Pesan Rahbar

Home » , , , , , , , » PKI melalui perkembangan masa kanak-kanak sampai dewasa sepenuhnya, Ia mati sebelum tua. PKI Tak Sempat Tua

PKI melalui perkembangan masa kanak-kanak sampai dewasa sepenuhnya, Ia mati sebelum tua. PKI Tak Sempat Tua

Written By Unknown on Saturday, 6 December 2014 | 11:53:00


Sebelum menjadi partai besar di masanya, PKI melalui perkembangan masa kanak-kanak sampai dewasa sepenuhnya. Ia mati sebelum tua.

OLEH: HENDRI F. ISNAENI.

 
SEBUAH kado ulangtahun Partai Komunis Indonesia (PKI) ke-45 dipersiapkan Lembaga Sejarah PKI. Bentuknya berupa sebuah buku yang merangkum perjalanan partai tersebut. Konsep penulisannya sudah selesai. Judulnya Sejarah 45 Tahun PKI.

Pada 4 Mei 1965, Busjarie Latif, sekretaris Lembaga Sejarah PKI, berkirim surat kepada “kawan-kawan”-nya menyampaikan manuskrip tersebut. Isinya bersumber dari dokumen-dokumen partai, hasil riset kepustakaan, dan bahan-bahan kuliah Akademi Politik Aliarcham. Kepada “kawan-kawan” itu, yang konon berjumlah 35 orang, dia menyampaikan “penentuan diskusi selanjutnya akan kami beritakan lebih lanjut.”
Namun diskusi tersebut tak pernah terjadi. Sialnya lagi, lima bulan kemudian pecah peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang disusul pembantaian massal orang komunis, termasuk Busjarie Latif. Sejak itu, segala hal yang berbau komunis dirampas dan dihancurkan, tak terkecuali manuskrip ini.

Semaun Utomo, 91 tahun, satu-satunya anggota Lembaga Sejarah PKI yang masih hidup, menerima naskah ini dari China tahun 2013. Ultimus, penerbit buku-buku kiri di Bandung, kemudian menerbitkannya menjadi buku.

Selain memuat kiprah PKI, buku ini menjadi semacam otokritik yang mengevaluasi kesalahan-kesalahan partai. Ini bukan naskah pertama yang dihasilkan Lembaga Sejarah PKI. Sebelumnya mereka menyusun dan menerbitkan 40 Tahun PKI (1960) dan Pemberontakan Nasional Pertama di Indonesia (1926) yang diterbitkan tahun 1961. Namun buku ini menjadi penting justru karena ia merangkum perjalanan partai hingga sebelum kejatuhannya.

Anak Zaman

Ketika memperingati harijadi PKI ke-35, DN Aidit, pemimpin PKI pada 1951, melukiskan kelahiran PKI dalam sajak “Kini Ia Sudah Dewasa”: Ia lahir, dengan kesakitan, kelas termaju, sebagai anak zaman, yang akan melahirkan zaman.

“Suatu kelahiran dengan kesakitan, berarti bahwa ia didahului dengan perjuangan ideologi melawan ideologi non-Marxis-Leninis dan anti-Internasionale III,” tulis buku ini.

Kelahiran PKI tak bisa dilepaskan dari Perhimpunan Sosial Demokrasi Hindia (ISDV), organisasi Marxis pertama di Indonesia yang didirikan Henk Sneevliet pada 1913. ISDV kemudian mengalami gejolak dengan keluarnya sosial-reformis JE Stokvis yang mendirikan Partai Sosial Demokrat Hindia Belanda (ISDP) dan penolakan pada 1917 dan penolakan Hertogh terhadap perubahan ISDV menjadi partai komunis sesuai keputusan Internasionale III tahun 1919.

“Kemenangan atas dua macam musuh idelogi proletariat inilah, yang membuka jalan dan memungkinkan ISDV menjadi PKI. Dan ini yang membikin dia besar dengan didahului pembersihan ideologi ke dalam.”
PKI didirikan pada 23 Mei 1920 dengan nama Perserikatan Komunis Hindia. Ia partai komunis pertama di Asia. Kongres II Juni 1924 memutuskan mengubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia, sehingga menjadi partai pertama yang menggunakan nama “Indonesia”.

Ketika PKI lahir, dunia tengah diselimuti imperialisme. Namun sudah ada pula kelas buruh dan terbentuk serikat-serikat buruh. Begitu pula sudah terjadi Revolusi Sosialis di Rusia pada Oktober 1971. “PKI adalah anak zaman yang lahir pada waktunya.”

Kanak-kanak sampai Dewasa

Buku ini menyebut kehidupan PKI dari pembentukannya; pemberontakan PKI 1926-1927, serta Revolusi Agustus 1945 sebagai masa kanak-kanak karena partai belum menguasai teori Marxisme-Leninisme. Dan karena itulah revolusi menemui kegagalan.

Sebagai dampak kegagalan Pemberontakan PKI 1926-1927, pemerintah kolonial melakukan “teror putih” terhadap orang-orang komunis melalui penindasan, penangkapan, penggantungan, dan pembuangan. PKI dinyatakan sebagai partai terlarang.

Musso, melalui kadernya, Pamudji, menghidupkan kembali PKI pada pertengahan 1938, kendati harus bergerak di bawah tanah sehingga disebut PKI-ilegal. Program-programnya disalurkan melalui partai kiri legal, Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), yang dipimpin Amir Sjarifuddin. Perlawanan terhadap bahaya fasis Jepang dilakukan dengan mendorong Gerindo dan partai politik lainnya membentuk Gabungan Politik Indonesia. Kader-kader PKI sendiri membentuk Gerakan Rakyat Anti Fasis (Geraf). Akibat gerakan ini, tidak kurang dari 300 orang komunis ditangkap tentara Jepang.

Salah satu kegiatan bawah tanah adalah mendengarkan radio, sehingga Aidit mengklaim lebih dulu mendengar kekalahan Jepang pada 14 Agustus 1945. Dia segera mencari Wikana dan mengumpulkan para pemuda untuk menentukan langkah-langkah memproklamasikan kemerdekaan. Dalam rapat 15 Agustus 1945 malam, Aidit mengusulkan agar Sukarno ditetapkan sebagai presiden Indonesia pertama.

Pada masa revolusi, kaum komunis terpecah: PKI-ilegal, Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia (PBI), PKI Mohammad Joesoeph (kemudian dilikuidasi), dan Pesindo. Setelah Musso tiba pada 1948 dengan gagasan “jalan baru”, dilakukanlah fusi tiga partai bermazhab Marxsisme-Leninisme: PKI-ilegal, PBI, dan Partai Sosialis. “Dari sini PKI mulai dewasa.” Hal ini karena partai mulai memadukan teori Marxisme-Leninisme dengan praktik kongkret revolusi Indonesia.

Namun kembali mereka harus menghadapi “teror putih”. Kali ini dilancarkan pemerintahan Muhammad Hatta, yang berujung pada Peristiwa Madiun 1948. PKI tiarap dan baru muncul lagi awal 1951 di tangan anak-anak muda PKI seperti Aidit, Njoto dan Lukman.

“Dalam tahun 1951, tahun kelahiran kembali PKI, PKI menjadi dewasa dan dalam Kongres Nasional V 1954 menjadi dewasa sepenuhnya.”

Mati Sebelum Tua

Sejak Aidit mengambil-alih kepemimpinan, PKI mengambil strategi “front persatuan nasional”. Dalam rumusan Kongres V pada 1954, partai berniat membangun persekutuan antara “kelas buruh, tani, borjuasi kecil, dan borjuasi nasional” melawan borjuasi yang bekerjasama dengan kaum imperialis dan tuan tanah feodal. Tujuan akhirnya ialah apa yang disebut “demokrasi rakyat” di mana di dalamnya tersedia cukup ruang untuk “kapitalisme nasional”.

Namun jalan sejarah berkata lain. PKI tidak sempat mewujudkan “demokrasi rakyat” atau melahirkan zaman baru yang dicita-citakannya. Setelah dewasa, PKI tak sempat menjadi tua; ia lebih dulu mati. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang diikuti “teror putih” penguasa mengakhir hidup PKI, mungkin, untuk selamanya.

PKI hanya sempat merayakan ulangtahun ke-45, meski tanpa kado yang dipersiapkan Busjarie Latif dkk. Toh PKI menerima kado lain yang sama bobotnya, yakni Tesis 45 Tahun PKI, 23 Mei 1920-23 Mei 1965 yang dikeluarkan Politbiro CC PKI.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: