Arca Durga Mahisasuramardini alias Loro Jonggrang di candi Siwa dalam
kompleks Candi Prambanan. Foto: Gunawan Kartapranata/wikimedia.org.
Loro Jonggrang merujuk kepada arca Durga Mahisasuramardini di candi Siwa dalam kompleks Candi Prambanan.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI
SONTAK mendadak
nama Loro Jonggrang, perempuan dalam legenda rakyat Jawa, mencuat jadi
bahan perbincangan di sosial media. Muasalnya karena Taufik Ridho,
Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera dan anggota Timses
Prabowo-Hatta, kepleset ucap soal Loro Jonggrang saat memberikan
pernyataan seputar persiapan sidang gugatan kepada KPU di Mahkamah
Konstitusi.
“Ini kan tidak bisa dilakukan seperti
Roro Jonggrang membuat Tangkuban Perahu (hanya butuh waktu semalam),”
tegasnya berkilah soal waktu mempersiapkan bukti-bukti gugatan KPU,
dikutip liputan6.com (4/8).
Loro Jonggrang bukan tokoh dalam legenda
Sangkuriang yang menciptakan gunung Tangkuban Perahu. Legenda Tangkuban
Perahu berasal dari Tatar Priangan yang mengisahkan tentang Dayang
Sumbi, ibu kandung Sangkuriang, yang mengajukan syarat berat untuk
menggagalkan keinginan anaknya mengawini dirinya.
Loro Jonggrang adalah tokoh utama dalam
cerita rakyat Jawa yang beralur kurang lebih sebagai berikut: Loro
Jonggrang, putri semata wayang Ratu dan Raja Boko dari Kerajaan Medang
Kamulan, tersohor karena kecantikannya dan hendak diperistri oleh banyak
pangeran.
Ketika Bandung Bondowoso, salah satu
pangeran yang ingin menyuntingnya, mengajukan diri, Raja Boko mengatakan
harus mengalahkannya terlebih dulu. Sang raja terbunuh. Loro Jonggrang
tak sudi menikah dengan pembunuh ayahnya, apa daya dia takut menolak
Bandung Bondowoso secara terang-terangan. Lalu, dia mengajukan syarat:
bila Bandung Bondowoso berhasil membangun seribu candi dalam semalam,
dia boleh menikahinya.
Bandung Bondowoso menyanggupinya dan
nyaris berhasil karena ayahnya membantu dengan sepasukan jin. Atas saran
seorang dayangnya, Loro Jonggrang memukul lesung penumbuk padi,
sehingga ayam jago berkokok. Pasukan jin yang mengira fajar akan merekah
langsung kabur karena takut cahaya matahari.
Bandung Bondowoso gagal menyelesaikan
seribu candi. Dia naik pitam karena tahu muslihat Loro Jonggrong. Dia
mengutuk sang putri menjadi batu. Berkat kemurahan hati Dewa Siwa, Loro
Jonggrang menjadi sebuah arca.
Menurut Roy Jordan dalam Memuji Prambanan,
Loro Jonggarang yang berarti “Gadis Semampai” merujuk pada arca Durga
Mahisasuramardini yang terletak di bilik sebelah utara dari candi induk,
yaitu candi Siwa di kompleks Candi Prambanan di wilayah Yogyakarta dan
Jawa Tengah.
Candi Prambanan dibangun pada paruh
kedua abad ke-9 atau permulaan abad ke-10 sebagai persembahkan untuk
Trimurti, tiga dewa utama Hindu: Brahma, Wishnu, dan Siwa. Karena arca
Durga berada di candi induk, kompleks Candi Prambanan biasa disebut
Candi Loro Jonggrang.
Di masa lalu, arca Durga, memikat luar
biasa para penduduk setempat. Ini terlihat dari rupa-rupa sesajen berupa
dupa, beras, bebungaan atau uang, bahkan kambing-kambing yang masih
hidup.
“Daya pikatnya juga terbukti dari bagian
dada dan pinggul arca itu yang berkilauan, yang disebabkan oleh elusan
kasih para pemujanya,” tulis Jordan. “Lucunya, karena elusan-elusan ini
beberapa pengunjung asing terdahulu…malah menduga dada itu terbuat dari
lempengan logam atau merupakan bagian dari sebuah arca logam yang
bersinar cemerlang di antara tumpukan bebatuan.”
C.A. Lons, pegawai VOC, kali pertama
berkunjung ke reruntuhan Candi Prambanan pada 1733 dan melaporkannya
sebagai “kuil-kuil Brahmana” tanpa perincian lebih lanjut. Keterangan
dan sketsa pertama puing-puing Candi Loro Jonggarang ditemukan dalam
buku History of Java karya Letnan Gubernur Jenderal Hindia
Belanda, Sir Stamford Raffles. Judul sketsa karya J. Mitan pada 1815 itu
berbunyi “candi induk di Jongrangan.”
“Dalam nama Jongrangan ini kita dapat
mengenal nama lokal lainnya yang lebih populer untuk kompleks percandian
itu, yaitu Loro Jonggarang,” tulis Jordan. John Crawfurd, residen
Yogyakarta yang diangkat Raffles, mengenali “candi Jongrangan” sebagai
kuil Siwa. Raffles menyebut candi-candi itu sebagai tempat suci agama
Buddha.
J.W. IJzerman, ketua perkumpulan
arkeologis amatir setempat, melakukan pembersihan pertama kompleks candi
itu pada 1885. “Usaha-usahanya tampaknya menegaskan bahwa Loro
Jonggrang adalah sebuah candi Saiva (Siwa, red) dan bukan sebuah tempat suci Buddhis,” tulis Jordan.
Pemugaran kali pertama dilakukan oleh
arsitek muda, De Haan. Selain terkendala pemotongan anggaran, tragisnya
dia meninggal pada 1930. Penggantinya, Van Romondt juga terhambat oleh
pembatasan anggaran. Pemugaran tertunda karena pecah Perang Dunia II
disusul perang kemerdekaan Indonesia.
Pemugaran candi induk, yaitu candi Siwa,
di mana arca Durga atau Loro Jonggrang berada, yang dimulai pada 1918
baru tuntas pada 1953 dan diresmikan Presiden Sukarno. Sedangkan candi
Brahma diresmikan pada 1987 dan candi Wishnu pada 1991 sekaligus
dinyatakan oleh UNESCO, badan PBB yang menangani pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan; sebagai warisan dunia (world heritage).