Kompleks makam Pangeran Achmad Jayakarta, Pangeran Lahut, Pangeran
Surya, Pangeran Shogeri, dan Ratu Rafi′ah di sisi kanan Masjid Jami
As-Salafiyah di Jalan Jatinegara Kaum Raya, Jakarta Timur. Foto: Darma
Ismayanto.
Usia kompleks makam Pangeran Achmad Jayakarta merentang jauh hingga masa VOC.
OLEH: DARMA ISMAYANTO
SEBUAH masjid
berdiri megah di ruas Jalan Jatinegara Kaum Raya, Jakarta Timur. Namanya
Masjid Jami’ As-Salafiyah (Masjid Tertua), berdiri pada 1620. Tepat di
sisi kanan masjid berdiri sebuah bangunan, mirip pendopo, yang berisi
lima makam: Pangeran Achmad Jayakarta, Pangeran Lahut, Pangeran Surya,
Pangeran Shogeri, dan makam Ratu Rafi’ah.
“Pangeran Lahut itu anak dari Pangeran
Achmad Jayakarta. Pangeran Shogeri masih kerabatnya dan anak dari Sultan
Agung Titayasa. Sedangkan Ratu Rafi’ah adalah istri dari Pangeran
Shogeri,” kata Raden Manaf, generasi kesembilan dari keturunan Pangeran
Jayakarta.
Banyak orang sempat meragukan makam di
sisi masjid itu adalah makam Pangeran Jayakarta. Keberadaannya juga
pernah dirahasiakan dari publik dan baru diberitakan pada 1950. Menurut
Raden Manaf, Pangeran Jayakarta berwasiat agar keberadaan makamnya baru
diberitakan bila Belanda sudah tak lagi bercokol di Nusantara. Sebab,
bila diketahui pihak Belanda, keturunannya akan dihabisi.
Selain kelima makam itu, puluhan makam
mengitari sisi kanan dan belakang masjid. Semuanya makam keturunan dan
kerabat Pangeran Jayakarta. “Di sisi pojok paling kanan, ada makam
Pangeran Sang Hyang (Raden Syarif bin Pangeran Senopati Ngalaga), tokoh
Islam keturunan keluarga Kesultanan Banten yang aktif berjuang melawan
penjajah Belanda,” lanjut Manaf.
Pada 30 Mei 1619 tentara Belanda di
bawah Gubernur Jenderal Jan Pieterzoen Coen menyerang dan menghancurkan
kota dan Keraton Jayakarta. Awalnya Coen berniat menamakan kota yang
baru ditaklukannya itu dengan nama Nieuw Horn (Horn Baru) untuk
mengenang kota kelahirannya. Namun penguasa tinggi di Belanda memutuskan
agar tempat itu dinamakan Batavia.
Menurut Thomas B. Ataladjar dalam Toko Merah, nama Batavia diusulkan seorang pegawai VOC bernama van Rai. Batavia berasal dari kata Batavieren, nama
suku bangsa nenek-moyang bangsa Belanda yang berasal dari Jerman. Untuk
menabalkan kekuasaan di daerah baru, Coen membangun sebuah kastil atau
benteng Batavia dengan luas 3,6 hektar. Adapun nama Batavia untuk kastil
dan kota baru itu disahkan pada 1620, untuk kemudian dikukuhkanlah
sebuah pemerintahan (Stad) Batavia pada 4 Maret 1621. Sejak itu pula Jayakarta disebut Batavia selama tiga ratus tahun lebih (1619-1942).
Raden Manaf dalam Sejarah Pangeran Jayakarta Jatinegara Kaum menuliskan, keadaan
memburuk akibat dari perjanjian sewa-menyewa tempat antara
Jayakarta-Belanda-Inggris, sehingga Pangeran Djayawikarta/Wijayakrama
yang oleh Belanda dan Inggris diberi gelar Regent van Jacatra atau Koning
van Jacatra atau King of Jacatra diturunkan dari jabatannya sebagai
Bupati Jayakarta pada 2 Februari 1619. Dia kemudian dipulangkan Sultan
Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir, Sultan Banten IV, ke Banten.
Pada 15 Februari 1619, untuk menghindari
vakum pemerintahan di Jayakarta, anak Pangeran Wijayakrama, Pangeran
Achmad Jaketra yang bergelar sama dengan sang ayah, Pangeran Jayakarta,
diangkat menggantikan posisi ayahnya. Jadi ketika Coen menyerang
Jayakarta, kekuasaan berada di bawah kendali Pangeran Achmad Jaketra.
“Belanda menyerang dengan cara licik,
menembaki peluru yang sudah dilumuri dengan barang najis seperti kotoran
manusia. Itu membuat pasukan Pangeran yang taat beragama Islam terpukul
mundur,” kata Raden Manaf.
Jayakarta jatuh ke tangan Belanda. Tak
patah arang Pangeran Jayakarta secara bergerilya terus menggalang
kekuatan. Alwi Shihab dalam Betawi Queen of the East menuliskan,
setelah Jayakarta jatuh ke tangan Belanda, Pangeran Achmad Jaketra dan
para pengikutnya hijrah ke sebuah daerah yang ditumbuhi pohon jati.
Daerah ini kemudian dikenal dengan sebutan Jatinegara Kaum. Kata
Jatinegara ditafsirkan sebagai “negara sejati.”
“Awalnya dikenal dengan sebutan Kampung
Dalem atau Kampung Ningrat Keraton pada 1619-1799. Lalu berganti jadi
Jatinegara, yang artinya negara atau pemerintahan sejati pada 1799-1901.
Daerah ini sendiri kemudian dikenal dengan sebutan Jatinegara Kaum,”
kata Manaf.
Pada 1620, Pangeran Achmad Jaketra
mendirikan sebuah masjid bernama Masjid Jami’ As-Salafiyah. Awalnya
hanya seluas empat pilar dengan selasar lima meter di setiap sisinya.
Dalam perkembangannya, masjid ini rupanya juga digunakan untuk menyusun
perlawanan. Ketika Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten menyerang VOC,
Jatinegara Kaum kembali memegang peran penting.
Sepeninggal Pangeran Jayakarta, Pangeran
Sugeri, putera Sultan Fatah dari Banten, memugarnya pada 1700. Pangeran
Sugeri dan Fatah merupakan tokoh yang terbuang dari Kasultanan Banten
karena Sultan Haji, saudara Sultan Fatah, melakukan kudeta dengan
bantuan pemerintah Belanda. Anak dan bapak ini kemudian bergabung dengan
Pangeran Jayakarta. Mereka bahu-membahu mengusir VOC di Batavia.
Pangeran Jayakarta dan Pangeran Shogeri kemudian dimakamkan bersebelahan
dengan masjid.
Pangeran Achmad Jaketra tinggal di
Jatinegara Kaum hingga akhir hayatnya. Meninggal pada 1640, dia
dimakamkan di dekat masjid yang didirikannya.
Bangunan makam ini pernah direnovasi di
masa Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 1968 dan juga Gubernur DKI
Jakarta R. Soeprapto pada 1982. Kompleks Makam Pangeran Jayakarta
ditetapkan sebagai Situs Sejarah, Purbakala Cagar Budaya. Makam ini tak
pernah sepi dari peziarah yang datang dari berbagai daerah.
Post a Comment
mohon gunakan email