Wahabi Ketahuan Berdusta! Syiah Tidak Berdusta
“Kutinggalkan sepeninggalku Kitab Allah (Al-Quran) dan itrahku (Ahlulbait). Keduanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat.”
Hadis Tsaqalain (حدیث ثقلین) adalah sebuah hadis yang sangat masyhur dan mutawatir dari Nabi Muhammad Saw yang bersabda, “Kutinggalkan sepeninggalku Kitab Allah (Al-Quran) dan itrahku (Ahlulbait). Keduanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat.”
Hadis ini diterima oleh seluruh kaum Muslimin baik Syiah maupun Sunni, dan termaktub dalam kitab-kitab hadis dari kedua mazhab besar tersebut.
Bagi muslim Syiah, hadis ini merupakan pegangan utama untuk menguatkan doktrin pentingnya keimamahan, menguatkan dalil kemaksuman para Imam As dan juga sebagai dalil yang menetapkan keharusan adanya imam di setiap zaman.
Matan Hadis
Hadis ini meski diriwayatkan dengan jalur yang berbeda, dan dengan bunyi teks yang beragam namun tetap mengandung muatan pesan yang sama. Dalam Ushul Kāfi, yang merupakan salah satu dari empat kitab utama mazhab Syiah menyebutkan:
«…إِنِّی تَارِک فِیکمْ أَمْرَینِ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوا- کتَابَ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ أَهْلَ بَیتِی عِتْرَتِی أَیهَا النَّاسُ اسْمَعُوا وَ قَدْ بَلَّغْتُ إِنَّکمْ سَتَرِدُونَ عَلَی الْحَوْضَ فَأَسْأَلُکمْ عَمَّا فَعَلْتُمْ فِی الثَّقَلَینِ وَ الثَّقَلَانِ کتَابُ اللَّهِ جَلَّ ذِکرُهُ وَ أَهْلُ بَیتِی…».
“Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua pusaka yang jika kalian mengikuti keduanya maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, (yaitu) Kitab Allah dan Itrahku dari Ahlulbaitku. Wahai manusia, dengarkanlah, aku sampaikan kepada kalian, kalian akan menemuiku di tepi telaga al-Haudh. Aku akan mempertanyakan kepada kalian, apa yang telah kalian perbuat terhadap dua pusaka berharga ini, yaitu Kitab Allah dan Ahlulbaitku.” [1]
Sunan Nasai, salah satu dari enam kitab sahih Ahlusunnah, meriwayatkan:
«… کأنی قد دعیت فاجبت، انی قد ترکت فیکم الثقلین احدهما اکبر من الآخر، کتاب الله و عترتی اهل بیتی، فانظروا کیف تخلفونی فیهما، فانهما لن یفترقا حتی یردا علی الحوض…».
“Ajalku sudah mendekat. Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua sesuatu yang sangat berharga, yang salah satu dari yang lainnya lebih besar, (yaitu) Kitab Allah dan Itrah Ahlulbaitku. Karenanya perhatikan bagaimana kalian memperlakukan keduanya. Keduanya tidak akan terpisah sampai kalian menemuiku di tepi telaga al-Haudh.” [2]
Sumber dan Sanad Hadis
Hadis ini termasuk dalam riwayat yang diterima oleh semua ulama Islam baik dari kalangan Syiah maupun Sunni, yang dari sisi sanad tidak seorangpun yang mampu melemahkan dan mengkritiknya.
Sumber dari Literatur Ahlusunnah
Menurut kitab Hadits al-Tsaqalain wa Maqāmāt Ahl al-Bait [3], hadis Tsaqalain ini diriwayatkan lebih dari 25 orang perawi dari kalangan sahabat yang mendengarkan langsung dari Nabi Muhammad Saw.
Berikut di antara nama-nama sahabat yang meriwayatkan hadis Tsaqalain:
*Zaid bin Arqam. Darinya terdapat 6 jalur periwayatan sebagaimana yang tertulis dalam kitab Sunan Nasai [4], al-Mu’jam al-Kabir Thabrani [5], Sunan Tirmidzi [6], Mustadrak Hākim [7], Musnad Ahmad [8] dan sejumlah kitab yang lain.
*Zaid bin Tsabit. Dimuat dalam Musnad Ahmad [9] dan al-Mu’jam al-Kabir Thabrani. [10]
*Jabir bin Abdullah. Dimuat dalam kitab Sunan Tirmidzi [11], al-Mu’jam al-Kabir [12], dan al-Mu’jam al-Ausath [13] Thabrani.
*Huzaifah bin Asid. Dalam kitab al-Mu’jam al Kabir Thabrani. [14].
*Abu Sa’id Khudri. Dalam empat bab dari Musnad Ahmad [15] dan Dhua’fa al-Kabir al-Aqili. [16].
*Imam Ali As, dengan dua jalur periwayatan yang terdapat dalam Dar al-Bahr al-Zakhār atau juga dikenal dengan kitab Musnad al-Bazāz [17] dan Kanz al-‘Ummāl. [18]
*Abudzar Ghifari. Dalam kitab al-Mu’talaf wa al-Mukhtalaf Dāruqutni. [19]
*Abu Huraira. Dalam kitab Kasyf al-Atsār ‘an Zawaid al-Bazār. [20]
*Abdullah bin Hanthab. Dalam Usd al-Ghabah. [21]
*Jubair bin Math’am. Dalam Dhalāl al-Jannah. [22]
Dan sejumlah dari sahabat Anshar, di antaranya: Khuzaimah bin Tsabit, Sahl bin Sa’ad, ‘Adi bin Hatim, Uqbah bin ‘Amir, Abu Ayyub Anshari, Abu Sa’id al-Khudri, Abu Syarih al-Khaza’i, Abu Qadamah Anshari, Abu Laila, Abu al-Haitam bin al-Taihan, dan sebagian lagi dari Bani Qurays yang menghendaki Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As untuk bangkit dengan menukilkan hadis Tsaqalain tersebut. [23]
Bahrani, penulis kitab Ghāyah al-Marām wa Hujjat al-Khishām juga menyebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan melalui 39 jalur yang terdapat dalam banyak kitab Ahlusunnah.
Jadi sebagaimana yang telah disebutkan, hadis ini terdapat setidaknya dalam kitab Musnad Ahmad, Sahih Muslim, Manāqib ibn al-Maghāzali, Sunan Tirmidzi, al-‘Umdah Tsa’labi, Musnad Abi Ya’la, al-Mu’jam al-Ausath Thabrani, al-‘Umdah ibn al-Bathriq, Yanābih al-Mawaddah Qunduzi, al-Tharaif ibn al-Maghāzali, Faraid al-Simthain dan Syarah Nahj al-Balāgah Ibn Abi al-Hadid. [24]
Sumber dari Literatur Syiah
Bahrani, penulis kitab Ghāyah al-Marām wa Hujjat al-Khishām menyebutkan dalam sumber periwayatan Syiah terdapat 82 hadis yang mengandung muatan sebagaimana hadis Tsaqalain, diantaranya terdapat dalam kitab al-Kāfi, Kamāl al-Din, Amāli Shaduq, Amāli Mufid, Amāli Thusi, ‘Uyun Akhbar al-Ridha, al-Ghaibat Nu’māni, Bashāir al-Darajāt dan banyak lagi dari kitab yang lain. [25]
Ulama-ulama Syiah yang secara khusus membahas hadis Tsaqalain dalam karyanya diantaranya terdapat dalam kitab-kitab berikut:
1. Kitab berbahasa Persia: Hadits Tsaqalain, karya Qawam al-Din Muhammad Wasynawi Qumi, Sa’ādat al-Dārin fi Syarah Hadits Tsaqalain buah karya Abdul Aziz Dahlawi.
2. Kitab berbahasa Arab: Hadits Tsaqalain karya Najm al-Din Askari, Hadits Tsaqalain karya Sayyid Ali Milani dan Hadits Tsaqalain wa Maqāmāt Ahl al-Bait karya Ahmad al-Mahuzi.
Waktu dan Tempat Keluarnya Hadis
Mengenai kapan dan dimana hadis Tsaqalain disampaikan oleh Rasulullah Saw, terdapat perbedaan pendapat. Misalnya, Ibnu Hajar Haitami [26] menyebutkan bahwa hadis Tsaqalain disebutkan Nabi Muhammad Saw sekembalinya dari Fathu Mekah di Thaif, namun yang lain menyebutkan waktu dan tempat yang berbeda dari pendapat tersebut.
Perbedaan pendapat yang terjadi tidak bisa ditinggalkan begitu saja, namun setidaknya bisa diambil kesimpulan bahwa terjadinya perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena memang Nabi Muhammad Saw telah menyampaikan hadis tersebut diberbagai tempat dan waktu yang berbeda-beda. Terutama di waktu-waktu terakhir dari kehidupannya, ia sering mengingatkan kaum muslimin akan keutamaan Tsaqalain (dua pusaka berharga) yang ditinggalkannya, yaitu Al-Quran dan Ahlulbait. [27]
Berikut riwayat-riwayat yang menyebutkan tempat dan waktu keluarnya hadis ini:
*Pada hari Arafah, disaat menunggangi unta [28], pada saat penyelenggaran haji wada’ [29]
*Di persimpangan jalan, di sekitar wilayah Ghadir Khum, sebelum para jemaah haji terpisah satu sama lain. [30].
*Disampaikan saat khutbah di hari Jum’at bersamaan dengan disampaikannya hadis Ghadir. [32]
*Sehabis shalat berjama’ah di masjid Khaif, dihari terakhir hari Tasyrik. [33]
*Di atas mimbar. [34]
*Di penghujung khutbah yang dibacakan untuk seluruh jama’ah. [35]
*Di dalam khubah setiap selesai shalat berjamaah. [36]
*Di ranjang, saat Nabi Saw terbujur sakit, sementara para sahabat berdiri mengelilinginya. [37]
Sunnah atau Itrah?
Sebagian literatur Ahlusunnah menyebutkan “sunnati” sebagai pengganti “itrahti” dalam hadis Tsaqalain. [38] Namun teks tersebut jarang ditemukan, bahkan tidak terdapat sama sekali dalam kitab-kitab muktabar Ahlusunnah. Para ulama Ahlusunnah sendiri tidak memberikan perhatian yang cukup besar terhadap hadis yang memuat teks “sunnati” termasuk dari kalangan ahli kalam khususnya dalam pembahasan ikhtilaf antar mazhab.
Siapakah yang Dimaksud Itrah?
Dalam banyak periwayatan, kata ‘Ahlulbait’ mucul sebagai penjelas dari ‘Itrahti’, namun sebagian riwayat hanya menyebutkan ‘Itrat’ [39] dan sebagian lainnya hanya menyebut ‘Ahlulbait’ [40] yang kemudian terulang lagi ketika Nabi Saw menyampaikan pesannya. [41]
Pada sebagian periwayatan-periwayatan Syiah dari hadis Tsaqalain, mengenai penjelasan Ahlulbait Nabi Saw mengisyaratkan keberadaan 12 Imam maksum. [42]
Keutamaan Hadis
Para ulama Syiah meriwayatkan hadis ini dalam banyak kitab-kitab mereka. Yang dengan keberadaan hadis tersebut, mereka menggunakannya sebagai dalil yang menguatkan aqidah Syiah mereka. Mirhamad Husain Kunturi Hindi (w. 1306 H) dalam kitab ‘Abaqāt al-Anwar, jilid 1 sampai 3 menukilkan hadis ini dengan menyandarkan pada periwayatan Ahlusunnah, dan menyebutkan betapa penting dan tingginya posisi hadis ini di sisi mereka. Dalam pembahasan mengenai imamah, hadis ini ia dahulukan sebagai hujjah dibandingkan hadis yang lain.
Dari hadis ini, dapat diambil beberapa poin penting yang dapat menetapkan dan membuktikan kesahihan ajaran Syiah:
Kewajiban Mengikuti Ahlulbait
Dalam riwayat ini, Ahlulbait diposisikan berdampingan dengan Al-Quran. Sebagaimana kaum muslimin diwajibkan untuk menataati Al-Quran, maka menaati Ahlulbait juga wajib hukumnya.
Kemaksuman Ahlulbait
Ada dua poin yang terdapat dalam hadis Tsaqalain yang menguatkan bukti kemaksuman Ahlulbait:
*Menegaskan jika Al-Quran dan Ahlulbait dijadikan pedoman dan petunjuk, maka tidak akan terjadi penyimpangan dan penyelewengan. Hal ini menunjukkan dalam bimbingan dan ajaran Ahlulbait tidak terdapat kesalahan sedikitpun.
*Ketidakterpisahan Al-Quran dan Ahlulbait, Posisi keduanya sama sebagai pusaka Nabi Saw yang sangat berharga dan menjadi pedoman bagi umat manusia. Sebagimana telah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa dalam kitab Al-Quran tidak terdapat kesalahan, maka tsaqal lainnya yaitu Ahlulbait, sudah tentu juga tidak terdapat kesalahan padanya.
Sebagian dari muhakik/peneliti Ahlusunnah juga menjadikan hadis Tsaqalain sebagai dalil yang menunjukkan keutamaan besar yang dimiliki Ahlulbait dan hujjah atas kesucian mereka dari kotoran dan kesalahan. [43]
Keharusan Adanya Imam
Pada matan hadis, juga terdapat poin penting yang menguatkan dalil akan keharusan adanya imam sampai akhir zaman.
*Ketidakterpisahan Ahlulbait dengan Al-Quran menunjukan bukti akan keniscayaan imam dari kalangan Ahlulbait Nabi Saw yang akan terus bersama Al-Quran. Sebagaimana diyakini, al-Quran adalah sumber abadi pedoman dalam berislam, maka meniscayakan akan selalu ada dari kalangan Ahlulbait yang akan mendampingi Al-Quran untuk memberikan penjelasan dan sebagai sumber rujukan.
*Nabi Saw menegaskan bahwa kedua pusaka berharga yang diwariskannya, tidak akan terpisah sampai Nabi Muhammad Saw ditemui di tepi telaga Kautsar.
*Nabi Saw menjamin, barangsiapa mengikuti keduanya, tanpa memisahkannya, maka tidak akan tersesat selama-lamanya.
Imam Zarqani Maliki, salah seorang ulama Ahlusunnah, dalam kitab Syarah a-Mawāhib [44] menukil Allamah Samhudi yang menyatakan, “Dari hadis ini dapat dipahami bahwa, sampai kiamat akan tetap ada dari kalangan Itrah Nabi Saw yang ia layak untuk dijadikan pegangan. Jadi sebagaimana yang tersurat, maka hadis ini menjadi dalil akan keberadaannya. Sebagaimana kitab (yaitu Al-Quran) tetap ada, maka mereka (yaitu Itrah) juga tetap ada di muka bumi.” [45]
Ilmu Ahlulbait Sebagai Narasumber
Sebagaimana diketahui bahwa Al-Quran adalah rujukan utama aqidah dan ahkam amali semua kaum muslimin, sementara hadis ini menyebutkan bahwa Ahlulbait tidak akan pernah terpisah dengan Al-Quran, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Ahlulbait adalah juga sumber rujukan keilmuan Islam yang tidak terdapat di dalamnya kesalahan.
Sayid Abdul -Husain Syaraf al-Din dalam dialognya dengan Syaikh Sulaim Busyra –sebagaimana dimuat dalam kitab al-Murāja’āt- menjelaskan dengan sangat baik mengenai kemarjaan ilmu para Aimmah As dan wajibnya untuk mengikuti petunjuk dan ajaran-ajaran mereka. [46]
Hadis Tsaqalain dan Pendekatan antar Mazhab
Sebagaimana telah disebutkan bahwa hadis Tsaqalain adalah hadis mutawatir yang diakui kesahihannya oleh Syiah dan Sunni, maka sepatutnya keberadaan hadis ini menjadi penyebab dan pendorong upaya persatuan Islam dan upaya pendekatan antar mazhab. Sebagaimana misalnya, yang pernah diupayakan oleh Sayid Abdul Husain Syarafuddin, salah seorang ulama Syiah dengan Syaikh Sulaim Busyra dari ulama Ahlusunnah. Dialog keduanya yang penuh semangat ukhuwah dan persaudaraan Islami dapat dirujuk dalam kitab al-Murājā’at. Atau sebagaimana upaya keras dan konsisten dari Ayatullah Burujerdi untuk menggalakkan aktivitas pendekatan antar mazhab yang tersinpirasi dari pesan hadis Tsaqalain ini. [47]
Catatan Kaki:
[1] Kulaini, Kāfi, jld. 1, hlm. 294.
[2] Nasai, al-Sunan al-Kubra, hadis 8148.
[3] Atsar Ahmad Mahauzi.
[4] Nasai, al-Sunan al-Kubra, hadis 8148.
[5] Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 5, hlm. 186.
[6] Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, hadis 3876.
[7] Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 110.
[8] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 371.
[9] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 5, hlm. 183, 189.
[10] Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 5, hlm. 166.
[11] Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, jld. 5, hlm. 328.
[12] Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, hlm. 66.
[13] Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, jld. 5, hlm. 89.
[14] Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, hlm. 180.
[15] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 3, hlm. 13, 17, 26, 59.
[16] Al-‘Aqili, Dhu’afa al-Kabir, jld. 4, hlm. 362.
[17] Al-Bazzar, al-Bahr al-Zakhār, hlm. 88, hadis 864.
[18] Mutqi Hindi, Kanz al-‘Ummāl, jld. 14, hlm. 77, hadis 37981.
[19] Daruquthni, al-Mutalaf wal Mukhtalaf, jld. 2, hlm. 1046.
[20] Al-Haitami, Kasyf al-Astār, jld. 3, hlm. 223, hadis 2617.
[21] Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah, jld. 3, hlm. 219, no. 2907.
[22] Al-Bani, Dzhalāl al-Jannah, hadis 1465.
[23] Teks lengkap hadis ini terdapat dalam Istijlāb Irtiqā al-Ghraf karya Syams al-Din Sakhawi hlm. 23. Juga terdapat dalam kitab Yanābi’ al-Mawaddah Qunduzi, jld. 1, hlm. 106-107 dan al-Ashābah Ibnu Hajar ‘Asqalani, jld. 7, hlm. 284-245.
[24] Bahrani, Ghāyat al-Marām wa Hujat al-Khishām, jld. 2, hlm. 304-320.
[25] Bahrani, Ghāyat al-Marām wa Hujat al-Khishām, jld. 2, hlm. 320-367.
[26] Al-Haitami, al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 150.
[27] Mufid, al-Irsyād, jld. 1, hlm. 180; Haitami, al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 150; Syaraf al-Din, al-Murājā’at, hlm. 74.
[28] Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, jld. 5, hlm. 662, hadis 3786.
[29] Ahmad bin Ali Tabarsi, al-Ihtijāj, jld. 1, hlm. 391.
[30] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 371; Naisyaburi, Shahih Muslim, jld. 2, hlm. 1873.
[31] Shaduq, Kamāl al-Din wa Tamām al-Ni’mah, jld. 1, hlm. 234, hadis 45 dan hlm. 268, hadis 55; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 109; Syamhudi, Jawāhir al-‘Aqidain, hlm. 236.
[32] Ayyasyi, Kitāb al-Tafsir, jld. 1, hlm. 4, hadis 3.
[33] Shafar Qumi, Bashāir al-Darajāt, hlm. 412-414.
[34] Shaduq al-Amāli, hlm. 62; Juwaini Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 268.
[35] Ayyasyi, Kitāb al-Tafsir, jld. 1, hlm. 5, hadis 9; Ahmad bin Ali Thabarsi, al-Ihtijāj, jld. 1, hlm. 216.
[36] Dailami, Irsyād al-Qulub, jld. 2, hlm. 340.
[37] Al-Haitami, al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 150.
[38] Rujuk ke: Muttaqi Hindi, Kanz al-‘Ummāl, jld. 1, hlm. 187, hadis 948.
[39] Rujuk ke: Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-Ridhā, jld. 2, hlm. 92, hadis 259; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 109.[40] Rujuk ke: Juwaini Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 268; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 23, hlm. 131, hadis 64.
[41] Rujuk ke: Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 367; Darami, Sunan al-Darami, hlm. 828; Naisyaburi, Shahih Muslim, jld. 2, hlm. 1873, hadis 36; Jauni Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 250, 268.
[42] Rujuk ke: Shaduq, Kamāl al-Din, jld. 1, hlm. 278, hadis 25; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 36, hlm. 317.
[43] Manawi, Faidh al-Qadir, jld. 3, hlm. 18-19; Zarqani, Syarah al-Mawāhib al-Diniyah, jld. 8, hlm. 2; Sanadi, Dirāsāt al-Labaib, hlm. 233, sebagaimana dinukil oleh Husaini Milani dalam Nafahāt al-Azhār, jld. 2, hlm. 266-269.
[44] Jilid 8, hlm. 7.
[45] Sebagaimana yang dinukil oleh Amini dalam kitabnya al-Ghadir, jld. 3, hlm. 118.
[46] Silahkan merujuk ke kitab al-Murājāt oleh Syaraf al-Din, hlm. 71-76.
[47] Rujuk ke: Wa’idzhazadeh Khurasani, Hadits Tsaqalain, hlm. 39-40.
Saya jadi teringat sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam berikut :
سَيَخْرُجُ فِي آخِرِ الزَّمانِ قَومٌ أَحْدَاثُ اْلأَسْنَانِ سُفَهَاءُ اْلأَحْلاَمِ يَقُوْلُوْنَ قَوْلَ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَؤُونَ اْلقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنَ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ، فَإذَا لَقِيْتُمُوْهُمْ فَاقْتُلُوْهُمْ ، فَإِنَّ قَتْلَهُمْ أَجْراً لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ اْلقِيَامَة
“ Akan keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda lagi lemah akalnya, berucap dengan ucapan sbeaik-baik manusia (Hadits Nabi), membaca Al-Quran tetapi tidak melewati kerongkongan mereka, mereka keluar dari agama Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya, maka jika kalian berjumpa dengan mereka, perangilah mereka, karena memerangi mereka menuai pahala di sisi Allah kelak di hari kiamat “ (HR. Imam Bukhari : 3342)
Nabi mensifati mereka pada umumnya masih berusia muda tetapi lemah akalnya, atau itu adalah sebuah kalimat majaz yang bermakna orang-orang yang kurang berpengalaman atau kurang berkompetensi dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah bahkan kalam ulama.Subyektivitas dengan daya dukung pemahaman yang lemah dalam memahaminya, bahkan menafsiri ayat-ayat Al-Qur`an dan nash hadits dengan mengedepankan fanatik dan emosional golongan mereka sendiri.
Secara formal kelompok ini pertama kali dipimpin oleh Abdullah ibnu Wahab al-Rasibi sebagai hasil pemilihan di rumah Zaid ibnu Husein oleh Abdullah ibnu Kawwa’, Urwah Ibnu Djarir, dan Yazid ibnu ‘Ashim. Kepemimpinan ini menandai awal gerakan militer Khawarij yang kemudian melahirkan Perang Nahrawan (daerah yang terletak antara kota Wasith dan Baghdad), yaitu perang antara Khawarij dan Khalifah Ali. Perang ini melahirkan implikasi penyebaran pengikut Khawarij di berbagai tempat di luar Irak sebagai konsekuensi logis dari pelarian sejumlah kader Khawarij dari kekalahan Perang Nahrawan. (Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani –w. 548 H-, al-Milal wa al-Nihal. Cet. 3, Beirut: Dar al-Ma’arif, 1993).
Sebagai sebuah entitas Khawarij memiliki sejumlah karakter.
Pertama, memiliki sifat zuhud, wara’,gemar dan berlebih-lebihan dalam beribadah. Ibn Abbas ketika datang pada Khawarij saat diutus Ali berkata: “kening mereka luka-luka karena terlalu lama sujud, dan tangan mereka seperti kaki unta lantaran terlalu banyak sujud.” (Ibn Abd Rabbih –w. 328 H.-, al-‘Iqdul Farid, Jilid 2, hal. 389).
Kedua, suka berperang dan menggunakan cara kekerasan, yaitu seperti memaklumkan perang terhadap setiap orang di luar golongan mereka, mengkafirkan orang: “kalau imam telah kafir, maka kafir pulalah rakyat seluruhnya.” (A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid II, terj. Muchtar Yahya, dan Sanusi Latief. Jakarta: Jayamurni, 1971, hal. 115).
Ketiga, memiliki kesetiaan yang tinggi. Misalnya dalam kasus perang di Asak antara Ubaidillah ibn Ziyad dengan tentara 2000 orang dari pihak Umayyah versus Mirdaz Abu Bila dengan tentara 40 orang dari pihak Khawarij. Ubaidillah ibn Ziyad tidak jadi membunuh Mirdaz, sebagai gantinya diserahkan pada petugas penjara, tetapi petugas penjara memberi kesempatan tinggal di rumahnya pada siang hari, sedangkan pada malam hari kembali ke penjara. (Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari –w. 310 H-, Tarikh al-Tabari, Juz. V, hal. 232).
Keempat, kesederhanaan dan kedangkalan kognitif. Al-Qur’an dijadikan dasar halalnya membunuh. Mereka selalu mengeluarkan dalil surat al-An’am: 57, bahwa tidak ada hukum selain kepunyaan Allah, dan surat al-Maidah: 33, bahwa barang siapa tidak menghukum menurut hukum Allah, maka mereka adalah kafir. Dan bagi siapa saja yang dianggap kafir maka boleh dibunuh, bahkan wanita dan anak-anak boleh dibunuh. Lebih-lebih ketika menyangkut wilayah kepentingan politik. Pembunuhan terhadap Abdullah Ibnu Khabbab karena mengakui kekhalifahan Ali adalah contoh paling awal dari sketsa sejarah kekerasan Khawarij. (Ibn Abd Rabbih –w. 328 H.-, al-‘Iqdul Farid, Jilid 2, hal. 390). Bukti lainnya adalah keluar dari koalisi Ibnu Zubair karena dia tidak mau mengakui kekafiran Utsman, Ali, Zubair, dan kepemimpinan Aisyah ketika berseteru dengan Ali. (Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari –w. , Tarikh al-Thabari, juz. IV, hal. 437).
Khawarij kemudian berkembang menjadi beberapa kelompok seperti al-Zariqah, al-Ibadiyah, al-Najdat, dan al-Shufriyah. Lalu apa hubungannya dengan berdirinya dinasti Saud di Arab Saudi dan juga kelompok yang terkenal dengan sebutan Salafi Wahabi? Buku ini tidak terlalu banyak mengeksplor benang merah antara keduanya. Sebenarnya banyak penelitian lainnya yang menjelaskan hal tersebut, seperti David Commins, The Wahabi Mission and Saudi Arabia, London: I.B. Tauris, 2006. Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah. Sa’id Ramadhan al-Buthi, al-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Mazhab Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 1996.
Sebenarnya istilah Salafi sudah dikenal dalam literatur kitab-kitab klasik. Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada generasi awal pada tiga abad pertama sepeninggal Rasulullah. Namun demikian, saat ini penggunaan istilah Salafi tercemar oleh propaganda kelompok yang gencar melakukan klaim sebagai satu-satunya kelompok pewaris kaum Salaf. Karena itu Olivier Roy menyebut kelompok-kelompok yang mengusung tema atau mengenakan istilah Salaf belakangan ini, disebut sebagai neo-Salafisme. Hasan Ibn Ali al-Segaf dalam bukunya al-Tandid bi Man ‘Addad at-Tauhid menyebut gerakan-gerakan tersebut sebagai Mutamaslif (Meniru-niru seolah Salaf). Lalu keterkaitan antara Salafi dengan Wahabi, terletak pada tataran praksis di mana kelompok Wahabi merasa tersudutkan oleh penisbatan Barat dan kalangan muslim lainnya yang melekatkan gerakan dakwah mereka kepada Muhammad Ibn Abdul Wahab. Oleh karena itu mereka menggunakan istilah Salaf dalam berdakwah, maka kemudian terkenal istilah dakwah Salaf yang kini kian menjamur di Indonesia sebagai tren baru.
Dalam pandangan penulis buku ini, Salafi Wahabi bukanlah khawarij, namun memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda, alias mempunyai sisi kesamaan. Seperti sikap tanpa tedeng aling yang kerap ditunjukkan dalam memerangi hal-hal yang mereka anggap sesat, syirik, dan sebagainya. Propaganda mereka tidak hanya melalui buku, dan radio, tapi juga secara aktif di masyarakat, seperti masjid-masjid dan sarana pendidikan. Demikian pula dengan mengeluarkan fatwa-fatwa atau pernyataan sesat terhadap sesama muslim yang bertentangan dan berbeda dengan pemahaman mereka. Di antara fatwa-fatwa mereka adalah;
1. Haram memotong jenggot apalagi mencukurnya.
2. Haram wanita mengendarai mobil.
3. Haram wanita berbicara di sisi lelaki.
4. Zikir La ilaaha illallah seribu kali sesat dan musyrik.
5. Shalawat setelah azan dosanya sama dengan perzinaan.
6. Kalimat Shadaqallahu al-Azhim Bid’ah dan sesat.
7. Lelaki haram mengajar anak perempuan, dan perempuan haram mengajar anak lelaki.
8. Orang yang meninggalkan shalat berjama’ah tak boleh dinikahi.
9. Haram membangun menara masjid.
10. Ucapan selamat pagi, selamat siang, dan seterusnya berdosa.
11. Ucapan selamat hari raya Idul Fitri atau Idul Adha seperti Kullu ‘Amin wa Antum Bi Khair(semoga setiap tahun anda berada dalam kebaikan) adalah sesat.
12. Haram wanita berpergian sendiri walaupun dalam kondisi aman.
13. Haram menggunakan Tasbih.
Selain itu masih banyak fatwa lainnya yang berada pada tataran mu’amalat dan tidak dicantumkan dalam buku tersebut, seperti fatwa dua orang ulama Saudi, Sheikh Othman Al-Khamees dan Sa’adal-Ghamidi yang melarang kaum perempuan memakai internet atau mendatangi tempat-tempat penyewaan jasa internet kecuali disertai mahramnya. Kemudian fatwa yang dikeluarkanGeneral Association of Saudi Senior Ulama tentang keharaman memberikan bunga saat menjenguk orang yang terbaring sakit karena perilaku itu menyerupai tradisi dan budaya umat non-muslim.
Ada pula fatwa bernuansa kepentingan dan motif ekonomi dari ulama Saudi Arabia yang mengharamkan penggunaan bahan bakar bio fuel dikarenakan dalam bio fuel tersebut terdapat zat ethanol yang dijumpai pada minum beralkohol, oleh karena itu mereka mengharamkan penggunaan bio fuel meskipun industri otomotif mulai beralih untuk memproduksi kendaraan-kendaraan berbahan bakar bio fuel dalam rangka mendukung gerakan ramah lingkungan dan mengantisipasi pemanasan global. Fatwa ini dikeluarkan oleh Sheikh Muhammad al-Najimi, seorang anggota dari Islamic Jurisprudence Academy, berdasarkan dalil ayat tentang keharaman arak atau minuman beralkohol, dan hadis Nabi yang melarang segala jenis transaksi yang mengandung alkohol tersebut. Akan tetapi fatwa ini dikatakan sebagai pendapat pribadi, bukan merupakan fatwa resmi (Official Fatwa) lembaga fatwa negara.
Di Indonesia sendiri, fenomena gerakan dakwah ormas-ormas Islam banyak yang memiliki karakteristik serupa, mereka sering dilabeli berbagai macam sebutan, dari konservatif, skriptural, tekstual, literal, fundamentalisme, revivalisme, dan sebagainya. Melimpahnya kategorisasi ini setimpal dengan penolakan-penolakan atas labelisasi tersebut. Tetapi secara empirik, keberadaan tipikal dakwah puritanisme ala Salafi Wahabi, benar-benar ada di Indonesia. Oleh karena itu penulis buku ini turut melansir beberapa nama, baik tokoh maupun lembaga yang menaungi propaganda atau seide dengan paham Salafi Wahabi tersebut.
Fatwa – fatwa aneh, nyeleneh, dan tidak masuk akal
Para ulama Wahabi memiliki ajaran dan pendapat yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah Saw, para sahabat, dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Misalnya;
1. Dalam kitab karangan Abdullah Ibnu Zaid, ulama Wahabi, yang berjudul al-Iman bi al-Anbiya’i Jumlatan (Beriman Kepada Semua Kitab) disebutkan kalau Adam a,s. bukanlah nabi dan juga bukan rasul Allah.
2. Dalam buku al-Qaulu al-Mukhtar li Fana’i an-Nar karangan Abdul Karim al-Humaid, ulama Wahabi, disebutkan bahwa neraka tidak kekal dan orang-orang kafir tidak diazab selamanya di neraka karena akan dipindahkan ke surga.
3. Dalam buku kaum Wahabi yang berjudul Fatawa al-Mar’ah disebutkan bahwa menceraikan istri ketika haid tidak menyebabkan jatuhnya talak (padahal ‘ijma ulama mengatakan, seorang suami yang menceraikan istrinya ketika sang istri sedang haid, maka talaknya tetap sah dan si istri menjadi haram bagi suaminya).
4. Dalam buku berjudul Fatawa al-Mar’ah juga disebutkan bahwa perempuan tidak boleh menyetir mobil (‘Ijma ulama mengatakan, perempuan boleh mengendarai mobil selagi tidak ada fitnah dan tetap terjaga aurat serta kehormatannya).
5. Dalam buku berjudul Fatawa al-Mar’ah juga disebutkan bahwa suara wanita di sisi lelaki ajnabi (bukan mahram atau orang yang boleh dinikahi) adalah aurat yang haram untuk didengar suaranya. Dengan kata lain, wanita haram berbicara di sisi laki-laki (di zaman Rasulullah Saw, perempuan dapat bertanya langsung kepada beliau tentang urusan agama. Ini berarti, dalam Islam, tak apa-apa perempuan berbicara di sisi laki-laki).
6. Dalam buku Halaqat Mamnu’ah karangan Hisyam al-Aqqad, ulama Wahabi, disebutkan bahwa mengucap zikir la illaha ilallah sebanyak seribu kali adalah sesat dan musyrik (padahal dalam Al Qur’an surah al-Azhab ayat 41 Allah berfirman; “Wahai orang-orang yang beriman berzikirlah dengan menyebut nama Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.”)
7. Ibnu Utsaimin, ulama Wahabi, berkata; “Ziarah kubur bagi wanita adalah haram, termasuk dosa besar, meskipun ziarah ke makam Rasulullah.” (padahal dalam ajaran Islam tak ada larangan wanita melakukan ziarah kubur, termasuk menziarahi makam Rasulullah Saw).
8. Dalam buku at-Tahqiq wa al-Idhah li Katsirin min Masa’il al-Haj wa al-Umrah karangan Abdul Aziz ibnu Abdullah ibnu Baz disebutkan bahwa memotong jenggot, apalagi mencukurnya, hukumnya haram (padahal Islam tidak melarang memendekkan jenggot agar kelihatan rapih, bahkan dianjurkan, karena Allah SWT mencintai keindahan)
9. Ibnu Baz dalam majalah ad-Dakwah edisi 1493 Hijriyah (1995 Masehi) yang diterbitkan Saudi Arabiah menyatakan, haram bagi perempuan muslim mengenakan celana panjang, meskipun di depan suami dan celana panjang itu lebar serta tidak ketat (Islam tidak melarang wanita memakai celana panjang. Apalagi di hadapan suami).
10. Dalam kitab al-Ishabah, al-Juwaijati, imam Masjid Jami’ ar-Raudhah, Damaskus, Syiria, disebutkan, ketika berada di Masjid ad-Daqqaq, Damaskus, salah seorang ulama Wahabi mengatakan, shalawat kepada Rasulullah Saw dengan suara nyaring setelah adzan hukumnya sama seperti seorang anak yang menikahi ibu kandungnya (Islam tidak melarang umatnya bershalawat setelah adzan).
11. Ibnu Baz mengatakan, mengucapkan kalimat shadaqallahu al-adzim (maha Benar Allah dengan segala firman-Nya) setelah selesai membaca Al Qur’an adalah bid’ah sesat dan haram hukumnya (Islam justru menganggap baik mengucapkan kalimat itu karena mengandung pujian kepada Allah, dan sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al Qur’an surah Ali-Imran ayat 95 yang bunyinya; “Katakanlah shadaqallahu (Maha Benar Allah (dengan segala firman-Nya).”)
Dari beberapa contoh di atas jelas sekali terlihat kalau ajaran Wahabi telah keluar dari Islam karena terlalu banyak fatwa para ulama dan ajarannya yang tidak sejalan, bahkan bertolak belakang, dengan ajaran Islam. Maka benar pula lah sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Az-Zakah bab al-Qismah yang penggalan sabdanya berbunyi; “ … Mereka keluar dari agama Islam seperti anak panah tembus keluar dari (badan) binatang buruannya …” Subhanallah.Tak ada yang abadi di dunia ini. Begitu pula dengan kejayaan Wahabi. Karena menganggap umat Islam selain pengikut ajarannya adalah kafir dan selalu memerangi, bahkan membunuhi umat Islam dengan dalih jihad fisabilillah, lambat laun antipati terhadap sekte ini meluas di seluruh wilayah Jazirah Arab, sehingga pada akhir abad 19 dakwah para ulama Wahabi tak laku lagi. Bahkan selalu dicerca dan dikecam.
Sadar kalau sektenya dalam bahaya, dengan didukung pemerintah Arab Saudi dan Inggris tentu saja, para ulama penerus Muhammad bin Abdul Wahab menggunakan jurus baru untuk tetap mengeksiskan sekte ini di muka bumi. Apalagi karena sejarah Wahabi yang kelam dan kotor membuat tak sedikit pengikutnya yang menjadi risih setiap kali berhadapan dengan pengikut sekte Islam yang lain, terutama jika berhadapan dengan pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.Dalam bukunya yang berjudul as-Syalafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarokah La Madzhab Islami, Prof. Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi mengungkapkan, Wahabi mengubah strategi dakwahnya dengan mengganti nama menjadi Salafi karena mengalami banyak kegagalan dan merasa tersudut dengan panggilan Wahabi yang dinisbatkan kepada pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. Oleh karena itu, sebagian muslimin menyebut mereka sebagai Salafi Palsu ataumutamaslif.
Menurut buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, penggunaan nama Salafi untuk Wahabi, sehingga sekte ini sekarang dikenal dengan nama Salafi Wahabi, pertama kali dipopulerkan oleh salah seorang ulama Wahabi yang bernama Nashiruddin al-Albani, seorang ulama yang dikenal sangat lihai dalam mengacak-acak hadist, dan juga seorang ahli strategi. Hal ini diketahui berdasarkan dialog Albani dengan salah seorang pengikutnya, Abdul Halim Abu Syuqqah, pada Juli 1999 atau pada Rabiul Akhir 1420 Hijriyah.
Selain mengganti nama, sekte ini juga mengubah strategi dakwahnya dengan mengusung platform dakwah yang sekilas, jika tidak dipahami benar maksud dan tujuannya, terkesan sangat indah, terpuji dan agung, yakni “kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah”. Apa yang salah dengan platform ini? Gampang dijawab.
Wahabi adalah sekte dengan ajaran yang bahkan oleh para ulama pengikut mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali dianggap sebagai AJARAN SESAT. Pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab, adalah seorang pria arogan, kasar, dan telah dicuci otak oleh Kementerian Persemakmuran melalui salah seorang agen mata-matanya, Hempher, sehingga telah menyimpang jauh dari ajaran Islam. Ulama-ulamanya pun, termasuk Ibnu Taimiyah, mengeluarkan fatwa-fatwa yang ganjil, nyeleneh dan juga tidak sesuai dengan ajaran Islam. Lalu, bagaimana mereka dapat mengajak setiap Mukmin kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw yang dijabarkan dan dijelaskan para ulama dalam hadist? Al Qur’an dan Sunnah yang mana yang mereka maksud? Ibnu Taimiyah sendiri, karena fatwa-fatwanya yang nyeleneh dan menyimpang dari Islam, ditangkap, disidang, di penjara di Damaskus, dan meninggal di penjara itu. Sejarah mencatat, sedikitnya ada 60 ulama, baik yang hidup di zaman Ibnu Taimiyah maupun yang sesudahnya, yang mengungkap kejanggalan dan kekeliruan fatwa-fatwa ulama Wahabi itu dan juga ajaran Wahabi.
Penggunaan nama salafi, sehingga kini Wahabi menjadi Salafi Wahabi pun wajib dipertanyakan, karena salafi merupakan sebuah bentuk penisbatan kepada as-salaf yang jika ditinjau dari segi bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita. Sedang dari segi terminologi, as-salaf adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah Saw dalam hadistnya; “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka (tabi at-tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim). Jadi, berdasarkan hadist ini, as-salaf adalah para sahabat Rasulullah Saw, tabi’in(pengikut Nabi setelah masa sahabat) dan tabi at-tabi’in (pengukut Nabi setelah masa tabi’in, termasuk di dalamnya para imam mazhab karena mereka hidup di tiga abad pertama setelah Nabi saw. wafat). Maka jangan heran jika dalam bukunya as-Syalafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarokah La Madzhab Islami, Prof. Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi menyebut kalau sebagian muslimin menyebut Salafi Wahabi sebagai Salafi Palsu atau mutamaslif.
Yang juga perlu diwaspadai, kadangkala penganut ajaran Wahabi juga menyebut diri merekaAhlus Sunnah, namun biasanya tidak diikuti dengan wal Jama’ah untuk mengkamuflasekan diri agar umat Islam yang awam tentang aliran-aliran/sekte-sekte/golongan-golongan dalam Islam, masuk ke dalam golongannya tanpa tahu sekte ini menyimpang, dan mengamini ajarannya sebagai ajaran yang benar. Karena itu penting bagi setiap Muslim untuk mempelajari sejarah agamanya, dan sekte-sekte yang berada di dalamnya.Faham Salafi Wahabi masuk Indonesia pada awal abad 19 Masehi. Menurut buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, faham sesat ini dibawa oleh segelintir ulama dari Sumatera Barat yang bersinggungan dengan sekte ini ketika sedang menunaikan ibadah haji di Mekah.
Namun demikian, para ulama ini tidak menelan mentah-mentah ajaran Wahabi, melainkan hanya mengambil spirit pembaharuannya saja. Buku karya Syaikh Idahram itu bahkan menyebut, spirit yang diambil ulama Sumatera Barat dari faham Wahabi kemudian menjelma menjadi gerakan untuk melawan penjajah Belanda yang berlangsung pada 1803 hingga sekitar 1832 yang kita kenal dengan nama gerakan Kaum Padri dimana salah satu tokohnya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini tidak sekeras dan sekaku Wahabi karena dikulturisasi dengan budaya lokal, sehingga mudah diterima masyarakat.Keberadaan Wahabi di Indonesia semakin nyata ketika pada awal 1980-an berdatangan elemen-elemen pergerakan dakwah Islam dari luar negeri, sehingga muncul kelompok-kelompok dakwah seperti Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin), Hizbut Tahrir, dan Jama’ah Islamiyah (JI). BahkanJI, menurut Polri, adalah pelaku serangkaian aksi teror bom di Tanah Air, termasuk Bom Bali I dan II, dimana Noor Din M Top, DR. Azahari, dan Imam Samudera cs berada di dalamnya. Pemimpin JI, menurut Polri, salah satunya adalah Abu Bakar Ba’asyir.
Masih menurut buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, pada 1995 Wahabi mulai memiliki media cetak di Indonesia dengan terbitnya Majalah Salafi yang dibidani Ja’far Umar Thalib dan kawan-kawan. Ja’far Umar Thalib juga kita ketahui sebagai Panglima Laskar Jihad.
Saat ini Wahabi telah terpecah menjadi dua faksi, yakni Salafi Yamani dan Salafi Haraki. Selain berjenggot dan mengenakan celana yang menggantung di atas tumit, para pengikut Wahabi dapat dikenali dari ciri-ciri sebagai berikut:
1. Selalu menggerak-gerakkan telunjuk naik turun saat tasyahhud awal maupun akhir (padahal Rasulullah Saw tidak pernah melakukan hal ini, karena seperti dijelaskan para ahli fikih, yang dimaksud menggerakkan telunjuk saat tasyahhud adalah dari kondisi tanggan menggenggam, telunjuk digerakkan hingga menunjuk ke depan (isyarah). Hanya itu, dan tidak digerak-gerakkan. Apa yang dilakukan pengikut Wahabi adalah bid’ah)
2. Sesuai doktrin sekte ini, pengikutnya diberikan penggambaran bahwa seperti halnya manusia, Allah SWT juga memiliki wajah, dua mata, mulut, gigi, dua tangan lengkap dengan telapak tangan dan jari-jemari, dada, bahu, dan dua kaki yang lengkap dengan telapak kaki dan betis. Allah berupa seorang pemuda berambut gelombang dan berpakaian merah. Allah duduk di atasArasy seperti layaknya manusia duduk di kursi. Dia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dan turun dari langit yang satu ke langit yang lain. Jika Allah duduk di Arasy, maka akan terdengar suara mengiuk seperti bunyi pelana kursi unta yang baru diduduki (doktrin ini mirip doktrin dalam Kristen, dimana Isa a.s yang dianggap sebagai anak Tuhan merupakan seorang pemuda dengan rambut bergelombang dan berselendang merah).
3. Pengikut sekte ini memiliki doktrin bahwa tauhid dibagi tiga, yakni tauhid rububiyah, uluhiyahdan asma was sifat, sehingga diyakini bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab lebih baik, lebih bertauhid, dan lebih ikhlas dalam beriman kepada Allah SWT daripada umat Islam (padahal dalam Al Qur’an kedua tokoh ini justru dilaknat Allah SWT).
4. Selalu berbeda dalam menentukan hari-hari penting. Misalnya, berpuasa hanya 28 hari di bulan Ramadhan (Ahlus Sunnah wal Jama’ah 29 atau 30 hari), dan pada 1419 Hijriyah (1999 Masehi) menetapkan bahwa waktu wukuf di Arafah bagi jemaah haji pada 17 Maret, padahal para ahli falak berdasarkan hilal menetapkan bahwa waktu wikuf pada 18 Maret.
5. Sangat kaku dan sangat letterlijk (terlalu harfiah) dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an dan hadist (padahal Islam sangat fleksibel. Apalagi karena Islam diturunkan Allah sebagai rahmatan lil alamin).
6. Mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham, dan mudah menuding apa yang dilakukan umat Islam sebagai bid’ah dan musyrik, seperti misalnya melakukan ziarah kubur dan mengucapkan “shadaqallahu al-adzim” setelah membaca Al Qur’an.
Wahabi Memalsukan Kitab Para Ulama Salaf
Buku ini bagus sekali untuk membentengi aqidah ASWAJA dari virus-virus wahabi, merupakan kelanjutan dari jilid pertamanya yang berjudul “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi“.
Catatan Lengkapnya:
Saudi + Wahabi = Salafi
Buku ini menyingkap hal-hal penting di balik wabah pengkafiran atau menyebut orang lain kafir, pembid’ahan, penyesatan, dan gerakan-gerakan semacamnya di antara umat muslim yang marak belakangan ini, khususnya di Indonesia. Dalam pengantar buku ini, Said Agil Siradj berpendapat bahwa sejak 37 Hijriah, gerakan-gerakan tersebut telah dijumpai di dunia Islam. Terutama dengan kemunculan kalangan Khawarij sebagai kelompok oposisi, baik terhadap Ali dan pendukung (Shi‘at) beliau. Demikian pula terhadap Mu‘awiyah. Bahkan benihnya telah ada pada masa Nabi, ketika di bulan Syawal tahun 8 Hijriah, seusai Nabi memenangkan perang Thaif dan Hunain. Dalam perang ini diperoleh harta rampasan atau ghanimah yang melimpah. Dalam pembagian yang dilakukan di Ja‘ranah, para sahabat senior seperti Abu Bakar, Uthman, Ali, dan Umar Ibn Khattab tidak mendapatan bagian, namun sahabat yang baru menjadi muallaf alias masuk Islam, justru lebih diprioritaskan oleh Nabi, termasuk di antara mereka yang sesungguhnya berasal dari kalangan kaya raya.
Tiba-tiba seseorang bernama Dzul Khuwaishirah dari keturunan Bani Tamim maju ke depan dan berkata, “Berlaku adillah, hai Muhammad!”, lantas Nabi menjawab: “Celakalah kamu, siapa yang akan berbuat adil kalau aku saja tidak berbuat adil?”, sementara Umar yang naik pitam berkata, “Wahai Rasul, biarkan kupenggal saja lehernya.” Nabi menjawab, “Biarkan saja!” ketika orang itu berlalu, Nabi berkata pada sahabatnya, “Akan lahir dari keturunan orang ini kaum yang membaca al-Qur’an, tapi tidak sampai melewati batas tenggorokannya. Mereka keluar dari Islam seperti anak panah tembus keluar dari badan binatang buruannya. Mereka memerangi orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Kalau aku menemui mereka niscaya akan kupenggal lehernya seperti kaum ‘Ad.” (HR. Muslim pada Kibat al-Zakah, bab al-Qismah). Dalam riwayat lain beliau bersabda, “Mereka itu sejelek-jeleknya mahluk bahkan lebih jelek dari binatang. Mereka tidak termasuk dalam golonganku, dan aku tidak termasuk dalam golongan mereka.”
Secara antropologis, kaum Khawarij adalah suku nomad yang melakukan migrasi ke daerah Eufrat pada saat penaklukan Islam ke kawasan tersebut. Kebanyakan dari mereka berasal dari suku Tamim yang memiliki cara berfikir nomad, yaitu menerima sesuatu dengan penuh keyakinan dan berani. Lebih dari itu, kaum Khawarij memiliki karakter zuhud dan ahli ibadah sebagaimana ditunjukkan oleh pemimpinnya Abdullah bin Wahab yang terkenal dengan julukan Dzuts-Tsafanat(orang yang didahinya ada tanda sujud). Karakter ini membuat mereka kukuh dalam mempertahankan pendiriannya. Dengan modal kesalehannya, mereka mampu menyakinkan masyarakat Kufah dan sebagian kalangan Shi’ah untuk bergabung bersamannya. (Rasul Ja’farian, History of The Caliphs: From The Death of The Messenger(s) to the Decline of the Umayyad Dynasty 11-132 AH. Ansarian, 2003).
Penamaan Khawarij berasal dari kata kerja kharaja (telah keluar) yang digunakan untuk menggambarkan mereka sebagai kelompok yang keluar dari dan menentang kebijakan politik Ali tentang Tahqim di mana mereka sebelumnya merupakan pengikutnya. Namun, mereka sendiri menamakan dirinya dengan Syurah (pembeli) yang berarti membeli akhirat dengan kehidupan duniawi. (A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid II, terj. Muchtar Yahya, dan Sanusi Latief. Jakarta: Jayamurni, 1971). Sebutan lainnya adalah Haruriyah, penisbatan pada nama desa Harurahdekat sungai Furat kota Riqqah yang didiaminya lantaran mereka tidak mau tinggal di Kufah pasca Perang Shiffin. Di samping itu ada sebutan lainnya bagi golongan ini, yaitu Muhakkimah, adalah golongan yang memiliki pandangan, bahwa “tidak ada hukum selain Allah”.
Secara formal kelompok ini pertama kali dipimpin oleh Abdullah ibnu Wahab al-Rasibi sebagai hasil pemilihan di rumah Zaid ibnu Husein oleh Abdullah ibnu Kawwa’, Urwah Ibnu Djarir, dan Yazid ibnu ‘Ashim. Kepemimpinan ini menandai awal gerakan militer Khawarij yang kemudian melahirkan Perang Nahrawan (daerah yang terletak antara kota Wasith dan Baghdad), yaitu perang antara Khawarij dan Khalifah Ali. Perang ini melahirkan implikasi penyebaran pengikut Khawarij di berbagai tempat di luar Irak sebagai konsekuensi logis dari pelarian sejumlah kader Khawarij dari kekalahan Perang Nahrawan. (Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani –w. 548 H-, al-Milal wa al-Nihal. Cet. 3, Beirut: Dar al-Ma’arif, 1993).
Sebagai sebuah entitas Khawarij memiliki sejumlah karakter. Pertama, memiliki sifat zuhud, wara’,gemar dan berlebih-lebihan dalam beribadah. Ibn Abbas ketika datang pada Khawarij saat diutus Ali berkata: “kening mereka luka-luka karena terlalu lama sujud, dan tangan mereka seperti kaki unta lantaran terlalu banyak sujud.” (Ibn Abd Rabbih –w. 328 H.-, al-‘Iqdul Farid, Jilid 2, hal. 389).
Kedua, suka berperang dan menggunakan cara kekerasan, yaitu seperti memaklumkan perang terhadap setiap orang di luar golongan mereka, mengkafirkan orang: “kalau imam telah kafir, maka kafir pulalah rakyat seluruhnya.” (A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid II, terj. Muchtar Yahya, dan Sanusi Latief. Jakarta: Jayamurni, 1971, hal. 115).
Ketiga, memiliki kesetiaan yang tinggi. Misalnya dalam kasus perang di Asak antara Ubaidillah ibn Ziyad dengan tentara 2000 orang dari pihak Umayyah versus Mirdaz Abu Bila dengan tentara 40 orang dari pihak Khawarij. Ubaidillah ibn Ziyad tidak jadi membunuh Mirdaz, sebagai gantinya diserahkan pada petugas penjara, tetapi petugas penjara memberi kesempatan tinggal di rumahnya pada siang hari, sedangkan pada malam hari kembali ke penjara. (Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari –w. 310 H-, Tarikh al-Tabari, Juz. V, hal. 232).
Keempat, kesederhanaan dan kedangkalan kognitif. Al-Qur’an dijadikan dasar halalnya membunuh. Mereka selalu mengeluarkan dalil surat al-An’am: 57, bahwa tidak ada hukum selain kepunyaan Allah, dan surat al-Maidah: 33, bahwa barang siapa tidak menghukum menurut hukum Allah, maka mereka adalah kafir. Dan bagi siapa saja yang dianggap kafir maka boleh dibunuh, bahkan wanita dan anak-anak boleh dibunuh. Lebih-lebih ketika menyangkut wilayah kepentingan politik. Pembunuhan terhadap Abdullah Ibnu Khabbab karena mengakui kekhalifahan Ali adalah contoh paling awal dari sketsa sejarah kekerasan Khawarij. (Ibn Abd Rabbih –w. 328 H.-, al-‘Iqdul Farid, Jilid 2, hal. 390). Bukti lainnya adalah keluar dari koalisi Ibnu Zubair karena dia tidak mau mengakui kekafiran Utsman, Ali, Zubair, dan kepemimpinan Aisyah ketika berseteru dengan Ali. (Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari –w. , Tarikh al-Thabari, juz. IV, hal. 437).
Khawarij kemudian berkembang menjadi beberapa kelompok seperti al-Zariqah, al-Ibadiyah, al-Najdat, dan al-Shufriyah. Lalu apa hubungannya dengan berdirinya dinasti Saud di Arab Saudi dan juga kelompok yang terkenal dengan sebutan Salafi Wahabi? Buku ini tidak terlalu banyak mengeksplor benang merah antara keduanya. Sebenarnya banyak penelitian lainnya yang menjelaskan hal tersebut, seperti David Commins, The Wahabi Mission and Saudi Arabia, London: I.B. Tauris, 2006. Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah. Sa’id Ramadhan al-Buthi, al-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Mazhab Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 1996.
Sebenarnya istilah Salafi sudah dikenal dalam literatur kitab-kitab klasik. Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada generasi awal pada tiga abad pertama sepeninggal Rasulullah. Namun demikian, saat ini penggunaan istilah Salafi tercemar oleh propaganda kelompok yang gencar melakukan klaim sebagai satu-satunya kelompok pewaris kaum Salaf. Karena itu Olivier Roy menyebut kelompok-kelompok yang mengusung tema atau mengenakan istilah Salaf belakangan ini, disebut sebagai neo-Salafisme. Hasan Ibn Ali al-Segaf dalam bukunya al-Tandid bi Man ‘Addad at-Tauhid menyebut gerakan-gerakan tersebut sebagai Mutamaslif (Meniru-niru seolah Salaf). Lalu keterkaitan antara Salafi dengan Wahabi, terletak pada tataran praksis di mana kelompok Wahabi merasa tersudutkan oleh penisbatan Barat dan kalangan muslim lainnya yang melekatkan gerakan dakwah mereka kepada Muhammad Ibn Abdul Wahab. Oleh karena itu mereka menggunakan istilah Salaf dalam berdakwah, maka kemudian terkenal istilah dakwah Salaf yang kini kian menjamur di Indonesia sebagai tren baru.
Dalam pandangan penulis buku ini, Salafi Wahabi bukanlah khawarij, namun memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda, alias mempunyai sisi kesamaan. Seperti sikap tanpa tedeng aling yang kerap ditunjukkan dalam memerangi hal-hal yang mereka anggap sesat, syirik, dan sebagainya. Propaganda mereka tidak hanya melalui buku, dan radio, tapi juga secara aktif di masyarakat, seperti masjid-masjid dan sarana pendidikan. Demikian pula dengan mengeluarkan fatwa-fatwa atau pernyataan sesat terhadap sesama muslim yang bertentangan dan berbeda dengan pemahaman mereka. Di antara fatwa-fatwa mereka adalah;
1. Haram memotong jenggot apalagi mencukurnya.
2. Haram wanita mengendarai mobil.
3. Haram wanita berbicara di sisi lelaki.
4. Zikir La ilaaha illallah seribu kali sesat dan musyrik.
5. Shalawat setelah azan dosanya sama dengan perzinaan.
6. Kalimat Shadaqallahu al-Azhim Bid’ah dan sesat.
7. Lelaki haram mengajar anak perempuan, dan perempuan haram mengajar anak lelaki.
8. Orang yang meninggalkan shalat berjama’ah tak boleh dinikahi.
9. Haram membangun menara masjid.
10. Ucapan selamat pagi, selamat siang, dan seterusnya berdosa.
11. Ucapan selamat hari raya Idul Fitri atau Idul Adha seperti Kullu ‘Amin wa Antum Bi Khair(semoga setiap tahun anda berada dalam kebaikan) adalah sesat.
12. Haram wanita berpergian sendiri walaupun dalam kondisi aman.
13. Haram menggunakan Tasbih.
Selain itu masih banyak fatwa lainnya yang berada pada tataran mu’amalat dan tidak dicantumkan dalam buku tersebut, seperti fatwa dua orang ulama Saudi, Sheikh Othman Al-Khamees dan Sa’adal-Ghamidi yang melarang kaum perempuan memakai internet atau mendatangi tempat-tempat penyewaan jasa internet kecuali disertai mahramnya. Kemudian fatwa yang dikeluarkanGeneral Association of Saudi Senior Ulama tentang keharaman memberikan bunga saat menjenguk orang yang terbaring sakit karena perilaku itu menyerupai tradisi dan budaya umat non-muslim.
Ada pula fatwa bernuansa kepentingan dan motif ekonomi dari ulama Saudi Arabia yang mengharamkan penggunaan bahan bakar bio fuel dikarenakan dalam bio fuel tersebut terdapat zat ethanol yang dijumpai pada minum beralkohol, oleh karena itu mereka mengharamkan penggunaan bio fuel meskipun industri otomotif mulai beralih untuk memproduksi kendaraan-kendaraan berbahan bakar bio fuel dalam rangka mendukung gerakan ramah lingkungan dan mengantisipasi pemanasan global. Fatwa ini dikeluarkan oleh Sheikh Muhammad al-Najimi, seorang anggota dari Islamic Jurisprudence Academy, berdasarkan dalil ayat tentang keharaman arak atau minuman beralkohol, dan hadis Nabi yang melarang segala jenis transaksi yang mengandung alkohol tersebut. Akan tetapi fatwa ini dikatakan sebagai pendapat pribadi, bukan merupakan fatwa resmi (Official Fatwa) lembaga fatwa negara.
Di Indonesia sendiri, fenomena gerakan dakwah ormas-ormas Islam banyak yang memiliki karakteristik serupa, mereka sering dilabeli berbagai macam sebutan, dari konservatif, skriptural, tekstual, literal, fundamentalisme, revivalisme, dan sebagainya. Melimpahnya kategorisasi ini setimpal dengan penolakan-penolakan atas labelisasi tersebut. Tetapi secara empirik, keberadaan tipikal dakwah puritanisme ala Salafi Wahabi, benar-benar ada di Indonesia. Oleh karena itu penulis buku ini turut melansir beberapa nama, baik tokoh maupun lembaga yang menaungi propaganda atau seide dengan paham Salafi Wahabi tersebut.
Judul buku: Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi
Penulis: Syaikh Idahram
Penerbit: Pustaka Pesantren, 2011
Mungkin ada yang beranggapan bahwa isu wahabi merupakan isu jadul yang sengaja dihembuskan kembali. Tetapi kesimpulan seperti itu tidak berhenti di situ saja jika melihat perkembangan dan fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat. Artinya wahabi bukan cuma sekedar isu, tetapi juga fenomena sosial yang berkaitan dengan politik, ekonomi dan akademik. Sama seperti jika kita membicarakan ideologi, agama, dan sebagainya. Ada berbagai macam isu yang terus berkembang dan tidak pernah stagnan.
Menguatnya pembicaraan tentang Wahabi tidak urung lagi berkaitan erat dengan kian banyaknya pemberitaan dan literatur penelitian yang membahas hal ini. Seperti yang dikatakan Azyumardi Azra dalam pengantar buku jilid ke-2, mengenai penelitian terbaru seputar Wahabi, yakni buku karya Natana J. Delong-Bas, Wahabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad (Oxford-Cairo: Oxford University Press, 2005). Wahabi merupakan aliran pemikiran dan gerakan politik yang paling tidak toleran dalam Islam, yang berusaha dengan cara apapun –termasuk jalan kekerasan- untuk menerapkan apa yang dianggap oleh mereka sebagai “Islam Murni”. Ini bisa terlihat dari pemikiran dan kiprah Muhammad Ibn Abd al-Wahab di tanah Hijaz sejak abad ke-18, yang menguasai lanskap keagamaan di Saudi Arabia setelah menduduki Mekkah dan Madinah bersama dengan trah Saud.
Semua golongan yang dianggap telah melakukan Bid’ah atau kesesatan dibasmi dengan menggunakan segala cara termasuk dengan kekerasan. Sampai kini Wahabi tetap dianut dan diterapkan dalam sistem pemerintah Saudi Arabia, demikian pula dengan penyebaran atau mengimpor ajaran itu ke seluruh dunia Islam juga terus digencarkan, seperti melalui pemberian dana dan bantuan lainnya kepada institusi, organisasi, dan kelompok-kelompok dalam komunitas muslim. Dalam bidang akademis, salah satu caranya dengan membagikan literatur karangan Muhammad Ibn Abd al-Wahab agar proses transmisi keilmuan, pola pikir, dan gerakan mereka terealisasi dengan baik.
Pada buku kedua ini, sang penulis buku membeberkan bagaimana kelompok Wahabi berupaya memalsukan buku-buku karya ulama klasik dan sejumlah ajaran-ajaran yang menjadi pondasi dasar keyakinan mereka. Misalkan pemalsuan kitab Diwan Imam al-Syafi’i. Kelompok Wahabi sangat membenci kaum sufi yang mereka tuding sesat, karena itu mereka menghilangkan beberapa bagian nasihat Imam Syafi’I tentang sufistik dalam buku versi terbitan mereka. Padahal di buku-buku lainnya versi penerbit lain yang berasal dari Beirut, Damaskus, dan Kairo.
Imam Syafi’I berujar: “Jadilah ahli Fikih dan Sufi Sekaligus, jangan hanya salah satunya. Sungguh demi Allah, saya benar-benar ingin memberi nasihat kepadamu. Orang yang hanya memelajari ilmu fikih tetapi tidak memelajari ilmu tasawuf, maka hatinya keras dan tidak dapat merasakan nikmatnya takwa, sebaliknya orang yang hanya memelajari tasawuf saja akan menjadi bodoh, tidak tahu yang benar.”
Bait ini kemudian dihilangkan oleh penerbit-penerbit buku di Saudi. Selanjutnya demikian pula dengan kitab hadis Shahih Bukhari, seperti penghilangan pasal al-Ma’rifah pada Bab al-Mazhalim, padahal dalam kitabFath al-bari karya Ibn Hajar al-Asqalani yang menjadi Syarh atau berfungsi untuk menjelaskan kitab Shahih Bukhari, di situ ditulis jelas mengenai komentar Ibn Hajar mengenai hadis-hadis yang terdapat di dalam pasalal-Ma’rifah. Kemudian pada kitab Shahih Muslim ada sebuah hadis tentang keutamaan empat perempuan terbaik di dunia yakni; Siti Maryam (Ibunda Nabi Isa), Siti Asiah (Istri Firaun, ibunda angkat Nabi Musa), Siti Khadijah, dan Siti Fatimah. Tetapi dalam cetakan penerbit Saudi, Masykul, justru hadis yang tercantum dalam bab Fadhail Khadijah (keutamaan Khadijah) itu dihilangkan. Malah yang dicantumkan adalah hadis tentang keutamaan istri Nabi yang bernama Aisyah. Mengapa hal ini terjadi, disinyalir hadis tersebut jika dicantumkan maka kaum Syi’ah dapat menemukan justifikasi tentang keutamaan Khadijah yang melahirkan Fatimah sebagai keluarga (Ahl Bait) Nabi, sebaliknya Aisyah dalam Perang Unta pernah berperang melawan Ali yang menantu Nabi serta suami Fatimah. Oleh karena itu mereka menghapus hadis itu dan mengganti dengan hadis tentang Aisyah namun malah memasukkannya di bab Fadhail Khadijah. Padahal hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibn Katsir dan diriwayatkan dalam kitab Ibn Katsir yang notabene dibilang termasuk dari kalangan Sunni.
Selain membeberkan beberapa penghilangan teks tulisan dari naskah-naskah klasik. Kelompok Wahabi juga mempunyai beberapa ajaran lain yang menjadi pondasi dasar. Salah satunya yaitu membenci ilmu sains yang dikatakan sebagai ilmu orang-orang kafir. Makanya ketika kita menghadiri pengajian kaum Salafi Wahabi, biasanya apa yang disebut ilmu hanya dalam kerangka ilmu ketuhanan yang meliputi tauhid, al-Qur’an dan Sunnah, dan cara-cara beribadah ritual belaka. Sementara ilmu lainnya tidak dapat disejajarkan dengan hal itu apalagi digunakan sebagai pendekatan untuk meneliti teks-teks utama Islam seperti al-Qur’an dan Sunnah.
Semisal dalam karangan salah satu ulama Saudi Abd al-Karim Ibn Shalih al-Humaid yang mengarang bukuHidayah al-Hairan fi Mas’alati al-Dauran, dikatakan bahwa keyakinan tentang bumi berputar merusak akidah mereka. Mereka keberatan jika bumi dikatakan berputar dan mengelilingi matahari. Karena menurut akidah mereka, Allah turun ke langit bumi ini setiap sepertiga malam yang terakhir sebagaimana dikatakan oleh teks utama. Namun mereka memahami secara literal-tekstual benar-benar turun ke bumi dari kursi Arasy. Maka jika bumi berputar berarti Allah tidak akan naik ke Arasy, sebab dengan adanya perputaran bumi setiap bagian bumi mengalami siang dan malam secara bergantian. Lantas kalau Allah tidak bisa naik kembali keArasy, kursi Arasy pun akan menjadi kosong. Dengan demikian mereka menolak pengetahuan yang mengajarkan tentang bumi yang berputar ini.
Dalam buku itu dikatakan: “Sesungguhnya di antara musibah yang merata terjadi di zaman sekarang ini adalah masuknya ilmu-ilmu kontemporer kepada umat Islam dari yang sesungguhnya menjadi musuh-musuh mereka, yaitu golongan Dahriyah dan Mu’aththalah (golongan orang yang tidak mengartikan teks agama secara tekstual), dan adanya dominasi ilmu-ilmu tersebut atas ilmu-ilmu agama. Ilmu kontemporer ini ada dua macam: pertama, ilmu mafdhulah yang mendominasi syariat Islam dan melemahkannya, maka ilmu itu diharamkan. Kedua, ilmu yang merusak akidah, seperti ilmu yang mengatakan bumi itu berputar dan yang lainnya dari ilmu-ilmu kafir.”
Dalam halaman lain Ibn Shalih al-Humaid juga menyatakan: “keyakinan bumi berputar jauh lebih berbahaya dari keyakinan manusia berasal dari kera… Semua dalil dari al-Qur’an dan Sunnah tentang bumi itu berputar adalah takwilan yang sesat.”.
Syaikh Ibn Baz juga mengatakan hal yang sama tentang sesatnya keyakinan bumi berputar. Bahkan dia menyatakan bahwa orang yang bersikeras mengatakan bumi itu berputar maka orang itu murtad, halal nyawanya dan hartanya. Pendapat Ibn Baz ini terekam dalam kitab karangannya, al-Adillah al-Naqliyah wa al-Hissiyyah ‘ala Jaryan al-Syams wa Sukun al-Ardh (Dalil-Dalil Naqli dan Inderawi tentang Berputarnya Matahari dan Diamnya Bumi). Pada tahun 1976 melalui Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, fatwa serupa juga dikeluarkan bahwa, “Sesungguhnya keyakinan yang mengatakan bahwa matahari tetap dan bumi berputar adalah perkataan yang sangat keji dan munkar. Siapa saja yang mengatakan bumi berputar dan matahari tidak berjalan, maka dia telah kafir dan sesat. Dia wajib diminta bertaubat. Itu jika dia mau bertaubat, jika tidak maka dia dibunuh sebagai kafir murtad, dan harta yang ditinggalkannya menjadi milikBaitul Mal kaum muslimin.” (Fatwa ini dikeluarkan oleh lembaga fatwa Saudi Arabia, Idarat al-Buhuts al-Amah wa al-Ifta’ wa al-Da’wah wa al-Irsyad dengan nomor fatwa 1/2925 tertanggal 7/22/1397 H).
Membaca beberapa fatwa lain dari para ulama Saudi dalam buku ini, menandakan bahwa fenomena-fenomena yang terjadi dalam kondisi keragaman komunitas muslim dewasa ini, termasuk isu mengenai Wahabi yang tentunya tidak mungkin direduksi pada tataran isu semata. Maka perlu kiranya dalam penelusuran mengenai Wahabi tidak berhenti dengan mencantumkan aspek normatif, tetapi juga tidak kalah penting menelusuri bagaimana fenomena penyebaran ajaran Wahabi di Indonesia, semisal melalui media televisi berupa sinetron dan film bertema-tema keagamaan, serta beberapa media cetak dan radio. Mungkin hal itu dapat diteliti oleh si penulis pada buku jilid selanjutnya yang katanya akan segera terbit dalam waktu dekat. Hal tersebut dimaksudkan agar dinamika pergolakan di tengah umat akan terpetakan semakin jelas dan kentara, sehingga tidak bisa dengan gampang dimatikan begitu saja dengan atas nama kesatuan dan keseragaman, karena dalam melihat fenomena pasti ada perdebatan dan beragam cara baca untuk menelaahnya.
(Dokumentasi/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email