Nuansa kota batik, Pekalongan, sontak berubah saat Konferensi Ulama Dunia II digelar pada 27-29 Juli 2016 yang mengangkat tema "Bela Negara, Konsep dan Urgensinya dalam Islam".
Masyarakat berduyun-duyun mendatangi Gedung Kanzus Shalawat yang berdekatan dengan kediaman seorang ulama kharismatik Indonesia, Habib Muhammad Lutfi bin Ali bin Yahya.
Aura keislaman yang memang kentara di sini, kian terkukuhkan ketika Habib Lutfi naik podium, mengawali istighasah, tepat pada malam sebelum konferensi dimulai.
Ia tak mengudari pidatonya dengan untaian kalimat bersayap pujian. Kendati singkat bicara, ada sepotong dari ucapannya yang bisa dijadikan catatan penting. Setidaknya bagi para hadirin yang disarati para ulama yang datang dari 59 negara dunia kala itu.
"Maaf saya tidak menggunakan Bahasa Arab. Bukan tidak menghormati Bahasa Al-Quran dan Nabi Muhammad Saw, tapi ini pun bentuk bela negara," kata Habib Lutfi tegas.
Raut wajahnya yang teduh, mendadak serius. Ada penekanan yang ingin ia bubuhkan dalam kalimat bernas itu. Islam tak harus Arab, dan Arab belum tentu Islam. Secara fakta, hal itu benar.
Sejatinya, jelas sekali kenapa konferensi ulama internasional ini digelar di Pekalongan, Indonesia. Alasan paling mendasar adalah, Habib Lutfi ingin menunjukkan kepada muslim dunia bahwa Islam Indonesia memiliki keunikan tersendiri yang bahkan sulit ditemukan di belahan dunia muslim mana pun.
Apalagi di Timur Tengah, yang corak masyarakat muslimnya cenderung seragam. Belum ditambah dengan gairah kesukuannya yang kental dan kerap jadi sumber peperangan sejak zaman awal Islam hadir di Makkah-Madinah.
Itulah tantangan terberat Rasulullah SAW saat mengikat umat yang ia pimpin ketika diangkat menjadi nabi.
Belajar dari kasus itu, nampaknya tepat jika beliau diturunkan Allah SWT di negeri tandus budaya itu. Sebab pada saat yang sama (abad ke-7 M), di Nusantara sudah subur semangat keragaman, kebahasaan, dan spiritualitas.
Khususnya tradisi Abrahamik yang masih kental jejaknya dalam tradisi para leluhur kita. Maka wajar kiranya jika umat muslim Indonesia tampil meneruskan tampuk kepemimpinan pasca Andalusia diakuisisi Barat Kristen melalui kerja sama Portugal-Spanyol pada abad ke-15.
Nun jauh sebelum era Andalusia, di negeri ini telah bermunculan kerajaan Islam sedari Kalingga pada abad ke-8 hingga Banten Girang pada abad ke-19.
Secara garis besar, semua kerajaan Islam yang ada, ditopang oleh trisula kehidupan yang mapan: ulama mumpuni, pemimpin yang adil, dan rakyat yang bersatu. Sebuah formasi solid yang kini sulit dicari bandingannya di Timur Tengah sana.
Apa pula bicara Afrika dan Amerika. Takdir keislaman mereka agak berbeda dengan muslim Indonesia.
Masa Depan Islam
Nasib umat Islam dunia yang kini menjadi mayoritas di antara masyarakat global, berada di simpang jalan. Bila menggunakan kacamata sejarah, fenomena serupa pernah terjadi sebelumnya. Bahkan berlangsung nyaris satu milenium sejak era Nabi Muhammad SAW hingga dipungkasi peradaban Islam Andalusia yang saat itu menjadi permata dunia.
Kunci utamanya sederhana saja, Islam tak menganjurkan umatnya menanam keegoan pribadi. Ritus keagamaan Islam umumnya didominasi asas kebersamaan. Bukan asas manfaat atas nama diri pribadi.
Melampaui itu, Islam sangat menekankan bahwa semua muslim itu satu tubuh. Satu organ raksasa yang terdiri dari begitu banyak sel. Satu dan lainnya sama meyakini bahwa mereka adalah rahmat bagi semesta alam. Seorang dan lainnya sama percaya bahwa mereka harus menjadi manfaat bagi kehidupan.
Corak seperti inilah yang tumbuh subur di Indonesia. Ritus keislaman di negeri ini adalah bukti nyata betapa Islam Indonesia pusparagam bentuknya.
Sila Anda amati sendiri masyarakat Betawi yang notabene adalah suku termuda di Indonesia. Mereka terbentuk secara sadar dari perpaduan manis begitu banyak bangsa dan suku: Arab, China, Portugis, Afrika, Sunda, Bima, Jawa, dan Melayu.
Tak salah bila kemudian Batavia (Jayakarta) perlahan tampil menjadi primadona bahkan kini menjadi ibukota negara Indonesia. Masyarakat Betawi yang seluruhnya muslim, punya semangat membuka diri pada sekian banyak kebaruan tanpa kehilangan identitas lama yang telah mereka bentuk sedari mula.
Pola melting pot (mangkuk budaya raksasa) itulah, yang setengah mati ingin ditiru Barat dengan menciptakan Amerika yang mereka rampok dari tangan suku Indian. Meski pada praktiknya, mimpi tinggal mimpi.
Amerika yang dengan susah payah berusaha "memimpin" dunia dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan perang demi perang yang mereka ciptakan--termasuk di Timur Tengah hari ini, tetap tak berhasil membuat mereka jadi raja dunia. Padahal peradaban modern yang dibentuk Amerika baru berusia tiga abad saja. Saat ini, mereka di ambang keruntuhan yang bersiap melapangkan jalan kehadiran zaman baru.
Salah seorang peserta konferensi dari Malaysia seolah menyayangkan keputusan Jam'iyah Ahluth Thoriqoh al-Muktabaroh an-Nahdliyah (JATMAN), penyelenggara konferensi yang malah meminta para ulama Timur Tengah (Oman, Kuwait, Suriah, Saudi Arabia) menjadi pembicara kunci.
Sebabnya adalah, "Mereka datang dari negara konflik yang bahkan sudah berlangsung lebih dari lima tahun. Mereka tak punya formula khusus yang terbukti ampuh meredam konflik di sana.
“Seharusnya, ulama kawakan Indonesia yang duduk di depan para ulama itu untuk memberitahu pada mereka, ramuan ajaib apa yang dimiliki Muslim Indonesia hingga bisa tetap seperti saat ini.” Demikian ujar peserta dari Malaysia itu.
Gus Mus, Imam Shamsi, KH. Maymun Zubair, Habib Lutfi, dan Abuya Muhtadi, mestinya angkat bicara di konferensi. Tiga tokoh yang namanya saya tulis belakangan, sebenarnya hadir di lokasi. Sayang, mereka tak didudukkan di tempat terhormat sebagaimana harusnya.
Selaku peserta konferensi yang memilih posisi sebagai pengamat dari jarak dekat, saya tak mendengar satu pun pembicaraan dari para pemateri, berkenaan dengan langkah taktis-strategis yang bisa diambil. Semua masih tataran legal-formal. Normatif. Sangat tekstual. Bukan kontekstual.
Rentetan ayat al-Quran, Hadits, atsar para Sahabat Nabi, dan petuah ulama salaf, tak terkira banyaknya. Tapi itu semua belum menjeluk ke persoalan umat Islam hari ini, yaitu neo-kolonialisme yang dibungkus adicita sumir macam liberalisme perbankan, sosialisme, dan demokrasi.
Menghadapi pola kerja yang telah terbangun sistemik sejak tiga abad silam itu, yang juga dilengkapi dengan penguasaan informasi-data intelijen, para ulama Islam tak lagi bisa menyandarkan keputusannya pada romantika peradaban Islam masa lalu.
Dunia kita berubah begitu cepat. Barat selalu berhasil menangkal temuan para peretas-penyintas sibernetik atas "kejahatan" mereka, dengan menandai perilaku itu sebagai konspirasi.
Sebuah upaya pemakzulan tatanan dunia yang mapan mereka bangun sejak lama. Ambisi rakus menciptakan Satu Pemerintahan Dunia dengan gula-gula demokrasi adalah tujuan utama yang hendak mereka capai.
Para pemimpin besar di Timur Tengah telah menelan pil pahit ini. Sebut saja, Hafidz al-Assad, Saddam Husein, Moammar Khadafi, Yaser Arafat, dan Mahmoud Abbas.
Hemat saya, perlu juga dibentuk badan intelijen ulama berskala global yang bertugas menandingi kejahatan terselubung Barat yang terbungkus dalam gold, glory, gospel, gun, germ, steel, god.
Sejak agama samawi (Yahudi, Kristen, Islam) lahir ke dunia, pertikaian antar umat manusia datang silih berganti. Saya yakin dan percaya, bukan agamanya yang salah, tapi manusia yang meyakini agama sebagai otoritas kebenaran tunggallah yang jadi biang kerok kehancuran dunia kita sekarang.
Muslim Indonesia, punya peranan penting dalam hal ini. Andai potensi besar masyarakat muslim Indonesia diaktifkan, bukan tak mungkin gelombang Zaman Kapital-Material yang saat ini merajalela, tumpas hingga ke akarnya.
Terkesan utopis memang. Tapi jika tak dimulai dari sekarang, harus berapa generasi manusia lagi yang jadi korban kerakusan segelintir manusia?
Kopi Tahlil
Pekalongan tak hanya bisa dikenali lewat batik. Karya seni lukis kain yang memang sudah mendarah daging di kota ini sejak ratusan tahun lalu. Sebagai penikmat kopi, ternyata saya bisa menyelam ke dalam sejarah sebuah kota, melalui segelas kopi tahlil.
Paduan rasa kopi dengan jahe, rempah, dan pandan. Bila berkunjung ke sini, sempatkan sejenak menghirupnya. Sila buktikan sendiri, betapa kopi itu bisa mengantarkan sensasi pemikiran yang bercorak Islam.
Seperti juga di Pandeglang, Cirebon, Demak, Gresik, Kajen, Kudus, Ampel, Pekalongan laik disebut sebagai kota santri.
Sembilan dari sepuluh warganya, niscaya pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Mereka santri yang gemar mengaji. Sinau di bawah bimbingan para kiyai. Mereka juga mencintai ulama tanpa tedeng alingaling.
Kini, Habib Muhammad Lutfi bin Ali bin Yahya, adalah sosok yang begitu dimuliakan oleh masyarakat Pekalongan, juga rakyat Indonesia.
Habib yang satu ini tak begitu kentara ashobiyah (kesukuannya) sebagaimana ulama berdarah Arab yang lain di Indonesia. Lidahnya bercitarasa Jawa. Corak pemikirannya lokal-mengglobal. Ketinggian ilmu dan pengaruhnya di dunia muslim, telah beliau buktikan dengan menggalang Konferensi Ulama Dunia gelombang II pada akhir Juli ini.
Mendengar pidato Habib Lutfi saat membuka konferensi, saya seolah melihat seorang jenderal perang yang memimpin pasukannya dengan keberanian penuh dan ketajaman lidah melebihi pedang.
Beberapa ulama Timur Tengah, Afrika, dan Amerika yang berbicara di konferensi, sama mengakui bahwa mereka melihat Islam dan muslim madani yang digambarkan Rasulullah Muhammad SAW, seribu empat ratus tahun silam.
Ren Muhammad
Semarang, 24 Syawal 1437 H
(Kompas/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email