Pesan Rahbar

Home » , , » Benarkah Pendiri Wahabi Tidak Mengkafirkan Umat Islam selain Golongannya?

Benarkah Pendiri Wahabi Tidak Mengkafirkan Umat Islam selain Golongannya?

Written By Unknown on Tuesday 19 August 2014 | 10:51:00


Oleh: Muhammad Idrus Ramli


TANGGAPAN TERHADAP TULISAN USTAZD MUSMULYADI LUKMAN LC, DI WEB FIRANDA YANG BERJUDUL: “SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH TERNYATA MELARANG ISTIGHATSAH II”
_____________________________







(Bantahan terhadap Ust. Muhammad Ramli Idurs yang menuduh beliau mendukung Istighatsah )

Ust. M.Ramli Idrus berkata:

"Kaum Wahabi mengkafirkan orang yang beristighatsah. Apabila mereka konsisten dengan pandangan tersebut, harusnya mereka juga mengkafirkan Ibnu Taimiyah yang menganjurkan istighatsah, mengkafirkan Ibnu Umar, ulama salaf, Imam al-Bukhari dan ahli hadits yang beristighatsah atau menganjurkannya."

Ada beberapa hal yang harus diluruskan dari  Ust. M. Ramli dan sekutunya  dengan perkataannya di atas, di antaranya adalah:


1.   "kaum Wahabi Mengkafirkan orang yang beristighatsah"

Wahabi adalah laqab untuk memojokkan siapa saja yang berdakwah dengan tauhid dan sunnah seperti halnya dakwah yang di emban oleh para Rasul, dan sebagai laqab atas siapa saja yang menerima kebenaran dakwah yang telah diperjuangkan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab,  maka jelas ini adalah pelanggaran Syariat, sebab Allah telah melarang antara sesama muslim saling memberikan Laqab dalam rangka saling memojokkan, Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

وَلا تَنَابَزُوا بِالأَلْقَابِ  (سورة الحجرات 11 )

"dan janganlah kalian saling memanggil dengan gelar yang buruk" [QS. Al Hujuraat : 11]

Ingatlah, tahukah anda bahwa Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab Rahimahullah tidaklah berdakwah dengan membawa ajaran baru yang beliau dapatkan dari kantongnya sendiri, bahkan dakwah tauhid dan dakwah agar kembali kepada Sunnah semata adalah dakwah semua para Ulama terdahulu, namun hal ini tidak akan pernah dapat di pahami oleh siapa saja yang hatinya selalu penuh benci. Sebuah sastra arab berbunyi:

قال عبد اللّه بن معاوية :

 وعين الرِّضا عن كلِّ عيبٍ كليلةٌ      *       ولكنَّ عينَ السُّخط تُبْدي المساويا

Abdullah Bin Mu'awiyah berkata:
Dan pandangan kerelaan dari segala aib menjadi buta
Namun pandangan kebencian selalu akan memperlihatkan keburukan.

Dan Jika seandainya Laqab Wahabi tersebut adalah untuk siapa saja yang berpegang kepada tauhid dan Sunnah maka tidaklah mengapa, seperti halnya imam Syafi'i Rahimahullah yang rela di sebut (Syiah) Rofidhah apabila yang dimaksud dengannya adalah mencintai Ahlul Bait - yang merupakan bagian dari pondasi keyakinan Ahlussunnah Wal Jamaah - , beliau berkata:

إن كان رفضا حب آل محمد        *      فليشهد الثقلان أني رافضي

Jikalah Rafidhoh adalah mencintai Aalu Muhammad.
Maka hendaklah kedua bangsa (Jin dan manusia) menyaksikan bahwa sebenarnya aku adalah Rafidhah.

Namun Alhamdulillah, ternyata Sayyid Muhammad Bin Alwiy Almalikiy memilih lebih baik memberikan sanjungan kepada Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab dari pada menuduh beliau sebagai tukang mengkafirkan, seperti yang akan dijelaskan sebentar lagi, tidak seperti sikap yang ditunjukkan oleh ust. M.Ramli.

Ahlussunnah tidak mengkafirkan siapapun kecuali mereka telah dengan jelas kafir, seperti kafirnya orang yang mengingkari Wajibnya Shalat, seperti kafirannya orang hindu, budha, yahudi, dan nasrani, mereka adalah golongan-golongan kafir yang wajib kita katakan kafir, kecuali mungkin Ust. M. Ramli ini memiliki pandangan yang berbeda dalam hal ini, Wallahu A'lam.

Adapun orang yang beristighatsah tidaklah dengan serta merta lantas akan menjadi kafir seperti yang dituduhkan oleh Ustadz ini, bahkan Syaikh Muhammad bin Abdil wahhab sendiri dengan jelas telah membantah tuduhan-tuduhan mengkafirkan yang selalu di kaitkan kepada diri beliau, seperti hal ini juga ditetapkan dan diakui oleh Sayyid Muhammad Alwiy Almalikiy dalam kitabnya Mafahim yajibu An Tushahhah, beliau berkata:

موقف الشيخ محمد بن عبد الوهاب
وقد وقف الشيخ محمد بن عبد الوهاب رحمه الله في هذا الميدان موقفاً عظيماً ، قد يستنكره كثير ممن يدعي أنه منسوب إليه ومحسوب عليه ، ثم يكيل الحكم بالتكفير جزافاً لكل من خالف طريقته ونبذ فكرته ، وها هو الشيخ محمد ابن عبد الوهاب ينكر كل ما ينسب إليه من هذه التفاهات والسفاهات والافتراءات فيقول ضمن عقيدته في رسالته الموجهة لأهل القصيم قال :
ثم لا يخفى عليكم أنه بلغني أن رسالة سليمان بن سحيم قد وصلت إليكم وأنه قبلها وصدقها بعض المنتمين للعلم في جهتكم ، والله يعلم أن الرجل افترى عليَّ أموراً لم أقلها ولم يأت أكثرها على بالي .
فمنها : قوله : إني مبطل كتب المذاهب الأربعة ، وإني أقول : إن الناس من ستمائة سنة ليسوا على شيء ، وإني أدعي الاجتهاد ، وإني خارج عن التقليد ، وإني أقول : إن اختلاف العلماء نقمة ، وإني أكفر من توسل بالصالحين ، وإني أكفر البوصيري لقوله : يا أكرم الخلق ، وإني أقول : لو أقدر على هدم قبة رسول الله - صلى الله عليه وسلم - لهدمتها ، ولو أقدر على الكعبة لأخذت ميزابها وجعلت لها ميزاباً من خشب ، وإني أحرم زيارة قبر النبي - صلى الله عليه وسلم - ، وإني أنكر زيارة قبر الوالدين وغيرهما ، وإني أكفر من حلف بغير الله ، وإني أكفر ابن الفارض وابن عربي ، وإني أحرق دلائل الخيرات وروض الرياحين ، وأسميه روض الشياطين .
جوابي عن هذه المسائل : أن أقول : { سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ } ، وقبله من بهت محمداً صلى الله عليه وسلم أنه يسب عيسى بن مريم ، ويسب الصالحين ، فتشابهت قلوبهم بافتراء الكذب ، وقول زور . قال تعالى : { إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللّهِ } الآية ، بهتوه صلى الله عليه وسلم بأنه يقول : إن الملائكة وعيسى وعزيراً في النار ، فأنزل الله في ذلك : { إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُم مِّنَّا الْحُسْنَى أُوْلَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ } .
أنظر الرسالة الأولى من الرسائل الشخصية ضمن مجموعة مؤلفات الشيخ الإمام محمد بن عبد الوهاب المنشورة باهتمام جامعة الإمام محمد بن سعود الإسلامية .


Artinya:
Sikap Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab

Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab Rahimahullah dalam lingkup ini (yaitu masalah pengkafiran seorang muslim) telah mengambil sikap yang begitu agung, sehingga banyak dari kalangan orang-orang yang mengaku bahwa dirinya bernisbat dan terhitung kepada dirinya mengingkari sikap tersebut dan kemudian menentukan hukum pengkafiran tanpa pertimbangan atas orang yang menyelisihi jalan dan pola pikirannya.

Dan inilah beliau Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab telah mengingkari setiap perkara yang pernah dikaitkan kepada dirinya dari perkara-perkara yang hina, bodoh, dan mengada-ada, beliau berkata tentang akidah beliau sendiri yang terkandung di dalam sepucuk surat yang tertuju kepada penduduk Qashim:

"Kemudian tidaklah samar atas kalian, seperti kabar yang telah sampai kepadaku, sesungguhnya surat Sulaiman Bin Suhaim telah sampai kepada kalian, dan bahwa sebagian orang yang condong kepada ilmu yang berada di pihak kalian telah membenarkan keberadaan surat itu, dan Allah mengetahui sesungguhnya orang ini (Sulaiman Bin Suhaim) telah mengada-adakan dusta atas diriku pada beberapa perkara yang tidak pernah aku ucapkan, dan kebanyakan dari perkara-perkara tersebut tidak pernah datang dalam pikiranku.

Maka di antara kedustaan itu adalah perkataannya: "Bahwa aku membatalkan kitab-kitab madzhab yang empat, bahwa aku pernah berkata: sesungguhnya manusia semenjak dari Enam Ratus tahun lalu mereka tidak berada di atas apa-apa (kebenaran), dan bahwa aku mengklaim Ijtihad, dan bahwa aku keluar dari koridor Taqlid, dan bahwa aku pernah berkata: bahwa sebenarnya perbedaan pendapat ulama adalah azab, dan bahwa aku mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang Shalih,

Dan bahwa sesungguhnya aku mengkafirkan Al-Bushairi karena perkataannya: "Wahai makhluk yang paling mulia", dan bahwa sesungguhnya aku pernah mengatakan: "seandainya saja aku mampu menghancurkan kubah (Rumah) Rasulullah – Shallallahu 'Alaihi Wasallam- niscaya aku telah menghancurkannya, dan bahwa seandainya aku mampu berkuasa atas ka'bah, maka aku akan mengambil pintunya dan aku akan membuatkannya pintu dari kayu,

Dan bahwa aku mengharamkan berziarah ke kuburan Nabi – Shallallahu 'Alaihi wasallam, dan bahwa aku mengingkari ziarah ke kuburan kedua orang tua dan ke  yang lainnya, dan bahwa aku mengkafirkan siapa saja yang bersumpah selain dengan Allah, dan bahwa aku mengkafirkan Ibnu Faridh dan Ibnu 'Arabiy, dan bahwa aku membakar kitab Dala'ilul Khairat dan kitab Raudhur Rayyahin lalu aku menamakannya Raudhusy Syayathin.

Dan sebagai jawabanku atas masalah-masalah ini, aku katakan: "Mahasuci engkau (Allah), ini adalah kedustaan yang besar", dan dari sebelumnya ada orang yang mendustakan Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam bahwa beliau telah mencaci nabi Isa Bin Maryam, dan telah mencaci orang-orang Shalih, maka serupalah hati mereka (yakni orang yang berdusta atas Nabi dan atas Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab) dalam mengada-adakan kedustaan dan ucapan palsu. Allah berfirman: "Sesungguhnya hanya orang-orang yang mengada-adakan kedustaanlah yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah", mereka menuduh Rasulullah dengan sesuatu yang tidak pernah beliau ucapkan, bahwa beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkata: "sesungguhnya para malaikat, Isa dan Uzair berada di dalam neraka", maka Allah pun menurunkan ayat ini: "Sesungguhnya orang-orang yang telah lebih dulu kebaikan mereka ada dari kami, mereka adalah orang-orang yang jauh dari neraka". 

Lihat Surat pertama dari beberapa surat pribadi yang terdapat di dalam kumpulan karya-karya tulis Syaikh Imam Muhammad Bin Abdil Wahhab yang telah beredar dengan pantauan Universitas Islam Imam Muhammad Bin Su'ud.

Allahu Akbar, atas dukungan Sayyid Alwiy Almalikiy kepada Syaikh Muhammad Bin Abdil wahhab yang berlepas diri dari mengkafirkan kaum muslimin, maka kiranya tidak berlebih jika katakana bahwa beliau juga ternyata Wahabi.

Adalah Sayyid Muhammad Alwiy Almaliki  yang menjadi Imam besar ASWAJA NU di zaman ini, beliau menepis tuduhan atas Syaikh Muhammad Bin Abdil wahhab bahwa beliau tukang mengkafirkan, maka rasanya tuduhan ust. M. Ramli atas bahwa Wahabi mengkafirkan semata adalah spam yang harus di delete oleh dia sendiri dan semoga Allah memberinya petunjuk.

2.   Perkataan ust.M.Ramli :

 "Apabila mereka konsisten dengan pandangan tersebut, harusnya mereka juga mengkafirkan Ibnu Taimiyah yang menganjurkan istighatsah, mengkafirkan Ibnu Umar, ulama salaf, Imam al-Bukhari dan ahli hadits yang beristighatsah atau menganjurkannya."

Dalam paragraf ini ust.M.Ramli ingin melazimkan dan memojokkan ahlussunnah wal jama'ah agar mengkafirkan Ibnu Umar, Ulama Salaf, Imam al-Bukhari dan ahli hadits yang beristighatsah atau menganjurkannya karena menurutnya wahabi telah mengkafirkan orang yang beristighatsah.

Abdullaah bin Umar sama sekali tidak pernah melakukan Istighatsah, apalagi menganjurkannya, seperti yang telah dijelaskan pada tulisan yang sebelumnya.

Ulama Salaf manakah yang di maksud oleh ustadz M.Ramli ?

Apakah Habib Abdullah Bin Alawiy Alhaddad yang menulis di anjurkannya istighatsah dalam kitabnya "Saiful batir Li 'Unuqil Munkir 'Alal Akabir" ? ataukah Sayyid Ahmad bin Zainiy Dahlan ? ataukah mungkin Syaikh Hasan As-saqqaf Al-Urduniy?

Kita berharap ust. M.Ramli bersedia mendatangkan siapa saja Ulama salaf yang ia maksudkan telah menganjurkan istighatsah, jika tidak maka ia telah membuat opini yang sangat buruk terhadap masyarakat atas nama Ulama salaf.

Imam Bukhari manakah yang di maksud olehnya? dan Ulama hadits lain manakah yang ia maksudkan?

Habib Abdullah Bin Alawiy Alhaddad dalam kitabnya "Saiful batir Li 'Unuqil Munkir 'Alal Akabir" yang beliau tulis pada tahun 1851 M. menyebutkan beberapa nama tokoh yang di anggapnya membolehkan istighatsah, berikut tulisannya:



Syaikhul Islam Zakariya berkata, demikian juga Zainuddin Al-Iraqi Al-Syafi'i dan Imam Ibnu Rusyd Al-Malikiy sebagaimana telah lebih dulu (dipaparkan) di sini pada awal kitab, bahwa jika kamu memanggil makhluk baik yang hidup ataupun yang mati, (maka panggilan itu) dinamakan Nidaa', dan jika kamu memanggil Rabbmu, (maka panggilan itu) dinamakan do'a, maka jelaslah perbedaan antara ucapan "wahai Allah" dengan "wahai Wali Allah" atau "wahai fulan" dari beberapa makhluk. Dan dengan yang demikian itu para ulama telah menjelaskannya, dan telah datang dari Sunnah dengan lafal "Wahai para hamba Allah tolonglah aku".

Adakah nama imam Bukhari disebut dalam nukilan di atas? Habib Alhaddad saja yang menjadi panutan di zamannya dan sampai hari ini oleh sebagian orang –Hadahullah-, tidak menyebutkan walau satu Huruf saja dari nama Imam Bukhari, lalu apakah hal yang mendorong ustadz ini berani menyebut-nyebut nama Imam Bukhari dalam perkara yang begitu fatal akibatnya ini?

Para Imam yang disebutkan oleh Habib Alhaddad  di atas hanya memaparkan makna perbedaan antara Nida' (panggilan) kepada Allah dan Nida' kepada sesama makhluk, yang pertama disebut do'a sedangkan yang kedua bukan, itu saja. Mereka tidak mengatakan beristighatsahlah kepada makhluk sebagai mana bisa di lihat pada nukilan di atas.

Kalaupun seandainya benar para ulama yang tersebut namanya di atas menghendaki bolehnya istighatsah kepada makhluk dengan memaparkan perincian makna Nida', lalu Apakah hal ini  sah menjadi dalil atas boleh dan dianjurkannya istighatsah kepada makhluk? Tentu tidak, Sebab yang menjadi titik berat permasalahan di sini sebenarnya bukanlah tentang Nidaa' (Wahai) dan penamaannya, namun tentang kalimat permohonan "Aghitsuunii" (tolonglah aku), yang sangat jelas telah mengarah kepada Istighatsah kepada makhluk, dan jika ini dianggap bukan suatu kesyirikan dalam Uluhiyyah, lalu yang manakah kesyirikan dalam Uluhiyyah? sebut saja kata "Aghitsuunii" bukanlah do'a, namun hal itu tidak akan mengubah hakikatnya, sedangkan yang dinilai adalah hakikat bukan penamaan sesuatu.

Maka dari itu sekali lagi Kita berharap ust. M.Ramli agar bersedia mendatangkan siapa saja Ulama salaf yang ia maksudkan menganjurkan istighatsah, jika tidak maka ia telah membuat opini yang sangat buruk terhadap masyarakat atas nama Imam Bukhari dan ulama hadits lainnya.

Demikian, semoga Allah menunjukkan kita semua hidayah Iman sampai ajal menjemput.
Bekasi, 15 mei 2013
Penulis: Ust. Musmulyadi Lukman, Lc.
 
_________________________________________ 
Beberapa waktu yang lalu, Ustadz Dr Firanda Andirja menulis jawaban terhadap catatan saya di Facebook, dan masih belum tuntas. Saya memang menunggu-nunggu jawaban berikutnya segera beliau tulis. Ternyata penulis berikutnya adalah Ustadz Musmulyadi Lukman, Lc dari Bekasi. .
UST. MUSMULYADI: “Wahabi adalah laqab untuk memojokkan siapa saja yang berdakwah dengan tauhid dan sunnah seperti halnya dakwah yang di emban oleh para Rasul, dan sebagai laqab atas siapa saja yang menerima kebenaran dakwah yang telah diperjuangkan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab, maka jelas ini adalah pelanggaran Syariat, sebab Allah telah melarang antara sesama muslim saling memberikan Laqab dalam rangka saling memojokkan, Allah berfirman dalam Al-Qur'an " [QS. Al Hujuraat : 11]”.
TANGGAPAN KAMI: “Dalam komentar di atas Ustadz Musmulyadi keluar dari persoalan pokok, yaitu masalah istighatsah, menuju masalah lain, yaitu soal laqab Wahabi. Ada beberapa catatan terhadap pernyataan Ustadz Musmulyadi di atas;
 
Pertama) Ustadz Musmulyadi berkata: “Wahabi adalah laqab untuk memojokkan siapa saja yang berdakwah dengan tauhid dan sunnah seperti halnya dakwah yang di emban oleh para Rasul”. Tidak semua orang yang berdakwah dengan tauhid dan sunnah lalu dipojokkan dengan nama Wahabi. Nama Wahabi itu khusus pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, aliran yang sangat populer. Pernyataan ini terkesan memposisikan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sejajar dengan para rasul. Sepertinya hanya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang diposisikan seperti para Rasul, bukan para ulama lain yang juga berdakwah. Padahal antara para Rasul dan sangat jauh berbeda. Para Rasul berdakwah membawa wahyu menghadapi orang-orang kafir. Sedangkan pendiri Wahabi berdakwah bukan menghadapi orang kafir, akan tetapi umat Islam di Jazirah Arab yang dikafirkannya, bahkan dianggap lebih kafir dari pada Abu Jahal dan Abu Lahab, sebagaimana dapat dibaca dalam bukunya, Kasyf al-Syubuhat. 

Kedua) Ustadz Musmulyadi berkata: “dan sebagai laqab atas siapa saja yang menerima kebenaran dakwah yang telah diperjuangkan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab, maka jelas ini adalah pelanggaran Syariat, sebab Allah telah melarang antara sesama muslim saling memberikan Laqab dalam rangka saling memojokkan”. Sepertinya penulis Wahabi ini tidak tahu, bahwa para ulama Wahabi sendiri juga menerima laqab mereka sebagai Wahabi, misalnya Syaikh Sulaiman bin Salman, guru Syaikh Ibnu Baz dan lain-lain yang menulis buku berjudul al-Hadiyyah al-Saniyyah wa al-Tuhfah al-Wahhabiyyah al-Najdiyyah. Syaikh Ibnu Baz, juga menerima nama Wahabi sebagai nama aliran mereka. Dengan demikian, apakah ulama Wahabi sendiri yang memberi label aliran mereka dengan nama Wahabi juga berdosa karena telah masuk dalam tanabuz bil-alqab versi Ustadz Musmulyadi???
UST. MUSMULYADI: “Ingatlah, tahukah anda bahwa Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab Rahimahullah tidaklah berdakwah dengan membawa ajaran baru yang beliau dapatkan dari kantongnya sendiri, bahkan dakwah tauhid dan dakwah agar kembali kepada Sunnah semata adalah dakwah semua para Ulama terdahulu, namun hal ini tidak akan pernah dapat di pahami oleh siapa saja yang hatinya selalu penuh benci.”
TANGGAPAN KAMI: “Pernyataan Ustadz Musmulyad al-Wahhabi di atas menandakan kalau beliau kurang membaca literatur yang ditulis oleh pendiri Wahabi dan murid-muridnya. Dakwah ajaran Wahabi adalah dakwah ajaran baru, dari kantongnya sendiri, dakwah radikal yang dibungkus dengan nama tauhid dan sunnah. Bukti bahwa dakwah Wahabi adalah ajaran baru, pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dalam sebuah risalah yang ditulisnya, dan diabadikan oleh Syaikh al-‘Ashimi dalam himpunan al-Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibah al-Najdiyyah, dia mengeluarkan fatwa berikut ini:
 
وَأَنَا أُخْبِرُكُمْ عَنْ نَفْسِيْ وَاللهِ الَّذِيْ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ، لَقَدْ طَلَبْتُ الْعِلْمَ، وَاعْتَقَدَ مَنْ عَرَفَنِيْ أَنَّ لِيْ مَعْرِفَةً، وَأَنَا ذَلِكَ الْوَقْتَ، لَا أَعْرِفُ مَعْنَى لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَلَا أَعْرِفُ دِيْنَ الْإِسْلَامِ، قَبْلَ هَذَا الْخَيْرِ الَّذِيْ مَنَّ اللهُ بِهِ؛ وَكَذَلِكَ مَشَايِخِيْ، مَا مِنْهُمْ رَجُلٌ عَرَفَ ذَلِكَ. فَمَنْ زَعَمَ مِنْ عُلَمَاءِ الْعَارِضِ: أَنَّهُ عَرَفَ مَعْنَى لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَوْ عَرَفَ مَعْنَى الْإِسْلاَمِ قَبْلَ هَذَا الْوَقْتِ، أَوْ زَعَمَ مِنْ مَشَايِخِهِ أَنَّ أَحَدًا عَرَفَ ذَلِكَ، فَقَدْ كَذِبَ وَافْتَرَى، وَلَبَّسَ عَلَى النَّاسِ، وَمَدَحَ نَفْسَهُ بِمَا لَيْسَ فِيْهِ.

“Aku kabarkan kepada kalian tentang diriku, demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, aku telah menuntut ilmu, dan orang yang dulu mengenalku meyakini aku memiliki pengetahuan, padahal aku pada waktu itu belum mengerti makna la ila illallah, dan aku tidak mengetahui agama Islam, sebelum memperoleh kebaikan yang Allah karuniakan ini. Demikian pula guru-guruku, tak seorang pun di antara mereka yang mengetahui hal tersebut. Barangsiapa yang menyangka dari ulama daerah ‘Aridh (Riyadh), bahwa ia mengetahui makna la ilaha illallah atau mengetahui makna Islam sebelum waktu sekarang ini, atau menyangka bahwa di antara guru-gurunya ada yang mengetahui hal tersebut, maka ia telah berdusta, berbuat-buat, menipu manusia dan memuji dirinya dengan sesuatu yang tidak ada padanya.” (al-Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibah al-Najdiyyah, juz 10 hal. 51, terbitan Riyadh Saudi Arabia tahun 1996). 

Pernyataan Muhammad bin Abdul Wahhab tersebut mengandung beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1) Sebelum menyebarkan ajaran Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahhab mengaku belum mengetahui makna la ilaaha illallaah dan belum mengerti agama Islam. Pernyataan ini secara tidak langsung menganggap bahwa dirinya termasuk orang kafir sebelum menyebarkan ajaran Wahabi. Bukankah syarat seorang Muslim harus mengerti makna kalimat laa ilaaha illallaah?
2) Tidak seorang pun dari ulama Riyadh dan guru-gurunya yang mengetahui makna laa ilaaha illallaah dan mengetahui agama Islam. Pernyataan ini berarti mengkafirkan semua guru-gurunya dan semua ulama yang ada.
3) Ajaran Wahabi yang didakwahkannya, tidak ia pelajari dari guru-gurunya, akan tetapi ia terima dari Allah sebagai karunia. Di sini kita patut mempersoalkan, bagaimana caranya Muhammad bin Abdul Wahhab menerima ajaran Salafi-Wahabi tersebut dari Allah? Apabila ia memperoleh ajaran tersebut dari wahyu, secara tidak langsung ia mengaku nabi, dan tidak ada bedanya antara dia dengan Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani. Hal ini tidak mungkin terjadi dan ia akui bagi dirinya. 

Apabila ia menerimanya bukan dari wahyu, maka kemungkinan ia menerimanya dari setan, dan hal ini tidak mungkin ia akui. Dan ada kemungkinan ia terima dari pikirannya sendiri, yang tidak ada jaminan bahwa hasil pikirannya tersebut dipastikan benar sebagaimana hasil pikiran para nabi. Demikian tersebut bertentangan dengan metode kaum Muslimin dalam menerima ilmu agama, dimana ilmu agama mereka terima melalui mata rantai sanad, dari guru ke guru sebelumnya secara berkesinambungan sampai kepada Rasulullah SAW. Ustadz-ustadz Wahabi biasanya hafal pernyataan al-Imam Ibnu al-Mubarak, “al-isnaad minaddiin, sanad termasuk bagian dari agama.” Jadi ilmuanya pendiri Wahabi, tidak punya sanad. 

Paparan di atas menyimpulkan bahwa ajaran Salafi-Wahabi, berdasarkan testimoni pendirinya, tidak diperoleh dari para ulama, akan tetapi ia peroleh dari hasil pemikirannya sendiri, dan dianggapnya sebagai anugerah dari Allah, lalu kemudian ia doktrinkan kepada para pengikutnya. Karena pendiri Salafi-Wahabi tidak mengakui keilmuan para ulama, termasuk guru-gurunya sendiri. Bahkan secara terang-terangan ia mengatakan, bahwa sebelum lahirnya dakwah Salafi-Wahabi, tidak seorangpun ulama –termasuk guru-gurunya-, yang mengetahui makna la ilaha illallah dan mengetahui agama Islam. Hal ini berarti pengkafiran terhadap seluruh ulama dan umat Islam dan mengkafirkan dirinya sendiri. Kesalahan fatwa ini, telah dibantah dalam bagian sebelumnya dan terbantah dengan bahasan berikut ini. 

Tentu saja masih banyak aneka ajaran baru yang dicetuskan oleh pikiran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang akan kita bicarakan dalam catatan-catatan yang akan datang, insya Allah.”
UST. MUSMULYADI: “Dan Jika seandainya Laqab Wahabi tersebut adalah untuk siapa saja yang berpegang kepada tauhid dan Sunnah maka tidaklah mengapa, seperti halnya imam Syafi'i Rahimahullah yang rela di sebut (Syiah) Rofidhah apabila yang dimaksud dengannya adalah mencintai Ahlul Bait – yang merupakan bagian dari pondasi keyakinan Ahlussunnah Wal Jamaah –“.
 
TANGGAPAN KAMI: “Laqab Wahabi bukan laqab orang yang berpegang pada tauhid dan sunnah, tapi laqab pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, yang membawa ajaran baru, yang tidak mengerti tauhid dan bukan ahli hadits. Muhammad bin Abdul Wahhab tidak bisa disamakan dengan al-Imam al-Syafi’i. Keduanya sangat jauh berbeda. Al-Imam al-Syafi’i salah satu pendiri madzhab fiqih empat yang sunni, dan perintis ilmu ushul fiqih. Sementara Muhammad bin Abdul Wahhab menganggap ilmu fiqih termasuk ilmu syirik, dan ulama fiqih sebagai syetan manusia dan jin. Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:
 
{اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِنْ دُونِ اللَّهِ} الآية [سورة التوبة آية: 31] ، فسرها رسول الله صلى الله عليه وسلم والأئمة بعده بهذا الذي تسمونه الفقه، وهو الذي سماه الله شركا واتخاذهم أربابا، لا أعلم بين المفسرين في ذلك اختلافا. والحاصل: أن من رزقه الله العلم، يعرف أن هذه المكاتيب التي أتتكم، وفرحتم بها، وقرأتموها على العامة، من عند هؤلاء الذين تظنون أنهم علماء، كما قال تعالى: {وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوّاً شَيَاطِينَ الْأِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً} [سورة الأنعام آية: 112] ، إلى قوله: {وَلِتَصْغَى إِلَيْهِ أَفْئِدَةُ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ} [سورة الأنعام آية: 113]

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. Rasulullah SAW dan para imam sesudahnya menafsirkan ayat tersebut dengan ilmu yang kalian namakan ilmu fiqih, itulah yang Allah namakan syirik, dan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan, aku tidak menemukan perbedaan di kalangan ahli tafsir mengenai makna tersebut. Kesimpulannya, orang yang diberikan rizqi ilmu oleh Allah, akan tahu bahwa catatan-catatan yang datang kepada kamu, kamu gembira dengannya dan kalian bacakan kepada orang-orang awam, dari mereka yang kalian anggap sebagai ulama, sebagaimana Allah SWT berfirman: “112. dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)[499]. 113. dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu”. (al-Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibah al-Najdiyyah, juz 2 hal. 59, terbitan Riyadh Saudi Arabia tahun 1996). 

Dalam pernyataan Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi al-Qarni di atas, ada beberapa kesimpulan yang perlu digarisbawahi;
1) Muhammad bin Abdul Wahhab menganggap ilmu fiqih sebagai ilmu syirik.
2) Pendapat tersebut menurutnya sebagai penafsiran dari ayat 31 surah al-Taubah, tanpa ada perselisihan di kalangan ulama ahli tafsir manapun. Tentu saja ini murni kebohongan Muhammad bin Abdul Wahhab. Silahkan Anda lihat kitab al-Durr al-Mantsur, karya al-Imam Jalaluddin al-Suyuthi, yang mengutip semua penafsiran ulama Salaf terhadap ayat tersebut, tidak satu pun di antara mereka yang menafsirkan ayat 31 surah al-Taubah, dengan ilmu fiqih sebagai ilmu syirik. Tetapi Muhammad bin Abdul Wahhab menganggap penafsirannya sebagai penafsiran final dan disepakati oleh seluruh ahli tafsir. 

3) Para ulama fiqih menurutnya, tak obahnya setan-setan manusia dan jin.
Dengan demikian, menyamakan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Imam al-Syafi’i sangat tidak tepat dari segi apapun.
UST. MUSMULYADI: “Namun Alhamdulillah, ternyata Sayyid Muhammad Bin Alwiy Almalikiy memilih lebih baik memberikan sanjungan kepada Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab dari pada menuduh beliau sebagai tukang mengkafirkan”.
TANGGAPAN KAMI: “Ustadz Musmulyadi tidak mengerti dalam membaca kitab Mafahim karya Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani. Sayyid hidup di Negara Saudi Arabia yang otoriter dan memaksakan ideology Wahabi kepada rakyatnya tanpa mau diajak dialog secara terbuka dengan ulama yang berbeda akidah. Sayyid pernah dikafirkan oleh Ibnu Mani’ dalam kitabnya Hiwar ma’ al-Maliki, yang diberi kata pengantar oleh Syaikh Ibnu Baz. Pertanyaannya adalah, mengapa dalam Mafahim Sayyid mengutip pernyataan Muhammad bin Abdul Wahhab yang tidak mengkafirkan tawasul, tidak mengkafirkan al-Bushiri, ulama shufi dan lain-lain??? Baca jawaban di bawah ini:
Sebagaimana dimaklumi, para ulama terkemuka bersaksi bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab bukan orang yang alim. Ia tumbuh sebagai pemalas untuk mempelajari ilmu fiqih, sebagaimana dipaparkan dalam kitab al-Suhub al-Wabilah, yang diterbitkan di Saudi Arabia. Oleh karenanya, dia tidak pakar dalam ilmu fiqih maupun dalam ilmu hadits. Al-Imam al-Muhaddits Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri, ahli hadits dari India berkata dalam kitabnya Faidh al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, juz 1, hal 252, bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab seorang yang bodoh, sedikit ilmu, sehingga mudah mengkafirkan banyak orang. 

Oleh karena Muhammad bin Abdul Wahhab seorang yang bodoh dan sedikit ilmu, maka kepribadiannya labil dan plin plan. Ketika ia terpojok oleh para ulama yang menyalahkannya karena mengkafirkan orang yang bertawasul, ia pun berkata, saya tidak mengkafirkan orang yang bertawasul, al-Bushiri dan lain-lain. Tetapi dalam kondisi tidak terpojok, ia kembali lagi mengkafirkan banyak orang. Pendapat yang mengkafirkan tersebut yang mu’tamad dan mu’tabar di kalangan kaum Wahabi. Terbukti, salah seorang cucu pendiri Wahabi, yaitu Shaleh bin Abdul Aziz Alus-Syaikh, dalam kitabnya Hadzihi Mafahimuna hal. 89, menyalahkan Sayyid Muhammad al-Maliki karena menegaskan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab tidak mengingkari tawasul.
Sayyid Muhammad mengutip pernyataan Muhammad bin Abdul Wahhab yang berbeda dengan ajaran resmi Wahabi, karena beliau dalam rangka berpolemik dengan kaum Wahabi yang sangat anti dan alergi tawasul. Dalam teori ilmu jadal dalam ushul fiqih, cara seperti ini disebut dengan metode munaqadhah, yaitu suatu metode dalam perdebatan dengan mengajukan pendapat lawan yang saling berlawanan, untuk menjatuhkan pihak lawan, bukan karena mengakui bahwa lawan sependapat dengan dirinya. 

Bukti bahwa Wahabi mengkafirkan orang yang tawasul, seorang ulama Wahabi di daerah kami di Jawa Timur, bergelar doctor alumni Universitas Wahabi Madinah, menyebarkan kitab berjudul Kaifa Nafhamu al-Tauhid, karya Muhammad bin Ahmad Basymil. Pada halaman 16 kitab tersebut tertulis begini: 

عجيب وغريب أن يكون أبو جهل وأبو لهب أكثر توحيدا لله وأخلص إيمانا به من المسلمين الذين يتوسلون بالأولياء والصالحين ويستشفعون بهم.

“Mengherankan dan terasa aneh, ternyata Abu Jahal dan Abu Lahab lebih mantap tauhidnya kepada Allah, dan lebih tulus imannya kepada-Nya, daripada kaum Muslimin yang bertawasul dengan para auliya dan orang-orang shaleh, dan beristighatsah dengan mereka.” (Kaifa Nafhamu al-Tauhid, karya Muhammad bin Ahmad Basymil, hal, 16). 

Dalam pernyataan di atas, Wahabi tersebut memposisikan umat Islam yang bertawasul dan beristighatsah lebih buruk daripada nasib Abu Jahal dan Abu Lahab, laa haula walaa quwwata illaa billaah. Anehnya, ketika saya bertemu dalam forum dialog terpaksa di Kota Sumenep, doktor Wahabi tersebut, ketika kami desak mengapa dia mengkafirkan kaum Muslimin yang bertawasul, ternyata dia mengutip pernyataan Muhammad bin Abdul Wahhab yang membolehkan tawasul. Sepertinya pernyataan Muhammad bin Abdul Wahhab yang pro tawasul hanya dijadikan bahan bertaqiyyah dalam kondisi tertentu. Padahal doktor tersebut lah yang menyebarkan kitab Kaifa Nafhamu al-Tauhid kepada para mahasiswa nya di Jember.
 
UST. MUSMULYADI: “Adalah Sayyid Muhammad Alwiy Almaliki yang menjadi Imam besar ASWAJA NU di zaman ini, beliau menepis tuduhan atas Syaikh Muhammad Bin Abdil wahhab bahwa beliau tukang mengkafirkan, maka rasanya tuduhan ust. M. Ramli atas bahwa Wahabi mengkafirkan semata adalah spam yang harus di delete oleh dia sendiri dan semoga Allah memberinya petunjuk.”
TANGGAPAN KAMI: “Tidak perlu didelete , wahai Ustadz Musmulyadi al-Wahhabi, karena Antum tidak mengerti maksud kitab Mafahim ditulis, dan antum sepertinya tidak banyak membaca literatur karangan pendiri Wahabi, atau antum membaca, tapi sedang ada maksud lain.”.


Wassalam.

Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: