Sejarah Perkembangan Islam di Wamena. Berikut ini adalah
sejarah perkembangan islam di wamena, yaitu pada kota wamena sendiri dan
di
desa Wolasi yang saat ini menjadi desa muslim papua. Dibawah ini adalah
penjelasan mengenai proses masuk islam di suku dani wamena dan di desa
walesi.
Awal Masuk Islam di Suku
Dani Wamena
Masuknya islam di kalangan suku Dani Wamena terjadi pasca
integrasi kedalam NKRI pada dekade 1960-an akhir, melalui guru-guru dan
transmigrasi yang didatangkan dari Jawa didaerah Sinata. Pengenalan agama Islam
di Wamena melalui interaksi perdagangan antara para pendatang dan penduduk pribumi.
Islam di Wamena tidak didorong oleh organisasi da’wah Islam. Pendirian SD
Impres Megapura pertama di Wamena, berdampak pada perkenalan orang Palim Lembah
dengan Agama Islam melalui para guru dan transmigrasi Jawa-Madura secara
alamiah. Para guru dari Jawa-Madura dan transmigran yang pada akhirnya
dipindahkan ke daerah Paniai tahun 1970-an menyisakan pengaruh bagi Suku Dani
terutama anak-anak siswa SD Impres Megapura.
****
Sejarah Perkembangan Islam di Jayapura
Tidak begitu banyak sumber yang membahas mengenai
sejarah masuknya islam di jayapura. Sehingga sangat sulit untuk menemukan
jejak-jejak sejarah perkembangan islam disana. Namun menurut beberapa sumber
awal masuknya islam di jayapura tidak lepas dari peran kesultanan tidore.
Sejarah Masuknya
Islam di kepulauan Papua sama halnya dengan sejarah masuknya islam di
kota-kota yang ada di Nusantara, dan rata-rata melalui jalur perdagangan. Karena
letak Papua yang strategis menjadikan wilayah ini pada masa lampau menjadi
perhatian dunia Barat, maupun para pedagang lokal Indonesia sendiri. Daerah ini
kaya akan barang galian atau tambang yang tak ternilai harganya dan kekayaan
rempah-rempah sehingga daerah ini menjadi incaran para pedagang. Karena
kandungan mineral dan kekayaan rempah-rempah maka terjadi hubungan politik dan
perdagangan antara kepulauan Raja Ampat dan Fakfak dengan pusat kerajaan
Ternate dan Tidore, sehingga banyak pedagang datang untuk memburu dagangan di
daerah tersebut.
Tanah Papua secara geografis terletak pada daerah pinggiran Islam di Nusantara, sehingga Islam di Papua luput dari kajian para sejarahwan lokal maupun asing, kedatangan Islam di tanah Papua juga masih terjadi silang pendapat di antara pemerhati, peneliti maupun para keturunan raja-raja di Raja Ampat-Sorong, fak-fak, kaimana dan teluk Bintuni-Manokwari, diantara mereka saling mengklaim bahwa Islam lebih awal datang kedaerahnya yang hanya di buktikan dengan tradisi lisan tanpa didukung dengan bukti-bukti tertulis maupun bukti-bukti arkelogis.
5. Masjid Patimburak yang didirikan di tepi teluk Kokas,
distrik Kokas, Fakfak yang dibangun oleh Raja Wertuer I yang memiliki nama
kecil Semempe.
Di jayapura terdapat 5 makam wali yang pernah menyebarkan
islam. Dari kelima ulama tersebut hanya 2 ulama yang baru diketahui. Mereka adalah
:
- Habib Muhammad kecil (Asghar)
- Syeh Ahmadi beliau berasal dari yaman yang di minta untuk membantu syiar dakwah Habib Muhammad kecil di jayapura
Dari kedua Ulama tersebut hanya Habib Muhammad Kecil yang
masih terdapat kisah dakwahnya namun itupun sangat sedikit. Sedangkan kisah Syeh
Ahmadi dalam penyebaran islam di Jayapura tidak ada kisah sejarahnya yang
tertinggal.
Habib Muhammad Kecil
(Asghar)
Beliau merupakan ulama yang berasal dari Bagdad yang di utus
oleh kesultanan Turki yang di minta kesediaaannya untuk menyiarkan ajaran islam
di jayapura. Ini adalah atas permintaan kesultanan Tidore. Karena pada waktu
itu dijayapura sudah ada umat islam yang membutuhkan bimbingan dakwa untuk
mempelajari islam lebih dalam lagi. Informasi ini berasal dari salah satu
kolano di sarmi kepada sultan tidore.
Beliau masuk ke jayapura pada tahun 1867 setelah berada di
tidore selama kurang lebih setahun. Habib muhammad kecil membangun madrasah dan
mushollah pertama di kota jayapura yang mana murid2 beliau ataupun santri bukan
hanya terbatas dari kota Jayapura tapi juga berasal dari Serui dan Sarmi akan
tetapi setelah beliau meninggal pada tahun 1908 dengan di sebabkan sakit kolera
selama kurang lebih 1 bulan. madrasah beliau terbengkalai tidak ada yang
mengurusnya lagi sampai dengan tahun 1909.
_________________
_________________
Sejarah Perkembangan Islam di Papua
Tanah Papua secara geografis terletak pada daerah pinggiran Islam di Nusantara, sehingga Islam di Papua luput dari kajian para sejarahwan lokal maupun asing, kedatangan Islam di tanah Papua juga masih terjadi silang pendapat di antara pemerhati, peneliti maupun para keturunan raja-raja di Raja Ampat-Sorong, fak-fak, kaimana dan teluk Bintuni-Manokwari, diantara mereka saling mengklaim bahwa Islam lebih awal datang kedaerahnya yang hanya di buktikan dengan tradisi lisan tanpa didukung dengan bukti-bukti tertulis maupun bukti-bukti arkelogis.
Masuknya islam di papua diyakini telah ada sebelum agama
Nasrani masuk. Namun hingga saat ini belum ditentukan secara persis kapan hal
itu terjadi. Saksi bisu sejarah itu adalah Masjid Patimburak di Distrik Kokas,
Fakfak. Masjid ini dibangun oleh Raja Wertuer I bernama kecil Semempe. Sejumlah
seminar yang pernah digelar seperti di Aceh pada tahun 1994, termasuk yang
dilangsungkan di ibukota provinsi Kabupaten Fakfak dan di Jayapura pada tahun
1997, belum menemukan kesepakatan itu.
Dalam sejarah islamisasi di papua terdapat 7 teori yang
membahas kedatangan islam, yaitu :
Teori Papua
Teori ini merupakan pandangan adat dan legenda yang melekat
di sebagaian rakyat asli Papua, khususnya yang berdiam di wilayah fakfak,
kaimana, manokwari dan raja ampat (sorong). Teori ini memandang Islam bukanlah
berasal dari luar Papua dan bukan di bawa dan disebarkan oleh kerejaan ternate
dan tidore atau pedagang muslim dan da’I dari Arab, Sumatera, Jawa, maupun
Sulawesi. Namun Islam berasal dari Papua itu sendiri sejak pulau Papua
diciptakan oleh Allah Swt. mereka juga mengatak bahwa agama Islam telah
terdapat di Papua bersamaan dengan adanya pulau Papua sendiri, dan mereka
meyakini kisah bahwa dahulu tempat turunya nabi adam dan hawa berada di daratan
Papua.
Teori Aceh
Studi sejarah masukanya Islam di Fakfak yang dibentuk oleh
pemerintah kabupaten Fakfak pada tahun 2006, menyimpulkan bahwa Islam datang
pada tanggal 8 Agustus 1360 M, yang ditandai dengan hadirnya mubaligh Abdul
Ghafar asal Aceh di Fatagar Lama, kampong Rumbati Fakfak. Penetapan tanggal
awal masuknya Islam tersebut berdasarkan tradisi lisan yang disampaikan oleh putra
bungsu Raja Rumbati XVI (Muhamad Sidik Bauw) dan Raja Rumbati XVII (H. Ismail
Samali Bauw), mubaligh Abdul Ghafar berdakwah selama 14 tahun (1360-1374 M) di
Rumbati dan sekitarnya, kemudian ia wafat dan di makamkan di belakang masjid
kampong Rumbati pada tahun 1374 M.
Teori Arab
Menurut sejarah lisan Fakfak, bahwa agama Islam mulai
diperkenalkan di tanah Papua, yaitu pertama kali di Wilayah jazirah onin
(Patimunin-Fakfak) oleh seorang sufi bernama Syarif Muaz al-Qathan dengan gelar
Syekh Jubah Biru dari negeri Arab, yang di perkirakan terjadi pada abad
pertengahan abad XVI, sesuai bukti adanya Masjid Tunasgain yang berumur sekitat
400 tahun atau di bangun sekitar tahun 1587. Selain dari sejarah lisan tadi,
dilihat dalam catatan hasil Rumusan Seminar Sejarah Masuknya Islam dan
Perkembanganya di Papua, yang dilaksanakan di Fakfak tanggal 23 Juni 1997,
dirumuskan bahwa:
1. Islam dibawa oleh sultan abdul qadir pada sekitar tahun
1500-an (abad XVI), dan diterima oleh masyarakat di pesisir pantai selatan
Papua (Fakfak, Sorong dan sekitarnya)
2. Agama Islam datang ke Papua dibawa oleh orang Arab
(Mekkah).
Teori Jawa
Berdasarkan catatan keluarga Abdullah Arfan pada tanggal 15
Juni 1946, menceritakan bahwa orang Papua yang pertama masuk Islam adalah
Kalawen yang kemudian menikah dengan siti hawa farouk yakni seorang mublighat
asal Cirebon. Kalawen setelah masuk Islam berganti nama menjadi Bayajid,
diperkirakan peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1600. Jika dilihat dari
silsilah keluarga tersebut, maka Kalawen merupakan nenek moyang dari keluarga
Arfan yang pertama masuk Islam.
Teori Banda
Menurut Halwany Michrob bahwa Islamisasi di Papua, khusunya
di Fakfak dikembagkan oleh pedagang-pedagang Bugis melalui banda yang
diteruskan ke fakfak melalui seram timur oleh seorang pedagang dari Arab
bernama haweten attamimi yang telah lama menetap di ambon. Microb juga
mengatakan bahwa cara atau proses Islamisasi yang pernah dilakuka oleh dua
orang mubaligh dari banda yang bernama salahuddin dan jainun, yaitu proses
pengIslamanya dilakukan dengan cara khitanan, tetapi dibawah ancaman penduduk
setempat yaitu jika orang yang disunat mati, kedua mubaligh tadi akan dibunuh,
namun akhirnya mereka berhasil dalam khitanan tersebut kemudian penduduk
setempat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Teori Bacan
Kesultanan bacan dimasa sultan mohammad al-bakir lewat
piagam kesiratan yang dicanangkan oleh peletak dasar mamlakatul mulukiyah atau
moloku kie raha (empat kerajaan Maluku: ternate, tidore, bacan, dan jailolo)
lewat walinya ja’far as-shadiq (1250 M), melalui keturunannya keseluruh penjuru
negeri menyebarkan syiar Islam ke Sulawesi, philipina, Kalimantan, nusa
tenggara, Jawa dan Papua.
Menurut Arnold,
raja bacan yang pertama masuk Islam bernama zainal abiding yang memerintah
tahun 1521 M, telah menguasai suku-suku di Papua serta pulau-pulau disebelah
barat lautnya, seperti waigeo, misool, waigama dan salawati. Kemudian sultan
bacan meluaskan kekuasaannya sampai ke semenanjung onin fakfak, di barat laut
Papua pada tahun 1606 M, melalui pengaruhnya dan para pedagang muslim maka para
pemuka masyarakat pulau – pulau tadi memeluk agama Islam. Meskipun masyarakat
pedalaman masih tetap menganut animisme,
tetapi rakyat pesisir menganut agama Islam.
Dari sumber – sumber tertulis maupun lisan serta bukti –
bukti peninggalan nama – nama tempat dan keturunan raja bacan yang menjadi raja
– raja Islam di kepulauan raja ampat. Maka diduga kuat bahwa yang pertama
menyebarkan Islam di Papua adalah kesultanan bacan sekitar pertengahan abad XV.
Dan kemudian pada abad XVI barulah terbentuk kerajaan – kerajaan kecil di
kepulauan raja ampat itu.
Teori Maluku Utara
(Ternate-Tidore)
Dalam sebuah catatan sejarah kesultanan Tidore yang
menyebutkan bahwa pada tahun 1443 M Sultan Ibnu Mansur ( Sultan Tidore X atau
sultan Papua I ) memimpin ekspedisi ke daratan tanah besar ( Papua ). Setelah
tiba di wilayah pulau Misool, raja ampat, maka sultan ibnu Mansur mengangkat
Kaicil Patrawar putra sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi ( Kapita
Gurabesi ). Kapita Gurabesi kemudian di kawinkan dengan putri sultan Ibnu
Mansur bernama Boki Tayyibah. Kemudian berdiri empat kerajaan dikepulauan Raja
Ampat tersebut adalah kerajaan Salawati, kerajaan Misool/kerajaan Sailolof,
kerajaan Batanta dan kerajaan Waigeo. Dari Arab, Aceh, Jawa, Bugis, Makasar,
Buton, Banda, Seram, Goram, dan lain – lain.
Masa antara abad XIV-XV memiliki arti penting dalam sejarah
kebudayaan Nusantara, di mana pada saat itu ditandai hegemoni Majapahit sebagai
Kerajaan Hindu-Budha mulai pudar. Sejak
zaman itu muncul zaman baru yang ditandai penyebaran Islam melalui jalar
perdagangan Nusantara. Melalui jalur damai perdagangan itulah, Islam
kemudian semakin dikenal di tengah masyarakat Papua. Kala itu penyebaran Islam
masih relatif terbatas di kota-kota pelabuhan. Para pedagang dan ulama menjadi
guru-guru yang sangat besar pengaruhnya di tempat-tempat baru.
Pendapat lain mengemukakan bahwa Perkembangan agama Islam di
daerah Fakfak dikembangkan oleh pedagang-pedagang suku Bugis melalui Banda yang
diteruskan ke Fakfak melalui Seram Timur oleh seorang pedagang dari Arab
bernama Haweten Attamimi yang telah lama menetap di Ambon.
Proses Islamisasi di wilayah Fakfak dilakukan melalui jalur Perdagangan, pendidikan non formal dan politik, yang dimaksud dengan
penyebaran dakwah melalui saluran politik ialah bahwa atas jasa dan upaya para
raja dan pertuanan dan keluarga-keluarganya maka agama Islam turut disebarkan
(Onim, 2006;102-105).
Pengaruh masuknya Islam di kabupaten Fakfak dapat diketahui
dengan adanya ditemukan mesjid-mesjid kuno peninggalan kerajaan Islam yang
pernah berkuasa di wilayah tersebut diantaranya gong, bedug mesjid, rebana yang
digunakan pada saat upacara maulid, songkok raja, tongkat cis, tanda raja dan
adanya silsilah kerajaan dari kerajaan Ati-ati. Mesjid-mesjid kuno yang
ditemukan tersebut tersebar di beberapa tempat diantaranya mesjid Patimburak,
mesjid Werpigan dan mesjid Merapi.
Di Kabupaten Fakfak pada masa awal masuknya agama Islam ada
empat raja yang berkuasa diantaranya Raja Ati-ati, Ugar, Kapiar dan Namatota (sekarang
masuk dalam wilayah kabupaten Kaimana). Masing-masing raja tersebut mendirikan
mesjid dan mesjid tersebut yang digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan
agama Islam. Akan tetapi mesjid yang didirikan oleh raja Ati-ati pada saat itu
pada umumnya terbuat dari kayu sehingga tidak bisa lagi ditemukan wujud maupun
sisa-sisanya. Satu-satunya mesjid yang ditunjukkan oleh keturunan Raja Ati-ati
adalah mesjid Werpigan yang dibangun pada tahun 1931 oleh Raja ke-9. Mesjid
tersebut telah mengalami renovasi, sehingga konstruksi aslinya telah hilang
yang nampak adalah mesjid yang baru ( Tim peneliti, 1999).
Selanjutnya adalah mesjid yang didirikan oleh Raja Fatagar
yaitu mesjid Merapi terletak di kampung Merapi, dalam mesjid terdapat bedug
yang terbuat dari batang kayu kelapa. Di dekat mesjid terdapat makam Raja
Fatagar I dan II, makam terdiri atas dua kelompok yaitu kelompok yang berada di
dalam pagar dan kelompok yang berada di luar pagar. Selain itu bukti pengaruh
masuknya Islam yaitu ditemukan rebana yang digunakan pada saat upacara maulid,
gong, tanda raja, tongkat cis, songkok raja dan adanya silsilah raja-raja yang
pernah berkuasa di wilayah tersebut. Diantara mesjid tua yang masih bertahan
hingga saat ini adalah mesjid Patimburak yang ada di distrik Kokas, menurut
informasi mesjid tersebut didirikan pada tahun 1870.
Dari beberapa sumber disimpulkan bahwa Islam masuk ke
kabupaten Fakfak menurut beberapa sumber sekitar pertengahan abad ke-15. Proses
masuknya yaitu melalui jalur perdagangan, perkawinan, pendidikan non formal dan
politik. Islam masuk ke wilayah ini tidak terlepas dari pengaruh kesultanan
Ternate dan Tidore sebagai basis Islamisasi di Indonesia bagian timur.
Pengaruh masuknya Islam di kabupaten Fakfak dapat dilihat dengan adanya temuan mesjid kuno dibeberapa tempat yaitu mesjid Merapi, Werpigan, Patimburak, gong, rebana, tongkat cis, songkok raja.
Pengaruh masuknya Islam di kabupaten Fakfak dapat dilihat dengan adanya temuan mesjid kuno dibeberapa tempat yaitu mesjid Merapi, Werpigan, Patimburak, gong, rebana, tongkat cis, songkok raja.
Islam juga menancapkan pengaruhnya didaerah Kokas, Fakfak
salah satu buktinya adalah keberadaan sebuah Masjid Tua yaitu Masjid
Patimburak.
Masjid Patimburak
Salah satu bukti otentik keberadaan Islam di tanah papua
yang masih terpelihara rapi adalah Masjid Patimburak. Masyarakat setempat
mengenal masjid ini sebagai Masjid Tua Patimburak. Menurut catatan sejarah,
masjid ini telah berdiri lebih dari 200 tahun yang lalu, bahkan merupakan
masjid tertua di Kabupaten Fakfak. Bangunan yang masih berdiri kokoh dan
berfungsi hingga saat ini dibangun pada tahun 1870, seorang imam bernama
Abuhari Kilian.
Pada masa penjajahan, masjid ini bahkan pernah diterjang bom
tentara Jepang. Hingga kini, kejadian tersebut menyisakan lubang bekas
peluru di pilar masjid. Menurut Musa Heremba, penyebaran Islam di
kokas tak lepas dari pengaruh Kekuasaan Sultan Tidore di wilayah Papua.
Pada abad XV, kesultanan Tidore mulai mengenal Islam. Sultan Ciliaci
adalah sultan pertama yang memeluk agama Islam. Sejak itulah sedikit demi
sedikit agama islammulai berkembang di daerah kekuasaan Kesultanan Tidore
termasuk kokas.
Di peluknya Islam oleh masyarakat Papua terutama didaerah
pesisir barat pada abad pertengahan XV tidak lepas dari pengaruh kerajaan –
kerajaan Islam di Maluku ( Bacan, Ternate dan Tidore ) yang semakin kuat dan
sekaligus kawasan tersebut merupakan jalur perdagangan rempah – rempah ( silk
road ) di dunia. Sebagaimana ditulis sumber – sumber barat, Tome pires yang
pernah mengunjungi nusantara antara tahun 1512-1515 M. dan Antonio Pegafetta
yang tiba di tidore pada tahun 1521 M. mengatakan bahwa Islam telah berada di
Maluku dan raja yang pertama masuk Islam 50 tahun yang lalu, berarti antara
tahun 1460-1465. Berita tersebut sejalan pula dengan berita Antonio Galvao yang
pernah menjadi kepala orang – orang Portugis di Ternate (1540-1545 M).
mengatakan bahwa Islam telah masuk di daerah Maluku dimulai 80 atau 90 tahun
yang lalu.
Sebagai kerajaan tangguh masa itu, kekuasaan Kerajaan Majapahit meliputi seluruh
wilayah Nusantara, termasuk Papua. Beberapa daerah di kawasan tersebut bahkan
disebut-sebut dalam kitab Negarakertagama, sebagai wilayah Yurisdiksinya. Keterangan
mengenai hal itu antara disebutkan sebagai berikut:
"Muwah tang i Gurun sanusanusa mangaram ri Lombok Mirah lawan tikang i Saksakadi nikalun kahaiyan kabeh nuwati tanah i bantayan pramuka Bantayan len luwuk teken Udamakatrayadhi nikang sanusapupul".
"Ikang sakasanusasanusa Makasar Butun Banggawai Kuni Ggaliyao mwang i [ng] Salaya Sumba Solot Muar muwah tigang i Wandan Ambwan Athawa maloko Ewanin ri Sran ini Timur ning angeka nusatutur".
Dari keterangan yang diperoleh dalam kitab klasik itu, menurut sejumlah ahli bahasa yang dimaksud "Ewanin" adalah nama lain untuk daerah "Onin" dan "Sran" adalah nama lain untuk "Kowiai". Semua tempat itu berada di Kaimana, Fak-Fak. Dari data tersebut menjelaskan bahwa pada zaman Kerajaan Majapahit sejumlah daerah di Papua sudah termasuk wilayah kekuasaan Majapahit.
Menurut Thomas W. Arnold : "The Preaching of Islam”, setelah kerajaan Majapahit runtuh, dikalahkan oleh kerajaan Islam Demak, pemegang kekuasan berikutnya adalah Demak Islam. Dapat dikatakan sejak zaman baru itu, pengaruh kerajaan Islam Demak juga menyebar ke Papua, baik langsung maupun tidak.
"Muwah tang i Gurun sanusanusa mangaram ri Lombok Mirah lawan tikang i Saksakadi nikalun kahaiyan kabeh nuwati tanah i bantayan pramuka Bantayan len luwuk teken Udamakatrayadhi nikang sanusapupul".
"Ikang sakasanusasanusa Makasar Butun Banggawai Kuni Ggaliyao mwang i [ng] Salaya Sumba Solot Muar muwah tigang i Wandan Ambwan Athawa maloko Ewanin ri Sran ini Timur ning angeka nusatutur".
Dari keterangan yang diperoleh dalam kitab klasik itu, menurut sejumlah ahli bahasa yang dimaksud "Ewanin" adalah nama lain untuk daerah "Onin" dan "Sran" adalah nama lain untuk "Kowiai". Semua tempat itu berada di Kaimana, Fak-Fak. Dari data tersebut menjelaskan bahwa pada zaman Kerajaan Majapahit sejumlah daerah di Papua sudah termasuk wilayah kekuasaan Majapahit.
Menurut Thomas W. Arnold : "The Preaching of Islam”, setelah kerajaan Majapahit runtuh, dikalahkan oleh kerajaan Islam Demak, pemegang kekuasan berikutnya adalah Demak Islam. Dapat dikatakan sejak zaman baru itu, pengaruh kerajaan Islam Demak juga menyebar ke Papua, baik langsung maupun tidak.
Thomas Arnold yang
seorang orientalis berkebangsaan Inggris memberi catatan kaki dalam kaitannya dengan
wilayah Islam tersebut: “beberapa suku Papua di pulau Gebi antara Waigyu dan
Halmahera telah diislamkan oleh kaum pendatang dari Maluku" lebih
lanjut Arnold menjelaskan: “Di Irian sendiri, hanya sedikit penduduk yang
memeluk Islam. Agama ini pertama kali dibawa masuk ke pesisir barat (mungkin
semenanjung Onin) oleh para pedagang Muslim yang berusaha sambil berdakwah di
kalangan penduduk, dan itu terjadi sejak tahun 1606. Tetapi nampaknya
kemajuannya berjalan sangat lambat selama berabad-abad kemudian..."
Bila ditinjau dari laporan Arnold tersebut, maka berarti masuknya Islam ke daerah Papua
terjadi pada awal abad ke XVII, atau dua abad lebih awal dari masuknya agama
Kristen Protestan yang masuk pertama kali di daerah Manokwari pada tahun 1855,
yaitu ketika dua orang missionaris Jerman bernama C.W. Ottow dan G.J. Geissler mendarat dan kemudian
menjadi pelopor kegiatan missionaris di sana. (Ali Atwa, penulis buku “Islam
Atau Kristen Agama Orang Irian (Papua)
Dari sumber-sumber Barat diperoleh catatan bahwa pada abad
ke XVI sejumlah daerah di Papua bagian barat, yakni wilayah-wilayah Waigeo,
Missool, Waigama, dan Salawati, tunduk kepada kekuasaan Sultan Bacan di
Maluku.
Catatan serupa tertuang dalam sebuah buku yang dikeluarkan oleh Periplus Edition, di buku “Irian Jaya”, hal 20 sebuah wadah sosial milik misionaris menyebutkan tentang daerah yang terpengaruh Islam. Dalam kitab Negarakertagama, di abad ke 14 di sana ditulis tentang kekuasaan kerajaan Majapahit di Jawa Timur, di mana di sana disebutkan dua wilayah di Irian yakni Onin dan Seran
Bahkan lebih lanjut dijelaskan: Namun demikian armada-armada perdagangan yang berdatangan dari Maluku dan barangkali dari pulau Jawa di sebelah barat kawasan ini, telah memiliki pengaruh jauh sebelumnya.
Pengaruh ras austronesia dapat dilihat dari kepemimpinan raja di antara keempat suku, yang boleh jadi diadaptasi dari Kesultanan Ternate, Tidore dan Jailolo. Dengan politik kontrol yang ketat di bidang perdagangan pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate di temukan di raja Ampat di Sorong dan di seputar Fakfak dan diwilayah Kaimana
Sumber cerita rakyat mengisahkan bahwa daerah Biak Numfor telah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Sultan Tidore. Sejak abad ke-XV. Sejumlah tokoh lokal, bahkan diangkat oleh Sultan Tidore menjadi pemimpin-pemimpin di Biak. Mereka diberi berbagai macam gelar, yang merupakan jabatan suatu daerah. Sejumlah nama jabatan itu sekarang ini dapat ditemui dalam bentuk marga/fam penduduk Biak Numfor.
Berdasarkan keterangan di atas jelaslah bahwa, masuknya Islam ke Papua, tidak bisa dilepaskan dengan jalur dan hubungan daerah ini dengan daerah lain di Indonesia. Selain faktor pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit, masuknya Islam ke kawasan ini adalah lewat Maluku, di mana pada masa itu terdapat kerajaan Islam berpengaruh di kawasan Indonesia Timur, yakni kerajaan Bacan.
Sejarah masuknya Islam di wilayah Maluku dan Papua dapat ditelusuri dari berbagai sumber baik sumber lisan dari masyarakat pribumi maupun sumber tertulis. Menurut tradisi lisan setempat, pada abad kedua Hijriah atau abad kedelapan Masehi, telah tiba di kepulauan Maluku (Utara) empat orang Syekh dari Irak. Kedatangan mereka dikaitkan dengan pergolakan politik di Irak, dimana golongan Syiah dikejar-kejar oleh penguasa, baik Bani Umayah maupun golongan Bani Abasyiah. Keempat orang asing membawa faham Syiah. Mereka adalah Syekh Mansyur, Syekh Yakub, Syekh Amin dan Syekh Umar. Syekh Umar menyiarkan agama Islam di Ternate dan Halmahera muka. Syekh Yakub menyiarkan agama Islam di Tidore dan Makian. Ia meninggal dan dikuburkan di puncak Kie Besi, Makian. Kedua Syekh yang lain, Syekh Amin dan Umar, menyiarkan agama Islam di Halmahera belakang, Maba, Patani dan sekitarnya. Keduanya dikabarkan kembali ke Irak.
Catatan serupa tertuang dalam sebuah buku yang dikeluarkan oleh Periplus Edition, di buku “Irian Jaya”, hal 20 sebuah wadah sosial milik misionaris menyebutkan tentang daerah yang terpengaruh Islam. Dalam kitab Negarakertagama, di abad ke 14 di sana ditulis tentang kekuasaan kerajaan Majapahit di Jawa Timur, di mana di sana disebutkan dua wilayah di Irian yakni Onin dan Seran
Bahkan lebih lanjut dijelaskan: Namun demikian armada-armada perdagangan yang berdatangan dari Maluku dan barangkali dari pulau Jawa di sebelah barat kawasan ini, telah memiliki pengaruh jauh sebelumnya.
Pengaruh ras austronesia dapat dilihat dari kepemimpinan raja di antara keempat suku, yang boleh jadi diadaptasi dari Kesultanan Ternate, Tidore dan Jailolo. Dengan politik kontrol yang ketat di bidang perdagangan pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate di temukan di raja Ampat di Sorong dan di seputar Fakfak dan diwilayah Kaimana
Sumber cerita rakyat mengisahkan bahwa daerah Biak Numfor telah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Sultan Tidore. Sejak abad ke-XV. Sejumlah tokoh lokal, bahkan diangkat oleh Sultan Tidore menjadi pemimpin-pemimpin di Biak. Mereka diberi berbagai macam gelar, yang merupakan jabatan suatu daerah. Sejumlah nama jabatan itu sekarang ini dapat ditemui dalam bentuk marga/fam penduduk Biak Numfor.
Berdasarkan keterangan di atas jelaslah bahwa, masuknya Islam ke Papua, tidak bisa dilepaskan dengan jalur dan hubungan daerah ini dengan daerah lain di Indonesia. Selain faktor pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit, masuknya Islam ke kawasan ini adalah lewat Maluku, di mana pada masa itu terdapat kerajaan Islam berpengaruh di kawasan Indonesia Timur, yakni kerajaan Bacan.
Sejarah masuknya Islam di wilayah Maluku dan Papua dapat ditelusuri dari berbagai sumber baik sumber lisan dari masyarakat pribumi maupun sumber tertulis. Menurut tradisi lisan setempat, pada abad kedua Hijriah atau abad kedelapan Masehi, telah tiba di kepulauan Maluku (Utara) empat orang Syekh dari Irak. Kedatangan mereka dikaitkan dengan pergolakan politik di Irak, dimana golongan Syiah dikejar-kejar oleh penguasa, baik Bani Umayah maupun golongan Bani Abasyiah. Keempat orang asing membawa faham Syiah. Mereka adalah Syekh Mansyur, Syekh Yakub, Syekh Amin dan Syekh Umar. Syekh Umar menyiarkan agama Islam di Ternate dan Halmahera muka. Syekh Yakub menyiarkan agama Islam di Tidore dan Makian. Ia meninggal dan dikuburkan di puncak Kie Besi, Makian. Kedua Syekh yang lain, Syekh Amin dan Umar, menyiarkan agama Islam di Halmahera belakang, Maba, Patani dan sekitarnya. Keduanya dikabarkan kembali ke Irak.
Secara geografis tanah Papua memiliki kedekatan relasi etnik
dan kebudayaan dengan Maluku. Dalam hal ini Fakfak memiliki kedekatan dengan
Maluku Tengah, Tenggara dan Selatan, sedangkan dengan Raja Ampat memiliki
kedekatan dengan Maluku Utara. Oleh karena itu, dalam membahas sejarah masuknya
Islam ke Fakfak kedua alur komunikasi dan relasi ini perlu ditelusuri mengingat
warga masyarakat baik di Semenanjung Onim Fakfak maupun Raja Ampat di Sorong,
keduanya telah lama menjadi wilayah ajang perebutan pengaruh kekuasaan antara
dua buah kesultanan atau kerajaan besar di Maluku Utara (Kesultanan Ternate dan
Tidore). Nampaknya historiografi Papua memperlihatkan bahwa yang terakhir
inilah (Kesultanan Tidore) yang lebih besar dominasinya di pesisir pantai
kepulauan Raja Ampat dan Semenajung Onim Fakfak. Walaupun demikian tidak berarti
bahwa Ternate tidak ada pengaruhnya, justru yang kedua ini dalam banyak hal
sangat berpengaruh.
Dengan adanya pengaruh kedua kesultanan Islam ini di Raja
Ampat, Sorong dan Fakfak, maka telah dapat diduga (dipastikan) bahwa Islam
masuk ke Raja Ampat dan Semenanjung Onim Fakfak serta sebagian besar wilayah
pantai selatan daerah Kepala Burung pada umumnya termasuk kaimana di dalamnya
adalah wilayah lingkup pengaruh kedua kesultanan itu.
proses masuknya Islam ke Indonesia tidak dilakukan dengan
kekerasan atau kekuatan militer. Penyebaran Islam tersebut dilakukan secara
damai dan berangsur-angsur melalui beberapa jalur, diantaranya jalur
perdagangan, perkawinan, pendirian lembaga pendidikan pesantren dan lain
sebagainya, akan tetapi jalur yang paling utama dalam proses Islamisasi di
nusantara ini melalui jalur perdagangan, dan pada akhirnya melalui jalur damai
perdagangan itulah, Islam kemudian semakin dikenal di tengah masyarakat Papua.
Kala itu penyebaran Islam masih relatif terbatas hanya di sekitar kota-kota
pelabuhan. Para pedagang dan ulama menjadi guru-guru yang sangat besar
pengaruhnya di tempat-tempat baru itu.
Bukti-bukti peninggalan sejarah mengenai agama Islam yang
ada di pulau Papua ini, sebagai berikut: 1. terdapat living monument yang
berupa makanan Islam yang dikenal dimasa lampau yang masih bertahan sampai hari
ini di daerah Papua kuno di desa Saonek, Lapintol, dan Beo di distrik Waigeo.
2. tradisi lisan masih tetap terjaga sampai hari ini yang
berupa cerita dari mulut ke mulut tentang kehadiran Islam di Bumi Cendrawasih.
3. Naskah-naskah dari masa Raja Ampat dan teks kuno lainnya
yang berada di beberapa masjid kuno.
4. Di Fakfak, Papua Barat dapat ditemukan delapan manuskrip
kuno brhuruf Arab. Lima manuskrip berbentuk kitab dengan ukuran yang
berbeda-beda, yang terbesar berukuran kurang lebih 50 x 40 cm, yang berupa
mushaf Al Quran yang ditulis dengan tulisan tangan di atas kulit kayu dan
dirangkai menjadi kitab. Sedangkan keempat kitab lainnya, yang salah satunya
bersampul kulit rusa, merupakan kitab hadits, ilmu tauhid, dan kumpulan doa.
Kelima kitab tersebut diyakini masuk pada tahun 1214 dibawa
oleh Syekh Iskandarsyah dari kerajaan Samudra Pasai yang datang menyertai
ekspedisi kerajaannya ke wilayah timur. Mereka masuk melalui Mes, ibukota Teluk
Patipi saat itu. Sedangkan ketiga kitab lainnya ditulis di atas daun koba-koba,
Pohon khas Papua yang mulai langka saat ini. Tulisan tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam tabung yang terbuat dari bambu. Sekilas bentuknya mirip
dengan manuskrip yang ditulis di atas daun lontar yang banyak dijumpai di
wilayah Indonesia Timur.
Saat itu, tahun 1870, Islam dan Kristen sudah menjadi dua
agama yang hidup berdampingan di Papua. Ketika dua agama ini akhirnya masuk ke
wilayahnya, Wertuer sang raja tak ingin rakyatnya terbelah kepercayaannya.
Maka ia membuat sayembara misionaris Kristen dan imam Muslim
ditantang untuk membuat masjid dan gereja. Masjid didirikan di Patumburak,
gereja didirikan di Bahirkendik. Bila salah satu di antara keduanya bisa
menyelesaikan bangunannya dalam waktu yang ditentukan, maka seluruh rakyat
Wertuer akan memeluk agama itu.
Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Papua
http://wawanalbaihaki.blogspot.com/2012/03/sejarah-masuknya-islam-di-papua.html
http://catatancintaabi.wordpress.com/2012/03/06/sejarah-masuknya-islam-di-tanah-papua-pada-abad-16-m/
Setelah sepeninggalan Habib Muhammad Kecil, dan ketika
Belanda masuk ke kota jayapura. Belanda banyak membunuh dan memaksa murtad para
santri2 Habib muhammad kecil kemudian madrasah beliau dan musholah beliau yang
berada di situ di bakar hinggá tidak ada lagi sisa-sisa peninggalan Islam di
kota jayapura yang ada hanya kuburan beliau beserta keluarga beliau.
Letak makam Habib Muhammad kecil atau Habib Muhammad Asghar
di Jalan Sam Ratulangi tepatnya di belakang bekas Kantor asuransi di APO.
Disana hanya dijumpai makam Beliau dan beberapa makam lainnya tanpa nama, yang
dipercaya sebagai keluarga dan pengikut Habib Muhammad kecil atau Habib
Muhammad Asghar.
(Km)
Sumber bacaan :
SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI JAYAPURA dalam http://masjidq.blogspot.com/2009/04/sejarah-masuknya-islam-di-jayapura.html.
Diakses tanggal 5 April 2014
Jejak Peninggalan Islam di Kota Jayapura, Papua (Edisi Ziarah Waliyuallah Jayapura, Papua) dalam http://waliyuallahliveforever.blogspot.com/2013/12/mesjid-baiturahim-di-jayapura-papua.html. Diakses tanggal 5 April 2014
*****
Kemudian islam mulai berkembangan melalui para urban dari, Sulawesi,
Madura, Jawa dan Maluku. Disamping itu beberapa pegawai misalnya Kolonel Thahir
(Tentara), Abu Yamin, (Polisi) Hasan Panjaitan (Sekda) dan Paiyen (Depag RI)
turut turut mendorong proses da’wah di Walesi. Suku Dani Palim Tengah dan Palim
Selatan dari Moiety : Asso-Lokowal Asso-Wetipo, Lani-Wetapo, Wuka-wetapo,
Wuka-Hubi, Lagowan-Matuan dan Walesi, kini banyak yang sudah memeluk agama
Islam dari sejumlah sumber saksi penduduk bahwa Esogalib Lokowal orang paling
pertama masuk Islam. Kemudian Harun Asso (dari Hitigima/Wesapot), Yasa Asso
(dari Hepuba/Wiaima), Horopalek Lokowal, Musa Asso (dari Megapura/Sinata), Donatus
Lani (dari Lanitapo). Megapura, Hitigima, Hepuba, Woma, Pugima dan Walesi (kini
di Walesi clan Asso-Yelipele seluruh warganya 100% beragama Islam) adalah
daerah pertama yang berinteraksi dengan orang Muslim dari berbagai daerah
Indonesia.
Awal Masuk Islam di
Walesi
Di desa Walesi pada tahun 1975-1977 terdapat tiga orang
generasi pertama pemeluk islam yaitu Merasugun, Firdaus dan Muhammad Ali Asso.
Mereka adalah pemeluk Islam paling berhasil mengembangkan Islam menjadi besar.
Walesi kini menjadi pusat Islam (Islamic Centre) di Lembah Palim Wamena.
Merasugun dan tokoh-tokoh Tua lainnya yang didampangi kalangan muda Walesi
adalah generasi muslim pertama yang bersemangat mengorganisasi diri serta
sukses mengembangkan agama Islam dikalangan keluarga di Walesi dan sekitarnya.
Merasugun, Firdaus dan Ali Asso mengorganir da’wah islam,
sehingga diikuti oleh semua masyarakat dari confederasi Asso-Yelipele Walesi.
Orang pertama memeluk agama Islam dari Walesi diantaranya adalah Nyasuok Asso,
Walekmeke Asso, Nyapalogo Kuan, Wurusugi Lani, Heletok Yelipele, Aropeimake
Yaleget, dan Udin Asso. Keislaman mereka ini dikemudian hari memiliki pengaruh
sangat besar eksistensi Islam Walesi dan Muslim Jayawi Jaya hingga kini. Kepala
Suku Besar, Aipon Asso dan Tauluk Asso awalnya menolak islam, karena ajarannya
mengharamkan babi (hewan ternak satu-satunya di Lembah Balim paling utama).
Mereka baru masuk Islam dalam tahun 1978 dan mendapat dukungan seorang militer
berpangkat Kolonel bernama Muhammad Thohir.
Islamic Centre adalah organisasi khusus dan fokus untuk
memperhatikan kaum muslim pribumi didirikan pada tahun 1978. Letnan Kolonel
Dokte Muhammad Mulya Tarmidzi dari Angkatan Laut 10, Hamadi Jayapura, pencetus
dan pelopor utama berdirinya Islamic Centre. Pada mulanya dia datang ke Wamena
dalam kesempatan undangan ceramah setelah berjumpa dengan penduduk asli muslim
(muallaf) dari Walesi, tergerak hatinya dan mendirikan organisasi da’wah Islam
pertama, Islamic Centre yang di ketuai Hasan Panjaitan, (Sekda Jayawi Jaya kala
itu). Islamic Centre dibawah kendali Hasan Panjaitan banyak membantu proses
da’wah selanjutnya. Islam di Walesi berkembang pesat dan dikunjungi berbagai
kalangan pejabat pemerintah muslim dari Kota Wamena dan Ibukota Jayapura.
Para Pencetus dan
Penyebar Islam di Walesi
Merasun Asso (berikutnya hanya ditulis Merasugun) adalah
orang Walesi pertama dan yang paling awal memeluk agama Islam. Merasugun
(Merawesugun) paling besar jasanya dan perjuangannya memperkenalkan Islam
dikalangan masyarakat Walesi hingga menjadi berkembang. Kemudian orang selain
Merasugun yang tidak kalah peran dan jasanya, dalam mengembangkan agama Islam
di Walesi adalah Kalegenye Yaleget.
Kalegenye Yaleget belum pernah menanggalkan busana
kotekanya, dan secara formal belum pernah bersyahadat, namun peran dan
perjuangan demi tegaknya kalimat tauhid di Lembah Palim sangat besar, sejak
dini agama Islam dalam keadaan sulit dan banyak ditentang orang agar jangan
berkembang. Kepeloporan Merasugun sulit dibayangkan dan ketahui, kalau
dibelakangnya juga tanpa ada dukungan sejumlah kepala suku Adat. Hal itu kunci
kesuksesan sekaligus membuat orang tidak berani menentang Merasugun dan
Kalegenye. Kalegenye dan Merasugun yang masih saudara sepupu adalah tokoh tua
pejuang da’wah islam pertama dan utama di Walesi.
Merasugun dan Kalegenye Yaleget yang tidak dapat berbahasa
Indonesia selalu didampingi oleh seorang pemuda bernama Firdaus Asso. Setiap
penyampaian isi hati mereka dalam mencari dukungan da’wah Islam, pada para
pendatang muslim, diterjemahkan oleh Firdaus. Disamping itu Firdaus adalah
seorang pemuda cerdas dan lincah diantara teman-teman sebaya. Sehingga Firdaus
sangat menunjang Merasugun, dalam memperjuangkan da’wah di Jayawi jaya dan
khususnya di Lembah Palim.
Selain mendampingi Merasugun Asso, dengan inisiatif sendiri,
Firdaus, mengajak teman-teman sebayanya, menemui para pejabat beragama Islam
kala itu, untuk minta dukungan pengembangan Islam di Walesi dan Wamena. Karena
itu Firdaus, sosok pemuda pejuang Islam yang populer dan sangat dikenal para
pejabat tinggi Papua mulai dari Gubernur, Pangdam, Kapolda, sampai para pejabat
dinas lainnya.
Demikian juga ketokohan Firdaus Asso, sebagai tokoh muda
Muslim Papua didukung para pedagang (pengusaha) muslim dari Bugis dan Makasar.
Bahkan para Haji kaya dari Madura, Bugis, Makasar dan Buton membantu mendorong
secara financial pengembangan Islam Walesi sebagai Pusat Islam Wamena.
Karena itu sosok Firdaus Asso yang fenomenal, pada tahun 1980- an sangat
dikenal dan popular dikalangan muslim pendatang, dan orang yang paling
dihormati, sebagai tokoh penggerak dan perintis da’wah islamiyyah dikalangan
pendududk pribumi Papua.
Selain Firdaus ada tokoh muda lain seperti Ali Asso. Namun
Firdaus Asso adalah tokoh muda muslim di Jayapura dan Wamena yang sangat
dikenal akrab oleh para pejabat tinggi Papua kala itu. Firdaus juga
disegani dan dihormati oleh rekan-rekanya, karena keberanian dan kepeloporannya
dalam pengembangan da’wah Islam di Jayawi Jaya.
Baca Juga : Sejarah Perkembangan Islam di Papua
Baca Juga : Sejarah Perkembangan Islam di Papua
Kisah Merasugun
Memeluk Islam
Sebagaimana diceriterakan Ali Asso (generasi pemeluk Islam
pertama yang masih hidup), Merasugun mulai mengenal islam melalui hubungan
perdagangan. Merasugun suatu pagi dalam tahun 1975, berangkat dari Walesi
(sekitar 8 km dari Kota Wamena), membawa dagangan kayu bakar, untuk dijual pada
orang-orang pendatang di kota Wamena. Tapi dagangannya tidak laku dibeli hingga
hari sudah menjelang sore. Sementara jarak Walesi-Kota Wamena begitu jauh untuk
pulang hingga larut malam.
Maka Merasugun berinisiatif menukar dagangannya dengan nasi
pada seseorang. Untuk itu Merasugun mendatangi semua penghuni rumah dari pintu
kepintu yang umumnya didiami para pendatang dari luar Papua. Akhirnya pembeli
yang akan menukar dagangan Merasugun dengan nasi itu ketemu juga. Pertemuan
Merasugun dan pembeli kayu itu kelak nanti orang yang pertama
meng-Islam-kan Merasugun. Karena itu segera setelah pulang ke kampungnya,
Merasugun cari kayu bakar di hutan untuk ditukarkan dengan nasi pada orang yang
sama.
Merasugun kemudian mengajak dua anak muda yaitu Firdaus Asso
dan Ali Asso. Selanjutnya rombongan Merasugun, bawa kayu bakar untuk barter
dengan nasi pada pendatang asal Madura itu, yang sebelumnya sudah berkenalan
dengan Merasugun. Dari pertemuan pertama mereka sudah saling kenal, maka ketika
shalat dhuhur tiba pembeli kayu yang beragama Islam itu ingin shalat dahulu.
Tapi apa yang dilakukan kenalannya diintip Merasugun dengan
perasaan aneh dan asing. Merasugun memperhatikan apa yang dilakukan kenalannya
rasa penasaran. Pembeli kayu itu melakukan gerakan yang sebelumnya asing bagi
Merasugun yaitu sholat dan berdo’a dengan gerakan khusyu’. Merasugun dengan perasaan
agak keheranan akhirnya menyadari, bahwa gerakan itu adalah gerakan “Misa dalam
Islam”. Kemudian, Merasugun, kepada dua anak muda yang mendapinginya dalam
bahasa Balim berkomentar demikian : “O..oh.yire esilam meke”!, artinya “Oh, ini
orang Islam"!
Merasugun sebelumnya pernah dengar kabar bahwa Agama Islam
adalah agama yang tidak boleh makan daging babi. Bahkan Merasugun sering
mendengar issu bahwa kehadiran orang- orang pendatang Muslim menyebabkan semua
babi menjadi musnah di Lembah Balim, (dalam agama Islam, memakan gading Babi
hukumnya diharamkan /tidak boleh). Walaupun ada issu bahaya agama Islam,
Merasugun menyuruh Firdaus Asso dan Ali Asso masuk agama islam, dan belajar
melakukan "misa Islam”, (maksudnya sholat). Karena menurutnya orang Muslim
Madura itu baik, tidak seperti diisukan orang-orang dikampungnya. Lalu katanya;
“Kalian boleh masuk Agama Islam karena orang ini baik”! Keinginan dan usulan
Merasugun disetujui dua anak yang masih keponakannya itu.
Kemudian usulan keinginan diterjemahkan Firdaus dan
disampaikan kepada kenalan baru itu. Mereka bertekad mau masuk Agama Islam.
Tapi orang Madura itu keberatan karena alasannya takut ada tuduhan Islamisasi.
Kekhawatiran itu disanggah oleh Merasugun dengan mengatakan bahwa dirinya tidak
menganut agama apapun dan itu adalah keinginan hatinya dan dua anak
keponakannya. Dialog tersebut diterjemahkan oleh Firdaus Asso, yang sudah
lancar berbahasa Indonesia.
Sejenak Orang Madura yang belum dikenal namanya hingga kini
itu berfikir, lalu menatap wajah ketiga orang yang masih lugu dan masih
mengenakan koteka itu. Dan katanya; “Boleh, tapi kamu harus menutup Aurat!”,
Segera ia kekamar dan memberikan serta memakaikan Merasugun celana tanpa
menanggalkan koteka yang sedang dikenakan. Selanjutnya Muslim Madura itu
sampaikan niat tiga orang Suku Dani dari Walesi ini kepada tokoh muslim lain
yang ada di sekitar kota Wamena.
Pada minggu berikutnya Merasugun, Ali Asso, dan Firdaus Asso
disuruh datang pada hari Jum'at. Dan secara resmi disyahadatkan ba'dah jum'at
di masjid Baiturrahman Wamena yang disaksikan oleh jama'ah sholat jum’at.
Minggu-minggu selanjutnya Merasugun, Firdaus Asso dan Ali Asso (dua pemuda ini
kelak pejuang Islam setelah sepeninggal Merasugun tahun yang wafat tahun 1978),
selalu datang ikut sholat Jum’at, dengan tiap pagi jalan kaki turun-naik gunung
sekitar 6 km dari Walesi ke Wamena Kota. Merasugun kira-kira berusia 45 tahun
dan dua anak muda yakni Firdaus Asso,dan Muhammad Ali Asso, keduanya kira-kira
berusia 15 tahun kala itu, adalah generasi pertama yang mula-mula masuk Islam
serta mengembangkan Islam di Walesi.
Perjuangan Merasugun
Asso Dalam Mengembangkan Islam di Walesi
Merasugun tidak lama sesudah masuk Agama Islam meminta agar
dibangunkan "Gereja Islam", (maksudnya, Masjid), di kampungnya di Walesi
sekaligus Sekolah Islam agar anak-anaknya dari clan Assolipele Walesi bisa
sekolah. Untuk maksud ini Merasugun menyediakan tanah wakaf serta menyiapkan
batu, kayu, pasir di kampungnya.
Usulan ini segera disetujui oleh beberapa orang muslim yang
datang di Wamena sebagai Petugas pemerintah sipil maupun militer seperti Pak
Paijen dari Dinas Agama, Pak Thohir dari Kodim, dan Abu Yamin dari Polres
Jayawijaya. Karena itu, sebelum kalau ingin dibangunkan Masjid dan Madrasah di
Walesi, Merasugun harus datang membantu bekerja mengangkat batu dan
mengumpulkan pasir dari Kali Uwe karena Masjid Raya Baiturahman Kota Wamena
saat itu sedang dibangun.
Syarat ini disetujui oleh Merasugun, berikutnya Merasugun,
Ali dan Firdaus Asso pulang ke Walesi dan mengundang segera tenaga kerja kepada
Nyasuok Asso, Nyapalogo Kuan, Aropemake Yaleget, Wurusugi Lani, Udin Asso dan
Walekmeke Asso, untuk mengeruk galian batu dan pasir di sekitar Kota Wamena, dari
Kali Uwe. Keenam orang nama tersebut kelak menjadi pemeluk Agama Islam dari
Walesi gelombang kedua.
Dokter Mulya Tarmidzi
Mengkhitan
Suatu ketika dalam tahun 1978 seorang dokter Kolonel
Angkatan Laut 10 dari Hamadi, Jayapura Propinsi Papua, diundang ceramah datang
ke Kabupaten Jayawijaya, untuk memberikan ceramah, yang tempatnya di gedung
bioskop kota Wamena. Oleh sebab itu Merasugun dan warga lainnya dari Walesi
yang muallaf diundang datang mendengarkan ceramah.
Penceramah yang tidak lain adalah Dokter Kolonel H. Muhammad
Mulya Tarmidzi itu selesai ceramah sampai sekitar jam sebelas malam.
Selanjutnya ia menginap di Hotel Balim. Kira-kira pada jam 12 tengah malam
Merasugun, Firdaus Asso, Nyapalogo Kuan, Nyasuok Asso dan Ali Asso, Aropemake
Yaleget, Udin Asso dan Wurusugi Lani datang mengetuk pintu kamar Dokter Mulya
menginap dengan mengucap salam khas muslim yakni : “Assalamu'alaikum”! Walaupun
sudah tengah malam karena mendengar ucapan salam khas Muslim, Dokter Mulya
Tarmidzi, berani membukakan pintu.
Dan ternyata salam itu berasal dari orang-orang yang masih mengenakan
koteka ini adalah orang yang tadi dilihatnya di gedung Bioskop. Dia sebelumnya
menduga mereka bukan muslim, karena Merasugun dan rombangan lainnya masih
mengenakan Holim/Koteka, (kecuali Firdaus Asso sudah mengenakan celana pendek).
Dan dia menganggap bahwa mereka mungkin pas lagi lewat atau memang sekedar
mencari makanan dalam acara ceramah itu. Tatkala dipersilahkan duduk
diruang tamu di hotel oleh Dokter Mulya Tarmidzi, Merasugun menyampaikan maksud
dan tujuan kedatangannya dengan beberapa pemuda dari Walesi. Setelah minta maaf
karena datang ditengah malam. Lalu Merasugun menyampaikan beberapa usulan yaitu:
a). Permohonan dukungan agar di kampungnya segera
dibangunkan "Gereja Islam”.
b). Anak-anak dari Walesi kelak menjadi pintar seperti
dokter Mulya untuk itu perlu disekolahkan di Jayapura
c). Agar di Walesi di bangunkan Madrasah
Semua usulan diterima dan disetujui secara baik dan kepada
Merasugun dijanjikan oleh dokter Mulia Tarmidzi, bahwa nanti akan diusahakan
secara bertahap dengan mengkoordinasikan usulan Merasugun, kepada orang-orang
Muslim lain terlebih dahulu. Dalam kesempatan itu sejumlah usul dan keinginan
Merasugun semua disampaikan dalam bahasa Wamena kepada Dokter Muhammad Mulya
Tarmidzi, yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Firdaus
Asso yang sudah sekolah di SD Inpres, Megapura sehingga sudah lancar berbahasa
Indonesia.
Selanjuntnya semua usul secara baik disetujui oleh Dokter
Kolonel Haji Muhammad Mulya Tarmidzi dan untuk mendukung keinginan Merasugun
ini segera dibentuk Islamic Centre yang pengurusnya dari pejabat pemda. Esok
harinya dibantu oleh tenaga kesehatan dari Rumah Sakit Kota Wamena; Letnan
Kolonel Muhammad Mulya Tarmidzi, segera menyunat (khitan) 8 orang pertama yang
masuk Agama Islam itu untuk menyempurnakan syahdatnya, kira-kira demikian hemat
Kolonel yang juga Dokter dan Ahli Agama Islam itu. Pada bulan berikutnya dalam
tahun 1978, anak-anak dari Walesi sebanyak 5 orang (termasuk Firdaus Asso dan
Muhammad Ali Asso) di kirim ke Jayapura dan dititipkan kepada beberapa orang
pejabat muslim sebagai orang tua asuhnya.
Demikian sudah harapan dan cita-cita Merasugun terkabul agar
anak-anak dari Walesi untuk disekolahkan diluar Wamena. “Agar kelak ada yang
menjadi seperti Dokter Mulya Tarmidzi,” demikian usul Merasugun yang
diterjemahkan oleh Firdaus Asso. Usulan paling penting diantaranya yang
diusulkan oleh Merasugun adalah kontruksi bangunan model Pondok Pesantren Model
di Jawa yang membuat decak kagum. Dokter Kolonel Muhammad Mulya Tarmidzi,
mengingat Merasugun belum penah tahu kalau yang diusulkannya itu adalah persis
sama model kontruksi dan sistem bangunan lingkungan Pondok Pesantren yang biasa
ada di Pulau Jawa.
Kemudian 20 orang dalam bulan berikutnya dikirim dan diasuh
oleh beberapa Orang Tua Asuh di kota Jayapura. Ongkos pengiriman semua
ditanggung oleh Haji Saddiq Ismail, (kala itu Kabulog Propinsi Irian Jaya) yang
selanjutnya membentuk Kasub Dolog Jayawijaya guna mempermudah menyampaikan
bantauan logistik dan bantuan material lainnya karena di Walesi segera akan
dibangun Masjid dan Madrasah sesuai keinginan dan usulan Merasugun dulu.
Guna memperlancar transportasi dan memudahkan pengangkutan
material bangunan Masjid dan Madrasah Walesi, Ir. Haji Azhari Romuson, Kepala
PU Propinsi Papua segera membangun jalan Walesi-Wamena sekitar 6 Km. Bisa
dibayangkan semua usulan Merasugun dulu sejak Dokter Kolonel Angkatan Laut
Muhammad Mulya Tarmidzi, Haji Saddiq Ismail SH Kadolog Propinsi, dan Ir.
Haji Azhari Romusan dari PU Propinsi adalah cukup besar perannya
perkembangan Islam lebih lanjut di Walesi.
Bertepatan dengan 20 anak Walesi yang dipimpin Firdaus Asso
datang sekolah di Jayapura melanjutkan dipendidikan Panti Asuhan Muhammadiyah
Abepura Jayapura dan Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Kota Propinsi Papua. Dua Kepala
Suku Perang yang Berani dari Clan Assolipele secara resmi disyahadatkan oleh
Kolonel Thahir, di Wamena. Kolonel Thahir adalah Pendatang dari Bugis dan
Tentara yang saat itu bertugas di Kodim Jayawijaya. “Sesungguhnya kita adalah
milik Allah SWT, dan akan dikembalikan kehadirat-Nya kapan saja
dikehendaki-Nya”, “sebagaimana juga Dia memberikan hidayah kepada siapa yang di
kehendaki-Nya”, dan akhimya pada tahun 1980 Merasugun telah dipanggil kehadirat
Alloh SWT, dengan meninggalkan semua usulan da'wahnya yang belum tuntas, yakni
obsesinya mewujudkan kompleks Islamic Centre terutama Masjid dan Madrasah.
Dua tahun sepeninggal Merasugun pada tahun 1982 bangunan
sekolah (Madrasah Ibtidaiyah) dan masjid selesai. Untuk menghormati atas
jasa-jasa semangat perjuangan Merasugun, maka nama Madrasahnya diabadikan
menjadi Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Walesi. Demikian juga dengan Pemuda
Firdaus Asso menyusul dipanggil Allah SWT untuk selamanya pada tahun 1984 di
Jayapura. Firdaus Asso yang sangat berjasa dan berperan besar pengembangkan
Islam dikalangan suku pribumi di Walesi, sesudah Merasugun. Dia menyusul
kepergian Merasugun setelah dua tahun dalam usia yang sangat muda dan produktif
yakni 25 tahun.
Itulah sejarah singkat masuk dan berkembangnya agama islam
di suku pribumi yang berada di wamena. Semoga agama islam menjadi agama yang
berkembang disana.
Sumber bacaan :
Sejarah Islam di Wamena Papua dalam http://ilman-islam.blogspot.com/2012/06/sejarah-islam-wamena-papua.html di akses tanggal 9 Mei 2014
Post a Comment
mohon gunakan email