Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Sumedang Larang Jawa
Barat. Kerajaan Sumedang Larang merupakan salah satu kerajaan Islam yang
ada di Indonesia. Berdirinya kerajaan diperkirakan sejak abad
ke-16 Masehi di Jawa Barat. Kerajaan ini tidak sebesar popularitas
kerajaan islam yang ada di jawa seperti demak, mataram banten dan Cirebon,
namun keberadaannya merupakan bukti sejarah yang kuat pengaruhnya dalam
penyebaran islam di jawa barat.
Sejarah
Awalnya kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan
kerajaan Sunda-Galuh dan masih menganut ajaran agama Hindu. Kerajaan
Sunda-Galuh didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu
Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor.
Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama
Sumedang mengalami beberapa perubahan. Perubahan nama tersebut adalah :
1. Kerajaan Tembong Agung. Tembong artinya nampak dan Agung artinya
luhur. Dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII.
2. Pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi HimbarBuana,
yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal;
Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi.
Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang
berubah pengucapannya menjadi Sun Madang kemudian berubah lagi
menjadi Sumedang. Pendapat lain mengatakan bahwa kata Sumedang berasal dari
kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti
sesuatu yang tidak ada tandingnya.
Kerajaan Sumedang Larang yang kini sudah menjadi Kabupaten Sumedang merupakan salah satu kerajaan
sunda seperti halnya Kerajaan Pajajaran yang juga masih
berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu Kerajaan Sunda-Galuh,
namun karena keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir akibat serangan aliansi
kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak. Sejak itulah, Kerajaan Sumedang
Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki
otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.
Pemerintahan
berdaulat
Berikut nama Raja-raja Kerajaan Sumedang yang pernah
memerintah
No.
|
Nama
|
Tahun
|
|
1
|
Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang
|
||
a
|
Prabu Guru Aji Putih
|
900
|
|
b
|
Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela
|
950
|
|
c
|
Prabu Gajah Agung
|
980
|
|
d
|
Sunan Guling
|
1000
|
|
e
|
Sunan Tuakan
|
1200
|
|
f
|
Nyi Mas Ratu Patuakan
|
1450
|
|
g
|
Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata
|
1530 - 1578
|
|
h
|
Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya
|
1578 - 1601
|
|
2
|
Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II
|
||
a
|
R. Suriadiwangsa / Pangeran Rangga Gempol I
|
1601 - 1625
|
|
b
|
Pangeran Rangga Gede
|
1625 - 1633
|
|
c
|
Pangeran Rangga Gempol II
|
1633 - 1656
|
|
d
|
Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III
|
1656 - 1706
|
|
3
|
Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan VOC, Inggris, Belanda dan Jepang
|
||
a
|
Dalem Tumenggung Tanumaja
|
1706 - 1709
|
|
b
|
Pangeran Karuhun
|
1709 - 1744
|
|
c
|
Dalem Istri Rajaningrat
|
1744 - 1759
|
|
d
|
Dalem Anom
|
1759 - 1761
|
|
e
|
Dalem Adipati Surianagara
|
1761 - 1765
|
|
f
|
Dalem Adipati Surialaga
|
1765 - 1773
|
|
g
|
Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang)
|
1773 - 1775
|
|
h
|
Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang)
|
1775 - 1789
|
|
i
|
Dalem Aria Sacapati
|
1789 - 1791
|
|
j
|
Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata
|
1791 - 1800
|
|
k
|
Bupati Republik Batavia Nederland
|
1800 - 1810
|
|
l
|
Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Napoleon Bonaparte
|
1805 - 1810
|
|
m
|
Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon
Bonaparte
|
1810 - 1811
|
|
n
|
Bupati Masa Pemerintahan Inggris
|
1811 - 1815
|
|
o
|
Bupati Kerajaan Nederland
|
1815 - 1828
|
|
p
|
Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung
|
1828 - 1833
|
|
q
|
Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit
|
1833 - 1834
|
|
r
|
Dalem Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja
|
1834 - 1836
|
|
s
|
Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Soegih
|
1836 - 1882
|
|
t
|
Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah
|
1882 - 1919
|
|
u
|
Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang
|
1919 - 1937
|
|
v
|
Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria
Sumantri
|
1937 - 1942
|
|
w
|
Bupati Masa Pemerintahan Jepang
|
1942 - 1945
|
|
x
|
Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia
|
1945 - 1946
|
|
4
|
Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia
|
||
a
|
Raden Hasan Suria Sacakusumah
|
1946 - 1947
|
|
5
|
Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia
|
||
a
|
Raden Tumenggung M. Singer
|
1947 - 1949
|
|
6
|
Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan
|
||
a
|
Raden Hasan Suria Sacakusumah
|
1949 - 1950
|
Perkembangan Kerajaan
Sumedang Larang Pada Masa Pemerintahan Raja-Raja Sumedang Larang
Masa pemerintahan Prabu
Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu Agung Resi Cakrabuana (Prabu Tajimalela) merupakan
raja yang berperan penting dalam berdirinya kerajaan Sumedang. Pada awal
berdirinya kerajaan ini bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung
(sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau memiliki tiga putra yaitu Prabu
Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi
perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang
satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak
bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada
kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan
pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah
harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu
Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda
tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan
Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu
Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut
juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela.
Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan
Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan para keturunannya tetap
berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di
Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan
dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia
mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan
Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan
Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah
Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan
Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu
Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra
Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan
mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578),
yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu
Pucuk Umun.
Masa pemerintahan Ratu
Pucuk Umun dan Pangeran Santri
Pada pertengahan abad ke-16 kerajaan Sumedang Larang mulai
bercorak Islam. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang
Larang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah menikahi Pangeran
Kusumahdinata (1505-1579 M) lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena
asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan
tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai
menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.
Pangeran Kusumahdinata merupakan putra Pangeran Pamalekaran
(Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit.
Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari
Cirebon. Juga adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan)
dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama
keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam
di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda.
Berikut putra-putri Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri, yaitu :
- Pangeran Angkawijaya (yang terkenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
- Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
- Kiyai Demang Watang di Walakung.
- Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
- Santowaan Cikeruh.
- Santowaan Awiluar.
- Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.
Masa pemerintahan Prabu
Geusan Ulun
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) merupakan anak dari Pangeran
Santri dan beliaulah yang menggantikan kekuasaan ayahnya. Ia menetapkan
Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian
Barat kota.
Wilayah kekuasaannya pada masa pemerintahan Prabu Geusan
Ulun meliputi :
- Kuningan
- Bandung
- Garut
- Tasik
- Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis).
Kemajuan pesat kerajaan ini mengalami kemajuan pesat saat
Prabu Geusan Ulun memerintah. Kemajuan tersebut mulai dari bidang sosial,
budaya, agama, militer dan politik pemerintahan.
Bergabungnya Kerajaan
Pajajaran Galuh Pakun
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun kerajaan
Pajajaran Galuh Pakuan bergabung dengan kerajaan Sumedang larang karena pada saat itu Kerajaan Pajajaran Galuh
Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten
yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Pada
saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton
beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi
ke Kerajaan Sumedang Larang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan
yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas
simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan
lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih
tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang). Kandaga Lante yang
menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa,
Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan
Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan
Banten, akan tetapi mahkota kerajaan dapat diselamatkan. Dengan diberikannya
mahkota kerajaan pajajaran tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat
dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang
Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah
baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali kecuali
Cirebon dan Jayakarta, batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah
selatannya Samudera Hindia.
Bergabung menjadi
bagian kesultanan Mataram
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga
musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan
pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC
di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang
ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram
sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang
menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu
Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke
Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit
setianya (Kandaga Lante).
Setelah mendalami agama Islam pesantren di Demak, dalam
perjalanan pulang ke Sumedang Larang ia mampir ke Kerjaan Cirebon untuk bertemu
dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon. Beliau disambut gembira karena
mereka berdua masih dalam ikatan kekeluargaan karena sama-sama keturunan Sunan
Gunung Jati.
Karena sikap dan perilakunya yang sangat baik dan wajah yang
rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri
Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu
Geusan Ulun. Dan ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa
sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dan Ratu Harisbaya
mengancam akan bunuh diri sehingga akhirnya Ratu Harisbaya ikut ke Sumedang
Larang. Panembahan Ratu yang mengetahui kejadian tersebut marah besar dan
mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang
antara Cirebon dan Sumedang Larang.
Sultan Agung dari Mataram yang mengetahui konflik
tersebut meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu
Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung
dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang Larang
menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk
menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke
Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.
Istri dan Anak Prabu
Geusan Ulun
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri, istri-istri
beliau adalah :
- Nyi Mas Cukang Gedeng Waru merupakan istri pertama adalah putri Sunan Pada
- Ratu Harisbaya dari Cirebon
- Nyi Mas Pasarean.
Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas
putra-putri :
- Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
- Raden Aria Wirareja, di Lemahbeureum, Darmawangi
- Kiyai Kadu Rangga Gede
- Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
- Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
- Raden Ngabehi Watang
- Nyi Mas Demang Cipaku
- Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
- Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
- Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
- Nyi Mas Rangga Pamade
- Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
- Rd. Suriadiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panembahan Ratu
- Pangeran Tumenggung Tegalkalong
- Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
- Ketika beliau wafat pada tahun 1608, Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I yang adalah putera angkat beliau menggantikan kepemimpinannya. Ia juga dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa.
- Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir dari Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).
Pemerintahan di bawah
Mataram
Dipati Rangga Gempol
Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun
1620 M Sumedang Larang dijadikannya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan'
diubahnya menjadi 'kabupatian wedana'. Hal ini dilakukannya sebagai upaya
menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda,
yang sedang mengalami konflik dengan Mataram. Sultan Agung kemudian memberikan
perintah kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara
diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.
Dipati Rangga Gede
Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang
diperintahkan pergi ke Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan
Kerajaan Banten untuk menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu menahan serangan
pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan
Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya
diserahkan kepada Dipati Ukur.
Dipati Ukur
Pada Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke
Timbanganten (Tatar Ukur). Membawa surat tugas dari Sultan Agung, untuk
memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati
Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia dengan bantuan pasukan
dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat tersebut ada semacam
perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di Karawang sebelum
nantinya bersama-sama menyerang Batavia. Tapi, setelah seminggu ditunggu
ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang sementara logistic makin
menipis. Karena logistic yang kian menipis dan takut kalau mental prajurit
keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke
Batavia menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan dari Jawa.
Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur
berperang melawan VOC, pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa
Pasukan Sunda tak ada di sana.Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya
membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini
malah memusuhi Pasukan Sunda.
Ditengah peperangan melawan VOC, datang utusan dari Dayeuh
Ukur membawa surat dari Enden Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur
yang mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya
sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan pasukannya.
Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan
surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan
pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, para
panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis
dan juga merampas harta benda mereka.
Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang
memutuskan untuk menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh
Tatar Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot sekarang). Dipati Ukur yang marah
dengan kelakuan para utusan Mataram itu sesampainya di Pabuntelan langsung
menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari semua utusan itu ada satu
orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal
apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.
Dalam ‘Negara Kerta Bhumi’ disebutkan bahwa salah satu watak
Sultan Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh
gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum
mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari hukuman
mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC.
Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur. Sultan Agung pun
murka karena bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang
merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram
adalah karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap
penghianat dan mau memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur
dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum
mati. Akhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur
hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung
Narapaksa dari Mataram.
Dipati Ukur sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus
menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa
bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi kabupaten yang mandiri. Ajakan
ini menimbulkan pro dan kontra. Sebelum berhasil
mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten mandiri tiba-tiba Bagus
Sutapura pemuda yang sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah
Galuh) yang merupakan algojo yang diutus oleh Tumenggung Narapaksa datang untuk
menangkapnya. Terjadilah pertarungan sengit antar keduanya, dikabarkan pertempuran
tersebut terjadi hingga 40 hari 40 malam. Setelah semua tenaga terkuras
akhirnya Dipati Ukur pun dapat diringkus kemudian dibawa ke Cirebon untuk
diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur pun akhirnya di hukum mati di alun-alun
Mataram dengan cara dipenggal kepalanya.
Pembagian wilayah
kerajaan
Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk
memerintah di Sumedang setelah bebas dari tahanan. Sedangkan wilayah Priangan
di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian:
- Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa,
- Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun-angun,
- Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya.
Wilayah diatas tersebut berada dibawah pengawasan Rangga
Gede (atau Rangga Gempol II), yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wedana
Bupati (kepala para bupati) Priangan.
Peninggalan budaya
Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut
kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang
Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun.
Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sumedang_Larang diakses tanggal 26 agustus 2014