Hari Valentine dianggap bukan lagi perayaan hari kasih sayang.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI
VALENS
atau Val marah karena Jay, rekan duetnya dalam grup musik Valentino,
lalai dan mementingkan diri sendiri. Teman-temannya berusaha membuat
mereka rujuk. Apalagi mereka harus mengadakan pertunjukan di Hari
Valentine. Ketika pertunjukan dimulai, Jay muncul di panggung.
Pertunjukan berlangsung sukses.
Sebelum pertunjukan,
sempat muncul dialog pembelaan terhadap Hari Valentine, yang entah
bagaimana mulai dirayakan di Indonesia dengan bermacam acara dan cukup
menimbulkan kontroversi dalam masyarakat.
Sinopsis film Valentine, Kasih Sayang Bagimu tersebut, tayang 1989, tampaknya dibuat untuk menyambut Hari Valentine. Di Indonesia, tulis Charlie Lie dalam Kilas Kilau Bisnis, Hari Valentine mulai dikenal sejak 1970-an dan pada 1980-an kegilaan terhadap Hari Valentine memuncak.
Selain film, beberapa novel remaja menyuguhkannya. Dalam Lupus: Bangun Dong, Lupus! yang terbit pada 1988, misalnya, Hilman menampilkan dialog soal Hari Valentine. Hilman juga menerbitkan novel Dancing on the Valentine (1990). Penulis lainnya, Gola Gong, menuliskannya dalam Happy Valentine (1991).
Walaupun masih simpang
siur, umum diketahui bahwa Valentine mengacu pada nama seorang martir:
Santo Valentine atau Valentinus, seorang imam dan uskup Terni (dekat
Roma). Valentine menentang kebijakan Kaisar Romawi Claudius II yang
melarang menikah muda, terutama bagi mereka yang masih dinas tentara
atau pegawai kekaisaran. Kaisar Claudius II menganggap prajurit dan
pejabat yang belum menikah dapat lebih diandalkan dan efektif
menjalankan tugas.
Namun Valentine
menikahkan pasangan muda yang jatuh cinta. Atas ketakpatuhannya,
Valentine dipenjara dan dihukum mati. Di penjara, dia menyembuhkan anak
gadis kepala penjara yang buta karena ketekunannya berdoa. Membalas jasa
Valentine, kepala penjara menyelundupkan surat-suratnya kepada generasi
muda Roma. Dalam surat terakhir sebelum eksekusi, Valentine membubuhkan
frasa penutup: from your Valentine.
Dalam The Lovers Book,
Kate Gribble menulis bahwa mengekspresikan cinta di kartu Valentine
kali pertama dilakukan pada abad ke-15 oleh Charles, duke dari Orleans.
Setelah penangkapannya saat Perang Agnicourt tahun 1415, dia diasingkan
di Inggris sampai 1440. Selama itu dia menulis surat cinta dan puisi
kasih sayang untuk istrinya, Bonne dari Armagnac yang tinggal di
Prancis. Enampuluh surat itu utuh tersimpan di British Library, London.
“Di Amerika, kartu
Valentine kali pertama diproduksi secara massal awal 1850-an. Kartu ini
merupakan hasil ciptaan seorang sarjana bernama Esther Howland,” tulis
Kate Gribble.
Pada abad ke-17,
perayaan Hari Valentine menjadi tradisi umum di seluruh dunia. Selain
kartu ucapan dan surat, tradisi tukar-menukar hadiah pun dimulai. Di
awal 1700-an, Charles II dari Swedia mengenalkan kepada Eropa sebuah
seni Persia yang disebut “bahasa bunga”. Lewat kiriman bunga, kita bisa
mengekspresikan pesan-pesan tersembunyi.
Pilihannya kemudian beragam, dari cokelat hingga cincin. “Barang yang dicari biasanya boneka, permen berbentuk love, cincin, cokelat, tas, dan baju,” kata Feny, penjual di pusat perbelanjaan Mangga Dua Square, Jakarta.
Di negara-negara
mayoritas beragama Islam, para pemuka agama melarang perayaan Hari
Valentine. Alasannya, selain merujuk pemuka agama Santo Valentine,
perayaan Valentine dianggap bukan lagi sebagai hari kasih saying tapi
hura-hura yang dibumbui pergaulan bebas. Namun muda-mudi tetap saja
merayakannya, sampai sekarang.*
Post a Comment
mohon gunakan email