Pesan Rahbar

Home » » Bagaimana dengan hadits shohih yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib ra ini: “Dari Ali bin abi Thalib berkata: Sesungguhnya Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging himar jinak pada perang khaibar” (HR. Bukhari 5115, Muslim 1407). Berikut Penjelasannya

Bagaimana dengan hadits shohih yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib ra ini: “Dari Ali bin abi Thalib berkata: Sesungguhnya Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging himar jinak pada perang khaibar” (HR. Bukhari 5115, Muslim 1407). Berikut Penjelasannya

Written By Unknown on Saturday 28 March 2015 | 04:51:00


Ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah (haji tamattu’ .red) dan nikah mut’ah”. Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh khalifah kedua?
Sudah menjadi kesepakatan segenap kaum muslimin bahwa nikah mut’ah pernah ada pada zaman Rasul sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab standar Sunni maupun Syiah. Disebutkan bahwa Rasul (saww) pernah membolehkan pernikahan jenis tersebut, akan tetapi lantas terjadi perbedaan pendapat diantara para pengikut Islam adakah Rasul sampai akhir hayat beliau tetap membolehkan pernikahan itu ataukah tidak? Sebagian dari mereka mengatakan bahwa sebelum pulangnya Rasul (saww) ke rahmatullah beliau telah melarang pernikahan tersebut atau dengan istilah yang sering dipakai hukum dibolehkannya nikah mut’ah telah mansukh (terhapus). Sebagian lagi mengatakan bahwa sampai akhir hayat beliaupun beliau tidak pernah melarangnya, akan tetapi seorang yang bernama Umar bin Khatab lah yang kemudian melarangnya sewaktu ia menjabat kekhalifahan.

Dari dua pendapat diatas dalam tulisan ini akan di bahas manakah dari pendapat tersebut yang lebih dekat pada kenyataan? Apakah nikah mut’ah telah dimansukh oleh Rasul atau tidak? Kalaulah tidak lantas apakah wewenang dan dasar yang dipakai oleh Umar untuk mengharamkannya? Adakah ia melakukan berdasarkan konsep ijtihad? Sedang Imam Ali (as) –sebagai khalifah keempat ahlissunnah- tidak pernah mengharamkannya? Bolehkah dalam Islam melakukan ijtihad walau bertentangan dengan ayat atau riwayat yang sebagai sumber utama syariat Islam? Kalaulah kita terima bahwa nikah jenis itu haram karena ijtihad Umar kenapa mut’ah haji (haji tamattu’) yang juga diharamkan oleh Umar tetap dianggap halal oleh seluruh kaum muslimin? Bukankah kalau kita menerima ijtihad Umar tentang pelarangan nikah mut’ah berarti juga harus menerima pelarangannya atas mut’ah haji? Lantas apakah alasan ahlissunnah menerima pelarangan nikah mut’ah sedang mut’ah haji tetap mereka halalkan? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa kita munculkan dari permasalahan-permasalahan mut’ah yang sering dipakai sebagai bahan untuk melumatkan mazhab Syi’ah karena hanya Syi’ahlah (imamiah itsna asyariah) yang sampai sekarang ini masih tetap menganggapnya halal.

Yang perlu diingat oleh pembaca yang budiman adalah bahwa kita disini dalam rangka mencari kebenaran akan konsep hukum mut’ah dan lepas dari permasalahan praktis dari hal tersebut, oleh karenanya dalam membahas haruslah didasari oleh argumen dari teks agama ataupun akal dan bukan bersandar pada emosional maupun fanatisme golongan.

Argumentasi dari Kitab-kitab Standar Ahlussunnah akan Pembolehan Nikah Mut’ah

Sebagaimana yang telah singgung diatas bahwa nikah mut’ah pernah disyariatkan oleh Allah (swt) sebagaimana yang telah disepakati oleh seluruh ulama’ kaum muslimin, hal ini sesuai dengan ayat yang berbunyi:

“dan (diharamkan atas kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki, (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina, maka (istri-istri) yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”(Qs; An-Nisaa’:24)

Jelas sekali bahwa ayat tersebut berkenaan denga nikah mut’ah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para perawi hadis dari sahabat-sahabat Rasul seperti: Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Habib bin Abi Tsabit, Said bin Jubair, Jabir bin Abullah al-Anshari (ra) dst.

Pendapat beberapa ulama’ tafsir dan hadis ahlussunnah

Adapun dari para penulis hadis dan penafsir dari ahlussunnah kita sebutkan saja secara ringkas:

1. Imam Ahmad bin Hambal dalam “Musnad Ahmad” jilid:4 hal:436.

2. Abu Ja’far Thabari dalam “Tafsir at-Thabari” jilid:5 hal:9.

3. Abu Bakar Jasshas dalam “Ahkamul-Qur’an” jilid:2 hal:178.

4. Abu bakar Baihaqi dalam “as-Sunan-al-Qubra” jilid:7 hal:205.

5. Mahmud bin Umar Zamakhsari dalam “Tafsir al-Kassyaf” jil:1 hal:360.

6. Fakhruddin ar-Razi dalam “Mafatih al-Ghaib” jil:3 hal:267.

7. dst.

Pendapat beberapa Sahabat (Salaf Saleh) dan Tabi’in

Beberapa ungkapan para sahabat Rasul dan para tabi’in (yang hidup setelah zaman para sahabat) sebagai contoh pribadi-pribadi yang mengingkari akan pelarangan (pengharaman) mut’ah:

Imam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diungkapakan oleh Thabari dalam kitab tafsirnya (lihat: jil:5 hal:9) dimana Imam Ali bersabda: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”.
Riwayat ini sebagai bukti bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Umar bin Khatab, lantas setelah banyaknya kasus perzinaan dan pemerkosaan sekarang ini –berdasarkan riwayat diatas- siapakah yang termasuk bertanggungjawab atas semua peristiwa itu?

Abdullah bin Umar bin Khatab (putera khalifah kedua), sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab musnadnya (lihat: jil:2 hal:95) dimana Abdullah berkata ketika ditanya tentang nikah mut’ah: “Demi Allah, sewaktu kita dizaman Rasul tidak kita dapati orang berzina ataupun serong”. Kemudian berkata, aku pernah mendengar Rasul bersabda: “sebelum datangnya hari kiamat akan muncul masihud-dajjal dan pembohong besar sebanyak tiga puluh orang atau lebih”. Lantas siapakah yang layak disebut pembohong dalam riwayat diatas tadi? Adakah orang yang memutar balikkan syariat Rasul layak untuk dibilang pembohong?

Abdullah bin Masud, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:7 hal:4 kitab nikah bab:8 hadis ke:3), dimana Abdullah berkata: “sewaktu kita berperang bersama Rasulullah sedang kita tidak membawa apa-apa, lantas kita bertanya kepada beliau: bolehkah kita lakukan pengebirian? Lantas beliau melarang kita untuk melakukannya kemudian beliau memberi izin kita untuk menikahi wanita dengan mahar baju untuk jangka waktu tertentu. Saat itu beliau membacakan kepada kami ayat yang berbunyi: “wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian dan janganlah kalian melampaui batas…”(Qs Al-Ma’idah:87)

Cobalah renungkan makna ayat dan riwayat diatas lantas hubungkanlah antara penghalalan ataupun pengharaman nikah mut’ah! Manakah dari dua hukum tersebut yang sesuai dengan syariat Allah yang dibawa oleh Rasul?

Imran bin Hashin, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:6 hal:27 kitab tafsir; dalam menafsirkan ayat: faman tamatta’a bil-umrati ilal-hajji (Qs Al-Baqarah)), dimana Imran berkata: “Diturunkan ayat mut’ah dalam kitabullah (Al-Qur’an) kemudian kita melakukannya di zaman Rasul, sedang tidak ada ayat lagi yang turun dan mengharamkannya, juga Rasul tidak pernah melarangnya sampai beliau wafat”. Riwayat seperti diatas juga dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitan musnadnya.

Dua riwayat ini menjelaskan bahwa tidak ada ayat yang menghapus (nasikh) penghalalan mut’ah dan juga sebagai bukti mahwa mut’ah sampai akhir hayat Rasul beliau tidak mengharamkannya.

Ibn Abi Nadhrah, sebagaimana yang dinukil oleh al-Muslim dalam kitab shahihnya (lihat: jil:4 hal:130 bab:nikah mut’ah hadis ke:8), dimana Ibn abi nadhrah berkata: “Dahulu Ibn abbas memerintahkan (baca:menghalalkan) nikah mut’ah sedang Ibn zubair melarangnya kemudia peristiwa tersebut sampai pada telinga Jabir bin Abdullah al-Anshori (ra) lantas dia berkata: “Akulah orang yang mendapatkan hadis tersebut, dahulu kita melakukan mut’ah bersama Rasulullah akan tetapi setelah Umar berkuasa lantas ia mengumumkan bahwa; “Dahulu Allah menghalalkan buat Rasul-Nya sesuai dengan apa yang dikehendakinya, maka umat pun menyempurnakan haji dan umrah mereka, juga melakukan pernikahan dengan wanita-wanita tersebut, jika terdapat seseorang menikahi seorang wanita untuk jangka wanita tertentu niscaya akan kurajam ia dengan batu”.
Riwayat diatas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya (lihat: jil:1 hal:52). Dikatakan bahwa Abi Nadhrah berkata: “Aku berkata kepada Jabir bin Abdullah Anshari (ra), sesungguhnya Ibn zubair melarang nikah mut’ah sedangkan Ibn Abbas membolehkannya”. Kemudian ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah dan nikah mut’ah”.

Dua riwayat diatas dengan jelas sekali menyebutkan bahwa pertama orang yang mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar bukan Rasul ataupun turun ayat yang berfungsi sebagai penghapus hukum mut’ah sebagaimana yang dikatakan sebagian orang yang tidak mengetahui tentang isi kandungan yang terdapat dalam buku-buku standar mereka sendiri.

Sebagai tambahan kami nukilkan pendapat Fakhrur Razi dalam tafsir al-Kabir, ketika menafsirkan ayat 24 surat an-Nisa. Ar-Razi mengutip ucapan Umar (“ Dua jenis mut’ah yang berlaku di masa rasulullah, yang kini ku larang dan pelakunya akan kuhukum, adalah mutah haji dan mut’ah wanita” ) dalam menetapkan pengharaman nikah mut’ah. Begitu juga tokoh besar dari kamu Asy,ariyah, Imam al-Qausyaji dalam kitab Syarh At-Tajrid, dalam pengharamannya mut’ah adalah ucapan Umar (ucapan Umar: Tiga perkara yang pernah berlaku di zaman Rasulullah, kini kularang, kuharamkan dan kuhukum pelakuknya adalah mut’ah wanita dan mutah haji serta seruan (azan): hayya ‘ala khayr al-‘amal (marilah mengerjakan sebaik-baik amal)). Qusyaji membela tindakan Umar ini, menyatakan bahwa semata-mata takwil atau ijtihad Umar.

Abdullah ibn Abbas, sebagaimana yang dinukil oleh al-Jasshas dalam Ahkamul-Qu’an (jil:2 hal:179), Ibn Rusyd dalam bidayatul mujtahid (jil:2 hal:58), Ibn Atsir dalam an-Nihayah (jil:2 hal:249), al-Qurtubi dalam tafsirnya (jil:5 hal:130), suyuti dalam tafsirnya (jil:2 hal:140) dikatakan bahwa Ibn Abbas berkata: “semoga Allah merahmati Umar, bukanlah mut’ah kecuali merupakan rahmat dari Allah bagi umat Muhammad (saww) jikalau ia (Umar) tidak melarang mut’ah tersebut niscaya tiada orang yang menghendaki berbuat zina kecuali ia bisa terobati”

Riwayat yang dikemukakan oleh Ibn Khalqan dalam kitab Wafayaatul-A’yaan jil:6 hal:149-150, durrul mantsur jil:2 hal:140, kanzul ummal jil:8 hal:293, tarikh tabari jil:5 hal:32, tarikh Ibn khalkan jil:2 hal:359, tajul-arus jil:10 hal:200. Dan masih banyak lagi riwayat dalam kitab-kitab lainnya, .

Untuk mempersingkat tulisan singkat ini kita cukupkan hanya dengan menyebutkan riwayat-riwayat diatas. Untuk melengkapinya akan kita sebutkan beberapa permasalahan yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang tidak paham akan maksud dari hikmah Ilahi tentang penghalalan nikah mut’ah dan kita berusaha untuk menjawabnya secara ringkas.

Soal: Salah satu fungsi pernikahan adalah untuk membina keluarga dan menghasilkan keturunan dan itu hanya bisa terwujud dalam nikah da’im (baca:nikah biasa), sedang nikah mut’ah tujuannya hanya sekedar sebagai pelampiasan nafsu belaka.

Jawab: Jelas sekali bahwa pertanyaan diatas menunjukkan akan adanya percampuran paham antara hukum obyek dengan fungsi/hikmah pernikahan. Yang ia sampaikan tadi adalah berkisar tentang hikmah pernikahan bukan hukum pernikahan. Karena kita tahu bahwa Islam mengatakan bahwa sah saja orang menikah walaupun dengan tidak memiliki tujuan untuk hal yang telah disebutkan diatas, sebagaimana orang lelaki yang sengaja mengawini wanita yang mandul atau wanita tua sehingga tidak terlintas sama sekali dibenaknya untuk mendapat anak dari wanita tersebut ataupun lelaki yang mengawini seorang wanita dengan nikah daim akan tetapi hanya untuk beberapa saat saja-taruhlah dua bulan saja- setelah itu ia talak wanita tersebut. Dua contoh pernikahan tersebut jelas tidak seorang ulama pun yang mengatakan bahwa itu batil hukumnya sebagaimana yang disampaikan oleh penulis tafsir “Al-Manaar” dimana ia mengatakan: “pelarangan para ulama’ terdahulu maupun yang sekarang akan nikah mut’ah mengharuskan juga pelarangan akan nikah dengan niat mentalak (istrinya setelah beberapa saat) walaupun para ahli fiqih sepakat bahwa akad nikah dikatakan sah walaupun ada niatan suami untuk menikahinya hanya untuk saat tertentu saja sedang niat tersebut tidak diungkapkannya saat akat nikah, sedang penyembunyian niat tersebut merupakan salah satu jenis penipuan sehingga hal itu lebih layak untuk dihukumi batil jika syarat niat tadi diungkapkan sewaktu akad dilangsungkan” (Tafsir al-Manaar jil:5 hal:17).

Dari sini kita akan heran melihat orang yang menganggap bahwa mut’ah hanya berfungsi sebagai sarana pelampiasan nafsu belaka dan bukankah dalam nikah da’im pun bisa saja orang berniat untuk pelampiasan nafsu saja, niatan itu semua kembali kepada pribadi masing-masing bukan dari jenis pernikahannya.

Soal: Nikah mut’ah menjadikan wanita tidak dapat menjaga kehormatan dirinya karena ia bisa berganti-ganti pasangan kapanpun ia mau, padahal Islam sangat menekankan penjagaan kehormatan terkhusus bagi para wanita.

Jawab: Justru dalam nikah mut’ah sama seperti nikah da’im dimana bukan hanya wanita yang ditekankan untuk menjaga kehormatannya tapi bagi silelaki pun diharuskan untuk menjaga hal tersebut, karena legalitas pernikahan tersebut sudah ditetapkan dalam syariat maka dengan cara inilah mereka menjaga kehormatan mereka dan tidak menjerumuskan diri mereka keperzinaan. Dalam Islam ada tiga alternatif dalam menangani gejolak nafsu birahi:Nikah da’im, Nikah mut’ah dengan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dan meredam nafsu dengan puasa misalnya.

Sekarang jika seseorang tidak mampu melaksanakan nikah da’im dengan berbagai alasan seperti karena masalah ekonomi, studi ataupun yang lainnya, dan untuk meredam nafsu dengan puasa misalnya iapun tidak mampu atau gejolaknya muncul diwaktu malam yang tidak memungkinkan untuk puasa, maka alternatif terakhir dengan nikah mut’ah tadi. Inilah yang diajarkan Islam kepada pengikutnya karena kita tahu bahwa Islam adalah agama terakhir, syariatnya pun adalah syariat terakhir yang dibawa oleh Nabi terakhir maka ia harus selalu up to date dan universal yang mencakup segala aspek kehidupan manusia yang mampu menjawab apapun kemungkinan yang bakal terjadi, dan ia merupakan agama yang bijaksana dimana salah satu ciri hal yang bijak adalah disaat ia melarang sesuatu maka ia harus memberi jalan keluarnya. Lantas jika seseorang tidak dapat melakukan nikah da’im ataupun meredam nafsunya lantas apa yang harus ia lakukan, sementara Islam melarang penyimpangan seksual jenis apapun? Atau jika ada seorang pemuda ingin mengenal seorang wanita lebih dekat untuk nanti menjadikannya seorang istri dalam masa pendekatan itu –karena boleh jadi gagal karena tidak ada kecocokan- hubungan apakah yang harus ia lakukan sehingga ia dapat berbicara dengan wanita tersebut berdua-duaan sedang Islam melarang berpacaran tanpa ada ikatan pernikahan?

Dan banyak lagi contoh lain yang Islam sebagai agama terakhir dan sebagai agama yang bijak dituntut untuk mampu menjawab tantangan tersebut, jika mut’ah diharamkan lantas kira-kira jalan keluar manakah yang akan diberikan oleh si pengharam mut’ah tadi? Oleh karenanya jangan heran jika Imam Ali (as) mengeluarkan statemen seperti diatas ( Imam Ali: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”).

Kesalahan besar yang selama ini banyak terdapat pada benak kaum muslimin adalah mereka sering mengidentikkan nikah mut’ah dengan hubungan seksual padahal tidak mesti semacam itu –sebagaimana nikah da’im dengan anak dibawah usia yang diperbolehkan oleh para ahli fiqih semuanya- bisa saja siwanita mensyarati untuk tidak melakukan hal tersebut dalam akad nya sehingga mut’ah hanya sebagai sarana untuk menghilangkan dosa -semasa berkenalan untuk nantinya menikah daim- dengan adanya ikatan pernikahan diantara mereka.

Soal: Adanya beberapa sumber dari ahlussunnah yang menunjukkan adanya pelarangan mut’ah walaupun dari sisi waktu dan tempat pelarangannya berbeda-beda sehingga menjadi argumen bahwa ayat mut’ah (an-Nisaa:23) sudah terhapus dengan riwayat-riwayat itu, seperti:

  1. Dibolehkannya mut’ah lantas dilarang pada seusai perang Khaibar.
  2. Dibolehkannya nikah mut’ah lantas dilarang pada saat Fathul-Makkah.
  3. Hanya dibolehkan pada saat peristiwa Awthas saja.
  4. Diperbolehkan pada saat umrah qadha’ saja.

Jawab: Kita bisa katakan bahwa:

1- Ungkapan-ungkapan yang berbeda-beda itu menunjukkan tidak adanya kesepakatan akan pelarangannya karena perbedaan riwayat menunjukkan bahwa riwayat itu tunggal sifatnya (khabar wahid) dan riwayat jenis itu tidak bisa dijadikan sandaran sebagai penghapus hukum yang ada dalam Al-Qur’an, oleh karenanya Imran bin Hashin mengatakan tidak ada riwayat ataupun ayat yang menghapus hukum mut’ah (lihat kembali riwayat Imran diatas).

2- Khalifah kedua sebagai pengharam mut’ah pun tidak menyandaran ijtihadnya –kalaulah itu bisa disebut ijtihad- kepada ayat ataupun riwayat karena memang tidak ada riwayat yang menghapus hukum mut’ah tersebut sehingga dari sinilah menyebabkan banyak sahabat yang menentang keputusan Umar dalam pengharaman mut’ah. Kalau ada ayat atau riwayat yang mengharamkan nikah Mut’ah, kenapa Umar menyandarkan pelarangannya pada diri sendiri? Bukankah dengan menyandarkan pada ayat dan riwayat dari Rasul maka pendapatnya akan lebih kuat?

Soal: Diperbolehkannya melakukan nikah mut’ah adalah sebagaimana diperbolehkannya memakan daging babi yaitu pada saat-saat tertentu saja (dharurat) karena mut’ah sama hukumnya seperti zina yaitu haram, maka sebagaimana haramnya babi dalam saat-saat tertentu halal maka pada saat-saat tertentupun mut’ah halal juga hukumnya.

Jawab: Jelas penyamaan antara diperbolehkannya makan daging babi disaat dharurat berbeda dengan mut’ah, salah satu perbedaannya adalah:

Hukum dharurat hanya pada hal-hal yang mengakibatkan kelangsungan hidup (jiwa) terancam oleh karenanya diperbolehkan makan daging babi sebatas untuk menyambung hidup saja sehingga dilarang untuk makan secara berlebihan, adapun mut’ah apakah ia sama seperti daging babi sehingga jika seseorang tidak mut’ah lantas ia terancam kelangsungan hidupnya?

Kalaupun –walaupun alasan ini tidak dapat diterima- mut’ah bisa disamakan sama seperti daging babi yaitu terkenai hukum dharurat, lantas kenapa banyak sahabat yang melakukan mut’ah saat itu padahal gairah seksual tidak mesti muncul bersamaan sebagaimana rasa lapar?

Kalau dikatakan hukum dharurat itu ada, seharusnya hukum setelah hilang nya dharurat, kembali ke hukum awal nya (haram), akan tetapi yang kita dapati bahwa rasulullah tidak mengharamkan sampai akhir hayatnya. Sehingga tidak benar penghalalan hukum mutah itu dikarenakan dharurat.

Penutup:

Dari sini jelaslah bahwa nikah mut’ah diperbolehkan oleh syariat Islam –yang bersumber dari ayat dan hadis shohih- dimana sepakat kaum muslimin bahwa sumber syariat hanyalah Allah semata sebagaimana ayat yang berbunyi: “keputusan menetapkan suatu hukum hanyalah hak Allah”(Qs Yusuf:67). Sedang Rasul diutus untuk menjelaskannya oleh karenanya apa yang diungkapkan oleh beliau merupakan apa yang sudah disetujui oleh Allah. Rasul bersabda:“dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”(Qs An-Najm:3-4). Oleh karenanya:“apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”(Qs Al-Hasyr:7).

