Awalnya, Parmalim adalah gerakan spiritual untuk mempertahankan adat
istiadat dan kepercayaan kuno yang terancam agama baru yang dibawa
Belanda. Gerakan ini lalu menyebar ke tanah Batak menjadi gerakan
politik atau parhudamdam yang menyatukan orang Batak menentang Belanda.
Gerakan itu muncul sekitar tahun 1883 atau tujuh tahun sebelum kematian Si Singamangaraja XII, dengan pelopornya Guru Somalaing. Dalam perkembangannya, gerakan yang menempatkan Si Singamangaraja sebagai pemimpin tertinggi tersebut telah memicu perlawanan politik dalam bentuk pertempuran-pertempuran kecil di berbagai kawasan Batak Toba, sekaligus perlawanan teologis terhadap zending. Gerakan ini pun terus melakukan perlawanan pascakematian Si Singamangaraja XII.
Berbagai stigma lalu dilekatkan Belanda kepada pengikut Parmalim untuk mengerem laju gerakan ini, mulai dari sebutan kaum pembangkang, penyembah pagan, hingga pelaku kanibalisme atau pemakan sesama manusia. Para penganut Parmalim diburu. Berbagai upacara keagamaan mereka pun dilarang.
Pada tahun 1895 (tujuh tahun setelah kematian Si Singmangaraja XII), Guru Somalaing ditangkap Belanda dan kemudian dibuang ke Kalimantan pada tahun berikutnya. Gerakan Parmalim pun mulai memudar walau tidak habis. Raja Mulia Naipospos, tokoh spiritual, yang disebut-sebut mendapat restu dari Si Singamangaraja XII, kemudian memegang tongkat kepemimpinan Parmalim.
Gerakan Parmalim pun kembali memusatkan diri pada spiritual dan tata cara hidup berdasarkan adat. Tongkat kepemimpinan ini diwariskan turun-temurun dan kini dipegang oleh Raja Marnakkok Naipospos, cucu Raja Mulia.
Saat ini pusat kegiatan keberagamaan kaum Parmalim dipusatkan di Huta Tinggi, Kecamatan Lagu Boti, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara.
Kata parmalim sendiri bisa dipisahkan dalam dua kata, yaitu par dan malim. Par dalam bahasa Batak Toba merupakan awalan aktif yang berarti orang yang mengerjakan atau menganut sesuatu. Malim sendiri berasal dari kata bahasa masyarakat di pesisir pantai yang beragama Islam, baik Melayu maupun Minangkabau, yang berarti pemuka agama Islam.
Mualim
Asal usul kata malim bagi masyarakat Melayu berasal dari bahasa Arab mualim yang artinya pintar dalam pengetahuan agama. Parmalim juga berkonotasi dengan para malim atau sekumpulan orang yang pengetahuan agamanya luas.
Munculnya kosakata parmalim ditengarai karena adanya interaksi antara Guru Somalaing dengan orang-orang Melayu dan Aceh, yang banyak membantu peperangan Si Singamangaraja XII melawan Belanda.
Parmalim sendiri, menurut Raja Marnakkok Naipospos yang saat ini menjadi Raja Ihutan atau pemimpin tertinggi kaum Parmalim, adalah ajaran tradisional Batak. Sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen di tanah Batak, nenek moyang kami telah memiliki ajaran kepercayaan tersendiri. Inti ajaran kami adalah bagaimana bisa mempersembahkan hidup kepada Mula Jadi Nambolon (Tuhan), dan bagaimana cara hidup bermasyarakat dengan baik. Prinsip-prinsip ajaran kami diajarkan oleh Raja Si Singamangaraja, katanya.
Menurut Monang Naipospos, salah seorang tokoh Parmalim yang lain, ciri khas dari kepercayaan Parmalim adalah kearifan lokal mereka dalam menjaga alam. Para pengikut Parmalim dilarang menebang pohon, kecuali menanam tunas baru dengan jumlah lebih banyak. Mereka juga tidak boleh merusak tunas-tunas kecil saat merobohkan pohon besar. Manusia telah diberi hak untuk mengelola alam. Kita telah didukung alam untuk hidup, maka kita juga harus mendukung alam untuk hidup, katanya.
Namun, hingga kini prinsip- prinsip kepercayaan Parmalim sering disalahtafsirkan oleh masyarakat luas. Parmalim masih dianggap sebagai ancaman atas kemapanan. Hingga kini, para pengikut Parmalim belum bisa memperoleh akta catatan sipil sebagaimana warga negara yang lain. Mereka tak mendapatkan akta catatan sipil untuk kelahiran dan pernikahan sehingga kesulitan menyesuaikan diri dengan sistem kemasyarakatan yang ada.
Monang Naipospos mengatakan, upaya diskriminasi terhadap pengikut Parmalim awalnya dilakukan oleh penjajah karena Si Singamangaraja XII melakukan perlawanan terhadap Belanda. Sejak itulah Belanda mendiskreditkan kami dengan citra buruk, termasuk disebutkan kami sebagai orang tidak beradab yang makan manusia. Padahal, makan babi, anjing, atau darah saja dilarang, katanya.
Selama ini kami menjadi warga negara yang terpinggirkan karena hak-hak kami selaku warga negara belum terpenuhi. Pemerintah Kabupaten Tobasa (Toba Samosir) tidak mau memberikan catatan sipil kepada kami, dengan alasan pencatatan terhadap warga penghayat kepercayaan tidak ada dalam perundang-undangan, seakan penghayat kepercayaan di luar bingkai hukum negeri ini. Padahal, golongan Tionghoa sudah bisa mendapatkannya, katanya.
Marnakkok mengatakan, jumlah pengikut Parmalim di Tobasa mencapai 1.500 keluarga atau sekitar 6.000 jiwa. Sebagian besar pengikut Parmalim itu belum mendapat akta catatan sipil. Pengikut Parmalim yang mendapatkan akta kelahiran biasanya harus mencantumkan salah satu dari lima agama yang diakui pemerintah dalam identitas mereka. Kami dikerdilkan sistem yang masih diskriminatif, katanya.
Proses keberagamaan negara ini agaknya memang belum selesai….
Gerakan itu muncul sekitar tahun 1883 atau tujuh tahun sebelum kematian Si Singamangaraja XII, dengan pelopornya Guru Somalaing. Dalam perkembangannya, gerakan yang menempatkan Si Singamangaraja sebagai pemimpin tertinggi tersebut telah memicu perlawanan politik dalam bentuk pertempuran-pertempuran kecil di berbagai kawasan Batak Toba, sekaligus perlawanan teologis terhadap zending. Gerakan ini pun terus melakukan perlawanan pascakematian Si Singamangaraja XII.
Berbagai stigma lalu dilekatkan Belanda kepada pengikut Parmalim untuk mengerem laju gerakan ini, mulai dari sebutan kaum pembangkang, penyembah pagan, hingga pelaku kanibalisme atau pemakan sesama manusia. Para penganut Parmalim diburu. Berbagai upacara keagamaan mereka pun dilarang.
Pada tahun 1895 (tujuh tahun setelah kematian Si Singmangaraja XII), Guru Somalaing ditangkap Belanda dan kemudian dibuang ke Kalimantan pada tahun berikutnya. Gerakan Parmalim pun mulai memudar walau tidak habis. Raja Mulia Naipospos, tokoh spiritual, yang disebut-sebut mendapat restu dari Si Singamangaraja XII, kemudian memegang tongkat kepemimpinan Parmalim.
Gerakan Parmalim pun kembali memusatkan diri pada spiritual dan tata cara hidup berdasarkan adat. Tongkat kepemimpinan ini diwariskan turun-temurun dan kini dipegang oleh Raja Marnakkok Naipospos, cucu Raja Mulia.
Saat ini pusat kegiatan keberagamaan kaum Parmalim dipusatkan di Huta Tinggi, Kecamatan Lagu Boti, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara.
Kata parmalim sendiri bisa dipisahkan dalam dua kata, yaitu par dan malim. Par dalam bahasa Batak Toba merupakan awalan aktif yang berarti orang yang mengerjakan atau menganut sesuatu. Malim sendiri berasal dari kata bahasa masyarakat di pesisir pantai yang beragama Islam, baik Melayu maupun Minangkabau, yang berarti pemuka agama Islam.
Mualim
Asal usul kata malim bagi masyarakat Melayu berasal dari bahasa Arab mualim yang artinya pintar dalam pengetahuan agama. Parmalim juga berkonotasi dengan para malim atau sekumpulan orang yang pengetahuan agamanya luas.
Munculnya kosakata parmalim ditengarai karena adanya interaksi antara Guru Somalaing dengan orang-orang Melayu dan Aceh, yang banyak membantu peperangan Si Singamangaraja XII melawan Belanda.
Parmalim sendiri, menurut Raja Marnakkok Naipospos yang saat ini menjadi Raja Ihutan atau pemimpin tertinggi kaum Parmalim, adalah ajaran tradisional Batak. Sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen di tanah Batak, nenek moyang kami telah memiliki ajaran kepercayaan tersendiri. Inti ajaran kami adalah bagaimana bisa mempersembahkan hidup kepada Mula Jadi Nambolon (Tuhan), dan bagaimana cara hidup bermasyarakat dengan baik. Prinsip-prinsip ajaran kami diajarkan oleh Raja Si Singamangaraja, katanya.
Menurut Monang Naipospos, salah seorang tokoh Parmalim yang lain, ciri khas dari kepercayaan Parmalim adalah kearifan lokal mereka dalam menjaga alam. Para pengikut Parmalim dilarang menebang pohon, kecuali menanam tunas baru dengan jumlah lebih banyak. Mereka juga tidak boleh merusak tunas-tunas kecil saat merobohkan pohon besar. Manusia telah diberi hak untuk mengelola alam. Kita telah didukung alam untuk hidup, maka kita juga harus mendukung alam untuk hidup, katanya.
Namun, hingga kini prinsip- prinsip kepercayaan Parmalim sering disalahtafsirkan oleh masyarakat luas. Parmalim masih dianggap sebagai ancaman atas kemapanan. Hingga kini, para pengikut Parmalim belum bisa memperoleh akta catatan sipil sebagaimana warga negara yang lain. Mereka tak mendapatkan akta catatan sipil untuk kelahiran dan pernikahan sehingga kesulitan menyesuaikan diri dengan sistem kemasyarakatan yang ada.
Monang Naipospos mengatakan, upaya diskriminasi terhadap pengikut Parmalim awalnya dilakukan oleh penjajah karena Si Singamangaraja XII melakukan perlawanan terhadap Belanda. Sejak itulah Belanda mendiskreditkan kami dengan citra buruk, termasuk disebutkan kami sebagai orang tidak beradab yang makan manusia. Padahal, makan babi, anjing, atau darah saja dilarang, katanya.
Selama ini kami menjadi warga negara yang terpinggirkan karena hak-hak kami selaku warga negara belum terpenuhi. Pemerintah Kabupaten Tobasa (Toba Samosir) tidak mau memberikan catatan sipil kepada kami, dengan alasan pencatatan terhadap warga penghayat kepercayaan tidak ada dalam perundang-undangan, seakan penghayat kepercayaan di luar bingkai hukum negeri ini. Padahal, golongan Tionghoa sudah bisa mendapatkannya, katanya.
Marnakkok mengatakan, jumlah pengikut Parmalim di Tobasa mencapai 1.500 keluarga atau sekitar 6.000 jiwa. Sebagian besar pengikut Parmalim itu belum mendapat akta catatan sipil. Pengikut Parmalim yang mendapatkan akta kelahiran biasanya harus mencantumkan salah satu dari lima agama yang diakui pemerintah dalam identitas mereka. Kami dikerdilkan sistem yang masih diskriminatif, katanya.
Proses keberagamaan negara ini agaknya memang belum selesai….