Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Portugis. Show all posts
Showing posts with label Portugis. Show all posts

Kebenaran Syi’ah Imamiyah Ditengah SPRITUALITAS DAN GLOBALISASI

Pendahuluan
Tema spiritualitas dan globalisasi sangat urgen untuk dibincangkan. Selain karena tugas mata kuliah spiritualitas dan kemodrenan, diskursus ini juga terkait dengan sebuah “era”, di mana kita hidup di dalamnya, dan kita termasuk makhluk yang menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual.
Apa hakekat globalisasi? Bagaimana sejarahnya? Apa yang dimaksud dengan spiritualitas? Bagaimana spiritualitas di era global? Deretan pertanyaan tersebut akan coba dijelaskan dalam makalah ini.


Globalisasi
Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias.[1]

Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.[2]

Kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang maknanya universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.[3]

Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.[4]

Keterpesonaan akan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai konsekwensi modernitas di era global ini, berakhir pada peniscayaan terhadap ratio yang membuat manusia memandang dan menghadirkan dunia dengan segala persoalannya sebagai realitas yang sederhana. Oleh Yasraf Amir Pilliang dunia seperti itu diistilahkan dengan dunia yang telah dilipat (2004).[5] Hal ini disebabkan oleh kenyataan betapa kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat aktivitas hidup manusia semakin efektif dan efisien.

Dunia yang telah dilipat muncul sebagai konsekwensi dari kehadiran berbagai penemuan teknologi mutakhir terutama transportasi, telekomunikasi dan informasi,  jarak-ruang semakin kecil dan semakin sedikit waktu yang diperlukan dalam pergerakan di dalamnya, inilah pelipatan ruang-waktu. Adalagi pelipatan waktu-tindakan, yakni pemadatan tindakan ke dalam satuan waktu tertentu dalam rangka memperpendek jarak dan durasi tindakan, dengan tujuan mencapai efisiensi waktu. Dahulu manusia melakukan satu hal dalam satu waktu tertentu, seperti memasak, menyetir, membaca, menelepon dan lain-lain. Kini, manusia dapat melakukan banyak hal dalam satu waktu bersamaan, menyetir mobil sambil menelepon, mendengar musik, makan dan sambil bicara.

Pada bagian lain ada pula miniaturisasi ruang-waktu, dimana sesuatu dikerdilkan dalam berbagai dimensi, aspek, sifat dan bentuk lainnya. Realitas ditampilkan melalui media gambar, fotografi, televisi, film, video, dan internet. Sebagaimana yang dikatakan oleh Paul Virilio yang dikutip sebagaimana dikutip oleh Nurhamzah,[6] bahwa ruang saat ini tidak lagi meluas, tetapi mengerut di dalam sebuah layar elektronik. Jika ingin mengetahui sesuatu yang riil, manusia dapat mencari dan menyaksikan melalui video, film, dan televisi. Ingin tahu mendetail tentang sang bintang idola, maka orang tinggal mengklik satu situs dalam internet, kemudian tampillah sang bintang dengan ragam tentang dirinya, dan seterusnya. Demikianlah di antara beberapa gambaran tentang pelipatan dunia oleh perkembangan teknologi mutakhir di bidang transportasi, komunikasi dan informasi.

Sejarah globalisasi

Banyak sejarawan menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera maupun jalan laut untuk berdagang.[7]

Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia.[8]

Fase selanjutnya ditandai dengan eksplorasi dunia secara besar-besaran oleh bangsa Eropa. Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda adalah pelopor-pelopor eksplorasi ini. Hal ini didukung pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antarbangsa dunia. berbagai teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini, seperti komputer dan internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia.[9]

Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar juga memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia. Di Indonesia misalnya, sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris adalah beberapa contohnya. Perusahaan multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini.[10]

Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antarnegara pun mulai kabur.[11]


Spiritualitas
Spiritualitas dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai kejiwaan, rohani, batin, mental; dan moral.[12] Term ini disejajarkan dengan istilah rúhaniyah. Muhammad Husain Abdullah dalam Mafahim Islamiyah mendefinisikan “rúhaniyah” sebagai idrak shillah billahi (kesadaran hubungannya dengan Allah SWT).[13] Sementara al-Farra` dan Abu Haitsam menyebutnya dengan istilah “ruh”, yaitu substansi kehidupan manusia dan tidak diketahui secara pasti eksestensinya.[14]

Ruh juga digunakan untuk wahyu, seperti pada surat al-Mukmin ayat 15. Wahyu ibarat nyawa bagi seorang Muslim, sebagaimana ruh menjadi nyawa bagi manusia.
Terlepas dari perbedaan istilah spritualitas dalam bahasa Arab, pendapat Nurcholis Madjid berikut kelihatannya mewakili arti diskursus ini, yaitu sesuatu yang hanya bisa dipahami dan dialami sendiri, bersifat individual dan berasal dari fitrah kemanusiaan.[15]

Sebagai fitrah kemanusiaan, spiritualitas, menurut Yasraf, adalah sesuatu yang mempunyai kekuatan otonom dan mampu menghidupi atau menggerakkan sesuatu yang lain di luar dirinya, baik yang bersifat ketuhanan maupun yang bukan. Dia mengidentikkan spiritualitas sebagai Sesuatu yang Tidak Diketahui dan Yang Tak Berhingga.[16]

Dimensi spiritual manusia tersebut dan kecenderungan-kecenderungan dasarnya adalah sebuah bukti yang gamblang  atas kefitrahan kepercayaan (spritualitas), dan termasuk salah satu dari empat perasaan yang populer dan mendasar yang akhir-akhir ini diintroduksi oleh sebagian psikolog dan psikoanalis sebagai dimensi spiritual manusia, yaitu perasaan kognitif atau kuriositas, perasaan estetik, perasaan etik dan perasaan religius (spritualitas).[17]

Di antara empat dimensi spritual manusia yang terkadang juga disebut sebagai kecenderungan kepada kesempurnaan mutlak, kecendrungan terakhir itu mengajak manusia kepada kesadaran akan keberadaan Tuhan, dan  keyakianan akan adanya Sumber Awal Yang Maha Agung.


Kebutuhan Spritualitas di Era Global
Era global adalah zaman ketika manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan hidup. Manusia dipandang sebagai makhluk yang hebat, yang independen dari Tuhan dan alam. Manusia di era global dan sebagai konsekwensi modernisasi, melepaskan diri dari keterikatannya dengan Tuhan (theomosphisme), untuk selanjutnya membangun tatanan manusia yang semata-mata berpusat pada manusia (antropomorphisme). Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri, yang mengakibatkan terputusnya dari nilai-nilai spiritual. Akibatnya, manusia modern “Barat” pada akhirnya tidak mampu menjawab persoalan-persoalan hidup sendiri.
Modernisme akhirnya dirasakan membawa kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup. Timbul berbagai kritik dan usaha pencarian baru. Manusia membutuhkan pola pemikiran baru yang diharapkan membawa kesadaran dan pola kehidupan baru. Dalam hal kesadaran manusia, secara praktis, timbul gejala pencarian makna hidup dan upaya penemuan diri pada kepercayaan-kepercayaan yang sarat dengan spiritualitas. “Organized Religion” (agama yang terorganisasi) tidak selamanya dapat memenuhi harapan. Oleh sebab itu, bermunculan kecenderungan untuk kembali kepada orisinalitas (fundamentalis), kharisma yang dapat menentukan (cults) dan fenomena-fenomena yang luar biasa (magic). Sebagaimana diungkapkan oleh Komaruddin Hiayat:
Dimensi spiritualitas dari faham dan penghayatan keberagamaan,  pada dasarnya merupakan sebuah perjalanan ke dalam diri manusia sendiri. Bisa jadi masyarakat modern di era global yang memiliki fasilitas transportasi canggih merasa telah melanglang buana, bahkan telah melakukan perjalanan ke planet lain, namun amat mungkin masih miskin dalam pengembaraannya dalam upaya mengenal dimensi batinnya, bahwa ia adalah makhluk spiritual. Pencapaian sains dan teknologi memang membuat manusia lupa bahwa dirinya adalah makhluk spiritual, sehingga ia menjadi terasing dari dirinya sendiri dan dari Tuhannya. Inilah yang disebut situasi kehampaan spiritual. Dan itu terjadi akibat gaya hidup serba kebendaan di zaman modern (era glogal) yang menyebabkan manusia sulit menemukan dirinya dan makna hidupnya yang terdalam.[18]

Namun, seperti senantiasa terjadi dalam sejarah kehidupan spiritual manusia, gagasan tentang spiritualitas yang murni selalu mengalami distorsi dan materialisasi yang bersifat fetis. Tak heran, spiritualitas dalam realitas kebudayaan kontemporer pun mengalami distorsi.[19]

Saat ini, spiritualitas telah mengalami titik balik, yaitu dari nilai spiritual ke terapi. Dahulu, apabila seseorang gelisah, maka mereka biasanya mencari penentram jiwanya dalam agama, sedang saat ini manusia lebih banyak lari ke terapi-terapi yang sifatnya adalah “pengobatan” sementara. Manusia konsumer, menurut Yasraf, tidak tertarik akan “keselamatan diri” lewat perenungan atau ibadat, melainkan tertarik terhadap ilusi-ilusi yang bersifat sementara, seperti kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan keamanan psikis lewat terapi; hanyut dalam berbagai bentuk terapi, seperti, yoga, latihan spiritual kilat, konser musik rock, astrologi populer, joging, pusat kebugaran, karaoke. Kondisi ini melahirkan suatu fenomena yang disebut Yasraf sebagai pospiritualitas, yaitu kondisi spiritualitas ketika yang suci bercampur aduk dengan yang profan, yang sakral bersimbiosis dengan yang permukaan, sehingga batas-batas di antara semuanya menjadi kabur.

Permasalahan yang agak pelik dan cukup licin tentang spiritualitas, apalagi dalam realitas kebudayaan kontemporer, adalah “makna” pengalaman spiritual itu sendiri. dalam masyarakat kontemporer, suatu pengalaman yang sifatnya sangat profan dan sekuler pun bisa dimaknai sebagai pengalaman “spiritual”. Inilah bentuk pos spiritualitas dalam masyarakat kontemporer. Yasraf, misalnya, mengutip sebuah pernyataan Madonna dari karya Akbar S. Ahmed, yang bisa merepresentasikan fenomena pospiritualitas tersebut:
“Saya religius“, “Saya spiritual”, katanya. Namun ketika ditanya tentang doa tersebut, ia berkata “Ya saya religius…, saya tidak mencoba membangun jembatan antara seks dan agama. Hanya gereja Katolik yang bersi¬keras memisahkan dan itu nonsens.”[20]

Pembicaraan tentang permasalahan spiritualitas dan apa yang disebut sebagai “pengalaman” spiritual memang sangat problematis. Selain sulit untuk diverifikasi—dan juga permasalahan “otoritas”—adalah masalah keserupaan dan tafsirannya. Misalnya, seseorang yang memakan obat-obatan psikotropika bisa saja menafsirkan bahwa dia pun “merasakan” pengalaman spiritual, entah berupa penglihatan, penampakan, atau bahkan bisikan-bisikan. Bahkan, pada tingkatan filosofis pun, hal tersebut tetap menjadi permasalahan yang tak terdamaikan, seperti yang diungkapkan oleh Dodi Salman:
Sufisme diharapkan dapat menjadi mesin “pencerahan” di tengah deru mesin hasrat kapitalisme dan masyarakat postmodern (era global) yang berputar tanpa henti. Akan tetapi, derasnya perputaran mesin hasrat tersebut—yang mewujud di dalam bentuk-bentuk komoditi, citra, gaya hidup, tontonan—telah menimbulkan kekhawatiran, jangan-jangan sufisme itu sendiri dapat terperangkap di dalam arus hasrat postmodern sehingga yang tercipta adalah semacam “sufi materialistik”, yaitu para sufi yang terperangkap di dalam pengaruh jagat materi dan gaya hidup masyarakat postmodern. Inilah misalnya, seorang wanita “sufi”, yang berkunjung ke sebuah mall mewah, mengendarai sendiri mobil build-up-nya yang terbaru, mengenakan setelan fesyen mutakhir rancangan Versace, memakai kacamata sunglass yang gelap; membawa handpone mutakhirnya yang trendi, sambil menenteng ke mana-mana “sertifikat sufi”, sebagai “citra” dan “legitimasi” diri di tengah belantara citra budaya postmodern yang bersifat paradoks.[21]

Perkembangan Spritualitas di Era Global
Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, baik bersifat negatif maupun positif, termasuk di antaranya aspek budaya[22] dan spiritualitas.

Era ini, dan merupakan prestasi mutakhir modernisme, telah mengantarkan manusia pada supremasi rasionalisme, empirisme, dan positivisme dan dogmatisme agama. Kenyataan ini dapat dipahami, karena abad modern dibangun atas dasar pemisahan antara ilmu pengetahuan dan filsafat dari pengaruh agama (sekularisme). Perpaduan antara rasionalisme dan empirisme dalam satu paket epistemologi melahirkan apa yang oleh Huxley disebut dengan metode ilmiah (scientific method).[23]

Kesimpulan
Spritualitas merupakan potensi kemanusian yang tidak mungkin hilang dalam kondisi dan situasi apa pun. Gaung spiritualitas akan tetap menggema kendatipun manusia telah bertahta di puncak rasionalitas, dan berada di sebuah “era”, disebut globalisai. Tuntutan spiritualitas manusia tidak terikat dengan ruang waktu, ia akan tetap eksis dan menggema dalam setiap situasi.



REFERENSI
Ahmed, Akbar S. and Hastings Donnan (ed.), Islam Globalization and Post Modernity, London and New York, Routledge, 1994
______________, Posmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam, Bandung: Mizan, 1992
Armstrong, Karen, Sejarah Tuhan,.  Bandung: Mizan, 2003
Giddens, A., The Consequences of Modernity, Cambridge: Polity Press, 1990
Hidayat, Komaruddin, Kualifikasi Seorang Kiyai, http://tokohindonesia.com/ ensiklopedi/ k/ komaruddin-hidayat/biografi/02.shtml,, 2009
“Kesunyian dan Kegilaan: Sufisme dan Postmodernisme” dalam Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-tuhan” Digital, Jakarta: Grasindo, 2004
Maksum, Ali, Spiritualitas Abad Modern : Reposisi Islam dalam Kancah Kebangkitan Agama, http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-1.html, 2008
Mandhur, Ibn, Lisan al-Arab, Jilid 3, Kairo: Dar al-Hadits 2003
Mustafa, Mr., Pengertian dan Ciri-ciri Globalisasi, http://mustofasmp2. wordpress. Com / 2008
Nurhamzah, Absurditas Manusia Modern : Sebuah Rekonstruksi Spiritual Manusia Modern, E-mail : Hamzah_tuhankecil@yahoo.com, 2009
Pals, Daniel L. Seven Trories of Religion, Yogyakarta: Qalam, 2001
Pirages, Dennis, The New Context for International Relations: Global Ecopolitics, North Scituate, Massachusetts, tt.
Spiritualitas tak Bisa Diperoleh Lewat “Cyberspace, Jakarta, Kompas, Senin, 27 Maret 2000
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka cetakan 1990
Yakub, Husein, Muhammad, Mafahim Islamiyah, Kairo: Maktabah Syafa, 2000
Yasraf Amir Pilliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra, 2004
_________________, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra, 2004


[1].  Mr. Mustafa, Pengertian dan Ciri-ciri Globalisasi,(http://mustofasmp2. wordpress. Com / 2008/12/31/), h. 1

[2]. Dennis, Pirages, The New Context for International Relations: Global Ecopolitics, (North Scituate, Massachusetts, tt.), h. 4-6
[3]. Akbar S. Ahmed and Hastings Donnan (ed.), Islam Globalization and Post Modernity, (London and New York, Routledge, 1994), h. 1-3. Lihat: A. Giddens, The Consequences of Modernity, (Cambridge: Polity Press, 1990), h. 64
[4]. Ibid.
[5]. Yasraf Amir Pilliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), h. 23
[6]. Nurhamzah, Absurditas Manusia Modern : Sebuah Rekonstruksi Spiritual Manusia Modern, (E-mail : Hamzah_tuhankecil@yahoo.com, 2009), h. 3
[7] . Mr. Mustafa, h. 2
[8]. Ibid.
[9]. Ibid.
[10]. Ibid.
[11]. Ibid.
[12]. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka cetakan 1990), h. 857
[13]. Muhammad Husein Yakub, Mafahim Islamiyah, (Kairo: Maktabah Syafa, 2000), h. 17
[14]. Ibn Mandhur, Lisan al-Arab, Jilid 3, (Kairo: Dar al-Hadits 2003), h. 290
[15] . Spiritualitas tak Bisa Diperoleh Lewat “Cyberspace, (Jakarta, Kompas, Senin, 27 Maret 2000), h.1
[16]. Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), h. 503-504
[17]. Karen Armstrong, Sejarah Tuhan,.  (Bandung: Mizan, 2003), h. VII
[18]. Komaruddin Hidayat, Kualifikasi Seorang Kiyai, (http://tokohindonesia.com/ ensiklopedi/ k/ komaruddin-hidayat/biografi/02.shtml,, 2009), h. 3
[19]. Dikutip dari prolog Dunia yang Dilipat, Edisi 1, tidak dimuat lagi dalam Edisi II
[20]. Akbar S. Ahmed, Posmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam, (Bandung: Mizan, 1992), h. 224.
[21]. “Kesunyian dan Kegilaan: Sufisme dan Postmodernisme” dalam Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-tuhan” Digital, (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 204
[22]. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Daniel L. Pals, Seven Trories of Religion, (Yogyakarta: Qalam, 2001), h. 149
[23]. Ali Maksum, Spiritualitas Abad Modern : Reposisi Islam dalam Kancah Kebangkitan Agama,



Akar Sejarah Tawar-Menawar

Pasar Bolu di Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Foto: Micha Rainer Pali.

Bukan perempuan kalau membeli tidak menawar. Bangsa Eropa dibuat ketakutan.
OLEH: YUDI ANUGRAH NUGROHO

SELAIN dikenal cerdas dan hemat dalam mengurus keuangan, perempuan Asia, termasuk Indonesia, sejak dulu menguasai kegiatan di pasar. Dalam transaksi jual-beli, mereka selalu berusaha mendapatkan harga semurah mungkin. Tawar-menawar pun menjadi identik dengan mereka.

Menurut Titi Surti Nastiti, arkelolog dan epigraf Pusat Arkeologi Nasional, tidak ditemukan data arkeologis terkait kegiatan jual-beli dan tawar-menawar di pasar pada masa Mataram kuno. “Namun, dengan bantuan studi etnoarkeologi yang dilakukan di pasar-pasar tradisional, kegiatan tawar-menawar muncul berdampingan dengan aktivitas pasar tradisional,” kata Titi.

Dari catatan orang-orang Eropa yang singgah di Nusantara dapat diketahui kegiatan perempuan di pasar. Misalnya, Antonio Galvao, seorang panglima armada Portugis yang menjadi gubernur ketujuh Portugis di Maluku (1536-1540), mencatat peran perempuan Maluku dalam perniagaan. “Wanitalah yang melakukan tawar-menawar, membuka usaha, membeli dan menjual,” tulis Galvao, dikutip sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680.

Di Sumatra, menurut Anthony Reid, sebuah puisi Minangkabau terkenal yang ditulis pada 1820-an, menganjurkan agar kaum ibu mengajarkan anak-anak gadisnya “mengamati turun-naiknya harga.” Ini menjadi bekal bagi si gadis ketika berbelanja ke pasar.

Seperti halnya perempuan Maluku dan Sumatra, perempuan Jawa juga berperan penting di pasar. Menurut Thomas Stanford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1811-1816), sudah lazim bagi suami mempercayakan seluruh urusan keuangan kepada istrinya. “Hanya perempuan yang pergi ke pasar dan melakukan seluruh urusan jual-beli. Sudah umum diketahui bahwa kaum lelaki Jawa sangat bodoh dalam mengurus uang,” tulis Raffles dalam The History of Java.

Tidak hanya di pasar, perempuan juga dapat melakukan transaksi perdagangan dalam skala besar. Jeronimus Wonderaer, seorang pedagang Belanda yang mengujungi Cochin-China (Vietnam) pada 1602, melaporkan bahwa para pedagang Belanda dan Inggris melakukan tawar-menawar harga rempah-rempah dengan seorang pedagang perempuan terkemuka (coopvrouw) dari kota Kehue (Hue atau Sinoa, sebutan Portugis).
Perempuan tersebut merupakan wakil dari suatu perusahaan milik dua perempuan bersaudara dan seorang saudara lelaki yang mampu menyuplai rempah-rempah dalam jumlah besar. “Wanita itulah yang melakukan tawar-menawar dan si pria hanya mendengarkan serta setuju,” tulis Wonderaer, dikutip Anthony Reid.

Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia Jilid 2, menyebut praktik tawar-menawar sebagai “ciri kekunoan yang ada di mana-mana.” Di Jawa, seperti halnya di banyak negara Asia dan di tempat lain, jika kita kecualikan toko serba ada modern, tidak terdapat daftar harga dan segala transaksi hanya terjadi setelah ada perdebatan yang relatif panjang. Dalam kesempatan itu, masing-masing pihak dapat menunjukkan bakatnya secara terang-terangan.

“Bangsa Eropa sering kali jengkel menghadapi permainan ini, karena mereka tidak dibekali keterampilan itu –paling tidak karena bahasa– dan seringkali mereka menjadi korban. Secara umum, mereka menolak cara penilaian ‘menurut pandangan klien’, yang mereka anggap barbar dan menakutkan,” tulis Lombard.

Badigul, Bukit Keramat yang Memakan Korban 114 Orang Perusaknya

Media Metafisika Add Comment kisah Mediametafisika.com


Badigul, Bukit Keramat yang Memakan Korban 114 Orang - Badigul, begitu orang menyebut bukit kecil di kota Bogor bagian Selatan ini. Selintas tak ada yang nampak istimewa pada segundukan tanah di atas lahan seluas 5000 meter persegi itu. Hanya ruput halus lapangan golf yang mengelilinginya. Di sisi barat berdiri sebuah bangunan sport center milik perumahan elite Rancamaya.


Di sisi lain nampak sebuah gedung megah pusat penelitian dan pengembangan agama Budha. Bukit itu sendiri kini telah menjadi miliki perumahan Rancamaya. Namun 20 tahun lalu, sebelum Badigul digusur pengembang Rancamaya, bukit ini adalah sebuah tempat yang amat dikeramatkan masyarakat Sunda. Betapa tidak, Badigul diyakini sebagai tempat mandapa Prabu Siliwangi. Di bukit ini sang Prabu sering semedi hingga kemudian ngahiyang menghadap Sang Pencipta. Dulu orang berbondong-bondong berziarah pada leluhur mereka di bukit Badigul yang luasnya masih 5 hektar.

Saat itu masih terdapat beberapa alat gamelan sunda yang memiliki kekuatan magis, namun kini menghilang entah ke mana. Buldoser dan 2 becko tak sanggup menggeser batu menhir di bukit Badigul. Malah tiga sopir alat-alat berat itu sekarat tanpa sebab. Korban-korban lain pun berjatuhan….

“Dulu bukit itu masih tinggi. Badigul dikelilingi sebuah telaga yang bernama Renawijaya. Jika orang ingin ke puncak bukit, mereka harus menyeberangi telaga dan mengambil air wudlu di sana,” tutur Ki Cheppy Rancamaya, 53 tahun, saat Kami ditemui di rumahnya. Berkisah tentang Badigul, Ki Cheppy, spiritualis dan budayawan ini, merasa miris mengingat masa lalunya. Ia adalah orang yang mati-matian mempertahankan tempat keramat itu. Namun kekuatan rezim Orde Baru dan pengaruh uang dari pengusaha membuatnya harus mengakui kekalahan. Badigul digusur, ia diculik Kopassus dan dipenjarakan tanpa pengadilan.

Setahun lebih Ki Cheppy harus meringkuk di penjara Paledang, Januari 1992-1993. Tak cukup sampai di situ, setelah keluar Ki Cheppy kembali melakukan perlawanan terhadap penguasa. Tapi akhirnya ia pun harus kembali meringkuk di tahanan untuk ke dua kalinya. Sebuah pengalaman mistik pun dialami Cheppy saat ia menghuni Blok B 8 Rutan Paledang, Bogor. 

Saat itu ia dipanggil sipir, katanya ada keluarganya yang hendak menjenguknya. Cheppy pun keluar dari ruang tahannya. Namun belum genap 10 langkah ia meninggalkan ruang tahanan itu, tiba-tiba terdengar bunyi menggelegar dari ruang tahannya. Sebuah petir yang menghebohkan seisi napi Paledang menjebolkan tembok kamar tahanan Cheppy yang tebalnya 75 cm. “Saat itu memang hujan rintik-rintik. Petir itu membuat lubang berdiameter 50 cm pada dinding penjara. Jika saya ada di dalam tentu saya sudah mati. Belakangan saya baru tahu kalau petir itu adalah santet kiriman anak buah Cecep Adireja,” tutur Cheppy.

Keberanian Cheppy untuk mempertahankan Badigul memang bukan tanpa alasan. Ia yakin seyakin-yakinnya, Badigul adalah tempat keramat peninggalan leluhur Pakuan Pajajaran. Keyakinan Cheppy itu juga diperkuat oleh keyakinan banyak masyarakat di sana. Budayawan-budayawan Sunda pun telah menetapkan situs Badigul sebagai Cagar Budaya yang patut dilestarikan. Bahkan Solihin GP, tokoh masyarakat Sunda yang kala itu menjabat Sesdalopbang pun melarang penggusuran keramat Badigul dengan mengeluarkan nota pribadinya kepada Walikota Bogor. “Siapapun yang merusak tempat keramat akan kena supata (karma-Red.),” tutur Cheppy.

Cerita-cerita mistik dan supata yang dilontarkan Cheppy memang terbukti. Seratus orang buruh bangunan telah mati menjadi tumbal saat bukit Badigul dibuldoser. Namun ambisi pengusaha real estate untuk meratakan bukit Badigul tidak pernah luntur. Bukit itu tetap diratakan untuk perumahan dan lapangan golf hingga ketinggiannya berkurang 6 meteran. Saat puncak badigul telah tercukur 6 meter itu muncul sebuah batu menhir sebesar mobil sedan. Anehnya batu sebesar itu sama sekali tak goyang saat dibuldoser. Penasaran dengan itu, pihak perumahan mendatangkan dua becko untuk menarik batu keramat itu. Tapi dua becko itu pun tak sanggup menggoyangkan batu itu. Bahkan satu becko malah patah saat menariknya. Secara logika batu itu seharusnya dapat digusur oleh buldoser. Saat itulah kesadaran para buruh tentang kekuatan mistik bukit Badigul mulai terbuka. “Tapi mereka terlambat, 3 orang supir alat berat itu pun mati,” tutur Cheppy. 

Mengingat keanehan-keanehan yang terjadi, akhirnya pihak perumahan sepakat untuk tidak memindahkan batu itu. Batu itu tetap di tempatnya kemudian dibenamkan dan kembali timbun dengan tanah.
Jadilah bukit Badigul kini sebagai lapangan golf dengan sport center dan pusat penelitian agama Budha di sebelahnya. Memang ironis, hanya untuk membuat sebuah lapangan golf dan pusat kebugaran, pihak pengembang harus menghancurkan cagar budaya. Mereka juga harus bertentangan dengan kepercayaan masyarakat sekitar yang meyakini kekeramatkan Badigul. Alhasil mereka harus menumbalkan 114 orang buruh untuk mencukur 6 meter bukit Badigul. “Kita berurusan dengan makhluk di dunia lain. Tapi mereka juga punya tempat dan habitat di bumi ini. Jika mereka diganggu, mereka pun bisa mengganggu kita,” jelas Cheppy.

Tentang kekeramatan bukit Badigul, mungkin hanya Cheppy yang pernah menyibak tabir mistiknya. Ia adalah penduduk asli Rancamaya, Bogor Selatan. Ia adalah orang yang paling rajin bermunajat di sana. Ia sering melakukan kontak batin dengan penguasa gaib bukit Badigul. Bahkan ia juga pernah melakukan meditasi dan puasa selama 100 hari di bukit itu. Dikisahkan Cheppy, suatu malam ia tengah melakukan meditasi di puncak Badigul. Menjelang tengah malam, ia melihat seekor anjing hitam yang diapit dua ekor anjing kecil berbulu putih di kiri kanannya. Dalam hati, Cheppy yakin itu bukan binatang sungguhan. Sebab tak mungkin binatang-binatang itu tiba-tiba muncul di hadapannya tanpa diketahui dari mana datangnya. Tidak mungkin pula anjing itu bisa ke puncak Badigul, sebab harus menyeberangi telaga Renawijaya. Binatang-binatang yang tampak gagah itu memandang heran ke arah Cheppy. Tapi sedikit pun Cheppy tak bergeming dari tempatnya duduk. Cheppy tetap konsentrasi dengan meditasinya.

Sesaat ia melihat ajing berbulu hitam itu menengadahkan kepalanya pada Cheppy. Tapi ia tak mengerti apa maksudnya. Dan dalam ketidak mengertian itu, sekedipan mata saja anjing-anjing aneh itu hilang dari pandangan Cheppy. Malam yang lainnya, Cheppy juga pernah menemukan fenomena mistik yang sulit diterima akal sehatnya. Malam itu, Cheppy sengaja datang ke Badigul untuk melanjutkan meditasinya. 

Dari rumah, ia membawa segala perlengkapan sajen yang diperlukan di keramat Badigul. Cheppy berharap malam itu ia akan mendapatkan sesuatu yang selama ini ia cita-citakan. Lepas Maghrib Cheppy duduk tepekur menghadap Kiblat. Tepat tengah malam, ketika Cheppy tengah khusuk meditasi sambil memejamkan matanya. Tiba-tiba ia melihat sepertinya matahari terbit dari balik gunung Salak. Sinarnya terlihat benderang menerangi seantero alam. Gunung Salak terlihat jelas, pohon besar hingga rumput kecil dan perumahan penduduk di kaki gunung itu terlihat jelas. 

Sesaat Cheppy tak yakin, ia sadar bahwa gunung salak itu berada di sebelah barat. Mana mungkin matahari terbit dari arah barat. Ia lalu mengusap-usap matanya.Dan seketika itu pula bumi kembali gelap gulita. Tak nampak lagi matahari yang benderang di balik gunung salak itu. Yang tertinggal hanya kedipan-kedipan kecil dari lampu yang terpasang di rumah-rumah penduduk. “Itu benar-benar aneh dan saya mengalaminya sendiri. Kekuatan mistik Badigul memang nyata,” jelas Cheppy. Kisah lain yang lebih unik juga diceritakan Cheppy. Malam itu ia tengah wirid di Badigul. Karena penat, ia celentang merebahkan dirinya di tengah padang rumput puncak Badigul. Tapi sesaat kemudian ia tersentak kaget.

Dari atas langit ia melihat seperti seberkas sinar keperakan jatuh menimpa dadanya. Seketika ia memegangi dadanya yang terasa sesak. Dan mendadak, tangannya menyentuh benda pipih yang dingin. Ia pun langsung menggenggamnya. Kini di tangannya tergenggam sebilah kujang — sebuah pusaka Pajajaran yang keampuhannya tak perlu diragukan lagi. Dan tatkala Kami mencoba, ternyata, kujang itu memiliki daya kekebalan bagi siapa pun yang memegangnya. Masih seputar fenomena mistik Badigul, Cheppy menceritakan suatu hari di tahun 1994 warga Bogor dihebohkan oleh penemuan telapak kaki raksasa di Batutulis dan Rancamaya. Berita yang menghebohkan itu pun diliput oleh media-media cetak dan elektronik di Jabotabek. 

Di Jalan Batutulis terdapat sebuah telapak kaki kiri sepanjang 1 meter. Jelas sekali telapak kaki itu bukan rekayasa manusia. Sementara di Rancamaya juga terdapat sebuah telapak kaki kanan yang panjangnya sama dengan yang ditemukan di Batutulis. Lalu orang berimajinasi, kalau kaki itu adalah milik gaib Prabu Siliwangi. Sang Prabu sengaja mendatangi Batutulis kemudian loncat ke Rancamaya hanya dengan sekali langkah saja. Tak cuma itu, ternyata di sekitar puncak Badigul terdapat empat telapak kaki yang panjang dan besarnya sama. “Sang Prabu ke Batutulis lalu ke Rancamaya dan mengelilingi puncak Badigul,” begitu jelas Ki Cheppy ketika ditanyai wartawan saat itu. Kekeramatan bukit Badigul memang meyakinkan. Tak seorang warga Rancamaya pun yang dihubungi Kami meragukan keangkerannya.  

Sejak batu keramat itu tak sanggup dibuldoser, tak seorang buruh pun yang mau melanjutkan pekerjaan di sana. Mereka takut terkena kutuk atau supata Eyang Prabu Siliwangi. “Kami tidak mau mati jadi tumbal,” tutur Ujang warga Rancamaya yang waktu itu ikut melakukan pembabatan lahan di Badigul. Ketakutan Ujang memang beralasan. Ia menceritakn beberapa orang rekannya yang mati akibat ikut meratakan tanah di bukit Badigul. Waktu itu, Herman dan beberapa teman Ujang diperintahkan untuk mengeruk tanah di puncak Badigul. Lewat tengah hari setelah mereka istirahat pekerjaan itu dilanjutkan. 

Namun alangkah terkejutnya Herman dan kawan-kawannya. Mereka melihat seekor ular hitam di atas tanah merah bukit Badigul. Tanpa pikir panjang ular itu mereka pukul ramai-ramai dengan batang kayu dan batu. “Esok harinya, Herman dan dua orang temannya itu dikabarkan sakit meriang lalu sore harinya mati semua,” kisah Ujang pada Misteri. Tentang Supata yang didawuhkan Prabu Siliwangi itu ternyata tidak hanya menimpa kuli bangunan atau buruh pekerja perumahan Rancamaya. Tapi juga menimpa seluruh penggede-penggede Perumahan elit itu. Cecep Adireja misalnya, tuan tanah yang menguasai pembebasan lahan untuk perumahan itu akhirnya mati mengenaskan. Tuan tanah yang disebut-sebut pemilik Hotel Salak, Bogor, ini meninggal setelah mengalami sakit berkepanjangan yang tak jelas sebab musababnya. 

Begitu pun dengan kakak dan adik Cecep, mereka mati setelah mengalami sakit yang tak sanggup diobati dokter. “Tidak hanya keluarga Cecep, supata itu juga diterima Kapolsek Ciawi dan lurah Rancamaya waktu itu. Mereka juga mati setelah mengalami sakit parah yang tak jelas penyakitnya,” jelas Cheppy.

Source: http://www.mediametafisika.com/2013/11/badigul-bukit-keramat-yang-memakan.html
Disalin dari WWW.MEDIAMETAFISIKA.COM | kontent ini memiliki hak cipta.

SEJARAH KERAJAAN PADJAJARAN (PART 5)

Karena Permusuhan Tidak Berlanjut Ke Arah Pertumpahan Darah, Maka Masing Masing Pihak Dapat Mengembangkan Keadaan Dalam Negerinya. Demikianlah Pemerintahan Sri Baduga Dilukiskan Sebagai Jaman Kesejahteraan [ Carita Parahiyangan ]. Tome Pires Ikut Mencatat Kemajuan Jaman Sri Baduga Dengan Komentar “The Kingdom Of Sunda Is Justly Governed; They Are True Men” [ Kerajaan Sunda Diperintah Dengan Adil; Mereka Adalah Orang-Orang Jujur ]. Juga Diberitakan Kegiatan Perdagangan Sunda Dengan Malaka Sampai Ke Kepulauan Maladewa [ Maladiven ]. Jumlah Merica Bisa Mencapai 1000 Bahar [ 1 Bahar = 3 Pikul ] Setahun, Bahkan Hasil Tammarin [ Asem ] Dikatakannya Cukup Untuk Mengisi Muatan 1000 Kapal.

Naskah Kitab Waruga Jagat Dari Sumedang Dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh Dari Ciamis Yang Ditulis Dalam Abad Ke-18 Dalam Bahasa Jawa Dan Huruf Arab-Pegon Masih Menyebut Masa Pemerintahan Sri Baduga Ini Dengan Masa Gemuh Pakuan [ Kemakmuran Pakuan ] Sehingga Tak Mengherankan Bila Hanya Sri Baduga Yang Kemudian Diabadikan Kebesarannya Oleh Raja Penggantinya Dalam Jaman Kerajaan Pajajaran. Sri Baduga Maharaja Alias Prabu Siliwangi Yang Dalam Prasasti Tembaga Kebantenan Disebut Susuhuna Di Pakuan Kerajaan Pajajaran, Memerintah Selama 39 Tahun [ 1482 - 1521 ].

Ia Disebut Secara Anumerta Sang Lumahing [ Sang Mokteng ] Rancamaya Karena Ia Dipusarakan Di Rancamaya. Melihat Itu, Jelas, Bagaimana Rancamaya, Terletak Kira-Kira 7 Km Di Sebelah Tenggara Kota Bogor, Memiliki Nilai Khusus Bagi Orang Sunda. Rancamaya Memiliki Mata Air Yang Sangat Jernih. Tahun 1960-An Di Hulu Cirancamaya Ini Ada Sebuah Situs Makam Kuno Dengan Pelataran Berjari-Jari 7,5 M Tertutup Hamparan Rumput Halus Dan Dikelilingi Rumpun Bambu Setengah Lingkaran. Dekat Makam Itu Terdapat Pohon Hampelas, Patung Badak Setinggi Kira-Kira 25 M Dan Sebuah Pohon Beringin.

Dewasa Ini Seluruh Situs Sudah “Dihancurkan” Orang. Pelatarannya Ditanami Ubi Kayu, Pohon-Pohonannya Ditebang Dan Makam Kuno Itu Diberi Saung. Di Dalamnya Sudah Bertambah Sebuah Kuburan Baru, Lalu Makam Kunonya Diganti Dengan Bata Pelesteran, Ditambah Bak Kecil Untuk Peziarah Dengan Dinding Yang Dihiasi Huruf Arab. Makam Yang Dikenal Sebagai Makam Embah Punjung Ini Mungkin Sudah Dipopulerkan Orang Sebagai Makam Wali. Kejadian Ini Sama Seperti Kuburan Embah Jepra Pendiri Kampung Paledang Yang Terdapat Di Kebun Raya Yang “Dijual” Orang Sebagai “Makam Raja Galuh”.

Telaga Yang Ada Di Rancamaya, Menurut Pantun Bogor, Asalnya Bernama Rena Wijaya Dan Kemudian Berubah Menjadi Rancamaya. Akan Tetapi, Menurut Naskah Kuno, Penamaannya Malah Dibalik, Setelah Menjadi Telaga Kemudian Dinamai Rena Maha Wijaya [ Terungkap Pada Prasasti ]. “Talaga” [ Sangsakerta "Tadaga" ] Mengandung Arti Kolam. Orang Sunda Biasanya Menyebut Telaga Untuk Kolam Bening Di Pegunungan Atau Tempat Yang Sunyi. Kata Lain Yang Sepadan Adalah Situ [ Sangsakerta, Setu ] Yang Berarti Bendungan.

Bila Diteliti Keadaan Sawah Di Rancamaya, Dapat Diperkirakan Bahwa Dulu Telaga Itu Membentang Dari Hulu Cirancamaya Sampai Ke Kaki Bukit Badigul Di Sebelah Utara Jalan Lama Yang Mengitarinya Dan Berseberangan Dengan Kampung Bojong. Pada Sisi Utara Lapang Bola Rancamaya Yang Sekarang, Tepi Telaga Itu Bersambung Dengan Kaki Bukit. Bukit Badigul Memperoleh Namanya Dari Penduduk Karena Penampakannya Yang Unik. Bukit Itu Hampir “Gersang” Dengan Bentuk Parabola Sempurna Dan Tampak Seperti “Katel” [ Wajan ] Terbalik. Bukit-Bukit Di Sekitarnya Tampak Subur. Badigul Hanya Ditumbuhi Jenis Rumput Tertentu. Mudah Diduga Bukit Ini Dulu “Dikerok” Sampai Mencapai Bentuk Parabola. Akibat Pengerokan Itu Tanah Suburnya Habis. Badigul Kemungkinan Waktu Itu Dijadikan “Bukit Punden” [ Bukit Pemujaan ] Yaitu Bukit Tempat Berziarah [ Bahasa Sunda, Nyekar Atau Ngembang = Tabur Bunga ]. Kemungkinan Yang Dimaksud Dalam “Rajah Waruga Pakuan” Dengan Sanghiyang Padungkulan Itu Adalah Bukit Badigul Ini.

Kedekatan Telaga Dengan Bukit Punden Bukanlah Tradisi Baru. Pada Masa Purnawarman, Raja Beserta Para Pembesar Tarumanagara Selalu Melakukan Upacara Mandi Suci Di Gangganadi [ Setu Gangga ] Yang Terletak Dalam Istana Kerajaan Indraprahasta [ Di Cire Irang ]. Setelah Bermandi- Mandi Suci, Raja Melakukan Ziarah Ke Punden-Punden Yang Terletak Dekat Sungai. Spekulasi Lain Mengenai Pengertian Adanya Kombinasi Badigul-Rancamaya Adalah Perpaduan Gunung-Air Yang Berarti Pula Sunda-Galuh.
Sri Baduga Maharaja Adalah Surawisesa [ Puteranya Dari Mayang Sunda Dan Juga Cucu Prabu Susuktunggal ]. Ia Dipuji Oleh Carita Parahiyangan Dengan Sebutan “Kasuran” [ Perwira ], “Kadiran” [ Perkasa ] Dan “Kuwanen” [ Pemberani ]. Selama 14 Tahun Memerintah Ia Melakukan 15 Kali Pertempuran. Pujian Penulis Carita Parahiyangan Memang Berkaitan Dengan Hal Ini. Nagara Kretabhumi I/2 Dan Sumber Portugis Mengisahkan Bahwa Surawisesa Pernah Diutus Ayahnya Menghubungi Alfonso d’Albuquerque [ Laksamana Bungker ] Di Malaka. Ia Pergi Ke Malaka Dua Kali [ 1512 Dan 1521 ]. Hasil Kunjungan Pertama Adalah Kunjungan Penjajakan Pihak Portugis Pada Tahun 1513 Yang Diikuti Oleh Tome Pires, Sedangkan Hasil Kunjungan Yang Kedua Adalah Kedatangan Utusan Portugis Yang Dipimpin Oleh Hendrik De Leme [ Ipar Alfonso ] Ke Ibukota Pakuan. Dalam Kunjungan Itu Disepakati Persetujuan Antara Kerajaan Pajajaran Dan Portugis Mengenai Perdagangan Dan Keamanan.

Dari Perjanjian Ini Dibuat Tulisan Rangkap Dua, Lalu Masing-Masing Pihak Memegang Satu ] Menurut Soekanto [ 1956 ] Perjanjian Itu Ditandatangai 21 Agustus 1522. Ten Dam Menganggap Bahwa Perjanjian Itu Hanya Lisan. Namun, Sumber Portugis Yang Kemudian Dikutip Hageman Menyebutkan “Van Deze Overeenkomst Werd Een Geschrift Opgemaakt In Dubbel, Waarvan Elke Partij Een Behield”. Dalam Perjanjian Itu Disepakati Bahwa Portugis Akan Mendirikan Benteng Di Banten Dan Kalapa. Untuk Itu Tiap Kapal Portugis Yang Datang Akan Diberi Muatan Lada Yang Harus Ditukar Dengan Barang-Barang Keperluan Yang Diminta Oleh Pihak Sunda. Kemudian Pada Saat Benteng Mulai Dibangun, Pihak Sunda Akan Menyerahkan 1000 Karung Lada Tiap Tahun Untuk Ditukarkan Dengan Muatan Sebanyak Dua “Costumodos” [ Kurang Lebih 351 Kuintal ].

Perjanjian Kerajaan Pajajaran – Portugis Sangat Mencemaskan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, Pintu Masuk Perairan Nusantara Sebelah Utara Sudah Dikuasai Portugis Yang Berkedudukan Di Malaka Dan Pasai. Bila Selat Sunda Yang Menjadi Pintu Masuk Perairan Nusantara Di Selatan Juga Dikuasai Portugis, Maka Jalur Perdagangan Laut Yang Menjadi Urat Nadi Kehidupan Ekonomi Demak Terancam Putus. Trenggana Segera Mengirim Armadanya Di Bawah Pimpinan Fadillah Khan Yang Menjadi Senapati Demak.

Fadillah Khan Memperistri Ratu Pembayun, Janda Pangeran Jayakelana. Kemudian Ia Pun Menikah Dengan Ratu Ayu, Janda Sabrang Lor [ Sultan Demak II ]. Dengan Demikian, Fadillah Menjadi Menantu Raden Patah Sekaligus Menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari Segi Kekerabatan, Fadillah Masih Terhitung Keponakan Susuhunan Jati Karena Buyutnya Barkta Zainal Abidin Adalah Adik Nurul Amin, Kakek Susuhunan Jati Dari Pihak Ayah. Selain Itu Fadillah Masih Terhitung Cucu Sunan Ampel [ Ali Rakhmatullah ] Sebab Buyutnya Adalah Kakak Ibrahim Zainal Akbar Ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel Sendiri Adalah Mertua Raden Patah [ Sultan Demak I ].

-Sang-
Source

Terkait Berita: