Pesan Rahbar

KERAJAAN SUMEDANG LARANG

Written By Unknown on Wednesday, 10 December 2014 | 18:23:00

PENGANTAR

Nama Sumedang
Didalam cerita rakyat dikenal adanya sejarah penamaan Sumedang. Konon kabar pada suatu ketika Prabu Tajimalela melakukan tapabrata, untuk memperoleh petunjuk dari Sang Pencipta. Pada saat terbangun tiba-tiba mengucapkan kata : “Insun Medal Mandangan”, kemudian menjadi populer dengan sebutan Sumedang.

Didalam masyarakat beredar pula cerita yang mengabarkan, bahwa ucapan Sang Tajimalela tersebut terdiri dari dua kata, yakni “Insun medal; Insun madangan” dalam bahasa Indonesia berarti Aku dilahirkanan (lahir) ; Aku menerangi. Sumedang Larang dapat juga diartikan sebagai “tanah luas yang jarang bandingnya” (Su= bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya). Selain itu kata Sumedang bisa diambil juga dari kata Su yang berarti baik atau indah dan Medang adalah nama sejenis pohon, sekarang dikenal sebagai pohon Huru.

Dari sinilah kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang, selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.

Topografi
Sumedang saat ini merupakan daerah tingkat dua, terletak di sebelah Timur Propinsi Jawa Barat, secara geografis terletak pada posisi 107˚14’-108˚21’ Bujur Timur dan 60˚40’-70˚83’ Lintang Selatan. Berbatasan dengan Indramayu dan Subang di Sebelah Utara, Majalengka di Sebelah Timur dan Garut di Sebelah Tenggara serta Bandung di Sebelah Barat dan Selatan. Berjarak tempuh dari Ibukota Propinsi Jawa Barat, yakni Kota Bandung kurang lebih 45 km dan berada diantara dua kota tujuan wisata Bandung – Cirebon.
Sumedang disebut-sebut oleh Bujangga Manik didalam catatan pengembaraannya, diperkirakan ditulis pada abad 15 akhir atau awal abad 16. Catatatan Bujangga Manik ini oleh J. Noorduyn dianggap sebagai data Topografis Pulau Jawa dari sumber Sunda Kuno, berbentuk puisi naratif Sunda Kuna – naskah daun. Saat ini tersimpan di Perpustakaan Bodlein, Oxford (AS), sejak 1627 atau 1629. Tokoh Bujangga Manik kemudian diketahui seorang pangeran dari Pakuan (Bogor) yang memilih menjadi rahib Sunda.

Dalam perjalanan Bujangga Manik mencatatkan : “Sadiri aing ti inya – datang ka alas Eronan. Nepi aing ka Cinangsi, – meu(n)tas aing di Citarum. – ku aing geus kaleu(m)pangan, – meu(n)tas di Cipunagara, – ngalalar ka Tompo Omas, – meu(n)tas aing di Cimanuk, – ngalalar ka Pada Beunghar”. (sepergiku dari sana, – tiba ke wilayah Eronan. – Sesampai aku ke Cinangsi, – aku menyebrangi sungai Citarum. – semua itu telah kulalui, – menyebrang di sungai Cipunagara, – daerah Medang Kahiangan, berjalan lewat Tompo Omas, – aku menyebarang di sungai Cimanuk, – berjalan lewat pada Beunghar).

Ketika menanggapi catatan Bujangga Manik, buku “rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat menjelaskan, bahwa : didekat Gunung Tompo Omas terdapat kerajaan Medang Kahiyangan. Nama kerajaan ini tercatat dalam Carita Parahyangan sebagai salah satu sasaran yang diserang pasukan Cirebon dalam masa pemerintahan Surawisesa (Pen : pengganti Sri Baduga). Belum jelas apakah ada hubungan antara nama Medang Kahiyangan dengan Sumedang Larang.

Pada saat Bujangga Manik memasuki Medang Kahiyangan, menurut catatan lain, Sumedang Larang sudah berpusat di Cipameungpeuk. Mungkin juga perjalanan Bujangga Manik melalui sebelah utara Gunung Tampomas, mengingat Sumedang Larang terletak disebelah selatan Tampomas. Sekalipun belum diketahui adanya titik persamaan antara Sumedang Larang dengan Medang Kahiyangan namun kedua catatan tersebut cukup jelas menggambarkan, bahwa di daerah Sumedang pada abad tersebut sudah ada semacam pemerintahan, sekalipun masih sangat sederhana.

Fase Ageman
Sumedang Larang dalam catatan sejarah mengalami dua fase keyakinan. Pertama fase Hindu (mungkin juga Sunda wiwitan), dimulai sejak ada Tembong Agung sampai dengan Galuh, protektor Sumedang Larang dikalahkan Cirebon di Talaga. Sekalipun demikian perlu juga diperhitungkan adanya perkembangan agama Budha, seperti pengaruh dari Talaga (pusat Budhisme) atau ketika Bujangga Manik melakukan pengembaraan. Konon kabar ia seorang rahib.

Kedua fase Islam, dimulai pada tahun 1529 M, mulai disebarkan oleh Maulana Muhammad alias Sunan Panakaran, putra Maulana Abdurachman alias Pangeran Panjunan. Pangeran Panakaran pada tahun 1504 M menikah dengan seorang putri dari Sindangkasih, kemudian melahirkan seorang putra, diberi nama Ki Gedeng Sumedang, dikenal dengan sebutan Pangeran Santri. Kemudian Pangeran Santri menikah dengan Ratu Setyasih yang bergeralr Pucuk Umum, pewaris syah dari tahta Sumedanglarang.

Sumedang Larang didirikan oleh Prabu Resi Tajimalela, namun Sumedang Larang sebagai kelanjutan dari Tembong Agung – Himbar Buana yang dirintis oleh Prabu Guru Aji Putih. Kisah tembong Agung dengan Sumedang Larang sama halnya dengan sejarah Galuh. Semula dirintis oleh Resi Guru Manikmaya di Kendan, pada jaman Wretikandayun kemudian dialihkan kesuatu daerah, untuk kemudian diberi nama Galuh (permata).

Ada yang menarik dari keberadaan kerajaan di tatar Sunda, pada umumnya didirikan oleh para pemuka agama, sama seperti pendiri Tarumanagara (Sang Maharesi-rajadirajaguru), Kendan (Sang Resiguru), Galuh (Wretikandayun), Indraprahasta (Resi Sentanu), Talaga (Pusat Budhisme), Cirebon (pusat Islam). Mungkin juga kesejarahan demikian menggambarkan ciri pokok dari masyarakat Sunda dahulu yang religius, sehingga tokoh agama merangkap pula dengan pemerintahan.

Ciri lainnya adalah, pada awal penyebaran agama dan masuknya pengaruh baru, nyaris tidak nampak adanya benturan. Mungkin yang lebih jelas ketika masa Sang Bunisora dan Wastukancana, bahkan putra Sang Bunisora, atau kakak sepupu Wastukancana dikenal sebagai haji pertama di daerah Galuh sehingga dikenal dengan sebutan Haji Purwa Galuh. Demikian pula pada masa Sri Baduga. Sebagaimana kita ketahui penyebar agama Islam pertama di Jawa Barat adalah Walangsungsang, putra Sri Baduga, bahkan salah satu istri Sri Baduga alumnus dari pesantren Quro.

Fase Kekuasaan
Mencermati fase kekuasaannya, di Sumedang Larang mengalami beberapa fase. Pertama, fase raja-raja Sumedang Larang dimulai dari Praburesi Tajimalela ada juga yang menyebutkan mulai dari Prabu Guru Aji Putih sampai dengan Prabu Geusan Ulun (1578 – 1601 M). Pada masa ini Sumedang Larang memiliki kekuasaan yang mandiri, sekalipun memang terseling sebagai kerajaan daerah, mengingat berada dibawah daulat Galuh. Sumedang Larang pernah didaulat sebagai pewaris syah tahta Pajajaran, mengingat ia memiliki kandage lante, perlengkapan pakaian raja-raja Pajajaran yang di persembahkan Jayaperkosa, senapati Pajajaran kepada Geusan Ulun.

Fase kedua, fase Bupati Wedana dibawah daulat Mataram. Fase ini dimulai sejak berkuasanya Rangga Gede alias Rangga Gempol 1 yang berkuasa pada tahun 1601 – 1625 M. Suatu hal yang masih perdebatan umum tentang siapa Rangga Gempol I, apakah ia anak syah dari Geusan Ulun atau anak tirinya, mengingat ada berita yang santer menyatakan, bahwa sebelum Harisbaya dinikahi Geusan Ulun ia telah hamil. Namun apapun isue nya, sejak masa ini Sumedanglarang berada dibawah daulat Mataram dan pernah dihadiahkan kepada Belanda pada masa Amangkurat II. Masa kekuasaan dibawah Mataram berlangsung hingga kekuasaan Rangga Gempol III (1656 – 1676 M).

Fase ketiga, fase Bupati Wedana dibawah daulat Belanda (VOC) kemudian terselang oleh Inggris dan kembali lagi dibawah Belanda dan Jepang. Dimulai pada masa Dalem Tumenggung Tanumaja (1706 – 1709 M). Fase lainnya terjadi pasca Indonesia menyatakan kemerdekaan.

Pada masa lalu dikenal pula adanya eksistensi Pangeran Kornel yang berani menentang Daendels ketika membangun Cadas Pangeran yang banyak memakan korban jiwa rakyat Sumedang. Kemudian ada pula kisah yang terjadi pada tahun 1888. Ketika itu Bupati Pangeran Aria Suriaatmaja atau dikenal juga sebagai Pangeran Mekah mengungkapkan kepada Belanda, bahwa Belanda harus memberikan kemerdekaan bagi bangsa di Nusantara. Hal ini dapat diketahui melalui literatur yang beliau tulis dalam buku dengan judul: “Ditiung memeh hujan” (sedia payung sebelum hujan).

CIKAL BAKAL

Kisah Sumedang diceritakan tumbuh sejak seorang resi keturunan Galuh datang untuk bermukim di pinggiran Cimanuk, daerah Cipaku, Kecamatan Darmaraja, ada juga yang menyebutkan didaerah Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. Daerah-daerah tersebut telah ada pada abad kedelapan, dirintis oleh Cakrabuana. Konon kabar resi itu bernama Prabu Guru Aji Putih. Ia adalah putra Ratu Komara keturunan Wretikandayun (Galuh).
Prabu Guru Aji Putih menikah dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten), kemudian berputra ; sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, kedua Sakawayana alias Aji Saka, ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana.

Jika kisah ini ditelusuri lebih lanjut, tentunya masing-masing putra Wretikandayun dalam versi ini memiliki sejarahnya yang mandiri. Tokoh-tokoh tersebut tidak asing didengar telinga masyarakat tradisional Sunda, dikisahkan secara turun temurun melalui cerita lisan atau cerita pantun. Demikian pula tentang Prabu Guru Aji Putih, didalam kisah tradisional masyarakat Sunda, terutama yang hidup di tatar Parahyangan sangat meyakini bahwa cikal bakal berdirinya Sumedang Larang tidak dapat dilepaskan dari kerajaan sebelumnya, yakni Tembong Agung yang didirikan Prabu Guru Aji Putih.

Menurut catatan Pemda Sumedang : “Berdasarkan catatan sejarah yang ada, sebelum menjadi Kabupaten Sumedang seperti sekarang ini, telah terjadi beberapa peristiwa penting diantaranya : (1) Pada mulanya kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan bernama Kerajaan Tembong Agung dengan rajanya bernama Prabu Galuh Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang) ; (2) Pada masa pemerintahan Prabu Tuntang Buana yang juga dikenal dengan sebutan Prabu Tajimalela, Kerajaan Tembong Agung berubah nama menjadi kerajaan Sumedanglarang”. (http://www.sumedang. go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010).

Didalam versi lain dijelaskan tentang masalah ini, bahwa : ”Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.” (Sumedang Larang, wikipedia, 17 Maret 2010).

Sebutan untuk kata Sumedang Larang dapat juga diartikan sebagai “tanah luas yang jarang bandingnya” (Su=bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya).
Kemudian versi lainnya, seperti buku rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat dan Sejarah Jawa Barat yang ditulis Yoseph Iskandar, memaparkan : Kerajaan Sumedang Larang didirikan oleh Praburesi Tajimalela, berkedudukan di gunung Tembong Agung, menurut Carita Parahyangan disebut Mandala Himbar Buana, sedangkan Tajimalela disebut Panji Rohmayang putera Demung Tabela Panji Ronajaya dari daerah Singapura.

Penulis tidak menemukan eksistensi dari Prabu Guru Aji Putih didalam buku rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat. Buku tersebut langsung menuliskan Praburesi Tajimalela sebagai pendiri Sumedanglarang. Sementara didalam versi lain, Prabu Guru Aji Putih dianggap pendiri dan penguasa Tembong Agung, yang merupakan cikal bakal dari Sumedang Larang.
Mungkin juga kesejarahan Sumedang pada masa lalu tidak sedemikian dikenal sebagai mana masyarakat mengenal sejarah Sunda dan Galuh, karena kedua kerajaan tersebut dianggap sebagai sentra kekuasaan dan budaya Urang Sunda, atau karena Sumedang Larang statusnya sama dengan Talaga, kerajaan daerah yang tumbuh secara mandiri namun berada dibawah Galuh.

Tentang gelar yang Prabu Guru Aji Putih sebagaimana yang dilansir oleh Pemda Sumedang, tentunya menarik untuk ditelusuri lebih jauh tentang siapa Prabu Guru Aji Putih tersebut, mengingat istilah – gelar lengkap yang diberikan adalah Prabu Galuh Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang).
Sebutan Haji didepan Aji tidak pula disalahkan jika ditafsirkan bahwa Prabu Guru Aji Putih telah memeluk agama islam (Haji), bahkan disebut Aji Purwa Sumedang. Padahal secara resmi islam menjadi ageman penguasa Sumedang sejak tahun 1529 M, pasca Praburesi Tajimalela. Hal ini mengingatkan pada sebutan yang diberikan kepada Bratalegawa, salah seorang putra Sang Bunisora (Sunda – Galuh). Ia mendapat gelar Haji Purwa Galuh, karena dianggap sebagai Haji pertama dari Galuh.

Memang ada kaitannya gelar yang menggunakan Sumedang dengan para penguasa yang berasal dari luar Sumedang, seperti Mangkubumi Sumedang Larang, diberikan kepada Ki Gedeng Sindangkasih, putra dari Niskala Wastukencana penguasa Sunda Galuh, mengingat Sumedang berada di bawah Galuh. (Yoseph Iskandar). Kemudian ditemukan pula gelar Ki Gedeng Sumedang yang diberikan kepada Pangeran Santri (rintisan masa silam sejarah Jawa Barat). Namun kedua tokoh ini tidak ditemukan adanya data yang menyebutkan bahwa mereka pendiri dari Sumedang Larang.
Sebagai perbandingan masa, terlacak pula Praburesi Tajimalela diperkirakan memerintah pada tahun 1300 an (koropak 410), sedangkan Mangkubumi maupun Ki Gedeng Sumedang eksistensi nya disebut-sebut pada tahun 1500 an.

Pertanyaan kedua, apakah yang dimaksudkan Prabu Galuh Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang) orangnya sama dengan Haji Purwa Galuh (Galuh), mengingat versi ini menambahkan nama Galuh, yakni Prabu Galuh Hadji Adji Putih. Sekalipun demikian, para pemerhati sejarah pada umumnya sepakat, pada masa Prabu Guru Aji Putih, Sumedang memang masih berada dibawah protektorat Galuh dan belum ada pengaruh islam didalam pemerintahannya. Pengaruh islam mulai merebak ketika Galuh telah dikalahkan di Talaga oleh Cirebon, masa Susuhunan Jati. Sedangkan penguasa Sumedang pertama yang beragama islam adalah Pangeran Santri suami dari Setyasih – Pucuk Umum Sumedang.

Dari masing-masing versi sejarah yang dikisahkan diatas tentu pula tidak terlalu salah jika ada dua penafsiran tentang pendiri dari Sumedang Larang, yakni Prabu Galuh Haji Aji Putih disatu pihak dan Prabu Tajimalela dipihak lain. Mungkin akan sama dengan ambiguitas dalam menetapkan hari jadi Cirebon, apakah sejak masa Pangeran Walangsungsang mendirikan daerah Cirebon Larang atau ketika Syarif Hidayat menyatakan Cirebon sebagai Kesultanan yang merdeka dan melepaskan diri dari Pajajaran. Kedua tokoh tersebut terwadahi melalui penetapan hari jadi yang berbeda antara pemerintahan kota dan kabupaten.
Terhadap penetapan pendiri Sumedang Larang hemat saya perlu juga ditarik garis yang tidak menyalahi kesejatian dari sejarahnya. Pertama, keberadaan Sumedang Larang tidak dapat dipisahkan dari pendahulunya yang telah dirintis oleh Prabu Guru Aji Putih di Tembong Agung, kemudian berganti nama menjadi Himbar Buana. Kedua, istilah Sumedang Larang tidak dapat dipisahkan dari kisah Tajimalela yang mengucapkan kalimat “Insun Medal, Insun Madang”, sehingga menjadi kata Sumedang. Tajimalela dikenal pula sebagai cikal bakal yang melahirkan spirit Kasumedangan. Dengan demikian, jika dilihat dari sejarah eksistensi Sumedang telah dirintis sejak jaman Prabu Guru Aji Putih, sedangkan sebutan kata Sumedang Larang berawal dari jaman Praburesi Tajimalela. Hatur punten bilih lepat jujutanana.

MASA PRA ISLAM

Praburesi Guru Aji Putih
Seorang resi keturunan Galuh datang untuk bermukim di pinggiran Cimanuk, daerah Cipaku, Kecamatan Darmaraja. Daerah tersebut telah ada sejak abad kedelapan, dirintis oleh Cakrabuana. Konon kabar resi itu bernama Prabu Guru Aji Putih ini.
Berdasarkan versi rakyat Prabu Guru Aji Putih adalah putra Ratu Komara keturunan Wretikandayun (Galuh). Prabu Guru Aji Putih menikah dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten), kemudian berputra ; sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, kedua Sakawayana alias Aji Saka, ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana.

Sama dengan kisah Sang Maharesi Rajadirajaguru dari Tarumanagara yang disusun didalam rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat, lambat laun daerah tersebut menjadi daerah yang ramai. Sekalipun dengan struktur pemerintahan yang sederhana, untuk kemudian berdirilah Tembong Agung sebagai cikal bakal kerajaan tersebut di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja sekarang.
Prabu Guru Aji Putih disebut-sebut mulai eksis di daerah tersebut pada pertengahan abad kesembilan masehi. Namun jarak ini terlalu jauh jika dihubungkan dengan masa pemerintahan Sang Tajimalela versi buku rintisan penelusuran sejarah Jawa Barat. Mungkin juga tahun yang dimaksudkan adalah tahun Saka. Menurut buku rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (rpmsjb), sama halnya dengan yang dimuat dalam koropak 410, Sang Tajimalela sejaman dengan tokoh Ragamulya (1340 – 1350) yang berkuasa di Sunda Kawali, ia pun sejaman pula dengan Suradewata, Ayahanda Batara Gunung Bitung Majalengka. Mungkin alasan ini pula buku tersebut tidak menghubungkan eksistensi Prabu Guru Aji Putih dengan Tajimalela.

Praburesi Tajimalela
Konon kabar Praburesi Tajimalela naik tahta menggantikan ayahnya pada mangsa poek taun saka. Ia pun sangat menaruh perhatian pada bidang pertanian di sepanjang tepian sungai Cimanuk, peternakan dipusatkan di paniis Cieunteung dan pemeliharaan ikan di Pengerucuk (Situraja).

Prabu Resi Tajimalela dianggap sebagai tokoh berdirinya Kerajaan Sumedang Larang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung, ada juga yang menyebutkan Himbar Buana, dengan ibukota di Leuwihideung – Darmaraja. Konon kabar, istilah Sumedang berasal dari kata “Insun medal – insun madang”.
Sang Tajimalela mempunyai tiga putra, yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun. Menurut Layang (buku rsmsj menyebutnya naskah) Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya, yakni Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung untuk menjadi raja dan yang lain menjadi patihnya. Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja.

Sang Tajimalela memerintahkan kedua putranya untuk pergi ke Gunung Nurmala. Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda. Kisah selanjutnya diceritakan, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang, tetapi wilayah dan ibu kotanya harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung atau Prabu Lembu Peteng Aji tetap di Leuwi-hideung, menjadi raja sementara. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi.

Penerus Taji Malela
Prabu Gajah Agung dikenal pula dengan sebutan Atmabrata. Setelah menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Kemudian setelah wafat Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja.
Kisah Prabu Gajah Agung ketika mendapatkan tahtanya, sebagai mana didalam versi naskah Darmaraja, menurut buku rintisan masa silam sejarah Jawa Barat, mirip dengan kisah awal kerajaan Mataram menurut versi Babad Tanah Jawi. Untuk kemudian dari keturunan Ki Ageng Pamanahan ketiban pulung menjadi raja-raja di Mataram Islam.

Prabu Gajah Agung digantikan oleh putranya yang bernama Prabu Wirajaya, dikenal pula dengan nama Sunan Pagulingan, ia menjalankan pemerintahannya dari Cipameungpeuk.
Perpindahan ibu kota kerajaan ini bukan yang pertama kalinya, sejak masa Prabu Guru Aji Putih dan para penggantinya telah terjadi beberapa perpindahan ibu kota. Sama dengan ciri dari kerajaan lain di tatar Sunda, yakni Tarumanagara dan Sunda. Jadi wajar jika peninggalan raja-raja di tatar Sunda sulit ditemukan. Karena tidak memiliki tempat tinggal yang permanen.

Sunan Pagulingan mempunyai dua orang anak, pertama Ratu Istri Rajamantri yang menikah dengan Sri Baduga Maharaja dan pindah mengikutinya ke Pakuan Pajajaran. Kedua, bernama Mertalaya yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Karena ia berkedudukan di Ciguling maka ia pun diberi gelar Sunan Guling.

Tentang pernikahan Rajamantri dengan Sri Baduga tentunya membuahkan beberapa cerita rakyat, dikelak kemudian hari banyak yang menafsirkan bahwa penguasa Sumedang Larang adalah keturunan dari Sri Baduga Maharaja (Silihwangi).

Pasca meninggalnya Sunan Guling tahta Sumedang kelima dilanjutkan oleh putra tunggalnya, yaitu Tritakusuma atau Sunan Patuakan. Kemudian ia digantikan oleh Ratu Sintawati, putrinya, dikenal pula dengan sebutan Nyi Mas Ratu Patuakan. Ia menikah dengan Sunan Corenda, raja Talaga, putra dari Ratu Simbar Kencana dengan Kusumalaya putra Dewa Niskala. Sintawati menjadi cucu menantu penguasa Galuh.

Sunan Corenda mempunyai dua orang permaisuri, yakni Mayangsari, putri Langlang Buana (Kuningan), sedangkan dari Sintawati (Sumedang) memperoleh putri bernama Ratu Wulansari alias Ratu Parung, ia berjodoh dengan Rangga Mantri alias Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umum Telaga) putera Munding Surya Ageung, putra Sri Baduga. Sunan Gangsa kemudian ditaklukan Cirebon pada tahun 1530 M dan masuk islam. Putranya Sunan Wanaperih, menggantikannya sebagai bupati Talaga kedua bawahan Cirebon.
Sunan Corenda dari Sintawati mempunyai puteri bernama Setyasih, kemudian setelah menjadi penguasa Sumedang ia diberi gelar Pucuk Umum. Pada masa pemerintahannya (1529 M) islam sudah mulai berkembang di Sumedang, disebarkan oleh Maulana Muhamad alias Palakaran.

Masuknya pengaruh islam
Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya dari pesantren dan perilakunya sangat alim. Sejak itulah mulai penyebaran agama Islam di wilayah Sumedang Larang.

MASA ISLAM

Penyebaran islam di Sumedang
Pasca wafatnya Tirtakusuma atau Sunan Patuakan raja Sumedang Larang kelima, ia digantikan oleh Ratu Sintawati, putrinya yang bergelar Nyi Mas Patuakan. Pada masa pemerintahannya, atau kira kira tahun 1529 M agama islam mulai menyebar di Sumedang. Penyebaran islam di Sumedang dilakukan oleh Maulana Muhamad (Pangeran Palakaran).

Nyi Mas Patuakan kemudian menikah dengan Sunan Corenda, raja daerah Talaga, putra dari pasangan Ratu Simbar Kancana dan Kusumalaya (putra Dewa Niskala). Dari pernikahannya ini melahirkan seorang putri yang diberi nama Satyasih.

Pada saat di nobatkan sebagai penguasa Sumedang, Satyasih diberi gelar Ratu Pucuk Umum. Untuk kemudian menikah dengan Pangeran Santri, putra dari Maulana Muhammad (Pangeran Palakaran) dan Putri Sindangkasih (Majalengka).

Pernikahan
Sebagaimana diatas, Maulana Muhammad (Pangeran Palakaran) disebut-sebut sebagai penyebar islam pertama di wilayah Sumedang Larang. Ia putera Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan. Jika ditelusuri keatas, ia cucu Syekh Datuk Kahfi dan Ki Ageng Japura. 
Pada tahun 1504 M Pangeran Palakaran menikah dengan seorang putri Sindangkasih. Dari pernikahannya maka pada tahun 1505 M melahirkan seorang putra yang diberi nama Ki Gedeng Sumedang (Pangeran Santri).

Tentang putri Sindangkasih atau ibunda Pangeran Santri memang membuahkan beberapa kesimpulan. Apakah Pangeran Santri tersebut putra dari putri Sindangkasih (Ambetkasih) yang kemudian tilem, karena tidak mau memeluk agama islam, atau putri dari kerabat putri Sindangkasih ?. Mengingat penting untuk mencari benang merah dengan legalitas Pangeran Santri sebagai pewaris Sindangkasih.

Berdasarkan dari rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (rpmssjb) yang dimaksud putri Sindangkasih adalah yang berdomisili di Majalengka – dekat Kali Cideres, daerah ini pernah menjadi ibukota Majalengka. Penegasan ini perlu dilakukan karena sering kali kasaweur dengan kisah putri Sindangkasih dari daerah Beber Cirebon, yang dikenal dengan nama Ambetkasih, istri Sri Baduga Maharaja.
Sindangkasih di Majalengka yang dimaksud dikenal pula dengan sebutan Rambutkasih – saudara dari Munding Surya Ageung, keduanya pala putra dari Sri Baduga dan Ambetkasih. Penamaan Putri Sindangkasih bagi Ambetkasih dimungkin terjadi karena ia cucu dari Ki Gedeng Sindangkasih.
Kedua menurut riwayat Majalengka, Rambutkasih tidak mau menganut agama islam. Ia menghilang (tilem) tidak kelihatan jasadnya lagi. Ketika Pangeran Palakaran bersama istrinya (Nyi Armilah) menemuinya di Sindangkasih, ia tidak berhasil menemukannya. karena itulah Pangeran Palakaran menganjurkan istrinya (Nyi Armilah) menjadi penguasa di Sindangkasih.

Dari kisah tersebut memang ada sedikit ambigu. Karena ada versi lain yang mengatakan bahwa putri Sindangkasih dimaksud adalah Rambutkasih istri dari Pangeran Palakaran – ibunda Pangeran Santri. Namun versi lainnya memaparkan bahwa Nyi Armila (ibunda Pangeran Santri) memang putri Sindangkasih namun bukan Rambutkasih, melainkan kerabat atau putri dari Rambutkasih. Hal ini penting untuk diuraikan, kalau tidak maka dapat dikatagorikan adanya ‘coup’ terhadap kekuasaan yang syah di Sindangkasih.
Dari peristiwa itu rpmssjb menarik kesimpulan, bahwa : ”tokoh Nyi Armilah itulah ibunda Pangeran Santri, dan seandainya ia bukan putri Rambutkasih tentulah ia kerabat dekatnya yang menempati posisi sebagai ahli waris utama sehingga hak waris itu dapat diturunkan kepada puteranya, Pangeran Santri”.

Pangeran Santri
Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umum, kemudian ia menggantikan Ratu Pucuk Umum sebagai penguasa Sumedang.

Peristiwa diatas memiliki kemiripan dengan Kisah Tarusbawa, raja Sunda pertama (penerus Tarumanagara) yang menikah dengan Dewi Manasih putri Linggawarman raja Tarumanagara kedua belas, kemudian Tarusbawa bertahta. Selanjutnya kerajaan Tarumanagara lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Sunda. Mungkin karena Tarusbawa memindahkan ibukotanya kedaerah Sunda, tempat kelahirannya. Konon kabar daerah ini pernah dijadikan ibukota Tarumanagara ketika masa Pemerintahan Purnawarman. Peristiwa ini menginspirasi Wretikandayun untuk menyatakan Galuh memisahkan diri dari Sunda.

Menurut rpmssjb, Pangeran Santri dinobatkan sebagai penguasa Sumedang pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka (+ 21 Oktober 1530 M), bergelar Pangeran Kusumadinata I. Pangeran Santri dikisahkan pula bahwa ia murid dari Sunan Gunung Jati, sehingga, penobatannya sebagai penguasa Sumedang dimungkinkan ada kaitannya dengan perluasan kekuasaan Cirebon di Tatar Sunda, paling tidak Sumedang dapat dijadikan penyangga daerah Cirebon dari Pajajaran yang pada saat itu sedang mengalami ketegangan.

Kemungkinan ini tentunya akan lebih jelas jika menyitir pendapat buku rpmssjb selanjutnya, bahwa : “tiga bulan setelah penobatan Pangeran Santri, pada tanggal 12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 Saka, di keraton Pakungwati diadakan perjamuan “syukuran” untuk merayakan kemenangan Cirebon atas Galuh dan sekaligus pula merayakan penobatan Pangeran Santri. Hal itu menunjukan bahwa Sumedanglarang telah masuk kedalam linngkar pengaruh Cirebon. Pangeran Santri adalah murid Susuhunan Jati. Karena itulah posisi Sumedang lebih merupakan “satelit’ Cirebon”.

Pangeran Santri adalah penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam. Diperkirakan berkedudukan di Kutamaya Padasuka. Pada waktu itu daerah tersebut dijadikan sebagai Ibukota Sumedang Larang yang baru. Di Musium Geusan Ulun dijelaskan, bahwa memang telah ditemukan situs di Kutamaya, berupa batu bekas fondasi ‘tajug’ keraton Kutamaya.

Dari pernikahannya dengan Pucuk Umum, maka pada tahun 1558 M) lahir seorang putra, yang diberi nama Pangeran Angkawijaya. Dikelak kemudian hari ia bergelar Prabu Geusan Ulun. Namun suatu hal yang patut diteliti pula, bahwa Angkawijaya bukanlah satu-satu putra, karena didalam kisah lainnya masih ada putra-putra Pangeran Santri dan Pucuk Umum, yakni (1) Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun) ; (2) Kiyai Rangga Haji ; (3) Kiyai Demang Watang di Walakung ; (4) Santowaan Wirakusumah (Pagaden dan Pamanukan, Subang) ; (5) Santowaan Cikeruh ; (6) Santowaan Awiluar.

Pada masa pemerintahan Pangeran Santri memang hubungan kerajaan islam di Jawa Barat (Banten dan Cirebon) sedang berada dipuncak ketegangan dengan Pajajaran. Namun ketika Pajajaran runtuh (diperkirakan 8 Mei 1579 M) ia sehari-hari sudah tidak lagi memegang kendali Sumedang Larang sebagaimana layaknya kepala pemerintahan, karena usi lanjut.

Patut diperhitungkan, ketika Pangeran Santri sudah tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai penguasa Sumedang, apakah terjadi kekosongan kekuasaan atau telah ada penguasa panyelang, atau Geusan Ulun sudah menduduki tahta ?.

Dalam hal ini ada dua versi. Pertama menyatakan, Geusan Ulun dilantik sebelum wafatnya Pangeran Santri. Adapun pasca wafatnya Pangeran Santri ia diistrenan sebagai raja Sumedang Larang penerus syah tahta Pajajaran. Didalam peristiwa ini pula Kandage Lante diserahkan oleh Jayaperkosa. Kedua Geusan Ulun dilantik 13 bulan setelah wafatnya Pangeran Santri, mengingat umurnya masih masih sangat muda. Pelantikan ini sekaligus dikukuhkan sebagai penerus trah Pajajaran, dengan menerima Kandage Lante.
Pangeran Santri wafat pada bulan Asuji 1501 Saka atau diperkirakan bertepatan dengan tanggal 2 Oktober 1579, Ia di makamkan di Dayeuh Luhur, sedangkan Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.

Menurut rpmsjb, sebagai pengganti penguasa Sumedang Larang, 13 bulan kemudian, atau pada tanggal 10 bagian terang bulan Posya tahun 1502 Saka bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1580 M maka diangkatlah Pangeran Angkawijaya dengan gelar Pangeran Kusumadinata II, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Prabu Geusan Ulun.

PEWARIS PAJAJARAN

Angkawijaya atau Pangeran Kusumahdinata II, lebih dikenal dengan sebutan Geusan Ulun di nobatkan pada tanggal 10 bagian terang bulan Posya tahun 1502 Saka, bertepatan dengan tanggal 18 November 1580. Ia menggantikan Pangeran Santri yang wafat pada tahun 1579 M. 
Lajimnya seorang raja, biasanya memiliki simbul-simbul tertentu dari tradisi dikerajaannya sehingga dengan penguasaan simbol tersebut maka seorang raja akan lengkap mendapat legitimasi, baik secara de facto maupun de jure.

Sama dengan peristiwa yang dialami Geusan Ulun, pengganti Pangeran Santri. Ia bukan sekedar penguasa Sumedang Larang melainkan juga “diistrenan” sebagai pewaris syah tahta Pajajaran. Masalah ini menjadi sangat menarik untuk dibahas, mengingat saat itu eksistensi Cirebon dan Banten masih ada, bahkan selain memiliki kekuatan riil juga masih trah raja Sunda. 

Ada dua simbol yang dapat melengkapi pengesahan pelantikan raja-raja di Pajajaran, yakni : Mahkota raja dan atrbutnya (kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu) serta batu palangka, tempat dilantiknya raja-raja Pajajaran. Memang yang digunakan Angkawijaya pada saat pelantikannya adalah seperangkat Mahkota dan pakaian raja, sedangkan batu palangka telah diboyong Panembahan Yusuf ke Surasowan.

Didalam Pustaka Kertabhumi ½ dikisahkan :
 “Geusan Ulun nyakrawati mandala ning Pajajaran kang wus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang heneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang).
Kemudian ditegaskan pula, bahwa: “Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sirna Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di Parahyangan merestui Pangeran Geusan Ulun).
Simbol raja Pajajaran.

Pasca penyerangan Banten ke Pakuan dan Pakuan sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah (mungkin juga cerita komunitas Abah Anom didaerah Ciptarasa mulai dari sini), sebagian lagi mengungsi ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan, seperti Senapati Jayaprakosa atau Sanghyang Hawu, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.

Mahkota Raja Pajajaran
Ketika meloloskan diri dari Pakuan, Jayaperkosa membawa (menyelamatkan) Mahkota dan atribut raja Pajajaran ke Sumedang Larang, yang menjadi simbol raja Pajajaran. Atribut sebagai simbol yang perlu dimiliki raja-raja Pajajaran. Selain itu biasanya raja-raja Pajajaran diistrenan diatas batu Gilang batu gilang atau palangka batu sriman sriwacana.

Berakhirlah jaman Pajajaran (1482 – 1579), ditandai pula dengan diboyongnya Palangkan Sriman Sriwacana (Tempat duduk tempat penobatan tahta) dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu “mengharuskan” demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang “sah” karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.

Tentang sakralitas batu tersebut diceritakan pula dalam Carita Parahiyangan di beritakan sebagai berikut :
• Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka
• Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja
• Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima
• Punta Narayana Madura Suradipati,
• inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata

(Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana untuk Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata).

Batu Pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara Batu Ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon).

Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah Tahta Nobat yaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka itulah ia diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di Kabuyutan Kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa).

Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya Watu Gigilang. Kata Gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.

Kehancuran Pakuan berdasarkan versi Banten dikarenakan ada pengkhianatan dari “orang dalam yang sakit hati”. Konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia bertugas menjaga pintu gerbang dan membukanya dari dalam untuk mempersiapkan pasukan Banten memporakporandakan Pakuan. Benteng Pakuan akhirnya dapat ditaklukan. Penduduk Pakuan yang dengan susah payah membangun kembali kehidupannya pasca penyerangan kedua kembali dilanda bencana maut. Mereka dibinasakan tanpa ampun. keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati yang dijadikan simbol Pajajaran dibumi hanguskan.

Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah dengan keluarga keraton, ikut mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nilakendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.

Menurut legenda “Kadu Hejo”, di daerah Pulasari (tempat situs Purbakala) terdapat peninggalan seorang raja tanpa membawa mahkota. Ia kemudian memerintah sebagai raja pendeta, tetapi akhirnya dihancurkan oleh Pasukan Banten yang menyerang kerajaan itu.

Ketiadaan pakaian dan perangkat raja dimaksud dapat pula dikaitkan dengan cerita lain. Dalam kisahnya disebutkan bahwa mahkota dan pakain kerajaan Pajajaran disimpan di musium Sumedang (Musium Geusan Ulun). Menurut riwayat mahkota tersebut dibawa oleh Jaya Perkosa dari Pakuan dan adik-adiknya, yakni Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot, kemudian diserahkan untuk digunakan oleh Geusan Ulun pada saat pelantikannya. Dengan penggunaan perangkat tersebut maka Geusan Ulun dianggap syah sebagai pewaris tahta Pajajaran.
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Banten mengarahkan serangannya ke Pulasari, Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga. Namun pada akhirnya Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya gugur di Pulasari.

Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. : Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M).

Geusan Ulun Penerus tahta
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis).

Luas daerah Sumedang Larang pada masa Geusan Ulun dapat diteliti dari surat Rangga Gempol 3 yang ditujukan kepada Gubernur Jendral Willem Van Outhorn, yang dibuat pada tanggal 31 Januari 1691. Dalam surat tersebut ia meminta agar luas wilayah Sumedang dipulihkan sebagai jaman Geusan Ulun. Yang membawahi 44 penguasa daerah yang terdiri dari 26 Kandaga lante dan 18 umbul (menurut babad hanya 4 buah yang berstatus kanda lante). Pada waktu itu Rangga Gempol III hanya menguasai 11 dari Kandage Lante.

Jika dibentangkan dalam peta, daerah kekuasaan Geusan Ulun meliputi wilayah Kabupaten Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung. Sebelah timur berbatasan dengan garis Cimanuk – Cilutung dan Sindangkasih (Cideres – Cilutung), sebelah barat garis Citarum – Cisokan. Memang pada saat itu telah ada beberapa daerah yang masuk Cirebon, seperti Ciamis dan Majalengka yang direbut Cirebon dari Pajajaran pada tahun 1528 M, serta Talaga pada tahun 1530 M.

Sebagaimana diuraikan diatas, Geusan Ulun mendapat dukungan dari para Veteran Senapati Pajajaran, yakni Jayaperkosa dan adik-adiknya. Mereka merasa gagal mempertahankan pakuan dan berniat membangun kembali kejayaan Pajajaran melalui Sumedang Larang. Alasan ini pula yang menyebabkan mereka menyerakan perangkat dan simbol-simbol raja Pajajaran ke Sumedang Larang.

Didalam Pustaka Kertabhumi menjelaskan mengenai para senapati tersebut, bahwa :
 “Sira paniwi dening Pangeran Ghesan Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya” (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lainnya). Konon kabar para senapati tersebut masih keturunan Sang Bunisora (Sunda Galuh).

Suatu hal yang menarik tentang pelantikan Geusan Ulun, ketika itu ia masih berumur sangat muda (23 tahun), namun ia disepakati oleh 44 penguasa di tatar Parahyangan untuk menjadi penguasa Parahyangan. Padahal ayahnya sendiri, yakni Pangeran Santri tidak memiliki kekuasan yang luas demikian.

Tentunya ada suatu gerakan yang mampu meyakinkan para penguasa daerah untuk mengabdi kepada Geusan Ulun sebagai penerus tahta Pajajaran. Konon inilah salah satu keberhasilan Jayaperkosa dan saudara – saudaranya dalam upayanya mempersatukan puing-puing wilayah Pajajaran. Disini pula dapat dinilai tentang kebesaran pengaruh Jayaperkosa bersama adik-adiknya terhadap para penguasa di Parahyangan.
Menurut buku rpmsjb : “Dengan tokoh Jayaperkosa bersama adik-adiknya sebagai jaminan, para raja daerah Parahyangan dapat menerima dan merestui tokoh Geusan Ulun menjadi narendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna. Faktor Geusan Ulun dan faktor politik inilah yang mungkin yang telah “menunda” penobatan Geusan Ulun menjadi penguasa Sumedang Larang sampai setahun lebih sejak kemangkatan Pangeran Santri”.

Secara politis penobatan Geusan Ulun dapat diartikan sebagai suatu bentuk memproklamirkan kebebasan Sumedang dan mensejajarkan diri dengan Kerajaan Banten dan Cirebon. Selain itu menurut rpmsjb dapat pula disimpulkan adanya pernyataan, bahwa : “Sumedang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Pajajaran di Bumi Parahyangan. Mahkota dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh Senapati Jayaperkosa dari Pakuan dengan sendirinya dijadikan bukti dan alat legalisasi sama halnya dengan pusaka kebesaran Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak, Pajang, dan kemudian Mataram”.

Bahan Bacaan :
•  Sumedang Larang (wikipedia, 17 Maret 2010).
•  Sejarah singkat Kabupaten Sumedang (http://www.sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010
•  Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemeirntahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.
•  Bupati Di Priangan – dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda 2004.
•  Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar – Geger Sunten Bandung 2005.

PERISTIWA HARISBAYA 

Kisah Sumedang pada masa Geusan Ulun banyak dipengaruhi oleh akibat Peristiwa Harisbaya, seperti lepasnya daerah Sindangkasih (asal Pangeran Santri) menjadi wilayah Cirebon ; munculnya mitos-mitos yang berhubungan dengan Jayaperkosa (hanjuang, dago jawa, sindang jawa, penggunaan batik) ; dan berpindahnya ibukota Sumedang dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Kisah ini menjadi mitos yang kerap menimbulkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan sejarah di tatar Sunda umumnya dan khususnya sejarah Sumedang.

Pasca wafatnya Geusan Ulun sangat berpengaruh terhadap perjalanan sejarah tatar Sunda, sulit menarik benang merah untuk mengetahui kesejatian sejarah dan budayanya. Dalam buku History of Java misalnya, Raffles masih dibingungkan, apakah Sunda itu dialek atau bahasa yang mandiri. Mengingat pada masa itu di tatar Sunda sangat sulit menemukan jejak kejayaan Urang Sunda, bahkan berada di bawah daulat Mataram, dan satu persatu wilayah di tatar Sunda diserahkan kepada Kompeni Belanda. Tak cukup sampai disitu, Raffles menyimpulkan pula, bahwa : bahasa Sunda sebagai varian dari bahasa Jawa, bahkan ada juga yang menyebut bahasa Sunda sebagai “bahasa Jawa gunung dibagian barat”.

Nasib kesejarahan di tatar Sunda pasca kemerdekaan pun demikian, banyak sejarah yang dikisahkan, terutama yang berasal dari sejarah lisan tidak menemukan tumbu dengan titi mangsa peristiwanya, sehingga tak jarang dituduh memiliki catatan sejarah palsu, atau tuduhan “sejarahnya diciptakan oleh Belanda”.
Jika ditelusuri lebh lanjut, konon masalah ini dahulu hanya karena Suryadiwangsa, putra Geusan Ulun (ada juga yang menyebutkan putra tirinya), dari Harisbaya menyerahkan Sumedang tanpa syarat kepada Mataram. Penyerahan ini bukan hanya berpengaruh terhadap Sumedang, melainkan juga seluruh tatar Parahyangan. Padahal ketika Geusan Ulun diistrenan, ia dianggap dan di amanahkan sebagai pewaris syah tahta Pajajaran. Pada masa itu Sumedang menguasai sisa Pajajaran yang berada di tatar Parahyangan (selebihnya dikuasai Banten dan Cirebon), tak kurang dari 44 Kandaga Lante dan 8 umbul berada dibawah daulat Sumedang.

Peristiwa Harisbaya dan segala akibatnya diceritakan melalui beberapa versi, diantaranya babad Sumedang, babad Cirebon dan babad Limbangan. Namun masing-masing versi memiliki alasan, adakalanya muncul perbedaan didalam menuturkan peristiwanya. Namun tentunya, kita pun tidak perlu mengadili kebenaran masing-masing yang dikisahkannya, karena masing-masing memiliki paradima yang berasal dari keyakinan kebenaran yang dikisahkannya. Dan memiliki alasan sesuai dengan jamannya.

Makam Geusa Ulun

Kasus Harisbaya
Kisah Harisbaya dan akibat dari peristiwanya dituturkan didalam rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (rpmssJB), secara garis besar dituturkan sebagai berikut :
•  Didalam Pustaka Kertabumi I/2 dikisahkan, bahwa peristiwa Harisbaya terjadi pada tahun 1507 saka atau 1585 M. Pada peristiwa ini pusat kekuasaan islam tidak lagi di Demak, karena sejak tahun 1546, setelah huru hara Demak yang menewaskan Prawoto (Demak) dan Muhamad Arifin alias Pangeran Paseran (Cirebon) putra Susuhunan Jati maka kekuasaan beralih ke Pajang. Pada masa huru hara Demak Geusan Ulun belum lahir, ia lahir 12 tahun pasca peristiwa dimaksud atau pada 1558 M.

Peristiwa Demak yang menewaskan Muhamad Arifin alias Pangeran Paseran (Cirebon) menyebabkan Susuhunan jati (ayahnya) merasa sakit hati, iapun mendukung penobatan Hadiwijaya (Pajang). Tak cukup sampai disitu, Susuhunan Jati mengirimkan Panembahan Ratu, cicitnya untuk berguru kepada Hadiwijaya (selama 16 tahun), untuk kemudian ia dinikahkan dengan putri Hadiwijaya.

Pada tahun 1582 M hubungan antara Cirebon dengan Pajang menemukan kendala. Hadiwijaya berseteru dengan Sutawijaya, putra Ki Gedeng Pamanahan, bupati Mataram (islam). Hadiwijaya berhasil dikalahkan oleh Mataram, hingga ia pun tewas setelah terjatuh dari gajah. Panembahan Ratu, Sutawijaya dan keluarga keraton Pajang menghendaki agar Banowo, putra bungsu Hadiwijaya menggantikan ayahnya. Dipihak keluarga Trenggono dan kerabat keraton Demak menghendaki agar yang menggantikan Hadiwijaya adalah menantunya, putra Sunan Prawoto, yakni Arya Pangiri. Kemudian Arya Pangiri disepakati menggantikan Hadiwijaya, sedangkan Banowo menjadi bupati Jipang.

Kisah ini menggambarkan, bahwa pada saat peristiwa Harisbaya terjadi (1585 M) yang berkuasa adalah Arya Pangiri (Pajang), sedangkan Panembahan Senopati (Mataram) mulai berkuasa pada tahun 1586 M setelah ia menjatuhkan Arya Pangiri dari tahta. Pajang pun diserahkan kepada Sutawijaya.

Panembahan Ratu pada waktu itu telah menjadi menantu Hadiwijaya, sehingga Arya Pangiri menganggap Panembahan Ratu memiliki pengaruh untuk menentukan kelangsungan Pajang. Ketika Arya Pangiri masih berkuasa, untuk menetralkan sikap Panembahan Ratu yang pro terhadap Banowo, ia diberi hadiah Harisbaya, seorang putri Madura yang cantik. Konon peristiwa ini terjadi ketika Panembahan Ratu menghadiri pemakaman Hadiwijaya. Namun Arya Pangiri tidak mengetahui, bahwa Harisbaya telah menjalin cinta dengan Geusan Ulun.

Harisbaya sebenarnya tidak sedemikian mencintai Panembahan Ratu, bukan karena Panembahan Ratu telah berusia lanjut, ia diperkirakan berusia 38 tahun sedangkan Geusan Ulun 27 tahun, namun karena Harisbaya telah memiliki hubungan dengan Geusan.

Pertemuan Geusan Ulun dengan Harisbaya terjadi ketika Geusan Ulun sedang berguru dan masih berstatus putra mahkota. Jika dilihat dari masanya, dimungkinkan terjadi ketika Geusan Ulun berguru di Pajang bukan di Demak, mengingat sejak huru hara (1546 M) Demak telah kehilangan fungsinya, baik sebagai pusat kekuasaan maupun sebagai pusat perguruan islam. Keberadaan Geusan Ulung di Pajang sama halnya dengan Panembahan, menurut Kertabhumi I/2, waktu itu Pajang sangat bersahabat dengan Cirebon, Banten dan Sumedang. Jika saja Susuhunan Jati yang terkenal sebagai mahaguru agama islam mengirimkan Panembahan Ray untuk berguru kepada Hadiwijaya, Pangeran Santri pun tentu akan menganggap layak mengirimkan putranya (Geusan Ulun) untuk berguru kepada Hadiwijaya di Pajang.

Pertemuan Geusan Ulun dengan Harisbaya di Pajang dalam waktu yang cukup lama (menurut babad antara 5 sampai 5 tahun), tentunya wajar jika menimbulkan benih-benih cinta. Hingga pada suatu ketika Geusan Ulun harus pulang ke Sumedang (tahun 1580 M) untuk dinobatkan sebagai penguasa Sumedang, menggantikan ayahnya. Pada waktu pertemuan tersebut dimungkinkan telah ada janji dari Geusan Ulun kepada Harisbaya tentang pewaris tahtanya dikemudian hari, sehingga Harisbaya mau dipersunting Geusan Ulun, dan rela meninggalkan Panembahan Ratu.

Tujuan Geusan Ulun ke Pajang dipaparkan pula, bahwa dimungkinkan ia bukan hanya untuk berguru agama islam, sama halnya dengan Panembahan Ratu, melainkan berguru tentang ilmu kenegaraan dan ilmu perang dari Hadiwijaya, bahkan disana ia bukan sebagai “santri” melainkan sebagai “satria”. Hal ini berdasarkan pada alasan antara Hadiwijaya disatu sisi dan disisi lain Geusan Ulun (keturunan Pangeran Santri) dan Penambahan Ratu (keturunan Susuhunan Jati) memiliki mazhab yang berbeda. Hadiwijaya penganut madzhab Syiah Muntadar sedangkan Geusan Ulun dan Panembahan Ratu penganut madzhab Syafi’i.
Peristiwa Harisbaya dijamannya membuahkan perseteruan antara Cirebon dengan Sumedang. Menurut cerita dari Sumedang, terjadi peperangan antara Cirebon dengan Sumedang, dimenangkan oleh Sumedang. Berdasarkan Babad Pajajaran yang ditulis pada masa Pangeran Kornel menyebutkan, tentara yang dikerahkan Cirebon sebayak 2.000 orang, sebaliknya menurut sumber Cirebon diceritakan akibat peristiwa Harisbaya hampir terjadi perang di antara kedua negara, tetapi dapat dicegah melalui jalan kompromi, “talak” Ratu Harisbaya dari Penembahan Ratu ditukar dengan daerah Sindangkasih. Dan dalam cerita manapun kompromi ini memang ada disebutkan.

Menurut Babad Cirebon “masa idah” Harisbaya itu 3 bulan 10 hari dan pernikahannya dengan Geusan Ulun menurut Pustaka Kertabhumi I/2 dilangsungkan pada tanggal 2 bagian terang bulan waisak tahun 1509 Saka, bertepatan dengan tanggal 10 April 1587 M. Peristiwa ini dilakukan 2 tahun pasca Harisbaya dilarikan dari Cirebon ke Sumedang.

Menurut Babad
Didalam rpmssJB dijelaskan, bahwa : Peristiwa Harisbaya dalam cerita babad dimulai ketika Prabu Geusan Ulun pulang berguru dari Demak, ia didampingi empat senapatinya, Jayaperkosa bersaudara. Kemudian singgah di Keraton Panembahan Ratu penguasa Cirebon. Geusan Ulun bertemu dengan Ratu Harisbaya isteri kedua Panembahan Ratu yang masih muda dan cantik, puteri Pajang berdarah Madura. Harisbaya sangat tergila-gila dengan ketampanana Geusan Ulun, ia merayu Geusan Ulun untuk melarikan diri ke Sumedang. Geusan Ulun yang didukung empat senapatinya yang tangguh kemudian mengabulkan permintaan tersebut. Kemudian ditengah malam buta ia meloloskan diri dari Cirebon.

Pelarian ini diketahui, Cirebon kemudian memerintahkan prajurit bayangkaranya untuk menangkap mereka, namun pasukan tersebut berhasil dipukul mundur oleh Jayaperkosa dan adik-adiknya, hingga mereka tiba di Kutamaya dengan selamat. Konon kabar, daerah bekas pertempuran tadi kemudian diberi nama “Dago Jawa” dan “Sindang Jawa”.

Kisah lolosnya Harisbaya membuat kegelisahan Cirebon. Panembahan Ratu mengutus para telik sandi mencari keberadaan Harisbaya. Pada suatu hari dua orang mata-mata Cirebon memergoki Harisbaya yang sedang berbelanja di pasar. Informasi ini disampaikan segera ke Cirebon. Dalam merespon kondisi ini, Cirebon menyiapkan pasukannya untuk menyerang Kutamaya. Namun tidak pernah menemukan sasarannya karena di hadang oleh pasukan Sumedang yang dipimpin Jayaperkosa.

Dalam kisah babad, peperangan ini pula muncul mitos tentang Jayaperkosa dan pohon “hanjuang”. Konon kabar, sebelum berangkat menyambut musuh yang akan menyerang Sumedang, Jayaperkosa berwasiat, : Jika daun hanjuang itu masih segar, maka ia masih hidup (walagri), namun jika daunnya menjadi layu artinya ia telah gugur”. Karena asyiknya Jayaperkosa mengejar musuh ia tersesat. Saudara-saudaranya menduga, Jayaperkosa gugur, sekalipun hanjuan itu masih tetep segar. Nangganan, salah satu saudara Jayaperkosa segera menuju ke Kutamaya untuk membujuk Geusan Ulun agar segera mengungsi ke Dayeuh Luhur. Kemudian evakuasi pun terjadi.

Selanjutnya diceritakan, Jayaperkosa terkejut ketika mendapatkan Kutamaya telah kosong, sementara hanjuang yang ditanam Jayaperkosa masih segar. Ia pun sangat merah ketika mengetahui Geusan Ulun dan rombongannya telah pindah ke Dayeuh Luhur dan menganggap Jayaperkosa dan pasukannya telah di kalahkan Cirebon. Ia mendatangi Geusan Ulun untuk menanyakan pangkal soal kepindahannya ke Dayeuh Luhur, setelah mengetahui persoalannya, kemudian membunuh Nangganan. Ia pun berujar : “tidak akan mau mengabdi lagi kepada siapapun juga”. Konon sebelum menjelang akhir hayatnya ia pun berpesan agar dikuburkan dipuncak bukit dalam sikap duduk yang menghadap ke arah Kabuyutan. Namun ada juga kisah babad yang menceritakan, “Jayaperkosa tidak mau kuburannya menghadap ke arah kuburan Geusan Ulun”. Sekalipun yang terakhir ini masih perlu ditelaah lebih jauh, karena Jayaperkosa lebih dahulu wafat sebelum Geusan Ulun.
Lingga Jayaperkosa

Kemarahan Jayaperkosa
Didalam Babad Limbangan maupun Babad Sumedang peranan Jayaperkosa dimasa Geusa Ulum dicertikan panjang lebar. Menurut rpmssJB, dipaparkan : kedua babad itu seolah-olah menenggelamkan peran Geusan Ulun di Sumedang dan menjadikan babad tersebut sebagai riwayat hidup Jayaperkosa. Padahal Jayaperkosa dan adik-adiknya menganggap Geulan Ulun bukan penguasa biasa, sehingga Jayaperkosa menyerahkan perangkat pakain raja Pajajaran, serta menyerahkan 44 Kanda Lante dan 8 Umbul, sehingga Geusan Ulun ditatar Parahyangan dianggap pewaris syah tahta Pajajaran. Kedudukan Jayaperkosa sendiri menurut koropak 630 adalah Mangkubumi, jabatan itulah yang tertinggi namun berada dibawah raja.

Buku tersebut selanjutnya menjelaskan pula, : seandainya perselisihan antara Geusan Ulun itu memang ada, satu-satunya faktor yang beralasan untuk diketengahkan adalah kesediaan Geusan Ulun untuk menerima tawaran kompromi dari Panembahan Ratu melalui pertukaran talak Harisbaya dengan daerah Sindangkasih. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan Jayaperkosa yang ingin menebus kekalahan Pajajaran dari Banten dan Cirebon. Ketika masa Jayaperkosa, Cirebon dianggap paling lemah, karena Banten dan Pajang sedang terjadi permasalahan di internnya. Jayaperkosa menjamin pula segala akibat dari terjadinya kasus Harisbaya, bukan hanya untuk menyenangkan Geusan Ulun melainkan bertujuan membuka kembali “Perang Pakuan”. Dan memang pada waktu Sumedang sudah kuat.

Disisi lain Panembahan Ratu dianggap tokoh penting dalam penaklukan Pajajaran. Jayaperkosa juga beranggapan, bahwa Panembahan ratu akan merasa terhina jika istrinya dibawa orang lain dan kemudian ia menyerang Sumedang. Kalau saja Panembahan Ratu tidak menawarkan kompromi dan Geusan Ulun tidak menerima tawaran tersebut, diniscayakan rencana ini akan berhasil. Namun nampaknya Panembahan Ratu lebih realistis, ia lebih memilih mendapat kompensasi daerah Sindangkasih ketimbang harus memiliki Harisbaya, atau semacam memilih langkah memenangkan langkah politik dari pada masalah harga diri. Kompromi yang diterima Geusan Ulun menyebabkan kemarahan Jayaperkosa. Dan dari sinilah kemudian muncul mitos tentang Jayaperkosa.

Geusan Ulun wafat pada tanggal 7 bagian gelap bulan Kartika tahun 1530 Saka, bertepatan dengan 5 November 1608 M. Ia dimakamkan di Dayeuh Luhur. Sedangkan Jayaperkosa tinggalah Lingga yang ada di dataran tinggi Dayeuh Luhur, saat ini masih nampak menghadap kabuyutan, suatu wilayah Dangiang Sunda, tempat Urang Sunda dimasa lalu mempertahankan harga dirinya.

Terakhir
Adanya perbedaan penulisan kisah dalam babad dan kisah lainnya dimungkinkan berbeda, suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah paradigma dari para penulis dan petuturnya. Sangat tergantung keyakinannya ketika ia menuturkan atau mengisahkan. Sebagai generasi sesudahnya, kita tidak dapat begitu saja mengadili kebenaran dari masing-masing versi, atau menyalahkan paradigma para penulis dimasa lalu dengan paradigma kebenaran barat yang kadung menyeruak menjadi kebenaran kita saat ini.

Penafsiran kisah dan sejarah tersebut tentunya tidak lebih rumit dibandingkan dengan cara menafsirkan cerita pantun yang telah ada sebelum masa Sri Baduga. Cerita pantun tidak instan sebagai mana mencerna cerita komik atau sejarah lain, ia lebh rumit, penuh simbol-simbol yang perlu dimaknai. Padahal dari cerita pantun akan diketahui tentang budaya dari Urang Sunda “baheula”. Mungkin ini pula cara yang perlu digunakan dalam menafsirkan kesejarahan babad melalui pemaknaan dan membaca simbol-simbol budaya Sunda.
Untuk akhirnya, peristiwa Harisbaya dan segala akibatnya diatas mengajarkan pada generasi berikutnya tentang hidup dan pilihan hidup. Bagaimana suatu cita-cita besar dan masa depan dipertaruhkan hanya karena urusan pribadi. Pada akhirnya generasi yang akan datang menjadi tergadaikan. Disisi lain menggambarkan, bagaimana cita-cita dan harapan dipertahankan dan dijalankan, bagaimana pula pamadegan Urang Sunda dalam mempertahankan harga diri dan cita-citanya. Dan memang demikian seharusnya jika ingin bermartabat dan memiliki harga diri.

WEDANA BUPATI

Prabu Geusan Ulun merupakan raja Sumedang Larang pertama yang memiliki keabsyahan sebagai penerus tahta Pajajaran, setelah Jayaperkosa menyerahkan atribut raja Pajajaran dan 44 Kandaga Lante serta 4 umbul, namun ia juga raja terakhir dari Kerajaan Sumedang Larang, karena para penerusnya hanyalah setingkat bupati.

Geusan Ulun wafat pada tanggal 7 bagian gelap bulan Kartika tahun 1530 Saka, bertepatan dengan 5 November 1608 M, Ia dimakamkan di Dayeuh Luhur. Sebagai pengganti Geusan Ulun ditunjuk Pangeran Arya Suriadiwangsa putranya dari Harisbaya. Didalam Babad Pajajaran Pangeran Arya Suriadiwangsa disebut Pangeran Seda (ing) Mataram.

Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri, pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru ; istri kedua Ratu Harisbaya, dan istri ketiga Nyi Mas Pasarean. Namun yang menjadi pertanyaan sampai sekarang, alasan apakah yang mendorong Prabu Geusan Ulun memberikan tahtanya kepada Pangeran Aria Suradiwangsa, padahal ia anak dari istri kedua, bukan kepada Rangga Gede putanya dari istri pertama, sebagai kebiasaan yang dilakukan para raja sebelumnya.

Dugaan pemberian tahta kepada Suriadiwangsa dimungkin karena ada kesepakatan antara Geusan Ulun dengan Harisbaya, sehingga Harisbaya mau dinikahi dan meninggalkan Panembahan Ratu. Hal tersebut diuraikan di dalam buku rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (rpmsJB).

Menurut babad, Harisbaya tergila-gila oleh Geusan Ulun. Demikianlah waktu tengah malam ia meninggalkan suami yang tidur lelap disampingnya lalu masuk kedalam tajug keraton untuk mengajak Geusa Ulun melarikan diri ke Sumedang. Bila benar demikian keadaannya, Geusan Ulun tentu tidak perlu menjanjikan atau memberikan jaminan apa-apa kepada Harisbaya. Ternyata kemudian yang ditunjuk adalah putranya Harisbaya, padahal putra sulungnya adalah Rangga Gede putra Nyi Gedeng Waru istri Geusan Ulun yang pertama. Penunjukan Suryadiwangsa, putra Harisbaya tak mungkin terjadi tanpa pernah ada “jaminan” dari Geusan Ulun kepada putri Pajang berdarah Madura ini. Hal ini merupakan indikasi bahwa bukan hanya Harisbaya yang “tergila-gila” melainkan harus dua-duanya. Jaminan itu pula tentu yang mendorong Harisbaya berbuat nista sebagai istri kedua seorang raja. Di Cirebon tidak mungkin kedudukan “ibu suri” diperolehnya.

Pangeran Aria Suriadiwangsa
Tentang sirsilah dari Suriadiwangsa sampai sekarang masih membuahkan perdebatan, karena ada versi yang menjelaskan, : ketika Harisbaya dipersunting oleh Geusan Ulun, ia telah mengandung, sehingga Suriadiwangsa dianggap sebagai putra Panembahan Ratu, suami pertama Harisbaya.
Hardjasaputra, didalam bukunya tentang : Bupati Priangan, dijelaskan, bahwa : setelah Prabu Geusan Ulun wafat, pemerintahan Sumedang diteruskan oleh anak tirinya, Raden Aria Suriadiwangsa (1608-1624). Namun rpmsJB menjelaskan dengan menguraikan waktu peristiwa, bahwa : “Suriadiwangsa benar-benar putra dari Geusan Ulun. Menurut Babad Pajajaran, masa idah Harisbaya itu 3 bulan 10 hari. Jadi, idah bisa menunjukan bahwa waktu dilarikan, Harisbaya tidak dalam keadaan mengandung.”

Dalam pembahasan rpmsJB sebelumnya menjelaskan pula, bahwa : “menurut Pustaka Kertabhumi I/2 peristiwa pelarian Harisbaya terjadi pada tahun 1507 Saka atau 1585 Masehi, sedangkan pernikahan Geusan Ulun dengan Harisbaya terjadi pada tanggal 2 bagian terang bulan Waisaka tahun 1509 Saka (kira-kira 10 April 1587), jadi ada selisih waktu dua tahun lamanya sejak Harisbaya dilarikan dari Pakungwati ke Sumedang dengan pelaksanaan pernikahannya”. Disisi lain tidak pernah ditemukan adanya kisah yang menjelaskan, bahwa Suriadiwangsa dilahirkan sebelum Harisbaya dinikahi oleh Geusan Ulun. Kiranya memang Suryadiwangsa adalah putra dari Geusan Ulun.

Pada masa pemerintahan Suriadiwangsa ada dua peristiwa yang berpengaruh terhadap sejarah Sumedang, yakni penyerahan Sumedang kepada Mataram pada tahun 1624 M, dan masalah yang terkait dengan penyerangan Mataram ke Madura. Pada tahun yang sama Pengeran Arya Suriadiwangsa wafat, sehingga banyak yang menafsirkan ia dijatuhi Hukuman Mati oleh Sultan Agung (Mataram).

Berserah Ke Mataram
Pada mulanya diwilayah Priangan hanya ada dua daerah yang berdiri sendiri, yakni Sumedang dan Galuh. Sumedang muncul setelah Kerajaan Sunda (Pajajaran) diruntuhkan oleh Banten (1579). Sumedang Larang menggantikan kekuasaan Pajajaran di Parahyangan ketika masa Geusan Ulun, sedangkan Galuh telah lebih dahulu direbut Cirebon dalam peperangan 1528 – 1530 M, kemudian menjadi Kabupaten sendiri yang berada dibawah daulat Cirebon.

Menurut Hardjasaputra : “Pada tahun 1595 Galuh dikuasai oleh Mataram dibawah pemerintahan Sutawijaya (Panembahan Senopati) yang memerintah Mataram pada tahun 1586 – 1601”. Sedangkan Sumedang Larang setelah wafatnya Prabu Geusan Ulun digantikan oleh Raden Aria Suriadiwangsa.
Penyerahan Sumedang Larang kepada Mataram tentunya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan politik negara disekitar Sumedang Larang, seperti Mataram dan para penguasa di sekitar Jawa Barat (Banten, Cirebon) dan Kompeni Belanda yang selalu berupaya menguasai Nusantara.

Kekuasaan Sumedang Larang pada waktu sebelumnya, yakni pada masa Prabu Geusan Ulun, dianggap berhak meneruskan Pajajaran. Hal ini dibuktikan pada saa diistrenan Geusan Ulun menggunakan atribut raja-raja Pajajaran, ia pun diserahi 44 Kandaga Lante dan 8 Umbul, namun suatu yang tidak dapat disangkal lagi jika ia pun merupakan penguasa Sumedang Larang terakhir yang merdeka, terlepas dari negara lain, karena pasca wafatnya Prabu Geusan Ulun maka Sumedang Larang menjadi suatu daerah setingkat kabupaten yang berada dibawah daulat Mataram.

Pada masa pemerintahan Suriadiwangsa kekuasaan Mataram telah dipegang oleh Sultan Agung (1613-1645 M), Mataram (islam) mengalami masa kejayaannya dan menjadi negara yang kuat. Pada masa inilah Sumedang diserahkan kepada Mataram (1620 M).

Banyak kisah yang menjelaskan tentang alasan Pangeran Aria Suriadiwangsa menyerahkan Sumedang menjadi dibawah daulat Mataram. Paling tidak ada yang menarik dari versi yang bersebarangan ini tentang akibatnya dari pernikahan Harisbaya dengan Geusan Ulun, terutama kaitannya dengan posisi Pangeran Aria Suriadiwangsa, sebagai putra tiri atau anak kandung “pituin” Geusan Ulun.

Hardjasaputra (hal.21) menjelaskan, bahwa : “Ada dua faktor yang mendorong Pangeran Aria Suriadiwangsa bersikap demikian. Pertama, ia merasa bahwa Sumedang Larang terjepit diantara tiga kekuatan, yaitu Mataram, Banten, dan Kompeni (Belanda) di Batavia. Oleh karena itu, ia harus menentukan sikap tegas bila tidak ingin menjadi bulan-bulanan dari ketiga kekuatan tersebut. Kedua, ia masih mempunyai hubungan keluarga dengan penguasa Mataram dari pihak ibu Harisbaya (menurut Widjajakusumah dan R. Moh. Saleh, Ratu Harisbaya adalah saudara Panembahan Senopati, raja Mataram tahun 1586-1601/pen).
Alasan Hardjasaputra diatas yang tidak memperhitungkan adanya kekhawatiran Sumedang Larang terhadap Cirebon, mengingat ia berpendapat bahwa Pangeran Aria Suradiwangsa adalah bukan putra Geusan Ulun, melainkan putra Harisbaya dari Panembahan Ratu Cirebon, sehingga tidak mungkin Cirebon menyerang Sumedang.

Hal tersebut berlainan dengan pendapat para penulis rpmsJB yang meyakini Pangeran Arya Suriadiwangsa adalah asli anak Harisbaya dari Geusan Ulun. Penafsiran rpmsJB ini berakibat pula ketika memberikan alasan tentang penyerahan Sumedang kepada Mataram. Menurutnya : “Suriadiwangsa menyerah tanpa perang kepada Mataram. Hal ini merupakan bukti bahwa Sumedang sebenarnya lemah dalam kemiliteran. Salah satu penyebabnya ia kebiasaan rajanya mendirikan ibukota yang baru bagi dirinya. Pemerintahnya tak pernah mapan karena tiap ganti raja pusat kegiatannya selalu berpindah. Faktor lainnya yang mendorong Sumedang menyerah “secara sukarela” (prayangan) adalah menghindari kemungkinan adanya serangan dari Cirebon”.

Kekhawatiran terhadap serangan Cirebon tentunya sebagai akibat, pertama, peristiwa Harisbaya menyebabkan perseteruan Cirebon (Panembahan Ratu) dengan Sumedang (Geusan Ulun). Kedua, kekhawatiran Suriadiwangsa terhadap Mataram akan membantu Cirebon karena ada kekerabatan Mataram dengan Cirebon, Permaisuri Sultan Agung adalah Putri Ratu Ayu Sakluh kakak Panembahan Ratu, maka dengan berlindung dibawah Mataram diniscayakan Cirebon tidak akan menyerang Sumedang.
Penyerahan Sumedang kepada Mataram tentunya disambut baik oleh Sultan Agung. Dari persitiwa ini maka seluruh wilayah Priangan ditambah Karawang praktis menjadi bawahan Mataram. Dan Sultan Agung memproklamirkan ini kepada Kompeni. Dengan demikian di Jawa barat hanya Banten dan Cirebon yang masih dianggap memiliki kedaulatan.

Tentang status penguasa Sumedang pasca penyerahan kekuasaan kepada Mataram dijelaskan, sebagai berikut : “ untuk mengawasi wilayah Priangan dan mengkoordinasikan para kepala daerahnya, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suriadiwangsa menjadi Bupati Priangan (1620-1624 M) sekaligus bupati Sumedang, dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, yang terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I. Sejak itulah di Priangan terdapat jabatan atau pangkat bupati, dalam arti kepala daerah, dengan status sebagai pegawai tinggi dari suatu kekuasaan”. (Hardjasaputra, hal 22).

VASSAL  MATARAM

Hukuman Mati
Penyerahan Sumedang menjadi bawahan Mataram tentunya bertujuan agar Sumedang dapat dilindungi oleh Mataram dari gangguang luar. Konsekwensi logis dari penyerahan ini adalah harus tunduknya para penguasa Sumedang terhadap titah Mataram. Dilain sisi, Sultan Agung memilki strong leadership, jika suatu misi yang diperintahkannya tidak berhasil maka ia tak segan-segan untuk memberikan punishment (hukuman).
Dari kisah Sumedang paling tidak ada dua orang Wedana Bupati yang dikenakan punishment hukuman mati oleh Sultan Agung, yakni Pangeran Aria Suriadiwangsa atau Rangga Gempol I (jika memang benar ia dihukum mati) dan Dipati Ukur.

Rangga Gempol I
Pada tahun 1624 Rangga Gempol I diperintahkan oleh Sultan Agung untuk menaklukan Madura, namun setelah Madura ditaklukan Mataram, pada tahun yang sama Rangga Gempol I wafat di Mataram.
Peristiwa tersebut menimbulkan beberapa spekulasi. Ada yang menyatakan kematian Rangga Gempol I di Mataram akibat dihukum mati oleh Sultan Agung, sementara pendapat lain menyatakan bahwa misi yang ditugaskan kepada Rangga Gempol I dianggap berhasil, karena sekalipun terjadi peperangan dan pasukan Madura sangat gigih bertahan, namun Madura dapat ditaklukan Mataram.

Dari salah satu sumber Sumedang menjelaskan, bahwa : “Pada tahun 1624 Rangga Gempol diminta Sultan Agung untuk membantu menaklukan Sampang Madura. Jabatan Bupati di Sumedang sementara dipegang oleh Rangga Gede.

Penaklukan Sampang oleh Rangga Gempol tidak melalui peperangan tetapi melalui jalan kekeluargaan karena Bupati Sampang masih berkerabat dengan Rangga Gempol dari garis keturunan ibu, Harisbaya, sehingga Bupati Madura menyatakan taat kepada Pangeran Rangga Gempol. Atas keberhasilnya Rangga Gempol tidak diperkenankan kembali ke Sumedang oleh Sultan Agung, sampai sekarang ada kampung bernama Kasumedangan yang dahulunya merupakan tempat menetap para bekas prajurit Rangga Gempol dari Sumedang. Pangeran Rangga Gempol wafat di Mataram dimakamkan di Lempuyanganwangi”.
Didalam catatan sejarah lain, menjelaskan, bahwa : Di Madura terdapat lima kerajaan, yakni Arosbaya, Sampang, Balega, Pamekasan dan Sumenep. Kelimanya bersatu untuk menghadapi serbuat Mataram, ketika itu pasukan Mataram dipimpin oleh Tumenggung Sujonopuro. Pasukan Madura berhasil menahan laju serangan Mataram, bahkan Tumenggung Sujonopuro tewas pada serangan malam hari yang dilakukan pasukan Balega. Pada serangan kedua akhirnya pasukan Madura dapat dikalahkan.

Dalam peristiwa tersebut memang Rangga Gempol berhasil membujuk bupati Sampang untuk menyerah secara damai, namun ia tidak berhasil membujuk bupati lainnya, sehingga terjadi perang hebat. Peristiwa ini dimungkinkan ditafsirkan sebagai kegagalan Rangga Gempol I menjalankan misinya, ia dijatuhi hukuman mati. Karena memang Sultan Agung selalu menghukum para bawahannya yang gagal melaksanakan tugas.
Pendapat yang berbeda, seperti yang dimuat didalam rpmsJB, menyatakan, bahwa : pada tahun yang sama ia dihukum mati di Mataram, bukan karena tidak berhasil menjalankan misinya, namun menurut rpmsJB yang menyimpulkan dari Rutjatan Sadjarah Sumedang memaparkan, bahwa: keberhasilan Rangga Gempol tersebut menjadikan ia sombong dan sesumbar, tanpa Sultan Agung pun ia mampu menaklukan Madura. Ucapannya terdengar oleh Sultan Agung, alasan inilah yang menyebabkan ia dihukum pancung.

Pada saat Rangga Gempol I menjalankan misinya ke Madura, jabatan Wedana Bupati Priangan dikuasakan kepada Rangga Gede, adiknya. Pangeran Dipati Rangga Gempol I meninggalkan 5 putera – putri, salah satunya anak pertama Raden Kartajiwa / Raden Soeriadiwangsa II yang menuntut haknya sebagai putra mahkota. Akan tetapi Rangga Gede menolaknya sehingga Raden Soeriadiwangsa II meminta bantuan kepada Sultan Banten untuk merebut kabupatian Sumedang dari Rangga Gede. Dalam suatu serangan, Rangga Gede tidak mampu menahan laju serangan Banten dan melarikan diri ke Mataram, sehingga ia diberikan sanksi politis dan ditahan di Mataram.

Kisah ini agar berbeda dengan versi lainnya. Menurut sumber Sumedang dijelaskan, bahwa serangan Banten ke Sumedang untuk memenuhi permintaan Raden Suriadiwangsa terjadi pada masa Pangeran Panembahan (1656 – 1706). Namun dalam catatan sejarah manapun, bahwa pada peristiwa ini memang Rangga Gede tidak sanggup menahan pemberontakan Suradiwangsa II, iapun melarikan diri ke Mataram. Sedangkan jabatan Wedana Bupati oleh Sultan Agung diserahkan kepada Dipati Ukur.

Dipati Ukur
Kegagalan Rangga Gede mengakibatkan Sultan Agung menyerahkan jabatan Wedana Bupati Priangan kepada Wangsanata yang dikenal dengan sebutan Dipati Ukur, penguasa tanah Ukur yang berpusat di Bandung Selatan (Krapyak). Ketika itu kekuasaan Dipati Ukur membawahi wilayah Sukapura, Sumedang, Bandung, Limbangan, sebagian daerah Cianjur, Karawang, Pamanukan dan Ciasem. Dipati ukur berasal daerah Purbalingga (Banyumas), ia menikah dengan Nyi Gedeng Ukur, putri Umbul Ukur. Kedudukannya sebagai Dipati Ukur karena menggantikan jabatan mertuanya.

Sultan Agung pada tahun 1628 memerintahkan Dipati Ukur untuk menyerang benteng Batavia, namun Dipati Ukur mengalami kegagalan dan ia tidak melaporkan ke Mataram, akibatnya ia di cap melakukan pemberontakan.

Tentang kisah Dipati Ukur, Soeria di Radja (1927) menemukan delapan versi, tentunya ada persamaan dan ada perbedaannya. Versi-versi tersebut, seperti dari Sumedang, Bandung Sukapura, Galuh, Banten, Talaga, Mataram dan Batavia (Hardjasaputra, 23). Mungkin jika saat ini diinventaris akan lebih banyak lagi, baik yang bersumber dari hasil penelitian sejarah maupun dari kepustakaan.

Versi sejarah resmi di terbitkan pada tahun 1990 an, diperuntukan bagi konsumsi anak-anak pelajar SMP Kelas 3 di Jawa Barat, diterbitkan Geger Sunten – 1990. Buku tersebut menjelaskan sebab musabab Dipati Ukur melakukan pemberontakan, sangat jarang diuraikan didalam sejarah dan catatan lainnya, kecuali kegagalan Dipati Ukur melakukan serangan kebenteng Batavia yang menyebabkan pembangkangan serta penangkapannya yang dilakukan oleh para umbul Priangan.

Didalam buku sejarah tersebut (hal 78) intinya menjelaskan, bahwa : Sultan Agung melihat adanya kekuatan Kumpeni Belanda di Batavia yang berhasil menyaingi Banten, ia mengajak Kumpeni untuk menaklukan Banten dan ditolak Kumpeni. Sultan Agung kemudian meminta kepada Kumpeni agar diakui sebagai pertuanan atas wilayah Jayakarta, ditolak Kumpeni. Pada tahun 1624 M ia pun meminta kepada Kumpeni untuk bersama-sama menaklukan Surabaya, juga ditolak Kumpeni, kemudian mendorongnya untuk menyerah Batavia dan mengusir Kumpeni dari daerah perbentengan di Batavia. (Hal. 78).

Pada tahun tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Dalam catatan sejarah pada umumnya hanya disebutkan, bahwa Dipati Ukur gagal menunaikan tugasnya dan ia melakukan pembangkangan karena takut dihukum. Jarang diuraikan penyebab kegagalannya sebagai akibat komunikasi antara Dipati Ukur dengan Tumenggung Bahureksa.
Gelombang serangan pertama Mataram dilakukan melalui laut, dipimpin Tumenggung Bahureksa, selain itu Sultan Agung memerintahkan pasukan Priangan untuk membantu serangan melalui darat yang dipimpin oleh Dipati Ukur. Kedua pasukan tersebut ditentukan untuk bertemu di Karawang. Ternyata pasukan Priangan lebih dahulu tiba di Karawang.

Setelah ditunggu satu minggu pasukan Bahureksa belum juga tiba, pada akhirnya Dipati Ukur berinisiatif menyerah Batavia tanpa bantuan pasukan Bahureksa. Pasukan Dipati Ukur berhasil dipukul mundur, karena tidak cukup kuat untuk menyerang benteng Batavia yang sangat kokoh. Selang beberapa saat pasukan Bahureksa tiba di Karawang, namun ia tidak menjumpai pasukan Dipati Ukur. Dengan sangat marah ia pun menyerang benteng Batavia, ia pun berhasil di pukul mundur dan kembali ke Mataram.

Sultan Agung sangat marah atas kegagalan ini, ia memerintahkan pasukan Mataram untuk memanggil Dipati Ukur. Sayangnya pasukan Mataram tidak menemukan Dipati Ukur di krapyak, karena saat itu Dipati Ukur masih memusatkan kekuatannya diperbatasan Jayakarta untuk menyerang benteng Batavia kembali. Namun ia mendapat laporan dari salah satu wanita penduduk Tatar Ukur yang berhasil meloloskan diri, bahwa : pasukan Mataram di tatar ukur melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh dan mengganggu kehormatan wanita-wanita. Kondisi inilah yang memicu pemberontakan Dipati Ukur. Berkat bantuan tiga orang umbul Priangan, yakni : Kiwirawangsa Umbul Sukakerta ; Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti ; Ki Somahita Umbul Sindangkasih, pihak Mataram dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur pada tahun 1632.

Hal yang patut diketahui, bahwa : dengan dikuasainya wilayah Priangan oleh Mataram, maka kedudukan penguasa daerah di wilayah itu menjadi turun derajatnya, dari bupati dalam arti raja yang berdaulat penuh atas daerah dan rakyatnya, menjadi bupati vassal dalam arti pejabat tinggi yang wajib mengabdi kepada raja Mataram.

Kisah penangkapan Dipati Ukur yang selama ini kita dilakukan oleh tiga umbul Priangan, namun Naskah Leiden Oriental menjelaskan Dipati Ukur ditangkap oleh Bagus Sutapura (Adipati Kawasen) untuk kemudian dibawa ke Galuh. Naskah tersebut ditulis oleh Sukamandara yang pernah menjadi Jaksa di Galuh. Peristiwa penangkapannya menurut Prof. DR. Emuch Herman Somantri terjadi pada hari Senin tanggal 1 bulan Jumadil Awal 1034 H sekitar pertengahan tahun 1632.

Kisah penangkapan Dipati Ukur oleh Bagus Sutapura diuraikan didalam Sejarah Galuh, disusun oleh Raden Padma Kusumah. Naskah ini disusun berdasarkan naskah yang dimiliki oleh Bupati Galuh R.A.A Kusumah Diningrat 1836-1886 M, bupati Galuh R.T Wiradikusumah 1815 M dan R.A Sukamandara 1819 M. Naskah tersebut antara lain menjelaskan, sebagai berikut :
255 : Heunteu kocap dijalanna – Di dayeuh Ukur geus Neupi – Ki Tumenggung narapaksa – Geus natakeun baris – Gunung Lembung geus dikepung – Durder pada ngabedilan – Jalan ka gunung ngan hiji -Geus diangseug eta ku gagaman perang.
256 : Dipati Ukur sadia – Batuna digulang galing – Mayak – Gagaman di lebak – Rea anu bijil peujit – sawareh nutingkulisik – Pirang-pirang anu deungkeut – kitu bae petana – Batuna sok pulang panting – Ki Tumenggung Narapaksa rerembugan
257 : Urang mundur ka Sumedang – Didinya Urang Badami – Nareangan anu bisa – Nyekel raheden Dipati – Bupati pada mikir – Emut ku Dhipati galuh – Ka Ki bagus Sutapura – Waktu eta jalma bangkit – Seg disaur ana datang diperiksa
258 : Kyai bagus Sutapura – Ayeuna kawula meureudih – Dipati Ukur sing beunang – Ditimbalan dijeng gusti – Nanging kudu ati-ati – Perkakasna eta batu – Gedena kabina-bina – Dikira sagede leuit – Dingaranan Batu Simunding lalampah.
259 : Kyai bagus Sutapura – Perkakasna ngan pedang jeung keris – Datang kana pipir gunung – Tuluy gancangan nanjak – Geus datang kana tengah-tengah gunung – Batu Ngadurungdung datang – Dibunuh geus burak-barik.
260 : Nu sabeulah seug dicandak – Dibalangkeun nyangsang dina luhur kai – Nu matak ayeuna masyhur – Ngarana batu layang – Kocap deui Kyai bagus Sutapura ngamuk – Balad Ukur enggeus ruksak – Ukur ditangkap sakali.
276 : Hariring katu nimbalang – Eta maneh bener Kyai Dipati – Eh ayeuna Tumenggung – Tumenggung Narapaksa – Karep kamenta Ngabehi anu tilu – Ayeuna angkat Bupati
279 : Kyai bagus Sutapura – ayeuna ngarana kudu diganti – Bari diangkat Tumenggung – Tumenggung Sutanangga – Jeung bere cacah 7000 – Ayeuna Geus tetep linggih

Terakhir
Terhadap perbedaan versi ini sangat mungkin terjadi dan dapat menambah pengayaan pengetahuan masyarakat, khususnya di tatar sunda agar mengetahui kebenaran sejarahnya. Suatu hal yang perlu dicermati dari masing-masing versi tentang paradigma para penulis terhadap Dipati Ukur, apakah diakui sebagai pahlawan atau pembuat onar. Jika saja pembuat onar, maka keonaran tersebut harus dibaca sebagai pemberontakan orang tanah ukur – Priangan terhadap para tuan yang menguasai Priangan saat itu. Paling tidak, ada kenyamanan penguasa dan sekeselernya yang terganggu oleh Dipati Ukur, sehingga dikonotasikan negatif.

Pada akhirnya saya hanya bisa mencuplik salah satu “Tawis Katineung Ti Panglawungan Tembang Sunda Pamager Asih Bandung” (Renjagan), tentang proses dan makna penggalian sejarah, sebagai berikut :
Renjagan diri para aji
Ngarenjag para pujangga
Bejana pabeja-beja
Beja dibejakeun deui
Silih gitik ku pangarti
Lali kadiri pribadi.

PEMBAGIAN AJEG

Pemberontakan Dipati Ukur berlangsung dari 1628-1632 M. Hal tersebut menggambarkan, betapa sulitnya Mataram melakukan pengawasan terhadap Priangan yang memang jauh letaknya dari pusat kekuasaan. Berdasarkan latar belakang ini konon kabar Sultan Agung berupaya untuk menjaga stabilitas diwilayah Priangan dan Karawang dengan cara melakukan reorganisasi terhadap daerah-daerah tersebut.
Pembagaian wilayah tersebut menurut Hardjasaputra (hal 23) menjadi sebagai berikut : Pertama, Daerah Karawang, lumbung padi dan garis depan pertahanan Mataram bagian barat, dijadikan kabupaten, dengan statusnya tetap berada dibawah kekuasaan Wedana Bupati Priangan.

Kedua, pada tanggal 9 tahun Alip (menurut Hole : 20 April 1641) Wedana Bupati Priangan Tengah dibagi menjadi empat Kabupaten. Kabupaten Sumedang diperintah oleh Pangeran Dipati Kusumadinata (Rangga Gempol II), merangkan sebagai Wedana Bupati Priangan. Ketiga, daerah Priangan diluar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Sukapura, Bandung dan Parakanmuncang. Untuk memerintah tiga kabupaten tersebut, Sultan Agung mengangkat tiga orang kepala daerah yang dianggap berjasa memadamkan pemberontakan Dipati Ukur, yakni : Ki Wirawangsa Umbul Surakerta menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha ; Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti menjadi Bupati Bandung, dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun ; dan Ki Somahita Umbul Sindangkasih menjadi Bupati Parakanmuncang, dengan gelar Tumenggung Tanubaya. Pengangkatan tersebut sebagaimana ditulis dalam suatu Piagem.

Ketiga, Daerah Priangan Timur, yakni Galuh dipecah menjadi empat daerah, yaitu Utama, Bojonglopang (Kertabumi), Imbanagara, dan Kawasen.
Berdasarkan kisah dari sumber lainnya, : Utama diperintah oleh Sutamanggala, Imbanagara diperintah oleh Adipati Jayanagara, Bojonglopang diperintah oleh Dipati Kertabumi, dan Kawasen diperintah oleh Bagus Sutapura. Konon kabar Bagus Sutapura pada tahun 1634 diberikan jabatan Bupati di Kawasen karena ia dianggap berjasa menaklukan Dipati Ukur. Sementara Dipati Imbanagara yang dicurigai berpihak kepada Dipati Ukur, pada tahun 1636 dijatuhi hukuman mati.

Pasca Sultan Agung
Sultan Agung wafat pada pada tahun 1645 M, ia digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan Amangkurat I atau Sunan Tegalwangi (1645 – 1677).

Kebijakan Sunan Amangkurat I terhadap daerah bawahannya pada umumnya sama dengan yang dilakukan Sultan Agung, terutama dalam hal melakukan reorganisasi kabupaten. Wilayah Mataram di bagian barat pada tahun 1656 – 1657 dibagi menjadi 12 Ajeg (setingkat Kabupaten), sembilan ajeg saat ini berada diwilayah Jawa Barat dan tiga ajeg saat ini termasuk wilayah Jawa Tengah.

Alasan Sunan Amangkurat I membagi daerah tersebut dikarenakan pasca pemberontakan Dipati Ukur di Priangan, khususnya di Priangan Tengah masih kacau. Disamping itu ada kekhawatiran terhadap kedudukan Kompeni Belanda di Batavia semakin kuat dan Banten sedang melebarkan kekuasaanya kewilayah timur. 
Oleh karena itu ia pun beranggapan untuk memperkuat Priangan Barat.

Sembilan ajeg yang berada diwilayah Jawa Barat tersebut, yakni :
(1) Sumedang didperintah oleh Pangeran Rangga Gempol III.
(2) Parakanmuncang diperintah oleh Tumenggung Tanubaya.
(3) Bandung diperintah oleh Tumenggung Wiraangunangun.
(4) Sukapura diperintah oleh Wiradadaha.
(5) Karawang diperintah oleh Tumenggung Panatayuda.
(6) Imbanagara diperintah oleh Ngabehi Ngastanagara.
(7) Kawasen diperintah oleh Mas Managara.
(8) Galuh oleh Wirabaja.
(9) Sekace.

Khusus Sakace terdapat perbedaan versi antara Babad Cirebon dan Babad Pasundan, karena babad Cirebon tidak mengenal daerah Sekace melainkan Sindangkasih, sama dengan yang dijelaskan para penulis dalam rpmsJB.
Reorganisasi ini juga menghapuskan jabatan wedana bupati di Priangan, terakhir dijabat oleh Pengeran Rangga Gempol III atau dikenal pula dengan sebutan Pangeran Panembahan, bupati Sumedang pada periode 1656 – 1706.

Reorganisasi daerah Priangan mengakibatkan jabatan bupati Sumedang, yang semulai bergelar “Pangeran” menjadi sederajat dengan bupati lainnya di Priangan, sama-sama bergelar ministeriales – perantara raja Mataram dengan rakyat Priangan, menurut Natanegara (1936) : “menyebabkan ketidak senangan Rangga Gempol III”. Ia ingin terus menjadi Wedana Bupati Priangan, sehingga memaksa Bupati Bandung, Sukapura, dan Parakanmuncang untuk tetap tunduk kepadanya. Akibatnya timbul konflik antara Rangga Gempol III dengan ketiga Bupati tersebut” (Hardjasaputra, hal 24).

MENGEMBALIKAN KEJAYAAN

Sultan Agung wafat pada tahun 1645, ia digantikan oleh Susuhunan Amangkurat I (1645 – 1677), putranya. Pasca wafatnya Sultan Agung kekuasaan Mataram berangsur-angsur turun dan menjadi lemah. Demikian pula pengaruhnya terhadap daerah-daerah kekuasaan lainnya yang semula dikuasai Mataram.
Mataram menjadi sangat lemah karena perselisihan diantara para pewaris tahta Amangkurat I yang tidak berkesudahan. Disamping itu, kerap terjadi serangan dari luar, seperti dari pasukan Makasar dan Madura. Amangkurat II didalam cara menyelesaikan masalah tersebut banyak meminta bantuan VOC. Bantuan yang diberikan tidak Cuma-Cuma, karena harus dibayar dengan beberapa wilayah yang dikuasainya.

Priangan khususnya dan sebagian Jawa Barat (yang berada diluar Banten dan Cirebon), menjadi wilayah Mataram akibat diserahkan tanpa syarat oleh Pangeran Aria Suriadiwangsa, mengalami nasib yang tidak kalah menyedihkan, daerah ini terpaksa harus diserahkan kepada VOC, sebagai bentuk kompensasi dari Mataram kepada VOC.
Pada mulanya wilayah Priangan Tengah dan Barat diserahkan kepada VOC sebagai daerah pinjaman, namun dalam proses selanjutnya Mataram semakin melemah dan dirundung permasalahan, dan terus menerus meminta bantuan VOC.

Priangan diserahkan melalui dua tahap, yakni pada tahun 1677 dan 1705. Tahap pertama dilakukan pada perjanjian 19-20 Oktober 1677, diserahkan wilayah Priangan Tengah dan Barat. Pada tahap kedua pada perjanjian 5 Oktober 1705, Mataram menyerahkan wilayah Priangan Timur dan Cirebon. Mataram sendiri secara total menjadi kekuasaan VOC pada tahun 1757. (Hardjasaputra, hal 31).

Tentang proses waktu tersebut, sumber Sumedang mengisahkan adanya eksistensi Pangeran Rangga Gempol III yang berupaya mengembalikan kejayaan Sumedang, sebagaimana pada masa Sumedanglarang ketika masih dikuasai Prabu Geusan Ulun. Kisah ini disitir didalam rpmsJB, : Rangga Gempol III pernah mengirimkan surat kepada Gubernur Willem Van Outhoorn pada hari Senin tanggal 2 Rabiul’awal tahun Je (4 Desember 1690) yang dicatat didalam buku harian VOC di Batavia pada tanggal 31 Januari 1691. Isi surat tersebut menuntut kepada VOC agar wilayah kekuasaannya dipulihkan sebagaimana wilayah yang dikuasai Geusan Ulun, leluhurnya (rpmsJB, hal 57).

Pangeran Rangga Gempol III (1656 – 1706) dikenal sebagai bupati yang cerdas dan pemberani. Ketika diangkat menjadi penguasa Sumedang bergelar Kusumahdinata VI, kemudian menyandang gelar Pangeran Panembahan. Suatu gelar yang diberikan Amangkurat I Mataram atas bakti dan kesetiaannya kepada Mataram.

Kekuasaan Rangga Gempol III di anggap wilayah Mataram yang paling besar di Priangan. Namun sejarah mencatat, bahwa Pangeran Gempol III adalah bupati Sumedang yang merangkap Wedana Bupati Priangan terakhir, untuk kemudian status para bupati Sumedang dianggap sederajat dengan bupati lainnya.
Sebagaimana dijelaskan diatas, pasca wafatnya Sultan Agung mengakibatkan Mataram menjadi lemah, hal tersebut akibat banyak gangguan stabilitas dari dalam dan luar keraton. Untuk mengatasi permasalahannya Mataram kerap meminta bantuan VOC. Bantuan tersebut tidak diberikan secara cuma-cuma, melainkan harus dibayar dalam bentuk penyerahan wilayah kekuasaannya kepada VOC.

Dalam rangka memenuhi kewajiban terhadap VOC, konon pada tahun 1652 Mataram mengadakan perjanjian lisan dengan VOC untuk memberikan hak pakai secara penuh atas daerah sebelah barat Sungai Citarum. Wilayah tersebut berada diluar wilayah Sumedang. Ketika itu Sumedang berada dibawah pemerintahan Raden Bagus Weruh alias Rangga Gempol II.

Penghapusan Wedana Bupati
Menurut Hardjasaputra, kira-kira tahun 1657 Amangkurat I membagi daerah priangan, dikarenakan pasca pemberontakan Dipati Ukur di Priangan, khususnya di Priangan Tengah masih kacau. Disamping itu ada kekhawatiran terhadap kedudukan VOC di Batavia semakin kuat dan Banten sedang melebarkan kekuasaanya kewilayah timur. Oleh karena itu ia pun memperkuat Priangan Barat.

Reorganisasi tersebut dilakukan pada masa Rangga Gempol III menjabat “Wedana Bupati Priangan” dan sekaligus merangkap sebagai penguasa Sumedang (1656 – 1706). Para bupati Sumedang sebelumnya bergelar “Pangeran”, dengan adanya reorganisasi maka Rangga Gempol menjadi sederajat dengan bupati lainnya yang ada di Priangan, sama-sama bergelar ministeriales – perantara raja Mataram dengan rakyat Priangan.

Masalah ini dianggap merugikan Rangga Gempol III, menurut Natanegara (1936) : “menyebabkan ketidak senangan Rangga Gempol III”. Ia ingin terus menjadi Wedana Bupati Priangan, sehingga memaksa Bupati Bandung, Sukapura, dan Parakan muncang untuk tetap tunduk kepadanya. Akibatnya timbul konflik antara Rangga Gempol III dengan ketiga Bupati tersebut” (Hardjasaputra, hal 24) 

Tentang masalah konflik tersebut, mungkin ada hubungannya dengan sumber Sumedang yang menghubungkan alasan Rangga Gempol III merebut kabupatian lain yang dibentuk Mataram pada masa Rangga Gempol II, seperti Bandung, Parakan Muncang dan Sukapura. Hal tersebut dikisahkan terjadi pasca Rangga Gempol menguasai pantai utara.

Akibat perjanjian Mataram
Sumber Sumedang menjelaskan adanya perjanjian lisan antara Mataram dengan VOC pada tahun 1652, mungkin yang dimaksud adalah perjanjian pinjam pakai atas tanah, namun VOC merasa tidak puas dengan perjanjian tersebut. Pada tahun 1677 dilakukan perjanjian secara tertulis. Konon dari pihak Sumedang dihadiri oleh Rangga Gempol III. Salah satu butir perjanjian menyebutkan batas sebelah barat antara Cisadane dan Cipunagara harus diserahkan mutlak oleh Mataram kepada VOC, kemudian dari hulu Cipunagara ditarik garis tegak lurus sampai pantai selatan dan laut Hindia. Permintaan tersebut oleh Amangkurat I ditolak, dengan alasan daerah antara Citarum dan Cipunagara termasuk kekuasaan kabupatian Sumedang dan bukan daerah kekuasaan Mataram. Daerah antara Citarum dan Cipunagara termasuk wilayah Sumedanglarang ketika masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun.

Penolakan Mataram diterima dengan baik oleh VOC, sedangkan butir perjanjian lain disetujui oleh Mataram. Dengan demikian VOC menyetujui perjanjian tersebut, namun VOC meminta agar daerah yang dikuasainya sebagai hak pakai yang diberikan Mataram pada tahun 1652 menjadi milik VOC.
Ada kisah dari versi lain yang berasal dari penelitian, bahwa : “Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 19 – 20 Oktober 1677 tersebut menyebabkan Priangan Barat dan Priangan Tengah jatuh ketangan VOC”. (Hardjasaputra, Hal 31).

Memang Hardjasaputra (2004) tidak menjelaskan ada upaya dari Rangga Gempol III untuk mengembalikan wilayah Sumedang sebagaimana pada masa Prabu Geusan Ulun, bahkan didalam tulisannya tidak ditemukan adanya perjanjian lisan yang dibuat pada tahun 1652. Namun sumber Sumedang menyatakan, bahwa : Keinginan Rangga Gempol untuk mengembalikan wilayah kerajaan Sumedanglarang tentunya sangat sulit dilaksanakan, wilayah tersebut sudah dikuasai oleh Banten, Cirebon, Mataram dan VOC. Oleh karena itu Rangga Gempol III baru dapat memperluas wilayahnya ke pantai utara, seperti Ciasem, Pamanukan dan Indramayu yang masih termasuk kekuasaan Mataram.

Sumedang pada masa sebelumnya sangat tergantung kepada Mataram dan tidak memiliki pasukan yang kuat. Untuk memperkuat posisi Sumedang di pantai utara, maka Rangga Gempol III meminta bantuan Banten. Kebetulan saat itu Banten masih konflik dengan Mataram disebabkan Mataram sangat dekat dengan VOC. Banten menyambut baik permintaan ini, dan meminta Sumedang bergabung dengan Banten untuk menyerang VOC dan Mataram.

Permintaan Banten demikian mengurungkan niat Pangeran Panembahan untuk menerima bantuan Banten, mengingat ada kekhawatiran terjadi kembali peristiwa Raden Suriadiwangsa II (lihat : Bab pembagian Ajeg), ia pun memperhitungkan pasukan VOC yang sangat kuat dan tidak mungkin pada masa itu dapat dikalahkan.

Pembatalan rencana permintaan bantuan Banten menimbulkan pula kekhawatirannya akan serangan Banten dikemudian hari. Untuk alasan ini Rangga Gempol III mengirim surat kepada VOC, isinya memohon bantuan untuk menutup muara sungai Cipamanukan dan pantai utara agar dapat mencegah pasukan Banten, sedangkan penjagaan di darat ditangani oleh langsung oleh Sumedang. Surat tersebut dikirimkan pada tanggal 25 Oktober 1677. Sebagai imbalan, Rangga Gempol memberikan daerah antara Batavia dan Indramayu.

Jika dilihat dari wilayah yang dihadiahkan kepada VOC, sebenarnya Sumedang tidak merasa kehilangan, mengingat daerah tersebut sudah diberikan oleh Mataram kepada VOC berdasarkan perjanjian tahun 1677. Disisi lain, perjanjian Mataram dengan VOC pada 25 Februari dan 20 Oktober 1677 memberikan keuntungan langsung bagi Sumedang, karena dengan dikuasainya daerah tersebut oleh VOC maka secara otomatis VOC akan menempatkan pasukannya untuk menjaga wilayah tersebut dan dapat menghambat pasukan Banten untuk menyerang Sumedang. Konon masalah ini tidak disadari VOC pada waktu itu, bahkan menganggap Sumedang sebagai kerajaan yang berdaulat.

Untuk memperkuat posisinya diluar wilayah Sumedang, Rangga Gempol III juga mengadakan hubungan dengan penguasa Batulajang (bagian selatan Cianjur), yakni Rangga Gajah Palembang, cucu (mungkin juga putra) Dipati Ukur.

Langkah Rangga Gempol III selanjutnya, ia menyerang wilayah pantai utara, seperti daerah Ciasem, Pamanukan dan Ciparagi. Daerah tersebut sangat mudah dikuasai, bahkan di Ciparigi ditempatkan pasukan Sumedang untuk mempersiapkan menyerang Karawang. Langkah selanjutnya perluasan wilayah diarahkan ke Indramayu, namun Indramayu segera mengakui Rangga Gempol III sebagai penguasa Indramayu. Dari bertambahnya daerah kekuasaan Sumedang maka secara praktis daerah pantai utara Jawa, kecuali antara Batavia dan Indramayu menjadi bawahan Sumedang.

Serangan Banten
Kekhawatiran Rangga Gempol III terhadap Banten terbukti ketika ia sibuk menaklukan pantai utara, sementara Sultan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang.
Pada tahun 10 Maret 1678 pasukan Banten bergerak untuk menyerang Sumedang melalui Muaraberes, memutar jalur perjalanan dari Tangerang ke Patimun Tanjungpura, sehingga berhasil lolos dari penjagaan VOC.

Perjalanan tersebut tiba di Sumedang pada bulan Oktober, namun pasukan Banten tidak dapat menguasai Ibukota Sumedang karena kokohnya pertahanan Rangga Gempol III. Dari pertempuran yang memakan waktu kurang lebih satu bulan, pasukan Banten kehilangan senapatinya yang tangguh, yakni Raden Senapati.
Kegagalan Banten pada serangan pertama disebabkan huru hara di intern Kesultanan Banten, mengingat adanya pertikaian antara Sultan Agung Tirtayasa yang memerlukan pasukannya untuk menghadap putranya, yakni Sultan Haji yang dibantu Belanda, sehingga pasukan Banten ditarik mundur dari Sumedang.
Untuk memperkuat posisinya Sumedang meminta bantuan VOC, terutama senjata dan mesiu. Didalam buku rpmsJB dijelaskan mengenai jalur pengiriman bantuan tersebut, melalui sebelah utara Gunung Tampomas, yakni dari muara Ciasem dengan menggunakan rakit sampai di Cileungsing, untuk kemudian dilakukan melalui jalan darat (Hal. 52).

Bantuan VOC tersebut tidak mendapat kompensi dari Sumedang, karena Rangga Gempol III tidak taat terhadap janjinya ; tidak pernah datang ke Batavia untuk melakukan Sowan, sebagaimana layaknya penguasa wilayah jajahan ; dan tidak pernah pula memberi penghormatan atau upeti. Akibatnya, VOC menarik pasukannya dari pantai utara. Namun ada versi lain yang mempertanyakan, apakah memang penarikan pasukan VOC disebabkan Rangga Gempol ingkar janji, mengingat kuatnya pasukan VOC yang sewaktu-waktu dapat menyerang Sumedang atau dipersiapkan untuk membantu Sultan Haji yang sedang melakukan pemberontakan di Surasowan.

Pasca menguasai pantai utara, Rangga Gempol III mengalihkan perhatiannya untuk menguasai daerah kebupatian yang dibentuk oleh Mataram, yakni Bandung, Parakan muncang, dan Sukapura. Rangga Gempol III menguasai kembali seluruh daerah bekas Sumedanglarang kecuali antara Cisadane dan Cipunagara yang telah diserahkan oleh Mataram kepada VOC pada tahun 1677.

Kisah ini berbeda dengan apa yang ditulis didalam buku rpmsJB jilid empat dijelaskan, bahwa : Rangga Gempol III hanya menguasai 11 dari 44 daerah yang semula dikuasai Geusan Ulun. Selebihnya sudah menjadi bawahan Bandung (8 daerah), Parakan Muncang (9 daerah) dan Sukapura 16 daerah (Hal. 57).
Kisah yang sama ditemukan pada versi lain, namun hanya mengisahkan adanya perselisihan antara Rangga Gempol III dengan para bupati yang dibentuk Mataram, yakni bupati Bandung, Parakanmuncang dan Sukapura, sebagai dampak dihapusnya jabatan Wedana Bupati yang semula di sandang Rangga Gempol III menjadi sejajar statusnya dengan bupati lain yang ada di Priangan. Sementara Rangga Gempol III masih menganggap para bupati tersebut sebagai bawahannya. Kisah ini tidak sampai pada uraian tentang keberhasilan Rangga Gempol menguasai kembali kabupatian di Priangan Tengah, karena hanya dikisahkan sebatas “ada persilihan”.

Pada masa kekuasaan VOC disadari, bahwa para bupati Priangan memiliki wibawa dan pengaruh terhadap rakyatnya. Akan tetapi disadari pula, pengangkatan salah seorang bupati Priangan untuk menjadi Bupati Kepala akan menimbulkan konflik diantara para bupati seperti yang terjadi pada Vasaal Mataram. Atas dasar pertimbangan ini kemudian VOC mengangkat bupati kepala yang berasa dari luar Priangan. Oleh karena itu VOC mengangkat Pangeran Aria Cirebon untuk menjadi Bupati Kepala (Bupati Kompeni), sebagaimana terdokumentasikan didalam Besluit tanggal 19 Februari 1706. Bupati Kepala bertugas mengawasi dan mengkoordinir bupati-bupati Priangan, agar mereka melaksanakan kewajiban terhadap VOC secara tertib dan lancar (Hardjasaputra – 2007).

KEKUASAAN VOC

Serangan Banten ke dua dilakukan pada awal oktober 1678. Pada awalnya pasukan Banten merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai oleh Sumedang di pantai utara, Ciparigi, Ciasem dan Pamanukan. Pada masa itu daerah-daerah tersebut sudah tidak lagi dijaga pasukan VOC.

Penyerangan ke jantung kekuasaan Sumedang terlebih dahulu dilakukan dengan mengepung Sumedang. Hal ini dalukan oleh gabungan pasukan Banten, Bali dan Bugis, bertepatan pada awal bulan puasa, hari jum’at tanggal 18 Oktober 1678. Konon kabar pasukan gabungan tersebut di pimpinan oleh Cilikwidara dan Cakrayuda. Pelaksanaan penyerangan dilakukan tepat Hari Raya Idul Fitri, ketika itu Rangga Gempol III beserta rakyat Sumedang sedang melakukan Sholat Ied di Mesjid Tegalkalong. Tentunya siapapun tidak akan ada yang pernah menduga serangan tersebut akan dilakukan pada waktu shalat ied, apalagi penyerang dan yang diserang sama-sama memiliki ciri islam yang kental. Akibatnya banyak kerabat keraton dan rakyat Sumedang yang tewas, namun Rangga Gempol berhasil meloloskan diri ke Indramayu.

Rangga Gempol III pada masa pelariannya berupaya mengumpulkan sisa-sisa kekutan. Dengan bantuan dari Galunggung pada akhirnya Sumedang dapat direbut kembali. Namun pada medio Mei 1679 Banten kembali menyerang Sumedang dengan pasukan lebih besar, akhirnya Sumedang jatuh kembali ke tangan Banten, sementara itu Rangga Gempol III terpaksa mundur kembali ke Indramayu.

Pendudukan Sumedang oleh pasukan Banten hanya berlangsung sampai dengan bulan Agustus 1680, karena pasukan Banten ditarik untuk mendukung Sultan Ageng Tirtayasa yang sedang menghadapi Sultan Haji yang didukung oleh VOC. Dalam konflik ayah dengan anak tersebut dimenangkan Sultan Haji. Menurut Untoro (2007) : sejak masa kekalahan Sultan Ageung Tirtayasa oleh Sultan Haji, secara praktis kedaulatan Banten runtuh, apalagi setelah ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 17 April 1984 (Hal. 41). Banten pada masa Sultan Haji tidak lagi mengganggu Sumedang, bahkan Sultan Haji berjanji kepada VOC, bahwa : Banten tidak akan mengganggu Cirebon dan Sumedang.

Pada tanggal 27 Januari 1681 Rangga Gempol III kembali ke Sumedang. Kemudian pada bulan Mei 1681 Rangga Gempol III memindahkan pusat pemerintahan dari Tegalkalong ke Regolwetan atau daerah Sumedang (sekarang) dan membangun gedung Srimanganti (saat ini menjadi Museum Prabu Geusan Ulun), namun tidak sempat disaksikannya, karena pada tahun 1706 Rangga Gempol III wafat dan dimakamkan di Gunung Puyuh.

Menurut buku rpmsJB, Rangga Gempol III pernah mengirimkan surat kepada Gubernur Willem Van Outhoorn pada hari Senin tanggal 2 Rabiul’awal tahun Je (4 Desember 1690) yang dicatat didalam buku harian VOC di Batavia pada tanggal 31 Januari 1691. Isi surat tersebut menuntut kepada VOC agar wilayah kekuasaannya dipulihkan sebagaimana wilayah yang dikuasai Geusan Ulun, leluhurnya (rpmsJB, hal 57).
Pada perjanjian tanggal 5 Oktober 1705, antara Mataram dengan VOC, wilayah Priangan Timur dan Cirebon diserahkan kepada VOC, dengan demikian seluruh Jawa Barat dan Banten praktis menjadi wilayah kekuasaan VOC, sedangkan Mataram diserahkan kepada VOC pada tahun 1757.

Rangga Gempol III digantikan oleh putranya Raden Tanumaja dengan gelar Adipati, bupati pertama kali yang diangkat oleh VOC. Kemudian didalam salah satu piagamnya yang bertanggal 15 November 1684, VOC mengangkat kepala-kepala daerah di Priangan untuk memerintah atas nama VOC. Pada peristiwa ini jumlah penduduk (cacah) yang berada dibawah masing-masing wilayah sudah ditentukan serta dijadikan ukuran kekuasaan para bupati. Hemat saya, hal ini dilatar belakangi oleh kepentingan VOC untuk memaksimalkan potensi masing-masing wilayah dalam mengelola hasil buminya, semakin produktif daerah tersebut maka semakin besar penghasilan yang didapat VOC.

Menurut de Klein dan Natanegara didalam Volks Almanak Sunda, masing-masing bupati tersebut memperoleh cacah, sebagai berikut : (1) Pangeran Sumedang 1015 cacah ; (2) Demang Timbanganten 1125 cacah ; (3) Tumenggung Sukapura 1125 cacah ; (4) Tumenggung Parakanmuncang 1076 cacah ; (5) Gubernur Imbanagara 708 cacah (6) Gubernur Kawasen 605 cacah (7) Lurang-lurah Bojonglopang 20 cacah dan 10 Desa. (Hardjasaputra, hal. 32).

Referensi :
•  Sumedang Larang (wikipedia, 17 Maret 2010).
•  Sejarah singkat Kabupaten Sumedang – sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010.
•  Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemeirntahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.
•  Bupati Di Priangan – dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda 2004.
•  Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar – Geger Sunten Bandung 2005.
Bupati Di Priangan, Kedudukan dan Peranannya pada Abad ke-17 – Abad ke 19, A. Sobana Hardjasaputra, dalam buku : Bupati di Priangan – dan Kajian lainnya mengenai Budaya Sunda (Seri Sunda Lana), Pusat Studi Sunda, Bandung – 2004.
Sejarah singkat Kabupaten Sumedang, sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010.
Sumedang dari masa kemasa : sumedanglarang. blogspot.com, 16 Mei 2010.
Bupati Di Priangan, Kedudukan dan Peranannya pada Abad ke-17 – Abad ke 19, A. Sobana Hardjasaputra, dalam buku : Bupati di Priangan – dan Kajian lainnya mengenai Budaya Sunda (Seri Sunda Lana), Pusat Studi Sunda, Bandung – 2004.
•  Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522 – 1684. Kajian Arkeologi Ekonomi, Heriyanti Ongkodharma Untoro, Fakultas Ilmu Pengerahuan Budaya, Jakarta – 2007.
•  Rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk, 1983 – 1984.

Di Kutip dari : GUNUNG SEPUH
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: