hamba-hamba Allah yang saleh di sisi Allah sebagai wasilah. Tawassul dengan cara ini sering dilakukan oleh para sahabat Nabi dengan menjadikan kedudukan Nabi di sisi Allah sebagai perantara bagi terkabulnya doa mereka.

Tidak ada seorang Muslimpun yang menolak tawassul dengan cara menjadikan amal saleh sebagai wasilah. Hanyasaja, kaum Salafi dan Wahhabi menentang tawassul yang menjadikan manusia sebagai perantara antara seseorang dengan Allah, misalnya dengan mengatakan, "Ya Allah aku bertawassul dengan Nabinya kepada-Mu." Tawassul dengan cara ini oleh kaum Wahhabi dinilai sebagai perbuatan dosa dan syirik.

Pandangan kaum Salafi dan Wahhabi bertolakbelakang dengan pendapat mayoritas Ahlussunnah. Imam Ahmad bin Hanbal dalam ‘Musnad'nya meriwayatkan dari Utsman bin Hunaif bahwa suatu hari seseorang yang buta mendatangi Rasulullah Saw dan berkata, "Ya Rasulullah mintalah kepada Allah untuk menyembuhkanku." Nabi Saw bersabda, "Kalau kau mau aku akan mendoakanmu tapi kalau kau mau aku akan menundanya dan ini lebih baik bagimu." Orang buta itu menjawab, "Doakanlah, ya Rasulullah." Beliau lalu menyuruhnya untuk berwudhu dan melakukan shalat dua rakaat lalu berdoa demikian, "Ya Allah aku memohon kepadaMu dengan wasilah Muhammad Saw berilah pandangan inayah kepadaku. Wahai Muhammad, aku berwasilah denganmu kepada Allah untuk terkabulnya hajatku. Ya Allah jadikan dia pemberi syafaat untukku." Setelah melaksanakan apa yang diajarkan Nabi Saw, orang tersebut sembuh dari kebutaannya. (HR Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal juz: 4 hal: 138) Hadis riwayat Imam Ahmad ini diterima oleh seluruh pakar hadis. Bahkan hakim Neisyaburi menukilnya dalam Mustadrak dan menyatakan bahwa hadis ini sahih. Riwayat tadi menjelaskan sahnya bertawassul dengan Nabi dan salihin yang punya kedudukan mulia di sisi Allah Swt.

Tawassul dengan cara yang disebutkan dalam hadis riwayat Imam Ahmad tadi sudah dikenal oleh para sahabat dan merekapun melakukannya. Salah satu pemikiran kaum Wahhabi dan Salafi yang menyimpang adalah vonis syirik yang mereka jatuhkan bagi siapa saja yang bertawassul dengan nabi dan wali. Ibnu Taimiyah mengatakan, "Siapa saja yang mendatangi kubur Nabi dan orang yang saleh lalu memohon kesembuhan dari penyakit atau terlunasinya utang berarti ia telah menjadi musyrik. Sebab, selain Allah tidak ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan hal-hal itu. Karena itu, orang tersebut harus dipaksa bertaubat dan jika tidak bersedia maka dia  harus dibunuh."

Pendiri ajaran Salafi dalam kesempatan lain mengatakan, "Siapa saja yang berkata bahwa si fulan lebih dekat kepada Allah daripada aku karena itu aku menjadikannya sebagai wasilah untuk doa-doaku berarti dia telah mengatakan hal yang berbau syirik dan orang itu musyrik." (Ziyaratul Qubur wa al-Istijar bi al-Maqbur hal 156)

Hal serupa dikatakan Muhammad bin Abdil Wahhab. Penerus pemikiran Ibnu Taimiyyah ini mengatakan, "Mereka yang bertawassul dengan malaikat, nabi dan wali serta menjadikannya sebagai pemberi syafaat untuk mendekatkan diri kepada Allah, darah dan harta mereka halal." (Kasyf al-Syajat hal: 58) Ibnu Abdil Wahhab tanpa dalil dan argumentasi apapun mengklaim pandangannya yang menyimpang itu sebagai pendapat seluruh mazhab Islam dengan mengatakan, "Semua mazhab Islam sepakat bahwa orang yang menjadikan siapa saja sebagai wasilah antara dia dan Allah lalu menyeru orang itu berarti dia telah kafir dan murtad, nyawanya boleh ditumbahkan dan hartanya bisa dirampas.."

Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Aal Syeikh, salah seorang mufti Wahhabi mengenai tawassul dengan nabi mengatakan, "Setelah kematiannya, nabi tidak bisa melakukan pekerjaan apapun bahkan tidak bisa mendoakan siapa saja. Karena itu, bertawassul dengan beliau tidak bisa dibenarkan secara logika dan bisa menyebabkan syirik."

Ulama Wahhabi menyebut Syiah sebagai kelompok kafir dalam bentuk yang terburuk. Sebab, kaum Syiah biasa bertawassul dengan Nabi dan Ahlul Bait. Dewan Fatwa Wahhabi saat ditanya tentang pernikahan dengan orang yang menganut mazhab Syiah menjawab demikian,"Ahlussunnah tidak diperkenankan menikah dengan orang Syiah. Jika pernikahan sudah terlanjur terjadi maka ia dihukumi batal dan tidak sah. Sebab orang Syiah biasa bertawassul dengan Ahlul Bait dan ini adalah perbuatan syirik terbesar."

Satu hal yang menarik adalah fatwa yang dibuat oleh dewan ini mengenai pernikahan dengan orang Yahudi dan Nasrani. Dewan ini menyatakan, menikah dengan orang Ahlul Kitab baik Yahudi maupun Nasrani diperbolehkan dengan syarat mereka bukan pezina. Orang-orang Wahhabi ini tidak menyadari bahwa al-Quran dengan jelas menyebut kaum Yahudi dan Nasrani sebagai kaum kafir. Surat al-Taubah ayat 30 menyebutkan, "Orang-orang Yahudi mengatakan, Uzair anak Allah, dan orang-orang Narsani mengatakan Masih putra Allah. Demikianlah kata-kata mereka yang keluar dari mulut mereka. mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu." Fatwa kaum Wahhabi jelas menyimpang dari kebenaran. Sebab, orang-orang Syiah tidak menyekutukan Allah dengan apapun. Mereka beriman kepada keesaan Allah, kenabian Rasulullah, mempercayai al-Quran, hari akhir dan banyak hal lain yang juga dipercayai oleh muslimin Ahlussunnah.

Bertawassul dengan para nabi dan shalihin tidak berarti memberi mereka kedudukan yang sejajar dengan Allah Swt. Tawassul adalah menjadikan orang-orang saleh dan suci yang memiliki kedudukan mulia di sisi Allah sebagai perantara untuk membantu terkabulnya permintaan dan doa kepada Allah.  Tawassul dengan makna ini bukan hanya tak bisa dikategorikan sebagai amalan syirik kepada Allah malah tergolong sebagai bentuk penghambaan yang nyata kepadaNya.

Namun demikian, kelompok Salafi yang mengikuti jejak Ibnu Taimiyyah dan Wahhabi malah memandang tawassul sebagai perbuatan syirik. Menurut klaim mereka tawassul tidak sejalan dengan ajaran tauhid. Dengan pandangan ini, mereka lantas menyebut umat Islam yang meyakini tawassul sebagai kaum musyrik. Pemikiran ini jelas merupakan kedangkalan berpikir mereka. Sebab, siapa saja yang mengerti ajaran al-Quran dan hadis akan menyatakan dengan tegas bahwa tawassul justeru menunjukkan penghambaan yang tulus kepada Allah dan jalan untuk mendekatkan diri kepadaNya.

Secara bahasa tawassul berarti menggunakan sesuatu sebagai wasilah dan perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena itu, sejak dulu, umat Islam sudah mengenal tawassul dan menjadikan Nabi Saw dan orang-orang yang saleh sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah atau untuk membantu terkabulnya doa.  Seorang muslim pasti meyakini Allah sebagai Zat yang Esa dan Pencipta segala sesuatu. Semua gerakan dan fenomena yang ada di dunia hanya terjadi dengan kehendak dan izin Allah. Surat al-Anfal ayat 17 dengan cermat menjelaskan bahwa tidak ada senjata yang dilontarkan ke arah musuh kecuali Allahlah yang melontarkannya.

Ayat tadi menisbatkan pelontaran panah atau tombak yang dilakukan oleh Nabi kepada pelaku sebenarnya, yaitu Allah. Artinya, pelemparan tombak atau penembakan panah, adalah perbuatan yang bisa dinisbatkan kepada Nabi dan kepada Allah. Nabi dalam hal ini tak lebih dari perantara penembakan panah sementara pelaku sebenarnya adalah Allah Swt. Sama halnya seperti penulisan kata-kata di atas kertas yang bisa dinisbatkan kepada pena dan bisa pula dinisbatkan kepada manusia. Dalam contoh ini, adakah orang berakal yang menyamakan kedudukan pena dan manusia dalam penulisan ini?

Sayangnya, sama seperti kasus syafaat, orang-orang Wahhabi juga salah memahami konsep tawassul dengan menganggap tawassul sebagai keyakinan akan sekutu bagi Allah. Karena itu, mereka dengan serta merta menjatuhkan vonis syirik dan kufur bagi mereka yang bertawassul. Padahal tawassul, seperti yang sudah dijelaskan adalah menjadikan Nabi dan orang-orang saleh sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah atau untuk terkabulnya doa.

Kedekatan kepada Allah Swt adalah derajat insani yang paling mulia dan suci di jalan penghambaan. Ayat 35 surat al-Maidah menyebutkan bahwa tanpa perantara penghambaan kepada Allah tidak bisa diwujudkan. "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan kalian kepadaNya dan berjihadlah di jalan Allah supaya kalian memperoleh keberuntungan."

Ayat ini ditujukan kepada kaum Mukmin dan memerintahkan mereka untuk untuk mencari keberuntungan lewat tiga cara. Takwa kepada Allah, mencari wasilah atau perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan jihad di jalan-Nya. Yang menjadi pertanyaan adalah, apa yang dimaksud dengan perantara ini? Tentunya perantara ini memiliki makna yang luas dan yang pasti harus memenuhi syarat yaitu mampu mendekatkan diri kita kepada Allah. Keimanan, jihad, dan ibadah bisa menjadi perantara kedekatan kepada Allah. Bertawassul dengan Nabi dan orang-orang yang saleh juga termasuk ibadah yang bisa mendekatkan diri insan mukmin kepada Allah Swt.

Al-Quran sendiri menyebut Rasulullah sebagai penderma yang pemurah kepada manusia. Di surat al-Taubah ayat 59 Allah berfirman, "Dan jika mereka ridha dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Allah dan Rasul-Nya lalu berkata, cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian pula Rasul-Nya. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah. [Tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka]."

Al-Quran juga menyebut Rasulullah sebagai penyayang. Jika demikian adanya, mengapa kita tidak meminta kepada beliau dan menjadikan kedudukan tinggi beliau sebagai wasilah kepada Allah? Di surat al-Nisa' ayat 64 Allah berfirman, "Dan seandainya ketika menzalimi diri sendiri mereka mendatangimu dan meminta ampunan Allah lalu Rasul memintakan ampunan bagi mereka maka pastilah mereka akan menemukan Allah Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang."

Untuk menolak tawassul, orang-orang Wahhabi berdalil dengan beberapa ayat al-Quran diantaranya ayat 14 surat Fathir yang artinya, "Jika kalian memanggil mereka, mereka tak akan mendengar panggilan kalian, jika mendengar, mereka tak bisa memperkenankan permintaan kalian. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikan kalian dan tidak ada yang bisa member keterangan kepada kalian seperti Yang Maha Mengetahui."

Ayat ini berkenaan dengan para penyembah berhala. Mereka diperingatkan untuk tidak menyekutukan Allah. Sebab, berhala-berhala yang disembah tidak bisa mendengar dan tidak mampu mengabulkan permintaan orang yang memohon kepadanya atau menyelesaikan kesulitan mereka. Kaum Wahhabi yang berpikiran kerdil justeru menggunakan ayat ini untuk memutus hubungan antara umat Islam dengan Nabi dan orang-orang saleh dengan mengatakan bahwa ayat ini bersifat umum dan menafikan kemampuan sesuatu selain Allah untuk mengabulkan permintaan seorang hamba, bahkan lewat tawassul sekalipun.

Ayat berikutnya ayat ayat 197 surat al-A'raf yang menyatakan, "Mereka selain Allah yang kalian seru tak akan bisa menolong kalian bahkan mereka tak mampu menolong diri mereka sendiri."

Kaum Salafi berdalih bahwa tawassul dengan arwah Nabi dan para Imam bertentangan dengan tauhid. Padahal jika dicermati ayat-ayat sebelum ayat suci ini membicarakan tentang berhala-berhala sesembahan yang oleh kaum kafir diyakini memiliki kekuatan seperti Allah.

Siapa yang tak tahu bahwa setelah kematian, para nabi dan wali hidup dengan damai di alam barzakh seperti para syuhada yang secara jelas ditegaskan dalam al-Quran. Alam barzakh adalah alam yang sangat luas tanpa batasan materi dan mereka yang berada di dalamnya tidak diam tanpa aktivitas. Dari sisi lain, kita meyakini bahwa bertawassul dengan arwah insan-insan suci ini bukan berarti meyakini kekuasaan mereka di luar kekuasaan Allah. Tawassul adalah menjadikan kedekatan dan kedudukan mulia manusia-manusia suci di sisi Allah sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Keyakinan ini juga dilandasi oleh ayat 255 surat al-Baqarah dalam masalah syafaat yang menegaskan bahwa tidak ada yang bisa memberi syafaat di sisi Allah kecuali jika Dia mengizinkannya. Penjelasan tentang syafaat ini juga berlaku dalam masalah tawassul.

Dalam sebuah hadis Qudsi Allah Swt berfirman, "Ketahuilah, siapa saja yang memiliki hajat, mengharapkan kebaikan atau meminta teratasinya kesulitan yang menimpa hendaknya ia memohon kepada-Ku dengan perantara Muhammad dan keluarga Muhammad supaya Aku mengabulkan hajatnya dengan cara yang terbaik." (Bihar al-Anwar juz 94 hal: 22)

Dalam banyak riwayat dan kisah disebutkan bahwa budaya tawassul sudah dikenal oleh para sahabat Nabi Saw. Mereka datang ke makam Rasulullah dan menjadikan beliau sebagai perantara dalam doa. Kisah-kisah seperti ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab Syiah dan Ahlussunnah.

Ibnu Hajar al-Makki dalam kitab al-Shawaiq meriwayatkan dari Imam Syafii yang dalam bait-bait syairnya bertawassul dengan Ahlul Bait as, lalu mengatakan, "Keluarga Nabi adalah wasilah bagiku. Merekalah jalan dan wasilahku untuk mendekat kepada Allah. Aku berharap dengan berkat mereka kelak di hari kiamat buku catatan amalku diberikan kepadaku dengan tangan kanan."

Kisah lainnya yang disebutkan berkenaan dengan tawassul yang dilakukan oleh umat Islam adalah riwayat Ummul Mukminin Aisyah dalam kitab Sahih ad-Darimi dari Abul Jauza' diriwayatkan bahwa ketika Madinah dilanda paceklik Aisyah menyeru masyarakat untuk bertawassul dengan Rasulullah Saw. Masyarakat melaksanakan imbauan itu dan di tahun itu, hujan turun dengan deras.

Dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan bahwa ketika terjadi paceklik Khalifah Umar bin Khaththab bertawassul dengan Abbas bin Abdul Muththalib, paman Nabi Saw dan berkata, "Ya Allah, dulu ketika Nabi masih hidup saat musim paceklik kami bertawassul kepada beliau dan Engkau pun menurunkan hujan rahmat-Mu. Kini, kami bertawassul dengan paman beliau dan meminta hujan kepada-Mu. Ya Allah siramilah kami dengan hujan." Menurut riwayat Bukhari, setelah doa itu selesai Allah Swt menurunkan hujan-Nya.

Al-Alusi, mufassir besar Ahlussunnah dalam kitab tafsirnya menukil beberapa riwayat dan hadis yang menjelaskan tentang tawassul. Setelah melakukan studi telaah yang rinci, Alusi menulis demikian, "Saya tidak menemukan alasan apapun untuk melarang tawassul kepada Allah Swt dengan perantara Nabi Saw, baik ketika beliau masih hidup maupun setelah kematiannya." Alusi menambahkan, "Tidak ada pula alasan untuk melarang tawassul dengan selain Rasulullah dalam berdoa kepada Allah, dengan syarat yang dijadikan tawassul memang memiliki derajat yang mulia di sisi Allah.". (IRIB)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: