Pesan Rahbar

Home » , , , , , » Ritual Seksualitas Dalam sejarah

Ritual Seksualitas Dalam sejarah

Written By Unknown on Wednesday, 10 December 2014 | 15:00:00


Tradisi di sejumlah wilayah di Indonesia melibatkan aktivitas seksual secara heteroseksual maupun homoseksual. Ia punya makna lain ketimbang sekadar mencari kepuasan seksual.
OLEH: DEVI FITRIA

SEKSUALITAS menjadi bagian dari setiap fase kehidupan manusia. Di sejumlah daerah di Indonesia, ada proses inisiasi bagi remaja lelaki maupun perempuan sebelum memasuki jenjang perkawinan. Ini menjadi bagian dari proses pendewasaan diri, yang punya makna religi atau berkaitan dengan dunia gaib.
Dalam tradisi Islam, sunatan merupakan bagian dari ritual inisiasi bagi remaja lelaki maupun perempuan untuk menapak jenjang kedewasaan. Di sejumlah daerah di Indonesia, juga negara lain, sunat juga dilakukan terhadap perempuan dengan alasan yang tak masuk akal: mengurangi libido dan menjauhkan perempuan dari perzinahan –sekalipun sejak 2006 Departemen Kesehatan sudah melarangnya.

Praktik sunat juga hidup pada tradisi masyarakat Atoni Pah Meto dan Ema Belu (Orang Belu), dua suku besar di Timor Barat. Ia dilakukan secara turun-temurun. Biasanya seorang pria yang melewati masa akil balik disunat dengan alat sederhana: pisau dan penjepit dari belahan bambu. Tujuannya, selain untuk memasuki alam kedewasaan, juga untuk kepuasan seksual. Usai disunat, ketika luka belum sembuh, dia diwajibkan melakukan hubungan seks dengan perempuan untuk membuang “panas” (sial, penyakit) sekaligus menguji potensi seksualnya. Ironisnya, perempuan yang dijadikan “tempat pembuangan” kemudian malah dikucilkan masyarakatnya sendiri. Ada bias gender dalam praktik semacam ini.

Di tempat lain, ritual inisiasi juga berfungsi sebagai perantara dengan dunia arwah. Di Maluku, upacara sakral pendewasaan diri mengharuskan remaja laki-laki digauli oleh “dukun”, yang juga laki-laki, sebelum mengarungi bahtera perkawinan. Di Papua, seorang anak laki-laki yang beranjak dewasa harus melalui ritual berhubungan fisik dengan laki-laki yang lebih tua. Dipercaya “asupan kekuatan” dari laki-laki dewasa itu akan membantu si remaja  tumbuh menjadi pria yang maskulin. Gilbert H. Herd dalam bukunya Ritualized Homosexuality in Melanesia mengatakan bahwa upacara homoseksual ini ditemukan pada beberapa suku di pantai selatan Papua antara Pantai Kasuari, di kabupaten Asmat, Kolepom, Marind-Anim, juga beberapa tempat di Sungai Fly, Papua Nugini.

Sementara bagi perempuan di suku Kelepom, Papua, yang memasuki masa puber melakukan hubungan seks secara heteroseksual dengan lelaki yang sudah menikah. Ia menjadi suatu pelengkap dalam upacara inisiasi untuk membuktikan masa kedewasaan perempuan.

Ketika ritual inisiasi dilangsungkan, seorang lelaki atau perempuan dianggap sudah menjadi bagian dari masyarakat yang siap memegang tanggung jawab dan menikah. Di sejumlah daerah, ritual pernikahan ini melibatkan bukan hanya aktivitas heteroseksual tapi juga homoseksual.

Adat lama perkawinan di Ponorogo menghidupkan tradisi gemblak. Setelah resepsi perkawinan, mempelai perempuan tidur dengan keluarganya. Maklum, mereka kawin karena perjodohan orangtua sehingga belum saling kenal. Untuk menemani pengantin lelaki, pihak mempelai perempuan menyediakan gemblak. Kedua mempelai baru berkumpul setelah beberapa malam. Gemblak adalah  lelaki muda yang menjadi peliharaan dan pelampias hasrat seksual seorang warok karena tak boleh berhubungan seks dengan perempuan.

Jan Boelaars dalam bukunya Manusia Irian menulis bahwa orang-orang suku Marind lebih menyukai bentuk hubungan homoseksual dan di malam pertama perkawinan mereka akan ditemani rekan (pria) satu sukunya. Ini diakibatkan, karena orang-orang Marind menyadari kekuatan ekonomis dan sosial perempuan, terjadi semacam kompleks kastarasi yang menyebabkan orang-orang Marind tak bisa “menyerahkan” diri sepenuhnya kepada seorang perempuan.

Persetubuhan heteroseksual sebelum menikah juga merupakan bagian dari upacara adat dalam kebudayaan Papua, terutama di kalangan orang Purari, Kiwai, Marind, Kolepom, dan Asmat. Di kalangan orang Marind, misalnya, persetubuhan ditegaskan untuk menghasilkan cairan seksual guna meningkatkan kesuburan, mempersiapkan diri sebelum memasuki kehidupan perkawinan (konsep kedewasaan), membuka kebun, awal kegiatan pengayauan, keseimbangan lingkunggan, pengobatan, kekuatan magi, dan kepemimpinan. Ia mempunyai makna untuk menata kehidupan warganya.

Menurut A.E. Dumatubun dalam “Pengetahuan, Perilaku Seksual Suku Bangsa Marind-Anim” yang dimuat di Jurnal Antropologi Papua, April 2003, dasar utama dari berbagai aktivitas seksual, baik secara homoseksual maupun heteroseksual, di kalangan suku Marind-Anim itu berlandaskan pada konsep “kebudayaan semen“ atau “kebudayaan sperma”. Sperma merupakan kekuatan yang diperoleh dari seorang pria yang perkasa dan kuat. Sperma berhubungan dengan konsep kesuburan, kecantikan, kekuatan penyembuhan, dan kekuatan mematikan. Sehingga di dalam aktivitas hidup suku Marind-Anim konsep sperma memainkan peranan penting.

Ketika sebagian masyarakat mempersoalkan tradisi semacam ini, layaklah apa yang ditulis Clifford Geertz dalam Tafsir Kebudayaan: manusia dengan kebudayaan ibarat binatang yang terperangkap dalam jerat-jerat makna yang dia tenun sendiri.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: