Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Maluku. Show all posts
Showing posts with label Maluku. Show all posts

Tradisi Ratusan Tahun Warga Ternate Sambut Malam Lailatul Qadar


Masyarakat Islam di Ternate, Maluku Utara memiliki tradisi sendiri dalam rangka menyambut malam Lailatul Qadar. Warga dengan sumringah menyambut Malam 1.000 bulan ini dengan menggelar Festival Ela-Ela.
 
Festival ini rencananya berlangsung pada 13 Juli 2015 atau malam 27 Ramadan. Festival akan menampilkan kekhasan tradisi Islam dalam menyambut malam Lailatul Qadar.

"Masyarakat Islam di Ternate sejak ratusan tahun silam memiliki tradisi dalam menyambut malam Lailatul Qadar yang disebut Ela-Ela. Tradisi inilah yang kita tampilkan pada Festival Ela-Ela nanti," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Ternate Anas Conoras di Ternate, Kamis (9/7/2015).

Festival Ela-Ela telah menjadi kegiatan rutin Pemkot Ternate. Di sini menampilkan ritual penyambutan, yang diawali dengan pembacaan doa di Kedaton Kesultanan Ternate. Doa berlangsung usai salat tarawaih di Masjid Kesultanan Ternate.

Kegiatan selanjutnya yakni pembakaran obor yang dalam bahasa Ternate disebut Ela-Ela oleh wakil dari Kesultanan Ternate dan Pemkot Ternate, kemudian diikuti seluruh masyarakat, baik yang ada di lingkungan kedaton kesultanan maupun di seluruh wilayah Ternate.

Seluruh warga di Ternate memasang obor di halaman rumah sampai pagi. Adapula warga yang membakar damar, sehingga hampir seluruh wilayah Ternate tercium aroma harum damar yang umumnya dari kualitas terbaik di Halmahera.

"Masyarakat Ternate membakar obar dan damar pada malam 27 Ramadan karena sesuai keyakinan yang diwariskan sejak ratusan tahun silam. Pada malam itu para malaikat turun dari langit, dan untuk itu masyarakat menyambutnya dengan cara menerangi kampung menggunakan obor dan mengharumkannya menggunakan damar," jelas Anas.

Untuk menyemarakan festival, Pemkot Ternate menggelar lomba Ea-Ela antar kelurahan dengan penilaian dititikberatkan pada kesemarakan obor dan lampion, serta partisipasi masyarakat di setiap kelurahan dalam kegiatan itu.

Kini, Festival Ela-Ela telah menjadi salah satu kegiatan wisata religi di Ternate, yang diselenggarakan setiap bulan Ramadan. Sesuai pengalaman tahun-tahun sebelumnya, kegiatan ini cukup menarik perhatian wisatawan
(Liputan 6/ABNS)

Akar Sejarah Tawar-Menawar

Pasar Bolu di Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Foto: Micha Rainer Pali.

Bukan perempuan kalau membeli tidak menawar. Bangsa Eropa dibuat ketakutan.
OLEH: YUDI ANUGRAH NUGROHO

SELAIN dikenal cerdas dan hemat dalam mengurus keuangan, perempuan Asia, termasuk Indonesia, sejak dulu menguasai kegiatan di pasar. Dalam transaksi jual-beli, mereka selalu berusaha mendapatkan harga semurah mungkin. Tawar-menawar pun menjadi identik dengan mereka.

Menurut Titi Surti Nastiti, arkelolog dan epigraf Pusat Arkeologi Nasional, tidak ditemukan data arkeologis terkait kegiatan jual-beli dan tawar-menawar di pasar pada masa Mataram kuno. “Namun, dengan bantuan studi etnoarkeologi yang dilakukan di pasar-pasar tradisional, kegiatan tawar-menawar muncul berdampingan dengan aktivitas pasar tradisional,” kata Titi.

Dari catatan orang-orang Eropa yang singgah di Nusantara dapat diketahui kegiatan perempuan di pasar. Misalnya, Antonio Galvao, seorang panglima armada Portugis yang menjadi gubernur ketujuh Portugis di Maluku (1536-1540), mencatat peran perempuan Maluku dalam perniagaan. “Wanitalah yang melakukan tawar-menawar, membuka usaha, membeli dan menjual,” tulis Galvao, dikutip sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680.

Di Sumatra, menurut Anthony Reid, sebuah puisi Minangkabau terkenal yang ditulis pada 1820-an, menganjurkan agar kaum ibu mengajarkan anak-anak gadisnya “mengamati turun-naiknya harga.” Ini menjadi bekal bagi si gadis ketika berbelanja ke pasar.

Seperti halnya perempuan Maluku dan Sumatra, perempuan Jawa juga berperan penting di pasar. Menurut Thomas Stanford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1811-1816), sudah lazim bagi suami mempercayakan seluruh urusan keuangan kepada istrinya. “Hanya perempuan yang pergi ke pasar dan melakukan seluruh urusan jual-beli. Sudah umum diketahui bahwa kaum lelaki Jawa sangat bodoh dalam mengurus uang,” tulis Raffles dalam The History of Java.

Tidak hanya di pasar, perempuan juga dapat melakukan transaksi perdagangan dalam skala besar. Jeronimus Wonderaer, seorang pedagang Belanda yang mengujungi Cochin-China (Vietnam) pada 1602, melaporkan bahwa para pedagang Belanda dan Inggris melakukan tawar-menawar harga rempah-rempah dengan seorang pedagang perempuan terkemuka (coopvrouw) dari kota Kehue (Hue atau Sinoa, sebutan Portugis).
Perempuan tersebut merupakan wakil dari suatu perusahaan milik dua perempuan bersaudara dan seorang saudara lelaki yang mampu menyuplai rempah-rempah dalam jumlah besar. “Wanita itulah yang melakukan tawar-menawar dan si pria hanya mendengarkan serta setuju,” tulis Wonderaer, dikutip Anthony Reid.

Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia Jilid 2, menyebut praktik tawar-menawar sebagai “ciri kekunoan yang ada di mana-mana.” Di Jawa, seperti halnya di banyak negara Asia dan di tempat lain, jika kita kecualikan toko serba ada modern, tidak terdapat daftar harga dan segala transaksi hanya terjadi setelah ada perdebatan yang relatif panjang. Dalam kesempatan itu, masing-masing pihak dapat menunjukkan bakatnya secara terang-terangan.

“Bangsa Eropa sering kali jengkel menghadapi permainan ini, karena mereka tidak dibekali keterampilan itu –paling tidak karena bahasa– dan seringkali mereka menjadi korban. Secara umum, mereka menolak cara penilaian ‘menurut pandangan klien’, yang mereka anggap barbar dan menakutkan,” tulis Lombard.

Ritual Seksualitas Dalam sejarah


Tradisi di sejumlah wilayah di Indonesia melibatkan aktivitas seksual secara heteroseksual maupun homoseksual. Ia punya makna lain ketimbang sekadar mencari kepuasan seksual.
OLEH: DEVI FITRIA

SEKSUALITAS menjadi bagian dari setiap fase kehidupan manusia. Di sejumlah daerah di Indonesia, ada proses inisiasi bagi remaja lelaki maupun perempuan sebelum memasuki jenjang perkawinan. Ini menjadi bagian dari proses pendewasaan diri, yang punya makna religi atau berkaitan dengan dunia gaib.
Dalam tradisi Islam, sunatan merupakan bagian dari ritual inisiasi bagi remaja lelaki maupun perempuan untuk menapak jenjang kedewasaan. Di sejumlah daerah di Indonesia, juga negara lain, sunat juga dilakukan terhadap perempuan dengan alasan yang tak masuk akal: mengurangi libido dan menjauhkan perempuan dari perzinahan –sekalipun sejak 2006 Departemen Kesehatan sudah melarangnya.

Praktik sunat juga hidup pada tradisi masyarakat Atoni Pah Meto dan Ema Belu (Orang Belu), dua suku besar di Timor Barat. Ia dilakukan secara turun-temurun. Biasanya seorang pria yang melewati masa akil balik disunat dengan alat sederhana: pisau dan penjepit dari belahan bambu. Tujuannya, selain untuk memasuki alam kedewasaan, juga untuk kepuasan seksual. Usai disunat, ketika luka belum sembuh, dia diwajibkan melakukan hubungan seks dengan perempuan untuk membuang “panas” (sial, penyakit) sekaligus menguji potensi seksualnya. Ironisnya, perempuan yang dijadikan “tempat pembuangan” kemudian malah dikucilkan masyarakatnya sendiri. Ada bias gender dalam praktik semacam ini.

Di tempat lain, ritual inisiasi juga berfungsi sebagai perantara dengan dunia arwah. Di Maluku, upacara sakral pendewasaan diri mengharuskan remaja laki-laki digauli oleh “dukun”, yang juga laki-laki, sebelum mengarungi bahtera perkawinan. Di Papua, seorang anak laki-laki yang beranjak dewasa harus melalui ritual berhubungan fisik dengan laki-laki yang lebih tua. Dipercaya “asupan kekuatan” dari laki-laki dewasa itu akan membantu si remaja  tumbuh menjadi pria yang maskulin. Gilbert H. Herd dalam bukunya Ritualized Homosexuality in Melanesia mengatakan bahwa upacara homoseksual ini ditemukan pada beberapa suku di pantai selatan Papua antara Pantai Kasuari, di kabupaten Asmat, Kolepom, Marind-Anim, juga beberapa tempat di Sungai Fly, Papua Nugini.

Sementara bagi perempuan di suku Kelepom, Papua, yang memasuki masa puber melakukan hubungan seks secara heteroseksual dengan lelaki yang sudah menikah. Ia menjadi suatu pelengkap dalam upacara inisiasi untuk membuktikan masa kedewasaan perempuan.

Ketika ritual inisiasi dilangsungkan, seorang lelaki atau perempuan dianggap sudah menjadi bagian dari masyarakat yang siap memegang tanggung jawab dan menikah. Di sejumlah daerah, ritual pernikahan ini melibatkan bukan hanya aktivitas heteroseksual tapi juga homoseksual.

Adat lama perkawinan di Ponorogo menghidupkan tradisi gemblak. Setelah resepsi perkawinan, mempelai perempuan tidur dengan keluarganya. Maklum, mereka kawin karena perjodohan orangtua sehingga belum saling kenal. Untuk menemani pengantin lelaki, pihak mempelai perempuan menyediakan gemblak. Kedua mempelai baru berkumpul setelah beberapa malam. Gemblak adalah  lelaki muda yang menjadi peliharaan dan pelampias hasrat seksual seorang warok karena tak boleh berhubungan seks dengan perempuan.

Jan Boelaars dalam bukunya Manusia Irian menulis bahwa orang-orang suku Marind lebih menyukai bentuk hubungan homoseksual dan di malam pertama perkawinan mereka akan ditemani rekan (pria) satu sukunya. Ini diakibatkan, karena orang-orang Marind menyadari kekuatan ekonomis dan sosial perempuan, terjadi semacam kompleks kastarasi yang menyebabkan orang-orang Marind tak bisa “menyerahkan” diri sepenuhnya kepada seorang perempuan.

Persetubuhan heteroseksual sebelum menikah juga merupakan bagian dari upacara adat dalam kebudayaan Papua, terutama di kalangan orang Purari, Kiwai, Marind, Kolepom, dan Asmat. Di kalangan orang Marind, misalnya, persetubuhan ditegaskan untuk menghasilkan cairan seksual guna meningkatkan kesuburan, mempersiapkan diri sebelum memasuki kehidupan perkawinan (konsep kedewasaan), membuka kebun, awal kegiatan pengayauan, keseimbangan lingkunggan, pengobatan, kekuatan magi, dan kepemimpinan. Ia mempunyai makna untuk menata kehidupan warganya.

Menurut A.E. Dumatubun dalam “Pengetahuan, Perilaku Seksual Suku Bangsa Marind-Anim” yang dimuat di Jurnal Antropologi Papua, April 2003, dasar utama dari berbagai aktivitas seksual, baik secara homoseksual maupun heteroseksual, di kalangan suku Marind-Anim itu berlandaskan pada konsep “kebudayaan semen“ atau “kebudayaan sperma”. Sperma merupakan kekuatan yang diperoleh dari seorang pria yang perkasa dan kuat. Sperma berhubungan dengan konsep kesuburan, kecantikan, kekuatan penyembuhan, dan kekuatan mematikan. Sehingga di dalam aktivitas hidup suku Marind-Anim konsep sperma memainkan peranan penting.

Ketika sebagian masyarakat mempersoalkan tradisi semacam ini, layaklah apa yang ditulis Clifford Geertz dalam Tafsir Kebudayaan: manusia dengan kebudayaan ibarat binatang yang terperangkap dalam jerat-jerat makna yang dia tenun sendiri.

Terkait Berita: