Pendahuluan
Tema spiritualitas dan globalisasi sangat urgen untuk dibincangkan. Selain karena tugas mata kuliah spiritualitas dan kemodrenan, diskursus ini juga terkait dengan sebuah “era”, di mana kita hidup di dalamnya, dan kita termasuk makhluk yang menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual.
Apa hakekat globalisasi? Bagaimana sejarahnya? Apa yang dimaksud dengan spiritualitas? Bagaimana spiritualitas di era global? Deretan pertanyaan tersebut akan coba dijelaskan dalam makalah ini.
Globalisasi
Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias.[1]
Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.[2]
Kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang maknanya universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.[3]
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.[4]
Keterpesonaan akan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai konsekwensi modernitas di era global ini, berakhir pada peniscayaan terhadap ratio yang membuat manusia memandang dan menghadirkan dunia dengan segala persoalannya sebagai realitas yang sederhana. Oleh Yasraf Amir Pilliang dunia seperti itu diistilahkan dengan dunia yang telah dilipat (2004).[5] Hal ini disebabkan oleh kenyataan betapa kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat aktivitas hidup manusia semakin efektif dan efisien.
Dunia yang telah dilipat muncul sebagai konsekwensi dari kehadiran berbagai penemuan teknologi mutakhir terutama transportasi, telekomunikasi dan informasi, jarak-ruang semakin kecil dan semakin sedikit waktu yang diperlukan dalam pergerakan di dalamnya, inilah pelipatan ruang-waktu. Adalagi pelipatan waktu-tindakan, yakni pemadatan tindakan ke dalam satuan waktu tertentu dalam rangka memperpendek jarak dan durasi tindakan, dengan tujuan mencapai efisiensi waktu. Dahulu manusia melakukan satu hal dalam satu waktu tertentu, seperti memasak, menyetir, membaca, menelepon dan lain-lain. Kini, manusia dapat melakukan banyak hal dalam satu waktu bersamaan, menyetir mobil sambil menelepon, mendengar musik, makan dan sambil bicara.
Pada bagian lain ada pula miniaturisasi ruang-waktu, dimana sesuatu dikerdilkan dalam berbagai dimensi, aspek, sifat dan bentuk lainnya. Realitas ditampilkan melalui media gambar, fotografi, televisi, film, video, dan internet. Sebagaimana yang dikatakan oleh Paul Virilio yang dikutip sebagaimana dikutip oleh Nurhamzah,[6] bahwa ruang saat ini tidak lagi meluas, tetapi mengerut di dalam sebuah layar elektronik. Jika ingin mengetahui sesuatu yang riil, manusia dapat mencari dan menyaksikan melalui video, film, dan televisi. Ingin tahu mendetail tentang sang bintang idola, maka orang tinggal mengklik satu situs dalam internet, kemudian tampillah sang bintang dengan ragam tentang dirinya, dan seterusnya. Demikianlah di antara beberapa gambaran tentang pelipatan dunia oleh perkembangan teknologi mutakhir di bidang transportasi, komunikasi dan informasi.
Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia.[8]
Fase selanjutnya ditandai dengan eksplorasi dunia secara besar-besaran oleh bangsa Eropa. Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda adalah pelopor-pelopor eksplorasi ini. Hal ini didukung pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antarbangsa dunia. berbagai teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini, seperti komputer dan internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia.[9]
Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar juga memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia. Di Indonesia misalnya, sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris adalah beberapa contohnya. Perusahaan multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini.[10]
Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antarnegara pun mulai kabur.[11]
Spiritualitas
Spiritualitas dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai kejiwaan, rohani, batin, mental; dan moral.[12] Term ini disejajarkan dengan istilah rúhaniyah. Muhammad Husain Abdullah dalam Mafahim Islamiyah mendefinisikan “rúhaniyah” sebagai idrak shillah billahi (kesadaran hubungannya dengan Allah SWT).[13] Sementara al-Farra` dan Abu Haitsam menyebutnya dengan istilah “ruh”, yaitu substansi kehidupan manusia dan tidak diketahui secara pasti eksestensinya.[14]
Ruh juga digunakan untuk wahyu, seperti pada surat al-Mukmin ayat 15. Wahyu ibarat nyawa bagi seorang Muslim, sebagaimana ruh menjadi nyawa bagi manusia.
Terlepas dari perbedaan istilah spritualitas dalam bahasa Arab, pendapat Nurcholis Madjid berikut kelihatannya mewakili arti diskursus ini, yaitu sesuatu yang hanya bisa dipahami dan dialami sendiri, bersifat individual dan berasal dari fitrah kemanusiaan.[15]
Sebagai fitrah kemanusiaan, spiritualitas, menurut Yasraf, adalah sesuatu yang mempunyai kekuatan otonom dan mampu menghidupi atau menggerakkan sesuatu yang lain di luar dirinya, baik yang bersifat ketuhanan maupun yang bukan. Dia mengidentikkan spiritualitas sebagai Sesuatu yang Tidak Diketahui dan Yang Tak Berhingga.[16]
Dimensi spiritual manusia tersebut dan kecenderungan-kecenderungan dasarnya adalah sebuah bukti yang gamblang atas kefitrahan kepercayaan (spritualitas), dan termasuk salah satu dari empat perasaan yang populer dan mendasar yang akhir-akhir ini diintroduksi oleh sebagian psikolog dan psikoanalis sebagai dimensi spiritual manusia, yaitu perasaan kognitif atau kuriositas, perasaan estetik, perasaan etik dan perasaan religius (spritualitas).[17]
Di antara empat dimensi spritual manusia yang terkadang juga disebut sebagai kecenderungan kepada kesempurnaan mutlak, kecendrungan terakhir itu mengajak manusia kepada kesadaran akan keberadaan Tuhan, dan keyakianan akan adanya Sumber Awal Yang Maha Agung.
Kebutuhan Spritualitas di Era Global
Era global adalah zaman ketika manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan hidup. Manusia dipandang sebagai makhluk yang hebat, yang independen dari Tuhan dan alam. Manusia di era global dan sebagai konsekwensi modernisasi, melepaskan diri dari keterikatannya dengan Tuhan (theomosphisme), untuk selanjutnya membangun tatanan manusia yang semata-mata berpusat pada manusia (antropomorphisme). Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri, yang mengakibatkan terputusnya dari nilai-nilai spiritual. Akibatnya, manusia modern “Barat” pada akhirnya tidak mampu menjawab persoalan-persoalan hidup sendiri.
Modernisme akhirnya dirasakan membawa kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup. Timbul berbagai kritik dan usaha pencarian baru. Manusia membutuhkan pola pemikiran baru yang diharapkan membawa kesadaran dan pola kehidupan baru. Dalam hal kesadaran manusia, secara praktis, timbul gejala pencarian makna hidup dan upaya penemuan diri pada kepercayaan-kepercayaan yang sarat dengan spiritualitas. “Organized Religion” (agama yang terorganisasi) tidak selamanya dapat memenuhi harapan. Oleh sebab itu, bermunculan kecenderungan untuk kembali kepada orisinalitas (fundamentalis), kharisma yang dapat menentukan (cults) dan fenomena-fenomena yang luar biasa (magic). Sebagaimana diungkapkan oleh Komaruddin Hiayat:
Dimensi spiritualitas dari faham dan penghayatan keberagamaan, pada dasarnya merupakan sebuah perjalanan ke dalam diri manusia sendiri. Bisa jadi masyarakat modern di era global yang memiliki fasilitas transportasi canggih merasa telah melanglang buana, bahkan telah melakukan perjalanan ke planet lain, namun amat mungkin masih miskin dalam pengembaraannya dalam upaya mengenal dimensi batinnya, bahwa ia adalah makhluk spiritual. Pencapaian sains dan teknologi memang membuat manusia lupa bahwa dirinya adalah makhluk spiritual, sehingga ia menjadi terasing dari dirinya sendiri dan dari Tuhannya. Inilah yang disebut situasi kehampaan spiritual. Dan itu terjadi akibat gaya hidup serba kebendaan di zaman modern (era glogal) yang menyebabkan manusia sulit menemukan dirinya dan makna hidupnya yang terdalam.[18]
Namun, seperti senantiasa terjadi dalam sejarah kehidupan spiritual manusia, gagasan tentang spiritualitas yang murni selalu mengalami distorsi dan materialisasi yang bersifat fetis. Tak heran, spiritualitas dalam realitas kebudayaan kontemporer pun mengalami distorsi.[19]
Saat ini, spiritualitas telah mengalami titik balik, yaitu dari nilai spiritual ke terapi. Dahulu, apabila seseorang gelisah, maka mereka biasanya mencari penentram jiwanya dalam agama, sedang saat ini manusia lebih banyak lari ke terapi-terapi yang sifatnya adalah “pengobatan” sementara. Manusia konsumer, menurut Yasraf, tidak tertarik akan “keselamatan diri” lewat perenungan atau ibadat, melainkan tertarik terhadap ilusi-ilusi yang bersifat sementara, seperti kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan keamanan psikis lewat terapi; hanyut dalam berbagai bentuk terapi, seperti, yoga, latihan spiritual kilat, konser musik rock, astrologi populer, joging, pusat kebugaran, karaoke. Kondisi ini melahirkan suatu fenomena yang disebut Yasraf sebagai pospiritualitas, yaitu kondisi spiritualitas ketika yang suci bercampur aduk dengan yang profan, yang sakral bersimbiosis dengan yang permukaan, sehingga batas-batas di antara semuanya menjadi kabur.
Permasalahan yang agak pelik dan cukup licin tentang spiritualitas, apalagi dalam realitas kebudayaan kontemporer, adalah “makna” pengalaman spiritual itu sendiri. dalam masyarakat kontemporer, suatu pengalaman yang sifatnya sangat profan dan sekuler pun bisa dimaknai sebagai pengalaman “spiritual”. Inilah bentuk pos spiritualitas dalam masyarakat kontemporer. Yasraf, misalnya, mengutip sebuah pernyataan Madonna dari karya Akbar S. Ahmed, yang bisa merepresentasikan fenomena pospiritualitas tersebut:
“Saya religius“, “Saya spiritual”, katanya. Namun ketika ditanya tentang doa tersebut, ia berkata “Ya saya religius…, saya tidak mencoba membangun jembatan antara seks dan agama. Hanya gereja Katolik yang bersi¬keras memisahkan dan itu nonsens.”[20]
Pembicaraan tentang permasalahan spiritualitas dan apa yang disebut sebagai “pengalaman” spiritual memang sangat problematis. Selain sulit untuk diverifikasi—dan juga permasalahan “otoritas”—adalah masalah keserupaan dan tafsirannya. Misalnya, seseorang yang memakan obat-obatan psikotropika bisa saja menafsirkan bahwa dia pun “merasakan” pengalaman spiritual, entah berupa penglihatan, penampakan, atau bahkan bisikan-bisikan. Bahkan, pada tingkatan filosofis pun, hal tersebut tetap menjadi permasalahan yang tak terdamaikan, seperti yang diungkapkan oleh Dodi Salman:
Sufisme diharapkan dapat menjadi mesin “pencerahan” di tengah deru mesin hasrat kapitalisme dan masyarakat postmodern (era global) yang berputar tanpa henti. Akan tetapi, derasnya perputaran mesin hasrat tersebut—yang mewujud di dalam bentuk-bentuk komoditi, citra, gaya hidup, tontonan—telah menimbulkan kekhawatiran, jangan-jangan sufisme itu sendiri dapat terperangkap di dalam arus hasrat postmodern sehingga yang tercipta adalah semacam “sufi materialistik”, yaitu para sufi yang terperangkap di dalam pengaruh jagat materi dan gaya hidup masyarakat postmodern. Inilah misalnya, seorang wanita “sufi”, yang berkunjung ke sebuah mall mewah, mengendarai sendiri mobil build-up-nya yang terbaru, mengenakan setelan fesyen mutakhir rancangan Versace, memakai kacamata sunglass yang gelap; membawa handpone mutakhirnya yang trendi, sambil menenteng ke mana-mana “sertifikat sufi”, sebagai “citra” dan “legitimasi” diri di tengah belantara citra budaya postmodern yang bersifat paradoks.[21]
Perkembangan Spritualitas di Era Global
Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, baik bersifat negatif maupun positif, termasuk di antaranya aspek budaya[22] dan spiritualitas.
Era ini, dan merupakan prestasi mutakhir modernisme, telah mengantarkan manusia pada supremasi rasionalisme, empirisme, dan positivisme dan dogmatisme agama. Kenyataan ini dapat dipahami, karena abad modern dibangun atas dasar pemisahan antara ilmu pengetahuan dan filsafat dari pengaruh agama (sekularisme). Perpaduan antara rasionalisme dan empirisme dalam satu paket epistemologi melahirkan apa yang oleh Huxley disebut dengan metode ilmiah (scientific method).[23]
Kesimpulan
Spritualitas merupakan potensi kemanusian yang tidak mungkin hilang dalam kondisi dan situasi apa pun. Gaung spiritualitas akan tetap menggema kendatipun manusia telah bertahta di puncak rasionalitas, dan berada di sebuah “era”, disebut globalisai. Tuntutan spiritualitas manusia tidak terikat dengan ruang waktu, ia akan tetap eksis dan menggema dalam setiap situasi.
REFERENSI
Ahmed, Akbar S. and Hastings Donnan (ed.), Islam Globalization and Post Modernity, London and New York, Routledge, 1994
______________, Posmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam, Bandung: Mizan, 1992
Armstrong, Karen, Sejarah Tuhan,. Bandung: Mizan, 2003
Giddens, A., The Consequences of Modernity, Cambridge: Polity Press, 1990
Hidayat, Komaruddin, Kualifikasi Seorang Kiyai, http://tokohindonesia.com/ ensiklopedi/ k/ komaruddin-hidayat/biografi/02.shtml,, 2009
“Kesunyian dan Kegilaan: Sufisme dan Postmodernisme” dalam Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-tuhan” Digital, Jakarta: Grasindo, 2004
Maksum, Ali, Spiritualitas Abad Modern : Reposisi Islam dalam Kancah Kebangkitan Agama, http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-1.html, 2008
Mandhur, Ibn, Lisan al-‘Arab, Jilid 3, Kairo: Dar al-Hadits 2003
Mustafa, Mr., Pengertian dan Ciri-ciri Globalisasi, http://mustofasmp2. wordpress. Com / 2008
Nurhamzah, Absurditas Manusia Modern : Sebuah Rekonstruksi Spiritual Manusia Modern, E-mail : Hamzah_tuhankecil@yahoo.com, 2009
Pals, Daniel L. Seven Trories of Religion, Yogyakarta: Qalam, 2001
Pirages, Dennis, The New Context for International Relations: Global Ecopolitics, North Scituate, Massachusetts, tt.
Spiritualitas tak Bisa Diperoleh Lewat “Cyberspace, Jakarta, Kompas, Senin, 27 Maret 2000
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka cetakan 1990
Yakub, Husein, Muhammad, Mafahim Islamiyah, Kairo: Maktabah Syafa, 2000
Yasraf Amir Pilliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra, 2004
_________________, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra, 2004
[3]. Akbar S. Ahmed and Hastings Donnan (ed.), Islam Globalization and Post Modernity, (London and New York, Routledge, 1994), h. 1-3. Lihat: A. Giddens, The Consequences of Modernity, (Cambridge: Polity Press, 1990), h. 64
[4]. Ibid.
[5]. Yasraf Amir Pilliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), h. 23
[6]. Nurhamzah, Absurditas Manusia Modern : Sebuah Rekonstruksi Spiritual Manusia Modern, (E-mail : Hamzah_tuhankecil@yahoo.com, 2009), h. 3
[7] . Mr. Mustafa, h. 2
[8]. Ibid.
[9]. Ibid.
[10]. Ibid.
[11]. Ibid.
[12]. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka cetakan 1990), h. 857
[13]. Muhammad Husein Yakub, Mafahim Islamiyah, (Kairo: Maktabah Syafa, 2000), h. 17
[14]. Ibn Mandhur, Lisan al-‘Arab, Jilid 3, (Kairo: Dar al-Hadits 2003), h. 290
[15] . Spiritualitas tak Bisa Diperoleh Lewat “Cyberspace, (Jakarta, Kompas, Senin, 27 Maret 2000), h.1
[16]. Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), h. 503-504
[17]. Karen Armstrong, Sejarah Tuhan,. (Bandung: Mizan, 2003), h. VII
[18]. Komaruddin Hidayat, Kualifikasi Seorang Kiyai, (http://tokohindonesia.com/ ensiklopedi/ k/ komaruddin-hidayat/biografi/02.shtml,, 2009), h. 3
[19]. Dikutip dari prolog Dunia yang Dilipat, Edisi 1, tidak dimuat lagi dalam Edisi II
[20]. Akbar S. Ahmed, Posmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam, (Bandung: Mizan, 1992), h. 224.
[21]. “Kesunyian dan Kegilaan: Sufisme dan Postmodernisme” dalam Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-tuhan” Digital, (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 204
[22]. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Daniel L. Pals, Seven Trories of Religion, (Yogyakarta: Qalam, 2001), h. 149
[23]. Ali Maksum, Spiritualitas Abad Modern : Reposisi Islam dalam Kancah Kebangkitan Agama,
Tema spiritualitas dan globalisasi sangat urgen untuk dibincangkan. Selain karena tugas mata kuliah spiritualitas dan kemodrenan, diskursus ini juga terkait dengan sebuah “era”, di mana kita hidup di dalamnya, dan kita termasuk makhluk yang menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual.
Apa hakekat globalisasi? Bagaimana sejarahnya? Apa yang dimaksud dengan spiritualitas? Bagaimana spiritualitas di era global? Deretan pertanyaan tersebut akan coba dijelaskan dalam makalah ini.
Globalisasi
Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias.[1]
Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.[2]
Kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang maknanya universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.[3]
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.[4]
Keterpesonaan akan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai konsekwensi modernitas di era global ini, berakhir pada peniscayaan terhadap ratio yang membuat manusia memandang dan menghadirkan dunia dengan segala persoalannya sebagai realitas yang sederhana. Oleh Yasraf Amir Pilliang dunia seperti itu diistilahkan dengan dunia yang telah dilipat (2004).[5] Hal ini disebabkan oleh kenyataan betapa kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat aktivitas hidup manusia semakin efektif dan efisien.
Dunia yang telah dilipat muncul sebagai konsekwensi dari kehadiran berbagai penemuan teknologi mutakhir terutama transportasi, telekomunikasi dan informasi, jarak-ruang semakin kecil dan semakin sedikit waktu yang diperlukan dalam pergerakan di dalamnya, inilah pelipatan ruang-waktu. Adalagi pelipatan waktu-tindakan, yakni pemadatan tindakan ke dalam satuan waktu tertentu dalam rangka memperpendek jarak dan durasi tindakan, dengan tujuan mencapai efisiensi waktu. Dahulu manusia melakukan satu hal dalam satu waktu tertentu, seperti memasak, menyetir, membaca, menelepon dan lain-lain. Kini, manusia dapat melakukan banyak hal dalam satu waktu bersamaan, menyetir mobil sambil menelepon, mendengar musik, makan dan sambil bicara.
Pada bagian lain ada pula miniaturisasi ruang-waktu, dimana sesuatu dikerdilkan dalam berbagai dimensi, aspek, sifat dan bentuk lainnya. Realitas ditampilkan melalui media gambar, fotografi, televisi, film, video, dan internet. Sebagaimana yang dikatakan oleh Paul Virilio yang dikutip sebagaimana dikutip oleh Nurhamzah,[6] bahwa ruang saat ini tidak lagi meluas, tetapi mengerut di dalam sebuah layar elektronik. Jika ingin mengetahui sesuatu yang riil, manusia dapat mencari dan menyaksikan melalui video, film, dan televisi. Ingin tahu mendetail tentang sang bintang idola, maka orang tinggal mengklik satu situs dalam internet, kemudian tampillah sang bintang dengan ragam tentang dirinya, dan seterusnya. Demikianlah di antara beberapa gambaran tentang pelipatan dunia oleh perkembangan teknologi mutakhir di bidang transportasi, komunikasi dan informasi.
Sejarah globalisasi
Banyak sejarawan menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera maupun jalan laut untuk berdagang.[7]Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia.[8]
Fase selanjutnya ditandai dengan eksplorasi dunia secara besar-besaran oleh bangsa Eropa. Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda adalah pelopor-pelopor eksplorasi ini. Hal ini didukung pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antarbangsa dunia. berbagai teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini, seperti komputer dan internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia.[9]
Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar juga memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia. Di Indonesia misalnya, sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris adalah beberapa contohnya. Perusahaan multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini.[10]
Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antarnegara pun mulai kabur.[11]
Spiritualitas
Spiritualitas dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai kejiwaan, rohani, batin, mental; dan moral.[12] Term ini disejajarkan dengan istilah rúhaniyah. Muhammad Husain Abdullah dalam Mafahim Islamiyah mendefinisikan “rúhaniyah” sebagai idrak shillah billahi (kesadaran hubungannya dengan Allah SWT).[13] Sementara al-Farra` dan Abu Haitsam menyebutnya dengan istilah “ruh”, yaitu substansi kehidupan manusia dan tidak diketahui secara pasti eksestensinya.[14]
Ruh juga digunakan untuk wahyu, seperti pada surat al-Mukmin ayat 15. Wahyu ibarat nyawa bagi seorang Muslim, sebagaimana ruh menjadi nyawa bagi manusia.
Terlepas dari perbedaan istilah spritualitas dalam bahasa Arab, pendapat Nurcholis Madjid berikut kelihatannya mewakili arti diskursus ini, yaitu sesuatu yang hanya bisa dipahami dan dialami sendiri, bersifat individual dan berasal dari fitrah kemanusiaan.[15]
Sebagai fitrah kemanusiaan, spiritualitas, menurut Yasraf, adalah sesuatu yang mempunyai kekuatan otonom dan mampu menghidupi atau menggerakkan sesuatu yang lain di luar dirinya, baik yang bersifat ketuhanan maupun yang bukan. Dia mengidentikkan spiritualitas sebagai Sesuatu yang Tidak Diketahui dan Yang Tak Berhingga.[16]
Dimensi spiritual manusia tersebut dan kecenderungan-kecenderungan dasarnya adalah sebuah bukti yang gamblang atas kefitrahan kepercayaan (spritualitas), dan termasuk salah satu dari empat perasaan yang populer dan mendasar yang akhir-akhir ini diintroduksi oleh sebagian psikolog dan psikoanalis sebagai dimensi spiritual manusia, yaitu perasaan kognitif atau kuriositas, perasaan estetik, perasaan etik dan perasaan religius (spritualitas).[17]
Di antara empat dimensi spritual manusia yang terkadang juga disebut sebagai kecenderungan kepada kesempurnaan mutlak, kecendrungan terakhir itu mengajak manusia kepada kesadaran akan keberadaan Tuhan, dan keyakianan akan adanya Sumber Awal Yang Maha Agung.
Kebutuhan Spritualitas di Era Global
Era global adalah zaman ketika manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan hidup. Manusia dipandang sebagai makhluk yang hebat, yang independen dari Tuhan dan alam. Manusia di era global dan sebagai konsekwensi modernisasi, melepaskan diri dari keterikatannya dengan Tuhan (theomosphisme), untuk selanjutnya membangun tatanan manusia yang semata-mata berpusat pada manusia (antropomorphisme). Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri, yang mengakibatkan terputusnya dari nilai-nilai spiritual. Akibatnya, manusia modern “Barat” pada akhirnya tidak mampu menjawab persoalan-persoalan hidup sendiri.
Modernisme akhirnya dirasakan membawa kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup. Timbul berbagai kritik dan usaha pencarian baru. Manusia membutuhkan pola pemikiran baru yang diharapkan membawa kesadaran dan pola kehidupan baru. Dalam hal kesadaran manusia, secara praktis, timbul gejala pencarian makna hidup dan upaya penemuan diri pada kepercayaan-kepercayaan yang sarat dengan spiritualitas. “Organized Religion” (agama yang terorganisasi) tidak selamanya dapat memenuhi harapan. Oleh sebab itu, bermunculan kecenderungan untuk kembali kepada orisinalitas (fundamentalis), kharisma yang dapat menentukan (cults) dan fenomena-fenomena yang luar biasa (magic). Sebagaimana diungkapkan oleh Komaruddin Hiayat:
Dimensi spiritualitas dari faham dan penghayatan keberagamaan, pada dasarnya merupakan sebuah perjalanan ke dalam diri manusia sendiri. Bisa jadi masyarakat modern di era global yang memiliki fasilitas transportasi canggih merasa telah melanglang buana, bahkan telah melakukan perjalanan ke planet lain, namun amat mungkin masih miskin dalam pengembaraannya dalam upaya mengenal dimensi batinnya, bahwa ia adalah makhluk spiritual. Pencapaian sains dan teknologi memang membuat manusia lupa bahwa dirinya adalah makhluk spiritual, sehingga ia menjadi terasing dari dirinya sendiri dan dari Tuhannya. Inilah yang disebut situasi kehampaan spiritual. Dan itu terjadi akibat gaya hidup serba kebendaan di zaman modern (era glogal) yang menyebabkan manusia sulit menemukan dirinya dan makna hidupnya yang terdalam.[18]
Namun, seperti senantiasa terjadi dalam sejarah kehidupan spiritual manusia, gagasan tentang spiritualitas yang murni selalu mengalami distorsi dan materialisasi yang bersifat fetis. Tak heran, spiritualitas dalam realitas kebudayaan kontemporer pun mengalami distorsi.[19]
Saat ini, spiritualitas telah mengalami titik balik, yaitu dari nilai spiritual ke terapi. Dahulu, apabila seseorang gelisah, maka mereka biasanya mencari penentram jiwanya dalam agama, sedang saat ini manusia lebih banyak lari ke terapi-terapi yang sifatnya adalah “pengobatan” sementara. Manusia konsumer, menurut Yasraf, tidak tertarik akan “keselamatan diri” lewat perenungan atau ibadat, melainkan tertarik terhadap ilusi-ilusi yang bersifat sementara, seperti kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan keamanan psikis lewat terapi; hanyut dalam berbagai bentuk terapi, seperti, yoga, latihan spiritual kilat, konser musik rock, astrologi populer, joging, pusat kebugaran, karaoke. Kondisi ini melahirkan suatu fenomena yang disebut Yasraf sebagai pospiritualitas, yaitu kondisi spiritualitas ketika yang suci bercampur aduk dengan yang profan, yang sakral bersimbiosis dengan yang permukaan, sehingga batas-batas di antara semuanya menjadi kabur.
Permasalahan yang agak pelik dan cukup licin tentang spiritualitas, apalagi dalam realitas kebudayaan kontemporer, adalah “makna” pengalaman spiritual itu sendiri. dalam masyarakat kontemporer, suatu pengalaman yang sifatnya sangat profan dan sekuler pun bisa dimaknai sebagai pengalaman “spiritual”. Inilah bentuk pos spiritualitas dalam masyarakat kontemporer. Yasraf, misalnya, mengutip sebuah pernyataan Madonna dari karya Akbar S. Ahmed, yang bisa merepresentasikan fenomena pospiritualitas tersebut:
“Saya religius“, “Saya spiritual”, katanya. Namun ketika ditanya tentang doa tersebut, ia berkata “Ya saya religius…, saya tidak mencoba membangun jembatan antara seks dan agama. Hanya gereja Katolik yang bersi¬keras memisahkan dan itu nonsens.”[20]
Pembicaraan tentang permasalahan spiritualitas dan apa yang disebut sebagai “pengalaman” spiritual memang sangat problematis. Selain sulit untuk diverifikasi—dan juga permasalahan “otoritas”—adalah masalah keserupaan dan tafsirannya. Misalnya, seseorang yang memakan obat-obatan psikotropika bisa saja menafsirkan bahwa dia pun “merasakan” pengalaman spiritual, entah berupa penglihatan, penampakan, atau bahkan bisikan-bisikan. Bahkan, pada tingkatan filosofis pun, hal tersebut tetap menjadi permasalahan yang tak terdamaikan, seperti yang diungkapkan oleh Dodi Salman:
Sufisme diharapkan dapat menjadi mesin “pencerahan” di tengah deru mesin hasrat kapitalisme dan masyarakat postmodern (era global) yang berputar tanpa henti. Akan tetapi, derasnya perputaran mesin hasrat tersebut—yang mewujud di dalam bentuk-bentuk komoditi, citra, gaya hidup, tontonan—telah menimbulkan kekhawatiran, jangan-jangan sufisme itu sendiri dapat terperangkap di dalam arus hasrat postmodern sehingga yang tercipta adalah semacam “sufi materialistik”, yaitu para sufi yang terperangkap di dalam pengaruh jagat materi dan gaya hidup masyarakat postmodern. Inilah misalnya, seorang wanita “sufi”, yang berkunjung ke sebuah mall mewah, mengendarai sendiri mobil build-up-nya yang terbaru, mengenakan setelan fesyen mutakhir rancangan Versace, memakai kacamata sunglass yang gelap; membawa handpone mutakhirnya yang trendi, sambil menenteng ke mana-mana “sertifikat sufi”, sebagai “citra” dan “legitimasi” diri di tengah belantara citra budaya postmodern yang bersifat paradoks.[21]
Perkembangan Spritualitas di Era Global
Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, baik bersifat negatif maupun positif, termasuk di antaranya aspek budaya[22] dan spiritualitas.
Era ini, dan merupakan prestasi mutakhir modernisme, telah mengantarkan manusia pada supremasi rasionalisme, empirisme, dan positivisme dan dogmatisme agama. Kenyataan ini dapat dipahami, karena abad modern dibangun atas dasar pemisahan antara ilmu pengetahuan dan filsafat dari pengaruh agama (sekularisme). Perpaduan antara rasionalisme dan empirisme dalam satu paket epistemologi melahirkan apa yang oleh Huxley disebut dengan metode ilmiah (scientific method).[23]
Kesimpulan
Spritualitas merupakan potensi kemanusian yang tidak mungkin hilang dalam kondisi dan situasi apa pun. Gaung spiritualitas akan tetap menggema kendatipun manusia telah bertahta di puncak rasionalitas, dan berada di sebuah “era”, disebut globalisai. Tuntutan spiritualitas manusia tidak terikat dengan ruang waktu, ia akan tetap eksis dan menggema dalam setiap situasi.
REFERENSI
Ahmed, Akbar S. and Hastings Donnan (ed.), Islam Globalization and Post Modernity, London and New York, Routledge, 1994
______________, Posmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam, Bandung: Mizan, 1992
Armstrong, Karen, Sejarah Tuhan,. Bandung: Mizan, 2003
Giddens, A., The Consequences of Modernity, Cambridge: Polity Press, 1990
Hidayat, Komaruddin, Kualifikasi Seorang Kiyai, http://tokohindonesia.com/ ensiklopedi/ k/ komaruddin-hidayat/biografi/02.shtml,, 2009
“Kesunyian dan Kegilaan: Sufisme dan Postmodernisme” dalam Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-tuhan” Digital, Jakarta: Grasindo, 2004
Maksum, Ali, Spiritualitas Abad Modern : Reposisi Islam dalam Kancah Kebangkitan Agama, http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-1.html, 2008
Mandhur, Ibn, Lisan al-‘Arab, Jilid 3, Kairo: Dar al-Hadits 2003
Mustafa, Mr., Pengertian dan Ciri-ciri Globalisasi, http://mustofasmp2. wordpress. Com / 2008
Nurhamzah, Absurditas Manusia Modern : Sebuah Rekonstruksi Spiritual Manusia Modern, E-mail : Hamzah_tuhankecil@yahoo.com, 2009
Pals, Daniel L. Seven Trories of Religion, Yogyakarta: Qalam, 2001
Pirages, Dennis, The New Context for International Relations: Global Ecopolitics, North Scituate, Massachusetts, tt.
Spiritualitas tak Bisa Diperoleh Lewat “Cyberspace, Jakarta, Kompas, Senin, 27 Maret 2000
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka cetakan 1990
Yakub, Husein, Muhammad, Mafahim Islamiyah, Kairo: Maktabah Syafa, 2000
Yasraf Amir Pilliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra, 2004
_________________, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra, 2004
[1]. Mr. Mustafa, Pengertian dan Ciri-ciri Globalisasi,(http://mustofasmp2. wordpress. Com / 2008/12/31/), h. 1
[2]. Dennis, Pirages, The New Context for International Relations: Global Ecopolitics, (North Scituate, Massachusetts, tt.), h. 4-6[3]. Akbar S. Ahmed and Hastings Donnan (ed.), Islam Globalization and Post Modernity, (London and New York, Routledge, 1994), h. 1-3. Lihat: A. Giddens, The Consequences of Modernity, (Cambridge: Polity Press, 1990), h. 64
[4]. Ibid.
[5]. Yasraf Amir Pilliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), h. 23
[6]. Nurhamzah, Absurditas Manusia Modern : Sebuah Rekonstruksi Spiritual Manusia Modern, (E-mail : Hamzah_tuhankecil@yahoo.com, 2009), h. 3
[7] . Mr. Mustafa, h. 2
[8]. Ibid.
[9]. Ibid.
[10]. Ibid.
[11]. Ibid.
[12]. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka cetakan 1990), h. 857
[13]. Muhammad Husein Yakub, Mafahim Islamiyah, (Kairo: Maktabah Syafa, 2000), h. 17
[14]. Ibn Mandhur, Lisan al-‘Arab, Jilid 3, (Kairo: Dar al-Hadits 2003), h. 290
[15] . Spiritualitas tak Bisa Diperoleh Lewat “Cyberspace, (Jakarta, Kompas, Senin, 27 Maret 2000), h.1
[16]. Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), h. 503-504
[17]. Karen Armstrong, Sejarah Tuhan,. (Bandung: Mizan, 2003), h. VII
[18]. Komaruddin Hidayat, Kualifikasi Seorang Kiyai, (http://tokohindonesia.com/ ensiklopedi/ k/ komaruddin-hidayat/biografi/02.shtml,, 2009), h. 3
[19]. Dikutip dari prolog Dunia yang Dilipat, Edisi 1, tidak dimuat lagi dalam Edisi II
[20]. Akbar S. Ahmed, Posmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam, (Bandung: Mizan, 1992), h. 224.
[21]. “Kesunyian dan Kegilaan: Sufisme dan Postmodernisme” dalam Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-tuhan” Digital, (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 204
[22]. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Daniel L. Pals, Seven Trories of Religion, (Yogyakarta: Qalam, 2001), h. 149
[23]. Ali Maksum, Spiritualitas Abad Modern : Reposisi Islam dalam Kancah Kebangkitan Agama,
Post a Comment
mohon gunakan email