Pesan Rahbar

Home » » Kakek Sophia Latjuba Pendiri Ahmadiyah dan Anggota Masyumi

Kakek Sophia Latjuba Pendiri Ahmadiyah dan Anggota Masyumi

Written By Unknown on Monday, 28 November 2016 | 01:28:00

Sophia Latjuba dan kakeknya (Foto: kapanlagi.com)

Banyak yang tidak tahu latar belakang kehidupan Sophia Latjuba. Aktris yang juga ibunda Eva Celia ini memang sangat tertutup soal urusan pribadinya. Namun, setahun lalu wanita 46 tahun ini mengungkap sebuah fakta mengejutkan tentang kakeknya sebagaimana diberitakan di kapanlagi.com.

Sophia yang lahir dari keturunan Bugis-Jerman ternyata mempunyai kakek yang pernah jadi orang penting di NKRI. Bernama Mahmud Lamako Latjuba, kakek Sophia adalah pendiri GAI atau Gerakan Ahmadiyah Indonesia pada 1928.

“Mengenang Eyang Mahmud Lamako Latjuba. Lahir 2 Mei 1909 di Una-una, Sulawesi Tengah. Wafat 7 Desember 1975 di Jakarta. Beliau adalah anak keturunan Arab bermukim di nusantara sejak lama. Sejak muda meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu di Yogyakarta. Mula pertama datang ke Yogyakarta, beliau tinggal di di rumah H.O.S. Tjokroaminoto. Pada 28 Desember 1928 beliau mendirikan De Ahmadiyya Beweging, yang di tahun 1930 resmi bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia Centrum Lahore,” demikian tulis Sophia di caption setahun lalu.

Pusara Mahmud Lamako Latjuba (Foto: tribunnews.com)

Menjelang peringatan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2016 lalu Sophia Latjuba memposting silsilah keluarganya. Dirinya dalam silsilah yag diposting itu merupakan cucu Mahmud Lamako Latjuba.

Kakek Sophia pernah ditunjuk sebagai Duta Luar Biasa dan Menteri Berkuasa Penuh untuk memimpin Kedutaan Besar Republik Indonesia di Karachi (Pakistan) pada 1952. Tahun 1956, kakek Sophia dipindah tugas dan menjadi Duta besar RI untuk Mesir.

Kakek Sophia Latjuba yang merupakan salah satu pendiri Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) seperti diberitakan di laman milik Jemaat Ahmadiyah, ahmadiyah.org.

Foto kakek Sophia Latjuba (Foto: instagram/Sophia Latjuba)

Seperti yang dijelaskan dalam situs tersebut tahun 1925, HM Latjuba bergabung dengan Jong Islamieten Bond (JIB) yang didirikan antara lain oleh Syamsurizal, Moehammad Koesban, dan Soedewo. HM Latjuba juga bergabung dengan Moeslim Broederschaap yang didirikan oleh Minhadjurrahman Djojosoegito dan Moehammad Hoesni pada tahun yang sama.

Tiga tahun kemudian, tepatnya 28 Desember 1928, bersama dengan Djojosogito dan kawan-kawan, HM Latjuba mendirikan De Ahmadiyya Beweging, yang di tahun 1930 resmi bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia Centrum Lahore.

Selain aktif di GAI, sang kakek Sophia juga aktif dalam kegiatan politik. HM Latjuba adalah salah satu pendiri Partai Masyumi. Di tahun 1947, HM Latjuba juga terpilih sebagai Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP).

KNIP adalah cikal bakal lembaga legislatif di Indonesia, dan tanggal pembentukannya, 29 Agustus 1945, diresmikan sebagai hari jadi DPR RI.

Melalui Masyumi juga, HM Latjuba terpilih menjadi anggota DPRS pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat. Masih karena Partai Masyumi, HM Latjuba juga terpilih menjadi anggota DPR RI.

Pada tahun 1951, HM Latjuba ikut memperjuangkan asas ius soli dan stelsel pasif bagi kewarganegaraan RI. Hal ini didukung oleh banyak golongan, termasuk golongan keturunan Arab.

Karirinya sebagai diplomat selain diangkat menjadi Duta Besar RI pertama untuk Pakistan, HM Latjuba pernah diangkat menjadi dubes untuk Mesir dan Iran tahun 1952 yang ditandatangani oleh Soekarno dan Ahmad Soebardjo, Menteri Luar Negeri. Empat tahun kemudian beliau mempelopori berdirinya SIC atau Sekolah Indonesia Cairo.

Di kaun instagramnya, Kamis 27 Oktober 2016, Sophia Latjuba mengisahkan tentang sosok kakeknya. Panjang lebar Sophia memberikan keterangan pada unggahan foto kakeknya.


Dear Eyang, wish you were here right now Lahir tanggal 2 Mei 1909 di Una-una, Sulawesi Tengah.

Beliau adalah anak keturunan Arab yg sdh sejak lama bermukim di nusantara.

Sejak muda, Latjuba meninggalkan kampung halamannya utk menuntut ilmu di Yogyakarta.

Di Yogyakarta, beliau tinggal di di rumah H.O.S. Tjokroaminoto.

Dr Tjokroaminoto, Latjuba banyak menimba ilmu organisasi dan berkenalan dgn tokoh politik spt M. Roem, Soekarno, Syarifudin Prawiranegara.’

Tahun 1925, Latjuba bergabung dengan Jong Islamieten Bond (JIB) yang didirikan oleh Syamsurizal, Moehammad Koesban, dan Soedewo.

Beliau juga bergabung dengan Moeslim Broederschaap yg didirikan oleh M. Djojosoegito dan Moehammad Hoesni pd thn yg sama.

Tahun 1932, beliau melanjutkan sutdi di Jurusan Sospol Universitas Lahore, India.

Tahun 1937, beliau kembali ke Yogyakarta dan tinggal di rumah H. Zarkasyi, salah satu tokoh Persyarikatan Muhammadiyah kala itu.

Beliau kemudian menikah dengan gadis pilihannya bernama Siti Fatihah.

Tahun 1952, Latjuba diangkat menjadi sbg Kuasa Usaha (Charge d’Affairs ad Interim) dengan gelar Duta Luar Biasa dan Menteri Berkuasa Penuh untuk memimpin Kedutaan Besar Republik Indonesia di Karachi (Pakistan).

Tahun 1956, beliau dipindah tugas dan menjadi Duta besar RI untuk Mesir.

Pada tahun ini, belaiu mengajak tokoh-tokoh Indonesia di Kairo untuk mendukung berdirinya Sekolah Indonesia Cairo (SIC) di kawasan Dokki, Giza, Cario.

Pada Jalsah Salanah tahun 1975, beliau menawarkan diri membantu Ketua Umum saat itu, H. M. Bachroen, untuk menerjemahkan The Holy Qur’an karya Maulana Muhammad Ali.

Beliau menerjemahkannya dimulai dari surat-surat juz amma.

Sayang sekali, beliau tidak dapat melanjutkan pekerjaan itu, karena pada tahun 1975 beliau dipanggil oleh Allah Ta’ala.

Mahmud Lamako Latjuba wafat pada tanggal 7 Desember 1975 di Jakarta dalam usia 66 tahun.

Sumbangsih beliau bagi bangsa Indonesia pada umumnya semoga selalu dikenang dan diteladani oleh kita semua.

(Kapan-Lagi/Tribun-News/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: