Media Metafisika Add Comment kisah Mediametafisika.com
Badigul, Bukit Keramat yang Memakan Korban 114 Orang - Badigul, begitu orang
menyebut bukit kecil di kota Bogor bagian Selatan ini. Selintas tak ada
yang nampak istimewa pada segundukan tanah di atas lahan seluas 5000
meter persegi itu. Hanya ruput halus lapangan golf yang mengelilinginya.
Di sisi barat berdiri sebuah bangunan sport center milik perumahan
elite Rancamaya.
Di
sisi lain nampak sebuah gedung megah pusat penelitian dan pengembangan
agama Budha. Bukit itu sendiri kini telah menjadi miliki perumahan
Rancamaya. Namun 20 tahun lalu, sebelum Badigul digusur pengembang
Rancamaya, bukit ini adalah sebuah tempat yang amat dikeramatkan
masyarakat Sunda. Betapa tidak, Badigul diyakini sebagai tempat mandapa
Prabu Siliwangi. Di bukit ini sang Prabu sering semedi hingga kemudian
ngahiyang menghadap Sang Pencipta. Dulu orang berbondong-bondong
berziarah pada leluhur mereka di bukit Badigul yang luasnya masih 5
hektar.
Saat itu masih terdapat beberapa alat
gamelan sunda yang memiliki kekuatan magis, namun kini menghilang entah
ke mana. Buldoser dan 2 becko tak sanggup menggeser batu menhir di bukit
Badigul. Malah tiga sopir alat-alat berat itu sekarat tanpa sebab.
Korban-korban lain pun berjatuhan….
“Dulu bukit itu masih tinggi. Badigul
dikelilingi sebuah telaga yang bernama Renawijaya. Jika orang ingin ke
puncak bukit, mereka harus menyeberangi telaga dan mengambil air wudlu
di sana,” tutur Ki Cheppy Rancamaya, 53 tahun, saat Kami ditemui di
rumahnya. Berkisah tentang Badigul, Ki Cheppy, spiritualis dan budayawan
ini, merasa miris mengingat masa lalunya. Ia adalah orang yang
mati-matian mempertahankan tempat keramat itu. Namun kekuatan rezim Orde
Baru dan pengaruh uang dari pengusaha membuatnya harus mengakui
kekalahan. Badigul digusur, ia diculik Kopassus dan dipenjarakan tanpa
pengadilan.
Setahun lebih Ki Cheppy harus meringkuk
di penjara Paledang, Januari 1992-1993. Tak cukup sampai di situ,
setelah keluar Ki Cheppy kembali melakukan perlawanan terhadap penguasa.
Tapi akhirnya ia pun harus kembali meringkuk di tahanan untuk ke dua
kalinya. Sebuah pengalaman mistik pun dialami Cheppy saat ia menghuni
Blok B 8 Rutan Paledang, Bogor.
Saat itu ia dipanggil sipir, katanya ada
keluarganya yang hendak menjenguknya. Cheppy pun keluar dari ruang
tahannya. Namun belum genap 10 langkah ia meninggalkan ruang tahanan
itu, tiba-tiba terdengar bunyi menggelegar dari ruang tahannya. Sebuah
petir yang menghebohkan seisi napi Paledang menjebolkan tembok kamar
tahanan Cheppy yang tebalnya 75 cm. “Saat itu memang hujan
rintik-rintik. Petir itu membuat lubang berdiameter 50 cm pada dinding
penjara. Jika saya ada di dalam tentu saya sudah mati. Belakangan saya
baru tahu kalau petir itu adalah santet kiriman anak buah Cecep
Adireja,” tutur Cheppy.
Keberanian Cheppy untuk mempertahankan
Badigul memang bukan tanpa alasan. Ia yakin seyakin-yakinnya, Badigul
adalah tempat keramat peninggalan leluhur Pakuan Pajajaran. Keyakinan
Cheppy itu juga diperkuat oleh keyakinan banyak masyarakat di sana.
Budayawan-budayawan Sunda pun telah menetapkan situs Badigul sebagai
Cagar Budaya yang patut dilestarikan. Bahkan Solihin GP, tokoh
masyarakat Sunda yang kala itu menjabat Sesdalopbang pun melarang
penggusuran keramat Badigul dengan mengeluarkan nota pribadinya kepada
Walikota Bogor. “Siapapun yang merusak tempat keramat akan kena supata
(karma-Red.),” tutur Cheppy.
Cerita-cerita mistik dan supata yang
dilontarkan Cheppy memang terbukti. Seratus orang buruh bangunan telah
mati menjadi tumbal saat bukit Badigul dibuldoser. Namun ambisi
pengusaha real estate untuk meratakan bukit Badigul tidak pernah luntur.
Bukit itu tetap diratakan untuk perumahan dan lapangan golf hingga
ketinggiannya berkurang 6 meteran. Saat puncak badigul telah tercukur 6
meter itu muncul sebuah batu menhir sebesar mobil sedan. Anehnya batu
sebesar itu sama sekali tak goyang saat dibuldoser. Penasaran dengan
itu, pihak perumahan mendatangkan dua becko untuk menarik batu keramat
itu. Tapi dua becko itu pun tak sanggup menggoyangkan batu itu. Bahkan
satu becko malah patah saat menariknya. Secara logika batu itu
seharusnya dapat digusur oleh buldoser. Saat itulah kesadaran para buruh
tentang kekuatan mistik bukit Badigul mulai terbuka. “Tapi mereka
terlambat, 3 orang supir alat berat itu pun mati,” tutur Cheppy.
Mengingat keanehan-keanehan yang terjadi, akhirnya pihak perumahan
sepakat untuk tidak memindahkan batu itu. Batu itu tetap di tempatnya
kemudian dibenamkan dan kembali timbun dengan tanah.
Jadilah bukit Badigul kini sebagai
lapangan golf dengan sport center dan pusat penelitian agama Budha di
sebelahnya. Memang ironis, hanya untuk membuat sebuah lapangan golf dan
pusat kebugaran, pihak pengembang harus menghancurkan cagar budaya.
Mereka juga harus bertentangan dengan kepercayaan masyarakat sekitar
yang meyakini kekeramatkan Badigul. Alhasil mereka harus menumbalkan 114
orang buruh untuk mencukur 6 meter bukit Badigul. “Kita berurusan
dengan makhluk di dunia lain. Tapi mereka juga punya tempat dan habitat
di bumi ini. Jika mereka diganggu, mereka pun bisa mengganggu kita,”
jelas Cheppy.
Tentang kekeramatan bukit Badigul,
mungkin hanya Cheppy yang pernah menyibak tabir mistiknya. Ia adalah
penduduk asli Rancamaya, Bogor Selatan. Ia adalah orang yang paling
rajin bermunajat di sana. Ia sering melakukan kontak batin dengan
penguasa gaib bukit Badigul. Bahkan ia juga pernah melakukan meditasi
dan puasa selama 100 hari di bukit itu. Dikisahkan Cheppy, suatu malam
ia tengah melakukan meditasi di puncak Badigul. Menjelang tengah malam,
ia melihat seekor anjing hitam yang diapit dua ekor anjing kecil berbulu
putih di kiri kanannya. Dalam hati, Cheppy yakin itu bukan binatang
sungguhan. Sebab tak mungkin binatang-binatang itu tiba-tiba muncul di
hadapannya tanpa diketahui dari mana datangnya. Tidak mungkin pula
anjing itu bisa ke puncak Badigul, sebab harus menyeberangi telaga
Renawijaya. Binatang-binatang yang tampak gagah itu memandang heran ke
arah Cheppy. Tapi sedikit pun Cheppy tak bergeming dari tempatnya duduk.
Cheppy tetap konsentrasi dengan meditasinya.
Sesaat ia melihat ajing berbulu hitam itu
menengadahkan kepalanya pada Cheppy. Tapi ia tak mengerti apa
maksudnya. Dan dalam ketidak mengertian itu, sekedipan mata saja
anjing-anjing aneh itu hilang dari pandangan Cheppy. Malam yang lainnya,
Cheppy juga pernah menemukan fenomena mistik yang sulit diterima akal
sehatnya. Malam itu, Cheppy sengaja datang ke Badigul untuk melanjutkan
meditasinya.
Dari rumah, ia membawa segala perlengkapan sajen yang
diperlukan di keramat Badigul. Cheppy berharap malam itu ia akan
mendapatkan sesuatu yang selama ini ia cita-citakan. Lepas Maghrib
Cheppy duduk tepekur menghadap Kiblat. Tepat tengah malam, ketika Cheppy
tengah khusuk meditasi sambil memejamkan matanya. Tiba-tiba ia melihat
sepertinya matahari terbit dari balik gunung Salak. Sinarnya terlihat
benderang menerangi seantero alam. Gunung Salak terlihat jelas, pohon
besar hingga rumput kecil dan perumahan penduduk di kaki gunung itu
terlihat jelas.
Sesaat Cheppy tak yakin, ia sadar bahwa gunung salak itu
berada di sebelah barat. Mana mungkin matahari terbit dari arah barat.
Ia lalu mengusap-usap matanya.Dan
seketika itu pula bumi kembali gelap gulita. Tak nampak lagi matahari
yang benderang di balik gunung salak itu. Yang tertinggal hanya
kedipan-kedipan kecil dari lampu yang terpasang di rumah-rumah penduduk.
“Itu benar-benar aneh dan saya mengalaminya sendiri. Kekuatan mistik
Badigul memang nyata,” jelas Cheppy. Kisah lain yang lebih unik juga
diceritakan Cheppy. Malam itu ia tengah wirid di Badigul. Karena penat,
ia celentang merebahkan dirinya di tengah padang rumput puncak Badigul.
Tapi sesaat kemudian ia tersentak kaget.
Dari atas langit ia melihat seperti
seberkas sinar keperakan jatuh menimpa dadanya. Seketika ia memegangi
dadanya yang terasa sesak. Dan mendadak, tangannya menyentuh benda pipih
yang dingin. Ia pun langsung menggenggamnya. Kini di tangannya
tergenggam sebilah kujang — sebuah pusaka Pajajaran yang keampuhannya
tak perlu diragukan lagi. Dan tatkala Kami mencoba, ternyata, kujang itu
memiliki daya kekebalan bagi siapa pun yang memegangnya. Masih seputar
fenomena mistik Badigul, Cheppy menceritakan suatu hari di tahun 1994
warga Bogor dihebohkan oleh penemuan telapak kaki raksasa di Batutulis
dan Rancamaya. Berita yang menghebohkan itu pun diliput oleh media-media
cetak dan elektronik di Jabotabek.
Di Jalan Batutulis terdapat sebuah
telapak kaki kiri sepanjang 1 meter. Jelas sekali telapak kaki itu bukan
rekayasa manusia. Sementara di Rancamaya juga terdapat sebuah telapak
kaki kanan yang panjangnya sama dengan yang ditemukan di Batutulis. Lalu
orang berimajinasi, kalau kaki itu adalah milik gaib Prabu Siliwangi.
Sang Prabu sengaja mendatangi Batutulis kemudian loncat ke Rancamaya
hanya dengan sekali langkah saja. Tak cuma itu, ternyata di sekitar
puncak Badigul terdapat empat telapak kaki yang panjang dan besarnya
sama. “Sang Prabu ke Batutulis lalu ke Rancamaya dan mengelilingi puncak
Badigul,” begitu jelas Ki Cheppy ketika ditanyai wartawan saat itu.
Kekeramatan bukit Badigul memang meyakinkan. Tak seorang warga Rancamaya
pun yang dihubungi Kami meragukan keangkerannya.
Sejak batu keramat
itu tak sanggup dibuldoser, tak seorang buruh pun yang mau melanjutkan
pekerjaan di sana. Mereka takut terkena kutuk atau supata Eyang Prabu
Siliwangi. “Kami tidak mau mati jadi tumbal,” tutur Ujang warga
Rancamaya yang waktu itu ikut melakukan pembabatan lahan di Badigul.
Ketakutan Ujang memang beralasan. Ia menceritakn beberapa orang rekannya
yang mati akibat ikut meratakan tanah di bukit Badigul. Waktu itu,
Herman dan beberapa teman Ujang diperintahkan untuk mengeruk tanah di
puncak Badigul. Lewat tengah hari setelah mereka istirahat pekerjaan itu
dilanjutkan.
Namun alangkah terkejutnya Herman dan kawan-kawannya.
Mereka melihat seekor ular hitam di atas tanah merah bukit Badigul.
Tanpa pikir panjang ular itu mereka pukul ramai-ramai dengan batang kayu
dan batu. “Esok harinya, Herman dan dua orang temannya itu dikabarkan
sakit meriang lalu sore harinya mati semua,” kisah Ujang pada Misteri.
Tentang Supata yang didawuhkan Prabu Siliwangi itu ternyata tidak hanya
menimpa kuli bangunan atau buruh pekerja perumahan Rancamaya. Tapi juga
menimpa seluruh penggede-penggede Perumahan elit itu. Cecep Adireja
misalnya, tuan tanah yang menguasai pembebasan lahan untuk perumahan itu
akhirnya mati mengenaskan. Tuan tanah yang disebut-sebut pemilik Hotel
Salak, Bogor, ini meninggal setelah mengalami sakit berkepanjangan yang
tak jelas sebab musababnya.
Begitu pun dengan kakak dan adik Cecep,
mereka mati setelah mengalami sakit yang tak sanggup diobati dokter.
“Tidak hanya keluarga Cecep, supata itu juga diterima Kapolsek Ciawi dan
lurah Rancamaya waktu itu. Mereka juga mati setelah mengalami sakit
parah yang tak jelas penyakitnya,” jelas Cheppy.
Source: http://www.mediametafisika.com/2013/11/badigul-bukit-keramat-yang-memakan.html
Disalin dari WWW.MEDIAMETAFISIKA.COM | kontent ini memiliki hak cipta.
Disalin dari WWW.MEDIAMETAFISIKA.COM | kontent ini memiliki hak cipta.
SEJARAH KERAJAAN PADJAJARAN (PART 5)
Karena Permusuhan Tidak Berlanjut Ke Arah Pertumpahan Darah, Maka
Masing Masing Pihak Dapat Mengembangkan Keadaan Dalam Negerinya.
Demikianlah Pemerintahan Sri Baduga Dilukiskan Sebagai Jaman
Kesejahteraan [ Carita Parahiyangan ]. Tome Pires Ikut Mencatat Kemajuan
Jaman Sri Baduga Dengan Komentar “The Kingdom Of Sunda Is Justly
Governed; They Are True Men” [ Kerajaan Sunda Diperintah Dengan Adil;
Mereka Adalah Orang-Orang Jujur ]. Juga Diberitakan Kegiatan Perdagangan
Sunda Dengan Malaka Sampai Ke Kepulauan Maladewa [ Maladiven ]. Jumlah
Merica Bisa Mencapai 1000 Bahar [ 1 Bahar = 3 Pikul ] Setahun, Bahkan
Hasil Tammarin [ Asem ] Dikatakannya Cukup Untuk Mengisi Muatan 1000
Kapal.
Naskah Kitab Waruga Jagat Dari Sumedang Dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh Dari Ciamis Yang Ditulis Dalam Abad Ke-18 Dalam Bahasa Jawa Dan Huruf Arab-Pegon Masih Menyebut Masa Pemerintahan Sri Baduga Ini Dengan Masa Gemuh Pakuan [ Kemakmuran Pakuan ] Sehingga Tak Mengherankan Bila Hanya Sri Baduga Yang Kemudian Diabadikan Kebesarannya Oleh Raja Penggantinya Dalam Jaman Kerajaan Pajajaran. Sri Baduga Maharaja Alias Prabu Siliwangi Yang Dalam Prasasti Tembaga Kebantenan Disebut Susuhuna Di Pakuan Kerajaan Pajajaran, Memerintah Selama 39 Tahun [ 1482 - 1521 ].
Ia Disebut Secara Anumerta Sang Lumahing [ Sang Mokteng ] Rancamaya Karena Ia Dipusarakan Di Rancamaya. Melihat Itu, Jelas, Bagaimana Rancamaya, Terletak Kira-Kira 7 Km Di Sebelah Tenggara Kota Bogor, Memiliki Nilai Khusus Bagi Orang Sunda. Rancamaya Memiliki Mata Air Yang Sangat Jernih. Tahun 1960-An Di Hulu Cirancamaya Ini Ada Sebuah Situs Makam Kuno Dengan Pelataran Berjari-Jari 7,5 M Tertutup Hamparan Rumput Halus Dan Dikelilingi Rumpun Bambu Setengah Lingkaran. Dekat Makam Itu Terdapat Pohon Hampelas, Patung Badak Setinggi Kira-Kira 25 M Dan Sebuah Pohon Beringin.
Dewasa Ini Seluruh Situs Sudah “Dihancurkan” Orang. Pelatarannya Ditanami Ubi Kayu, Pohon-Pohonannya Ditebang Dan Makam Kuno Itu Diberi Saung. Di Dalamnya Sudah Bertambah Sebuah Kuburan Baru, Lalu Makam Kunonya Diganti Dengan Bata Pelesteran, Ditambah Bak Kecil Untuk Peziarah Dengan Dinding Yang Dihiasi Huruf Arab. Makam Yang Dikenal Sebagai Makam Embah Punjung Ini Mungkin Sudah Dipopulerkan Orang Sebagai Makam Wali. Kejadian Ini Sama Seperti Kuburan Embah Jepra Pendiri Kampung Paledang Yang Terdapat Di Kebun Raya Yang “Dijual” Orang Sebagai “Makam Raja Galuh”.
Telaga Yang Ada Di Rancamaya, Menurut Pantun Bogor, Asalnya Bernama Rena Wijaya Dan Kemudian Berubah Menjadi Rancamaya. Akan Tetapi, Menurut Naskah Kuno, Penamaannya Malah Dibalik, Setelah Menjadi Telaga Kemudian Dinamai Rena Maha Wijaya [ Terungkap Pada Prasasti ]. “Talaga” [ Sangsakerta "Tadaga" ] Mengandung Arti Kolam. Orang Sunda Biasanya Menyebut Telaga Untuk Kolam Bening Di Pegunungan Atau Tempat Yang Sunyi. Kata Lain Yang Sepadan Adalah Situ [ Sangsakerta, Setu ] Yang Berarti Bendungan.
Bila Diteliti Keadaan Sawah Di Rancamaya, Dapat Diperkirakan Bahwa Dulu Telaga Itu Membentang Dari Hulu Cirancamaya Sampai Ke Kaki Bukit Badigul Di Sebelah Utara Jalan Lama Yang Mengitarinya Dan Berseberangan Dengan Kampung Bojong. Pada Sisi Utara Lapang Bola Rancamaya Yang Sekarang, Tepi Telaga Itu Bersambung Dengan Kaki Bukit. Bukit Badigul Memperoleh Namanya Dari Penduduk Karena Penampakannya Yang Unik. Bukit Itu Hampir “Gersang” Dengan Bentuk Parabola Sempurna Dan Tampak Seperti “Katel” [ Wajan ] Terbalik. Bukit-Bukit Di Sekitarnya Tampak Subur. Badigul Hanya Ditumbuhi Jenis Rumput Tertentu. Mudah Diduga Bukit Ini Dulu “Dikerok” Sampai Mencapai Bentuk Parabola. Akibat Pengerokan Itu Tanah Suburnya Habis. Badigul Kemungkinan Waktu Itu Dijadikan “Bukit Punden” [ Bukit Pemujaan ] Yaitu Bukit Tempat Berziarah [ Bahasa Sunda, Nyekar Atau Ngembang = Tabur Bunga ]. Kemungkinan Yang Dimaksud Dalam “Rajah Waruga Pakuan” Dengan Sanghiyang Padungkulan Itu Adalah Bukit Badigul Ini.
Kedekatan Telaga Dengan Bukit Punden Bukanlah Tradisi Baru. Pada Masa Purnawarman, Raja Beserta Para Pembesar Tarumanagara Selalu Melakukan Upacara Mandi Suci Di Gangganadi [ Setu Gangga ] Yang Terletak Dalam Istana Kerajaan Indraprahasta [ Di Cire Irang ]. Setelah Bermandi- Mandi Suci, Raja Melakukan Ziarah Ke Punden-Punden Yang Terletak Dekat Sungai. Spekulasi Lain Mengenai Pengertian Adanya Kombinasi Badigul-Rancamaya Adalah Perpaduan Gunung-Air Yang Berarti Pula Sunda-Galuh.
Sri Baduga Maharaja Adalah Surawisesa [ Puteranya Dari Mayang Sunda Dan Juga Cucu Prabu Susuktunggal ]. Ia Dipuji Oleh Carita Parahiyangan Dengan Sebutan “Kasuran” [ Perwira ], “Kadiran” [ Perkasa ] Dan “Kuwanen” [ Pemberani ]. Selama 14 Tahun Memerintah Ia Melakukan 15 Kali Pertempuran. Pujian Penulis Carita Parahiyangan Memang Berkaitan Dengan Hal Ini. Nagara Kretabhumi I/2 Dan Sumber Portugis Mengisahkan Bahwa Surawisesa Pernah Diutus Ayahnya Menghubungi Alfonso d’Albuquerque [ Laksamana Bungker ] Di Malaka. Ia Pergi Ke Malaka Dua Kali [ 1512 Dan 1521 ]. Hasil Kunjungan Pertama Adalah Kunjungan Penjajakan Pihak Portugis Pada Tahun 1513 Yang Diikuti Oleh Tome Pires, Sedangkan Hasil Kunjungan Yang Kedua Adalah Kedatangan Utusan Portugis Yang Dipimpin Oleh Hendrik De Leme [ Ipar Alfonso ] Ke Ibukota Pakuan. Dalam Kunjungan Itu Disepakati Persetujuan Antara Kerajaan Pajajaran Dan Portugis Mengenai Perdagangan Dan Keamanan.
Dari Perjanjian Ini Dibuat Tulisan Rangkap Dua, Lalu Masing-Masing Pihak Memegang Satu ] Menurut Soekanto [ 1956 ] Perjanjian Itu Ditandatangai 21 Agustus 1522. Ten Dam Menganggap Bahwa Perjanjian Itu Hanya Lisan. Namun, Sumber Portugis Yang Kemudian Dikutip Hageman Menyebutkan “Van Deze Overeenkomst Werd Een Geschrift Opgemaakt In Dubbel, Waarvan Elke Partij Een Behield”. Dalam Perjanjian Itu Disepakati Bahwa Portugis Akan Mendirikan Benteng Di Banten Dan Kalapa. Untuk Itu Tiap Kapal Portugis Yang Datang Akan Diberi Muatan Lada Yang Harus Ditukar Dengan Barang-Barang Keperluan Yang Diminta Oleh Pihak Sunda. Kemudian Pada Saat Benteng Mulai Dibangun, Pihak Sunda Akan Menyerahkan 1000 Karung Lada Tiap Tahun Untuk Ditukarkan Dengan Muatan Sebanyak Dua “Costumodos” [ Kurang Lebih 351 Kuintal ].
Perjanjian Kerajaan Pajajaran – Portugis Sangat Mencemaskan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, Pintu Masuk Perairan Nusantara Sebelah Utara Sudah Dikuasai Portugis Yang Berkedudukan Di Malaka Dan Pasai. Bila Selat Sunda Yang Menjadi Pintu Masuk Perairan Nusantara Di Selatan Juga Dikuasai Portugis, Maka Jalur Perdagangan Laut Yang Menjadi Urat Nadi Kehidupan Ekonomi Demak Terancam Putus. Trenggana Segera Mengirim Armadanya Di Bawah Pimpinan Fadillah Khan Yang Menjadi Senapati Demak.
Fadillah Khan Memperistri Ratu Pembayun, Janda Pangeran Jayakelana. Kemudian Ia Pun Menikah Dengan Ratu Ayu, Janda Sabrang Lor [ Sultan Demak II ]. Dengan Demikian, Fadillah Menjadi Menantu Raden Patah Sekaligus Menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari Segi Kekerabatan, Fadillah Masih Terhitung Keponakan Susuhunan Jati Karena Buyutnya Barkta Zainal Abidin Adalah Adik Nurul Amin, Kakek Susuhunan Jati Dari Pihak Ayah. Selain Itu Fadillah Masih Terhitung Cucu Sunan Ampel [ Ali Rakhmatullah ] Sebab Buyutnya Adalah Kakak Ibrahim Zainal Akbar Ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel Sendiri Adalah Mertua Raden Patah [ Sultan Demak I ].
-Sang-
Source
Naskah Kitab Waruga Jagat Dari Sumedang Dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh Dari Ciamis Yang Ditulis Dalam Abad Ke-18 Dalam Bahasa Jawa Dan Huruf Arab-Pegon Masih Menyebut Masa Pemerintahan Sri Baduga Ini Dengan Masa Gemuh Pakuan [ Kemakmuran Pakuan ] Sehingga Tak Mengherankan Bila Hanya Sri Baduga Yang Kemudian Diabadikan Kebesarannya Oleh Raja Penggantinya Dalam Jaman Kerajaan Pajajaran. Sri Baduga Maharaja Alias Prabu Siliwangi Yang Dalam Prasasti Tembaga Kebantenan Disebut Susuhuna Di Pakuan Kerajaan Pajajaran, Memerintah Selama 39 Tahun [ 1482 - 1521 ].
Ia Disebut Secara Anumerta Sang Lumahing [ Sang Mokteng ] Rancamaya Karena Ia Dipusarakan Di Rancamaya. Melihat Itu, Jelas, Bagaimana Rancamaya, Terletak Kira-Kira 7 Km Di Sebelah Tenggara Kota Bogor, Memiliki Nilai Khusus Bagi Orang Sunda. Rancamaya Memiliki Mata Air Yang Sangat Jernih. Tahun 1960-An Di Hulu Cirancamaya Ini Ada Sebuah Situs Makam Kuno Dengan Pelataran Berjari-Jari 7,5 M Tertutup Hamparan Rumput Halus Dan Dikelilingi Rumpun Bambu Setengah Lingkaran. Dekat Makam Itu Terdapat Pohon Hampelas, Patung Badak Setinggi Kira-Kira 25 M Dan Sebuah Pohon Beringin.
Dewasa Ini Seluruh Situs Sudah “Dihancurkan” Orang. Pelatarannya Ditanami Ubi Kayu, Pohon-Pohonannya Ditebang Dan Makam Kuno Itu Diberi Saung. Di Dalamnya Sudah Bertambah Sebuah Kuburan Baru, Lalu Makam Kunonya Diganti Dengan Bata Pelesteran, Ditambah Bak Kecil Untuk Peziarah Dengan Dinding Yang Dihiasi Huruf Arab. Makam Yang Dikenal Sebagai Makam Embah Punjung Ini Mungkin Sudah Dipopulerkan Orang Sebagai Makam Wali. Kejadian Ini Sama Seperti Kuburan Embah Jepra Pendiri Kampung Paledang Yang Terdapat Di Kebun Raya Yang “Dijual” Orang Sebagai “Makam Raja Galuh”.
Telaga Yang Ada Di Rancamaya, Menurut Pantun Bogor, Asalnya Bernama Rena Wijaya Dan Kemudian Berubah Menjadi Rancamaya. Akan Tetapi, Menurut Naskah Kuno, Penamaannya Malah Dibalik, Setelah Menjadi Telaga Kemudian Dinamai Rena Maha Wijaya [ Terungkap Pada Prasasti ]. “Talaga” [ Sangsakerta "Tadaga" ] Mengandung Arti Kolam. Orang Sunda Biasanya Menyebut Telaga Untuk Kolam Bening Di Pegunungan Atau Tempat Yang Sunyi. Kata Lain Yang Sepadan Adalah Situ [ Sangsakerta, Setu ] Yang Berarti Bendungan.
Bila Diteliti Keadaan Sawah Di Rancamaya, Dapat Diperkirakan Bahwa Dulu Telaga Itu Membentang Dari Hulu Cirancamaya Sampai Ke Kaki Bukit Badigul Di Sebelah Utara Jalan Lama Yang Mengitarinya Dan Berseberangan Dengan Kampung Bojong. Pada Sisi Utara Lapang Bola Rancamaya Yang Sekarang, Tepi Telaga Itu Bersambung Dengan Kaki Bukit. Bukit Badigul Memperoleh Namanya Dari Penduduk Karena Penampakannya Yang Unik. Bukit Itu Hampir “Gersang” Dengan Bentuk Parabola Sempurna Dan Tampak Seperti “Katel” [ Wajan ] Terbalik. Bukit-Bukit Di Sekitarnya Tampak Subur. Badigul Hanya Ditumbuhi Jenis Rumput Tertentu. Mudah Diduga Bukit Ini Dulu “Dikerok” Sampai Mencapai Bentuk Parabola. Akibat Pengerokan Itu Tanah Suburnya Habis. Badigul Kemungkinan Waktu Itu Dijadikan “Bukit Punden” [ Bukit Pemujaan ] Yaitu Bukit Tempat Berziarah [ Bahasa Sunda, Nyekar Atau Ngembang = Tabur Bunga ]. Kemungkinan Yang Dimaksud Dalam “Rajah Waruga Pakuan” Dengan Sanghiyang Padungkulan Itu Adalah Bukit Badigul Ini.
Kedekatan Telaga Dengan Bukit Punden Bukanlah Tradisi Baru. Pada Masa Purnawarman, Raja Beserta Para Pembesar Tarumanagara Selalu Melakukan Upacara Mandi Suci Di Gangganadi [ Setu Gangga ] Yang Terletak Dalam Istana Kerajaan Indraprahasta [ Di Cire Irang ]. Setelah Bermandi- Mandi Suci, Raja Melakukan Ziarah Ke Punden-Punden Yang Terletak Dekat Sungai. Spekulasi Lain Mengenai Pengertian Adanya Kombinasi Badigul-Rancamaya Adalah Perpaduan Gunung-Air Yang Berarti Pula Sunda-Galuh.
Sri Baduga Maharaja Adalah Surawisesa [ Puteranya Dari Mayang Sunda Dan Juga Cucu Prabu Susuktunggal ]. Ia Dipuji Oleh Carita Parahiyangan Dengan Sebutan “Kasuran” [ Perwira ], “Kadiran” [ Perkasa ] Dan “Kuwanen” [ Pemberani ]. Selama 14 Tahun Memerintah Ia Melakukan 15 Kali Pertempuran. Pujian Penulis Carita Parahiyangan Memang Berkaitan Dengan Hal Ini. Nagara Kretabhumi I/2 Dan Sumber Portugis Mengisahkan Bahwa Surawisesa Pernah Diutus Ayahnya Menghubungi Alfonso d’Albuquerque [ Laksamana Bungker ] Di Malaka. Ia Pergi Ke Malaka Dua Kali [ 1512 Dan 1521 ]. Hasil Kunjungan Pertama Adalah Kunjungan Penjajakan Pihak Portugis Pada Tahun 1513 Yang Diikuti Oleh Tome Pires, Sedangkan Hasil Kunjungan Yang Kedua Adalah Kedatangan Utusan Portugis Yang Dipimpin Oleh Hendrik De Leme [ Ipar Alfonso ] Ke Ibukota Pakuan. Dalam Kunjungan Itu Disepakati Persetujuan Antara Kerajaan Pajajaran Dan Portugis Mengenai Perdagangan Dan Keamanan.
Dari Perjanjian Ini Dibuat Tulisan Rangkap Dua, Lalu Masing-Masing Pihak Memegang Satu ] Menurut Soekanto [ 1956 ] Perjanjian Itu Ditandatangai 21 Agustus 1522. Ten Dam Menganggap Bahwa Perjanjian Itu Hanya Lisan. Namun, Sumber Portugis Yang Kemudian Dikutip Hageman Menyebutkan “Van Deze Overeenkomst Werd Een Geschrift Opgemaakt In Dubbel, Waarvan Elke Partij Een Behield”. Dalam Perjanjian Itu Disepakati Bahwa Portugis Akan Mendirikan Benteng Di Banten Dan Kalapa. Untuk Itu Tiap Kapal Portugis Yang Datang Akan Diberi Muatan Lada Yang Harus Ditukar Dengan Barang-Barang Keperluan Yang Diminta Oleh Pihak Sunda. Kemudian Pada Saat Benteng Mulai Dibangun, Pihak Sunda Akan Menyerahkan 1000 Karung Lada Tiap Tahun Untuk Ditukarkan Dengan Muatan Sebanyak Dua “Costumodos” [ Kurang Lebih 351 Kuintal ].
Perjanjian Kerajaan Pajajaran – Portugis Sangat Mencemaskan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, Pintu Masuk Perairan Nusantara Sebelah Utara Sudah Dikuasai Portugis Yang Berkedudukan Di Malaka Dan Pasai. Bila Selat Sunda Yang Menjadi Pintu Masuk Perairan Nusantara Di Selatan Juga Dikuasai Portugis, Maka Jalur Perdagangan Laut Yang Menjadi Urat Nadi Kehidupan Ekonomi Demak Terancam Putus. Trenggana Segera Mengirim Armadanya Di Bawah Pimpinan Fadillah Khan Yang Menjadi Senapati Demak.
Fadillah Khan Memperistri Ratu Pembayun, Janda Pangeran Jayakelana. Kemudian Ia Pun Menikah Dengan Ratu Ayu, Janda Sabrang Lor [ Sultan Demak II ]. Dengan Demikian, Fadillah Menjadi Menantu Raden Patah Sekaligus Menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari Segi Kekerabatan, Fadillah Masih Terhitung Keponakan Susuhunan Jati Karena Buyutnya Barkta Zainal Abidin Adalah Adik Nurul Amin, Kakek Susuhunan Jati Dari Pihak Ayah. Selain Itu Fadillah Masih Terhitung Cucu Sunan Ampel [ Ali Rakhmatullah ] Sebab Buyutnya Adalah Kakak Ibrahim Zainal Akbar Ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel Sendiri Adalah Mertua Raden Patah [ Sultan Demak I ].
-Sang-
Source
Post a Comment
mohon gunakan email