Adapun ucapan para sahabat jika sesuai dengan firman Allah atau ungkapan Rasul maka bisa juga dikategorikan sebagai teks agama, akan tetapi jika tidak maka hal itu telah keluar dari apa yang telah tercantum dari ayat-ayat diatas tadi karena mereka manusia biasa seperti kita yang juga bisa salah sehingga tidak bisa dijadikan rujukan dalam menangani masalah syariat secara independen (mustaqil) tanpa tolok ukur kebenaran yang lain. Karena jika tidak, apa mungkin akan kita jadikan tolok ukur sedang kita dapati banyak pendapat mereka yang saling paradoksal sebagaimana yang kita saksikan tadi, bukankah dalam situasi perbedaan pendapat semacam itu kita diperintahkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya;“kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir”(Qs An-Nisaa’:59).

Bukanlah Allah dan Rasulnya tetap menghalalkan nikah mut’ah? Sewaktu sumber syariat adalah Al-Qur’an dan Hadis shohih lantas apakah diperbolehkan orang berijtihad –yang lantas hasilnya-hasilnya dianggap sebagai syariat- akan tetapi bertentangan dengan kehendak Allah dan Rasul yang sebagai sumber syariat?, bukankah dalam Al-Qur’an telah ditetapkan bahwa; “dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata”(Qs al-Ahzab:36)

Apakah pemberian ketetapan lain yang tidak sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul tersebut tidak dikategorikan sebagai bid’ah -yang berarti mengada-adakan hukum syariat- dimana dalam riwayat disebutkan bahwa semua jenis bid’ah adalah sesat – “kullu bid’atin dholalah” -sehingga tidak ada lagi lubang untuk membagi bid’ah kepada bid’ah yang baik dan yang buruk? Lantas apakah konsekwensi bagi orang ahli bid’ah yang berarti ahli kesesatan yang dalam riwayat tentang bid’ah juga telah disebutkan “wakullu dhalalatin finnaar”? Kemudian apakah kita akan terus mengikuti ahli bid’ah dengan mengharamkan nikah mut’ah? Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh khalifah kedua? Dan masih banyak pertanyaan lain yang harus dijawab oleh saudara-saudara ahlussunnah yang berkisar tentang mut’ah. Renungkanlah dan bacalah saudara-saudaraku...

bagaimana dengan hadits shohih yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib ra ini:
“Dari Ali bin abi Thalib berkata: Sesungguhnya Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging himar jinak pada perang khaibar” (HR. Bukhari 5115, Muslim 1407).

jika diperhatikan, hadits ini dengan sendirinya menggugurkan pernyataan Ali bin Abi thalib ra diatas yang berbunyi:
“jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”.

jika kita hanya melihat dua pernyataan diatas (sekali lagi hanya melihat dua pernyataan diatas), yang nota bene sama-sama sanadnya pada Ali bin Abi Thalib ra, maka terdapat keanehan dan kontradiksi. Tidak mungkin kedua pernyataan tersebut benar karena kontradiksi isinya, yang satu mengharamkan yang lain mendukung mut’ah.

jadi manakah yang benar? silahkan dinilai sendiri:
pernyataan pertama mempunyai derajat hadits shahih (Bukhari & Muslim) sedangkan pernyataan kedua bukan hadits.
mengenai Anisa: 24

kata “istamta’a bih” sama sekali tidak merujuk kepada kata “mut’ah”, karena kedua kata itu sangat berbeda arti:
istamta’a bih berarti menikmati, mendapat kesenangan dari …, (diambil dari Aqrab Al Mawrid)
kata mut’ah lebih diartikan sebagai pernikahan sementara.
sehingga terjemahan dari “istamta’a bih” tidak ada sangkut pautnya dengan kata “mut’ah”.

Wallahu ‘alam.

———————-
Jawab:
Anda benar bahwa ada beberapa hadis yang menyatakan hal itu dalam kitab Ahlusunah. Tetapi kita juga harus melihat bahwa ada hadis-hadis lain (dalam kitab yang sama-sama shohihnya yaitu yang diriwayatkan dari Ibn Abi Nadhrah yang dinukil oleh al-Muslim dalam kitab shahihnya jil:4 hal:130 bab:nikah mut’ah hadis ke:8) yang menyatakan bahwa Rasul hingga akhir hayat beliau tidak pernah mengharamkannya, bahkan khalifah kedualah yang mengharamkannya…dan terbukti bahwa para ulama Ahlusunah tidak ada kesepakatan pendapat tentang kapan mut’ah diharamkan, yang jelas, pendapat-pendapat mereka masing-masing memakai dalil hadis yang berbeda-beda…

Adapun mengenai surat an-Nisa tentang ayat mut’ah itu, kita tidak bisa mengarang-ngarang penafsirannya dan terbukti bahwa ayat itu turun untuk mut’ah. Silahkan anda melihat kembali beberapa kitab tafsir Ahlusunah sendiri -spt: Tafsir al-Kabir karya Fakhrur Razi, Durrul Mantsur karya as-Suyuthi, Fathul Qadir karya as-Syaukani, Ruhul Ma’ani karya al-Alusi, Tafsir al-Quranul Karim karya Ibnu Katsir…dsb- yang menyatakan bahwa ayat itu (an-Nisaa: 24) turun untuk nikah mut’ah, walaupun kembali mereka menyatakan bahwa ayat itu lantas dihapus (mansukh)…dihapus dengan apa? Itulah yang menjadi masalah…apakah mungkin hadis (yang tidak terjaga oleh Allah) akan dapat menghapus ayat al-Quran (yang dijaga oleh Allah)? apakah mungkin sebuah ayat akan dapat dihapus oleh statemen sahabat? Silahkan anda renungkan…!?

Dalam kasus nikah Mut’ah, terbukti bahwa Allah tidak pernah menghapus (naskh) hukum itu, begitu juga dengan penjelasan Rasul atas syariat Ilahi…tetapi sahabat Umarlah yang mengharamkannya berdasarkan pendapat pribadinya…Apakah mungkin hukum Allah akan terhapus dengan pendapat pribadi? Siapapun tidak berhak mengganti hukum Allah, walaupun itu manusia termulia seperti Rasulullah, apalagi manusia biasa. Silahkan direnungkan!

Silahkan pelajari semua mazhab dalam Islam, termasuk Syiah, karena semakin anda mengenal banyak agama dan mazhab maka anda akan semakin berpikir terbuka dan berwawasan luas. Hanya saja, saran saya, pelajarilah juga dari si pemilik agama dan mazhab secara langsung, baik langsung kontak person maupun karya2 mereka, jangan hanya cukup informasi dari pihak luar.

Silahkan jika anda ingin berkonsultasi. Terserah, mau di sini (blog) ataupun JAPRI via e-mail. Adapun tentang legalitasnya, anda bisa baca sendiri di sini, hingga saat ini tidak ada argument yang kuat dalam pengharamannya melalui lisan suci Rasul, secara konkrit. Adapun tata caranya, tidak jauh beda dengan nikah biasa, walupun terdapat perbedaan sedikit, termasuk adanya penentuan jangka waktu pada nikah mut’ah.

Dalam Islam, tidak ada istilah pacaran (perkenalan secara pribadi tanpa ikatan pernikahan) yang sering dipraktikkan oleh masyarakat. Namun di sisi lain, hampir mustahil nikah tanpa perkenalan sebelumnya, terkhusus berbicara dari ati ke hati yang hanya melibatkan dua orang saja. Dan Islam harus memberi solusinya. Nikah mut’ah adalah solusi terbaik dalam hal ini.

Dalam nikah mut’ah, pihak perempuan bisa memberi syarat -sewaktu akad nikah- kepada pihak lelaki untuk tdk melakukan hubungan selayaknya suami-istri, hanya sekedar ngobrol-ngobrol saja. Ini juga salah satu perbedaan antara nikah mut’ah dengan nikah biasa (da’im), adanya syarat untuk tidak berubungan intim. Jadi saran saya, untuk perkenalan dengan pasangan anda, lebih baik anda menikah dengan akad mut’ah, tetapi dengan syarat tanpa ada hubungan intim dengan bentuk apapun. Dengan begitu, anda bisa terbebas dari dosa pacaran yang tanpa ikatan, selain anda juga tetap terjaga dari ‘kemungkinan buruk’ pra nikah da’im.

Perbedaan bagi seorang gadis dan janda, antara nikah da’im dan mut’ah sama, yaitu untuk gadis HARUS dengan izin wali yang dalam mazhab Syiah adalah ayah, kakek dari ayah, buyut dari ayah dst. Namun jika status perempuan itu janda maka tidak disyaratkan untuk izin wali. Itu hukum aslinya (hukum primer). Namun perlu diingat bahwa, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan -apalagi kita sebagai orang timur yang halus tata krama- dan jangan sampai berbenturan dengan adat istiadat setempat, maka tidak ada salahnya kita juga meminta izin ibu atau pribadi yang dekat lainnya.
Dalam Islam, dari mazhab manapun, tidak pernah mengizinkan seorang perempuan untuk berpraktik polyandri. Hanya oknum-oknum yang mengatasnamakan Islam akan tetapi mengusung bendera kebebasan ala Barat (Liberal) yang ingin membikin syariat sendiri saja yang berusaha melegalkannya.

Itu saja jawaban saya yang ringkasnya. Jika anda ingin lebih banyak berkonsultasi, terkhusus mengenai tata cara nikah mut’ah yang lebih praktis maka silahkan lontarkan di sini (tanpa perlu saya moderasi), dan akan saya jawab via e-mail ke e-mail anda.

Jelas bahwa seorang muslim/mukmin harus menjaga kemaluannya dari yang diharamkan oleh Allah. Adapun maksud dari kata ‘maa malakat aimaan’ adalah budak yang dimilikinya. Sementara sekarang ini sistem perbudakan tidak lagi dapat diterapkan, karena syarat-syarat tertentu yang tidak terpenuhi, ini versi Syiah. Adapun masalah istri-istri dalam ayat itu, lebih umum dari istri Da’im. Karena hubungan antara lelaki dan perempuan dengan akad nikah Mut’ah pun tergolong perkawinan yang meniscayakan perempuan menjadi istrinya. Jadi, menjaga kamaluan dari yang diharamkan oleh Allah adalah hukumnya WAJIB, dan dihalalkan kepada budak dan istri-istri, baik dari nikah Da’im maupun Mut’ah. Jika tidak, dan jika penghalalan khusus pada nikah Da’im saja, maka pertama; berarti Mut’ah bukan nikah, dan ini bertentangan dengan argumen di artikel di atas. Kedua; pertama kali yang membolehkan dan melanggar ayat di atas adalah Rasuldan sahabat-sahabat mulia Rasul, karena mereka melakukan nikah Mut’ah dan berhubungan dengan istri-istri Mut’ahan mereka. Apakah mungkin Rasul beserta sahabat melanggar perintah al-Quran untuk menjaga kemaluan mereka, bahkan melakukan Zina? Naudzubillah min dzalik.

Jadi ayat di atas tidak mungkin dipakai untuk dalil pengharaman nikah Mut’ah, dengan alasan menjaga kemaluaan. Karena nikah Mut’ah adalah nikah (bukan diluar nikah yang berhubungan dengan perempuan hasil mut’ah berarti zina) yang meniscayakan pelakunya memiliki hubungan suami-istri yang syah (legal secara syar’i). Apalagi kalau nikah Mut’ah itu dilakukan hanya untuk penghalalan sekedar ngobrol-ngobrol saja, tidak lebih….
1- Dalam memahami penafsiran ayat hukum, kita tidak boleh berpegangan kepada terjemahan versi DEPAG yang syarat dengan kesalahan penerjemahan, terkhusus berkaitan dengan penggunaan kata yang kurang tepat dan tidak sesuai dengan redaksi al-Quran. Jadi perlu kepada kamus “Mufradat al-Quran” (Pilologi kosa kata al-Quran), minimnya.
2- Tentu, disaat ada dua hal yang berbeda (seperti terdapat dua jenis nikah; Da
im dan Mut’ah) maka mesti meniscayakan perbedaan. Perbedaan yang prinsip adalah;
a- Terdapat penentuan jangka waktu.
b- Tidak ada kewajiban memberi nafkah, baik zahir maupun batin.
c- Tidak ada saling mewarisi antar pasangan.

Namun dari sisi-sisi yang lain, prosedur nikah ini adalah sama.

Jangan salah antara penggunaan kata ‘agama’ dan ‘keberagamaan’. Tidak ada dalam sejarah agama yang bernama agama Sunni ataupun agama Syiah. Yang ada adalah agama Islam dari mazhab Sunni atau mazhab Syiah.

Masalah persatuan. Jika yang anda maksud dari persatuan adalah ‘peleburan’ maka itu mustahil, sebagaimana antara mazhab-mazhab dalam tubuh Sunni sendiri peleburan juga mustahil. Namun jika yang dimaksud persatuan adalah saling tenggangrasa dan hidup rukun dan damai, kenapa tidak? Dengan pemeluk agama lain saja Rasul telah mengajarkan persatuan dalam arti tenggangrasa koq, kenapa dengan sesama muslim tidak bisa yang hanya berbeda mazhab saja?
Sebagaimana namanya, nikah Sirri itu adalah nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dalam arti, nikah yang dilakukan tanpa tercatat di KUA. Namun jenis akadnya biasanya sama seperti nikah daim (bikah permanen), bukan nikah mut’ah. Walaupun bisa saja nikah sirri tetapi akad nikahnya menggunakan akad nikah mut’ah, walaupun nikah mut’ah sendiri tidak akan diakui oleh KUA, maka dengan sendirinya nikah mut’ah itu sendiri sudah sirri. Adapun kenapa nikah mut’ah tidak diakui oleh KUA, tentu anda tau sendiri penyebabnya.

Bisa, perpindahan dari nikah mut’ah ke nikah daim secara langsung. Kalau jangka waktunya (nikah mut’ah) masih tersisa maka pihak lelaki bisa menghadiahkannya (hibah) ke pihak perempuan, sehingga dengan sendirinya terputus nikah mut’ahnya. Si lelaki hanya tinggal mengatakan: “Aku hibahkan waktu yang tersisa kepadamu”. Lantas si lelaki kembali berakad dengan akad nikah daim. Mungkin anda bertanya, bagaimana dengan masa iddah si perempuan seusai nikah mut’ah? Dalam fikih Ahlul Bait dinyatakan, jika pelakunya (dari nikah mut’ah ke nikah daim) adalah lelaki sama (bukan lelaki lain) maka tidak perlu iddah. Namun jika lelakinya lain maka perlu iddah, kalau sudah berhubungan badan. Namun jika tidak pernah berhubungan badan maka tidak perlu iddah, walaupun berlainan lelaki.

Perbedaan antara akad nikah mut’ah dan nikah daim adalah dari sisi penentuan jangka waktu saja. Kalau nikah mut’ah harus menyebutkan jangka waktu, sedang nikah daim tidak. Jika seseorang melakukan nikah mut’ah dan lupa atau sengaja tidak menyebut jangka waktu maka jatuhnya hukum nikah daim. Secara hukum aslinya, dalam fikih Ahlul Bait, penggunaan bahasa Arab diharuskan. Jika tidak bisa maka bisa menggunakan teks yang dibaca, tentu dengan dipahami terlebih dahulu maksudnya (dengan proses penerjemahan). Jika tidak bisa membaca huruf bahasa Arab, maka kalimat perkalimat bisa ditulis dengan tulisan latin. Jika tidak bisa membaca maka bisa dituntun. Jika itupun tidak bisa juga maka bisa diwakilkan. Jika tidak ada yang bisa diwakilkan maka baru bisa dengan bahasa sendiri, dengan tidak merubah kandungan akad nikah mut’ah.

Pada prinsipnya, kurang lebih arti dan kandngan akad nikah mut’ah sebagai berikut:
Pihak perempuan mengatakan: “Aku nikahkan diriku kepadamu dengan mahar …. dengan jangka waktu ….(bisa ditambahkan syarat di sini, seperti hanya untuk perkenalan (pacaran) saja, tidak lebih)”. Maka pihak lelaki menjawab: “Aku terima…..”.

Ringkasnya begini..
1- Secara umum syarat nikah mut’ah gak beda dengan nikah daim. Namun karena ada dua jenis nikah maka pasti ada perbedaan yang membedakan keduanya. Salah satunya masalah, waktu, wajib nafkah, beberapa bentuk syarat.
2- Sebagaimana yang sudah dijelaskan. Di nikah Mut’ah pihak perempuan atau lelaki bisa memberi syarat itu. Tetapi di nikah daim tidak boleh memberi syarat itu. Jika syarat itu dilontarkan dalam akad maka WAJIB bagi keduanya untuk mentaati syarat itu, kecuali mereka sepakat untuk membatalkan syarat tadi. Yang jelas pembatalan syarat itu tidak bisa sepihak. Saya kira jelas di sini. Jika tidak ada syarat maka kewajiban memenuhi syarat tentu akan tiada, lha wong syaratnya aja gak ada koq mau diwajibkan mengikuti syarat?
3- Jika anda berbicara pada hukum primer (hukum asli / awwali) maka itu tidak mengapa. Tapi jika anda bicara ttg hukum sekunder (hukum tsnawi) maka dikarenakan -mungkin- hal itu menyebabkan fitnah maka bisa menjadi haram ataupun makruh, tergantung besar kecilnya madharat yang ada.

Makanya kalau anda lihat dalam beberapa kitab Syiah maka anda akan temui Imam Jakfar Shadiq pernah mengharamkan Syiahnya untuk melakukan nikah mutah di Makkah dan MAdinah, itu berdasarkan hukum sekunder, bukan hukum primer. Toch apa yang anda jelaskan tadi juga bisa juga diterapkan di nikah daim bukan? Ada lelaki kawin daim, setelah dua minggu istri dicerai. Kawin lagi dengan yang lain, setelah dua mingu cerai lagi. dan seterusnya….Dan ingat! Dalam kawin mut’ah juga sama dengan kawin daim, istri muta’ahan setelah kawin dan bersetubuh dengan pria, untuk menikah lagi ia harus melakukan iddah, sebagaimana istri daim. Tidak bisa seenaknya dia seperti pelacur yang ganti-ganti pasangan aja. Islam sudah menjabarkan semua itu.

4- Sebab itu kembali kepada pribadi masing-masing, persis seperti nikah daim khan sebabnya macam2…ada yang nikah daim karena memuaskan nafsu saja, ada yang karena mencari warisan karena sang istri kaya, ada yang karena Allah..dst. Jadi masalah motivasi nikah mutah sama persis dalam nikah daim, TERGANTUNG ORANGNYA.

5- Tujuan pensyariatan atau tujuan pelaksanaan? Adapun tujuan pensyariatan sudah disinggung dalam artikel di atas. Jika tujuan pelaksanaan sudah disinggung dalam poin 4.
Jika anda memahami konsep hukum primer dan hukum sekunder dalam kajian usul fikih Syiah maka kebingungan anda itu akan terjawab. Bukan hanya nikah mut’ah, nikah daim pun hukum sekundernya bisa jadi haram, bisa jadi makruh, dan bisa jadi wajib jika kembalikan kepada mafsadah dan madharatnya.

Adapun mengenai pengharaman nikah mut’ah. Jelas menurut Syiah itu tidak pernah ada, kecuali pada kasus hukum sekunder tadi, bukan hukum primernya.

Adapun dalam masalah pengharaman versi ikhwan Ahusunnah, di sini mereka tidak pernah ada kesepakatan. Justru yang mengharamkan atas dasar -katanya / konon- hadis Rasul maka itu dengan mudah dapat dielakkan. Karena problem mereka adalah, mereka akan berbenturan dengan hadis / riwayat yang terdapat dalam kitab yang TERLANJUR dianggap semua isinya SAHIH. Beranikah menentang kitab Sahih yang situ enjelaskan bahwa pengharam nikah Mut’ah bukan Rasul?
——————————————————
yenyali
nanya nih…
akad nikah mut’ah antara calon suami dan calon istri saja ya? trus,, saksi dan wali bgm? apakah boleh punya istri lebih dari 4, yang semuanya dimut’ah?
trus, kalo hasil pernikahan tsb menghasilkan anak, yang menafkahi siapa?
———————————————
Islam Syiah:
Itu syarat utamanya. Saksi tidak wajib, walaupun kalau ada juga lebih bagus.
Wali harus terlibat dalam masalah perizinan sebelum praktik akad, itu jika gadis. Jika janda maka izin bukan syarat tetapi kalau izin lebih bagus, agar tidak terjadi fitnah, baik yang berkaitan dengan sosial maupun etika.

Keberadaan wali saat akad tidak harus walaupun kalau ada ya jelas lebih baik.
Salah satu perbedaannya dengan nikah daim (selain perbedaan2 yang pernah kita singgung, termasuk keberadaan syarat untuk tidak berhubungan intim) adalah mengenai jumlah. Diperbolehkan melakukan nikah muta’h lebih dari 4.

Jika dalam nikah mut’ah ternyata terjadi hubungan intim dan menghasilkan anak, maka dalam hal ini status anak seperti nikah daim, nafkahnya harus ditanggung suami (ayah sang anak).
Kita jawab secara ringkas;
1- Izin Wali adalah syarat buat mempelai yang masih perawan, kecuali janda. Jika Wali tidak mengizinkan maka nikah tidak akan dapat dilaksanakan.
2- Pemberian mahar tergantung kesepakatan. Jika suami meminta pembayarannya setelah mau habis masa berlaku -mungkin karena masih belum punya uang- dan istri mengizinkan maka tidak mengapa. Tapi jika istri mensyarati kontan maka selepas akad harus langsung dibayar. Yang jelas, Mahar adalah hak istri yang harus diberikan sesuai permintaannya.
3- Salah satu perbedaan nikah Mutah dengan nikah daim (permanen) adalah pemberian nafkah. Suami tidak diwajibkan memberi nafkah zahir maupun batin terhadap istri. Namun jika suami memberi bafkah zahir maka itu tergolong kebaikan (ihsanan) kepada istri saja, bukan melaksanakan kewajiban. Oleh karenanya, nikah mut’ah ini bisa dipakai hanya sekedar untuk ‘mengikat’ saja, biar tidak berdosa di saat berjalan kesana-kemari dengan lawan jenis yang tidak mahram.

————————————————————

(Syiahali/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: