Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Kerajaan indonesia. Show all posts
Showing posts with label Kerajaan indonesia. Show all posts

Loro Jonggrang Si Gadis Semampai

Arca Durga Mahisasuramardini alias Loro Jonggrang di candi Siwa dalam kompleks Candi Prambanan. Foto: Gunawan Kartapranata/wikimedia.org.

Loro Jonggrang merujuk kepada arca Durga Mahisasuramardini di candi Siwa dalam kompleks Candi Prambanan.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI

SONTAK mendadak nama Loro Jonggrang, perempuan dalam legenda rakyat Jawa, mencuat jadi bahan perbincangan di sosial media. Muasalnya karena Taufik Ridho, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera dan anggota Timses Prabowo-Hatta, kepleset ucap soal Loro Jonggrang saat memberikan pernyataan seputar persiapan sidang gugatan kepada KPU di Mahkamah Konstitusi.

“Ini kan tidak bisa dilakukan seperti Roro Jonggrang membuat Tangkuban Perahu (hanya butuh waktu semalam),” tegasnya berkilah soal waktu mempersiapkan bukti-bukti gugatan KPU, dikutip liputan6.com (4/8).

Loro Jonggrang bukan tokoh dalam legenda Sangkuriang yang menciptakan gunung Tangkuban Perahu. Legenda Tangkuban Perahu berasal dari Tatar Priangan yang mengisahkan tentang Dayang Sumbi, ibu kandung Sangkuriang, yang mengajukan syarat berat untuk menggagalkan keinginan anaknya mengawini dirinya.

Loro Jonggrang adalah tokoh utama dalam cerita rakyat Jawa yang beralur kurang lebih sebagai berikut: Loro Jonggrang, putri semata wayang Ratu dan Raja Boko dari Kerajaan Medang Kamulan, tersohor karena kecantikannya dan hendak diperistri oleh banyak pangeran.

Ketika Bandung Bondowoso, salah satu pangeran yang ingin menyuntingnya, mengajukan diri, Raja Boko mengatakan harus mengalahkannya terlebih dulu. Sang raja terbunuh. Loro Jonggrang tak sudi menikah dengan pembunuh ayahnya, apa daya dia takut menolak Bandung Bondowoso secara terang-terangan. Lalu, dia mengajukan syarat: bila Bandung Bondowoso berhasil membangun seribu candi dalam semalam, dia boleh menikahinya.

Bandung Bondowoso menyanggupinya dan nyaris berhasil karena ayahnya membantu dengan sepasukan jin. Atas saran seorang dayangnya, Loro Jonggrang memukul lesung penumbuk padi, sehingga ayam jago berkokok. Pasukan jin yang mengira fajar akan merekah langsung kabur karena takut cahaya matahari.
Bandung Bondowoso gagal menyelesaikan seribu candi. Dia naik pitam karena tahu muslihat Loro Jonggrong. Dia mengutuk sang putri menjadi batu. Berkat kemurahan hati Dewa Siwa, Loro Jonggrang menjadi sebuah arca.

Menurut Roy Jordan dalam Memuji Prambanan, Loro Jonggarang yang berarti “Gadis Semampai” merujuk pada arca Durga Mahisasuramardini yang terletak di bilik sebelah utara dari candi induk, yaitu candi Siwa di kompleks Candi Prambanan di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Candi Prambanan dibangun pada paruh kedua abad ke-9 atau permulaan abad ke-10 sebagai persembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu: Brahma, Wishnu, dan Siwa. Karena arca Durga berada di candi induk, kompleks Candi Prambanan biasa disebut Candi Loro Jonggrang.
Di masa lalu, arca Durga, memikat luar biasa para penduduk setempat. Ini terlihat dari rupa-rupa sesajen berupa dupa, beras, bebungaan atau uang, bahkan kambing-kambing yang masih hidup.

“Daya pikatnya juga terbukti dari bagian dada dan pinggul arca itu yang berkilauan, yang disebabkan oleh elusan kasih para pemujanya,” tulis Jordan. “Lucunya, karena elusan-elusan ini beberapa pengunjung asing terdahulu…malah menduga dada itu terbuat dari lempengan logam atau merupakan bagian dari sebuah arca logam yang bersinar cemerlang di antara tumpukan bebatuan.”

C.A. Lons, pegawai VOC, kali pertama berkunjung ke reruntuhan Candi Prambanan pada 1733 dan melaporkannya sebagai “kuil-kuil Brahmana” tanpa perincian lebih lanjut. Keterangan dan sketsa pertama puing-puing Candi Loro Jonggarang ditemukan dalam buku History of Java karya Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Sir Stamford Raffles. Judul sketsa karya J. Mitan pada 1815 itu berbunyi “candi induk di Jongrangan.”

“Dalam nama Jongrangan ini kita dapat mengenal nama lokal lainnya yang lebih populer untuk kompleks percandian itu, yaitu Loro Jonggarang,” tulis Jordan. John Crawfurd, residen Yogyakarta yang diangkat Raffles, mengenali “candi Jongrangan” sebagai kuil Siwa. Raffles menyebut candi-candi itu sebagai tempat suci agama Buddha.

J.W. IJzerman, ketua perkumpulan arkeologis amatir setempat, melakukan pembersihan pertama kompleks candi itu pada 1885. “Usaha-usahanya tampaknya menegaskan bahwa Loro Jonggrang adalah sebuah candi Saiva (Siwa, red) dan bukan sebuah tempat suci Buddhis,” tulis Jordan.

Pemugaran kali pertama dilakukan oleh arsitek muda, De Haan. Selain terkendala pemotongan anggaran, tragisnya dia meninggal pada 1930. Penggantinya, Van Romondt juga terhambat oleh pembatasan anggaran. Pemugaran tertunda karena pecah Perang Dunia II disusul perang kemerdekaan Indonesia.

Pemugaran candi induk, yaitu candi Siwa, di mana arca Durga atau Loro Jonggrang berada, yang dimulai pada 1918 baru tuntas pada 1953 dan diresmikan Presiden Sukarno. Sedangkan candi Brahma diresmikan pada 1987 dan candi Wishnu pada 1991 sekaligus dinyatakan oleh UNESCO, badan PBB yang menangani pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; sebagai warisan dunia (world heritage).

Hasan dan Husin: Nama Dua Anak Putri Campa-Pangeran Mataram


Oleh:

Gus Dur mengaku berdarah Cina, karena menjadi keturunan Putri Campa. Klaim-klaim keturunan tokoh penting sudah biasa. Bahkan, pengakuan Gus Dur itu bukan hal mengejutkan. Persoalannya selama ini sejarah Putri Campa tidak pernah dibongkar atau diungkapkan secara luas kepada masyarakat.

“Putri Campa itu gadis Palembang yang dipersunting Brawijaya V, pangeran Mataram. Mereka memiliki anak yang bernama Hasan dan Husin. Putri Campa memang berdarah Tiongkok. Nah, hampir semua keturunan wong Palembang saat ini masih keturunan Putri Campa. Tepatnya keturunan Raden Hasan atau yang dikenal Raden Patah,” kata Eka Pascal, sejarahwan Palembang, kepada detikcom, Kamis (31/1/2008).

Lho kok bisa? Sebab, dulu keturunan Raden Patah – raja Demak- lari ke Palembang. “Di Palembang, keturunan Raden Patah ini kemudian membangun kerajaan Islam Palembang,” kata Eka Pascal. 

Orang-orang Palembang yang masih keturunan Raden Patah ini memiliki keturunan yang ditandai dengan sejumlah gelar seperti Kemas, Kiagus, atau Masagus. “Sebagian keturunan Putri Campa ini menyebar ke Madura, Sulawesi, Thailand Selatan, Filipina Selatan, Maluku, dan kepulauan Sumba,” kata dia. (Diolah dari detikcom31/01/2008 11:50 WIB ).

Tapi yang lebih menarik perhatian bukan keturunan Putri Campa, tapi raja Brawijaya dan Putri Campa memberi nama kedua putra mereka dengan Hasan dan Husin.

21 Comments

  1. iim
    Jan 31, 2008
    ADA APA YA???????????
    Siapa yang punya kisah tentang mereka berdua ini ( Hasan dan Husin).
  2. eagle
    Jan 31, 2008
    he…he……
    silahkan sayid dari palembang sekitar yg menjawabnya….
  3. damartriadi
    Feb 1, 2008
    Hmm…menarik, soalnya kata sejarah Brawijaya V adalah orang terakhir yang memerintah Majapahit Hindu. Mungkinkah kerajaan Hindu-Jawa dipimpin oleh seorang Muslim? Atau memang Islam telah tersebar luas di Indonesia, hanya saja tidak menjadi formal suatu negara? Kayaknya ini topik yang cukup menarik dalam sejarah nasional.
    • Eagle Fahri
      Sep 19, 2013
      BRAWIJAYA V masuk Islam, ber syahadat di hadapan Sunan Kalijaga pasca perang Demak-Majapahit. Dalam pelarian di Banyuwangi, datang SK Jaga dan membujuk untuk beliau kembali ke Trowulan. Brawijaya akhirnya masuk Islam dan mengajak sisa2 kerabat Majapahit untuk ikhlas menerima Demak sebagai kelanjutan Majapahit.
  4. marthin
    Jul 4, 2008
    Sultan Agung masih menyimpan banyak cerita yang belum terkuak dalam sejarah negeri ini. Saya sendiri sedang mencari tahu mengenai keturunan Sultan Agung. Konon ia memiliki banyak selir, dan dari selir-selirnya lahir anak-anak yang turut berperan dalam perjalanan kerajaan. Saya sangat membutuhkan informasi mengenai hal ini. Bagi pembaca lain yang memiliki data/informasi mengenai hal ini bisa mengirimkannya ke (marthin.sin@gmail.com). Saya sangatberterimakasih bagi siapa saja yang memberikan data dan informasi mengenai hal ini. Salam
    – th!n -
  5. arbe
    Sep 4, 2008
    Tsiampa ya Tsiampa bukan Tiongkok. dalam beberapa lit Campa itu lebih banyak disebut etnis melayu atau nusantara. letaknya di barat Vietnam Selatan sampai Kamboja timur, sampai abad 14 wilayahnya mencapai pantai barat Vietnam Selatan sampai Tengah. Sekarang Campa cuma etnis minoritas yang sebagian muslim (ortho dan bani/sinkretis) sebagian brahmani, wilayahnya enclaves dr Viet Tengah sampai Kamboja, mungkin 10 – 20 kampung yang tersebar. Kasihan jumlahnya makin sedikit, muslim yg ortho lumayan teguh, tp yg bani parah, munkin Campa Bani kl di Indonesia disebut aliran sesat dan pasti dibasmi oleh FPI dan teman2nya. Abad 15 Campa kocar-kacir diserang orang Vietnam dari Utara yg lebih Cina, serbuan itu menyebabkan gelombang pengungsian orang Campa ke pantai Timur Malaysia, Melayu Indrapura, Kalbar, Sriwijaya juga Jawa Timur (salah satu jejaknya ya candi Pari di Porong, Sidoarjo). Ini pengulangan pengungsian orang Fun-An di selatan Campa pada abad 8 (moyangnya Jayawarman II).
    • Dusoh_yusuf_putra_Champa
      Mar 20, 2011
      aslmu alaikum, saya orang Champa asli di Vietnam, kuliah di Indonesia sudah 5 tahun,
      dan saya kagum atas pENGETAHUAN sejarah Anda, dan hampir sama dengan pengetahuan saya,
      dan dari mana anda dapat informasi ini,
      jika anda punya sejarah buku atau referensi lain terkait dengan Putri champa dan sejerah orang Champa oleh saya minta informasinya,
      ini penting bagi kami,
      terima kasih,
      waslamu alaikum Wrt, Wbt,
      Yusuf_champa
      Email saya: machdusoh@yahoo.com
      FB: Yusuf_champa.
      • Leon
        Apr 17, 2012
        ass… setelah saya membaca artikel d atas ‘n anda mengaku org champa asli vietnam, saya timbul pertanyaan… apakah mngkn ada hubungan antara org palembang dgn vietnam…?? thanks wasalam…
  6. afif
    Mar 6, 2009
    jangan terlalu melihat masa lalu lihatlah masa depan!.
    • belu
      Jun 15, 2012
      belajar dari masa lalu, hidup di masa sekarang, berjalan ke masa depan.
  7. A Setiapada G alias Ujang Bin Bochari K, SH
    Mar 14, 2009
    Putri Champa adalah istri Brawijaya V Raja Majapahit, beliau berasal dari negeri champa (anak raja champa) dan garis keturunannya sampai kepada Sayidina Ali (keponakan dan sekaligus menantu Nabi Besar Muhammad SAW). Di daerah Kabupaten Lahat, Propinsi Sumatera Selatan lebih kurang berjarak 268 KM dari Kota Palembang, terletak sebuah desa yang bernama “PAGAR BATU” tepatnya di Kecamatan Pulau Pinang Kab.Lahat.
    Penduduk di Desa Pagar Batu tersebut adalah keturunan langsung RADEN FATTAH dari istrinya yang bernama “Puyang Keramat Ulu Dusun” (Raden Fattah memiliki dua orang istri yaitu yang menurunkan Pati Unus dst dan satu lagi istrinya yang menurunkan keturunan “Puyang Sembilan Behading”
    Makam dan peninggalan Puyang Sembilan Behading ini bisa ditelusuri (yaitu dengan keluarga KENAIM atau Ir. Bur Maras di Jakarta/anggota DPR RI dari Partai Demokrat) dan merekan di desa Pagar Batu juga sudah menjalin hubungan dengan keturunan Raden Fattah di DEMAK.
    • Qaraati
      Apr 23, 2012
      “garis keturunannya sampai kepada Sayidina Ali (keponakan dan sekaligus menantu Nabi Besar Muhammad SAW)”
      Maaf Sayyidina Ali Sepupu Rasul SAWW,,
  8. A Setiapada G alias Ujang Bin Bochari K, SH
    Mar 14, 2009
    Putri Champa adalah istri Brawijaya V Raja Majapahit, beliau berasal dari negeri champa (anak raja champa) dan garis keturunannya sampai kepada Sayidina Ali (keponakan dan sekaligus menantu Nabi Besar Muhammad SAW). Di daerah Kabupaten Lahat, Propinsi Sumatera Selatan lebih kurang berjarak 268 KM dari Kota Palembang, terletak sebuah desa yang bernama “PAGAR BATU” tepatnya di Kecamatan Pulau Pinang Kab.Lahat.
    Penduduk di Desa Pagar Batu tersebut adalah keturunan langsung RADEN FATTAH dari istrinya yang bernama “Puyang Keramat Ulu Dusun” (Raden Fattah memiliki dua orang istri yaitu yang menurunkan Pati Unus dst dan satu lagi istrinya yang menurunkan keturunan “Puyang Sembilan Behading”
    Makam dan peninggalan Puyang Sembilan Behading ini bisa ditelusuri (yaitu dengan keluarga KENAIM atau Ir. Bur Maras di Jakarta/anggota DPR RI dari Partai Demokrat) dan merekan di desa Pagar Batu juga sudah menjalin hubungan dengan keturunan Raden Fattah di DEMAK.
  9. Kemas Yustiar Abu Hafas
    Aug 30, 2009
    Ketika Fatahillah melarikan diri Pasai karena tidak sukanya melihat Pasai dikuasai Portugis, beliau memilih untuk hijrah ke Demak, yang pada masa itu yang menjadi Raja adalah Raden Trenggono (1521 – 1546 ). Konon kabarnya Fatahillah yang memberi Gelar Sultan, sehingga sejak itu Raden Trenggono menjadi Sultan Trenggono. Karena besarnya jasa beliau terhadap kerajaan Demak dengan meluaskan kekuasaan Demak ( sekaligus mengislamkan masyarakatnya ) di sebagian Jawa bagian Barat khususnya Banten, Subda Kelapa dan cirebon dan sekitarnya ) maka Fatahillah dinikahkan dengan adik Sultan Trenggono ( putri Raden Fatah ). Apakah dari pernikahan ini kemudian lahir Ki Borowongso, yang menjadi cikal bakal gelar Kemas Ki Agus & Mas Agus ?
  10. tingkir
    Dec 8, 2011
    aduhhh…cerita ini malah membuat makar yang bukan ke arah baik..kalau kita mengenal dosa fitnah maka lebih baik tidak membuat cerita seperti di atas.
    • Leon
      Apr 17, 2012
      sejarah bakal terulang lg bung…. jd belajarlah dr sejarah
      • belu
        Jun 15, 2012
        mudah2an pertemuan para keturunan akan membawa kebaikan.
  11. kemas jambi
    May 4, 2012
    Alo Mas
    Saya Kemas dari Jambi
    Senang bisa tau sejarah keturunan kemas.
    Apakah sama cerita diatas dengan keturunan kemas jambi?
  12. Farhan Muhammad
    May 26, 2012
    Salam cintakasihperdamaian,
    Berdasarkan beberapa kesaksian dari para ulama’ dan habaib. dijelaskan bahwa:Menurut Sayyid Bahruddin Ba’alawi, dan juga almarhum Habib Muhsin Alhaddar dan Al-Habib Hadi bin Abdullah Al-Haddar Banyuwangi menjelaskan bahwa Silsilah Raden Fattah mengalami pemutar balikan sejarah. Tokoh orientalis yang telah memutarbalikkan sejarah dan nasab Kesultanan Demak adalah Barros, Hendrik De Lame dll. Mereka ini adalah Orientalis Belanda yang berfaham Zionis.
    Ayah Raden Fattah adalah Sultan Abu Abdullah (Wan Bo atau Raja Champa) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam ) ibni Jamaluddin Al-Husain ( Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal ibni Abdullah ibni Abdul Malik ibni Alawi Amal Al-Faqih ibni Muhammad Syahib Mirbath ibni ‘Ali Khali’ Qasam ibni Alawi ibni Muhammad ibni Alawi ibni Al-Syeikh Ubaidillah ibni ahmad Muhajirullah ibni ‘Isa Al-Rumi ibni Muhammad Naqib ibni ‘Ali zainal Abidin ibni Al-Hussein ibni Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW .
    Ayah Raden Patah yaitu Sultan Abu Abdullah (Wan Bo atau Raja Champa) ini menikah dengan Putri Brawijaya V (Bhre Kertabhumi).
    Jadi pernikahan ini sesuai dengan Syariat Islam, karena seorang sayyid yaitu Sultan Abu Abdullah menikahi putri Brawijaya dan mengislamkannya.
    Panggilan putra Brawijaya terhadap Raden Pattah. bukan berarti dalam arti anak. tetapi dalam bahasa JAWA …Putra dipakai untuk memanggil anak, cucu, cicit dan keturunan.
    Dalam Catatan beberapa Rabitah yang ada di Indonesia serta beberapa catatan para Habaib dan Kyai ahli nasab diriwayatkan bahwa:
    Sayyid Abu Abullah (Wan Bo atau Raja Champa) memiliki istri:
    1. Isteri Pertama adalah: Syarifah Zainab binti Sayyid Yusuf Asy-Syandani (Pattani Thailand) melahirkan 2 anak laki-laki: yaitu:
    a. Sayyid Abul Muzhaffar, melahirkan para sultan Pattani, Kelantan lama dan Malaysia.
    b. Sayyid Babullah, melahirkan Sultan-sultan Ternate.
    2. Isteri kedua adalah Nyai Rara Santang binti Prabu Siliwangi Raja Pajajaran, melahirkan 2 anak, yaitu:
    a. Sultan Nurullah (Raja Champa)
    b. Syarif Hidayatullah (Raja Cirebon) bergelar Sunan Gunung Jati.
    3. Istri ketiga adalah Nyai Condrowati binti Raja Brawijaya V, melahirkan 1 anak yaitu: Raden Patah yang bergelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah. Gelar Akbar dinisbatkan pada gelar ayahnya yaitu Sultan Abu Abdullah (Wan Bo atau Raja Champa) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam ) ibni Jamaluddin Al-Husain ( Sayyid Hussein Jamadil Kubra atau Syekh Maulana Al-Akbar)
    Cerita yang wajib diluruskan adalah:
    1. Menurut Babad Tanah Jawi, Bahwa Raden Patah anak dari Brawijaya V yang menikahi Syarifah dari Champa yang bernama Ratu Dwarawati
    Sanggahan saya:
    Dalam ilmu Fiqih Islam, hal ini penghinaan terhadap Syarifah, karena tidak mungkin seorang syarifah dinikahkan kepada Raja Hindu. kalao toh masuk Islam. Maka tidak mungkin syarifah menikah dengan muallaf.
    2. Menurut kronik Cina dari kuil Sam Po Kong, Ibu Raden Patah adalah Selir Brawijaya dari Cina. Lalu selir tersebut dicerai dan dinikahkan kepada anak brawijaya yang menjadi Adipati Palembang.
    Sanggahan Saya:
    Jelas sekali kisah ini bertentangan dengan syariat Islam. Dan tidak layak dinisbatkan kepada ibu dari Raden Patah. Haram hukumnya Istri ayah meskipun telah dicerai dinikahkan dengan anak yang lain.
    *Note : by Nurfadhil Azmatkhan Al-Husaini dengan tulisan ini menunjukkan pula bahwa =
    1. Walisongo & kerabat pada masa lalu juga kerap kali menjaga & mengutamakan Kafa’ah..
    2. Meluruskan pula sejarah Sunan Gunung Jati yang selama ini nasabnya benar & jelas namun dikisahkan sebagai putra Raja Mesir Abdullah.. padahal Abdullah merupakan Raja Champa seperti data di atas; hal ini dikarenakan.. Sunan Gunung Jati sbg putra seorang Raja, ketika berdakwah ke nusantara, sebelumnya sempat belajar & berdakwah dari Mesir.. sehingga disangka sbg putra Raja Mesir.. Hal ini sudah kami cek dalam sejarah daftar penguasa Mesir pada jaman itu, tdk tercatat nama Syarif Abdullah.. sedangkan dalam sejarah Melayu, Pattani & Champa .. hal ini dikenal jelas.. dan diakui ulama ahli nasab.. Penulisan kisah sunan Gunung Jati sbg putra Raja Mesir berasal dari distorsi komunikasi mulut ke mulut yang kemudian dicatat dalam Babad sekitar 200 tahun kemudian dari masa kehidupan Sunan Gunung Jati.. dan kemungkinan besar terkait dengan campur tangan penjajah dalam mengaburkan sejarah para penyebar Islam nusantara
    Sahabat silahkan berkunjung ke http://www.facebook.com/note.php?note_id=138429526176755
  13. belu
    Jun 15, 2012
    Wah! saya baru temukan situs ini 4 tahun setelah ditulis but its okay. yes agree, bagaimana anda bisa tahu cerita ini? siapa yang menceritakannya? cerita turun temurun atau … terima kasih.
    Saya kira cerita ini hanya beredar di seputaran keluarga, ternyata menyebar .
  14. Ahla Nuris shoba
    Aug 20, 2014
    Subhanallah ..

Submit a Comment

Sejarah Perkembangan Islam di Kota Wamena Papua


Sejarah Perkembangan Islam di Wamena. Berikut ini adalah sejarah perkembangan islam di wamena, yaitu pada kota wamena sendiri dan di desa Wolasi yang saat ini menjadi desa muslim papua. Dibawah ini adalah penjelasan mengenai proses masuk islam di suku dani wamena dan di desa walesi.

Awal Masuk Islam di Suku Dani Wamena
Masuknya islam di kalangan suku Dani Wamena terjadi pasca integrasi kedalam NKRI pada dekade 1960-an akhir, melalui guru-guru dan transmigrasi yang didatangkan dari Jawa didaerah Sinata. Pengenalan agama Islam di Wamena melalui interaksi perdagangan antara para pendatang dan penduduk pribumi. Islam di Wamena tidak didorong oleh organisasi da’wah Islam. Pendirian SD Impres Megapura pertama di Wamena, berdampak pada perkenalan orang Palim Lembah dengan Agama Islam melalui para guru dan transmigrasi Jawa-Madura secara alamiah. Para guru dari Jawa-Madura dan transmigran yang pada akhirnya dipindahkan ke daerah Paniai tahun 1970-an menyisakan pengaruh bagi Suku Dani terutama anak-anak siswa SD Impres Megapura.
****


Sejarah Perkembangan Islam di Jayapura
Tidak begitu banyak sumber yang membahas mengenai sejarah masuknya islam di jayapura. Sehingga sangat sulit untuk menemukan jejak-jejak sejarah perkembangan islam disana. Namun menurut beberapa sumber awal masuknya islam di jayapura tidak lepas dari peran kesultanan tidore.

Di jayapura terdapat 5 makam wali yang pernah menyebarkan islam. Dari kelima ulama tersebut hanya 2 ulama yang baru diketahui. Mereka adalah :
  1. Habib Muhammad kecil (Asghar)
  2. Syeh Ahmadi beliau berasal dari yaman yang di minta untuk membantu syiar dakwah Habib Muhammad kecil di jayapura

Dari kedua Ulama tersebut hanya Habib Muhammad Kecil yang masih terdapat kisah dakwahnya namun itupun sangat sedikit. Sedangkan kisah Syeh Ahmadi dalam penyebaran islam di Jayapura tidak ada kisah sejarahnya yang tertinggal.
Habib Muhammad Kecil (Asghar)
Beliau merupakan ulama yang berasal dari Bagdad yang di utus oleh kesultanan Turki yang di minta kesediaaannya untuk menyiarkan ajaran islam di jayapura. Ini adalah atas permintaan kesultanan Tidore. Karena pada waktu itu dijayapura sudah ada umat islam yang membutuhkan bimbingan dakwa untuk mempelajari islam lebih dalam lagi. Informasi ini berasal dari salah satu kolano di sarmi kepada sultan tidore.
Beliau masuk ke jayapura pada tahun 1867 setelah berada di tidore selama kurang lebih setahun. Habib muhammad kecil membangun madrasah dan mushollah pertama di kota jayapura yang mana murid2 beliau ataupun santri bukan hanya terbatas dari kota Jayapura tapi juga berasal dari Serui dan Sarmi akan tetapi setelah beliau meninggal pada tahun 1908 dengan di sebabkan sakit kolera selama kurang lebih 1 bulan. madrasah beliau terbengkalai tidak ada yang mengurusnya lagi sampai dengan tahun 1909.

_________________
Sejarah Perkembangan Islam di Papua
Sejarah Masuknya Islam di kepulauan Papua sama halnya dengan sejarah masuknya islam di kota-kota yang ada di Nusantara, dan rata-rata melalui jalur perdagangan. Karena letak Papua yang strategis menjadikan wilayah ini pada masa lampau menjadi perhatian dunia Barat, maupun para pedagang lokal Indonesia sendiri. Daerah ini kaya akan barang galian atau tambang yang tak ternilai harganya dan kekayaan rempah-rempah sehingga daerah ini menjadi incaran para pedagang. Karena kandungan mineral dan kekayaan rempah-rempah maka terjadi hubungan politik dan perdagangan antara kepulauan Raja Ampat dan Fakfak dengan pusat kerajaan Ternate dan Tidore, sehingga banyak pedagang datang untuk memburu dagangan di daerah tersebut.

Tanah Papua secara geografis terletak pada daerah pinggiran Islam di Nusantara, sehingga Islam di Papua luput dari kajian para sejarahwan lokal maupun asing, kedatangan Islam di tanah Papua juga masih terjadi silang pendapat di antara pemerhati, peneliti maupun para keturunan raja-raja di Raja Ampat-Sorong, fak-fak, kaimana dan teluk Bintuni-Manokwari, diantara mereka saling mengklaim bahwa Islam lebih awal datang kedaerahnya yang hanya di buktikan dengan tradisi lisan tanpa didukung dengan bukti-bukti tertulis maupun bukti-bukti arkelogis.
Masuknya islam di papua diyakini telah ada sebelum agama Nasrani masuk. Namun hingga saat ini belum ditentukan secara persis kapan hal itu terjadi. Saksi bisu sejarah itu adalah Masjid Patimburak di Distrik Kokas, Fakfak. Masjid ini dibangun oleh Raja Wertuer I bernama kecil Semempe. Sejumlah seminar yang pernah digelar seperti di Aceh pada tahun 1994, termasuk yang dilangsungkan di ibukota provinsi Kabupaten Fakfak dan di Jayapura pada tahun 1997, belum menemukan kesepakatan itu. 
Dalam sejarah islamisasi di papua terdapat 7 teori yang membahas kedatangan islam, yaitu :
Teori Papua
Teori ini merupakan pandangan adat dan legenda yang melekat di sebagaian rakyat asli Papua, khususnya yang berdiam di wilayah fakfak, kaimana, manokwari dan raja ampat (sorong). Teori ini memandang Islam bukanlah berasal dari luar Papua dan bukan di bawa dan disebarkan oleh kerejaan ternate dan tidore atau pedagang muslim dan da’I dari Arab, Sumatera, Jawa, maupun Sulawesi. Namun Islam berasal dari Papua itu sendiri sejak pulau Papua diciptakan oleh Allah Swt. mereka juga mengatak bahwa agama Islam telah terdapat di Papua bersamaan dengan adanya pulau Papua sendiri, dan mereka meyakini kisah bahwa dahulu tempat turunya nabi adam dan hawa berada di daratan Papua.
Teori Aceh
Studi sejarah masukanya Islam di Fakfak yang dibentuk oleh pemerintah kabupaten Fakfak pada tahun 2006, menyimpulkan bahwa Islam datang pada tanggal 8 Agustus 1360 M, yang ditandai dengan hadirnya mubaligh Abdul Ghafar asal Aceh di Fatagar Lama, kampong Rumbati Fakfak. Penetapan tanggal awal masuknya Islam tersebut berdasarkan tradisi lisan yang disampaikan oleh putra bungsu Raja Rumbati XVI (Muhamad Sidik Bauw) dan Raja Rumbati XVII (H. Ismail Samali Bauw), mubaligh Abdul Ghafar berdakwah selama 14 tahun (1360-1374 M) di Rumbati dan sekitarnya, kemudian ia wafat dan di makamkan di belakang masjid kampong Rumbati pada tahun 1374 M.
Teori Arab
Menurut sejarah lisan Fakfak, bahwa agama Islam mulai diperkenalkan di tanah Papua, yaitu pertama kali di Wilayah jazirah onin (Patimunin-Fakfak) oleh seorang sufi bernama Syarif Muaz al-Qathan dengan gelar Syekh Jubah Biru dari negeri Arab, yang di perkirakan terjadi pada abad pertengahan abad XVI, sesuai bukti adanya Masjid Tunasgain yang berumur sekitat 400 tahun atau di bangun sekitar tahun 1587. Selain dari sejarah lisan tadi, dilihat dalam catatan hasil Rumusan Seminar Sejarah Masuknya Islam dan Perkembanganya di Papua, yang dilaksanakan di Fakfak tanggal 23 Juni 1997, dirumuskan bahwa:
1. Islam dibawa oleh sultan abdul qadir pada sekitar tahun 1500-an (abad XVI), dan diterima oleh masyarakat di pesisir pantai selatan Papua (Fakfak, Sorong dan sekitarnya)
2. Agama Islam datang ke Papua dibawa oleh orang Arab (Mekkah).
Teori Jawa
Berdasarkan catatan keluarga Abdullah Arfan pada tanggal 15 Juni 1946, menceritakan bahwa orang Papua yang pertama masuk Islam adalah Kalawen yang kemudian menikah dengan siti hawa farouk yakni seorang mublighat asal Cirebon. Kalawen setelah masuk Islam berganti nama menjadi Bayajid, diperkirakan peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1600. Jika dilihat dari silsilah keluarga tersebut, maka Kalawen merupakan nenek moyang dari keluarga Arfan yang pertama masuk Islam.
Teori Banda
Menurut Halwany Michrob bahwa Islamisasi di Papua, khusunya di Fakfak dikembagkan oleh pedagang-pedagang Bugis melalui banda yang diteruskan ke fakfak melalui seram timur oleh seorang pedagang dari Arab bernama haweten attamimi yang telah lama menetap di ambon. Microb juga mengatakan bahwa cara atau proses Islamisasi yang pernah dilakuka oleh dua orang mubaligh dari banda yang bernama salahuddin dan jainun, yaitu proses pengIslamanya dilakukan dengan cara khitanan, tetapi dibawah ancaman penduduk setempat yaitu jika orang yang disunat mati, kedua mubaligh tadi akan dibunuh, namun akhirnya mereka berhasil dalam khitanan tersebut kemudian penduduk setempat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Teori Bacan
Kesultanan bacan dimasa sultan mohammad al-bakir lewat piagam kesiratan yang dicanangkan oleh peletak dasar mamlakatul mulukiyah atau moloku kie raha (empat kerajaan Maluku: ternate, tidore, bacan, dan jailolo) lewat walinya ja’far as-shadiq (1250 M), melalui keturunannya keseluruh penjuru negeri menyebarkan syiar Islam ke Sulawesi, philipina, Kalimantan, nusa tenggara, Jawa dan Papua.
Menurut Arnold, raja bacan yang pertama masuk Islam bernama zainal abiding yang memerintah tahun 1521 M, telah menguasai suku-suku di Papua serta pulau-pulau disebelah barat lautnya, seperti waigeo, misool, waigama dan salawati. Kemudian sultan bacan meluaskan kekuasaannya sampai ke semenanjung onin fakfak, di barat laut Papua pada tahun 1606 M, melalui pengaruhnya dan para pedagang muslim maka para pemuka masyarakat pulau – pulau tadi memeluk agama Islam. Meskipun masyarakat pedalaman masih tetap menganut animisme, tetapi rakyat pesisir menganut agama Islam.
Dari sumber – sumber tertulis maupun lisan serta bukti – bukti peninggalan nama – nama tempat dan keturunan raja bacan yang menjadi raja – raja Islam di kepulauan raja ampat. Maka diduga kuat bahwa yang pertama menyebarkan Islam di Papua adalah kesultanan bacan sekitar pertengahan abad XV. Dan kemudian pada abad XVI barulah terbentuk kerajaan – kerajaan kecil di kepulauan raja ampat itu.
Teori Maluku Utara (Ternate-Tidore)
Dalam sebuah catatan sejarah kesultanan Tidore yang menyebutkan bahwa pada tahun 1443 M Sultan Ibnu Mansur ( Sultan Tidore X atau sultan Papua I ) memimpin ekspedisi ke daratan tanah besar ( Papua ). Setelah tiba di wilayah pulau Misool, raja ampat, maka sultan ibnu Mansur mengangkat Kaicil Patrawar putra sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi ( Kapita Gurabesi ). Kapita Gurabesi kemudian di kawinkan dengan putri sultan Ibnu Mansur bernama Boki Tayyibah. Kemudian berdiri empat kerajaan dikepulauan Raja Ampat tersebut adalah kerajaan Salawati, kerajaan Misool/kerajaan Sailolof, kerajaan Batanta dan kerajaan Waigeo. Dari Arab, Aceh, Jawa, Bugis, Makasar, Buton, Banda, Seram, Goram, dan lain – lain.
Masa antara abad XIV-XV memiliki arti penting dalam sejarah kebudayaan Nusantara, di mana pada saat itu ditandai hegemoni Majapahit sebagai Kerajaan Hindu-Budha mulai pudar. Sejak  zaman itu muncul zaman baru yang ditandai penyebaran Islam melalui jalar perdagangan Nusantara. Melalui jalur damai perdagangan itulah, Islam kemudian semakin dikenal di tengah masyarakat Papua. Kala itu penyebaran Islam masih relatif terbatas di kota-kota pelabuhan. Para pedagang dan ulama menjadi guru-guru yang sangat besar pengaruhnya di tempat-tempat baru.
Pendapat lain mengemukakan bahwa Perkembangan agama Islam di daerah Fakfak dikembangkan oleh pedagang-pedagang suku Bugis melalui Banda yang diteruskan ke Fakfak melalui Seram Timur oleh seorang pedagang dari Arab bernama Haweten Attamimi yang telah lama menetap di Ambon.
Proses Islamisasi di wilayah Fakfak dilakukan melalui jalur Perdagangan, pendidikan non formal dan politik, yang dimaksud dengan penyebaran dakwah melalui saluran politik ialah bahwa atas jasa dan upaya para raja dan pertuanan dan keluarga-keluarganya maka agama Islam turut disebarkan (Onim, 2006;102-105).
Pengaruh masuknya Islam di kabupaten Fakfak dapat diketahui dengan adanya ditemukan mesjid-mesjid kuno peninggalan kerajaan Islam yang pernah berkuasa di wilayah tersebut diantaranya gong, bedug mesjid, rebana yang digunakan pada saat upacara maulid, songkok raja, tongkat cis, tanda raja dan adanya silsilah kerajaan dari kerajaan Ati-ati. Mesjid-mesjid kuno yang ditemukan tersebut tersebar di beberapa tempat diantaranya mesjid Patimburak, mesjid Werpigan dan mesjid Merapi.
Di Kabupaten Fakfak pada masa awal masuknya agama Islam ada empat raja yang berkuasa diantaranya Raja Ati-ati, Ugar, Kapiar dan Namatota (sekarang masuk dalam wilayah kabupaten Kaimana). Masing-masing raja tersebut mendirikan mesjid dan mesjid tersebut yang digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam. Akan tetapi mesjid yang didirikan oleh raja Ati-ati pada saat itu pada umumnya terbuat dari kayu sehingga tidak bisa lagi ditemukan wujud maupun sisa-sisanya. Satu-satunya mesjid yang ditunjukkan oleh keturunan Raja Ati-ati adalah mesjid Werpigan yang dibangun pada tahun 1931 oleh Raja ke-9. Mesjid tersebut telah mengalami renovasi, sehingga konstruksi aslinya telah hilang yang nampak adalah mesjid yang baru ( Tim peneliti, 1999).
Selanjutnya adalah mesjid yang didirikan oleh Raja Fatagar yaitu mesjid Merapi terletak di kampung Merapi, dalam mesjid terdapat bedug yang terbuat dari batang kayu kelapa. Di dekat mesjid terdapat makam Raja Fatagar I dan II, makam terdiri atas dua kelompok yaitu kelompok yang berada di dalam pagar dan kelompok yang berada di luar pagar. Selain itu bukti pengaruh masuknya Islam yaitu ditemukan rebana yang digunakan pada saat upacara maulid, gong, tanda raja, tongkat cis, songkok raja dan adanya silsilah raja-raja yang pernah berkuasa di wilayah tersebut. Diantara mesjid tua yang masih bertahan hingga saat ini adalah mesjid Patimburak yang ada di distrik Kokas, menurut informasi mesjid tersebut didirikan pada tahun 1870.
Dari beberapa sumber disimpulkan bahwa Islam masuk ke kabupaten Fakfak menurut beberapa sumber sekitar pertengahan abad ke-15. Proses masuknya yaitu melalui jalur perdagangan, perkawinan, pendidikan non formal dan politik. Islam masuk ke wilayah ini tidak terlepas dari pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore sebagai basis Islamisasi di Indonesia bagian timur.

Pengaruh masuknya Islam di kabupaten Fakfak dapat dilihat dengan adanya temuan mesjid kuno dibeberapa tempat yaitu mesjid Merapi, Werpigan, Patimburak, gong, rebana, tongkat cis, songkok raja.
Islam juga menancapkan pengaruhnya didaerah Kokas, Fakfak salah satu buktinya adalah keberadaan sebuah Masjid Tua yaitu Masjid Patimburak.
Masjid Patimburak

Salah satu bukti otentik keberadaan Islam di tanah papua yang masih terpelihara rapi adalah Masjid Patimburak. Masyarakat setempat mengenal masjid ini sebagai Masjid Tua Patimburak. Menurut catatan sejarah, masjid ini telah berdiri lebih dari 200 tahun yang lalu, bahkan merupakan masjid tertua di Kabupaten Fakfak. Bangunan yang masih berdiri kokoh dan berfungsi hingga saat ini dibangun pada tahun 1870, seorang imam bernama Abuhari Kilian.
Pada masa penjajahan, masjid ini bahkan pernah diterjang bom tentara Jepang. Hingga kini, kejadian tersebut menyisakan lubang bekas peluru di pilar masjid. Menurut Musa Heremba, penyebaran Islam di kokas tak lepas dari pengaruh Kekuasaan Sultan Tidore di wilayah Papua. Pada abad XV, kesultanan Tidore mulai mengenal Islam. Sultan Ciliaci adalah sultan pertama yang memeluk agama Islam. Sejak itulah sedikit demi sedikit agama islammulai berkembang di daerah kekuasaan Kesultanan Tidore termasuk kokas.
Di peluknya Islam oleh masyarakat Papua terutama didaerah pesisir barat pada abad pertengahan XV tidak lepas dari pengaruh kerajaan – kerajaan Islam di Maluku ( Bacan, Ternate dan Tidore ) yang semakin kuat dan sekaligus kawasan tersebut merupakan jalur perdagangan rempah – rempah ( silk road ) di dunia. Sebagaimana ditulis sumber – sumber barat, Tome pires yang pernah mengunjungi nusantara antara tahun 1512-1515 M. dan Antonio Pegafetta yang tiba di tidore pada tahun 1521 M. mengatakan bahwa Islam telah berada di Maluku dan raja yang pertama masuk Islam 50 tahun yang lalu, berarti antara tahun 1460-1465. Berita tersebut sejalan pula dengan berita Antonio Galvao yang pernah menjadi kepala orang – orang Portugis di Ternate (1540-1545 M). mengatakan bahwa Islam telah masuk di daerah Maluku dimulai 80 atau 90 tahun yang lalu.
Sebagai kerajaan tangguh masa itu, kekuasaan Kerajaan Majapahit meliputi seluruh wilayah Nusantara, termasuk Papua. Beberapa daerah di kawasan tersebut bahkan disebut-sebut dalam kitab Negarakertagama, sebagai wilayah Yurisdiksinya. Keterangan mengenai hal itu antara disebutkan sebagai berikut:

"Muwah tang i Gurun sanusanusa mangaram ri Lombok Mirah lawan tikang i Saksakadi nikalun kahaiyan kabeh nuwati tanah i bantayan pramuka Bantayan len luwuk teken Udamakatrayadhi nikang sanusapupul".

"Ikang sakasanusasanusa Makasar Butun Banggawai Kuni Ggaliyao mwang i [ng] Salaya Sumba Solot Muar muwah tigang i Wandan Ambwan Athawa maloko Ewanin ri Sran ini Timur ning angeka nusatutur".

Dari keterangan yang diperoleh dalam kitab klasik itu, menurut sejumlah ahli bahasa yang dimaksud "Ewanin" adalah nama lain untuk daerah "Onin" dan "Sran" adalah nama lain untuk "Kowiai". Semua tempat itu berada di Kaimana, Fak-Fak. Dari data tersebut menjelaskan bahwa pada zaman Kerajaan Majapahit sejumlah daerah di Papua sudah termasuk wilayah kekuasaan Majapahit.

Menurut Thomas W. Arnold : "The Preaching of Islam”, setelah kerajaan Majapahit runtuh, dikalahkan oleh kerajaan Islam Demak, pemegang kekuasan berikutnya adalah Demak Islam. Dapat dikatakan sejak zaman baru itu, pengaruh kerajaan Islam Demak juga menyebar ke Papua, baik langsung maupun tidak. 
Thomas Arnold yang seorang orientalis berkebangsaan Inggris memberi catatan kaki dalam kaitannya dengan wilayah Islam tersebut: “beberapa suku Papua di pulau Gebi antara Waigyu dan Halmahera telah diislamkan oleh kaum pendatang dari Maluku" lebih lanjut Arnold menjelaskan: “Di Irian sendiri, hanya sedikit penduduk yang memeluk Islam. Agama ini pertama kali dibawa masuk ke pesisir barat (mungkin semenanjung Onin) oleh para pedagang Muslim yang berusaha sambil berdakwah di kalangan penduduk, dan itu terjadi sejak tahun 1606. Tetapi nampaknya kemajuannya berjalan sangat lambat selama berabad-abad kemudian..."
Bila ditinjau dari laporan Arnold tersebut, maka berarti masuknya Islam ke daerah Papua terjadi pada awal abad ke XVII, atau dua abad lebih awal dari masuknya agama Kristen Protestan yang masuk pertama kali di daerah Manokwari pada tahun 1855, yaitu ketika dua orang missionaris Jerman bernama C.W. Ottow dan G.J. Geissler mendarat dan kemudian menjadi pelopor kegiatan missionaris di sana. (Ali Atwa, penulis buku “Islam Atau Kristen Agama Orang Irian (Papua)
Dari sumber-sumber Barat diperoleh catatan bahwa pada abad ke XVI sejumlah daerah di Papua bagian barat, yakni wilayah-wilayah Waigeo, Missool, Waigama, dan Salawati, tunduk kepada kekuasaan Sultan Bacan di Maluku.

Catatan serupa tertuang dalam sebuah buku yang dikeluarkan oleh Periplus Edition, di buku “Irian Jaya”, hal 20 sebuah wadah sosial milik misionaris menyebutkan tentang daerah yang terpengaruh Islam. Dalam kitab Negarakertagama, di abad ke 14 di sana ditulis tentang kekuasaan kerajaan Majapahit di Jawa Timur, di mana di sana disebutkan dua wilayah di Irian yakni Onin dan Seran

Bahkan lebih lanjut dijelaskan: Namun demikian armada-armada perdagangan yang berdatangan dari Maluku dan barangkali dari pulau Jawa di sebelah barat kawasan ini, telah memiliki pengaruh jauh sebelumnya.

Pengaruh ras austronesia dapat dilihat dari kepemimpinan raja di antara keempat suku, yang boleh jadi diadaptasi dari Kesultanan Ternate, Tidore dan Jailolo. Dengan politik kontrol yang ketat di bidang perdagangan pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate di temukan di raja Ampat di Sorong dan di seputar Fakfak dan diwilayah Kaimana

Sumber cerita rakyat mengisahkan bahwa daerah Biak Numfor telah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Sultan Tidore.  Sejak abad ke-XV. Sejumlah tokoh lokal, bahkan diangkat oleh Sultan Tidore menjadi pemimpin-pemimpin di Biak. Mereka diberi berbagai macam gelar, yang merupakan jabatan suatu daerah. Sejumlah nama jabatan itu sekarang ini dapat ditemui dalam bentuk marga/fam penduduk Biak Numfor.

Berdasarkan keterangan di atas jelaslah bahwa, masuknya Islam ke Papua, tidak bisa dilepaskan dengan jalur dan hubungan daerah ini dengan daerah lain di Indonesia. Selain faktor pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit, masuknya Islam ke kawasan ini adalah lewat Maluku, di mana pada masa itu terdapat kerajaan Islam berpengaruh di kawasan Indonesia Timur, yakni kerajaan Bacan.

Sejarah masuknya Islam di wilayah Maluku dan Papua dapat ditelusuri dari berbagai sumber baik sumber lisan dari masyarakat pribumi maupun sumber tertulis. Menurut tradisi lisan setempat, pada abad kedua Hijriah atau abad kedelapan Masehi, telah tiba di kepulauan Maluku (Utara) empat orang Syekh dari Irak. Kedatangan mereka dikaitkan dengan pergolakan politik di Irak, dimana golongan Syiah dikejar-kejar oleh penguasa, baik Bani Umayah maupun golongan Bani Abasyiah. Keempat orang asing membawa faham Syiah. Mereka adalah Syekh Mansyur, Syekh Yakub, Syekh Amin dan Syekh Umar. Syekh Umar menyiarkan agama Islam di Ternate dan Halmahera muka. Syekh Yakub menyiarkan agama Islam di Tidore dan Makian. Ia meninggal dan dikuburkan di puncak Kie Besi, Makian. Kedua Syekh yang lain, Syekh Amin dan Umar, menyiarkan agama Islam di Halmahera belakang, Maba, Patani dan sekitarnya. Keduanya dikabarkan kembali ke Irak.
Secara geografis tanah Papua memiliki kedekatan relasi etnik dan kebudayaan dengan Maluku. Dalam hal ini Fakfak memiliki kedekatan dengan Maluku Tengah, Tenggara dan Selatan, sedangkan dengan Raja Ampat memiliki kedekatan dengan Maluku Utara. Oleh karena itu, dalam membahas sejarah masuknya Islam ke Fakfak kedua alur komunikasi dan relasi ini perlu ditelusuri mengingat warga masyarakat baik di Semenanjung Onim Fakfak maupun Raja Ampat di Sorong, keduanya telah lama menjadi wilayah ajang perebutan pengaruh kekuasaan antara dua buah kesultanan atau kerajaan besar di Maluku Utara (Kesultanan Ternate dan Tidore). Nampaknya historiografi Papua memperlihatkan bahwa yang terakhir inilah (Kesultanan Tidore) yang lebih besar dominasinya di pesisir pantai kepulauan Raja Ampat dan Semenajung Onim Fakfak. Walaupun demikian tidak berarti bahwa Ternate tidak ada pengaruhnya, justru yang kedua ini dalam banyak hal sangat berpengaruh. 
Dengan adanya pengaruh kedua kesultanan Islam ini di Raja Ampat, Sorong dan Fakfak, maka telah dapat diduga (dipastikan) bahwa Islam masuk ke Raja Ampat dan Semenanjung Onim Fakfak serta sebagian besar wilayah pantai selatan daerah Kepala Burung pada umumnya termasuk kaimana di dalamnya adalah wilayah lingkup pengaruh kedua kesultanan itu.
proses masuknya Islam ke Indonesia tidak dilakukan dengan kekerasan atau kekuatan militer. Penyebaran Islam tersebut dilakukan secara damai dan berangsur-angsur melalui beberapa jalur, diantaranya jalur perdagangan, perkawinan, pendirian lembaga pendidikan pesantren dan lain sebagainya, akan tetapi jalur yang paling utama dalam proses Islamisasi di nusantara ini melalui jalur perdagangan, dan pada akhirnya melalui jalur damai perdagangan itulah, Islam kemudian semakin dikenal di tengah masyarakat Papua. Kala itu penyebaran Islam masih relatif terbatas hanya di sekitar kota-kota pelabuhan. Para pedagang dan ulama menjadi guru-guru yang sangat besar pengaruhnya di tempat-tempat baru itu.
Bukti-bukti peninggalan sejarah mengenai agama Islam yang ada di pulau Papua ini, sebagai berikut: 1. terdapat living monument yang berupa makanan Islam yang dikenal dimasa lampau yang masih bertahan sampai hari ini di daerah Papua kuno di desa Saonek, Lapintol, dan Beo di distrik Waigeo.
2. tradisi lisan masih tetap terjaga sampai hari ini yang berupa cerita dari mulut ke mulut tentang kehadiran Islam di Bumi Cendrawasih.
3. Naskah-naskah dari masa Raja Ampat dan teks kuno lainnya yang berada di beberapa masjid kuno.
4. Di Fakfak, Papua Barat dapat ditemukan delapan manuskrip kuno brhuruf Arab. Lima manuskrip berbentuk kitab dengan ukuran yang berbeda-beda, yang terbesar berukuran kurang lebih 50 x 40 cm, yang berupa mushaf Al Quran yang ditulis dengan tulisan tangan di atas kulit kayu dan dirangkai menjadi kitab. Sedangkan keempat kitab lainnya, yang salah satunya bersampul kulit rusa, merupakan kitab hadits, ilmu tauhid, dan kumpulan doa.
Kelima kitab tersebut diyakini masuk pada tahun 1214 dibawa oleh Syekh Iskandarsyah dari kerajaan Samudra Pasai yang datang menyertai ekspedisi kerajaannya ke wilayah timur. Mereka masuk melalui Mes, ibukota Teluk Patipi saat itu. Sedangkan ketiga kitab lainnya ditulis di atas daun koba-koba, Pohon khas Papua yang mulai langka saat ini. Tulisan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang terbuat dari bambu. Sekilas bentuknya mirip dengan manuskrip yang ditulis di atas daun lontar yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia Timur.
5. Masjid Patimburak yang didirikan di tepi teluk Kokas, distrik Kokas, Fakfak yang dibangun oleh Raja Wertuer I yang memiliki nama kecil Semempe.
Saat itu, tahun 1870, Islam dan Kristen sudah menjadi dua agama yang hidup berdampingan di Papua. Ketika dua agama ini akhirnya masuk ke wilayahnya, Wertuer sang raja tak ingin rakyatnya terbelah kepercayaannya.
Maka ia membuat sayembara misionaris Kristen dan imam Muslim ditantang untuk membuat masjid dan gereja. Masjid didirikan di Patumburak, gereja didirikan di Bahirkendik. Bila salah satu di antara keduanya bisa menyelesaikan bangunannya dalam waktu yang ditentukan, maka seluruh rakyat Wertuer akan memeluk agama itu.
Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Papua
http://wawanalbaihaki.blogspot.com/2012/03/sejarah-masuknya-islam-di-papua.html
http://catatancintaabi.wordpress.com/2012/03/06/sejarah-masuknya-islam-di-tanah-papua-pada-abad-16-m/
Setelah sepeninggalan Habib Muhammad Kecil, dan ketika Belanda masuk ke kota jayapura. Belanda banyak membunuh dan memaksa murtad para santri2 Habib muhammad kecil kemudian madrasah beliau dan musholah beliau yang berada di situ di bakar hinggá tidak ada lagi sisa-sisa peninggalan Islam di kota jayapura yang ada hanya kuburan beliau beserta keluarga beliau.
Letak makam Habib Muhammad kecil atau Habib Muhammad Asghar di Jalan Sam Ratulangi tepatnya di belakang bekas Kantor asuransi di APO. Disana hanya dijumpai makam Beliau dan beberapa makam lainnya tanpa nama, yang dipercaya sebagai keluarga dan pengikut Habib Muhammad kecil atau Habib Muhammad Asghar.
(Km)

Sumber bacaan :
SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI JAYAPURA dalam http://masjidq.blogspot.com/2009/04/sejarah-masuknya-islam-di-jayapura.html. Diakses tanggal 5 April 2014

Jejak Peninggalan Islam di Kota Jayapura, Papua (Edisi Ziarah Waliyuallah Jayapura, Papua) dalam http://waliyuallahliveforever.blogspot.com/2013/12/mesjid-baiturahim-di-jayapura-papua.html. Diakses tanggal 5 April 2014
*****
Kemudian islam mulai berkembangan melalui para urban dari, Sulawesi, Madura, Jawa dan Maluku. Disamping itu beberapa pegawai misalnya Kolonel Thahir (Tentara), Abu Yamin, (Polisi) Hasan Panjaitan (Sekda) dan Paiyen (Depag RI) turut turut mendorong proses da’wah di Walesi. Suku Dani Palim Tengah dan Palim Selatan dari Moiety : Asso-Lokowal Asso-Wetipo, Lani-Wetapo, Wuka-wetapo, Wuka-Hubi, Lagowan-Matuan dan Walesi, kini banyak yang sudah memeluk agama Islam dari sejumlah sumber saksi penduduk bahwa Esogalib Lokowal orang paling pertama masuk Islam. Kemudian Harun Asso (dari Hitigima/Wesapot), Yasa Asso (dari Hepuba/Wiaima), Horopalek Lokowal, Musa Asso (dari Megapura/Sinata), Donatus Lani (dari Lanitapo). Megapura, Hitigima, Hepuba, Woma, Pugima dan Walesi (kini di Walesi clan Asso-Yelipele seluruh warganya 100% beragama Islam) adalah daerah pertama yang berinteraksi dengan orang Muslim dari berbagai daerah Indonesia.

Awal Masuk Islam di Walesi
Di desa Walesi pada tahun 1975-1977 terdapat tiga orang generasi pertama pemeluk islam yaitu Merasugun, Firdaus dan Muhammad Ali Asso. Mereka adalah pemeluk Islam paling berhasil mengembangkan Islam menjadi besar. Walesi kini menjadi pusat Islam (Islamic Centre) di Lembah Palim Wamena. Merasugun dan tokoh-tokoh Tua lainnya yang didampangi kalangan muda Walesi adalah generasi muslim pertama yang bersemangat mengorganisasi diri serta sukses mengembangkan agama Islam dikalangan keluarga di Walesi dan sekitarnya.
Merasugun, Firdaus dan Ali Asso mengorganir da’wah islam, sehingga diikuti oleh semua masyarakat dari confederasi Asso-Yelipele Walesi. Orang pertama memeluk agama Islam dari Walesi diantaranya adalah Nyasuok Asso, Walekmeke Asso, Nyapalogo Kuan, Wurusugi Lani, Heletok Yelipele, Aropeimake Yaleget, dan Udin Asso. Keislaman mereka ini dikemudian hari memiliki pengaruh sangat besar eksistensi Islam Walesi dan Muslim Jayawi Jaya hingga kini. Kepala Suku Besar, Aipon Asso dan Tauluk Asso awalnya menolak islam, karena ajarannya mengharamkan babi (hewan ternak satu-satunya di Lembah Balim paling utama). Mereka baru masuk Islam dalam tahun 1978 dan mendapat dukungan seorang militer berpangkat Kolonel bernama Muhammad Thohir.
Islamic Centre adalah organisasi khusus dan fokus untuk memperhatikan kaum muslim pribumi didirikan pada tahun 1978. Letnan Kolonel Dokte Muhammad Mulya Tarmidzi dari Angkatan Laut 10, Hamadi Jayapura, pencetus dan pelopor utama berdirinya Islamic Centre. Pada mulanya dia datang ke Wamena dalam kesempatan undangan ceramah setelah berjumpa dengan penduduk asli muslim (muallaf) dari Walesi, tergerak hatinya dan mendirikan organisasi da’wah Islam pertama, Islamic Centre yang di ketuai Hasan Panjaitan, (Sekda Jayawi Jaya kala itu). Islamic Centre dibawah kendali Hasan Panjaitan banyak membantu proses da’wah selanjutnya. Islam di Walesi berkembang pesat dan dikunjungi berbagai kalangan pejabat pemerintah muslim dari Kota Wamena dan Ibukota Jayapura.

Para Pencetus dan Penyebar Islam di Walesi
Merasun Asso (berikutnya hanya ditulis Merasugun) adalah orang Walesi pertama dan yang paling awal memeluk agama Islam. Merasugun (Merawesugun) paling besar jasanya dan perjuangannya memperkenalkan Islam dikalangan masyarakat Walesi hingga menjadi berkembang. Kemudian orang selain Merasugun yang tidak kalah peran dan jasanya, dalam mengembangkan agama Islam di Walesi adalah Kalegenye Yaleget.
Kalegenye Yaleget belum pernah menanggalkan busana kotekanya, dan secara formal belum pernah bersyahadat, namun peran dan perjuangan demi tegaknya kalimat tauhid di Lembah Palim sangat besar, sejak dini agama Islam dalam keadaan sulit dan banyak ditentang orang agar jangan berkembang. Kepeloporan Merasugun sulit dibayangkan dan ketahui, kalau dibelakangnya juga tanpa ada dukungan sejumlah kepala suku Adat. Hal itu kunci kesuksesan sekaligus membuat orang tidak berani menentang Merasugun dan Kalegenye. Kalegenye dan Merasugun yang masih saudara sepupu adalah tokoh tua pejuang da’wah islam pertama dan utama di Walesi.
Merasugun dan Kalegenye Yaleget yang tidak dapat berbahasa Indonesia selalu didampingi oleh seorang pemuda bernama Firdaus Asso. Setiap penyampaian isi hati mereka dalam mencari dukungan da’wah Islam, pada para pendatang muslim, diterjemahkan oleh Firdaus. Disamping itu Firdaus adalah seorang pemuda cerdas dan lincah diantara teman-teman sebaya. Sehingga Firdaus sangat menunjang Merasugun, dalam memperjuangkan da’wah di Jayawi jaya dan khususnya di Lembah Palim.
Selain mendampingi Merasugun Asso, dengan inisiatif sendiri, Firdaus, mengajak teman-teman sebayanya, menemui para pejabat beragama Islam kala itu, untuk minta dukungan pengembangan Islam di Walesi dan Wamena. Karena itu Firdaus, sosok pemuda pejuang Islam yang populer dan sangat dikenal para pejabat tinggi Papua mulai dari Gubernur, Pangdam, Kapolda, sampai para pejabat dinas lainnya.
Demikian juga ketokohan Firdaus Asso, sebagai tokoh muda Muslim Papua didukung para pedagang (pengusaha) muslim dari Bugis dan Makasar. Bahkan para Haji kaya dari Madura, Bugis, Makasar dan Buton membantu mendorong secara financial pengembangan Islam Walesi sebagai  Pusat Islam Wamena. Karena itu sosok Firdaus Asso yang fenomenal, pada tahun 1980- an sangat dikenal dan popular dikalangan muslim pendatang, dan orang yang paling dihormati, sebagai tokoh penggerak dan perintis da’wah islamiyyah dikalangan pendududk pribumi Papua.
Selain Firdaus ada tokoh muda lain seperti Ali Asso. Namun Firdaus Asso adalah tokoh muda muslim di Jayapura dan Wamena yang sangat dikenal akrab oleh para pejabat tinggi Papua kala itu. Firdaus juga disegani dan dihormati oleh rekan-rekanya, karena keberanian dan kepeloporannya dalam pengembangan da’wah Islam di Jayawi Jaya.

Baca Juga : Sejarah Perkembangan Islam di Papua

Kisah Merasugun Memeluk Islam
Sebagaimana diceriterakan Ali Asso (generasi pemeluk Islam pertama yang masih hidup), Merasugun mulai mengenal islam melalui hubungan perdagangan. Merasugun suatu pagi dalam tahun 1975, berangkat dari Walesi (sekitar 8 km dari Kota Wamena), membawa dagangan kayu bakar, untuk dijual pada orang-orang pendatang di kota Wamena. Tapi dagangannya tidak laku dibeli hingga hari sudah menjelang sore. Sementara jarak Walesi-Kota Wamena begitu jauh untuk pulang hingga larut malam.
Maka Merasugun berinisiatif menukar dagangannya dengan nasi pada seseorang. Untuk itu Merasugun mendatangi semua penghuni rumah dari pintu kepintu yang umumnya didiami para pendatang dari luar Papua. Akhirnya pembeli yang akan menukar dagangan Merasugun dengan nasi itu ketemu juga. Pertemuan Merasugun dan pembeli kayu itu kelak nanti orang yang pertama meng-Islam-kan Merasugun. Karena itu segera setelah pulang ke kampungnya, Merasugun cari kayu bakar di hutan untuk ditukarkan dengan nasi pada orang yang sama.
Merasugun kemudian mengajak dua anak muda yaitu Firdaus Asso dan Ali Asso. Selanjutnya rombongan Merasugun, bawa kayu bakar untuk barter dengan nasi pada pendatang asal Madura itu, yang sebelumnya sudah berkenalan dengan Merasugun. Dari pertemuan pertama mereka sudah saling kenal, maka ketika shalat dhuhur tiba pembeli kayu yang beragama Islam itu ingin shalat dahulu.
Tapi apa yang dilakukan kenalannya diintip Merasugun dengan perasaan aneh dan asing. Merasugun memperhatikan apa yang dilakukan kenalannya rasa penasaran. Pembeli kayu itu melakukan gerakan yang sebelumnya asing bagi Merasugun yaitu sholat dan berdo’a dengan gerakan khusyu’. Merasugun dengan perasaan agak keheranan akhirnya menyadari, bahwa gerakan itu adalah gerakan “Misa dalam Islam”. Kemudian, Merasugun, kepada dua anak muda yang mendapinginya dalam bahasa Balim berkomentar demikian : “O..oh.yire esilam meke”!, artinya “Oh, ini orang Islam"!
Merasugun sebelumnya pernah dengar kabar bahwa Agama Islam adalah agama yang tidak boleh makan daging babi. Bahkan Merasugun sering mendengar issu bahwa kehadiran orang- orang pendatang Muslim menyebabkan semua babi menjadi musnah di Lembah Balim, (dalam agama Islam, memakan gading Babi hukumnya diharamkan /tidak boleh). Walaupun ada issu bahaya agama Islam, Merasugun menyuruh Firdaus Asso dan Ali Asso masuk agama islam, dan belajar melakukan "misa Islam”, (maksudnya sholat). Karena menurutnya orang Muslim Madura itu baik, tidak seperti diisukan orang-orang dikampungnya. Lalu katanya; “Kalian boleh masuk Agama Islam karena orang ini baik”! Keinginan dan usulan Merasugun disetujui dua anak yang masih keponakannya itu.
Kemudian usulan keinginan diterjemahkan Firdaus dan disampaikan kepada kenalan baru itu. Mereka bertekad mau masuk Agama Islam. Tapi orang Madura itu keberatan karena alasannya takut ada tuduhan Islamisasi. Kekhawatiran itu disanggah oleh Merasugun dengan mengatakan bahwa dirinya tidak menganut agama apapun dan itu adalah keinginan hatinya dan dua anak keponakannya. Dialog tersebut diterjemahkan oleh Firdaus Asso, yang sudah lancar berbahasa Indonesia.
Sejenak Orang Madura yang belum dikenal namanya hingga kini itu berfikir, lalu menatap wajah ketiga orang yang masih lugu dan masih mengenakan koteka itu. Dan katanya; “Boleh, tapi kamu harus menutup Aurat!”, Segera ia kekamar dan memberikan serta memakaikan Merasugun celana tanpa menanggalkan koteka yang sedang dikenakan. Selanjutnya Muslim Madura itu sampaikan niat tiga orang Suku Dani dari Walesi ini kepada tokoh muslim lain yang ada di sekitar kota Wamena.
Pada minggu berikutnya Merasugun, Ali Asso, dan Firdaus Asso disuruh datang pada hari Jum'at. Dan secara resmi disyahadatkan ba'dah jum'at di masjid Baiturrahman Wamena yang disaksikan oleh jama'ah sholat jum’at. Minggu-minggu selanjutnya Merasugun, Firdaus Asso dan Ali Asso (dua pemuda ini kelak pejuang Islam setelah sepeninggal Merasugun tahun yang wafat tahun 1978), selalu datang ikut sholat Jum’at, dengan tiap pagi jalan kaki turun-naik gunung sekitar 6 km dari Walesi ke Wamena Kota. Merasugun kira-kira berusia 45 tahun dan dua anak muda yakni Firdaus Asso,dan Muhammad Ali Asso, keduanya kira-kira berusia 15 tahun kala itu, adalah generasi pertama yang mula-mula masuk Islam serta mengembangkan Islam di Walesi.

Perjuangan Merasugun Asso Dalam Mengembangkan Islam di Walesi
Merasugun tidak lama sesudah masuk Agama Islam meminta agar dibangunkan "Gereja Islam", (maksudnya, Masjid), di kampungnya di Walesi sekaligus Sekolah Islam agar anak-anaknya dari clan Assolipele Walesi bisa sekolah. Untuk maksud ini Merasugun menyediakan tanah wakaf serta menyiapkan batu, kayu, pasir di kampungnya.
Usulan ini segera disetujui oleh beberapa orang muslim yang datang di Wamena sebagai Petugas pemerintah sipil maupun militer seperti Pak Paijen dari Dinas Agama, Pak Thohir dari Kodim, dan Abu Yamin dari Polres Jayawijaya. Karena itu, sebelum kalau ingin dibangunkan Masjid dan Madrasah di Walesi, Merasugun harus datang membantu bekerja mengangkat batu dan mengumpulkan pasir dari Kali Uwe karena Masjid Raya Baiturahman Kota Wamena saat itu sedang dibangun.
Syarat ini disetujui oleh Merasugun, berikutnya Merasugun, Ali dan Firdaus Asso pulang ke Walesi dan mengundang segera tenaga kerja kepada Nyasuok Asso, Nyapalogo Kuan, Aropemake Yaleget, Wurusugi Lani, Udin Asso dan Walekmeke Asso, untuk mengeruk galian batu dan pasir di sekitar Kota Wamena, dari Kali Uwe. Keenam orang nama tersebut kelak menjadi pemeluk Agama Islam dari Walesi gelombang kedua.

Dokter Mulya Tarmidzi Mengkhitan
Suatu ketika dalam tahun 1978 seorang dokter Kolonel Angkatan Laut 10 dari Hamadi, Jayapura Propinsi Papua, diundang ceramah datang ke Kabupaten Jayawijaya, untuk memberikan ceramah, yang tempatnya di gedung bioskop kota Wamena. Oleh sebab itu Merasugun dan warga lainnya dari Walesi yang muallaf diundang datang mendengarkan ceramah.
Penceramah yang tidak lain adalah Dokter Kolonel H. Muhammad Mulya Tarmidzi itu selesai ceramah sampai sekitar jam sebelas malam. Selanjutnya ia menginap di Hotel Balim. Kira-kira pada jam 12 tengah malam Merasugun, Firdaus Asso, Nyapalogo Kuan, Nyasuok Asso dan Ali Asso, Aropemake Yaleget, Udin Asso dan Wurusugi Lani datang mengetuk pintu kamar Dokter Mulya menginap dengan mengucap salam khas muslim yakni : “Assalamu'alaikum”! Walaupun sudah tengah malam karena mendengar ucapan salam khas Muslim, Dokter Mulya Tarmidzi, berani membukakan pintu.
Dan ternyata salam itu berasal dari orang-orang yang masih mengenakan koteka ini adalah orang yang tadi dilihatnya di gedung Bioskop. Dia sebelumnya menduga mereka bukan muslim, karena Merasugun dan rombangan lainnya masih mengenakan Holim/Koteka, (kecuali Firdaus Asso sudah mengenakan celana pendek). Dan dia menganggap bahwa mereka mungkin pas lagi lewat atau memang sekedar mencari makanan dalam acara ceramah itu.  Tatkala dipersilahkan duduk diruang tamu di hotel oleh Dokter Mulya Tarmidzi, Merasugun menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya dengan beberapa pemuda dari Walesi. Setelah minta maaf karena datang ditengah malam. Lalu Merasugun menyampaikan beberapa usulan yaitu:
a). Permohonan dukungan agar di kampungnya segera dibangunkan "Gereja Islam”.
b). Anak-anak dari Walesi kelak menjadi pintar seperti dokter Mulya untuk itu perlu disekolahkan di Jayapura
c). Agar di Walesi di bangunkan Madrasah
Semua usulan diterima dan disetujui secara baik dan kepada Merasugun dijanjikan oleh dokter Mulia Tarmidzi, bahwa nanti akan diusahakan secara bertahap dengan mengkoordinasikan usulan Merasugun, kepada orang-orang Muslim lain terlebih dahulu. Dalam kesempatan itu sejumlah usul dan keinginan Merasugun semua disampaikan dalam bahasa Wamena kepada Dokter Muhammad Mulya Tarmidzi, yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Firdaus Asso yang sudah sekolah di SD Inpres, Megapura sehingga sudah lancar berbahasa Indonesia.
Selanjuntnya semua usul secara baik disetujui oleh Dokter Kolonel Haji Muhammad Mulya Tarmidzi dan untuk mendukung keinginan Merasugun ini segera dibentuk Islamic Centre yang pengurusnya dari pejabat pemda. Esok harinya dibantu oleh tenaga kesehatan dari Rumah Sakit Kota Wamena; Letnan Kolonel Muhammad Mulya Tarmidzi, segera menyunat (khitan) 8 orang pertama yang masuk Agama Islam itu untuk menyempurnakan syahdatnya, kira-kira demikian hemat Kolonel yang juga Dokter dan Ahli Agama Islam itu. Pada bulan berikutnya dalam tahun 1978, anak-anak dari Walesi sebanyak 5 orang (termasuk Firdaus Asso dan Muhammad Ali Asso) di kirim ke Jayapura dan dititipkan kepada beberapa orang pejabat muslim sebagai orang tua asuhnya.
Demikian sudah harapan dan cita-cita Merasugun terkabul agar anak-anak dari Walesi untuk disekolahkan diluar Wamena. “Agar kelak ada yang menjadi seperti Dokter Mulya Tarmidzi,” demikian usul Merasugun yang diterjemahkan oleh Firdaus Asso. Usulan paling penting diantaranya yang diusulkan oleh Merasugun adalah kontruksi bangunan model Pondok Pesantren Model di Jawa yang membuat decak kagum. Dokter Kolonel Muhammad Mulya Tarmidzi, mengingat Merasugun belum penah tahu kalau yang diusulkannya itu adalah persis sama model kontruksi dan sistem bangunan lingkungan Pondok Pesantren yang biasa ada di Pulau Jawa.
Kemudian 20 orang dalam bulan berikutnya dikirim dan diasuh oleh beberapa Orang Tua Asuh di kota Jayapura. Ongkos pengiriman semua ditanggung oleh Haji Saddiq Ismail, (kala itu Kabulog Propinsi Irian Jaya) yang selanjutnya membentuk Kasub Dolog Jayawijaya guna mempermudah menyampaikan bantauan logistik dan bantuan material lainnya karena di Walesi segera akan dibangun Masjid dan Madrasah sesuai keinginan dan usulan Merasugun dulu.
Guna memperlancar transportasi dan memudahkan pengangkutan material bangunan Masjid dan Madrasah Walesi, Ir. Haji Azhari Romuson, Kepala PU Propinsi Papua segera membangun jalan Walesi-Wamena sekitar 6 Km. Bisa dibayangkan semua usulan Merasugun dulu sejak Dokter Kolonel Angkatan Laut Muhammad Mulya Tarmidzi, Haji Saddiq Ismail SH Kadolog Propinsi, dan Ir.  Haji Azhari Romusan dari PU Propinsi adalah cukup besar perannya perkembangan Islam lebih lanjut di Walesi.
Bertepatan dengan 20 anak Walesi yang dipimpin Firdaus Asso datang sekolah di Jayapura melanjutkan dipendidikan Panti Asuhan Muhammadiyah Abepura Jayapura dan Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Kota Propinsi Papua. Dua Kepala Suku Perang yang Berani dari Clan Assolipele secara resmi disyahadatkan oleh Kolonel Thahir, di Wamena. Kolonel Thahir adalah Pendatang dari Bugis dan Tentara yang saat itu bertugas di Kodim Jayawijaya. “Sesungguhnya kita adalah milik Allah SWT, dan akan dikembalikan kehadirat-Nya kapan saja dikehendaki-Nya”, “sebagaimana juga Dia memberikan hidayah kepada siapa yang di kehendaki-Nya”, dan akhimya pada tahun 1980 Merasugun telah dipanggil kehadirat Alloh SWT, dengan meninggalkan semua usulan da'wahnya yang belum tuntas, yakni obsesinya mewujudkan kompleks Islamic Centre terutama Masjid dan Madrasah.
Dua tahun sepeninggal Merasugun pada tahun 1982 bangunan sekolah (Madrasah Ibtidaiyah) dan masjid selesai. Untuk menghormati atas jasa-jasa semangat perjuangan Merasugun, maka nama Madrasahnya diabadikan menjadi Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Walesi. Demikian juga dengan Pemuda Firdaus Asso menyusul dipanggil Allah SWT untuk selamanya pada tahun 1984 di Jayapura. Firdaus Asso yang sangat berjasa dan berperan besar pengembangkan Islam dikalangan suku pribumi di Walesi, sesudah Merasugun. Dia menyusul kepergian Merasugun setelah dua tahun dalam usia yang sangat muda dan produktif yakni 25 tahun.
Itulah sejarah singkat masuk dan berkembangnya agama islam di suku pribumi yang berada di wamena. Semoga agama islam menjadi agama yang berkembang disana.
Sumber bacaan :
Sejarah Islam di Wamena Papua dalam http://ilman-islam.blogspot.com/2012/06/sejarah-islam-wamena-papua.html di akses tanggal 9 Mei 2014

Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Sumedang Larang Jawa Barat


Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Sumedang Larang Jawa Barat. Kerajaan Sumedang Larang merupakan salah satu kerajaan Islam yang ada di Indonesia. Berdirinya kerajaan diperkirakan sejak abad ke-16 Masehi di Jawa Barat. Kerajaan ini tidak sebesar popularitas kerajaan islam yang ada di jawa seperti demak, mataram banten dan Cirebon, namun keberadaannya merupakan bukti sejarah yang kuat pengaruhnya dalam penyebaran islam di jawa barat.

Sejarah
Awalnya kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh dan masih menganut ajaran agama Hindu. Kerajaan Sunda-Galuh didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor.
Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Perubahan nama tersebut adalah :
1. Kerajaan Tembong Agung. Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur. Dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII.
2. Pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi HimbarBuana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi.
Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang kemudian berubah lagi menjadi Sumedang. Pendapat lain mengatakan bahwa kata Sumedang berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.
Kerajaan Sumedang Larang yang kini sudah menjadi Kabupaten Sumedang merupakan salah satu kerajaan sunda seperti halnya Kerajaan Pajajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu Kerajaan Sunda-Galuh, namun karena keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir akibat serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak. Sejak itulah, Kerajaan Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.
Pemerintahan berdaulat
Berikut nama Raja-raja Kerajaan Sumedang yang pernah memerintah
No.

Nama
Tahun
1

Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang


a
Prabu Guru Aji Putih
900

b
Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela
950

c
Prabu Gajah Agung
980

d
Sunan Guling
1000

e
Sunan Tuakan
1200

f
Nyi Mas Ratu Patuakan
1450

g
Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata
1530 - 1578

h
Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya
1578 - 1601
2

Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II


a
R. Suriadiwangsa / Pangeran Rangga Gempol I
1601 - 1625

b
Pangeran Rangga Gede
1625 - 1633

c
Pangeran Rangga Gempol II
1633 - 1656

d
Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III
1656 - 1706
3

Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan VOC, Inggris, Belanda dan Jepang


a
Dalem Tumenggung Tanumaja
1706 - 1709

b
Pangeran Karuhun
1709 - 1744

c
Dalem Istri Rajaningrat
1744 - 1759

d
Dalem Anom
1759 - 1761

e
Dalem Adipati Surianagara
1761 - 1765

f
Dalem Adipati Surialaga
1765 - 1773

g
Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang)
1773 - 1775

h
Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang)
1775 - 1789

i
Dalem Aria Sacapati
1789 - 1791

j
Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata
1791 - 1800

k
Bupati Republik Batavia Nederland
1800 - 1810

l
Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Napoleon Bonaparte
1805 - 1810

m
Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte
1810 - 1811

n
Bupati Masa Pemerintahan Inggris
1811 - 1815

o
Bupati Kerajaan Nederland
1815 - 1828

p
Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung
1828 - 1833

q
Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit
1833 - 1834

r
Dalem Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja
1834 - 1836

s
Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Soegih
1836 - 1882

t
Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah
1882 - 1919

u
Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang
1919 - 1937

v
Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri
1937 - 1942

w
Bupati Masa Pemerintahan Jepang
1942 - 1945

x
Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia
1945 - 1946
4

Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia


a
Raden Hasan Suria Sacakusumah
1946 - 1947
5

Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia


a
Raden Tumenggung M. Singer
1947 - 1949
6

Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan


a
Raden Hasan Suria Sacakusumah
1949 - 1950
Perkembangan Kerajaan Sumedang Larang Pada Masa Pemerintahan Raja-Raja Sumedang Larang

Masa pemerintahan Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)

Prabu Agung Resi Cakrabuana (Prabu Tajimalela) merupakan raja yang berperan penting dalam berdirinya kerajaan Sumedang. Pada awal berdirinya kerajaan ini bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau memiliki tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan para keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.
Masa pemerintahan Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri

Pada pertengahan abad ke-16 kerajaan Sumedang Larang mulai bercorak Islam. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang Larang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah menikahi Pangeran Kusumahdinata (1505-1579 M) lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.
Pangeran Kusumahdinata merupakan putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon.  Juga adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda.
Berikut putra-putri Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri, yaitu :
  1. Pangeran Angkawijaya (yang terkenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
  2. Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
  3. Kiyai Demang Watang di Walakung.
  4. Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
  5. Santowaan Cikeruh.
  6. Santowaan Awiluar.
  7. Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.

Masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun

Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) merupakan anak dari Pangeran Santri dan beliaulah yang menggantikan kekuasaan ayahnya. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota.
Wilayah kekuasaannya pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun meliputi :
  1. Kuningan
  2. Bandung
  3. Garut
  4. Tasik
  5. Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis).

Kemajuan pesat kerajaan ini mengalami kemajuan pesat saat Prabu Geusan Ulun memerintah. Kemajuan tersebut mulai dari bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan.
Bergabungnya Kerajaan Pajajaran Galuh Pakun
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan bergabung dengan kerajaan Sumedang larang  karena pada saat itu Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Pada saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang Larang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten, akan tetapi mahkota kerajaan dapat diselamatkan. Dengan diberikannya mahkota kerajaan pajajaran tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali kecuali Cirebon dan Jayakarta, batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.
Bergabung menjadi bagian kesultanan Mataram
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante).
Setelah mendalami agama Islam pesantren di Demak, dalam perjalanan pulang ke Sumedang Larang ia mampir ke Kerjaan Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon. Beliau disambut gembira karena mereka berdua masih dalam ikatan kekeluargaan karena sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.
Karena sikap dan perilakunya yang sangat baik dan wajah yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Dan ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dan Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri sehingga akhirnya Ratu Harisbaya ikut ke Sumedang Larang. Panembahan Ratu yang mengetahui kejadian tersebut marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang Larang.
Sultan Agung dari Mataram yang mengetahui konflik tersebut meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang Larang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.

Istri dan Anak Prabu Geusan Ulun
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri, istri-istri beliau adalah :
  1. Nyi Mas Cukang Gedeng Waru merupakan istri pertama adalah putri Sunan Pada
  2. Ratu Harisbaya dari Cirebon
  3. Nyi Mas Pasarean.

Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas putra-putri :
  1. Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
  2. Raden Aria Wirareja, di Lemahbeureum, Darmawangi
  3. Kiyai Kadu Rangga Gede
  4. Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
  5. Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
  6. Raden Ngabehi Watang
  7. Nyi Mas Demang Cipaku
  8. Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
  9. Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
  10. Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
  11. Nyi Mas Rangga Pamade
  12. Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
  13. Rd. Suriadiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panembahan Ratu
  14. Pangeran Tumenggung Tegalkalong
  15. Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
  16. Ketika beliau wafat pada tahun 1608, Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I yang adalah putera angkat beliau menggantikan kepemimpinannya. Ia juga dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa.
  17. Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir dari Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).

Pemerintahan di bawah Mataram

Dipati Rangga Gempol
Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M Sumedang Larang dijadikannya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' diubahnya menjadi 'kabupatian wedana'. Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda, yang sedang mengalami konflik dengan Mataram. Sultan Agung kemudian memberikan perintah kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan ke SampangMadura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.

Dipati Rangga Gede
Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang diperintahkan pergi ke Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajaan Banten untuk menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.

Dipati Ukur
Pada Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur). Membawa surat tugas dari Sultan Agung, untuk memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia dengan bantuan pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia. Tapi, setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang sementara logistic makin menipis. Karena logistic yang kian menipis dan takut kalau mental prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan dari Jawa.
Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC, pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana.Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.
Ditengah peperangan melawan VOC, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda mereka.
Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot sekarang). Dipati Ukur yang marah dengan kelakuan para utusan Mataram itu sesampainya di Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari semua utusan itu ada satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.
Dalam ‘Negara Kerta Bhumi’ disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur. Sultan Agung pun murka karena bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Akhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram.
Dipati Ukur sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra.  Sebelum berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten mandiri tiba-tiba Bagus Sutapura pemuda yang sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan algojo yang diutus oleh Tumenggung Narapaksa datang untuk menangkapnya. Terjadilah pertarungan sengit antar keduanya, dikabarkan pertempuran tersebut terjadi hingga 40 hari 40 malam. Setelah semua tenaga terkuras akhirnya Dipati Ukur pun dapat diringkus kemudian dibawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur pun akhirnya di hukum mati di alun-alun Mataram dengan cara dipenggal kepalanya.

Pembagian wilayah kerajaan
Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang setelah bebas dari tahanan. Sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian:
  1. Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa,
  2. Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun-angun,
  3. Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya.

Wilayah diatas tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau Rangga Gempol II), yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wedana Bupati (kepala para bupati) Priangan.
Peninggalan budaya

Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun.
Sumber referensi :

http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sumedang_Larang diakses tanggal 26 agustus 2014

Terkait Berita: