Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Harun Ar-Rasyid. Show all posts
Showing posts with label Harun Ar-Rasyid. Show all posts

Imam Musa Kazhim as, Pengajar Cinta Kasih di Tengah Masyarakat


Nilai-nilai akhlak dan kemanusiaan yang tertanam pada pribadi Rasulullah Saw dan keluarga sucinya mencerminkan kepribadian agung manusia-manusia suci tersebut. Tak diragukan lagi, Rasulullah Saw dan Ahli Baitnya adalah penunjuk manusia yang mencari kebahagiaan sejati dan jati diri sebenarnya. Pada hari ini, tepatnya tahun 127 hijriah, salah satu cucu Rasulullah Saw , Imam Musa Al-Kazhim, lahir ke dunia.

Pada masa Imam Musa al-Kazhim as dipenuhi dengan berbagai peristiwa besar dan kecil. Sikap-sikap Imam Musa as dalam mereaksi berbagai peristiwa tersebut merupakan pelajaran yang berharga bagi umat Islam. Imam Musa as saat itu hidup di tengah masyarakat yang jauh dari ajaran-ajaran murni Islam. Bahkan para pemimpin saat itu bersikap lalim dan rakus harta. Imam Musa Kazhim as semasa dengan sejumlah para pemimpin Bani Abbas, termasuk Harun al-Rasyid. Harun al-Rasyid menunjukkan dirinya sebagai orang yang beragama, namun perilakunya sama sekali tidak mencerminkan perilaku seorang yang beragama. Di masa keimamahan atau kepemimpinan Imam Musa Kazhim as selama 35 tahun, beliau menjelaskan sistem politik dan sosial Islam dengan berbagai cara, kepada masyarakat saat itu. Melalui penjelasan tersebut, masyarakat menyadari bahwa perilaku Bani Abbas bertentangan dengan prinsip dan ajaran Islam.

Karena komitmen dan kegigihan dalam menegakkan kebenaran dan melawan kezaliman, Imam Musa al-Kazhim as bersedia menjalani kepahitan hidup di penjara Dinasti Abbasiah selama bertahun-tahun. Dalam sejarah disebutkan Imam Musa Kazhim as mendekam di penjara selama 14 tahun. Para penguasa saat itu menghendaki Imam Musa supaya menghentikan perlawanan atas kezaliman. Bahkan Dinasti Abbasiah menjanjikan akan memberikan harta yang melimpah setiap bulannya kepada Imam Musa. Namun beliau menolak usulan tersebut dengan menyebutkan ayat 33 surat Yusuf, "Penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku."

Menurut Imam Musa al-Kazhim as, kebatilan tidak akan menghantarkan seseorang ke tujuannnya. Pemerintah-pemerintah lalim tidak dapat menerapkan keadilan. Imam Musa al-Kazhim as menekankan pentingnya kebenaran, kepada para sahabatnya yang setia, beliau dan berkata, "Jagalah dirimu dari kemarahan Allah Swt dan bertakwalah. Sampaikanlah kebenaran tanpa rasa takut, meski kebenaran itu akan melenyapkanmu secara lahiriah. Ketahuilah bahwa kebenaran itu tidak akan menghancurkanmu, tapi malah menyelamatkanmu. Namun lepaskanlah kebatilan, meski hal itu secara lahiriah menyelamatkanmu. Sebab, kebatilan tidak akan menyelamatkanmu, bahkan pada akhirnya akan membinasakanmu."

Dr Mohsen al-Wairi, seorang dosen, menjelaskan sejarah Imam Musa Kazim as, dan mengatakan, salah satu karakter mulia Imam Musa al-Kazhim as adalah bersikap kasih sayang dan lembut kepada masyarakat. Imam Musa berkata, "Berkasih sayang dan lembut kepada masyarakat adalah separuh akal." Beliau as juga menekankan, "Akal yang paling tepat adalah akal yang membahagiakan manusia." Dengan demikian, jika landasan perilaku kita kepada masyarakat bertumpu pada kasih sayang, maka kita telah menerapkan akhlak yang juga logis. Sebab, hal itu dapat membahagiakan kita sendiri.

Imam Musa Kazhim as memperlakukan sejumlah masyarakat, khususnya orang-orang yang tertindas dan miskin, dengan rasa kasih sayang dan perhatian yang luar biasa kepada mereka. Siapapun yang datang ke rumah Imam Musa as akan kembali dengan tangan yang tidak kosong dan hati yang berbahagia, baik secara spiritual maupun material. Perilaku Imam yang suka memaaafkan kesalahan-kesalahan seseorang membuat beliau dikenal sebagai peredam kemarahan. Imam Musa Kazhim as berkata, "Kasih sayang membahagiakan kehidupan, memperkokoh hubungan, menumbuhkan harapan dan menghangatkan lingkungan masyarakat."

Imam Musa Kazhim as dalam perlawanan politiknya terhadap para penguasa lalim, mengetahui situasi dan menggunakan kesempatan dengan baik. Sejumlah sahabatnya yang setia mempunyai jabatan di pemerintah dinasti Abbasiah. Mereka membela Imam Musa as dengan berbagai cara. Karena pengaruhnya di tengah pasukan dinasti Abbasiah, Imam Musa as dapat melanjutkan aktivitas politik dan sosialnya. Salah satu sahabat setia beliau as yang mempunyai jabatan penting di pemerintah dinasti Abbasiah adalah Ali bin Yaqtin. Pada suatu hari, Ali bin Yaqthin meminta izin kepada Imam Musa untuk melepas jabatannya di pemerintah. Akan tetapi Imam tidak mengizinkannya. Beliau berkata, "Allah Swt mempunyai wali-wali di tengah penguasa yang lalim. Melalui mereka, Allah Swt melindungi hamba-hambanya yang baik. Sangatlah mungkin bahwa Allah Swt telah menjadikan kamu sebagai perantaranya untuk meredam api fitnah yang dikobarkan para penentang."

Dalam sejarah disebutkan, Ali bin Yaqthin mempunyai hubungan yang terkoordinasi dengan Imam Musa Kazhim as. Ali bin Yaqthin juga melakukan berbagai tindakan untuk membela para pecinta Ahli Bait as. Di antara langkah-langkah yang dilakukan Ali bin Yaqthin adalah mengirim sekelompok orang yang tertindas untuk melakukan ibadah haji. Dengan cara itu, ia dapat membantu ekonomi kalangan masyarakat yang tertindas. Selain itu, dia juga secara terselubung mengembalikan pajak pemerintah yang diambil dari orang-orang yang lemah.

Agenda yang disusun rapi untuk menghadapi pemikiran yang menyimpang adalah di antara program-program penting Imam Musa Kazhim as. Pada zaman itu, pemikiran anti-ketuhanan dan ideologi yang menyimpang menjamur di berbagai tempat. Dengan berbagai argumentasi logis, Imam Musa Kazhim as menghadapi pemikiran-pemikiran yang menyimpang dan menjelaskan ajaran yang benar, kepada masyarakat. Aktivitas intelektual dan ilmiah Imam Musa as dilakukan di tengah tekanan kondisi politik saat itu. Dengan penuh kesabaran, Imam Musa as berhasil mempertahankan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.

Dalam sejarah disebutkan, lebih dari 200 perawi hadis dan pemikir saat itu berguru kepada Imam Musa Kazhim as. Imam Musa benar-benar berupaya meningkatkan intelektualitas masyarakat saat itu. Beliau juga menganjurkan masyarakat supaya menimba ilmu dari sumber yang terpercaya dan meningkatkan keilmuan mereka sehingga tidak terjebak dalam makar orang-orang yang berpikiran batil.

Dinasti Abbasiah juga menyadari bahwa keberadaan Imam Musa as di tengah masyarakat akan melemahkan tonggak-tonggak pemerintah yang lalim. Untuk Itu, Harun al-Rasyid, penguasa lalim saat itu memenjarakan Imam Musa as dalam kurun waktu yang cukup lama. Namun ketabahan Imam Musa as yang dipenjara selama bertahun-tahun tak membuat pengaruhnya di tengah masyarakat berkurang.

Mengakhiri pembahasan tentang Imam Musa Kazhim as, akan sangat lengkap dengan mengutip perkataan mutiara darinya. Beliau berkata, "Selama mempunyai rasa takut atas dosa, menjalankan amanat dan menerapkan kebenaran, penghuni bumi akan mendapat rahmat Allah Swt."

Imam Musa juga berkata, "Amanat dan kejujuran mendatangkan rezeki, sedangkan pengkhianatan dan kebohongan menyebabkan kemiskinan."

Dalam perkataan mutiara lainnya, Imam Musa as berkata, "Barangsiapa yang menahan marah kepada masyarakat akan dilindungi Allah Swt dari siksaan di Hari Kiamat."

Perjuangan Politik dan Intelektual Imam Musa as


Setiap pribadi maksum dan Ahlul Bait Nabi as adalah teladan dan panutan umat manusia setelah Rasulullah Saw. Sejarah hidup mereka merupakan bukti nyata dari sebuah kehidupan yang dilandasi oleh nilai-nilai langit. Mereka adalah pelita dunia untuk membimbing manusia menuju sebuah kehidupan yang suci dan mulia. Oleh karena itu dalam sebuah doa, kita memohon kepada Allah Swt untuk menjadikan kehidupan dan kematian kita seperti kehidupan dan kematian Nabi Muhammad Saw dan Ahlul Bait Nabi as.

Imam Musa al-Kazhim as lahir pada tanggal 7 Shafar tahun 128 Hijriah di sebuah lembah bernama Abwa, yang terletak di antara Makkah dan Madinah. Ibunda beliau bernama Hamidah. Imam Musa mencapai kedudukan imamah dan kepemimpinan umat pada usia 21 tahun. Abu Bashir menuturkan, "Kami bersama Imam Jakfar Shadiq as melakukan perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tidak lama setelah tiba di lembah Abwa dan menyantap sarapan pagi di sana, Imam Jakfar mendapat kabar bahwa Allah Swt telah menganugerahinya seorang putra. Dengan penuh suka-cita, Imam Jakfar segera menemui istrinya, Hamidah. Tidak lama kemudian, beliau kembali dengan wajah berseri dan berkata, "Allah Swt telah memberiku seorang anak. Kelahiran putraku ini merupakan anugerah terbaik dari-Nya."

Imam Musa as adalah sumber kebaikan, keutamaan dan kemuliaan. Ia senantiasa bersikap begitu ramah dan penuh kasih sayang dengan siapapun. Masa kepemimpinan beliau berlangsung sekitar 35 tahun. Ia hidup sezaman dengan empat khalifah Dinasti Abbasiyah. Masa pemerintahan Khalifah Mansur, Mahdi, Hadi dan Harun al-Rasyid merupakan situasi yang sangat sulit dan penuh pasang surut bagi perjuangan Imam Musa as. 14 tahun terakhir dari masa kepemimpinan Imam Musa berlangsung di era pemerintahan Harun al-Rasyid dan sebagian besar masa hidupnya saat itu ia lewati di dalam penjara Dinasti Abbasiyah.

Imam Musa adalah orang yang paling shaleh, zuhud, faqih dan dermawan pada masa itu. Ketika dua pertiga malam tiba, beliau mulai melakukan shalat sunnah dan melanjutkan shalatnya hingga fajar menyingsing. Setelah melaksanakan shalat Shubuh, ia mengangkat tangan untuk berdoa dan mulai tenggelam dalam tangisan hingga seluruh jenggotnya basah dengan air mata. Ketika ia membaca al-Quran, orang-orang berdatangan dan berkumpul di sekelilingnya untuk menikmati suaranya yang merdu. Pribadi mulia ini dikenal dengan julukan hamba shaleh, dan karena kemampuannya menahan amarah, ia digelari dengan al-kazhim. Julukannya yang lain adalah shabir (penyabar) dan amin (terpercaya).

Imam Musa meneruskan metode ayahnya dalam berdakwah yang menekankan pentingnya sebuah perombakan pemikiran dan akidah masyarakat waktu itu serta memerangi aliran-aliran yang menyimpang dari jalur Islam. Dengan argumentasi-argumentasi yang kokoh, ia telah membuktikan kerapuhan pemikiran-pemikiran atheis dan menyadarkan orang-orang yang sedang terjerumus ke dalam lembah kesesatan. Tidak lama berselang revolusi pemikiran yang dirintis oleh Imam Musa mengalami puncak kejayaannya dan mempengaruhi para ilmuwan yang hidup kala itu.

Perjuangan Imam Musa yang ingin menegakkan kebenaran dan membasmi kezaliman praktis memicu amarah para penguasa tiran waktu itu. Dalam sejarah kehidupan Imam Musa, menjunjung tinggi kebenaran dan memerangi kebatilan di ranah sosial dan politik menempati posisi istimewa dan senantiasa menjadi agenda perjuangan beliau. Meskipun Imam Musa menerima berbagai macam intimidasi, penyiksaan, dan pemenjaraan berkepanjangan, namun beliau tetap menolak tunduk pada penguasa tiran dan terus mengumandangkan perang melawan kebatilan.

Dalam perspektif Imam Musa, pemerintahan tiran dan batil tidak akan bisa menjalankan kebenaran dan keadilan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, beliau menekankan bahwa kebenaran tidak akan diraih dengan istrumen-instrumen batil. Imam Musa selalu menekankan pentingnya kebenaran kepada para sahabatnya dan berkata, "Jagalah dirimu dari kemarahan Allah Swt dan bertakwalah. Sampaikanlah kebenaran tanpa rasa takut, meski kebenaran itu akan melenyapkanmu secara lahiriah. Ketahuilah bahwa kebenaran itu tidak akan menghancurkanmu, tapi malah menyelamatkanmu. Namun lepaskanlah kebatilan, meski hal itu secara lahiriah menyelamatkanmu. Sebab, kebatilan tidak akan menyelamatkanmu bahkan pada akhirnya akan membinasakanmu."

Imam Musa as dalam perlawanan politiknya terhadap para penguasa zalim, menguasasi situasi dengan baik dan memanfaatkan setiap kesempatan untuk memberi pencerahan kepada umat. Program kerja Imam Musa untuk menghadapi pemikiran-pemikiran sesat adalah melakukan kaderisasi dan mendidik murid-muridnya yang potensial guna melawan berbagai penyimpangan di masa itu. Dengan berbagai argumentasi logis, Imam Musa as menghadapi pemikiran-pemikiran sesat dan menjelaskan ajaran yang benar kepada masyarakat.

Aktivitas intelektual dan ilmiah Imam Musa dilakukan di tengah tekanan politik saat itu. Dengan penuh kesabaran, beliau berhasil mempertahankan ajaran-ajaran Islam murni. Dalam sejarah disebutkan, lebih dari 200 perawi hadis dan pemikir saat itu berguru kepada Imam Musa as. Beliau benar-benar berupaya meningkatkan intelektualitas masyarakat saat itu dan mendorong mereka untuk menimba ilmu pengetahuan dari sumber yang terpercaya serta meningkatkan pengetahuan mereka sehingga tidak terjebak dalam makar orang-orang yang berpikiran batil.

Berkenaan dengan para penguasa zalim, Imam Musa berkata, "Barang siapa yang menghendaki mereka tetap hidup, maka ia termasuk golongan mereka. Dan barang siapa yang termasuk golongan mereka, maka ia akan masuk neraka". Dengan demikian, Imam telah menentukan sikap tegas terhadap pemerintahan Harun al-Rasyid, mengharamkan kerja sama dengannya dan melarang para pengikutnya untuk bergantung dalam pemerintahannya. Imam Musa as berkata, "Janganlah kalian bersandar kepada mereka, karena kalian akan dijerumuskan ke dalam api neraka". Namun, beliau mengecualikan Ali bin Yaqthin, salah satu pengikutnya dari instruksi tersebut dan memperbolehkannya untuk menduduki kursi kementrian di kabinet Harun al-Rasyid sebagaimana ia juga telah memegang tampuk tersebut pada era Mahdi al-Abbasi.

Ali bin Yaqthin pernah meminta izin kepada Imam Musa untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Akan tetapi, Imam melarangnya untuk melakukan itu seraya berkata, "Jangan kau lakukan itu. Saudara-saudaramu menjadi mulia karenamu dan mereka bangga denganmu. Mungkin dengan bantuan Allah, engkau bisa memperbaiki situasi ini, menolong orang yang tidak mampu atau para musuh-Nya akan kalah karenamu. Wahai Ali, kafarah yang harus kau berikan sekarang adalah berbuat baik kepada saudara-saudaramu. Lakukanlah satu hal niscaya aku akan menjamin tiga hal untukmu, setiap kali engkau melihat pengikut kami, maka penuhilah segala kebutuhannya dan hargailah dia. Aku jamin engkau tidak akan masuk penjara, tidak satu pedang pun yang akan melukaimu dan engkau tidak akan pernah mengalami kemiskinan. Wahai Ali, barang siapa yang membahagiakan seorang mukmin, maka ia – pertama – telah membahagiakan Allah, -- kedua – Rasulullah Saw dan – ketiga – kami."

Imam Musa selalu memenuhi malam-malamnya hingga pagi dengan rintihan istighfar dan sujud yang sangat panjang. Beliau selalu mengarahkan wajah dan kalbunya di hadapan Allah Swt. Suatu hari, Khalifah Harun al-Rasyid bertemu dengan Imam Musa di dekat Kabah dan menyatakan, "Apakah engkau adalah seseorang yang dibaiat oleh umat secara rahasia dan dipilih sebagai pemimpin mereka?" Imam dengan tegas menjawab, "Aku berkuasa di hati rakyat. Sementara engkau berkuasa atas jasad mereka." .

Berikut ini kami kutip beberapa ucapan dari Imam Musa al-Kazhim as, "Sabar dalam kesendirian adalah tanda kekuatan akal. Barang siapa yang merenungkan tentang Allah, ia akan menjauhi orang-orang yang mencintai dunia dan menginginkan apa yang ada di sisi Tuhannya, Allah adalah penenangnya dalam ketakutan, temannya dalam kesendirian, kekayaannya dalam kefakiran dan kemuliaannya di hadapan selain kerabatnya." "Tidak sempurna  agama orang yang tidak memiliki harga diri, dan tidak memiliki harga diri orang yang tidak berakal. Sesungguhnya orang yang  paling agung nilainya adalah orang yang tidak menganggap dunia sebagai satu nilai baginya. Ingatlah, harga badanmu ini adalah surga, jangan engkau menjualnya dengan selainnya."

Mengenal Imam Syafi’i


Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i yang kemudian terkenal dengan nama Imam asy-Syafi’i adalah pendiri dan pemimpin Mazhab Syafi’i dan Imam ketiga dalam mazhab Ahlusunnah. Nasab beliau sampai kepada Hasyim bin Abdul Muthalib kemenakan dari Hasyim bin ‘Abdu Manaf yang dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin Saib yang hidup sezaman dengan Rasulullah saw.

Kebanyakan ahli sejarah mencatat bahwa Imam Syafi’i dilahirkan di kota Gaza, Palestina, namun ada juga yang berpendapat bahwa beliau lahir di Asqalan. Ada juga yang mengatakan Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H di Yaman dimana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Ahlusunnah yang bernama Imam Abu Hanifah.

Sejak kecil Syafi’i telah kehilangan ayahnya. Kala itu beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dan serba kekurangan. Imam Syafi’i mempelajari fikih dan hadis ketika di Mekkah dan untuk beberapa waktu beliau juga belajar syair, sastra bahasa (lughat) dan nahwu di Yaman. Sampai pada suatu waktu atas saran Mus’ab bin Abdullah bin Zubair, beliau pergi ke Madinah untuk menekuni ilmu hadis dan fikih. Diusianya yang relatif muda (sekitar 20 tahunan), beliau telah belajar kepada Imam Malik bin Anas, pendiri Mazhab Maliki.


Imam Syafi’i menuturkan masa lalunya seperti ini: Sewaktu saya belajar, guru saya mengajarkan kepada saya tentang Al-Qur’an dan saya pun menghafalnya. Saya ingat waktu itu guru saya pernah berkata: ‘Tidak halal bagi saya sekiranya mengambil imbalan dari kamu.” Dengan alasan tersebut, akhirnya saya meninggalkan guru tersebut. Sejak itu saya mengumpulkan potongan tembikar, kulit dan pelepah kurma yang agak besar sebagai sarana yang saya pakai untuk menuliskan hadis. Akhirnya, saya pergi ke Mekkah. Aku tinggal bersama kabilah Hudail yang terkenal dengan kefasihannya selama 17 tahun. Setiap kali mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain, aku pun mengikuti jejak mereka. Saat aku pulang ke Mekkah, aku telah menguasai banyak sekali disiplin ilmu. Waktu itu aku bertemu dengan salah seorang pengikut Zubair lalu salah seorang dari mereka berkata kepadaku: “Sangat berat bagiku melihat Anda yang begitu jenius dan fasih namun Anda tidak mempelajari fikih.” Tak lama setelah itu, mereka membawaku ke tempat Imam Malik.

Saya telah memiliki buku “Al-Muwatho’” Imam Malik dan cuma dalam waktu sembilan hari aku telah mempelajarinya. Kemudian saya pergi ke Madinah untuk belajar dan menghadiri majlis taklim Imam Malik.”
Imam Syafi’i tetap tinggal di kota Madinah sampai saat wafatnya Malik bin Anas. Kemudian beliau pergi ke Yaman dan beliau menghabiskan aktivitasnya di sana. Penguasa Yaman pada waktu itu seorang yang zalim dan bekerja sama dengan pemerintahan Harun ar-Rasyid, Khalifah Abassiyah. Dalam kondisi seperti itu, penguasa menangkap Imam Syafi’i dengan alasan dikhawatirkan beliau akan memberontak bersama Alawiyyin (keturunan Ali bin Abi Thalib) lalu beliau dibawa kepada Harun ar-Rasyid, tetapi Harun ar-Rasyid membebaskannya.

Muhammad bin Idris untuk beberapa waktu pergi ke Mesir dan kemudian pada tahun 195 H beliau mendatangi Bagdad dan mengajar disana. Setelah dua tahun tinggal di Bagdad, beliau kembali ke Mekkah. Tak lama setelah itu, beliau pergi lagi ke kota Baghdad dan dalam waktu yang cukup singkat tinggal di Bagdad. Pada tahun 200 H di penghujung bulan Rajab di usia 54 tahun beliau meninggal dunia di Mesir. Tempat pemakamannya di Bani Abdul Hakam berdekatan dengan makamnya para syuhada dan menjadi tempat ziarah kaum Muslimin, khususnya kalangan Ahlusunnah.
Salah satu murid Imam Syafi’i yang terkenal adalah Ahmad bin Hanbal, pendiri Mazhab Hanbali.

Karya-karya Imam Syafi’i
Imam Syafi’i memiliki banyak sekali karya berharga, di antaranya adalah:
1. Al-Umm
2. Musnad as-Syafi’i
3. As-Sunnan
4. Kitab Thaharah
5. Kitab Istiqbal Qiblah
6. Kitab Ijab al-jum’ah
7. Sholatul ‘Idain
8. Sholatul Khusuf
9. Manasik al Kabir
10. Kitab Risalah Jadid
11. Kitab Ikhtilaf Hadist
12. Kitab Syahadat
13. Kitab Dhahaya
14. Kitab Kasril Ard

Berhubung pusat pengajaran beliau berada di kota Bagdad dan Kairo, maka melalui dua kota tersebut secara perlahan Mazhab Syafi’i disebarkan oleh murid-muridnya ke negeri-negeri Islam lainnya, seperti Syam, Khurasan dan Mawara’u Nahr. Tetapi pada abad ke-5 dan ke-6 terjadi konflik keras antara para pengikut Syafi’i dan pengikut Hanafi di Bagdad dan juga pengikut Syafi’i dan Hanafi di Isfahan. Begitu juga para pengikut Syafi’i sempat bentrok dengan dengan para pengikut Syiah dan Hanafi pada zaman Yaqut dimana setelah itu mereka menguasai kota Rei.

Mazhab Syafi’i lebih dikenal dengan perpanduan antara ahli qiyas dan ahli hadis. Mazhab Syafi’i sekarang tersebar di Mesir, Afrika Timur, Afrika Selatan, Arab Saudi bagian Barat dan Selatan, Indonesia, sebagian dari Palestina dan sebagian dari Asia Tengah, khususnya kawasan Kurdistan.
Di antara ulama-ulama pengikut Mazhab Syafi’i yang terkenal adalah: Nasai’, Abu Hasan Asy’ari, Abu Ishaq Shirazi, Imamul Haramain, Abu Hamid Ghazali, dan Imam Rafi’i.

Terkait Berita: