Elizabeth D. Inandiak, seorang Prancis yang menggubah dan menerjemahkan
Serat Centhini ke Bahasa Indonesia. Ilustrasi: Micha Rainer Pali.
Kata-kata kotor, cabul, dan kasar bertebaran dalam
Serat Centhini. Tapi, itu tidak menghapusnya sebagai karya yang
menyatukan seks dan mistik.
Oleh: HENDARU TRI HANGGORO
SERAT Centhini,
yang dianggap karya terbesar dan terindah dalam kesusastraan Jawa,
ditulis pada abad ke-19. Dia lahir dari rahim keraton Solo. Pangeran
Adipati Anom, seorang putra Susuhunan Pakubuwana IV, menginginkan
pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa dikumpulkan. Tiga pujangga
keraton ditunjuk untuk membantunya.
Kerja keempatnya menghasilkan karya
setebal 4.000 halaman lebih yang terbagi atas selusin jilid. Beberapa
jilid di antaranya memuat ajaran erotika yang dibalut dengan mistisisme
Islam dan Jawa.
Inilah yang menarik minat Elizabeth D. Inandiak, seorang Prancis yang menggubah dan menerjemahkan Serat Centhini ke Bahasa Indonesia. "Saya tak pernah membayangkan sama sekali bahwa seks bisa bergabung dengan mistik," katanya dalam kuliah umum "Erotika Nusantara: Serat Centhini" di Teater Salihara, Jakarta, 10 Maret 2012.
Inilah yang menarik minat Elizabeth D. Inandiak, seorang Prancis yang menggubah dan menerjemahkan Serat Centhini ke Bahasa Indonesia. "Saya tak pernah membayangkan sama sekali bahwa seks bisa bergabung dengan mistik," katanya dalam kuliah umum "Erotika Nusantara: Serat Centhini" di Teater Salihara, Jakarta, 10 Maret 2012.
Dalam Centhini, seks tak diartikan hanya
sebagai pertemuan dua alat kelamin manusia. "Kalau cuma bersetubuh,
nanti lama-lama bisa busuk," tandas Inandiak.
Lebih dari itu, seks dapat berarti
puncak erotika. Dalam menjelaskan arti erotika, Inandiak tak hanya
menjabarkannya dari istilah Barat, tapi juga mencoba menggalinya dari
khazanah istilah lokal. "Kenapa kita harus meminjam istilah dari
bahasa-bahasa Barat?" tanya Inandiak dalam makalahnya, "Dari Erotika ke
Sir Centhini". Erotika berasal dari kata Yunani, eros, yang
berarti dewa asmara. Kata ini dipakai untuk menjelaskan hal-hal yang
berkenaan dengan syahwat, hawa, nafsu, atau kebirahian.
Padanan kata ini, menurut Inandiak,
dapat ditemukan dalam Centhini. Beberapa kata yang berkelindan dengan
erotika misalnya ajigineng, terangsang, nafsu berahi, cinta syahwati,
asmaragama (seni bercinta), kasmaran, naluri seksual, pengumbaran nafsu,
dan mabuk kepayang. Masyarakat Jawa telah mempunyai konsep dan kata
mengenai erotika. Dengan demikian, erotika tidak sepenuhnya datang dari
Barat.
Sejak 1990-an, Elizabeth menerjemahkan Centhini ke dalam bahasa Prancis. Buku sadurannya dalam bahasa Indonesia, Centhini: Kekasih Yang Tersembunyi,
baru terbit pada 2008. Penerjemahan Serat Centhini itu tak mudah,
Inandiak mesti menghadapi dua pendapat ekstrem para ahli sastra Jawa.
Satu kelompok berpendapat Serat Centhini terlalu kotor untuk
diterjemahkan karena memuat ajaran dan kata-kata kotor, cabul, dan
kasar. Di kutub lain, para ahli menilai Serat Centhini sangat adiluhung
sehingga tak bisa diterjemahkan. Kalaupun diterjemahkan, nilai estetis
Centhini akan berkurang. Kedua pendapat itulah yang menyebabkan Serat
Centhini tak diterjemahkan selama hampir satu abad. Tapi Inandiak tetap
berkeras menerjemahkannya karena menganggap karya ini sangat penting
untuk mengungkap dunia tersembunyi orang Jawa.
Beberapa jilid Serat Centhini memang
memuat ajaran-ajaran kotor dan cabul. Penuh adegan persanggamaan dan
pelepasan hasrat seksual yang tak terbatas suami dan istri tapi juga di
luar pernikahan. Petualangan Cebolang, remaja yang lari dari rumah
orangtuanya karena menilai dirinya berdosa besar, menjadi
simbolisasinya.
Dalam pelariannya, dia bersanggama
dengan orang yang berbeda, tak peduli laki atau perempuan, di banyak
tempat. Perbuatannya itu tak lain untuk menebus dosa-dosanya. Cebolang
menganggap hanya dengan menceburkan diri ke perbuatan yang hina
kesalahannya diampuni. Ketika sampai di Mataram (Yogyakarta), Cebolang,
bersama kawan lelakinya, Nurwitri, menyetubuhi dua perempuan secara
bergantian di area pesantren. Subuh tiba, mereka berhenti, lalu mandi
untuk menunaikan salat subuh di masjid.
"Ini menarik. Kalau terjadi di klub seks
bebas, itu bukan erotika. Tapi, ini terjadi di pesantren sehingga
erotikanya sangat tinggi. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi dalam
kisah itu," terang Inandiak.
Tapi, Inandiak mengingatkan bahwa
kecabulan dan kekotoran bahasa Serat Centhini terhapus lewat keindahan
tembang dengan paduan gamelan dan pesinden. "Pembacaan Serat Centhini
sejatinya memang ditembangkan," tandasnya. Dengan demikian, para pembaca
tak tenggelam ke lautan kata-kata kotor dan cabul sehingga keindahan
erotika Serat Centhini tetap dapat ditangkap.
Kisah asmara paling halus dalam Serat
Centhini tak pelak menjadi milik pasangan Amongraga dan Tembangraras.
Amongraga, putra mahkota Sunan Giri, duduk berhadapan dengan
Tambangraras, istrinya, di kamar pengantin pada malam pertama
pernikahannya. Amongraga berada di buritan ranjang pengantin, sedangkan
Tambangraras duduk di haluan. Jarak antara keduanya cukup jauh.
Riuh-rendah tetamu yang masih berpesta dan mabuk di luar kamar masih
terdengar, sedangkan suasana di dalam kamar sangat tenang dan damai.
Amongraga tak lantas bersanggama dengan
istrinya. Dan terus begitu hingga malam keempat puluh. Selama itu,
Amongraga mengajarkan sejumlah rahasia kepada istrinya agar
persanggamaan mereka mencapai penyatuan sejati. Sebelum tibanya malam
itu, keduanya hanya saling menatap dan berbicara.
Mereka bertelanjang secara bertahap
sesuai dengan tingkatan mistiknya. "Semakin tinggi tingkatan mistiknya,
semakin tinggi pulalah ketelanjangannya," kata Inandiak.
Tingkatan mistik tercapai berkat
ajaran-ajaran Amongraga yang diambil dari mistisisme Islam dan
asmaragama (seni bercinta Jawa). Ajaran Islamnya bersumber dari buah
pikir sufi Timur Tengah seperti Al-Jili, Abdul Qadir al-Jailani,
Al-Ghazali, dan Rumi. Sedangkan ajaran asmaragama bersumber dari tradisi
tantrisme dan falsafah Jawa Kuno. Karena asmaragama, banyak yang
menganggap Serat Centhini sebagai Kamasutra Jawa. "Memang ada yang menyebut seperti itu, tapi saya kira Centhini bercerita tentang banyak hal. Lebih luas daripada Kamasutra," katanya.
Amongraga menyadari sepenuhnya apa yang
diajarkannya selama empat puluh malam, pun jua dengan Tambangraras. Jiwa
mereka terbakar dalam api asmara. Dan mencapai puncaknya pada malam
keempatpuluh. Saat itulah, mereka menyatukan tubuh. Tak ada laki-laki,
tak ada perempuan. Manunggal. Demikianlah puncak erotika. Inandiak
menyebut itu sebagai paduan sir (nafsu dalam bahasa Jawa) dan sir
(rahasia dalam bahasa Arab). "Nafsu yang mengangkat asmaragama ke alam
gaib (rahasia)," tulis Inandiak. Sesuatu yang menurut Inandiak menjadi
padanan kata paling tepat untuk erotika dan tidak ditemukan dalam alam
pikiran orang Barat melalui pembacaannya terhadap karya sastra mereka.
"Sepanjang pengetahuan saya,
mudah-mudahan saya salah, tak ada kesusastraan Eropa yang menggabungkan
seks dan mistik seperti ini," kata Inandiak menutup diskusi.
(ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email