PENGANTAR
Nama Sumedang
Didalam cerita rakyat dikenal adanya
sejarah penamaan Sumedang. Konon kabar pada suatu ketika Prabu
Tajimalela melakukan tapabrata, untuk memperoleh petunjuk dari Sang
Pencipta. Pada saat terbangun tiba-tiba mengucapkan kata : “Insun Medal
Mandangan”, kemudian menjadi populer dengan sebutan Sumedang.
Didalam masyarakat beredar pula cerita
yang mengabarkan, bahwa ucapan Sang Tajimalela tersebut terdiri dari dua
kata, yakni “Insun medal; Insun madangan” dalam bahasa Indonesia
berarti Aku dilahirkanan (lahir) ; Aku menerangi. Sumedang Larang dapat
juga diartikan sebagai “tanah luas yang jarang bandingnya” (Su= bagus,
Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya). Selain itu kata
Sumedang bisa diambil juga dari kata Su yang berarti baik atau indah dan
Medang adalah nama sejenis pohon, sekarang dikenal sebagai pohon Huru.
Dari sinilah kata Sumedang diambil dari
kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang,
selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari
kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang
berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.
Topografi
Sumedang saat ini merupakan daerah
tingkat dua, terletak di sebelah Timur Propinsi Jawa Barat, secara
geografis terletak pada posisi 107˚14’-108˚21’ Bujur Timur dan
60˚40’-70˚83’ Lintang Selatan. Berbatasan dengan Indramayu dan Subang di
Sebelah Utara, Majalengka di Sebelah Timur dan Garut di Sebelah
Tenggara serta Bandung di Sebelah Barat dan Selatan. Berjarak tempuh
dari Ibukota Propinsi Jawa Barat, yakni Kota Bandung kurang lebih 45 km
dan berada diantara dua kota tujuan wisata Bandung – Cirebon.
Sumedang disebut-sebut oleh Bujangga
Manik didalam catatan pengembaraannya, diperkirakan ditulis pada abad 15
akhir atau awal abad 16. Catatatan Bujangga Manik ini oleh J. Noorduyn
dianggap sebagai data Topografis Pulau Jawa dari sumber Sunda Kuno,
berbentuk puisi naratif Sunda Kuna – naskah daun. Saat ini tersimpan di
Perpustakaan Bodlein, Oxford (AS), sejak 1627 atau 1629. Tokoh Bujangga
Manik kemudian diketahui seorang pangeran dari Pakuan (Bogor) yang
memilih menjadi rahib Sunda.
Dalam perjalanan Bujangga Manik
mencatatkan : “Sadiri aing ti inya – datang ka alas Eronan. Nepi aing ka
Cinangsi, – meu(n)tas aing di Citarum. – ku aing geus kaleu(m)pangan, –
meu(n)tas di Cipunagara, – ngalalar ka Tompo Omas, – meu(n)tas aing di
Cimanuk, – ngalalar ka Pada Beunghar”. (sepergiku dari sana, – tiba ke
wilayah Eronan. – Sesampai aku ke Cinangsi, – aku menyebrangi sungai
Citarum. – semua itu telah kulalui, – menyebrang di sungai Cipunagara, –
daerah Medang Kahiangan, berjalan lewat Tompo Omas, – aku menyebarang
di sungai Cimanuk, – berjalan lewat pada Beunghar).
Ketika menanggapi catatan Bujangga Manik,
buku “rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat menjelaskan,
bahwa : didekat Gunung Tompo Omas terdapat kerajaan Medang Kahiyangan.
Nama kerajaan ini tercatat dalam Carita Parahyangan sebagai salah satu
sasaran yang diserang pasukan Cirebon dalam masa pemerintahan Surawisesa
(Pen : pengganti Sri Baduga). Belum jelas apakah ada hubungan antara
nama Medang Kahiyangan dengan Sumedang Larang.
Pada saat Bujangga Manik memasuki Medang
Kahiyangan, menurut catatan lain, Sumedang Larang sudah berpusat di
Cipameungpeuk. Mungkin juga perjalanan Bujangga Manik melalui sebelah
utara Gunung Tampomas, mengingat Sumedang Larang terletak disebelah
selatan Tampomas. Sekalipun belum diketahui adanya titik persamaan
antara Sumedang Larang dengan Medang Kahiyangan namun kedua catatan
tersebut cukup jelas menggambarkan, bahwa di daerah Sumedang pada abad
tersebut sudah ada semacam pemerintahan, sekalipun masih sangat
sederhana.
Fase Ageman
Sumedang Larang dalam catatan sejarah
mengalami dua fase keyakinan. Pertama fase Hindu (mungkin juga Sunda
wiwitan), dimulai sejak ada Tembong Agung sampai dengan Galuh, protektor
Sumedang Larang dikalahkan Cirebon di Talaga. Sekalipun demikian perlu
juga diperhitungkan adanya perkembangan agama Budha, seperti pengaruh
dari Talaga (pusat Budhisme) atau ketika Bujangga Manik melakukan
pengembaraan. Konon kabar ia seorang rahib.
Kedua fase Islam, dimulai pada tahun 1529
M, mulai disebarkan oleh Maulana Muhammad alias Sunan Panakaran, putra
Maulana Abdurachman alias Pangeran Panjunan. Pangeran Panakaran pada
tahun 1504 M menikah dengan seorang putri dari Sindangkasih, kemudian
melahirkan seorang putra, diberi nama Ki Gedeng Sumedang, dikenal dengan
sebutan Pangeran Santri. Kemudian Pangeran Santri menikah dengan Ratu
Setyasih yang bergeralr Pucuk Umum, pewaris syah dari tahta
Sumedanglarang.
Sumedang Larang didirikan oleh Prabu Resi
Tajimalela, namun Sumedang Larang sebagai kelanjutan dari Tembong Agung
– Himbar Buana yang dirintis oleh Prabu Guru Aji Putih. Kisah tembong
Agung dengan Sumedang Larang sama halnya dengan sejarah Galuh. Semula
dirintis oleh Resi Guru Manikmaya di Kendan, pada jaman Wretikandayun
kemudian dialihkan kesuatu daerah, untuk kemudian diberi nama Galuh
(permata).
Ada yang menarik dari keberadaan kerajaan
di tatar Sunda, pada umumnya didirikan oleh para pemuka agama, sama
seperti pendiri Tarumanagara (Sang Maharesi-rajadirajaguru), Kendan
(Sang Resiguru), Galuh (Wretikandayun), Indraprahasta (Resi Sentanu),
Talaga (Pusat Budhisme), Cirebon (pusat Islam). Mungkin juga kesejarahan
demikian menggambarkan ciri pokok dari masyarakat Sunda dahulu yang
religius, sehingga tokoh agama merangkap pula dengan pemerintahan.
Ciri lainnya adalah, pada awal penyebaran
agama dan masuknya pengaruh baru, nyaris tidak nampak adanya benturan.
Mungkin yang lebih jelas ketika masa Sang Bunisora dan Wastukancana,
bahkan putra Sang Bunisora, atau kakak sepupu Wastukancana dikenal
sebagai haji pertama di daerah Galuh sehingga dikenal dengan sebutan
Haji Purwa Galuh. Demikian pula pada masa Sri Baduga. Sebagaimana kita
ketahui penyebar agama Islam pertama di Jawa Barat adalah
Walangsungsang, putra Sri Baduga, bahkan salah satu istri Sri Baduga
alumnus dari pesantren Quro.
Fase Kekuasaan
Mencermati fase kekuasaannya, di Sumedang
Larang mengalami beberapa fase. Pertama, fase raja-raja Sumedang Larang
dimulai dari Praburesi Tajimalela ada juga yang menyebutkan mulai dari
Prabu Guru Aji Putih sampai dengan Prabu Geusan Ulun (1578 – 1601 M).
Pada masa ini Sumedang Larang memiliki kekuasaan yang mandiri, sekalipun
memang terseling sebagai kerajaan daerah, mengingat berada dibawah
daulat Galuh. Sumedang Larang pernah didaulat sebagai pewaris syah tahta
Pajajaran, mengingat ia memiliki kandage lante, perlengkapan pakaian
raja-raja Pajajaran yang di persembahkan Jayaperkosa, senapati Pajajaran
kepada Geusan Ulun.
Fase kedua, fase Bupati Wedana dibawah
daulat Mataram. Fase ini dimulai sejak berkuasanya Rangga Gede alias
Rangga Gempol 1 yang berkuasa pada tahun 1601 – 1625 M. Suatu hal yang
masih perdebatan umum tentang siapa Rangga Gempol I, apakah ia anak syah
dari Geusan Ulun atau anak tirinya, mengingat ada berita yang santer
menyatakan, bahwa sebelum Harisbaya dinikahi Geusan Ulun ia telah hamil.
Namun apapun isue nya, sejak masa ini Sumedanglarang berada dibawah
daulat Mataram dan pernah dihadiahkan kepada Belanda pada masa
Amangkurat II. Masa kekuasaan dibawah Mataram berlangsung hingga
kekuasaan Rangga Gempol III (1656 – 1676 M).
Fase ketiga, fase Bupati Wedana dibawah
daulat Belanda (VOC) kemudian terselang oleh Inggris dan kembali lagi
dibawah Belanda dan Jepang. Dimulai pada masa Dalem Tumenggung Tanumaja
(1706 – 1709 M). Fase lainnya terjadi pasca Indonesia menyatakan
kemerdekaan.
Pada masa lalu dikenal pula adanya
eksistensi Pangeran Kornel yang berani menentang Daendels ketika
membangun Cadas Pangeran yang banyak memakan korban jiwa rakyat
Sumedang. Kemudian ada pula kisah yang terjadi pada tahun 1888. Ketika
itu Bupati Pangeran Aria Suriaatmaja atau dikenal juga sebagai Pangeran
Mekah mengungkapkan kepada Belanda, bahwa Belanda harus memberikan
kemerdekaan bagi bangsa di Nusantara. Hal ini dapat diketahui melalui
literatur yang beliau tulis dalam buku dengan judul: “Ditiung memeh
hujan” (sedia payung sebelum hujan).
CIKAL BAKAL
Kisah Sumedang diceritakan tumbuh sejak
seorang resi keturunan Galuh datang untuk bermukim di pinggiran Cimanuk,
daerah Cipaku, Kecamatan Darmaraja, ada juga yang menyebutkan didaerah
Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung
Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. Daerah-daerah tersebut
telah ada pada abad kedelapan, dirintis oleh Cakrabuana. Konon kabar
resi itu bernama Prabu Guru Aji Putih. Ia adalah putra Ratu Komara
keturunan Wretikandayun (Galuh).
Prabu Guru Aji Putih menikah dengan Dewi
Nawang Wulan (Ratna Inten), kemudian berputra ; sulung bernama Batara
Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu
Tajimalela, kedua Sakawayana alias Aji Saka, ketiga Haris Darma dan yang
terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana.
Jika kisah ini ditelusuri lebih lanjut,
tentunya masing-masing putra Wretikandayun dalam versi ini memiliki
sejarahnya yang mandiri. Tokoh-tokoh tersebut tidak asing didengar
telinga masyarakat tradisional Sunda, dikisahkan secara turun temurun
melalui cerita lisan atau cerita pantun. Demikian pula tentang Prabu
Guru Aji Putih, didalam kisah tradisional masyarakat Sunda, terutama
yang hidup di tatar Parahyangan sangat meyakini bahwa cikal bakal
berdirinya Sumedang Larang tidak dapat dilepaskan dari kerajaan
sebelumnya, yakni Tembong Agung yang didirikan Prabu Guru Aji Putih.
Menurut catatan Pemda Sumedang :
“Berdasarkan catatan sejarah yang ada, sebelum menjadi Kabupaten
Sumedang seperti sekarang ini, telah terjadi beberapa peristiwa penting
diantaranya : (1) Pada mulanya kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan
bernama Kerajaan Tembong Agung dengan rajanya bernama Prabu Galuh Haji
Aji Putih (Aji Purwa Sumedang) ; (2) Pada masa pemerintahan Prabu
Tuntang Buana yang juga dikenal dengan sebutan Prabu Tajimalela,
Kerajaan Tembong Agung berubah nama menjadi kerajaan Sumedanglarang”. (http://www.sumedang. go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010).
Didalam versi lain dijelaskan tentang
masalah ini, bahwa : ”Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan
kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji
Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan
ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan,
nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan
Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin
oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman
Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi
alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”.
Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata
Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang
selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari
kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang
berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.” (Sumedang Larang, wikipedia,
17 Maret 2010).
Sebutan untuk kata Sumedang Larang dapat
juga diartikan sebagai “tanah luas yang jarang bandingnya” (Su=bagus,
Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya).
Kemudian versi lainnya, seperti buku
rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat dan Sejarah Jawa
Barat yang ditulis Yoseph Iskandar, memaparkan : Kerajaan Sumedang
Larang didirikan oleh Praburesi Tajimalela, berkedudukan di gunung
Tembong Agung, menurut Carita Parahyangan disebut Mandala Himbar Buana,
sedangkan Tajimalela disebut Panji Rohmayang putera Demung Tabela Panji
Ronajaya dari daerah Singapura.
Penulis tidak menemukan eksistensi dari
Prabu Guru Aji Putih didalam buku rintisan penelusuran masa silam
Sejarah Jawa Barat. Buku tersebut langsung menuliskan Praburesi
Tajimalela sebagai pendiri Sumedanglarang. Sementara didalam versi lain,
Prabu Guru Aji Putih dianggap pendiri dan penguasa Tembong Agung, yang
merupakan cikal bakal dari Sumedang Larang.
Mungkin juga kesejarahan Sumedang pada
masa lalu tidak sedemikian dikenal sebagai mana masyarakat mengenal
sejarah Sunda dan Galuh, karena kedua kerajaan tersebut dianggap sebagai
sentra kekuasaan dan budaya Urang Sunda, atau karena Sumedang Larang
statusnya sama dengan Talaga, kerajaan daerah yang tumbuh secara mandiri
namun berada dibawah Galuh.
Tentang gelar yang Prabu Guru Aji Putih
sebagaimana yang dilansir oleh Pemda Sumedang, tentunya menarik untuk
ditelusuri lebih jauh tentang siapa Prabu Guru Aji Putih tersebut,
mengingat istilah – gelar lengkap yang diberikan adalah Prabu Galuh Haji
Aji Putih (Aji Purwa Sumedang).
Sebutan Haji didepan Aji tidak pula
disalahkan jika ditafsirkan bahwa Prabu Guru Aji Putih telah memeluk
agama islam (Haji), bahkan disebut Aji Purwa Sumedang. Padahal secara
resmi islam menjadi ageman penguasa Sumedang sejak tahun 1529 M, pasca
Praburesi Tajimalela. Hal ini mengingatkan pada sebutan yang diberikan
kepada Bratalegawa, salah seorang putra Sang Bunisora (Sunda – Galuh).
Ia mendapat gelar Haji Purwa Galuh, karena dianggap sebagai Haji pertama
dari Galuh.
Memang ada kaitannya gelar yang
menggunakan Sumedang dengan para penguasa yang berasal dari luar
Sumedang, seperti Mangkubumi Sumedang Larang, diberikan kepada Ki Gedeng
Sindangkasih, putra dari Niskala Wastukencana penguasa Sunda Galuh,
mengingat Sumedang berada di bawah Galuh. (Yoseph Iskandar). Kemudian
ditemukan pula gelar Ki Gedeng Sumedang yang diberikan kepada Pangeran
Santri (rintisan masa silam sejarah Jawa Barat). Namun kedua tokoh ini
tidak ditemukan adanya data yang menyebutkan bahwa mereka pendiri dari
Sumedang Larang.
Sebagai perbandingan masa, terlacak pula
Praburesi Tajimalela diperkirakan memerintah pada tahun 1300 an (koropak
410), sedangkan Mangkubumi maupun Ki Gedeng Sumedang eksistensi nya
disebut-sebut pada tahun 1500 an.
Pertanyaan kedua, apakah yang dimaksudkan
Prabu Galuh Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang) orangnya sama dengan
Haji Purwa Galuh (Galuh), mengingat versi ini menambahkan nama Galuh,
yakni Prabu Galuh Hadji Adji Putih. Sekalipun demikian, para pemerhati
sejarah pada umumnya sepakat, pada masa Prabu Guru Aji Putih, Sumedang
memang masih berada dibawah protektorat Galuh dan belum ada pengaruh
islam didalam pemerintahannya. Pengaruh islam mulai merebak ketika Galuh
telah dikalahkan di Talaga oleh Cirebon, masa Susuhunan Jati. Sedangkan
penguasa Sumedang pertama yang beragama islam adalah Pangeran Santri
suami dari Setyasih – Pucuk Umum Sumedang.
Dari masing-masing versi sejarah yang
dikisahkan diatas tentu pula tidak terlalu salah jika ada dua penafsiran
tentang pendiri dari Sumedang Larang, yakni Prabu Galuh Haji Aji Putih
disatu pihak dan Prabu Tajimalela dipihak lain. Mungkin akan sama dengan
ambiguitas dalam menetapkan hari jadi Cirebon, apakah sejak masa
Pangeran Walangsungsang mendirikan daerah Cirebon Larang atau ketika
Syarif Hidayat menyatakan Cirebon sebagai Kesultanan yang merdeka dan
melepaskan diri dari Pajajaran. Kedua tokoh tersebut terwadahi melalui
penetapan hari jadi yang berbeda antara pemerintahan kota dan kabupaten.
Terhadap penetapan pendiri Sumedang
Larang hemat saya perlu juga ditarik garis yang tidak menyalahi
kesejatian dari sejarahnya. Pertama, keberadaan Sumedang Larang tidak
dapat dipisahkan dari pendahulunya yang telah dirintis oleh Prabu Guru
Aji Putih di Tembong Agung, kemudian berganti nama menjadi Himbar Buana.
Kedua, istilah Sumedang Larang tidak dapat dipisahkan dari kisah
Tajimalela yang mengucapkan kalimat “Insun Medal, Insun Madang”,
sehingga menjadi kata Sumedang. Tajimalela dikenal pula sebagai cikal
bakal yang melahirkan spirit Kasumedangan. Dengan demikian, jika dilihat
dari sejarah eksistensi Sumedang telah dirintis sejak jaman Prabu Guru
Aji Putih, sedangkan sebutan kata Sumedang Larang berawal dari jaman
Praburesi Tajimalela. Hatur punten bilih lepat jujutanana.
MASA PRA ISLAM
Praburesi Guru Aji Putih
Seorang resi keturunan Galuh datang untuk
bermukim di pinggiran Cimanuk, daerah Cipaku, Kecamatan Darmaraja.
Daerah tersebut telah ada sejak abad kedelapan, dirintis oleh
Cakrabuana. Konon kabar resi itu bernama Prabu Guru Aji Putih ini.
Berdasarkan versi rakyat Prabu Guru Aji
Putih adalah putra Ratu Komara keturunan Wretikandayun (Galuh). Prabu
Guru Aji Putih menikah dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten), kemudian
berputra ; sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang
dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, kedua Sakawayana alias Aji Saka,
ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang
Buana.
Sama dengan kisah Sang Maharesi
Rajadirajaguru dari Tarumanagara yang disusun didalam rintisan
penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat, lambat laun daerah tersebut
menjadi daerah yang ramai. Sekalipun dengan struktur pemerintahan yang
sederhana, untuk kemudian berdirilah Tembong Agung sebagai cikal bakal
kerajaan tersebut di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan
Darmaraja sekarang.
Prabu Guru Aji Putih disebut-sebut mulai
eksis di daerah tersebut pada pertengahan abad kesembilan masehi. Namun
jarak ini terlalu jauh jika dihubungkan dengan masa pemerintahan Sang
Tajimalela versi buku rintisan penelusuran sejarah Jawa Barat. Mungkin
juga tahun yang dimaksudkan adalah tahun Saka. Menurut buku rintisan
penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (rpmsjb), sama halnya dengan
yang dimuat dalam koropak 410, Sang Tajimalela sejaman dengan tokoh
Ragamulya (1340 – 1350) yang berkuasa di Sunda Kawali, ia pun sejaman
pula dengan Suradewata, Ayahanda Batara Gunung Bitung Majalengka.
Mungkin alasan ini pula buku tersebut tidak menghubungkan eksistensi
Prabu Guru Aji Putih dengan Tajimalela.
Praburesi Tajimalela
Konon kabar Praburesi Tajimalela naik
tahta menggantikan ayahnya pada mangsa poek taun saka. Ia pun sangat
menaruh perhatian pada bidang pertanian di sepanjang tepian sungai
Cimanuk, peternakan dipusatkan di paniis Cieunteung dan pemeliharaan
ikan di Pengerucuk (Situraja).
Prabu Resi Tajimalela dianggap sebagai
tokoh berdirinya Kerajaan Sumedang Larang. Pada awal berdiri bernama
Kerajaan Tembong Agung, ada juga yang menyebutkan Himbar Buana, dengan
ibukota di Leuwihideung – Darmaraja. Konon kabar, istilah Sumedang
berasal dari kata “Insun medal – insun madang”.
Sang Tajimalela mempunyai tiga putra,
yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Menurut Layang (buku rsmsj menyebutnya naskah) Darmaraja, Prabu
Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya, yakni Prabu Lembu
Agung dan Prabu Gajah Agung untuk menjadi raja dan yang lain menjadi
patihnya. Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu,
Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus
menjadi raja.
Sang Tajimalela memerintahkan kedua
putranya untuk pergi ke Gunung Nurmala. Keduanya diberi perintah harus
menjaga sebilah pedang dan kelapa muda. Kisah selanjutnya diceritakan,
Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air
kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi
raja Kerajaan Sumedang Larang, tetapi wilayah dan ibu kotanya harus
mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung atau Prabu Lembu Peteng Aji
tetap di Leuwi-hideung, menjadi raja sementara. Setelah itu Kerajaan
Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu
Agung menjadi resi.
Penerus Taji Malela
Prabu Gajah Agung dikenal pula dengan
sebutan Atmabrata. Setelah menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke
Ciguling. Kemudian setelah wafat Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan
Darmaraja.
Kisah Prabu Gajah Agung ketika
mendapatkan tahtanya, sebagai mana didalam versi naskah Darmaraja,
menurut buku rintisan masa silam sejarah Jawa Barat, mirip dengan kisah
awal kerajaan Mataram menurut versi Babad Tanah Jawi. Untuk kemudian
dari keturunan Ki Ageng Pamanahan ketiban pulung menjadi raja-raja di
Mataram Islam.
Prabu Gajah Agung digantikan oleh
putranya yang bernama Prabu Wirajaya, dikenal pula dengan nama Sunan
Pagulingan, ia menjalankan pemerintahannya dari Cipameungpeuk.
Perpindahan ibu kota kerajaan ini bukan
yang pertama kalinya, sejak masa Prabu Guru Aji Putih dan para
penggantinya telah terjadi beberapa perpindahan ibu kota. Sama dengan
ciri dari kerajaan lain di tatar Sunda, yakni Tarumanagara dan Sunda.
Jadi wajar jika peninggalan raja-raja di tatar Sunda sulit ditemukan.
Karena tidak memiliki tempat tinggal yang permanen.
Sunan Pagulingan mempunyai dua orang
anak, pertama Ratu Istri Rajamantri yang menikah dengan Sri Baduga
Maharaja dan pindah mengikutinya ke Pakuan Pajajaran. Kedua, bernama
Mertalaya yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang.
Karena ia berkedudukan di Ciguling maka ia pun diberi gelar Sunan
Guling.
Tentang pernikahan Rajamantri dengan Sri
Baduga tentunya membuahkan beberapa cerita rakyat, dikelak kemudian hari
banyak yang menafsirkan bahwa penguasa Sumedang Larang adalah keturunan
dari Sri Baduga Maharaja (Silihwangi).
Pasca meninggalnya Sunan Guling tahta
Sumedang kelima dilanjutkan oleh putra tunggalnya, yaitu Tritakusuma
atau Sunan Patuakan. Kemudian ia digantikan oleh Ratu Sintawati,
putrinya, dikenal pula dengan sebutan Nyi Mas Ratu Patuakan. Ia menikah
dengan Sunan Corenda, raja Talaga, putra dari Ratu Simbar Kencana dengan
Kusumalaya putra Dewa Niskala. Sintawati menjadi cucu menantu penguasa
Galuh.
Sunan Corenda mempunyai dua orang
permaisuri, yakni Mayangsari, putri Langlang Buana (Kuningan), sedangkan
dari Sintawati (Sumedang) memperoleh putri bernama Ratu Wulansari alias
Ratu Parung, ia berjodoh dengan Rangga Mantri alias Sunan Parung Gangsa
(Pucuk Umum Telaga) putera Munding Surya Ageung, putra Sri Baduga.
Sunan Gangsa kemudian ditaklukan Cirebon pada tahun 1530 M dan masuk
islam. Putranya Sunan Wanaperih, menggantikannya sebagai bupati Talaga
kedua bawahan Cirebon.
Sunan Corenda dari Sintawati mempunyai
puteri bernama Setyasih, kemudian setelah menjadi penguasa Sumedang ia
diberi gelar Pucuk Umum. Pada masa pemerintahannya (1529 M) islam sudah
mulai berkembang di Sumedang, disebarkan oleh Maulana Muhamad alias
Palakaran.
Masuknya pengaruh islam
Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran
Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria
Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi
Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran
Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena
asalnya dari pesantren dan perilakunya sangat alim. Sejak itulah mulai
penyebaran agama Islam di wilayah Sumedang Larang.
MASA ISLAM
Penyebaran islam di Sumedang
Pasca wafatnya Tirtakusuma atau Sunan
Patuakan raja Sumedang Larang kelima, ia digantikan oleh Ratu Sintawati,
putrinya yang bergelar Nyi Mas Patuakan. Pada masa pemerintahannya,
atau kira kira tahun 1529 M agama islam mulai menyebar di Sumedang.
Penyebaran islam di Sumedang dilakukan oleh Maulana Muhamad (Pangeran
Palakaran).
Nyi Mas Patuakan kemudian menikah dengan
Sunan Corenda, raja daerah Talaga, putra dari pasangan Ratu Simbar
Kancana dan Kusumalaya (putra Dewa Niskala). Dari pernikahannya ini
melahirkan seorang putri yang diberi nama Satyasih.
Pada saat di nobatkan sebagai penguasa
Sumedang, Satyasih diberi gelar Ratu Pucuk Umum. Untuk kemudian menikah
dengan Pangeran Santri, putra dari Maulana Muhammad (Pangeran Palakaran)
dan Putri Sindangkasih (Majalengka).
Pernikahan
Sebagaimana diatas, Maulana Muhammad
(Pangeran Palakaran) disebut-sebut sebagai penyebar islam pertama di
wilayah Sumedang Larang. Ia putera Maulana Abdurahman alias Pangeran
Panjunan. Jika ditelusuri keatas, ia cucu Syekh Datuk Kahfi dan Ki Ageng
Japura.
Pada tahun 1504 M Pangeran Palakaran
menikah dengan seorang putri Sindangkasih. Dari pernikahannya maka pada
tahun 1505 M melahirkan seorang putra yang diberi nama Ki Gedeng
Sumedang (Pangeran Santri).
Tentang putri Sindangkasih atau ibunda
Pangeran Santri memang membuahkan beberapa kesimpulan. Apakah Pangeran
Santri tersebut putra dari putri Sindangkasih (Ambetkasih) yang kemudian
tilem, karena tidak mau memeluk agama islam, atau putri dari kerabat
putri Sindangkasih ?. Mengingat penting untuk mencari benang merah
dengan legalitas Pangeran Santri sebagai pewaris Sindangkasih.
Berdasarkan dari rintisan penelusuran
masa silam sejarah Jawa Barat (rpmssjb) yang dimaksud putri Sindangkasih
adalah yang berdomisili di Majalengka – dekat Kali Cideres, daerah ini
pernah menjadi ibukota Majalengka. Penegasan ini perlu dilakukan karena
sering kali kasaweur dengan kisah putri Sindangkasih dari daerah Beber
Cirebon, yang dikenal dengan nama Ambetkasih, istri Sri Baduga Maharaja.
Sindangkasih di Majalengka yang dimaksud
dikenal pula dengan sebutan Rambutkasih – saudara dari Munding Surya
Ageung, keduanya pala putra dari Sri Baduga dan Ambetkasih. Penamaan
Putri Sindangkasih bagi Ambetkasih dimungkin terjadi karena ia cucu dari
Ki Gedeng Sindangkasih.
Kedua menurut riwayat Majalengka,
Rambutkasih tidak mau menganut agama islam. Ia menghilang (tilem) tidak
kelihatan jasadnya lagi. Ketika Pangeran Palakaran bersama istrinya (Nyi
Armilah) menemuinya di Sindangkasih, ia tidak berhasil menemukannya.
karena itulah Pangeran Palakaran menganjurkan istrinya (Nyi Armilah)
menjadi penguasa di Sindangkasih.
Dari kisah tersebut memang ada sedikit
ambigu. Karena ada versi lain yang mengatakan bahwa putri Sindangkasih
dimaksud adalah Rambutkasih istri dari Pangeran Palakaran – ibunda
Pangeran Santri. Namun versi lainnya memaparkan bahwa Nyi Armila (ibunda
Pangeran Santri) memang putri Sindangkasih namun bukan Rambutkasih,
melainkan kerabat atau putri dari Rambutkasih. Hal ini penting untuk
diuraikan, kalau tidak maka dapat dikatagorikan adanya ‘coup’ terhadap
kekuasaan yang syah di Sindangkasih.
Dari peristiwa itu rpmssjb menarik
kesimpulan, bahwa : ”tokoh Nyi Armilah itulah ibunda Pangeran Santri,
dan seandainya ia bukan putri Rambutkasih tentulah ia kerabat dekatnya
yang menempati posisi sebagai ahli waris utama sehingga hak waris itu
dapat diturunkan kepada puteranya, Pangeran Santri”.
Pangeran Santri
Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umum, kemudian ia menggantikan Ratu Pucuk Umum sebagai penguasa Sumedang.
Peristiwa diatas memiliki kemiripan
dengan Kisah Tarusbawa, raja Sunda pertama (penerus Tarumanagara) yang
menikah dengan Dewi Manasih putri Linggawarman raja Tarumanagara kedua
belas, kemudian Tarusbawa bertahta. Selanjutnya kerajaan Tarumanagara
lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Sunda. Mungkin karena Tarusbawa
memindahkan ibukotanya kedaerah Sunda, tempat kelahirannya. Konon kabar
daerah ini pernah dijadikan ibukota Tarumanagara ketika masa
Pemerintahan Purnawarman. Peristiwa ini menginspirasi Wretikandayun
untuk menyatakan Galuh memisahkan diri dari Sunda.
Menurut rpmssjb, Pangeran Santri
dinobatkan sebagai penguasa Sumedang pada tanggal 13 bagian gelap bulan
Asuji tahun 1452 Saka (+ 21 Oktober 1530 M), bergelar Pangeran
Kusumadinata I. Pangeran Santri dikisahkan pula bahwa ia murid dari
Sunan Gunung Jati, sehingga, penobatannya sebagai penguasa Sumedang
dimungkinkan ada kaitannya dengan perluasan kekuasaan Cirebon di Tatar
Sunda, paling tidak Sumedang dapat dijadikan penyangga daerah Cirebon
dari Pajajaran yang pada saat itu sedang mengalami ketegangan.
Kemungkinan ini tentunya akan lebih jelas
jika menyitir pendapat buku rpmssjb selanjutnya, bahwa : “tiga bulan
setelah penobatan Pangeran Santri, pada tanggal 12 bagian terang bulan
Margasira tahun 1452 Saka, di keraton Pakungwati diadakan perjamuan
“syukuran” untuk merayakan kemenangan Cirebon atas Galuh dan sekaligus
pula merayakan penobatan Pangeran Santri. Hal itu menunjukan bahwa
Sumedanglarang telah masuk kedalam linngkar pengaruh Cirebon. Pangeran
Santri adalah murid Susuhunan Jati. Karena itulah posisi Sumedang lebih
merupakan “satelit’ Cirebon”.
Pangeran Santri adalah penguasa Sumedang
pertama yang menganut agama Islam. Diperkirakan berkedudukan di Kutamaya
Padasuka. Pada waktu itu daerah tersebut dijadikan sebagai Ibukota
Sumedang Larang yang baru. Di Musium Geusan Ulun dijelaskan, bahwa
memang telah ditemukan situs di Kutamaya, berupa batu bekas fondasi
‘tajug’ keraton Kutamaya.
Dari pernikahannya dengan Pucuk Umum,
maka pada tahun 1558 M) lahir seorang putra, yang diberi nama Pangeran
Angkawijaya. Dikelak kemudian hari ia bergelar Prabu Geusan Ulun. Namun
suatu hal yang patut diteliti pula, bahwa Angkawijaya bukanlah satu-satu
putra, karena didalam kisah lainnya masih ada putra-putra Pangeran
Santri dan Pucuk Umum, yakni (1) Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan
Ulun) ; (2) Kiyai Rangga Haji ; (3) Kiyai Demang Watang di Walakung ;
(4) Santowaan Wirakusumah (Pagaden dan Pamanukan, Subang) ; (5)
Santowaan Cikeruh ; (6) Santowaan Awiluar.
Pada masa pemerintahan Pangeran Santri
memang hubungan kerajaan islam di Jawa Barat (Banten dan Cirebon) sedang
berada dipuncak ketegangan dengan Pajajaran. Namun ketika Pajajaran
runtuh (diperkirakan 8 Mei 1579 M) ia sehari-hari sudah tidak lagi
memegang kendali Sumedang Larang sebagaimana layaknya kepala
pemerintahan, karena usi lanjut.
Patut diperhitungkan, ketika Pangeran
Santri sudah tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai penguasa Sumedang,
apakah terjadi kekosongan kekuasaan atau telah ada penguasa panyelang,
atau Geusan Ulun sudah menduduki tahta ?.
Dalam hal ini ada dua versi. Pertama
menyatakan, Geusan Ulun dilantik sebelum wafatnya Pangeran Santri.
Adapun pasca wafatnya Pangeran Santri ia diistrenan sebagai raja
Sumedang Larang penerus syah tahta Pajajaran. Didalam peristiwa ini pula
Kandage Lante diserahkan oleh Jayaperkosa. Kedua Geusan Ulun dilantik
13 bulan setelah wafatnya Pangeran Santri, mengingat umurnya masih masih
sangat muda. Pelantikan ini sekaligus dikukuhkan sebagai penerus trah
Pajajaran, dengan menerima Kandage Lante.
Pangeran Santri wafat pada bulan Asuji
1501 Saka atau diperkirakan bertepatan dengan tanggal 2 Oktober 1579, Ia
di makamkan di Dayeuh Luhur, sedangkan Ratu Pucuk Umun dimakamkan di
Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.
Menurut rpmsjb, sebagai pengganti
penguasa Sumedang Larang, 13 bulan kemudian, atau pada tanggal 10 bagian
terang bulan Posya tahun 1502 Saka bertepatan dengan tanggal 18
Nopember 1580 M maka diangkatlah Pangeran Angkawijaya dengan gelar
Pangeran Kusumadinata II, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Prabu
Geusan Ulun.
PEWARIS PAJAJARAN
Angkawijaya atau Pangeran Kusumahdinata
II, lebih dikenal dengan sebutan Geusan Ulun di nobatkan pada tanggal 10
bagian terang bulan Posya tahun 1502 Saka, bertepatan dengan tanggal 18
November 1580. Ia menggantikan Pangeran Santri yang wafat pada tahun
1579 M.
Lajimnya seorang raja, biasanya memiliki
simbul-simbul tertentu dari tradisi dikerajaannya sehingga dengan
penguasaan simbol tersebut maka seorang raja akan lengkap mendapat
legitimasi, baik secara de facto maupun de jure.
Sama dengan peristiwa yang dialami Geusan
Ulun, pengganti Pangeran Santri. Ia bukan sekedar penguasa Sumedang
Larang melainkan juga “diistrenan” sebagai pewaris syah tahta Pajajaran.
Masalah ini menjadi sangat menarik untuk dibahas, mengingat saat itu
eksistensi Cirebon dan Banten masih ada, bahkan selain memiliki kekuatan
riil juga masih trah raja Sunda.
Ada dua simbol yang dapat melengkapi
pengesahan pelantikan raja-raja di Pajajaran, yakni : Mahkota raja dan
atrbutnya (kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti
benten, siger, tampekan, dan kilat bahu) serta batu palangka, tempat
dilantiknya raja-raja Pajajaran. Memang yang digunakan Angkawijaya pada
saat pelantikannya adalah seperangkat Mahkota dan pakaian raja,
sedangkan batu palangka telah diboyong Panembahan Yusuf ke Surasowan.
Didalam Pustaka Kertabhumi ½ dikisahkan :
“Geusan Ulun nyakrawati mandala ning
Pajajaran kang wus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang
kedatwan ratu Sumedang heneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun
memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi
Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah
Sumedang).
Kemudian ditegaskan pula, bahwa: “Rakyan
Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sirna Pangeran Ghesan Ulun”
(Para penguasa lain di Parahyangan merestui Pangeran Geusan Ulun).
Simbol raja Pajajaran.
Pasca penyerangan Banten ke Pakuan dan
Pakuan sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduk telah
mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah
Cisolok dan Bayah (mungkin juga cerita komunitas Abah Anom didaerah
Ciptarasa mulai dari sini), sebagian lagi mengungsi ke timur,
diantaranya terdapat pembesar kerajaan, seperti Senapati Jayaprakosa
atau Sanghyang Hawu, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan,
Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Mahkota Raja Pajajaran
Ketika meloloskan diri dari Pakuan,
Jayaperkosa membawa (menyelamatkan) Mahkota dan atribut raja Pajajaran
ke Sumedang Larang, yang menjadi simbol raja Pajajaran. Atribut sebagai
simbol yang perlu dimiliki raja-raja Pajajaran. Selain itu biasanya
raja-raja Pajajaran diistrenan diatas batu Gilang batu gilang atau
palangka batu sriman sriwacana.
Berakhirlah jaman Pajajaran (1482 –
1579), ditandai pula dengan diboyongnya Palangkan Sriman Sriwacana
(Tempat duduk tempat penobatan tahta) dari Pakuan ke Surasowan di Banten
oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu di
boyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu “mengharuskan”
demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak
mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu,
Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang “sah” karena
buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Tentang sakralitas batu tersebut diceritakan pula dalam Carita Parahiyangan di beritakan sebagai berikut :
• Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka
• Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja
• Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima
• Punta Narayana Madura Suradipati,
• inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata
(Sang Susuktunggal ialah yang membuat
tahta Sriman Sriwacana untuk Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan
Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura
Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Batu Pangcalikan bisa ditemukan, misalnya
di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan
Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh
di Ciamis. Sementara Batu Ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di
Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah
yang terjepit pohon).
Kata Palangka secara umum berarti tempat
duduk (pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah Tahta
Nobat yaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara
penobatan. Di atas Palangka itulah ia diberkati (diwastu) oleh pendeta
tertinggi. Tempatnya berada di Kabuyutan Kerajaan, tidak di dalam
istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok
halus mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut
Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan
kaki seperti balai-balai biasa).
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat
ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena
mengkilap, orang Banten menyebutnya Watu Gigilang. Kata Gigilang berarti
mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Kehancuran Pakuan berdasarkan versi
Banten dikarenakan ada pengkhianatan dari “orang dalam yang sakit hati”.
Konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia bertugas menjaga
pintu gerbang dan membukanya dari dalam untuk mempersiapkan pasukan
Banten memporakporandakan Pakuan. Benteng Pakuan akhirnya dapat
ditaklukan. Penduduk Pakuan yang dengan susah payah membangun kembali
kehidupannya pasca penyerangan kedua kembali dilanda bencana maut.
Mereka dibinasakan tanpa ampun. keraton Sri
Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati yang dijadikan simbol Pajajaran
dibumi hanguskan.
Sebagian penduduk Pakuan yang ada
pertalian darah dengan keluarga keraton, ikut mengungsi dengan
satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang
Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nilakendra. Ia mengungsi ke wilayah
barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu
Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.
Menurut legenda “Kadu Hejo”, di daerah
Pulasari (tempat situs Purbakala) terdapat peninggalan seorang raja
tanpa membawa mahkota. Ia kemudian memerintah sebagai raja pendeta,
tetapi akhirnya dihancurkan oleh Pasukan Banten yang menyerang kerajaan
itu.
Ketiadaan pakaian dan perangkat raja
dimaksud dapat pula dikaitkan dengan cerita lain. Dalam kisahnya
disebutkan bahwa mahkota dan pakain kerajaan Pajajaran disimpan di
musium Sumedang (Musium Geusan Ulun). Menurut riwayat mahkota tersebut
dibawa oleh Jaya Perkosa dari Pakuan dan adik-adiknya, yakni Batara
Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan
Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot, kemudian diserahkan untuk
digunakan oleh Geusan Ulun pada saat pelantikannya. Dengan penggunaan
perangkat tersebut maka Geusan Ulun dianggap syah sebagai pewaris tahta
Pajajaran.
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Banten
mengarahkan serangannya ke Pulasari, Prabu Ragamulya Suryakancana
bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga. Namun
pada akhirnya Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya gugur di
Pulasari.
Menurut Wangsakerta dalam Pustaka
Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. : Pajajaran
sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus
punjul siki ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11
bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11
Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M).
Geusan Ulun Penerus tahta
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M)
dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia
menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang
letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan,
Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis).
Luas daerah Sumedang Larang pada masa
Geusan Ulun dapat diteliti dari surat Rangga Gempol 3 yang ditujukan
kepada Gubernur Jendral Willem Van Outhorn, yang dibuat pada tanggal 31
Januari 1691. Dalam surat tersebut ia meminta agar luas wilayah Sumedang
dipulihkan sebagai jaman Geusan Ulun. Yang membawahi 44 penguasa daerah
yang terdiri dari 26 Kandaga lante dan 18 umbul (menurut babad hanya 4
buah yang berstatus kanda lante). Pada waktu itu Rangga Gempol III hanya
menguasai 11 dari Kandage Lante.
Jika dibentangkan dalam peta, daerah
kekuasaan Geusan Ulun meliputi wilayah Kabupaten Sumedang, Garut,
Tasikmalaya, dan Bandung. Sebelah timur berbatasan dengan garis Cimanuk –
Cilutung dan Sindangkasih (Cideres – Cilutung), sebelah barat garis
Citarum – Cisokan. Memang pada saat itu telah ada beberapa daerah yang
masuk Cirebon, seperti Ciamis dan Majalengka yang direbut Cirebon dari
Pajajaran pada tahun 1528 M, serta Talaga pada tahun 1530 M.
Sebagaimana diuraikan diatas, Geusan Ulun
mendapat dukungan dari para Veteran Senapati Pajajaran, yakni
Jayaperkosa dan adik-adiknya. Mereka merasa gagal mempertahankan pakuan
dan berniat membangun kembali kejayaan Pajajaran melalui Sumedang
Larang. Alasan ini pula yang menyebabkan mereka menyerakan perangkat dan
simbol-simbol raja Pajajaran ke Sumedang Larang.
Didalam Pustaka Kertabhumi menjelaskan mengenai para senapati tersebut, bahwa :
“Sira paniwi dening Pangeran Ghesan
Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang
salwirnya” (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka
membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lainnya).
Konon kabar para senapati tersebut masih keturunan Sang Bunisora (Sunda
Galuh).
Suatu hal yang menarik tentang pelantikan
Geusan Ulun, ketika itu ia masih berumur sangat muda (23 tahun), namun
ia disepakati oleh 44 penguasa di tatar Parahyangan untuk menjadi
penguasa Parahyangan. Padahal ayahnya sendiri, yakni Pangeran Santri
tidak memiliki kekuasan yang luas demikian.
Tentunya ada suatu gerakan yang mampu
meyakinkan para penguasa daerah untuk mengabdi kepada Geusan Ulun
sebagai penerus tahta Pajajaran. Konon inilah salah satu keberhasilan
Jayaperkosa dan saudara – saudaranya dalam upayanya mempersatukan
puing-puing wilayah Pajajaran. Disini pula dapat dinilai tentang
kebesaran pengaruh Jayaperkosa bersama adik-adiknya terhadap para
penguasa di Parahyangan.
Menurut buku rpmsjb : “Dengan tokoh
Jayaperkosa bersama adik-adiknya sebagai jaminan, para raja daerah
Parahyangan dapat menerima dan merestui tokoh Geusan Ulun menjadi
narendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna. Faktor
Geusan Ulun dan faktor politik inilah yang mungkin yang telah “menunda”
penobatan Geusan Ulun menjadi penguasa Sumedang Larang sampai setahun
lebih sejak kemangkatan Pangeran Santri”.
Secara politis penobatan Geusan Ulun
dapat diartikan sebagai suatu bentuk memproklamirkan kebebasan Sumedang
dan mensejajarkan diri dengan Kerajaan Banten dan Cirebon. Selain itu
menurut rpmsjb dapat pula disimpulkan adanya pernyataan, bahwa :
“Sumedang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan
Pajajaran di Bumi Parahyangan. Mahkota dan beberapa atribut kerajaan
yang dibawa oleh Senapati Jayaperkosa dari Pakuan dengan sendirinya
dijadikan bukti dan alat legalisasi sama halnya dengan pusaka kebesaran
Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak, Pajang, dan kemudian Mataram”.
Bahan Bacaan :
• Sumedang Larang (wikipedia, 17 Maret 2010).
• Sejarah singkat Kabupaten Sumedang (http://www.sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010
• Rintisan masa silam sejarah
Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemeirntahan Propinsi
Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.
• Bupati Di Priangan – dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda 2004.
• Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar – Geger Sunten Bandung 2005.
PERISTIWA HARISBAYA
Kisah Sumedang pada masa Geusan Ulun
banyak dipengaruhi oleh akibat Peristiwa Harisbaya, seperti lepasnya
daerah Sindangkasih (asal Pangeran Santri) menjadi wilayah Cirebon ;
munculnya mitos-mitos yang berhubungan dengan Jayaperkosa (hanjuang,
dago jawa, sindang jawa, penggunaan batik) ; dan berpindahnya ibukota
Sumedang dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Kisah ini menjadi mitos yang
kerap menimbulkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan sejarah di tatar
Sunda umumnya dan khususnya sejarah Sumedang.
Pasca wafatnya Geusan Ulun sangat
berpengaruh terhadap perjalanan sejarah tatar Sunda, sulit menarik
benang merah untuk mengetahui kesejatian sejarah dan budayanya. Dalam
buku History of Java misalnya, Raffles masih dibingungkan, apakah Sunda
itu dialek atau bahasa yang mandiri. Mengingat pada masa itu di tatar
Sunda sangat sulit menemukan jejak kejayaan Urang Sunda, bahkan berada
di bawah daulat Mataram, dan satu persatu wilayah di tatar Sunda
diserahkan kepada Kompeni Belanda. Tak cukup sampai disitu, Raffles
menyimpulkan pula, bahwa : bahasa Sunda sebagai varian dari bahasa Jawa,
bahkan ada juga yang menyebut bahasa Sunda sebagai “bahasa Jawa gunung
dibagian barat”.
Nasib kesejarahan di tatar Sunda pasca
kemerdekaan pun demikian, banyak sejarah yang dikisahkan, terutama yang
berasal dari sejarah lisan tidak menemukan tumbu dengan titi mangsa
peristiwanya, sehingga tak jarang dituduh memiliki catatan sejarah
palsu, atau tuduhan “sejarahnya diciptakan oleh Belanda”.
Jika ditelusuri lebh lanjut, konon
masalah ini dahulu hanya karena Suryadiwangsa, putra Geusan Ulun (ada
juga yang menyebutkan putra tirinya), dari Harisbaya menyerahkan
Sumedang tanpa syarat kepada Mataram. Penyerahan ini bukan hanya
berpengaruh terhadap Sumedang, melainkan juga seluruh tatar Parahyangan.
Padahal ketika Geusan Ulun diistrenan, ia dianggap dan di amanahkan
sebagai pewaris syah tahta Pajajaran. Pada masa itu Sumedang menguasai
sisa Pajajaran yang berada di tatar Parahyangan (selebihnya dikuasai
Banten dan Cirebon), tak kurang dari 44 Kandaga Lante dan 8 umbul berada
dibawah daulat Sumedang.
Peristiwa Harisbaya dan segala akibatnya
diceritakan melalui beberapa versi, diantaranya babad Sumedang, babad
Cirebon dan babad Limbangan. Namun masing-masing versi memiliki alasan,
adakalanya muncul perbedaan didalam menuturkan peristiwanya. Namun
tentunya, kita pun tidak perlu mengadili kebenaran masing-masing yang
dikisahkannya, karena masing-masing memiliki paradima yang berasal dari
keyakinan kebenaran yang dikisahkannya. Dan memiliki alasan sesuai
dengan jamannya.
Makam Geusa Ulun
Kasus Harisbaya
Kisah Harisbaya dan akibat dari
peristiwanya dituturkan didalam rintisan penelusuran masa silam sejarah
Jawa Barat (rpmssJB), secara garis besar dituturkan sebagai berikut :
• Didalam Pustaka Kertabumi I/2
dikisahkan, bahwa peristiwa Harisbaya terjadi pada tahun 1507 saka atau
1585 M. Pada peristiwa ini pusat kekuasaan islam tidak lagi di Demak,
karena sejak tahun 1546, setelah huru hara Demak yang menewaskan Prawoto
(Demak) dan Muhamad Arifin alias Pangeran Paseran (Cirebon) putra
Susuhunan Jati maka kekuasaan beralih ke Pajang. Pada masa huru hara
Demak Geusan Ulun belum lahir, ia lahir 12 tahun pasca peristiwa
dimaksud atau pada 1558 M.
Peristiwa Demak yang menewaskan Muhamad
Arifin alias Pangeran Paseran (Cirebon) menyebabkan Susuhunan jati
(ayahnya) merasa sakit hati, iapun mendukung penobatan Hadiwijaya
(Pajang). Tak cukup sampai disitu, Susuhunan Jati mengirimkan Panembahan
Ratu, cicitnya untuk berguru kepada Hadiwijaya (selama 16 tahun), untuk
kemudian ia dinikahkan dengan putri Hadiwijaya.
Pada tahun 1582 M hubungan antara Cirebon
dengan Pajang menemukan kendala. Hadiwijaya berseteru dengan
Sutawijaya, putra Ki Gedeng Pamanahan, bupati Mataram (islam).
Hadiwijaya berhasil dikalahkan oleh Mataram, hingga ia pun tewas setelah
terjatuh dari gajah. Panembahan Ratu, Sutawijaya dan keluarga keraton
Pajang menghendaki agar Banowo, putra bungsu Hadiwijaya menggantikan
ayahnya. Dipihak keluarga Trenggono dan kerabat keraton Demak
menghendaki agar yang menggantikan Hadiwijaya adalah menantunya, putra
Sunan Prawoto, yakni Arya Pangiri. Kemudian Arya Pangiri disepakati
menggantikan Hadiwijaya, sedangkan Banowo menjadi bupati Jipang.
Kisah ini menggambarkan, bahwa pada saat
peristiwa Harisbaya terjadi (1585 M) yang berkuasa adalah Arya Pangiri
(Pajang), sedangkan Panembahan Senopati (Mataram) mulai berkuasa pada
tahun 1586 M setelah ia menjatuhkan Arya Pangiri dari tahta. Pajang pun
diserahkan kepada Sutawijaya.
Panembahan Ratu pada waktu itu telah
menjadi menantu Hadiwijaya, sehingga Arya Pangiri menganggap Panembahan
Ratu memiliki pengaruh untuk menentukan kelangsungan Pajang. Ketika Arya
Pangiri masih berkuasa, untuk menetralkan sikap Panembahan Ratu yang
pro terhadap Banowo, ia diberi hadiah Harisbaya, seorang putri Madura
yang cantik. Konon peristiwa ini terjadi ketika Panembahan Ratu
menghadiri pemakaman Hadiwijaya. Namun Arya Pangiri tidak mengetahui,
bahwa Harisbaya telah menjalin cinta dengan Geusan Ulun.
Harisbaya sebenarnya tidak sedemikian
mencintai Panembahan Ratu, bukan karena Panembahan Ratu telah berusia
lanjut, ia diperkirakan berusia 38 tahun sedangkan Geusan Ulun 27 tahun,
namun karena Harisbaya telah memiliki hubungan dengan Geusan.
Pertemuan Geusan Ulun dengan Harisbaya
terjadi ketika Geusan Ulun sedang berguru dan masih berstatus putra
mahkota. Jika dilihat dari masanya, dimungkinkan terjadi ketika Geusan
Ulun berguru di Pajang bukan di Demak, mengingat sejak huru hara (1546
M) Demak telah kehilangan fungsinya, baik sebagai pusat kekuasaan maupun
sebagai pusat perguruan islam. Keberadaan Geusan Ulung di Pajang sama
halnya dengan Panembahan, menurut Kertabhumi I/2, waktu itu Pajang
sangat bersahabat dengan Cirebon, Banten dan Sumedang. Jika saja
Susuhunan Jati yang terkenal sebagai mahaguru agama islam mengirimkan
Panembahan Ray untuk berguru kepada Hadiwijaya, Pangeran Santri pun
tentu akan menganggap layak mengirimkan putranya (Geusan Ulun) untuk
berguru kepada Hadiwijaya di Pajang.
Pertemuan Geusan Ulun dengan Harisbaya di
Pajang dalam waktu yang cukup lama (menurut babad antara 5 sampai 5
tahun), tentunya wajar jika menimbulkan benih-benih cinta. Hingga pada
suatu ketika Geusan Ulun harus pulang ke Sumedang (tahun 1580 M) untuk
dinobatkan sebagai penguasa Sumedang, menggantikan ayahnya. Pada waktu
pertemuan tersebut dimungkinkan telah ada janji dari Geusan Ulun kepada
Harisbaya tentang pewaris tahtanya dikemudian hari, sehingga Harisbaya
mau dipersunting Geusan Ulun, dan rela meninggalkan Panembahan Ratu.
Tujuan Geusan Ulun ke Pajang dipaparkan
pula, bahwa dimungkinkan ia bukan hanya untuk berguru agama islam, sama
halnya dengan Panembahan Ratu, melainkan berguru tentang ilmu kenegaraan
dan ilmu perang dari Hadiwijaya, bahkan disana ia bukan sebagai
“santri” melainkan sebagai “satria”. Hal ini berdasarkan pada alasan
antara Hadiwijaya disatu sisi dan disisi lain Geusan Ulun (keturunan
Pangeran Santri) dan Penambahan Ratu (keturunan Susuhunan Jati) memiliki
mazhab yang berbeda. Hadiwijaya penganut madzhab Syiah Muntadar
sedangkan Geusan Ulun dan Panembahan Ratu penganut madzhab Syafi’i.
Peristiwa Harisbaya dijamannya membuahkan
perseteruan antara Cirebon dengan Sumedang. Menurut cerita dari
Sumedang, terjadi peperangan antara Cirebon dengan Sumedang, dimenangkan
oleh Sumedang. Berdasarkan Babad Pajajaran yang ditulis pada masa
Pangeran Kornel menyebutkan, tentara yang dikerahkan Cirebon sebayak
2.000 orang, sebaliknya menurut sumber Cirebon diceritakan akibat
peristiwa Harisbaya hampir terjadi perang di antara kedua negara, tetapi
dapat dicegah melalui jalan kompromi, “talak” Ratu Harisbaya dari
Penembahan Ratu ditukar dengan daerah Sindangkasih. Dan dalam cerita
manapun kompromi ini memang ada disebutkan.
Menurut Babad Cirebon “masa idah”
Harisbaya itu 3 bulan 10 hari dan pernikahannya dengan Geusan Ulun
menurut Pustaka Kertabhumi I/2 dilangsungkan pada tanggal 2 bagian
terang bulan waisak tahun 1509 Saka, bertepatan dengan tanggal 10 April
1587 M. Peristiwa ini dilakukan 2 tahun pasca Harisbaya dilarikan dari
Cirebon ke Sumedang.
Menurut Babad
Didalam rpmssJB dijelaskan, bahwa :
Peristiwa Harisbaya dalam cerita babad dimulai ketika Prabu Geusan Ulun
pulang berguru dari Demak, ia didampingi empat senapatinya, Jayaperkosa
bersaudara. Kemudian singgah di Keraton Panembahan Ratu penguasa
Cirebon. Geusan Ulun bertemu dengan Ratu Harisbaya isteri kedua
Panembahan Ratu yang masih muda dan cantik, puteri Pajang berdarah
Madura. Harisbaya sangat tergila-gila dengan ketampanana Geusan Ulun, ia
merayu Geusan Ulun untuk melarikan diri ke Sumedang. Geusan Ulun yang
didukung empat senapatinya yang tangguh kemudian mengabulkan permintaan
tersebut. Kemudian ditengah malam buta ia meloloskan diri dari Cirebon.
Pelarian ini diketahui, Cirebon kemudian
memerintahkan prajurit bayangkaranya untuk menangkap mereka, namun
pasukan tersebut berhasil dipukul mundur oleh Jayaperkosa dan
adik-adiknya, hingga mereka tiba di Kutamaya dengan selamat. Konon
kabar, daerah bekas pertempuran tadi kemudian diberi nama “Dago Jawa”
dan “Sindang Jawa”.
Kisah lolosnya Harisbaya membuat
kegelisahan Cirebon. Panembahan Ratu mengutus para telik sandi mencari
keberadaan Harisbaya. Pada suatu hari dua orang mata-mata Cirebon
memergoki Harisbaya yang sedang berbelanja di pasar. Informasi ini
disampaikan segera ke Cirebon. Dalam merespon kondisi ini, Cirebon
menyiapkan pasukannya untuk menyerang Kutamaya. Namun tidak pernah
menemukan sasarannya karena di hadang oleh pasukan Sumedang yang
dipimpin Jayaperkosa.
Dalam kisah babad, peperangan ini pula
muncul mitos tentang Jayaperkosa dan pohon “hanjuang”. Konon kabar,
sebelum berangkat menyambut musuh yang akan menyerang Sumedang,
Jayaperkosa berwasiat, : Jika daun hanjuang itu masih segar, maka ia
masih hidup (walagri), namun jika daunnya menjadi layu artinya ia telah
gugur”. Karena asyiknya Jayaperkosa mengejar musuh ia tersesat.
Saudara-saudaranya menduga, Jayaperkosa gugur, sekalipun hanjuan itu
masih tetep segar. Nangganan, salah satu saudara Jayaperkosa segera
menuju ke Kutamaya untuk membujuk Geusan Ulun agar segera mengungsi ke
Dayeuh Luhur. Kemudian evakuasi pun terjadi.
Selanjutnya diceritakan, Jayaperkosa
terkejut ketika mendapatkan Kutamaya telah kosong, sementara hanjuang
yang ditanam Jayaperkosa masih segar. Ia pun sangat merah ketika
mengetahui Geusan Ulun dan rombongannya telah pindah ke Dayeuh Luhur dan
menganggap Jayaperkosa dan pasukannya telah di kalahkan Cirebon. Ia
mendatangi Geusan Ulun untuk menanyakan pangkal soal kepindahannya ke
Dayeuh Luhur, setelah mengetahui persoalannya, kemudian membunuh
Nangganan. Ia pun berujar : “tidak akan mau mengabdi lagi kepada
siapapun juga”. Konon sebelum menjelang akhir hayatnya ia pun berpesan
agar dikuburkan dipuncak bukit dalam sikap duduk yang menghadap ke arah
Kabuyutan. Namun ada juga kisah babad yang menceritakan, “Jayaperkosa
tidak mau kuburannya menghadap ke arah kuburan Geusan Ulun”. Sekalipun
yang terakhir ini masih perlu ditelaah lebih jauh, karena Jayaperkosa
lebih dahulu wafat sebelum Geusan Ulun.
Lingga Jayaperkosa
Kemarahan Jayaperkosa
Didalam Babad Limbangan maupun Babad
Sumedang peranan Jayaperkosa dimasa Geusa Ulum dicertikan panjang lebar.
Menurut rpmssJB, dipaparkan : kedua babad itu seolah-olah
menenggelamkan peran Geusan Ulun di Sumedang dan menjadikan babad
tersebut sebagai riwayat hidup Jayaperkosa. Padahal Jayaperkosa dan
adik-adiknya menganggap Geulan Ulun bukan penguasa biasa, sehingga
Jayaperkosa menyerahkan perangkat pakain raja Pajajaran, serta
menyerahkan 44 Kanda Lante dan 8 Umbul, sehingga Geusan Ulun ditatar
Parahyangan dianggap pewaris syah tahta Pajajaran. Kedudukan Jayaperkosa
sendiri menurut koropak 630 adalah Mangkubumi, jabatan itulah yang
tertinggi namun berada dibawah raja.
Buku tersebut selanjutnya menjelaskan
pula, : seandainya perselisihan antara Geusan Ulun itu memang ada,
satu-satunya faktor yang beralasan untuk diketengahkan adalah kesediaan
Geusan Ulun untuk menerima tawaran kompromi dari Panembahan Ratu melalui
pertukaran talak Harisbaya dengan daerah Sindangkasih. Hal ini sangat
bertentangan dengan tujuan Jayaperkosa yang ingin menebus kekalahan
Pajajaran dari Banten dan Cirebon. Ketika masa Jayaperkosa, Cirebon
dianggap paling lemah, karena Banten dan Pajang sedang terjadi
permasalahan di internnya. Jayaperkosa menjamin pula segala akibat dari
terjadinya kasus Harisbaya, bukan hanya untuk menyenangkan Geusan Ulun
melainkan bertujuan membuka kembali “Perang Pakuan”. Dan memang pada
waktu Sumedang sudah kuat.
Disisi lain Panembahan Ratu dianggap
tokoh penting dalam penaklukan Pajajaran. Jayaperkosa juga beranggapan,
bahwa Panembahan ratu akan merasa terhina jika istrinya dibawa orang
lain dan kemudian ia menyerang Sumedang. Kalau saja Panembahan Ratu
tidak menawarkan kompromi dan Geusan Ulun tidak menerima tawaran
tersebut, diniscayakan rencana ini akan berhasil. Namun nampaknya
Panembahan Ratu lebih realistis, ia lebih memilih mendapat kompensasi
daerah Sindangkasih ketimbang harus memiliki Harisbaya, atau semacam
memilih langkah memenangkan langkah politik dari pada masalah harga
diri. Kompromi yang diterima Geusan Ulun menyebabkan kemarahan
Jayaperkosa. Dan dari sinilah kemudian muncul mitos tentang Jayaperkosa.
Geusan Ulun wafat pada tanggal 7 bagian
gelap bulan Kartika tahun 1530 Saka, bertepatan dengan 5 November 1608
M. Ia dimakamkan di Dayeuh Luhur. Sedangkan Jayaperkosa tinggalah Lingga
yang ada di dataran tinggi Dayeuh Luhur, saat ini masih nampak
menghadap kabuyutan, suatu wilayah Dangiang Sunda, tempat Urang Sunda
dimasa lalu mempertahankan harga dirinya.
Terakhir
Adanya perbedaan penulisan kisah dalam
babad dan kisah lainnya dimungkinkan berbeda, suatu hal yang tidak dapat
dipungkiri adalah paradigma dari para penulis dan petuturnya. Sangat
tergantung keyakinannya ketika ia menuturkan atau mengisahkan. Sebagai
generasi sesudahnya, kita tidak dapat begitu saja mengadili kebenaran
dari masing-masing versi, atau menyalahkan paradigma para penulis dimasa
lalu dengan paradigma kebenaran barat yang kadung menyeruak menjadi
kebenaran kita saat ini.
Penafsiran kisah dan sejarah tersebut
tentunya tidak lebih rumit dibandingkan dengan cara menafsirkan cerita
pantun yang telah ada sebelum masa Sri Baduga. Cerita pantun tidak
instan sebagai mana mencerna cerita komik atau sejarah lain, ia lebh
rumit, penuh simbol-simbol yang perlu dimaknai. Padahal dari cerita
pantun akan diketahui tentang budaya dari Urang Sunda “baheula”. Mungkin
ini pula cara yang perlu digunakan dalam menafsirkan kesejarahan babad
melalui pemaknaan dan membaca simbol-simbol budaya Sunda.
Untuk akhirnya, peristiwa Harisbaya dan
segala akibatnya diatas mengajarkan pada generasi berikutnya tentang
hidup dan pilihan hidup. Bagaimana suatu cita-cita besar dan masa depan
dipertaruhkan hanya karena urusan pribadi. Pada akhirnya generasi yang
akan datang menjadi tergadaikan. Disisi lain menggambarkan, bagaimana
cita-cita dan harapan dipertahankan dan dijalankan, bagaimana pula
pamadegan Urang Sunda dalam mempertahankan harga diri dan cita-citanya.
Dan memang demikian seharusnya jika ingin bermartabat dan memiliki harga
diri.
WEDANA BUPATI
Prabu Geusan Ulun merupakan raja Sumedang
Larang pertama yang memiliki keabsyahan sebagai penerus tahta
Pajajaran, setelah Jayaperkosa menyerahkan atribut raja Pajajaran dan 44
Kandaga Lante serta 4 umbul, namun ia juga raja terakhir dari Kerajaan
Sumedang Larang, karena para penerusnya hanyalah setingkat bupati.
Geusan Ulun wafat pada tanggal 7 bagian
gelap bulan Kartika tahun 1530 Saka, bertepatan dengan 5 November 1608
M, Ia dimakamkan di Dayeuh Luhur. Sebagai pengganti Geusan Ulun ditunjuk
Pangeran Arya Suriadiwangsa putranya dari Harisbaya. Didalam Babad
Pajajaran Pangeran Arya Suriadiwangsa disebut Pangeran Seda (ing)
Mataram.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang
istri, pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru ; istri kedua Ratu Harisbaya,
dan istri ketiga Nyi Mas Pasarean. Namun yang menjadi pertanyaan sampai
sekarang, alasan apakah yang mendorong Prabu Geusan Ulun memberikan
tahtanya kepada Pangeran Aria Suradiwangsa, padahal ia anak dari istri
kedua, bukan kepada Rangga Gede putanya dari istri pertama, sebagai
kebiasaan yang dilakukan para raja sebelumnya.
Dugaan pemberian tahta kepada
Suriadiwangsa dimungkin karena ada kesepakatan antara Geusan Ulun dengan
Harisbaya, sehingga Harisbaya mau dinikahi dan meninggalkan Panembahan
Ratu. Hal tersebut diuraikan di dalam buku rintisan penelusuran masa
silam sejarah Jawa Barat (rpmsJB).
Menurut babad, Harisbaya tergila-gila
oleh Geusan Ulun. Demikianlah waktu tengah malam ia meninggalkan suami
yang tidur lelap disampingnya lalu masuk kedalam tajug keraton untuk
mengajak Geusa Ulun melarikan diri ke Sumedang. Bila benar demikian
keadaannya, Geusan Ulun tentu tidak perlu menjanjikan atau memberikan
jaminan apa-apa kepada Harisbaya. Ternyata kemudian yang ditunjuk adalah
putranya Harisbaya, padahal putra sulungnya adalah Rangga Gede putra
Nyi Gedeng Waru istri Geusan Ulun yang pertama. Penunjukan
Suryadiwangsa, putra Harisbaya tak mungkin terjadi tanpa pernah ada
“jaminan” dari Geusan Ulun kepada putri Pajang berdarah Madura ini. Hal
ini merupakan indikasi bahwa bukan hanya Harisbaya yang “tergila-gila”
melainkan harus dua-duanya. Jaminan itu pula tentu yang mendorong
Harisbaya berbuat nista sebagai istri kedua seorang raja. Di Cirebon
tidak mungkin kedudukan “ibu suri” diperolehnya.
Pangeran Aria Suriadiwangsa
Tentang sirsilah dari Suriadiwangsa
sampai sekarang masih membuahkan perdebatan, karena ada versi yang
menjelaskan, : ketika Harisbaya dipersunting oleh Geusan Ulun, ia telah
mengandung, sehingga Suriadiwangsa dianggap sebagai putra Panembahan
Ratu, suami pertama Harisbaya.
Hardjasaputra, didalam bukunya tentang :
Bupati Priangan, dijelaskan, bahwa : setelah Prabu Geusan Ulun wafat,
pemerintahan Sumedang diteruskan oleh anak tirinya, Raden Aria
Suriadiwangsa (1608-1624). Namun rpmsJB menjelaskan dengan menguraikan
waktu peristiwa, bahwa : “Suriadiwangsa benar-benar putra dari Geusan
Ulun. Menurut Babad Pajajaran, masa idah Harisbaya itu 3 bulan 10 hari.
Jadi, idah bisa menunjukan bahwa waktu dilarikan, Harisbaya tidak dalam
keadaan mengandung.”
Dalam pembahasan rpmsJB sebelumnya
menjelaskan pula, bahwa : “menurut Pustaka Kertabhumi I/2 peristiwa
pelarian Harisbaya terjadi pada tahun 1507 Saka atau 1585 Masehi,
sedangkan pernikahan Geusan Ulun dengan Harisbaya terjadi pada tanggal 2
bagian terang bulan Waisaka tahun 1509 Saka (kira-kira 10 April 1587),
jadi ada selisih waktu dua tahun lamanya sejak Harisbaya dilarikan dari
Pakungwati ke Sumedang dengan pelaksanaan pernikahannya”. Disisi lain
tidak pernah ditemukan adanya kisah yang menjelaskan, bahwa
Suriadiwangsa dilahirkan sebelum Harisbaya dinikahi oleh Geusan Ulun.
Kiranya memang Suryadiwangsa adalah putra dari Geusan Ulun.
Pada masa pemerintahan Suriadiwangsa ada
dua peristiwa yang berpengaruh terhadap sejarah Sumedang, yakni
penyerahan Sumedang kepada Mataram pada tahun 1624 M, dan masalah yang
terkait dengan penyerangan Mataram ke Madura. Pada tahun yang sama
Pengeran Arya Suriadiwangsa wafat, sehingga banyak yang menafsirkan ia
dijatuhi Hukuman Mati oleh Sultan Agung (Mataram).
Berserah Ke Mataram
Pada mulanya diwilayah Priangan hanya ada
dua daerah yang berdiri sendiri, yakni Sumedang dan Galuh. Sumedang
muncul setelah Kerajaan Sunda (Pajajaran) diruntuhkan oleh Banten
(1579). Sumedang Larang menggantikan kekuasaan Pajajaran di Parahyangan
ketika masa Geusan Ulun, sedangkan Galuh telah lebih dahulu direbut
Cirebon dalam peperangan 1528 – 1530 M, kemudian menjadi Kabupaten
sendiri yang berada dibawah daulat Cirebon.
Menurut Hardjasaputra : “Pada tahun 1595
Galuh dikuasai oleh Mataram dibawah pemerintahan Sutawijaya (Panembahan
Senopati) yang memerintah Mataram pada tahun 1586 – 1601”. Sedangkan
Sumedang Larang setelah wafatnya Prabu Geusan Ulun digantikan oleh Raden
Aria Suriadiwangsa.
Penyerahan Sumedang Larang kepada Mataram
tentunya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan politik negara
disekitar Sumedang Larang, seperti Mataram dan para penguasa di sekitar
Jawa Barat (Banten, Cirebon) dan Kompeni Belanda yang selalu berupaya
menguasai Nusantara.
Kekuasaan Sumedang Larang pada waktu
sebelumnya, yakni pada masa Prabu Geusan Ulun, dianggap berhak
meneruskan Pajajaran. Hal ini dibuktikan pada saa diistrenan Geusan Ulun
menggunakan atribut raja-raja Pajajaran, ia pun diserahi 44 Kandaga
Lante dan 8 Umbul, namun suatu yang tidak dapat disangkal lagi jika ia
pun merupakan penguasa Sumedang Larang terakhir yang merdeka, terlepas
dari negara lain, karena pasca wafatnya Prabu Geusan Ulun maka Sumedang
Larang menjadi suatu daerah setingkat kabupaten yang berada dibawah
daulat Mataram.
Pada masa pemerintahan Suriadiwangsa
kekuasaan Mataram telah dipegang oleh Sultan Agung (1613-1645 M),
Mataram (islam) mengalami masa kejayaannya dan menjadi negara yang kuat.
Pada masa inilah Sumedang diserahkan kepada Mataram (1620 M).
Banyak kisah yang menjelaskan tentang
alasan Pangeran Aria Suriadiwangsa menyerahkan Sumedang menjadi dibawah
daulat Mataram. Paling tidak ada yang menarik dari versi yang
bersebarangan ini tentang akibatnya dari pernikahan Harisbaya dengan
Geusan Ulun, terutama kaitannya dengan posisi Pangeran Aria
Suriadiwangsa, sebagai putra tiri atau anak kandung “pituin” Geusan
Ulun.
Hardjasaputra (hal.21)
menjelaskan, bahwa : “Ada dua faktor yang mendorong Pangeran Aria
Suriadiwangsa bersikap demikian. Pertama, ia merasa bahwa Sumedang
Larang terjepit diantara tiga kekuatan, yaitu Mataram, Banten, dan
Kompeni (Belanda) di Batavia. Oleh karena itu, ia harus menentukan sikap
tegas bila tidak ingin menjadi bulan-bulanan dari ketiga kekuatan
tersebut. Kedua, ia masih mempunyai hubungan keluarga dengan penguasa
Mataram dari pihak ibu Harisbaya (menurut Widjajakusumah dan R. Moh.
Saleh, Ratu Harisbaya adalah saudara Panembahan Senopati, raja Mataram
tahun 1586-1601/pen).
Alasan Hardjasaputra diatas yang tidak
memperhitungkan adanya kekhawatiran Sumedang Larang terhadap Cirebon,
mengingat ia berpendapat bahwa Pangeran Aria Suradiwangsa adalah bukan
putra Geusan Ulun, melainkan putra Harisbaya dari Panembahan Ratu
Cirebon, sehingga tidak mungkin Cirebon menyerang Sumedang.
Hal tersebut berlainan dengan pendapat
para penulis rpmsJB yang meyakini Pangeran Arya Suriadiwangsa adalah
asli anak Harisbaya dari Geusan Ulun. Penafsiran rpmsJB ini berakibat
pula ketika memberikan alasan tentang penyerahan Sumedang kepada
Mataram. Menurutnya : “Suriadiwangsa menyerah tanpa perang kepada
Mataram. Hal ini merupakan bukti bahwa Sumedang sebenarnya lemah dalam
kemiliteran. Salah satu penyebabnya ia kebiasaan rajanya mendirikan
ibukota yang baru bagi dirinya. Pemerintahnya tak pernah mapan karena
tiap ganti raja pusat kegiatannya selalu berpindah. Faktor lainnya yang
mendorong Sumedang menyerah “secara sukarela” (prayangan) adalah
menghindari kemungkinan adanya serangan dari Cirebon”.
Kekhawatiran terhadap serangan Cirebon
tentunya sebagai akibat, pertama, peristiwa Harisbaya menyebabkan
perseteruan Cirebon (Panembahan Ratu) dengan Sumedang (Geusan Ulun).
Kedua, kekhawatiran Suriadiwangsa terhadap Mataram akan membantu Cirebon
karena ada kekerabatan Mataram dengan Cirebon, Permaisuri Sultan Agung
adalah Putri Ratu Ayu Sakluh kakak Panembahan Ratu, maka dengan
berlindung dibawah Mataram diniscayakan Cirebon tidak akan menyerang
Sumedang.
Penyerahan Sumedang kepada Mataram
tentunya disambut baik oleh Sultan Agung. Dari persitiwa ini maka
seluruh wilayah Priangan ditambah Karawang praktis menjadi bawahan
Mataram. Dan Sultan Agung memproklamirkan ini kepada Kompeni. Dengan
demikian di Jawa barat hanya Banten dan Cirebon yang masih dianggap
memiliki kedaulatan.
Tentang status penguasa Sumedang pasca
penyerahan kekuasaan kepada Mataram dijelaskan, sebagai berikut : “
untuk mengawasi wilayah Priangan dan mengkoordinasikan para kepala
daerahnya, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suriadiwangsa menjadi
Bupati Priangan (1620-1624 M) sekaligus bupati Sumedang, dengan gelar
Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, yang terkenal dengan sebutan Rangga
Gempol I. Sejak itulah di Priangan terdapat jabatan atau pangkat
bupati, dalam arti kepala daerah, dengan status sebagai pegawai tinggi
dari suatu kekuasaan”. (Hardjasaputra, hal 22).
VASSAL MATARAM
Hukuman Mati
Penyerahan Sumedang menjadi bawahan
Mataram tentunya bertujuan agar Sumedang dapat dilindungi oleh Mataram
dari gangguang luar. Konsekwensi logis dari penyerahan ini adalah harus
tunduknya para penguasa Sumedang terhadap titah Mataram. Dilain sisi,
Sultan Agung memilki strong leadership, jika suatu misi yang
diperintahkannya tidak berhasil maka ia tak segan-segan untuk memberikan
punishment (hukuman).
Dari kisah Sumedang paling tidak ada dua
orang Wedana Bupati yang dikenakan punishment hukuman mati oleh Sultan
Agung, yakni Pangeran Aria Suriadiwangsa atau Rangga Gempol I (jika
memang benar ia dihukum mati) dan Dipati Ukur.
Rangga Gempol I
Pada tahun 1624 Rangga Gempol I
diperintahkan oleh Sultan Agung untuk menaklukan Madura, namun setelah
Madura ditaklukan Mataram, pada tahun yang sama Rangga Gempol I wafat di
Mataram.
Peristiwa tersebut menimbulkan beberapa
spekulasi. Ada yang menyatakan kematian Rangga Gempol I di Mataram
akibat dihukum mati oleh Sultan Agung, sementara pendapat lain
menyatakan bahwa misi yang ditugaskan kepada Rangga Gempol I dianggap
berhasil, karena sekalipun terjadi peperangan dan pasukan Madura sangat
gigih bertahan, namun Madura dapat ditaklukan Mataram.
Dari salah satu sumber Sumedang
menjelaskan, bahwa : “Pada tahun 1624 Rangga Gempol diminta Sultan Agung
untuk membantu menaklukan Sampang Madura. Jabatan Bupati di Sumedang
sementara dipegang oleh Rangga Gede.
Penaklukan Sampang oleh Rangga Gempol
tidak melalui peperangan tetapi melalui jalan kekeluargaan karena Bupati
Sampang masih berkerabat dengan Rangga Gempol dari garis keturunan ibu,
Harisbaya, sehingga Bupati Madura menyatakan taat kepada Pangeran
Rangga Gempol. Atas keberhasilnya Rangga Gempol tidak diperkenankan
kembali ke Sumedang oleh Sultan Agung, sampai sekarang ada kampung
bernama Kasumedangan yang dahulunya merupakan tempat menetap para bekas
prajurit Rangga Gempol dari Sumedang. Pangeran Rangga Gempol wafat di
Mataram dimakamkan di Lempuyanganwangi”.
Didalam catatan sejarah lain,
menjelaskan, bahwa : Di Madura terdapat lima kerajaan, yakni Arosbaya,
Sampang, Balega, Pamekasan dan Sumenep. Kelimanya bersatu untuk
menghadapi serbuat Mataram, ketika itu pasukan Mataram dipimpin oleh
Tumenggung Sujonopuro. Pasukan Madura berhasil menahan laju serangan
Mataram, bahkan Tumenggung Sujonopuro tewas pada serangan malam hari
yang dilakukan pasukan Balega. Pada serangan kedua akhirnya pasukan
Madura dapat dikalahkan.
Dalam peristiwa tersebut memang Rangga
Gempol berhasil membujuk bupati Sampang untuk menyerah secara damai,
namun ia tidak berhasil membujuk bupati lainnya, sehingga terjadi perang
hebat. Peristiwa ini dimungkinkan ditafsirkan sebagai kegagalan Rangga
Gempol I menjalankan misinya, ia dijatuhi hukuman mati. Karena memang
Sultan Agung selalu menghukum para bawahannya yang gagal melaksanakan
tugas.
Pendapat yang berbeda, seperti yang
dimuat didalam rpmsJB, menyatakan, bahwa : pada tahun yang sama ia
dihukum mati di Mataram, bukan karena tidak berhasil menjalankan
misinya, namun menurut rpmsJB yang menyimpulkan dari Rutjatan Sadjarah
Sumedang memaparkan, bahwa: keberhasilan Rangga Gempol tersebut
menjadikan ia sombong dan sesumbar, tanpa Sultan Agung pun ia mampu
menaklukan Madura. Ucapannya terdengar oleh Sultan Agung, alasan inilah
yang menyebabkan ia dihukum pancung.
Pada saat Rangga Gempol I menjalankan
misinya ke Madura, jabatan Wedana Bupati Priangan dikuasakan kepada
Rangga Gede, adiknya. Pangeran Dipati Rangga Gempol I meninggalkan 5
putera – putri, salah satunya anak pertama Raden Kartajiwa / Raden
Soeriadiwangsa II yang menuntut haknya sebagai putra mahkota. Akan
tetapi Rangga Gede menolaknya sehingga Raden Soeriadiwangsa II meminta
bantuan kepada Sultan Banten untuk merebut kabupatian Sumedang dari
Rangga Gede. Dalam suatu serangan, Rangga Gede tidak mampu menahan laju
serangan Banten dan melarikan diri ke Mataram, sehingga ia diberikan
sanksi politis dan ditahan di Mataram.
Kisah ini agar berbeda dengan versi
lainnya. Menurut sumber Sumedang dijelaskan, bahwa serangan Banten ke
Sumedang untuk memenuhi permintaan Raden Suriadiwangsa terjadi pada masa
Pangeran Panembahan (1656 – 1706). Namun dalam catatan sejarah manapun,
bahwa pada peristiwa ini memang Rangga Gede tidak sanggup menahan
pemberontakan Suradiwangsa II, iapun melarikan diri ke Mataram.
Sedangkan jabatan Wedana Bupati oleh Sultan Agung diserahkan kepada
Dipati Ukur.
Dipati Ukur
Kegagalan Rangga Gede mengakibatkan
Sultan Agung menyerahkan jabatan Wedana Bupati Priangan kepada
Wangsanata yang dikenal dengan sebutan Dipati Ukur, penguasa tanah Ukur
yang berpusat di Bandung Selatan (Krapyak). Ketika itu kekuasaan Dipati
Ukur membawahi wilayah Sukapura, Sumedang, Bandung, Limbangan, sebagian
daerah Cianjur, Karawang, Pamanukan dan Ciasem. Dipati ukur berasal
daerah Purbalingga (Banyumas), ia menikah dengan Nyi Gedeng Ukur, putri
Umbul Ukur. Kedudukannya sebagai Dipati Ukur karena menggantikan jabatan
mertuanya.
Sultan Agung pada tahun 1628
memerintahkan Dipati Ukur untuk menyerang benteng Batavia, namun Dipati
Ukur mengalami kegagalan dan ia tidak melaporkan ke Mataram, akibatnya
ia di cap melakukan pemberontakan.
Tentang kisah Dipati Ukur, Soeria di
Radja (1927) menemukan delapan versi, tentunya ada persamaan dan ada
perbedaannya. Versi-versi tersebut, seperti dari Sumedang, Bandung
Sukapura, Galuh, Banten, Talaga, Mataram dan Batavia (Hardjasaputra,
23). Mungkin jika saat ini diinventaris akan lebih banyak lagi, baik
yang bersumber dari hasil penelitian sejarah maupun dari kepustakaan.
Versi sejarah resmi di terbitkan pada
tahun 1990 an, diperuntukan bagi konsumsi anak-anak pelajar SMP Kelas 3
di Jawa Barat, diterbitkan Geger Sunten – 1990. Buku tersebut
menjelaskan sebab musabab Dipati Ukur melakukan pemberontakan, sangat
jarang diuraikan didalam sejarah dan catatan lainnya, kecuali kegagalan
Dipati Ukur melakukan serangan kebenteng Batavia yang menyebabkan
pembangkangan serta penangkapannya yang dilakukan oleh para umbul
Priangan.
Didalam buku sejarah tersebut (hal 78)
intinya menjelaskan, bahwa : Sultan Agung melihat adanya kekuatan
Kumpeni Belanda di Batavia yang berhasil menyaingi Banten, ia mengajak
Kumpeni untuk menaklukan Banten dan ditolak Kumpeni. Sultan Agung
kemudian meminta kepada Kumpeni agar diakui sebagai pertuanan atas
wilayah Jayakarta, ditolak Kumpeni. Pada tahun 1624 M ia pun meminta
kepada Kumpeni untuk bersama-sama menaklukan Surabaya, juga ditolak
Kumpeni, kemudian mendorongnya untuk menyerah Batavia dan mengusir
Kumpeni dari daerah perbentengan di Batavia. (Hal. 78).
Pada tahun tahun 1628 Sultan Agung
memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang
Kompeni di Batavia. Dalam catatan sejarah pada umumnya hanya disebutkan,
bahwa Dipati Ukur gagal menunaikan tugasnya dan ia melakukan
pembangkangan karena takut dihukum. Jarang diuraikan penyebab
kegagalannya sebagai akibat komunikasi antara Dipati Ukur dengan
Tumenggung Bahureksa.
Gelombang serangan pertama Mataram
dilakukan melalui laut, dipimpin Tumenggung Bahureksa, selain itu Sultan
Agung memerintahkan pasukan Priangan untuk membantu serangan melalui
darat yang dipimpin oleh Dipati Ukur. Kedua pasukan tersebut ditentukan
untuk bertemu di Karawang. Ternyata pasukan Priangan lebih dahulu tiba
di Karawang.
Setelah ditunggu satu minggu pasukan
Bahureksa belum juga tiba, pada akhirnya Dipati Ukur berinisiatif
menyerah Batavia tanpa bantuan pasukan Bahureksa. Pasukan Dipati Ukur
berhasil dipukul mundur, karena tidak cukup kuat untuk menyerang benteng
Batavia yang sangat kokoh. Selang beberapa saat pasukan Bahureksa tiba
di Karawang, namun ia tidak menjumpai pasukan Dipati Ukur. Dengan sangat
marah ia pun menyerang benteng Batavia, ia pun berhasil di pukul mundur
dan kembali ke Mataram.
Sultan Agung sangat marah atas kegagalan
ini, ia memerintahkan pasukan Mataram untuk memanggil Dipati Ukur.
Sayangnya pasukan Mataram tidak menemukan Dipati Ukur di krapyak, karena
saat itu Dipati Ukur masih memusatkan kekuatannya diperbatasan
Jayakarta untuk menyerang benteng Batavia kembali. Namun ia mendapat
laporan dari salah satu wanita penduduk Tatar Ukur yang berhasil
meloloskan diri, bahwa : pasukan Mataram di tatar ukur melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh dan mengganggu kehormatan
wanita-wanita. Kondisi inilah yang memicu pemberontakan Dipati Ukur.
Berkat bantuan tiga orang umbul Priangan, yakni : Kiwirawangsa Umbul
Sukakerta ; Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti ; Ki Somahita Umbul
Sindangkasih, pihak Mataram dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur
pada tahun 1632.
Hal yang patut diketahui, bahwa : dengan
dikuasainya wilayah Priangan oleh Mataram, maka kedudukan penguasa
daerah di wilayah itu menjadi turun derajatnya, dari bupati dalam arti
raja yang berdaulat penuh atas daerah dan rakyatnya, menjadi bupati
vassal dalam arti pejabat tinggi yang wajib mengabdi kepada raja
Mataram.
Kisah penangkapan Dipati Ukur yang selama
ini kita dilakukan oleh tiga umbul Priangan, namun Naskah Leiden
Oriental menjelaskan Dipati Ukur ditangkap oleh Bagus Sutapura (Adipati
Kawasen) untuk kemudian dibawa ke Galuh. Naskah tersebut ditulis oleh
Sukamandara yang pernah menjadi Jaksa di Galuh. Peristiwa penangkapannya
menurut Prof. DR. Emuch Herman Somantri terjadi pada hari Senin tanggal
1 bulan Jumadil Awal 1034 H sekitar pertengahan tahun 1632.
Kisah penangkapan Dipati Ukur oleh Bagus
Sutapura diuraikan didalam Sejarah Galuh, disusun oleh Raden Padma
Kusumah. Naskah ini disusun berdasarkan naskah yang dimiliki oleh Bupati
Galuh R.A.A Kusumah Diningrat 1836-1886 M, bupati Galuh R.T
Wiradikusumah 1815 M dan R.A Sukamandara 1819 M. Naskah tersebut antara
lain menjelaskan, sebagai berikut :
255 : Heunteu kocap dijalanna – Di dayeuh
Ukur geus Neupi – Ki Tumenggung narapaksa – Geus natakeun baris –
Gunung Lembung geus dikepung – Durder pada ngabedilan – Jalan ka gunung
ngan hiji -Geus diangseug eta ku gagaman perang.
256 : Dipati Ukur sadia – Batuna digulang
galing – Mayak – Gagaman di lebak – Rea anu bijil peujit – sawareh
nutingkulisik – Pirang-pirang anu deungkeut – kitu bae petana – Batuna
sok pulang panting – Ki Tumenggung Narapaksa rerembugan
257 : Urang mundur ka Sumedang – Didinya
Urang Badami – Nareangan anu bisa – Nyekel raheden Dipati – Bupati pada
mikir – Emut ku Dhipati galuh – Ka Ki bagus Sutapura – Waktu eta jalma
bangkit – Seg disaur ana datang diperiksa
258 : Kyai bagus Sutapura – Ayeuna kawula
meureudih – Dipati Ukur sing beunang – Ditimbalan dijeng gusti –
Nanging kudu ati-ati – Perkakasna eta batu – Gedena kabina-bina – Dikira
sagede leuit – Dingaranan Batu Simunding lalampah.
259 : Kyai bagus Sutapura – Perkakasna
ngan pedang jeung keris – Datang kana pipir gunung – Tuluy gancangan
nanjak – Geus datang kana tengah-tengah gunung – Batu Ngadurungdung
datang – Dibunuh geus burak-barik.
260 : Nu sabeulah seug dicandak –
Dibalangkeun nyangsang dina luhur kai – Nu matak ayeuna masyhur –
Ngarana batu layang – Kocap deui Kyai bagus Sutapura ngamuk – Balad Ukur
enggeus ruksak – Ukur ditangkap sakali.
276 : Hariring katu nimbalang – Eta maneh
bener Kyai Dipati – Eh ayeuna Tumenggung – Tumenggung Narapaksa – Karep
kamenta Ngabehi anu tilu – Ayeuna angkat Bupati
279 : Kyai bagus Sutapura – ayeuna
ngarana kudu diganti – Bari diangkat Tumenggung – Tumenggung Sutanangga –
Jeung bere cacah 7000 – Ayeuna Geus tetep linggih
Terakhir
Terhadap perbedaan versi ini sangat
mungkin terjadi dan dapat menambah pengayaan pengetahuan masyarakat,
khususnya di tatar sunda agar mengetahui kebenaran sejarahnya. Suatu hal
yang perlu dicermati dari masing-masing versi tentang paradigma para
penulis terhadap Dipati Ukur, apakah diakui sebagai pahlawan atau
pembuat onar. Jika saja pembuat onar, maka keonaran tersebut harus
dibaca sebagai pemberontakan orang tanah ukur – Priangan terhadap para
tuan yang menguasai Priangan saat itu. Paling tidak, ada kenyamanan
penguasa dan sekeselernya yang terganggu oleh Dipati Ukur, sehingga
dikonotasikan negatif.
Pada akhirnya saya hanya bisa mencuplik
salah satu “Tawis Katineung Ti Panglawungan Tembang Sunda Pamager Asih
Bandung” (Renjagan), tentang proses dan makna penggalian sejarah,
sebagai berikut :
Renjagan diri para aji
Ngarenjag para pujangga
Bejana pabeja-beja
Beja dibejakeun deui
Silih gitik ku pangarti
Lali kadiri pribadi.
PEMBAGIAN AJEG
Pemberontakan Dipati Ukur berlangsung
dari 1628-1632 M. Hal tersebut menggambarkan, betapa sulitnya Mataram
melakukan pengawasan terhadap Priangan yang memang jauh letaknya dari
pusat kekuasaan. Berdasarkan latar belakang ini konon kabar Sultan Agung
berupaya untuk menjaga stabilitas diwilayah Priangan dan Karawang
dengan cara melakukan reorganisasi terhadap daerah-daerah tersebut.
Pembagaian wilayah tersebut menurut
Hardjasaputra (hal 23) menjadi sebagai berikut : Pertama, Daerah
Karawang, lumbung padi dan garis depan pertahanan Mataram bagian barat,
dijadikan kabupaten, dengan statusnya tetap berada dibawah kekuasaan
Wedana Bupati Priangan.
Kedua, pada tanggal 9 tahun Alip (menurut
Hole : 20 April 1641) Wedana Bupati Priangan Tengah dibagi menjadi
empat Kabupaten. Kabupaten Sumedang diperintah oleh Pangeran Dipati
Kusumadinata (Rangga Gempol II), merangkan sebagai Wedana Bupati
Priangan. Ketiga, daerah Priangan diluar Sumedang dan Galuh dibagi
menjadi tiga kabupaten, yaitu Sukapura, Bandung dan Parakanmuncang.
Untuk memerintah tiga kabupaten tersebut, Sultan Agung mengangkat tiga
orang kepala daerah yang dianggap berjasa memadamkan pemberontakan
Dipati Ukur, yakni : Ki Wirawangsa Umbul Surakerta menjadi Bupati
Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha ; Ki Astamanggala Umbul
Cihaurbeuti menjadi Bupati Bandung, dengan gelar Tumenggung
Wiraangunangun ; dan Ki Somahita Umbul Sindangkasih menjadi Bupati
Parakanmuncang, dengan gelar Tumenggung Tanubaya. Pengangkatan tersebut
sebagaimana ditulis dalam suatu Piagem.
Ketiga, Daerah Priangan Timur, yakni
Galuh dipecah menjadi empat daerah, yaitu Utama, Bojonglopang
(Kertabumi), Imbanagara, dan Kawasen.
Berdasarkan kisah dari sumber lainnya, :
Utama diperintah oleh Sutamanggala, Imbanagara diperintah oleh Adipati
Jayanagara, Bojonglopang diperintah oleh Dipati Kertabumi, dan Kawasen
diperintah oleh Bagus Sutapura. Konon kabar Bagus Sutapura pada tahun
1634 diberikan jabatan Bupati di Kawasen karena ia dianggap berjasa
menaklukan Dipati Ukur. Sementara Dipati Imbanagara yang dicurigai
berpihak kepada Dipati Ukur, pada tahun 1636 dijatuhi hukuman mati.
Pasca Sultan Agung
Sultan Agung wafat pada pada tahun 1645
M, ia digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan Amangkurat I atau
Sunan Tegalwangi (1645 – 1677).
Kebijakan Sunan Amangkurat I terhadap
daerah bawahannya pada umumnya sama dengan yang dilakukan Sultan Agung,
terutama dalam hal melakukan reorganisasi kabupaten. Wilayah Mataram di
bagian barat pada tahun 1656 – 1657 dibagi menjadi 12 Ajeg (setingkat
Kabupaten), sembilan ajeg saat ini berada diwilayah Jawa Barat dan tiga
ajeg saat ini termasuk wilayah Jawa Tengah.
Alasan Sunan Amangkurat I membagi daerah
tersebut dikarenakan pasca pemberontakan Dipati Ukur di Priangan,
khususnya di Priangan Tengah masih kacau. Disamping itu ada kekhawatiran
terhadap kedudukan Kompeni Belanda di Batavia semakin kuat dan Banten
sedang melebarkan kekuasaanya kewilayah timur.
Oleh karena itu ia pun
beranggapan untuk memperkuat Priangan Barat.
Sembilan ajeg yang berada diwilayah Jawa Barat tersebut, yakni :
(1) Sumedang didperintah oleh Pangeran Rangga Gempol III.
(2) Parakanmuncang diperintah oleh Tumenggung Tanubaya.
(3) Bandung diperintah oleh Tumenggung Wiraangunangun.
(4) Sukapura diperintah oleh Wiradadaha.
(5) Karawang diperintah oleh Tumenggung Panatayuda.
(6) Imbanagara diperintah oleh Ngabehi Ngastanagara.
(7) Kawasen diperintah oleh Mas Managara.
(8) Galuh oleh Wirabaja.
(9) Sekace.
Khusus Sakace terdapat perbedaan versi
antara Babad Cirebon dan Babad Pasundan, karena babad Cirebon tidak
mengenal daerah Sekace melainkan Sindangkasih, sama dengan yang
dijelaskan para penulis dalam rpmsJB.
Reorganisasi ini juga menghapuskan
jabatan wedana bupati di Priangan, terakhir dijabat oleh Pengeran Rangga
Gempol III atau dikenal pula dengan sebutan Pangeran Panembahan, bupati
Sumedang pada periode 1656 – 1706.
Reorganisasi daerah Priangan
mengakibatkan jabatan bupati Sumedang, yang semulai bergelar “Pangeran”
menjadi sederajat dengan bupati lainnya di Priangan, sama-sama bergelar
ministeriales – perantara raja Mataram dengan rakyat Priangan, menurut
Natanegara (1936) : “menyebabkan ketidak senangan Rangga Gempol III”. Ia
ingin terus menjadi Wedana Bupati Priangan, sehingga memaksa Bupati
Bandung, Sukapura, dan Parakanmuncang untuk tetap tunduk kepadanya.
Akibatnya timbul konflik antara Rangga Gempol III dengan ketiga Bupati
tersebut” (Hardjasaputra, hal 24).
MENGEMBALIKAN KEJAYAAN
Sultan Agung wafat pada tahun 1645, ia
digantikan oleh Susuhunan Amangkurat I (1645 – 1677), putranya. Pasca
wafatnya Sultan Agung kekuasaan Mataram berangsur-angsur turun dan
menjadi lemah. Demikian pula pengaruhnya terhadap daerah-daerah
kekuasaan lainnya yang semula dikuasai Mataram.
Mataram menjadi sangat lemah karena
perselisihan diantara para pewaris tahta Amangkurat I yang tidak
berkesudahan. Disamping itu, kerap terjadi serangan dari luar, seperti
dari pasukan Makasar dan Madura. Amangkurat II didalam cara
menyelesaikan masalah tersebut banyak meminta bantuan VOC. Bantuan yang
diberikan tidak Cuma-Cuma, karena harus dibayar dengan beberapa wilayah
yang dikuasainya.
Priangan khususnya dan sebagian Jawa
Barat (yang berada diluar Banten dan Cirebon), menjadi wilayah Mataram
akibat diserahkan tanpa syarat oleh Pangeran Aria Suriadiwangsa,
mengalami nasib yang tidak kalah menyedihkan, daerah ini terpaksa harus
diserahkan kepada VOC, sebagai bentuk kompensasi dari Mataram kepada
VOC.
Pada mulanya wilayah Priangan Tengah dan
Barat diserahkan kepada VOC sebagai daerah pinjaman, namun dalam proses
selanjutnya Mataram semakin melemah dan dirundung permasalahan, dan
terus menerus meminta bantuan VOC.
Priangan diserahkan melalui dua tahap,
yakni pada tahun 1677 dan 1705. Tahap pertama dilakukan pada perjanjian
19-20 Oktober 1677, diserahkan wilayah Priangan Tengah dan Barat. Pada
tahap kedua pada perjanjian 5 Oktober 1705, Mataram menyerahkan wilayah
Priangan Timur dan Cirebon. Mataram sendiri secara total menjadi
kekuasaan VOC pada tahun 1757. (Hardjasaputra, hal 31).
Tentang proses waktu tersebut, sumber
Sumedang mengisahkan adanya eksistensi Pangeran Rangga Gempol III yang
berupaya mengembalikan kejayaan Sumedang, sebagaimana pada masa
Sumedanglarang ketika masih dikuasai Prabu Geusan Ulun. Kisah ini
disitir didalam rpmsJB, : Rangga Gempol III pernah mengirimkan surat
kepada Gubernur Willem Van Outhoorn pada hari Senin tanggal 2
Rabiul’awal tahun Je (4 Desember 1690) yang dicatat didalam buku harian
VOC di Batavia pada tanggal 31 Januari 1691. Isi surat tersebut menuntut
kepada VOC agar wilayah kekuasaannya dipulihkan sebagaimana wilayah
yang dikuasai Geusan Ulun, leluhurnya (rpmsJB, hal 57).
Pangeran Rangga Gempol III (1656 – 1706)
dikenal sebagai bupati yang cerdas dan pemberani. Ketika diangkat
menjadi penguasa Sumedang bergelar Kusumahdinata VI, kemudian menyandang
gelar Pangeran Panembahan. Suatu gelar yang diberikan Amangkurat I
Mataram atas bakti dan kesetiaannya kepada Mataram.
Kekuasaan Rangga Gempol III di anggap
wilayah Mataram yang paling besar di Priangan. Namun sejarah mencatat,
bahwa Pangeran Gempol III adalah bupati Sumedang yang merangkap Wedana
Bupati Priangan terakhir, untuk kemudian status para bupati Sumedang
dianggap sederajat dengan bupati lainnya.
Sebagaimana dijelaskan diatas, pasca
wafatnya Sultan Agung mengakibatkan Mataram menjadi lemah, hal tersebut
akibat banyak gangguan stabilitas dari dalam dan luar keraton. Untuk
mengatasi permasalahannya Mataram kerap meminta bantuan VOC. Bantuan
tersebut tidak diberikan secara cuma-cuma, melainkan harus dibayar dalam
bentuk penyerahan wilayah kekuasaannya kepada VOC.
Dalam rangka memenuhi kewajiban terhadap
VOC, konon pada tahun 1652 Mataram mengadakan perjanjian lisan dengan
VOC untuk memberikan hak pakai secara penuh atas daerah sebelah barat
Sungai Citarum. Wilayah tersebut berada diluar wilayah Sumedang. Ketika
itu Sumedang berada dibawah pemerintahan Raden Bagus Weruh alias Rangga
Gempol II.
Penghapusan Wedana Bupati
Menurut Hardjasaputra, kira-kira tahun
1657 Amangkurat I membagi daerah priangan, dikarenakan pasca
pemberontakan Dipati Ukur di Priangan, khususnya di Priangan Tengah
masih kacau. Disamping itu ada kekhawatiran terhadap kedudukan VOC di
Batavia semakin kuat dan Banten sedang melebarkan kekuasaanya kewilayah
timur. Oleh karena itu ia pun memperkuat Priangan Barat.
Reorganisasi tersebut dilakukan pada masa
Rangga Gempol III menjabat “Wedana Bupati Priangan” dan sekaligus
merangkap sebagai penguasa Sumedang (1656 – 1706). Para bupati Sumedang
sebelumnya bergelar “Pangeran”, dengan adanya reorganisasi maka Rangga
Gempol menjadi sederajat dengan bupati lainnya yang ada di Priangan,
sama-sama bergelar ministeriales – perantara raja Mataram dengan rakyat
Priangan.
Masalah ini dianggap merugikan Rangga
Gempol III, menurut Natanegara (1936) : “menyebabkan ketidak senangan
Rangga Gempol III”. Ia ingin terus menjadi Wedana Bupati Priangan,
sehingga memaksa Bupati Bandung, Sukapura, dan Parakan muncang untuk
tetap tunduk kepadanya. Akibatnya timbul konflik antara Rangga Gempol
III dengan ketiga Bupati tersebut” (Hardjasaputra, hal 24)
Tentang masalah konflik tersebut, mungkin
ada hubungannya dengan sumber Sumedang yang menghubungkan alasan Rangga
Gempol III merebut kabupatian lain yang dibentuk Mataram pada masa
Rangga Gempol II, seperti Bandung, Parakan Muncang dan Sukapura. Hal
tersebut dikisahkan terjadi pasca Rangga Gempol menguasai pantai utara.
Akibat perjanjian Mataram
Sumber Sumedang menjelaskan adanya
perjanjian lisan antara Mataram dengan VOC pada tahun 1652, mungkin yang
dimaksud adalah perjanjian pinjam pakai atas tanah, namun VOC merasa
tidak puas dengan perjanjian tersebut. Pada tahun 1677 dilakukan
perjanjian secara tertulis. Konon dari pihak Sumedang dihadiri oleh
Rangga Gempol III. Salah satu butir perjanjian menyebutkan batas sebelah
barat antara Cisadane dan Cipunagara harus diserahkan mutlak oleh
Mataram kepada VOC, kemudian dari hulu Cipunagara ditarik garis tegak
lurus sampai pantai selatan dan laut Hindia. Permintaan tersebut oleh
Amangkurat I ditolak, dengan alasan daerah antara Citarum dan Cipunagara
termasuk kekuasaan kabupatian Sumedang dan bukan daerah kekuasaan
Mataram. Daerah antara Citarum dan Cipunagara termasuk wilayah
Sumedanglarang ketika masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun.
Penolakan Mataram diterima dengan baik
oleh VOC, sedangkan butir perjanjian lain disetujui oleh Mataram. Dengan
demikian VOC menyetujui perjanjian tersebut, namun VOC meminta agar
daerah yang dikuasainya sebagai hak pakai yang diberikan Mataram pada
tahun 1652 menjadi milik VOC.
Ada kisah dari versi lain yang berasal
dari penelitian, bahwa : “Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 19
– 20 Oktober 1677 tersebut menyebabkan Priangan Barat dan Priangan
Tengah jatuh ketangan VOC”. (Hardjasaputra, Hal 31).
Memang Hardjasaputra (2004) tidak
menjelaskan ada upaya dari Rangga Gempol III untuk mengembalikan wilayah
Sumedang sebagaimana pada masa Prabu Geusan Ulun, bahkan didalam
tulisannya tidak ditemukan adanya perjanjian lisan yang dibuat pada
tahun 1652. Namun sumber Sumedang menyatakan, bahwa : Keinginan Rangga
Gempol untuk mengembalikan wilayah kerajaan Sumedanglarang tentunya
sangat sulit dilaksanakan, wilayah tersebut sudah dikuasai oleh Banten,
Cirebon, Mataram dan VOC. Oleh karena itu Rangga Gempol III baru dapat
memperluas wilayahnya ke pantai utara, seperti Ciasem, Pamanukan dan
Indramayu yang masih termasuk kekuasaan Mataram.
Sumedang pada masa sebelumnya sangat
tergantung kepada Mataram dan tidak memiliki pasukan yang kuat. Untuk
memperkuat posisi Sumedang di pantai utara, maka Rangga Gempol III
meminta bantuan Banten. Kebetulan saat itu Banten masih konflik dengan
Mataram disebabkan Mataram sangat dekat dengan VOC. Banten menyambut
baik permintaan ini, dan meminta Sumedang bergabung dengan Banten untuk
menyerang VOC dan Mataram.
Permintaan Banten demikian mengurungkan
niat Pangeran Panembahan untuk menerima bantuan Banten, mengingat ada
kekhawatiran terjadi kembali peristiwa Raden Suriadiwangsa II (lihat :
Bab pembagian Ajeg), ia pun memperhitungkan pasukan VOC yang sangat kuat
dan tidak mungkin pada masa itu dapat dikalahkan.
Pembatalan rencana permintaan bantuan
Banten menimbulkan pula kekhawatirannya akan serangan Banten dikemudian
hari. Untuk alasan ini Rangga Gempol III mengirim surat kepada VOC,
isinya memohon bantuan untuk menutup muara sungai Cipamanukan dan pantai
utara agar dapat mencegah pasukan Banten, sedangkan penjagaan di darat
ditangani oleh langsung oleh Sumedang. Surat tersebut dikirimkan pada
tanggal 25 Oktober 1677. Sebagai imbalan, Rangga Gempol memberikan
daerah antara Batavia dan Indramayu.
Jika dilihat dari wilayah yang
dihadiahkan kepada VOC, sebenarnya Sumedang tidak merasa kehilangan,
mengingat daerah tersebut sudah diberikan oleh Mataram kepada VOC
berdasarkan perjanjian tahun 1677. Disisi lain, perjanjian Mataram
dengan VOC pada 25 Februari dan 20 Oktober 1677 memberikan keuntungan
langsung bagi Sumedang, karena dengan dikuasainya daerah tersebut oleh
VOC maka secara otomatis VOC akan menempatkan pasukannya untuk menjaga
wilayah tersebut dan dapat menghambat pasukan Banten untuk menyerang
Sumedang. Konon masalah ini tidak disadari VOC pada waktu itu, bahkan
menganggap Sumedang sebagai kerajaan yang berdaulat.
Untuk memperkuat posisinya diluar wilayah
Sumedang, Rangga Gempol III juga mengadakan hubungan dengan penguasa
Batulajang (bagian selatan Cianjur), yakni Rangga Gajah Palembang, cucu
(mungkin juga putra) Dipati Ukur.
Langkah Rangga Gempol III selanjutnya, ia
menyerang wilayah pantai utara, seperti daerah Ciasem, Pamanukan dan
Ciparagi. Daerah tersebut sangat mudah dikuasai, bahkan di Ciparigi
ditempatkan pasukan Sumedang untuk mempersiapkan menyerang Karawang.
Langkah selanjutnya perluasan wilayah diarahkan ke Indramayu, namun
Indramayu segera mengakui Rangga Gempol III sebagai penguasa Indramayu.
Dari bertambahnya daerah kekuasaan Sumedang maka secara praktis daerah
pantai utara Jawa, kecuali antara Batavia dan Indramayu menjadi bawahan
Sumedang.
Serangan Banten
Kekhawatiran Rangga Gempol III terhadap
Banten terbukti ketika ia sibuk menaklukan pantai utara, sementara
Sultan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang.
Pada tahun 10 Maret 1678 pasukan Banten
bergerak untuk menyerang Sumedang melalui Muaraberes, memutar jalur
perjalanan dari Tangerang ke Patimun Tanjungpura, sehingga berhasil
lolos dari penjagaan VOC.
Perjalanan tersebut tiba di Sumedang pada
bulan Oktober, namun pasukan Banten tidak dapat menguasai Ibukota
Sumedang karena kokohnya pertahanan Rangga Gempol III. Dari pertempuran
yang memakan waktu kurang lebih satu bulan, pasukan Banten kehilangan
senapatinya yang tangguh, yakni Raden Senapati.
Kegagalan Banten pada serangan pertama
disebabkan huru hara di intern Kesultanan Banten, mengingat adanya
pertikaian antara Sultan Agung Tirtayasa yang memerlukan pasukannya
untuk menghadap putranya, yakni Sultan Haji yang dibantu Belanda,
sehingga pasukan Banten ditarik mundur dari Sumedang.
Untuk memperkuat posisinya Sumedang
meminta bantuan VOC, terutama senjata dan mesiu. Didalam buku rpmsJB
dijelaskan mengenai jalur pengiriman bantuan tersebut, melalui sebelah
utara Gunung Tampomas, yakni dari muara Ciasem dengan menggunakan rakit
sampai di Cileungsing, untuk kemudian dilakukan melalui jalan darat
(Hal. 52).
Bantuan VOC tersebut tidak mendapat
kompensi dari Sumedang, karena Rangga Gempol III tidak taat terhadap
janjinya ; tidak pernah datang ke Batavia untuk melakukan Sowan,
sebagaimana layaknya penguasa wilayah jajahan ; dan tidak pernah pula
memberi penghormatan atau upeti. Akibatnya, VOC menarik pasukannya dari
pantai utara. Namun ada versi lain yang mempertanyakan, apakah memang
penarikan pasukan VOC disebabkan Rangga Gempol ingkar janji, mengingat
kuatnya pasukan VOC yang sewaktu-waktu dapat menyerang Sumedang atau
dipersiapkan untuk membantu Sultan Haji yang sedang melakukan
pemberontakan di Surasowan.
Pasca menguasai pantai utara, Rangga
Gempol III mengalihkan perhatiannya untuk menguasai daerah kebupatian
yang dibentuk oleh Mataram, yakni Bandung, Parakan muncang, dan
Sukapura. Rangga Gempol III menguasai kembali seluruh daerah bekas
Sumedanglarang kecuali antara Cisadane dan Cipunagara yang telah
diserahkan oleh Mataram kepada VOC pada tahun 1677.
Kisah ini berbeda dengan apa yang ditulis
didalam buku rpmsJB jilid empat dijelaskan, bahwa : Rangga Gempol III
hanya menguasai 11 dari 44 daerah yang semula dikuasai Geusan Ulun.
Selebihnya sudah menjadi bawahan Bandung (8 daerah), Parakan Muncang (9
daerah) dan Sukapura 16 daerah (Hal. 57).
Kisah yang sama ditemukan pada versi
lain, namun hanya mengisahkan adanya perselisihan antara Rangga Gempol
III dengan para bupati yang dibentuk Mataram, yakni bupati Bandung,
Parakanmuncang dan Sukapura, sebagai dampak dihapusnya jabatan Wedana
Bupati yang semula di sandang Rangga Gempol III menjadi sejajar
statusnya dengan bupati lain yang ada di Priangan. Sementara Rangga
Gempol III masih menganggap para bupati tersebut sebagai bawahannya.
Kisah ini tidak sampai pada uraian tentang keberhasilan Rangga Gempol
menguasai kembali kabupatian di Priangan Tengah, karena hanya dikisahkan
sebatas “ada persilihan”.
Pada masa kekuasaan VOC disadari, bahwa
para bupati Priangan memiliki wibawa dan pengaruh terhadap rakyatnya.
Akan tetapi disadari pula, pengangkatan salah seorang bupati Priangan
untuk menjadi Bupati Kepala akan menimbulkan konflik diantara para
bupati seperti yang terjadi pada Vasaal Mataram. Atas dasar pertimbangan
ini kemudian VOC mengangkat bupati kepala yang berasa dari luar
Priangan. Oleh karena itu VOC mengangkat Pangeran Aria Cirebon untuk
menjadi Bupati Kepala (Bupati Kompeni), sebagaimana terdokumentasikan
didalam Besluit tanggal 19 Februari 1706. Bupati Kepala bertugas
mengawasi dan mengkoordinir bupati-bupati Priangan, agar mereka
melaksanakan kewajiban terhadap VOC secara tertib dan lancar
(Hardjasaputra – 2007).
KEKUASAAN VOC
Serangan Banten ke dua dilakukan pada
awal oktober 1678. Pada awalnya pasukan Banten merebut kembali
daerah-daerah yang dikuasai oleh Sumedang di pantai utara, Ciparigi,
Ciasem dan Pamanukan. Pada masa itu daerah-daerah tersebut sudah tidak
lagi dijaga pasukan VOC.
Penyerangan ke jantung kekuasaan Sumedang
terlebih dahulu dilakukan dengan mengepung Sumedang. Hal ini dalukan
oleh gabungan pasukan Banten, Bali dan Bugis, bertepatan pada awal bulan
puasa, hari jum’at tanggal 18 Oktober 1678. Konon kabar pasukan
gabungan tersebut di pimpinan oleh Cilikwidara dan Cakrayuda.
Pelaksanaan penyerangan dilakukan tepat Hari Raya Idul Fitri, ketika itu
Rangga Gempol III beserta rakyat Sumedang sedang melakukan Sholat Ied
di Mesjid Tegalkalong. Tentunya siapapun tidak akan ada yang pernah
menduga serangan tersebut akan dilakukan pada waktu shalat ied, apalagi
penyerang dan yang diserang sama-sama memiliki ciri islam yang kental.
Akibatnya banyak kerabat keraton dan rakyat Sumedang yang tewas, namun
Rangga Gempol berhasil meloloskan diri ke Indramayu.
Rangga Gempol III pada masa pelariannya
berupaya mengumpulkan sisa-sisa kekutan. Dengan bantuan dari Galunggung
pada akhirnya Sumedang dapat direbut kembali. Namun pada medio Mei 1679
Banten kembali menyerang Sumedang dengan pasukan lebih besar, akhirnya
Sumedang jatuh kembali ke tangan Banten, sementara itu Rangga Gempol III
terpaksa mundur kembali ke Indramayu.
Pendudukan Sumedang oleh pasukan Banten
hanya berlangsung sampai dengan bulan Agustus 1680, karena pasukan
Banten ditarik untuk mendukung Sultan Ageng Tirtayasa yang sedang
menghadapi Sultan Haji yang didukung oleh VOC. Dalam konflik ayah dengan
anak tersebut dimenangkan Sultan Haji. Menurut Untoro (2007) : sejak
masa kekalahan Sultan Ageung Tirtayasa oleh Sultan Haji, secara praktis
kedaulatan Banten runtuh, apalagi setelah ditandatanganinya perjanjian
pada tanggal 17 April 1984 (Hal. 41). Banten pada masa Sultan Haji tidak
lagi mengganggu Sumedang, bahkan Sultan Haji berjanji kepada VOC, bahwa
: Banten tidak akan mengganggu Cirebon dan Sumedang.
Pada tanggal 27 Januari 1681 Rangga
Gempol III kembali ke Sumedang. Kemudian pada bulan Mei 1681 Rangga
Gempol III memindahkan pusat pemerintahan dari Tegalkalong ke Regolwetan
atau daerah Sumedang (sekarang) dan membangun gedung Srimanganti (saat
ini menjadi Museum Prabu Geusan Ulun), namun tidak sempat disaksikannya,
karena pada tahun 1706 Rangga Gempol III wafat dan dimakamkan di Gunung
Puyuh.
Menurut buku rpmsJB, Rangga Gempol III
pernah mengirimkan surat kepada Gubernur Willem Van Outhoorn pada hari
Senin tanggal 2 Rabiul’awal tahun Je (4 Desember 1690) yang dicatat
didalam buku harian VOC di Batavia pada tanggal 31 Januari 1691. Isi
surat tersebut menuntut kepada VOC agar wilayah kekuasaannya dipulihkan
sebagaimana wilayah yang dikuasai Geusan Ulun, leluhurnya (rpmsJB, hal
57).
Pada perjanjian tanggal 5 Oktober 1705,
antara Mataram dengan VOC, wilayah Priangan Timur dan Cirebon diserahkan
kepada VOC, dengan demikian seluruh Jawa Barat dan Banten praktis
menjadi wilayah kekuasaan VOC, sedangkan Mataram diserahkan kepada VOC
pada tahun 1757.
Rangga Gempol III digantikan oleh
putranya Raden Tanumaja dengan gelar Adipati, bupati pertama kali yang
diangkat oleh VOC. Kemudian didalam salah satu piagamnya yang bertanggal
15 November 1684, VOC mengangkat kepala-kepala daerah di Priangan untuk
memerintah atas nama VOC. Pada peristiwa ini jumlah penduduk (cacah)
yang berada dibawah masing-masing wilayah sudah ditentukan serta
dijadikan ukuran kekuasaan para bupati. Hemat saya, hal ini dilatar
belakangi oleh kepentingan VOC untuk memaksimalkan potensi masing-masing
wilayah dalam mengelola hasil buminya, semakin produktif daerah
tersebut maka semakin besar penghasilan yang didapat VOC.
Menurut de Klein dan Natanegara didalam
Volks Almanak Sunda, masing-masing bupati tersebut memperoleh cacah,
sebagai berikut : (1) Pangeran Sumedang 1015 cacah ; (2) Demang
Timbanganten 1125 cacah ; (3) Tumenggung Sukapura 1125 cacah ; (4)
Tumenggung Parakanmuncang 1076 cacah ; (5) Gubernur Imbanagara 708 cacah
(6) Gubernur Kawasen 605 cacah (7) Lurang-lurah Bojonglopang 20 cacah
dan 10 Desa. (Hardjasaputra, hal. 32).
Referensi :
• Sumedang Larang (wikipedia, 17 Maret 2010).
• Sejarah singkat Kabupaten Sumedang – sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010.
• Rintisan masa silam sejarah
Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemeirntahan Propinsi
Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.
• Bupati Di Priangan – dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda 2004.
• Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar – Geger Sunten Bandung 2005.
Bupati Di Priangan, Kedudukan dan
Peranannya pada Abad ke-17 – Abad ke 19, A. Sobana Hardjasaputra, dalam
buku : Bupati di Priangan – dan Kajian lainnya mengenai Budaya Sunda
(Seri Sunda Lana), Pusat Studi Sunda, Bandung – 2004.
Sejarah singkat Kabupaten Sumedang, sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010.
Sumedang dari masa kemasa : sumedanglarang. blogspot.com, 16 Mei 2010.
Bupati Di Priangan, Kedudukan dan
Peranannya pada Abad ke-17 – Abad ke 19, A. Sobana Hardjasaputra, dalam
buku : Bupati di Priangan – dan Kajian lainnya mengenai Budaya Sunda
(Seri Sunda Lana), Pusat Studi Sunda, Bandung – 2004.
• Kapitalisme Pribumi Awal
Kesultanan Banten 1522 – 1684. Kajian Arkeologi Ekonomi, Heriyanti
Ongkodharma Untoro, Fakultas Ilmu Pengerahuan Budaya, Jakarta – 2007.
• Rintisan penelusuran masa
silam Sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat
Pemerintahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH
dkk, 1983 – 1984.
Di Kutip dari : GUNUNG SEPUH
Post a Comment
mohon gunakan email