Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Wudhu. Show all posts
Showing posts with label Wudhu. Show all posts

Menyentuh ayat Qur’an, nama Allah, nabi dan para imam


SOAL 1:
Apa hukumnya menyentuh kata ganti yang merujuk kepada Allah, Maha Pencipta, seperti dalam kalimat “Dengan namaNya” ( bismhi ta’ala)?

JAWAB:
Hukum kata “Allah” (lafdzul jalalah) tidak berlaku atas kata gantinya.

SOAL 2:
Biasanya nama “Allah” ditulis dengan “A …” ( Alif dan tiga titik), seperti tulisan “ayat A…” atau dengan “Ilah” (Alif, Lam dan Ha’). Apa hukumnya menyentuh
kedua tulisan tersebut (Alif dan Ilah yang menggantikan kata Allah) bagi orang yang tidak berwudhu ?

JAWAB:
Hukum kata “Allah” (lafdzul jalalah) tidak berlaku atas huruf Hamzah dan titik-titik (A…), maka dari itu boleh menyentuh kata tersebut (A…) tanpa wudhu’.

SOAL 3:
Saya bekerja di sebuah tempat dimana kata “Allah” ditulis dengan “A…” (Hamzah dan tiga titik) dalam korespondensi mereka, apakah benar secara syar’iy
menulis dengan cara demikian sebagai ganti dari lafdzul jalalah yang telah kami sebutkan?

JAWAB:
Secara syar’iy, tidak ada halangan.

SOAL 4:
Apakah boleh menghindari penulisan lafdzul jalalah (Allah) atau menulisnya “A…” (Hamzah dan tiga titik) hanya karena kemungkinan disentuh oleh tangan
orang yang tidak berwudhu?

JAWAB:
Tidak ada larangan.
SOAL 5:
Paratunanetra meyentuh dengan jari-jari huruf timbul (breile) untuk tujuan membaca dan menulis. Apakah orang-orang buta diharuskan dalam keadaan
berwudhu (suci) ketika sedang belajar membaca Al-Qur’an Al-Karim dan ketika menyentuh nama-nama suci yang tertulis dengan huruf timbul ataukah
tidak?

JAWAB:
Huruf-huruf timbul yang merupakan simbol dari huruf-huruf asli, secara hukum, tidak seperti huruf-huruf yang asli. Dan menyentuh huruf-huruf timbul yang
digunakan sebagai simbol-simbol bagi huruf-huruf Al-Qur’an Al-Karim dan nama-nama suci tidak memerlukan thaharah (kesucian) dari hadats.

SOAL 6:
Apa hukum menyentuh nama-nama orang , seperti Abdullah dan Habibullah oleh orang yang tidak berwudhu?

JAWAB:
Orang yang tidak suci tidak diperkenankan menyentuh lafdzul jalalah, meskipun merupakan bagian sebuah kata majmuk.

SOAL 153:
Apakah boleh bagi wanita haaidh (dalam keadaan haidh) memakai kalung dengan ukiran nama nabi SAW?

JAWAB:
Tidak masalah mengalungkannya. Namun wajib bahwa nama tersebut tidak menyentuh tubuh.

SOAL 154:
Apakah hukum haram menyentuh tulisan Al-Qur’an tanpa wudhu (thaharah) hanya berlaku ketika tertera dalam Al-Mushaf asy-Syarif, ataukah mencakup
yang berada di kitab lain, papan tulis atau di tembok dan yang lainnya?

JAWAB:
Tidak hanya berlaku atas tulisan Al-Qur’an yang ada dalam Al-Mushaf Asy-Syarif, namun mencakup semua kata dan ayat Al-Qur’an, meskipun dalam kitab
lain, suratkabar, majalah, papan tulis atau terukir pada dinding dan lain sebagainya.

SOAL 155:
Ada keluarga yang menggunakan tempat makan nasi yang ditulisi dengan ayat-ayat Al-Qur’an, seperti ayat kursi dengan tujuan memperoleh kebaikan dan
berkah. Apakah ada masalah dengan hal itu ataukah tidak?

JAWAB:
Tidak ada masalah, namun bagi yang tidak berwudhu diwajibkan tidak menyentuh ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.

SOAL 156:
Apakah orang-orang yang menulis ismul jalalah, ayat-ayat Al-Qur’an dan nama-nama para ma’shum dengan alat tulis wajib berwudhu ketika menulisnya?

JAWAB:
Tidak disyaratkan thaharah, namun mereka tidak diperbolehkan menyentuh tulisan itu bila tidak bersuci.

SOAL 157:
Apakah lambang Republik Islam Iran dianggap sebagai ismul jalalah ataukah tidak? Apakah hukum mencetaknya pada surat-surat kantor dan
menggunakannya untuk korespondensi dan lainnya?

JAWAB:
Tidak ada masalah menulis dan mencetak lafdzul jalalah atau lambang Republik Islam Iran dalam surat-menyurat. Jika lambang Republik Islam Iran
tergolong lafdhul Jalalah menurut pandangan umum masyarakat (‘urf) maka haram menyentuhnya tanpa thaharah.

SOAL 158:
Apa hukum mencetak lambang R I I di bagian atas surat-surat resmi di instansi-instansi peerintah? Dan apa hukum mempergunakannya dalam surat-
menyurat dan lainnya?

JAWAB:
Menulis dan mencetak lafdzul jalalah dan lambang RII tidak bermasalah. Berdasarkan ihitiyath wajib hendaknya hukum lafdzul jalalah diberlakukan pada
lambang RII.

SOAL 159:
Apa hukum menggunakan perangko yang memuat tulisan ayat-ayat suci Al -Qur’an dan mencetak lafdzul jalalah, nama-nama Allah, ayat-ayat Al-Qur’an dan
lambang lembaga-lembaga yang memuat ayat-ayat Al-Qur’an dalam surat kabar, majalah dan edaran-edaran tiap hari.

JAWAB:
Diperbolehakan mencetak dan menyebarkan ayat-ayat Al-Qur’an, ismul jalalah dan sebagainya, namun wajib atas yang menerimanya memperhatikan
hukum-hukum syari’ah berkenaan dengan masalah ini, seperti tidak meremehkan dan menajiskannya, dan tidak menyentuhnya tanpa thaharah.

SOAL 160:
Pada sebagian surat kabar tertulis lafdhul jalalah atau ayt Al-Qur’an. Apakah hukum membungkus makanan dengannya, menjadikannya sebagai alas
makanan, tempat duduk atau membuangnya ke tempat sampah, padahal sulit bagi kami untukmendapatkan cara yang lain?

JAWAB:
Tidak boleh hukumnya menggunakan koran-koran seperti tersebut di atas untuk keperluan yang oleh pandangan umum (‘urf) dianggap sebagai pelecehan
dan penghinaan. Adapun penggunaan yang tidak dianggap sebagai pelecehan dan penghinaan , maka tidak ada masalah.

SOAL 161:
Apakah boleh menyentuh tulisan yang terukir pada cincin?

JAWAB:
Jika tulisan itu termasuk yang hanya boleh disentuh dengan thaharah, maka tidak diperbolehkan menyentuhnya tanpa dengannya.

SOAL 162:
Apa hukum melemparkan dan membuang sesuatu benda yang memuat nama-nama Allah SWT di sungai dan parit? Dan apakah hal itu tergolong
penghinaan?

JAWAB:
Tidak ada larangan membuangnya ke sungai atau ke parit selama menurut pandangan umum tidak termasuk penghinaan.

SOAL 163:
Apakah disyaratkan ketika membuang kertas-kertas ujian ke tempat sampah atau membakarnya memastikan tidak ada nama-nama Tuhan dan para ma’
shum di dalamnya? Dan apakah membuang kertas yang kosong termasuk pemborosan (israf) ataukah tidak?

JAWAB:
Tidak wajib memeriksa. Jika tidak menemukan nama Allah dalam kertas tersebut, maka tidak masalah membuangnya ke tempat sampah, adapun
membuang dan membakar kertas-kertas yang pada bagiannya belum digunakan untuk menulis dan masih dapat digunakan untuk menulis atau bisa
digunakan untuk membuat kotak karton termasuk dalam kemungkinan pemborosan (tabdzir) dan tidak bebas dari masalah (la yakhlu min isykal).

SOAL 164:
Nama-nama mulia apakah yang wajib dihormati dan haram disentuh tanpa wudhu?

JAWAB:
Tidak diperbolehkan menyentuh nama-nama Allah dan nama sifat-sifat khusus Allah SWT tanpa wudhu. Dan, berdasarkan ahwath, memasukkan nama
nabi-nabi yang agung dan para imam ma’shum dalam nama-nama Allah SWT dalam hukum tersebut.

SOAL 165:
Apa cara-cara yang syar’iy untuk menghapus nama-nama mulia dan ayat-ayat Al-Qur’an saat diperlukan? Dan apa hukum membakar kertas-kertas yang
bertuliskan ismul jalalah dan ayat-ayat Al-Qur’an jika terdapat alasan mendesak untuk menghapusnya demi menjaga rahasia?

JAWAB:
Tidak masalah menanamnya dalam tanah atau merubahnya menjadi adonan dengan air, sedangkan membakarnya ada masalah ( musykil), dan jika hal itu
termasuk tindak pelecehan, maka tidak diperbolehkan, kecuali apabila terdesak oleh keadaan darurat dan tidak leluasa memotong ayat-ayat Al-Qur’an dan
nama-nama mulia darinya.

SOAL 166:
Apa hukum memotong-motong nama-nama mulia dan ayat-ayat Al-Qur’an dalam jumlah yang banyak sehingga tidak ada dua huruf yang bersambungan
dan tidak bisa lagi dibaca. Apakah cukup menghapus dan menggugurkan hukum-hukumnya dengan merubah bentuk tulisannya dengan cara merangkainya
dengan huruf-huruf lain atau dengan membuang sebagian hurufnya.

JAWAB:
Tidak cukup memotong-motongnya apabila tidak sampai menghapus tulisan lafdzul jalalah dan ayat-ayat Al-Qur’an, begitu juga tidak cukup merubah bentuk
tulisan untuk menghilangkan hukum yang berlaku atas huruf-huruf yang ditorehkan dengan tujuan menulis lafdzul jalalah. Meski demikian, merubah bentuk
huruf bisa menggugurkan hukum dengan menganggapnya sebagai penghapusan, meskipun, berdasarkan ahwath, tetap dianjurkan (dimustahabkan) untuk menghindarinya.

Solat 3 waktu dalam mazhab Syiah dan Ahlusunnah


Solat 3 waktu dalam mazhab Syiah dan Ahlusunnah,

Solat dalam lima waktu dibolehkan seperti mana solat dalam tiga waktu; meskipun begitu jikalau tiada masalah yang timbul akibat kerja-kerja mustahak, maka lebih baik ia solat dalam lima waktu. Tentang perkara ini, mazhab Syiah mempunyai dalil-dalil kukuh dan muḥkam dari kitab-kitab mereka sendiri termasuk dari sumber-sumber ṣaḥīḥ Ahlusunnah. 

Oleh kerana perkara ini mendapat perhatian dan kemusykilan daripada saudara-saudara kita Ahlusunnah, maka kami bawakan dalil-dalil dari sumber ṣaḥīḥ mereka. Kitab Bukhārī dan Muslim mempunyai martabat ṣaḥīḥ setelah al-Qur’ān di kalangan Ahlusunnah, Imām Aḥmad bin Ḥanbal, Aḥmad Ṭayālisī di dalam musnadnya meriwayatkan:

 عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِالْمَدِينَةِ سَبْعًا وَثَمَانِيًا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ ... صحيح البخاري ، 9 مواقيت الصلاة، باب تَأْخِيرِ الظُّهْرِ إِلَى الْعَصْرِ، ج 2 ، ص 428، 

Ibnu ʽAbbas berkata: RasūluLlah (s.a.w) di Madīnah solat Zuhur, ʽAsar, Maghrib dan ʽIshā’ sebanyak 8 dan 7 rakaat. 

Ruj.
- Ṣaḥīḥ Bukhārī, fasal 9 Mawāqīt al-Ṣalāh, bab Ta’khīr al-Zuhr ilā al-ʽAṣr, jilid 2 halaman 428.
- (Bahasa Arab)  Al-Islam.com

Ini bermaksud himpunan solat Zuhur dan ʽAsar adalah 8 rakaat (iaitu solat Zuhur 4 rakaat dan salam, kemudian solat Aṣar 4 rakaat, bukan solat 8 rakaat sekaligus), Maghrib dan ‘Ishā’ pula 7 rakaat (iaitu solat Maghrib 3 rakaat dan salam, kemudian barulah menunaikan solat ʽIshā’ 4 rakaat) sebagaimana solat di dalam mazhab Syiah Imamiyah. 

Berdasarkan Ḥadīth tersebut, Ayyūb mengatakan mungkin pada malam tersebut hujan. Namun menurut Ḥadīth yang lain, RasūluLlah menunaikan solat demikian bukan kerana hujan atau perjalanan mahupun peperangan. Ṣaḥīḥ Muslim, Mālik bin Anas pemimpin mazhab Māliki di dalam kitab Muwaṭṭā’, Abū Dāwūd, Nasā’ī dan Bayhaqī di dalam sunan mereka serta Aḥmad bin Ḥanbal melaporkan:

 عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ .
 مسند أحمد ، وَمِنْ مُسْنَدِ بَنِي هَاشِمٍ، بِدَايَة مُسْنَد عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْعَبَّاسِ، ج 4 ، ص 384 ، ح 1953 صحيح ابن خزيمة، جماع أبواب المواضع التي تجوز الصلاة عليها ، والمواضع التي زجر عن الصلاة عليها، جماع أبواب الفريضة في السفر، ج 4 ،‌ص 62 ، ح 923 

Ibnu ʽAbbas berkata: RasūluLlah (s.a.w) solat Zuhur bersama Asar, Maghrib bersama ‘Ishā’ bukan dalam situasi ketakutan dan bukan dalam perjalanan. 

Rujuk:
- Musnad Aḥmad bin Ḥanbal, jilid 4 halaman 384, Ḥadīth 1953; Ṣaḥīḥ Ibnu Khuzaymah, jilid 4 halaman 62 ḥadīth 923; dan banyak lagi rujukannya.
 
Namun sayang sekali golongan Ahlusunnah tidak mengizinkan solat seperti ini meskipun terlalu banyak riwayat ṣaḥīḥ didapati dari kitab-kitab mereka. Jikalau diizin pun hanyalah kepada mereka yang memerlukan tumpuan yang lebih kepada kerjanya seperti doktor yang membedah pesakit selama berjam-jam dan melebihi satu waktu solat. Kerana masalah ini juga kita dapati ramai remaja-remaja yang mengabaikan solat kerana tersibuk dengan banyak berbagai pekerjaan dan karenah. 

Jikalau sunnah ini dipraktikkan, kemungkinan besar tidak akan timbul masalah kerana mereka dapat menghimpunkan solat-solat tersebut dalam waktu-waktunya. Dengan ini tidak ada alasan lagi untuk para remaja dan seluruh lapisan masyarakat menghindari solat.

 عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ فِي حَدِيثِ وَكِيعٍ قَالَ قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ . صحيح مسلم ،6 - كتاب صلاة المسافرين وقصرها ، باب الجمع بين الصلاتين في الحضر ، 1 ، ص 894

Ibnu ʽAbbas berkata: RasūluLlah (s.a.w) menghimpunkan solatnya Zuhur dan Aṣar, ʽIshā’ dan Maghrib bukan kerana ketakutan, bukan kerana hujan. Di dalam Hadīth Wakīʽ berkata, saya bertanya kepada Ibnu ʽAbbās: Mengapakah baginda solat seperti itu? Beliau menjawab: Supaya tidak menyusahkan ummatnya. 

Ruj.
- Ṣaḥīḥ Muslim, Kitab Ṣolāh al-Musāfirīn wa Qaṣr ha, Bāb al-Jamʽ Bayn al-Ṣālatayn fi al-Ḥaḍar, jilid 1 halaman 489.
- (Bahasa Arab)  Al-Islam.com
- (Bahasa Inggeris); Book 004, Number 1520: Ibn 'Abbas reported that the Messenger of Allah (may peace be upon him) combined the noon prayer with the afternoon prayer and the sunset prayer with the 'Isha' prayer in Medina without being in a state of danger or rainfall. And in the hadith transmitted by Waki' (the words are):" I said to Ibn 'Abbas: What prompted him to do that? He said: So that his (Prophet's) Ummah should not be put to (unnecessary) hardship."

Ini menunjukkan RasūluLlah (s.a.w) telah melihat seluruh masalah masa depan ummatnya. Tatkala sunnah Rasūl memboleh solat seperti ini, apa lagi alasan yang timbul kepada remaja kita untuk bermalas-malasan dan berkeras kepala dalam menunaikan kewajiban ini? 

Meskipun begitu, tidak ada halangan buat sesiapa yang mampu mendirikan solat dalam lima waktu dan kemungkinan pahalanya besar. Begitu tidak ada halangan juga buat sesiapa yang mendirikan solat dalam tiga waktu kerana riwayat seperti ini terlalu banyak didapati di dalam kitab Ahlusunnah, namun memadailah disebut sehagian kecil daripadanya. 
 

Shalat Tiga Waktu, Sehari Lima Kali Picu Kontroversi di Turki

SHALAT DALAM MAZHAB AHLUL BAIT.

Seorang profesor bidang studi Islam di Turki memicu kontroversi, setelah mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam boleh sholat hanya tiga kali dalam sehari, dan bukan lima kali asalkan memperbanyak doa.Fatwa itu dikeluarkan oleh Profesor Muhammad Nour Dugan, dan ia mendapat dukungan dari sejumlah profesor bidang hukum Islam lainnya, sehingga menimbulkan perdebatan yang panas di media massa Turki.Para cendekiawan Islam yang mendukung fatwa tersebut antara lain Dr. Ali Kusa. Ia beralasan, Nabi Muhammad Saw dalam kasus-kasus khusus menggabungkan dua waktu sholat..

SHALAT DALAM MAZHAB AHLULBAIT.

Jika anda membaca Qs. 17:78 dan Qs. 11:114 maka jelaslah maka shalat 5 kali sehari dalam 3 waktu :
* Zuhur dan ashar
* Maghrib dan isya
* Subuh
.
How many prayer times are mentioned? THREE, NOT five. Count them: the “Sun’s Decline, Darkness of the Night, and the Morning Prayer.” That’s
THREE, not FIVE.
Now, what did the Prophet (PBUH&HF) do? Here’s what Ibn Abbas, one of the most famous narrators, says according to the Musnad of Ibn Hanbal (One of the books of tradition):
“The Prophet (PBUH&HF) prayed in Madina, while residing there, NOT TRAVELING, seven and eight (this is an indication to the seven Raka’t of Maghrib and Isha combined, and the eight Raka’t of Zuhr and
`Asr combined).” Musnad al-Imam Ibn Hanbal, vol. 1, page 221.

Also, in the Muwatta’ of Malik (Imam of Maliki sect), vol. 1, page 161, Ibn Abbas says:
“The Prophet (PBUH&HF) prayed Zuhr and `Asr in combination and Maghrib and Isha in combination WITHOUT a reason for fear or travel.”

As for Sahih Muslim, see the following under the chapter of “Combination of prayers, when one is resident”:
Ibn Abbas reported: The messenger of Allah(may peace be upon him) observed the noon and the afternoon prayers together, and the sunset and Isha prayers together without being in a state of fear or in a
state of journey Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1515

Ibn Abbas reported that the messenger of Allah(may peace be upon him) combined the noon prayer with the afternoon prayer and the sunset prayer with the Isha prayer in Medina without being in a state of danger or rainfall. And in the hadith transmitted by Waki(the words are): “I said to Ibn Abbas: What prompted him to do that? He said: So that his(prophet’s)Ummah should not be put to (unnecessary) hardship.” Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1520

Abdullah b. Shaqiq reported: Ibn Abbas one day addressed us in the afternoon(after the afternoon prayer) till the sun disappeared, and the stars appeared, and the people began to say: Prayer, prayer. A person from Banu Tamim came there. He neither slackened nor turned away, but (continued crying): Prayer, prayer. Ibn Abbas said: May you be deprived of your mother, do you teach me sunnah? And then he said:
I saw the messenger of Allah(may peace be upon him) combining the noon and afternoon prayers and the sunset and Isha prayers. Abdullah b. Shaqiq said: Some doubt was created in my mind about it. So I came to Abu Huraira and asked him(about it) and he testified his assertion. Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1523

Abdullah b. Shaqiq al-Uqaili reported: A person said to Ibn Abbas(as he delayed the prayer): Prayer. He kept silent. He again said: Prayer.
He again kept silent, and he cried: Prayer. He again kept silent and said: May you be deprived of your mother, do you teach us about prayer? We used to combine two prayers during the lifetime of the
messenger of Allah(may peace be upon him). Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1524

Ibn Abbas reported: The messenger of Allah(may peace be upon him) observed the noon and afternoon prayers together in Medina without being in a state of fear or in a state of journey. Abu Zubair said: I asked Sa’id[one of the narrators] why he did that. He said: I asked Ibn Abbas as you have asked me, and he replied that he[the Holy prophet] wanted that no one among his Ummah should be put to
[unnecessary] hardship. Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1516

Ibn Abbas reported that the Messenger of Allah(may peace be upon him) observed in Medina seven (rakahs) and eight(rakahs), i.e., (he combined) the noon and afternoon prayers(eight rakahs) and the sunset
and Isha prayers(seven Rakahs). Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1522.

Wudhu syi’ah.

Syi’ah Ja’fariyah berwudhu dengan membasuh kedua tangan; dari siku-siku sampai ujung jari-jari, bukan kebalikannya, karena mereka mengambil cara berwudhu para imam Ahlul Bait yang telah mengambilnya dari Nabi saw. Tentunya, para imam lebih mengetahui dari pada yang lainnya terhadap apa yang dilakukan oleh kakek mereka. Rasulullah saw. Telah berwudhu dengan cara demikian itu, dan tidak menafsirkan kata  (Ilaa/ الی) dalam ayat wudhu (Al-Maidah [5]: 6) dengan kata (ma’a/ مع) hal ini juga ditulis Imam Syafi’i dalam kitabnya, Nihâyatul Muhtaj.  Begitu juga, mengusap kaki dan kepala mereka atau tidak membasuhnya ketika berwudhu, dengan alasan yang sama yang telah dijelaskan di atas. Juga karena Ibnu Abbas mengatakan: “Wudhu itu dengan dua basuhan dan dua usapan”.


Sebagaimana diketahui, pada tertib ritual wudhu, madzhab ahlusunnah mewajibkan membasuh kaki.
Sementara, madzhab syi’ah mewajibkan mengusap kaki (bukan membasuh kaki), berdasarkan ayat al-Qur’an :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” [5]

Sedang hadits-hadits seputar hal itu juga diriwayatkan, baik dari jalur ahlusunnah maupun syi’ah. Namun, larangan sebagian ulama ahlusunnah untuk mengusap kaki dikarenakan hadits-hadits yang memerintahkan membasuh kaki; yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Khalid bin Walid, Amr bin al-‘Ash, Urwah, dan lain-lain [6]. Dan sejarah membuktikan bahwa keempat orang tersebut adalah orang-orang yang tidak menyukai, bahkan memerangi Ahlul Bait as. Sementara hadits-hadits dari jalur ahlusunnah, yang memerintahkan untuk mengusap kaki, sebagai berikut :

1. Baihaqi meriwayatkan dalam Sunan-nya, dari Rifa’ah bin Rafi’, yang mengatakan bahwa Rasulullah (saww) bersabda : “Sungguh tidaklah kalian mengerjakan sholat, hingga kalian mengerjakan wudhu sebagaimana perintah Allah, yakni “basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.” [7]

2. Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari Ibn Abbas, yang berkata bahwa ayat “usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki” mengandung makna “mengusap”. [8]

3. Abdurrazzaq, Ibn Abi Syaibah, dan Ibn Majah meriwayatkan dari Ibn Abbas, yang berkata : “Orang-orang telah membasuh, padahal tidak aku jumpai dalam Kitabullah kecuali mengusap.” [9]
dan lain-lain.

Sementara dari jalur Ahlul Bait as (syi’ah), terdapat banyak sekali riwayat yang memerintahkan untuk mengusap kaki, seperti :
1. Imam Muhammad al-Baqir as, ketika menerangkan wudhu Rasulullah saww, mengatakan bahwa Rasul saww mengusap kakinya sebagaimana Al-Qur’an menjelaskan : “Usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. [10]
2. Imam Ali bin Abi Thalib as mengatakan bahwa ayat : “basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki” termasuk ayat muhkam, yang tidak memerlukan takwil lagi. Adapun batasan (hukum) wudhu adalah membasuh muka dan kedua tangan, serta mengusap kepala dan kedua kaki. [11]
3. Imam Ali al-Ridha as, ketika ditanya seseorang, mengatakan bahwa surat al-Maidah tersebut sudah jelas, yaitu mengusap kepala dan kedua kaki. [12]
4. Imam Muhammad al-Baqir as, ketika ditanya tentang darimana perintah untuk mengusap kepala dan kedua kaki, maka beliau menjawab bahwa perintah tersebut tercantum dalam al-Qur’an : “basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. [13]

Referensi:
[5] QS. al-Maidah: 6
[6] Al-Syaukani, “Nailul Authar”, jilid 1, bab “Sifat Wudhu”; Suyuthi, “Durr al-Mantsur”, jilid 3, tentang (QS. al-Maidah: 6).
[7] Suyuthi, “Durr al-Mantsur”, jilid 3, tentang (QS. al-Maidah: 6).
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Al-Hurr al-Amili, “Wasail al-Syi’ah”, jilid 1, hal. 389, riwayat 1022.
[11] Ibid, hal. 399, riwayat 1042.
[12] Al-Majlisi, “Bihar al-Anwar”, jilid 80, hal. 283, riwayat 32.
[13] Al-Kulaini, “Al-Kafi”, jilid 3, hal. 30, riwayat 4.

PERBAHASAN WUDHU’

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِذا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَ أَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرافِقِ وَ امْسَحُوا بِرُؤُسِكُمْ وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَ إِنْ كُنْتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُوا وَ إِنْ كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَرٍ أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ فَلَمْ تَجِدُوا ماءً فَتَيَمَّمُوا صَعيداً طَيِّباً فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَ أَيْديكُمْ مِنْهُ ما يُريدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَ لكِنْ يُريدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَ لِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepala dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit, berada dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyetubuhi perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan menggunakan tanah yang baik (bersih); usaplah muka dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS Al Maidah:6).

Di dalam ayat di atas, dua bentuk ayat perintah digunakan:
(i) “faghsilu” yang berarti “basuh”
(ii) “wamsuhu” yang berarti “sapu/usap”.

Adalah jelas bahawa bentuk ayat perintah “basuh” merujuk pada dua objek iaitu mukamu (wujuhakum) dan kedua tanganmu (aidiyakum) manakala bentuk perintah kedua pula (sapu/usap) merujuk pada dua objek lainnya iaitu bagian kepalamu (bi ru’usikum) dan kedua kakimu (arjulakum).

Perkataan “muka” berarti bagian depan kepala, bermula dari bagian dahi dan bawah dagu, dan dari telinga ke telinga. Dalam artinya yang sah, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis2 para A’immah as,ia merangkumi bagian muka dari batas anak rambut ke bagian hujung dagu, dan sebatas sejengkal dari sisi ke sisi.

Perkataan tangan berarti organ yang digunakan untuk menggenggam, dan merangkumi bagian atas antara bahu dan hujung jari. Maka, dari sudut bahasa, perkataan “yad” adalah umum bagi lengan,lengan bawah dan tangan. Apabila sesuatu perkataan itu digunapakai secara umum dalam lebih dari satu maksud, adalah penting untuk pembicara menjelaskan maksud katanya…dengan ini, kita lihat perkataan ‘ill ‘l marafiq “sehingga dengan siku” dalam ayat ini, menjelaskan hingga batas manakah wudu’ itu harus dilakukan.
( Wasa’il, jilid 1. hlm.283-286 bahagian 17-19 pada bab wudu’).

Kini kita sampai pada satu perbedaan utama antara Syiah dan Sunni dalam cara melakukan wudu’. Sunni membasuh lengan mereka dari hujung jari ke siku, manakala Syiah pula, membasuh lengan mereka dari siku ke hujung jemari. Seperti yang dinyatakan di atas, perkataan “hingga dengan siku” tidak menjelaskan kepada kita untuk membasuh lengan dari hujung jari hingga ke siku, malah, perkataan ini semata mata memberitahu bagian tangan yang manakah yang termasuk dalam bagian wudu’.

Lalu, bagaimana kita melakukan wudu’ dari siku ke hujung jemari? Jawaban pada persoalan ini terkandung di dalam sunnah. Salah satu dari tanggungjawab Rasul saaw adalah untuk menjelas dan menunjukkan tatacara sebenar berwudu’, dan ini kita peroleh lewat hadis para A’immah as.

Zurarah bin A’yan meriwayatkan hadis berikut:
“Imam Muhammad al-Baqir (a.s) berkata “Mahukah aku perlihatkan pada kalian cara wudu’nya Rasulullah saaw?” Kami menjawab, “Ya”. Apabila air dibawakan ke hadapan Imam, Imam lalu membasuh tangannya, setelah itu beliau menyingsing lengan bajunya. Beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam bejana, menceduk air dgn tangannya dan mencurahkannya ke dahinya. Beliau membiarkan air itu mengalir hingga ke janggutnya kemudian membasuh mukanya sekali. Kemudian, beliau memasukkan tangan kirinya ke dalam air dan menceduknya dengan tangannya dan menuangkannya ke ke siku tangan kanannya turun ke hujung jemarinya. Beliau mengulangi hal yang sama dengan tangan kanannya dan menuangkannya ke siku kirinya hingga ke hujung jemarinya.

Lalu setelah itu, beliau megusap bagian depan kepalanya dan muka kakinya dengan sisa air dari tangan kanan dan kirinya”( Wasa’il jilid 1 hlm 272).

Dalam hadis yang lain Imam Muhammad al-Baqir (a.s) meriwayatkan cara berwudu yang serupa dari Amirul Mukminin as yang menunjukkan cara berwudu Rasulullah saaw saat diminta seseorang (Wasa’il jilid 1 hlm 272).

Kata perintah “wamsahu “usap/sapu” berarti menyapukan tangan dsb pada sesuatu. Bila perkataan seperti ini digunakan dalam bentuk kata transitif, ia menandakan penyempurnaan dan keseluruhan perbuatan (sebagai contoh maksudnya “basuh seluruh kepalamu”).

Namun, setiap kali verb ini diikuti oleh huruf “ba”, ia menandakan sebagian darinya (bermakna, “basuhlah sebagian dari kepalamu”) Dalam ayat wudu’ ini, huruf “ba” telah digunakan dalam ayat perintah wudu’ yang berarti, terjemahannya yang tepat adalah “basuhlah sebagian dari kepalamu”

Bagian kepala yang manakah yang harus dibasuh saat berwudu’? Al Quran tidak menyebutkannya, namun hal ini bisa kita temukan di dalam sunnah Rasul saaw. Terdapat banyak hadis dari para A’immah as yang menjelaskan hal ini, bahawa “sebagian dari kepala” adalah bagian depannya (Wasa’il jilid 1 hlm 289).

Perkataan “arjulukum ” berarti “kaki, keseluruhan kaki”. Untuk mengkhususkan maksudnya, adalah penting untuk menambahkan perkataan “illa ‘l-ka’bayn”, “hingga kedua mata kaki”. Kata “ar-julakum” adalah berhubung kepada “bi ru’usikum” “sebagian dari kepalamu” oleh kata sendi “wa=dan “. Dengan ini, ayat tersebut berarti “usap/sapu sebagian dari kakimu”.

Sekali lagi, di sini, kita temukan perbedaan di antara Syiah dan Sunni. Sunni membasuh keseluruhan kaki mereka sedangkan Syiah hanya mengusap bagian atas kaki mereka hingga ke mata kaki. Sekaitan hal ini, al Quran dan hadis hadis para A’immah as, menjelaskan bahawa “mengusap sebagian dari kakimu” itulah yang benar, dan tafsir inilah yang juga diterima oleh mufassir kenamaan Sunni Imam Fakhru ‘d-Din ar-Razi in his Tafsir al-Kabir.( ar-Razi, Tafsir al-Kabir, vol.3, p.370).

Satu satunya asas bagi Sunni dalam “membasuh kaki” adalah sebagian hadis yang terakam dalam kitab2 hadis mereka.
Hadis2 ini tidak valid karena:
Pertamanya, terdapatnya percanggahan dengan perintah al Quran. Rasul saaw bersabda “Jika hadisku disampaikan padamu, maka letakkannya di hadapan al Quran, jika ia sejalan dengan kitab Allah, ambillah, dan jika sebaliknya, tolaklah”.

Keduanya, mereka menentang sunnah Rasul saaw, sebagaimana yang dijelaskan oleh para A’immah as, yang diterima oleh semua kaum Muslimin. Bahkan sebagian dari sahabat yang mengatakan adalah salah untuk menisbahkan “membasuh kaki” kepada Rasul saaw.

Sebagai contohnya, sahabat Ibn Abbas berkata, “Allah telah menetapkan dua basuh dan dua usap dalam berwudu’. Tidakkah engkau perhatikan, saat Allah memerintahkan bertayyamum, Allah telah meletakkan duausapan pada dua basuhan (muka dan tangan) dan menghilangkan dua usapan (kepala dan kaki) ( Muttaqi al-Hindi, Kanzu ‘l-Ummal, jil. 5, hlm. 103 (hadith 2213).Juga Musnad Ibn Hanbal, jil. 1, hlm.108).

Ketiga, hadis Sunni dalam hal ini (wudu’) adalah saling bertentangan. Sebagian hadis menyebutkan “membasuh kaki” seperti hadis Humran yang dikutip oleh Bukhari dan oleh Ibn ‘Asim yang dikutip oleh Muslim. Manakala sebagian dari hadis pula mengatakan bahawa Nabi saaw “mengusap kaki”, seperti hadis Ibad bin Tamim yang berkata, “Aku melihat Rasulullah saaw melakukan wudu’, dan Baginda mengusap kakinya”. Hadis ini diriwayatkan di dalam Ta’rikh of al-Bukhari, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Sunan Ibn Abi Shaybah, dan Mu’jamu ‘l-Kabir at-Tabarani; dan semua perawinya adalah tsiqah. ( al-’Asqalani, al-’lsabah, jil. 1, hlm. 193; juga Tahdhib at-Tahdhib).

Dan adalah suatu kesepakatan bahawa di dalam kaedah (usulu ‘l-fiqh) jika ada hadis2 yang bertentangan, maka yang sejalan dengan al Quran diterima dan selainnya ditolak.
Diriwayatkan dari Rifa’ah Ibn Rafi’ bahawa beliau bersama dengan Rasul saaw lalu Baginda saaw bersabda, “Hakikatnya, tiada solat yang diterima sehinggalah seseorang itu menyempurnakan wudu’nya sebagaiman yang ditetapkan oleh Allah yang Maha Perkasa, iaitu membasuh muka dan tangan hingga ke siku dan mengusap kepala dan kedua kaki hingga ke mata kaki” . (Sunan Ibn Majah. jil. 1, bag 57, hadis 460, No. 453; Sunan Abi Dawud, No. 730; Sunan Al-Nisa’i, No. 1124; Sunan Al-Darimi 1295).

Al-Bukhari, Ahmad, Ibn Abi Shaybah, Ibn Abi Umar, Al-Baghawi, Al-Tabarani, Al-Bawirdi dan yang lainnya meriwayatkan dari Abbad Ibn Tamim Al-Mazani yang meriwayatkan bahawa bapanya berkata, “Aku melihat Rasulullah saaw berwudu’ dan mengusap kakinya dengan air”(Al-Isaba, jil. 1, hlm. 185, No. 843).

Abu Malik Ash’ari memberitahu kerabatnya, “Mari, biar aku tunjukkan cara berwudu’nya Rasulullah saaw” Beliau meminta air untuk berwudu’. Beliau menghidu air tersebut lalu membasuh mukanya tiga kali dan membasuh tangannya dari siku tiga kali dan mengusap kepala dan muka atas kakinya. Kemudian mereka solat (Musnad Ahmad Ibn Hanbal, No. 21825).

Diriwayatkan dari Rubayyi’ bahawa dia berkata, “Ibn Abbas datang kepadaku dan bertanyakan tentang hadis yang aku riwayatkan dari Rasul saaw yang menceritakan tentang Nabi saaw membasuh kakinya saat berwudu’. Lalu Ibn Abbas berkata, “Manusia mengelak apa sahaja kecuali basuh, sedang aku tidak melihat di dalam kitab Allah kecuali menyapu” (Sunan Ibn Majah, jil. 1, hlm. 156, No. 458, No. 451; Musnad Ahmad, No. 25773 ).

Ulama Syi’ah berkeyakinan bahwa dalam berwudhu diwajibkan membasuh kedua tangan dari atas ke arah bawah. Sementara kaum Ahlusunnah berpendapat bahwa manusia (mukallaf) bebas memilih antara membasuh kedua tangannya dari atas ke bawah atau sebaliknya. Tetapi disunatkan membasuhnya dari ujung jari-jari ke arah atas.(Al-Fiqhu ‘ala al-madzâhibil khamsah, hal. 80, al-Fiqhu ‘ala al-madzâhibil arba’ah, jilid 1, hal. 65 pada pembahasan jumlah sunat-sunat dan lain-lain; Shalat al-mukmin al-qahthani, jilid 1, hal. 41, 42.).

Fukaha Syi’ah mendasari pandangannya dengan sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Rasululah Saw membasuh kedua tangannya dari atas ke bawah.( Wasâ’il as-Syi’ah, jilid 1, hal. 387 pada abwâbul wudhu, bab 15, bâbu kayfiyati al-wudhu wa jumlatin min ahkamihi).

Dan berdasarkan riwayat sahih lainnya sebagai penafsiran yang disampaikan oleh para Imam makshum As atas ayat yang berkaitan dengan wudhu.(. Surat al-Maidah (5): 6).

Riwayat tersebut berbunyi: “Kalian harus membasuh kedua tanganmu dari atas ke bawah”( Wasa’il as-Syi’ah, jilid 1, abwâbu al-wudhu, bab 19, h 1.).

Adapun mengenai redaksi “ila” yang terdapat di dalam ayat Al-Qur’an, yaitu: “Wahai orang-orang yang beriman, ketika kamu ingin melakukan shalat, maka basuhkan wajahmu dan kedua tanganmu hingga bagian siku” (Qs. Al-Maidah [5]:6) dapat dikatakan bahwa ayat tersebut hanya menjelaskan batasan-batasan basuhan dan kadarnya, bukan menjelaskan tata cara membasuh. Dengan kata lain bahwa ayat tersebut menentukan batasan dan kadar tangan yang harus dibasuh dalam berwudhu itu hingga bagian siku.( Kata “marâfiq” adalah bentuk plural dari kata “mirfaq” yang bermakna siku).

Untuk memperjelas maksud apa yang disebutkan di atas kami akan sampaikan contoh sebagai berikut. Misalnya ada seseorang berkata kepada pembantu masjid: “Uknus al-masjid min al-bâb ila al-mihrâb” (sapulah masjid dari pintu sampai ke mihrab). Dalam kalimat tersebut seseorang ingin menjelaskan kadar dan batasan yang harus di sapu. Dia tidak bermaksud mengatakan dari mana memulainya dan sampai dimana kesudahannya. Terlebih dalam ayat wudhu tersebut tidak terdapat kata “min” (dari). Dengan demikian bahwa kata “ila” yang terdapat pada ayat di atas itu tidak juga menunjukkan dianjurkannya (sunah) membasuh kedua tangan dari ujung jari-jari ke arah siku. Sebagai bukti terbaik atas maksud ayat tersebut adalah kebiasaan dan sunnah Rasulullah Saw yang telah dijelaskan oleh para Imam suci Ahlulbait As.
Dengan demikiian bahwa makna kata “ila” adalah ghayat ( Maknanya: ke, hingga), tetapi menunjukkan tangan yang dibasuh ( Yakni bahwa batas tangan yang harus dibasuh adalah sampai siku). dan bukan untuk cara membasuhnya.( Yakni bukan berarti basuhannya itu sampai siku sehingga menimbulkan dugaan bahwa tata cara membasuhnya itu harus ke arah siku). Atau bermakna “min” ( Bermakna: dari) atau bermakna “ma’a” ( Bermakna: beserta, bersama). sebagaimana pandangan Syaikh Thusi.( Wasâil as-Syi’ah, jilid 1, hal. 406).

Tatacara berwudu’ dalam mazhab Ahlul Bayt as.
Wudu’ dilaksanakan secara empat tahap:
1. Membasuh muka. Selepas berniat, curahkan air dari atas arah anak rambut. Dengan menggunakan tangan kanan, basuhlah muka itu dari atas ke bawah, hingga air itu sampai ke seluruh wajah dari anak rambut ke dagu dan dari sisi ke sisi(bagian yg tidak ditumbuhi janggut)
Bacalah doa ini sebelum mulakan wudu’:
Bis mail-lahi wa bil-lahi ; wal hamdu lil-lahi lazi ja’ala ma’a tahuran wa lam yaj’alu najisa
dan doa ini saat membasuh muka:
Allahumma bayyiz wajhiy yawma tusawwidul wujuh; wa la tusawwid wajhiy yawma tubyyizul wujuh
2. Membasuh tangan dari siku ke hujung jemari. Lurutkan tangan ke bawah dan tidak boleh naik ke atas saat membasuh tangan ke bawah. Mulakan pada tangan kanan dahulu baru diikuti oleh tangan kiri.
Bacalah doa ini saat membasuh tangan kanan:
Allahumma ‘atiniy kitabi bi yaminiy, wal khuda fil jinani bi yasariy, wa hasibniy hisaban yasira
Bacalah doa ini saat membasuh tangan kiri:
Allahumma la tu’tiniy kitabiy bi shimaliy, wa la min wara’i zahriy, wa la taj’alha maghluqatan ila ‘unuqi; wa a ‘uzu bika min muqatta ‘atin niyran
3. Mengusap kepala. Dengan sisa air wudu’ itu (tidak perlu mengambil air lagi), usapkan kepala dari bagian atas kepala turun ke anak rambut. Gunakan tangan kanan, bisa dgn satu jari sahaja, namun sebaik baiknya 3 jari.
Bacalah doa ini saat mengusap kepala:
Allahumma ghash-shiniy bi rahmatika wa barakatika wa ‘afwika
4. Mengusap muka kaki. Seperti kepala tadi, air yg masih tersisa pada tangan tadi di usapkan pada kaki, bermula dari hujung jari kaki hingga ke atas (menggunakan tapak tangan), iaitu pada mata kaki(pergelangan kaki). Kaki tidak boleh digerakkan saat mengusap, hanya tangan sahaja yg digerakkan (kaki juga bisa diusap dari mata kaki ke hujung jari) Gunakan tapak tangan kanan utk kaki kanan dan tapak tangan kiri utk kaki kiri.

Bacalah doa ini saat mengusap kaki:
Allahumma thab-bitniy ‘alas sirati yawma tuzillu fiyhil aqdam ; waj’al sa’iy fi ma urziyka ;anniy ; ya zul jalali wal ikram.

**Adalah penting untuk memperhatikan bahawa saat menyapu kepala dan kaki, kedua dua bagian itu harusnya tidak basah, pastikan keduanya tidak berair.
_______________________________________________________________
di sunni -ketika membahas nasikh-mansukh-ayat wudlu ini dijadikan dalil bolehnya sunnah mengapus hukum qur’an. Di antara dalilnya adalah berikut ini:
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahi, telah menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Asim al-Ahwal, dari Anas yang mengatakan bahwa Al-Qur’an menurunkan perintah untuk mengusap (kaki), sedangkan sunnah memerintahkan untuk membasuh(nya). Ibnu Katsir berkata Sanad atsar ini sahih.

Ibn Katsir berkata “Memang diriwayatkan dari segolongan ulama Salaf hal yang memberikan pengertian adanya wajib mengusap kaki ini.” kemudian ia membawakan dalil-dalilnya, di antaranya:
1. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Humaid yang mengatakan bahwa Musa ibnu Anas berkata kepada Anas, sedangkan kami saat itu berada di dekat¬nya, “Hai Abu Hamzah, sesungguhnya Hajaj pernah berkhotbah ke pada kami di Ahwaz, saat itu kami ada bersamanya, lalu ia menyebutkan masalah bersuci (wudlu). Maka ia mengatakan, ‘Basuhlah wajah dan kedua tangan kalian dan usaplah kepala serta basuhlah kaki kalian. Karena sesungguhnya tidak ada sesuatu pun dari anggota tubuh anak Adam yang lebih dekat kepada kotoran selain dari kedua telapak kakinya. Karenanya basuhlah bagian telapaknya dan bagian luarnya serta mata kakinya’.” Maka Anas berkata, “Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya dan dustalah Al-Hajaj. Allah Swt. telah berfirman, ‘Dan usaplah kepala kalian dan kaki kalian’
2. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Qais Al-Khurrasani, dari Ibnu Juraij , dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa wudu itu terdiri atas dua basuhan dan dua sapuan.
3. Hal yang sama diriwayatkan oleh Sa’id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar Al-Minqari, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mihran, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya “dan sapulah kepala kalian dan kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki.”(al-Maidah: 6). Makna yang dimaksud ialah mengusap kedua kaki (bukan membasuhnya).

Yang aneh, kenapa ia justeru menyerang syi’ah dengan pernyataan: “Orang-orang yang menganggap wajib mengusap kedua kaki seperti mengusap sepasang khuf dari kalangan ulama Syi’ah, sesungguhnya pendapat ini sesat lagi menyesatkan.”.

Apa hubungannya dengan syi’ah, kenapa ia tidak mengkritik salaf yang berpendapat demikian tapi malah syi’ah yang disesatkan? aneh…

Ada 3 Amalan Bersuci (QS. 4: 43 dan QS. 5: 6) dengan perintah mandi, membasuh dan mengusap:
1.Basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
2.Sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki.
3. Sapulah mukamu dan tanganmu.(tayamum).

Perbedaan qira’at tidak mempengaruhi arti dan maksudnya. Membasuh kaki karena mengikuti perintah “membasuh muka” bertentangan dengan susunan kalimat yang fasih seperti dicontohkan pada perintah “mengusap muka”.

Sunni sendiri umumnya mengakui bahwa ayat tersebut menyuruh mengusap kaki, hanya saja ada sunnah yang mewajibkan membasuh kaki. Sehingga ada yang membawa dalil sunnah tsb sebagai penjelas dan ada juga sebagai penghapus hukum ayat tersebut.

Bagi saya ayat-ayat perintah dalam al-Quran adalah penting. semoga kita tidak termasuk orang yang diadukan oleh Rasul SAW:
“Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan.” (QS. 25: 30).

Dengan memperhatikan cara wudhu Ahlusunnah, apa makna kata "ila" yang terdapat pada ayat wudhu?

 
 
Dengan memperhatikan cara wudhu Ahlusunnah, apa makna kata "ila" yang terdapat pada ayat wudhu? Sehubungan dengan hal ini, lalu bagaimana wudhu yang dipraktikkan Nabi Saw?
 
Pertanyaan:
Apa makna kata "ila" yang terdapat pada ayat yang menjelaskan tentang wudhu, yaitu: "maka basuhlah wajah-wajah dan tangan-tangan kalian hingga (ila) ke siku?" Apakah mazhab Ahlusunnah mengartikan kata tersebut dengan "ke arah", karena itu mereka membasuh tangan ke arah siku? Bagaimanakah perilaku Nabi Saw terkait dengan masalah ini?
 
Jawaban Global:
Mengenai kata "ila" yang terdapat pada ayat wudhu, sebenarnya hanyalah untuk menjelaskan kadar dan batas-batas basuhan, bukan menjelaskan tentang tatacara membasuh. Artinya bahwa ayat tersebut menjelaskan kadar dan batas tangan yang mesti dibasuh dalam berwudhu hingga ke siku. Kata "ila" di sini bermakna ghayat (sampai, batas akhir) bagi anggota yang dibasuh, bukan ghayat basuhan.  Karena itu, ketika dikatakan "basuhlah tanganmu", mungkin akan terbesit dalam benak bahwa apabila tangan itu dibasuh hanya sampai ke bagian pergelangan tangan, maka hal itu sudah dianggap memadai. Untuk menyangkal dugaan dan kesalahpahaman ini dikatakan: "basuhlah tanganmu hingga ke siku". Karena itulah ulama Syi'ah mewajibkan –dalam berwudhu- membasuh kedua tangan dari bagian atas ke bagian bawah. Mereka menilai bahwa perilaku dan sunnah Rasulullah Saw yang telah dijelaskan oleh Ahlulbaitnya adalah bukti dan dalil yang paling baik atas makna ini. Kaum Ahlusunnah juga -sekalipun "ila" itu mereka artikan sebagai "ke arah", karena itu mereka menilai bahwa dalam membasuh tangan itu lebih baik dari bagian bawah ke arah atas, tetapi walaupun demikian mereka- mengatakan bahwa seseorang itu boleh memilih antara membasuh tangannya dari bawah ke atas atau sebaliknya. Namun mereka tidak memberikan kesimpulan bahwa kata "ila" itu menunjukkan kewajiban membasuh dari ujung jari-jari sampai siku.
Jawaban Detil
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kiranya di sini kami perlu menyampaikan sebuah mukaddimah.
Ulama Syi'ah berkeyakinan bahwa dalam berwudhu diwajibkan membasuh kedua tangan dari atas ke arah bawah. Sementara kaum Ahlusunnah berpendapat bahwa manusia (mukallaf) bebas memilih antara membasuh kedua tangannya dari atas ke bawah atau sebaliknya. Tetapi disunatkan membasuhnya dari ujung jari-jari ke arah atas.[1] Fukaha Syi'ah mendasari pandangannya dengan sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Rasululah Saw membasuh kedua tangannya dari atas ke bawah.[2] Dan berdasarkan riwayat sahih lainnya sebagai penafsiran yang disampaikan oleh para Imam makshum As atas ayat yang berkaitan dengan wudhu.[3] Riwayat tersebut berbunyi: "Kalian harus membasuh kedua tanganmu dari atas ke bawah"[4]
Adapun mengenai redaksi "ila" yang terdapat di dalam ayat Al-Qur'an, yaitu: "Wahai orang-orang yang beriman, ketika kamu ingin melakukan shalat, maka basuhkan wajahmu dan kedua tanganmu hingga bagian siku" (Qs. Al-Maidah [5]:6) dapat dikatakan bahwa ayat tersebut hanya menjelaskan batasan-batasan basuhan dan kadarnya, bukan menjelaskan tata cara membasuh. Dengan kata lain bahwa ayat tersebut menentukan batasan dan kadar tangan yang harus dibasuh dalam berwudhu itu hingga bagian siku.[5]
Untuk memperjelas maksud apa yang disebutkan di atas kami akan sampaikan contoh sebagai berikut. Misalnya ada seseorang berkata kepada pembantu masjid: "Uknus al-masjid min al-bâb ila al-mihrâb" (sapulah masjid dari pintu sampai ke mihrab). Dalam kalimat tersebut seseorang ingin menjelaskan kadar dan batasan yang harus di sapu. Dia tidak bermaksud mengatakan dari mana memulainya dan sampai dimana kesudahannya. Terlebih dalam ayat wudhu tersebut  tidak terdapat kata "min" (dari).  Dengan demikian bahwa kata "ila" yang terdapat pada ayat di atas itu tidak juga menunjukkan dianjurkannya (sunah) membasuh kedua tangan dari ujung jari-jari ke arah siku. Sebagai bukti terbaik atas maksud ayat tersebut adalah kebiasaan dan sunnah Rasulullah Saw yang telah dijelaskan oleh para Imam suci Ahlulbait As.[6]
Dengan demikiian bahwa makna kata "ila" adalah ghayat[7] (hingga), tetapi menunjukkan tangan yang dibasuh[8] dan bukan untuk cara membasuhnya.[9] Atau bermakna "min"[10] atau bermakna "ma'a"[11] sebagaimana pandangan Syaikh Thusi.[12][]



Rujuk Ahlus Sunnah:
[1]. .Al-Fiqhu 'ala al-madzâhibil khamsah, hal. 80, al-Fiqhu 'ala al-madzâhibil arba'ah, jilid 1, hal. 65 pada pembahasan jumlah sunat-sunat dan lain-lain;  Shalat al-mukmin al-qahthani, jilid 1, hal. 41, 42. 
[2]. Lihat kitab Wasâ'il as-Syi'ah, jilid 1, hal. 387 pada abwâbul wudhu, bab 15, bâbu kayfiyati al-wudhu wa jumlatin min ahkamihi. 
[3]. Surat al-Maidah (5): 6. 
[4]. Wasa'il as-Syi'ah, jilid 1, abwâbu al-wudhu, bab 19, h 1. 
[5]. Kata "marâfiq" adalah bentuk plural dari kata "mirfaq" yang bermakna siku. 
[6]. Untuk mengetahui lebih jauh lagi, silahkan rujuk kitab "Ali, Cera? Cera?" hal. 19-27 oleh: 'Athai Ishfahani. 
[7]. Maknanya: ke, hingga. 
[8]. Yakni bahwa batas tangan yang harus dibasuh adalah sampai siku. 
[9].  Yakni bukan berarti basuhannya itu sampai siku sehingga menimbulkan dugaan bahwa tata cara membasuhnya itu harus ke arah siku.
[10]. Bermakna: dari. 
[11]. Bermakna: beserta, bersama. 
[12]. Wasâil as-Syi'ah, jilid 1, hal. 406.

Terkait Berita: