Pasar Bolu di Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Foto: Micha Rainer Pali.
Bukan perempuan kalau membeli tidak menawar. Bangsa Eropa dibuat ketakutan.
OLEH: YUDI ANUGRAH NUGROHO
SELAIN dikenal
cerdas dan hemat dalam mengurus keuangan, perempuan Asia, termasuk
Indonesia, sejak dulu menguasai kegiatan di pasar. Dalam transaksi
jual-beli, mereka selalu berusaha mendapatkan harga semurah mungkin.
Tawar-menawar pun menjadi identik dengan mereka.
Menurut Titi Surti Nastiti, arkelolog
dan epigraf Pusat Arkeologi Nasional, tidak ditemukan data arkeologis
terkait kegiatan jual-beli dan tawar-menawar di pasar pada masa Mataram
kuno. “Namun, dengan bantuan studi etnoarkeologi yang dilakukan di
pasar-pasar tradisional, kegiatan tawar-menawar muncul berdampingan
dengan aktivitas pasar tradisional,” kata Titi.
Dari catatan orang-orang Eropa yang
singgah di Nusantara dapat diketahui kegiatan perempuan di pasar.
Misalnya, Antonio Galvao, seorang panglima armada Portugis yang menjadi
gubernur ketujuh Portugis di Maluku (1536-1540), mencatat peran
perempuan Maluku dalam perniagaan. “Wanitalah yang melakukan
tawar-menawar, membuka usaha, membeli dan menjual,” tulis Galvao,
dikutip sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680.
Di Sumatra, menurut Anthony Reid, sebuah
puisi Minangkabau terkenal yang ditulis pada 1820-an, menganjurkan agar
kaum ibu mengajarkan anak-anak gadisnya “mengamati turun-naiknya
harga.” Ini menjadi bekal bagi si gadis ketika berbelanja ke pasar.
Seperti halnya perempuan Maluku dan
Sumatra, perempuan Jawa juga berperan penting di pasar. Menurut Thomas
Stanford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1811-1816),
sudah lazim bagi suami mempercayakan seluruh urusan keuangan kepada
istrinya. “Hanya perempuan yang pergi ke pasar dan melakukan seluruh
urusan jual-beli. Sudah umum diketahui bahwa kaum lelaki Jawa sangat
bodoh dalam mengurus uang,” tulis Raffles dalam The History of Java.
Tidak hanya di pasar, perempuan juga
dapat melakukan transaksi perdagangan dalam skala besar. Jeronimus
Wonderaer, seorang pedagang Belanda yang mengujungi Cochin-China
(Vietnam) pada 1602, melaporkan bahwa para pedagang Belanda dan Inggris
melakukan tawar-menawar harga rempah-rempah dengan seorang pedagang
perempuan terkemuka (coopvrouw) dari kota Kehue (Hue atau Sinoa, sebutan Portugis).
Perempuan tersebut merupakan wakil dari
suatu perusahaan milik dua perempuan bersaudara dan seorang saudara
lelaki yang mampu menyuplai rempah-rempah dalam jumlah besar. “Wanita
itulah yang melakukan tawar-menawar dan si pria hanya mendengarkan serta
setuju,” tulis Wonderaer, dikutip Anthony Reid.
Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia Jilid 2, menyebut
praktik tawar-menawar sebagai “ciri kekunoan yang ada di mana-mana.” Di
Jawa, seperti halnya di banyak negara Asia dan di tempat lain, jika
kita kecualikan toko serba ada modern, tidak terdapat daftar harga dan
segala transaksi hanya terjadi setelah ada perdebatan yang relatif
panjang. Dalam kesempatan itu, masing-masing pihak dapat menunjukkan
bakatnya secara terang-terangan.
“Bangsa Eropa sering kali jengkel
menghadapi permainan ini, karena mereka tidak dibekali keterampilan itu
–paling tidak karena bahasa– dan seringkali mereka menjadi korban.
Secara umum, mereka menolak cara penilaian ‘menurut pandangan klien’,
yang mereka anggap barbar dan menakutkan,” tulis Lombard.
Post a Comment
mohon gunakan email