Oleh: Ayatullah Al Uzhma Sistani.
Masalah 84: Benda-benda najis adalah sepuluh macam: (1) air kencing, (2) air besar, (3) air sperma, (4) bangkai, (5) darah, (6) anjing, (7) babi, (8) orang kafir, (9) minuman keras, dan (10) keringat binatang pemakan najis.
(1 – 2) Air Kencing dan Air Besar
Masalah 85: Air kencing dan kotoran setiap manusia dan binatang yang berdaging haram serta memiliki darah memancar; yaitu, apabila urat binatang ini dipotong, darahnya akan keluar memancar, adalah najis. Kotoran binatang berdaging haram yang tidak memiliki darah memancar, seperti ikan berdaging haram, dan begitu juga kotoran binatang-binatang kecil yang tidak memiliki daging, seperti nyamuk dan lalat, adalah suci. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath wajib, kita harus menghindari air kencing binatang berdaging haram yang tidak memiliki darah memancar.
Masalah 86: Air kencing dan kotoran burung yang berdaging haram adalah suci, dan yang lebih baik adalah hendaknya kita menghindarinya.
Masalah 87: Air kencing dan kotoran binatang pemakan najis adalah najis. Begitu juga halnya air kencing dan kotoran anak kambing yang (tumbuh dengan) meminum air susu babi—sesuai dengan penjelasan yang akan dipaparkan pada pembasahan makanan dan minuman nanti—dan binatang berkaki empat yang pernah disetubuhi oleh manusia.
(3) Air Sperma
Masalah 88: Air sperma manusia dan setiap binatang berdaging haram yang memiliki darah memancar adalah najis. Dan berdasarkan ihtiyath wajib, air sperma binatang berdaging halal yang memiliki darah memancar harus dihindari.
(4) Bangkai
Masalah 89: Bangkai manusia dan binatang yang memiliki darah memancar adalah najis, baik ia mati dengan sendirinya atau disembelih tidak sesuai dengan ketentuan syariat. Bangkai ikan adalah suci meskipun ia mati (dengan sendirinya) di dalam air, karena ikan tidak memiliki darah memancar.
Masalah 90: Seluruh anggota tubuh bangkai yang tidak memiliki roh, seperti bulu, rambut, tulang, dan gigi adalah suci.
Masalah 91: Jika kita memotong sebagian daging tubuh seseorang atau seekor binatang yang memiliki darah memancar atau bagian tubuh lainnya yang memiliki roh pada saat ia masih hidup, maka potongan bagian tubuh itu adalah najis.
Masalah 92: Jika kita mengelupas kulit tipis bibir dan bagian tubuh yang lain, maka kulit yang sudah terkelupas itu adalah suci, asalkan tidak memiliki roh dan terkelupas dengan mudah.
Masalah 93: Telur yang keluar dari perut seekor ayam yang telah mati adalah suci, meskipun kulit luarnya belum mengeras. Akan tetapi, bagian luarnya harus diuci dengan air.
Masalah 94: Jika seekor anak kambing mati sebelum menjadi hewan pemakan rerumputan, maka abomasum (bahan dasar penggumpal keju—pen.) yang terdapat di dalam kantong susunya (lambung paling ujung sebelah usus halus—pen.) adalah suci.
Masalah 95: Obat-obatan cair, minyak wangi, minyak goreng, semir sepatu, dan sabun yang diimpor dari luar negeri adalah suci, jika kita tidak yakin dengan kenajisannya.
Masalah 96: Daging, lemak, dan kulit yang dimungkinkan berasal dari hewan yang telah disembelih berdasarkan ketentuan syariat adalah suci. Akan tetapi, jika daging, lemak, dan kulit tersebut diambil dari tangan seorang kafir atau berada di tangan seorang muslim yang telah menerimanya dari seorang kafir dan ia tidak meneliti sebelumnya apakah hewan tersebut telah disembelih berdasarkan ketentuan syariat atau tidak, maka daging dan lemak tersebut haram dimakan. Hanya saja, diperbolehkan kita mengerjakan shalat dengan menggunakan kulit itu. Adapun apabila barang-barang itu diambil dari pasar muslimin atau dari seorang muslim dan tidak diketahui apakah ia telah menerimanya dari seorang kafir atau dimungkinkan ia telah mengadakan penelitian terlebih dahulu sebelum menerimanya dari orang kafir tersebut, maka diperbolehkan kita memakan daging dan lemak tersebut, dengan syarat orang muslim itu melakukan sebuah tindakan berkenaan dengan daging dan lemak tersebut yang hanya dilakukan berkenaan dengan daging-daging yang halal, seperti ia menjualnya untuk dikonsumsi.
(5) Darah
Masalah 97: Darah manusia dan setiap binatang yang memiliki darah memancar ketika uratnya dipotong adalah najis. Dengan demikian, darah hewan yang tidak memiliki darah memancar, seperti ikan dan nyamuk, adalah suci.
Masalah 98: Jika binatang yang berdaging halal disembelih sesuai dengan ketentuan syariat dan darahnya telah keluar dari tubuhnya sesuai dengan kadar yang semestinya, maka darah yang tersisa di dalam tubuhnya adalah suci. Akan tetapi, jika darahnya masuk kembali ke tubuhnya karena tarikan napas atau bagian kepalanya terletak di tempat yang lebih tinggi, maka darah tersebut adalah najis.
Masalah 99: Berdasarkan ihtiyath mustahab, kita hendaknya menghindari (baca: tidak memakan) telur yang setitik darah terdapat di dalamnya. Jika darah tersebut terdapat di dalam kuning telur, maka bagian putih telur—tanpa isykal—adalah suci, selama kulit tipis yang mengelilingi kuning telur tersebut belum robek.
Masalah 100: Darah yang kadang-kadang keluar ketika kita sedang memerah air susu adalah najis dan menajiskan air susu tersebut.
Masalah 101: Jika darah yang keluar dari sela-sela gigi telah hilang setelah bercampur dengan air ludah, maka tidak wajib kita menghindari air ludah tersebut.
Masalah 102: Jika darah yang tersimpan di bawah kuku atau kulit akibat terbentur benda keras telah mati dan tidak lagi dinamakan darah, maka darah tersebut adalah suci, dan jika masih dinamakan darah serta nampak keluar, maka darah itu adalah najis. Atas dasar ini, apabila kuku atau kulit itu terkelupas sehingga darah itu menjadi bagian luar badan, lalu membersihkan darah tersebut dan menyucikan tempatnya untuk berwudhu atau mandi (wajib) menimbulkan kesulitan yang sangat menyusahkan (masyaqqah), maka kita harus bertayamum.
Masalah 103: Jika kita tidak mengetahui apakah yang berada di bawah kuku itu adalah darah yang sudah mengering atau daging yang berbentuk seperti darah mengering karena terbentur dengan benda keras, maka ia adalah suci.
Masalah 104: Jika setetes darah jatuh ke dalam makanan yang sedang mendidih, maka seluruh makanan dan bejananya—berdasarkan ihtiyath wajib—adalah najis. Mendidih, panas, dan api tidak dapat menyucikannya.
Masalah 105: Nanah yang berada di sekeliling luka yang hampir sembuh adalah suci jika tidak diketahui nanah itu telah bercampur dengan darah.
(6 – 7) Anjing dan Babi
Masalah 106: Anjing dan babi yang hidup di daratan adalah najis termasuk bulu, tulang, cakar, kuku, dan cairan (yang keluar) darinya. Akan tetapi, anjing dan babi laut adalah suci.
(8) Orang Kafir
Masalah 107: Orang yang tidak mengakui Allah atau kemahaesaan-Nya, begitu juga kaum Ghulat (yaitu mereka yang menganggap salah seorang imam mas‘hum as sebagai Allah atau meyakini bahwa Allah melakukan reinkarnasi di dalam dirinya), Khawarij, dan Nawashib (yaitu mereka yang menampakkan permusuhan terhadap para imam mas‘hum as) adalah najis. Begitu juga, orang yang mengingkari kenabian atau salah satu ajaran agama yang dharuri (gamblang wajibnya, seperti shalat dan puasa) sekiranya pengingkaran itu berkonsekuensi pembohongan terhadap Rasulullah saw, walaupun secara global. Adapun ahlulkitab (yaitu, para pengikut agama Yahudi, Kristen, dan Majusi) yang tidak menerima kenabian pamungkas para nabi, Muhammad bin Abdillah saw, mereka—berdasarkan pendapat masyhur—adalah najis. Akan tetapi, menghukumi kesucian mereka tidaklah jauh (dari kebenaran), meskipun menghindari (baca: tidak menyentuh tubuh mereka) adalah lebih baik.
Masalah 108: Seluruh tubuh orang kafir termasuk rambut, kuku, dan semua cairan (yang keluar) darinya adalah najis.
Masalah 109: Jika orang tua, kakek, dan nenek seorang anak kecil yang belum balig adalah kafir, maka anak kecil itu juga najis, kecuali apabila ia sudah mumayiz dan menampakkan keisalaman. Dalam kondisi seperti ini, anak kecil itu adalah suci. Jika ia berpaling dari kedua orang tuanya dan lebih memiliki kecenderungan kepada muslimin atau sedang mengadakan penelitian, menghukumi kenajisannya adalah musykil. Jika salah satu dari kedua orang tua, kakek, dan neneknya adalah muslim—sesuai dengan perincian yang akan dijelaskan pada masalah 217, maka anak kecil itu adalah suci.
Masalah 110: Seseorang yang tidak diketahui identitasnya apakah ia adalah seorang muslim atau bukan dan juga tidak ada tanda-tanda tentang keislamannya adalah suci. Akan tetapi, ia tidak memiliki hukum-hukum muslimin yang lain. Misal, ia tidak boleh menikah dengan seorang wanita muslimah atau dikubur di pekuburan muslimin.
Masalah 111: Seseorang yang mencaci-maki salah seorang dari dua belas imam as lantaran ia memusuhi beliau adalah najis.
(9) Minuman Keras
Masalah 112: Minuman keras adalah najis, dan berdasarkan ihtiyath mustahab, segala benda yang dapat memabukkan juga najis apabila benda itu berbentuk cair dengan sendirinya (baca: dari asalnya). Jika benda tersebut tidak cair (dari asalnya), seperti mariyuana, maka benda itu tidak najis, meskipun telah dicampur dengan sebuah cairan supaya ia menjadi cair.
Masalah 113: Seluruh jenis alkohol buatan yang banyak digunakan untuk mengecat pintu, jendela, kursi, dan lain-lainnya adalah suci.
Masalah 114: Anggur dan air anggur yang mendidih dengan sendirinya atau dimasak adalah suci. Akan tetapi, air anggur yang telah mendidih tersebut haram untuk diminum. Begitu juga, berdasarkan ihtiyath wajib, haram memakan anggur yang sudah mendidih itu.
Masalah 115: Kurma dan raisin (kismis) serta air (perasan)nya adalah suci dan halal untuk dimakan, meskipun telah mendidih.
Masalah 116: Fuqo‘—yaitu minuman yang terbuat dari jou (biji-bijian semacam padi yang banyak ditemukan di Timur Tengah—pen.) dan menyebabkan sedikit kemabukan adalah haram dan—berdasarkan ihtiyath wajib—adalah najis. Akan tetapi, minuman jou yang tidak menyebabkan kemabukan sedikit pun adalah suci dan halal.
(10) Keringat Binatang Pemakan Najis
Masalah 117: Keringat unta yang sudah terbiasa memakan kotoran manusia adalah najis. Begitu juga halnya—berdasarkan ihtiyath wajib—keringat binatang lain selain unta yang sudah terbiasa memakan kotoran manusia.
Masalah 118: Keringat orang yang junub secara haram adalah suci. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab ia tidak boleh mengerjakan shalat dengan keringat tersebut. Melakukan hubungan badan dengan istri ketika ia sedang mengalami menstruasi—asalkan suami tahu kondisi istrinya tersebut—memiliki hukum junub secara haram.
Masalah 119: Jika seseorang melakukan hubungan badan dengan istrinya pada waktu-waktu yang diharamkan, seperti pada siang hari di bulan Ramadhan, keringatnya tidak memiliki hukum keringat orang yang junub secara haram.
Masalah 120: Jika seseorang yang junub secara haram melakukan tayamum sebagai ganti dari mandi wajib dan berkeringat setelah melakukan tayamun, keringat tersebut memiliki hukum keringat sebelum ia bertayamum.
Masalah 121: Jika seseorang junub secara haram, kemudian melakukan hubungan badan dengan istrinya sendiri, berdasarkan ihtiyath mustahab ia harus menghindari (baca: membersihkan) keringatnya ketika hendak mengerjakan shalat. Akan tetapi, jika pada kali pertama ia melakukan hubungan badan dengan istrinya sendiri, dan kemudian melakukan sesuatu yang haram (hingga ia mengalami janabah), maka keringatnya tidak memiliki hukum keringat orang yang junub secara haram.
Cara Mengetahui Kenajisan Sebuah Benda
Masalah 127: Kenajisan sebuah benda dapat diketahui melalui tiga cara:
Pertama, kita sendiri yakin atau memiliki kemantapan hati bahwa benda itu adalah najis. Jika kita hanya menyangka bahwa benda itu adalah najis, maka tidak wajib kita menghindarinya. Atas dasar ini, tidak ada masalah kita makan di warung-warung kopi dan restoran-restoran yang biasa digunakan oleh orang-orang yang sembrono dan tidak memperhatikan masalah kesucian dan kenajisan untuk makan selama hati kita tidak mantap bahwa makanan yang disuguhkan untuk kita itu adalah najis.
Kedua, pemilik dan pengurus sebuah barang mengatakan bahwa benda itu adalah najis, dan ia bukanlah orang yang tertuduh. Contoh, istri atau pembantu seseorang mengatakan bahwa bejana atau benda lain yang berada di bawah pengawasannya adalah najis.
Ketiga, dua orang laki-laki yang adil mengatakan bahwa benda itu adalah najis, dengan syarat mereka menegaskan sebab kenajisan benda tersebut. Seperti, mereka mangatakan bahwa benda itu telah menyentuh darah atau air kencing. Jika hanya satu orang adil yang memberitahukan tentang kenajisan benda itu, maka berdasarkan ihtiyath wajib benda itu harus dihindari.
Masalah 123: Jika—karena tidak tahu masalah (hukum)—kita tidak mengetahui kenajisan dan kesucian suatu benda, seperti kita tidak tahu apakah kotoran tikus adalah suci atau tidak, maka kita harus bertanya tentang masalah itu. Akan tetapi, jika kita mengetahui masalah (hukum) dan ragu apakah suatu benda adalah suci atau tidak, seperti kita tidak tahu apakah benda itu adalah darah atau bukan, darah nyamuk atau darah manusia, maka benda tersebut adalah suci, dan tidak wajib kita meneliti atau bertanya.
Masalah 124: Jika kita ragu terhadap suatu barang yang terkena benda najis apakah sudah suci atau belum, maka barang tersebut adalah najis, dan jika kita ragu terhadap suatu barang yang suci apakah sudah najis atau tidak, maka barang itu adalah suci. Seandainya kita mampu untuk mengetahui kenajisan atau kesuciannya, tidak wajib kita menelitinya.
Masalah 125: Jika kita tahu bahwa salah satu dari dua bejana atau baju yang masih kita gunakan sudah najis dan kita tidak mengetahui bejana atau baju yang mana, maka kita harus menghindari keduanya. Akan tetapi, seandainya kita tidak mengetahui apakah baju kita sendiri yang sudah najis atau baju yang berada di luar kekuasaan kita dan milik orang lain, maka tidak wajib kita menghindari baju kita sendiri itu.
Bagaimana Sesuatu yang Suci Bisa Menjadi Najis?
Masalah 126: Jika suatu barang yang suci menyentuh suatu barang yang terkena najis dan keduanya atau salah satunya adalah basah sekiranya kebasahannya itu berpindah kepada yang lain, maka barang yang suci tersebut menjadi najis. Bagitu juga, jika barang yang terkena benda najis itu—dalam kondisi basah—menyentuh barang ketiga, maka barang tersebut dapat menajiskan barang ketiga itu. Masyhur berpendapat bahwa suatu barang yang terkena benda najis dapat menajiskan secara mutlak. Akan tetapi, hukum ini—dengan banyaknya perantara barang yang menyentuh barang yang terkena benda najis tersebut—adalah isykal. Bahkan, menghukumi kesucian barang tersebut bisa dikuatkan. Misal, jika tangan kanan kita menjadi najis karena terkena air kencing, dan lalu tangan kanan ini—dengan kebasahan yang baru—menyentuh tangan kiri kita, persentuhan ini menyebabkan tangan kiri kita itu juga menjadi najis. Jika tangan kiri ini—setelah kering—menyentuh pakaian yang masih basah, maka pakaian itu juga menjadi najis. Akan tetapi, jika pakaian ini—dalam kondisi basah—menyentuh barang lain, maka barang ini tidak dihukumi najis.
Jika kebasahan barang tersebut sangat sedikit sehingga tidak berpindah kepada barang yang lain, maka barang yang suci itu tidak menjadi najis, meskipun barang itu menyentuh benda najis secara langsung.
Masalah 127: Jika suatu barang yang suci menyentuh barang yang terkena benda najis dan kita ragu apakah keduanya atau salah satunya adalah basah atau tidak, maka barang yang suci itu tidak menjadi najis.
Masalah 128: Jika suatu benda yang suci—dalam kondisi basah—menyentuh salah satu dari dua barang yang kita tidak mengetahui mana yang najis dan mana yang suci, maka tidak wajib kita menghindari benda yang suci tersebut (baca: boleh menggunakannya), kecuali dalam beberapa kondisi. Seperti, ketika kondisi yang lalu bagi kedua barang itu adalah kenajisan atau suatu benda suci yang lain—dalam kondisi basah—juga menyentuh benda kedua tersebut.
Masalah 129: Jika benda najis jatuh ke atas tanah, kain, dan barang-barang semisalnya yang basah, maka hanya setiap bagian yang kejatuhan benda najis adalah najis dan bagian lainnya adalah suci. Begitu juga halnya berkenaan dengan timun, melon, dan barang-barang sejenisnya.
Masalah 130: Jika perasan anggur atau kurma, minyak goreng, dan barang-barang sejenisnya berbentuk cair dan tidak kental sehingga ketika kita menciduk sebagiannya, bekas cidukan itu langsung penuh lagi, dalam hal ini apabila salah satu bagiannya menjadi najis, maka seluruh bagiannya menjadi najis pula. Akan tetapi, jika benda-benda itu kental sehingga bekas cidukan itu tidak langsung penuh—meskipun bekas cidukan itu akan penuh juga setelah itu, maka hanyalah bagian yang kejatuhan najis saja yang menjadi najis. Oleh karena itu, jika kotoran tikus jatus ke dalamnya, hanya bagian yang kejatuhan kotoran itu menjadi najis dan selebihnya adalah suci.
Masalah 131: Jika lalat atau binatang yang sejenisnya hinggap di atas sebuah benda najis yang basah dan kemudian hinggap di atas benda suci yang basah pula, maka benda suci itu menjadi najis jika kita mengetahui ada bagian benda najis yang lengket bersamanya. Jika kita tidak mengetahui hal itu, maka benda itu adalah suci.
Masalah 132: Jika salah satu titik tubuh yang berkeringat adalah najis dan keringat itu mengalir ke titik-titik tubuh yang lain, maka seluruh titik tubuh yang dialiri oleh keringat tersebut adalah najis. Dan jika keringat tersebut tidak mengalir ke bagian tubuh yang lain, maka bagian lain tubuh tersebut tidak najis.
Masalah 133: Jika lendir yang berada di hidung atau mulut keluar dengan disertai darah, maka hanya bagian yang terdapat darah adalah najis dan bagian lainnya adalah suci. Oleh karena itu, jika lendir tersebut menyentuh bagian luar mulut atau hidung, hanya bagian yang kita yakin bagian lendir yang najis telah menyentuhnya adalah najis. Sementara, bagian (mulut dan hidung) yang kita ragu apakah bagian lendir yang najis itu telah menyentuhnya atau tidak adalah suci.
Masalah 134: Jika gayung[1] berlubang di bagian bawahnya dan kita letakkan di atas tanah yang najis, maka seluruh air yang ada di dalamnya adalah najis apabila air yang (yang ada di dalamnya) berhenti mengalir keluar dan berkumpul di bawahnya, serta dihitung satu air dengan air yang masih tersisa di dalam air gayung itu. Dan jika air tersebut mengalir keluar dari (bawah) gayung dengan tekanan, maka air (yang masih tersisa di dalamnya) tidak najis.
Masalah 135: Jika sesuatu dimasukkan ke dalam tubuh dan menyentuh benda najis, maka sesuatu itu adalah suci jika ketika dikeluarkan tidak berlumuran najis. Oleh karena itu, jika alat peralatan injeksi atau airnya dimasukkan melalui anus, atau jarum, pisau, dan barang-barang sejenisnya dimasukkan ke dalam tubuh, maka semua alat itu tidak najis apabila tidak berlumuran najis ketika dikeluarkan. Begitu juga halnya berkenaan dengan air ludah dan ingus yang menyentuh darah ketika masih berada di dalam rongga mulut dan hidung, dan ketika dikeluarkan, ia tidak disertai darah.
Catatan Kaki:
[1] Dalam buku aslinya disebutkan aftabeh. Aftabeh adalah sebuah alat semacam kendi terbuat dari plastik dan di Iran digunakan untuk menuangkan air ketika kita ingin bersuci setelah buang hajat. Padanan katanya yang dapat kita bayangkan di Indonesia kira-kira adalah gayung—pen.